loading...
BAB I PERKAWINAN PRIA MUSLIM DENGAN WANITA NON MUSLIM Secara etimologi, pernikahan berarti “Persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya “perjanjian” (Al-Aqdu). Secara terminologi pernikahan menurut Abu Hanifah adalah: “Akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita, yang dilakukan dengan sengaja”. Pengukuhan di sini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketetapan pembuat syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat akad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata. Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah: “Akad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan akad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah: “Akad yang didalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur. Kalau kita perhatikan keempat defenisi tersebut jelas, bahwa yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah akad (perjanjian) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria. Sedikitnya ada empat macam yang menjadi tujuan perkawinan: 1. Menentramkan jiwa 2. Mewujudkan (melestarikan) turunan 3. Memenuhi kebutuhan biologis 4. Latihan memikul tanggung jawab Keempat faktor yang terpenting (menetramkan jiwa, melestarikan turunan, memenuhi kebutuhan logis dan latihan bertanggung jawab) dari tujuan perkawinan perlu mendapat perhatian dan direnungkan matang-matang agar kelangsungan hidup berumah tangga dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. a. Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Bukan Ahli Kitab Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab, terbagi kepada: 1. Perkawinan dengan wanita musyrik Agama Islam tidak memperkenankan pria muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al Baqarah:221. 2. Perkawinan dengan wanita majusi Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat Jumhur Ulama dan yang dimaksud dengan ahli kitab Yahudi dan Nashara. Dalam persoalan ini, yang dipandang paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama yaitu pria muslim tidak dibenarkan kawin dengan wanita majusi sebab mereka tidak termasuk ahli kitab, sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-An’aam:156. 3. Perkawinan dengan wanita shabi’ah Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama Nasrani Shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh a.s. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah, karena berpindah ajaran dari satu agama ke agama lain. Ibnul Hammam mengatakan, bahwa orang-orang Shabi’ah adalah golongan yang memadukan antara agama Yahudi dan Nasrani. Mereka menyembah bintang-bintang. Dalam berbagai buku Hadits disebutkan, bahwa mereka termasuk golongan ahli kitab Ibnu Qudamah berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang orang-orang Shabi’ah. Menurut riwayat Ahmad, bahwa mereka adalah orang-orang Nasrani. Menurut riwayat Umar, bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat mengagungkan hari Sabtu. Sedangkan Mujahid menganggap, mereka berada di antara agama Yahudi dan Nasrani. Imam Syafi’i mengambil jalan tengah, yaitu apabola mereka lebih mendekati keyakinan mereka kepada salah satu agama (Yahudi atau Nasrani), maka orang tersebut termasuk golongan agama itu. Bila tidak mendekati kepada kedua agama itu, berarti orang itu bukan ahli kitab. Dari uraian diatas dapat dipahami, bahwa para ulama tetap berbeda pendapat, ada yang mengatakan termasuk ahli kitan dan ada pula yang mengatakan tidak. Dengan demikian, maka hukum perkawinan dengan wanita Shabi’ah juga berbeda pendapat. Abu Hanifah berpendapat boleh kawin dengan wanita Shabi’ah. Sedang Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy Syaibani, tidak memperbolehkannya, karena mereka penyembah patung-patung dan bintang-bintang. Pendapat mazhab Maliki juga sejalan dengan pendapat ini. Mazhab Syafi’i dan Hambali membuat garis pembatas dalam masalah ini. Jika mereka menyerupai orang-orang Yahudi atau Nasrani dalam prinsip-prinsip agamanya, maka wanita Shabi’ah itu boleh dikawini. Tetapi bila berbeda dalam hal-hal prinsip, berarti mereka tidak termasuk golongan Yahudi atau Nasrani dan berarti pula, bahwa wanita Shabi’ah itu tidak boleh dikawini oleh pria muslim. 4. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala Para ulama telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir, sebagaimana dalam surah Al-Muntahanah:10 dan surah Al-Baqarah:221. b. Perkawinan Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab. 1. Menurut pendapat Jumhur Ulama baik Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) negara Islam (ahli Dzimmah), hal ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Maidah:3. 2. Golongan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab. Kemudian di kalangan Jumhur Ulama yang membolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berbeda pendapat. 1. Sebagian mazhab Habafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh. 2. Menurut pendapat sebagian mazhab Maliki, Ibnul Qosim, Khalil bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat Malik. 3. Az-Zarkasyi (mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunatkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Berkenaan dengan hal ini, dapat dikemukakan pertanyaan, apakah mungkin ketenangan jiwa diperoleh dalam suatu rumah tangga yang berlainan akidah dan apakah mungkin mendidik anak-anak yang sudah dalam satu keluarga yang beragam keyakinan. Membenarkan kawin dengan wanita non muslim, berarti mengundang penyakit, yaitu penyakit kufur (murtad). Menghindari kawin dengan mereka, berarti telah mengadakan tindakan preventif. Dalam istilah agama dikenal dengan menutup jalan, yaitu menjaga sebelum terjadi hal-hal yang tidak baik. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, saya tidak sependapat dengan para ulama yang memperbolehkan pria muslim kawin dengan wanita non muslim (ahli kitab) karena telah banyak disinggung bahwa dampak negatif perkawinan tersebut banyak sekali, karena pada akhirnya tujuan sebuah perkawinan tidak akan tercapai jika dalam suatu rumah tangga terdiri dari 2 agama yang berlainan akidah (keyakinan) dan hal ini pun telah diatur dalam sebuah ketentuan-ketentuan dalam kompilasi hukum Islam, pada pasal 40 ayat (c) dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria beragam Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam sebaliknya pada pasal 44 disebutkan, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria tiak beragama Islam. BAB II MONOGAMI DAN POLIGAMI Untuk mengetahui sejauh mana kebaikan hukum perkawinan dalam Islam, perlu dilihat antara lain, bagaiman sikap Islam mengenai monogami dan poligami, karena masih saja ada anggapan bahwa hukum Islam khususnya mengenai perkawinan, tidak dianggap adil sehubungan dengan sikap Islam itu yang membolehkan kaum pria kawin dengan wanita, lebih dari satu. Dalam uraian berikut akan dicoba menyoroti dan membahas masalah monogami dan poligami ditinjau dari segi hukum Islam. A. Monogami Kalau kita melihat dengan cermat dan seksama, maka asas perkawinan dalam hukum Islam sebenarnya azas perkawinan dalam Islam, monogami. Ketentuan tersebut terdapat dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam surah An-Nissa’:3. Syarat poligami menurut Islam: 1. Mampu 2. Adil 3. Dan dianggap perlu berpoligami Ayat diatas memberi petunjuk, bahwa kawin dengan seorang wanita, itulah yang paling dekat kepada kebenaran, sehingga terhindar dari berbuat aniaya. B. Poligami Apabila orang berbicara tentang poligami, maka langsung orang mengira, bahwa agama Islam adalah pelopor memasyarakatkan poligami. Padahal poligami dalam pandangan agama Islam merupakan pintu darurat yang hanya sewaktu-waktu saja dapat dipergunakan. Sebenarnya poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia, yaitu jauh sebelum agama Islam datang. Bangsa-bangsa terdahulu seperti Yahudi memperbolehkan penganutnya berpoligami, bahkan tanpa batas tertentu. Sebenarnya agama Kristen juga tidak melarang poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu ayat pun dengan tegas melarang poligami. Jadi, sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama Kristen, tetapi merupakan warisan agama berhala (paganisme). Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai aturan agama. Masalah poligami ini dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pada pasal 55: 1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri. 2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang. Selanjutnya pada pasal 56 disebutkan: 1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. 2. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian pada pasal 57 disebutkan, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus dapat izin dari Pengadilan Agama apabila: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, disamping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan lagi oleh pasal 58 ayat (1), yaitu: a. Adanya persetujuan istri. b. Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. Orang yang bersangkutan benar-benar mampu dalam soal materi untuk menjamin kehidupan keluarga. Mengenai poligami ini, sebenarnya masih ada problema lain yang dihadapi dan sukar mengatasinya. Kasusnya seperti berikut ini: Pertama, orang sukar lolos untuk berpoligami, karena terjaring dengan pasal-pasal yang disebutkan diatas. Namun ada orang yang menempuh jalan lain, yaitu kawin di bawah tangan dan hal ini sah menurut hukum Islam, apabila rukun nikah telah terpenuhi. Bila sewaktu-waktu terjadi perceraian, tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan, karena perkawinannya tidak tercatat di KUA (Kantor Urusan Agama) dan dianggap tidak resmi. Perkawinan dibawah tangan berdampak tidak baik bagi pribadi suami, karena mau tidak mau dia harus mencari celah dan bahkan berdusta kepada istrinya, bila akan pergi kepada istri yang dikawini di bawah tangan tadi. Perbuatan dosa setiap saat terus menumpuk, karena hampir setiap saat harus berdusta. Jika suami hendak berpoligami tidak memenuhi syarat tetapi tetap melaksanakan, dilaporkan ke pihak yang berwajib karena Undang-Undang sudah ada dan dianggap melanggar hukum. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, sedang poligami juga tidak tertutup rapat dan tidak terbuka lebar. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa poligami itu dibolehkan, tetapi bagi saya, saya tidak setuju dengan adanya poligami karena pada dasarnya manusia itu tidak bisa dikatakan mampu utnuk berlaku adil. Karena dalam suraj An-Nisa ayat 3 sudah dijelaskan bahwa kawin dengan seorang wanita itulah yang paling dekat kepada kebenaran, sehingga terhindar dari berbuat aniaya, kalaupun seorang lelaki ingin berpoligami ia harus ada izin dari Pengadilan Agama serta hal-hal lain yang diaggap perlu. BAB III KELUARGA BERENCANA DAN KEPENDUDUKAN Untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur tidaklah begitu mudah. Banyak kendala yang dihadapi, sehingga pelaksanaan pembangunan tidak berjalan mulus. Suatu pembangunan memerlukan modal, sarana, tenaga terampil yang berkualitas, wawasan yang luas dan masih banyak lagi. Dalam situasi yang semacam ini, bangsa kita juga dihadapkan kepada suatu persoalah yang cukup rawan, yaitu menghadapi kepadatan penduduk yang terus melaju dari tahun ke tahun. Salah satu cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk mengatasi problem-problem yang tumbuh dan berkembang adalah dengan “keluarga berencana”. Kendatipun wakil-wakil rakyat telah menetapkan KB itu dalam GBHN, masih ada persoalan lain yang perlu dituntaskan, yaitu bagaimana pandangan agama Islam terhadap KB itu, karena mayoritas bangsa Indonesia menganut agama Islam. Sebenarnya sebelum bangsa Indonesia mencanangkan KB itu, dari dahulu pun masalah ini sudah menimbulkan pro dan kontra (setuju dan tidak setuju) dengan argumentasi (dalil) masing-masing. A. Pandangan Al-Qur’an Dalam Al-Qur’an ayat An-Nisa’:9. Ayat tersebut memberi petunjuk supaya setiap keluarga (orang tua) memikirkan masa depan anak cucunya, jangan sampai menjadi generasi yang lemah fisik dan mentalnya. Dari ayat-ayat tersebut diatas, ada beberapa petunjuk yang perlu kita laksanakan dalam kaitannya dengan KB. a. Menjaga kesehatan isteri (ibu si anak). b. Memikirkan/mempertimbangkan kepentingan anak. c. Memperhitungkan biaya hidup berumah tangga. d. Mempertimbangkan suasana keagamaan dalam rumah tangga. B. Pandangan Al-Hadits Dalam Al-Hadits dijelaskan, bahwa orang yang bermutu (kualitas) lebih baik daripada jumlah banyak tetapi bermutu (kuantitas). Untuk menjadikan keluarga dan anak turunan bermutu, perlu tersedia dana, sarana, kemampuan dan waktu yang cukup untuk membinanya. Hal ini pun memberi isyarat, berapa sebenarnya jumlah keluarga yang pantas dalam suatu rumah tangga sehingga mudah membinanya. Keputusan suami istri sehingga anak yang dilahirkan itu diterima dengan rasa syukur dan bahagia. C. Pandangan Ulama-Ulama Islam a. Ulama-ulama yang membolehkannya 1. Imam Al-Ghazali Dalam kitabnya, “Ihya ‘Ulu Muddin” dinyatakan, bahwa a’zal (coitus interuptus) tidak dilarang, karena kesukaran yang dialami si ibu disebabkan sering melahirkan. Motifnya antara lain: a. Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena sering melahirkan. b. Untuk menghindari kesulitan hidup, karena banyak anak. c. Untuk menjaga kecantikan si ibu. 2. Syekh Al-Hairi (Mufdi Besar Mesir) Menjalankan KB boleh dengan ketentuan: a. Untuk menjarangkan anak. b. Untuk menghindari suatu penyakit, bila ia mengandung. c. Untuk menghindari kemudaratan, bila ia mengandung dan melahirkan dapat membawa kematiannya (secara medis). d. Untuk menjaga kesehatan si ibu, karena setiap hamil selalu menderita suatu penyakit (penyakit kandungan). e. Untuk menghindari anak dari cacat fisik bila suami atau istri mengidap pentakit kotor. 3. Syekh Mahmud Syaltut b. Ulama-ulama yang melarang 1. Prof. Dr. M.S Madkour Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum. Beliau tidak menyetujui KB jika tidak ada alasan yang membenarkan perbuatan itu. 2. Abu ‘Ala Al-Maududi (Pakistan) Al-Maududi adalah seorang ulama yang menentang pendapat orang yang membolehkan pembatasan kelahiran. Menurut beliau Islam satu agama yang berjalan sesuai dengan fitrah manusia. KB berarti memperkecil jumlah umat. Secara lahiriah, memang demikian tetapi tentu yang dikehendaki adalah umat yang banyak dan berkualitas, sebagai pengikut setia beliau, bukan penentang ajaran Islam yang beliau bawa. Dari penjelasan diatas, bisa dipahami bahwa banyak pendapat yang menyatakan tentang KB dan saya sependapat dengan ulama yang membolehkan untuk ber KB, karena menimbang dengan keadaan kehidupan zaman sekarang, banyak sekali kebutuhan yang harus dipenuhi terutama ekonomi dan banyak lagi alasan lainnya dan tentunya KB ini pun dijalankan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. BAB IV MENGAWINI WANITA HAMIL Apakah sah perkawinan itu menurut hukum Islam? Apakah boleh menggauli si wanita itu setelah akad nikah? Bagaimana pula kedudukan nasab (keturunan) anak yang dilahirkan? Di bawah ini akan dicoba mengemukakan pendapat-pendapat yang berkembang dalam masyarakat: 1. Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali) berpendapat bahwa perkawinan keduanya san dan boleh bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan bila si pria itu menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya. 2. Ibnu Hazm (Zhairi) berpendapat, bahwa keduany boleh (sah) dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan bila telah bertaubat dan menjalani hukuman dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Selanjutnya mengenai pria yang kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat para ulama: 1. Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab, bila dikawinkan perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah dalam suraj An-Nur:3. Maksud ayat tersebut ialah, tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin dengan pria yang berzina. Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedang bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah). Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat: a. Bayi itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya empat bulan ke atas. b. Bayi itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah. Hal ini terjadi, karena pergaulan bebas disamping iman rapuh pada masing-masing pihak. Berkenaan dengan hal ini pun, kita pun tidak boleh terpaku kepada legalitas hukum (menurut sebagian ulama), tetapi penangkalnya yang perlu dipikirkan bersama supaya tidak terjadi perbuatan zina itu. Pendidikan agama dan kesadaran hukum, barangkali dapat diharapkan untuk mengantisipasi kekhawatiran yang disebutkan di atas. Dari penjelasan tersebut, saya sependapat dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i bahwa perkawinan itu dipandang sah karena tidak terlihat dengan perkawinan orang lain, namun terlepas dari masalah itu sama, bahwa perbuatan hubungan seks diluar nikah adalah haram dan tentunya agar hal ini tidak terjadi, pengawasan dari orang tua amat sangat dibutuhkan serta pendidikan di luar agama perlu ditanamkan dalam diri anak tersebut. BAB V TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN ANGGOTA TUBUH) Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah: mata, ginjal dan jantung karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia terutama sekali ginjal dan jantung. Para donor yang kita kenal sekarang ini, lebih banyak dari kalangan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup. A. Donor Orang Yang Masih Hidup Orang yang masih hidup sehat, ada juga yang ingin menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang memerlukan, umpamanya karena hubungan keluarga. Kendatipun ada donor yang bersedia memberikan organ tubuhnya, dalam pelaksanaannya harus hati-hati, karena bisa berbahaya bagi donor dan resipien (penerima). Pertama yang perlu diperhatikan adalah kecocokan organ tubuh itu antara donor dan resipien. Kedua, perlu diperhatikan juga kesehatan si donor, baik sebelum diangkat organ tubuhnya maupun sesudahnya. Keinginan menolong orang lain memang suatu perbuatan terpuji, tetapi jangan sampai mencelakakan diri sendiri. Berkenaan dengan hal ini Allah memberi petunjuk, dengan firmannya dalam surah Al-Baqarah:195. Kemudian bagaimana halnya dengan orang yang masih hidup tetapi sudah. Dalam keadaan koma (tidak sadar) apakah boleh organ tubuhnya diangkat/diambil dan kemudian diberikan kepada orang lain? Selama barang itu masih hidup, tidak boleh organ tubuhnya diambil, karena hal itu berarti mempercepat kematiannya dan berarti pula mendahului kehendak Allah walaupun menurut pertimbangan dokter, orang itu akan segera meninggal. B. Donor Orang Yang Sudah Meninggal Adapun donor (mata, ginjal dan jantung) yang berasal dari orang sudah meninggal dunia menurut hemat penulis, tidak menyalahi ketentuan agama Islam, dengan alasan: 1. Alangkah baik dan terpuji, bila organ tubuh itu dapat dimanfaatkan oleh orang lain yang sangat memerlukannya, daripada rusak begitu saja sesudah mayat itu dikuburkan. 2. Tindakan kemanusiaa sangat dihargai oleh agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Maidah: 32. 3. Menghilangkan penderitaan orang lain. Kemudian ada lagi persoalan lain yang dipertanyakan, yaitu mengenai donor dan resipien yang berlainan agama dan organ tubuh yang dicangkokkan itu berasal dari hewan yang diharamkan seperti babi. Kekhawatiran orang yang mendonorkan organ tubuhnya, kepada orang berlainan agama ataupun kepada orang yang berbuat maksiat, memang cukup beralasan. Sebab, bila resipien dapat tertolong dengan organ tubuh itu, berarti perbuatan maksiatnya akan berkelanjutan. Dosa-dosa inilah dikhawatirkan akan dipikul oleh para donor itu. Kekhawatiran itu akan terjawab oleh ayat-ayat berikut, Allah berfirman dalam surah Al-Najm:39-41. Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pencangkokan organ tubuh dibolehkan, jika pendonor sudah meninggal dan tidak digunakan untuk keburukan dan tenbtunya ada hal-hal lain yang dianggap perlu untuk dipertimbangkan baik dari segi medis maupun dari segi izin keluarga dari pendonor karena pendonor ini tergolong kepada sifat terpuji dan ini merupakan tindakan kemanusiaan dan tindakan kemanusiaan ini dijelaskan dalam surah Al-Maidah:32. BAB VI SHALAT DI PESAWAT TERBANG LUAR ANGKASA Dalam kaftan ini, maka bagi mereka yang bepergian jauh dan memilih pesawat terbang sebagai sarana transportasinya, sebenarnya menurut kajian ilmu fiqih ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan untuk memeliharan shalat lima waktu. Pilihan-pilihan itu ialah: melakukan shalat jama’ qashar, shalat di pesawat dengan tayammum, shalat di pesawat sebagai Faqid Al-Thuhurain (orang yang tidak menemukan air dan debu sebagai alat bersuci). Jama’ Qashar Hal ini tentu berlaku bagi shalat yang bisa di jama’ yaitu Zhuhur, Ashar, Magrib dan Isya dan shalat yang dapat diqashar yaitu Zhuhur, Ashar, Isya yang bersangkutan dapat melakukan jama’ taqdim atau jama’ takhir tergantung situasinya. Dengan cara ini maka kewajiban shalat tetap terpelihara. Shalat dengan Tayammum Dipesawat terbang jelas tidak ada debu. Lalu bagaimana tayammumnya? Tidak usah kita bingung karena mengani alat yang dapat dipergunakan untuk tayammum ini banyak mazhabnya. Seperti pendapat sebagian sahabat Imam Malik, Auza’i dan Tsauri. Berdasarkan pendapat ini kita dapat melakukan tayammum dengan mengusapkan tangan kita ke kursi yang kita duduki atau kedinding pesawat terbang. Tetapi mungkin timbul pertanyaan, kita kan pengikut mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa tayammum semacam itu tidak sah. Apakah dalam hal ini kita boleh pindah mazhab? Ya tentu boleh saja, sebab fiqih sesuai dengan wataknya (selaku hasil ijtihad) tidaklah mengikat. Tidak satupun nash agama yang mewajibkan kita harus terikat dengan satu mazhab saja dan yang melarang kita untuk pindah mazhab. Kita dibenarkan memilih pendapat mana yang lebih lapang yang membawa kemaslahatan dan mudah dilaksanakan. Lalu bagaimana caranya menghadap kiblat? Yah, kita tetap duduk di tempat duduk kita masing-masing menghadap seperti apa jalannya pesawat terbang. Disini kita pun dapat mengikuti mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa untuk menghadap kiblat cukup diperkirakan saja arahnya, tidak harus persis ke zat Ka’bah. Apalagi kalau kondisi di pesawat terbang seperti itu dapat dikategorikan darurat. Faqid Al-Thuhurain Alternatif ketiga yang mungkin kita lakukan ialah shalat di pesawat terbang sebagai Fa Qid Al-Thuhurain. Orang yang tidak menemukan air dan debu (alat tayammum) sebagai alat bersuci. Kemudian bagaimana status shalatnya? Mengenai shalat Faqidut Thuhurain ini dalam mazhab Syafi’i sendiri ada empat pendapat sebagai berikut: 1. Wajib shalat apa adanya (tanpa wudhu dan tayammum) dan wajib mengulang. 2. Tidak wajib shalat akan tetapi sunnat, yang besangkutan wajib qadha, baik ia tadinya shalat atau tidak. 3. Haram shalat dan wajib bagi yang bersangkutan mengqadha. 4. Wajib shalat apa adanya dan tidak wajib qadha. Pendapat Syafi’i Qaul Qadim yang menyatakan bahwa Faqid Thuhurain wajib shalat apa adanya/sesuai dengan kondisi yang ada dan baginya tidak wajib mengulang, inilah yang harus kita pegang dan kita masyarakatkan, terutama dalam kaitannya dengan masalah shalat di pesawat terbang atau di ruang angkasa dengan pertimbangan. Jadi jelaslah sudah bahwa shalat dipesawat terbang adalah masalah fiqih dan cara melaksanakan shalat di pesawat terbang ini dengan tayammum dan masalah kiblat kita tetap duudk seperti biasa karena kondisi pesawat terbang seperti itu dapat dikategorikan darurat. Dan shalat dalam keadaan seperti itu apa adanya sesuai kondisi yang ada baginya tidak wajib mengulang saya sependapat Syafi’i.
loading...