loading...

Makalah Pendidikan Islam

June 22, 2013 Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Islam merupakan proses mendidik yang di dalamnya terjadi interaksi antara guru dan murid yang membahas tentang materi-materi keislaman. Proses belajar-mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan kurikulum pada suatu lembaga pendidikan, dengan visi agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan pendidikan Islam yang telah ditetapkan oleh lembaganya.
Dengan adanya alat / media maka tradisi lisan maupun tulisan dalam proses pembelajaran dapat dilengkapi dengan berbagai variasi teknik pengajaran, sehingga membuat suasana tidak membosankan. Selain itu guru dengan mudah dapat menciptakan berbagai situasi yang berbeda dan menciptakan iklim yan emosional dan sehat di antara murid-muridnya.
Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, sangat mempengaruhi sistem pendidikan. Sehingga dewasa ini media teknologi informasi menjadi peran utama dalam proses pembelajaran. Namun disamping itu juga ada pengaruh negatifnya. Ini merupakan tugas utama guru untuk bisa mengolah/mengemas dan mengenalkan teknologi informasi dengan mengambil langkah positif dalam proses pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah makalah ini diantaranya :
1. Apa pengertian alat dan media pendidikan Islam ?
2. Apa fungsi/manfaat alat dan media dalam pendidikan Islam ?
3. Bagaimana pengaruh teknologi informasi sebagai alat dan media dalam pendidikan Islam ?
C. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam Semester IV.
2. Mengetahui pengertian alat dan media dalam pendidikan Islam.
3. Memahami fungsi/manfaat alat dan media dalam pendidikan Islam.
4. Mengetahui pengaruh teknologi informasi sebagai alat dan media dalam pendidikan Islam.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Alat dan Media dalam Pendidikan Islam
Alat merupakan perangkat atau media yang digunakan dalam melaksanakan sesuatu. Alat yang dikatakan suatu perangkat tersebut memiliki fungsi atau guna dalam prakteknya. Indra Kusuma mengemukakan alat pendidikan adalah langkah-langkah yang diambil demi kelancaran proses pendidikan. Dengan demikian, alat pendidikan menurut Indra Kusuma berupa usaha dan perbuatan. Dalam praktik pendidikan, istilah alat pendidikan sering diidentikan dengan media pendidikan, walaupun sebenarnya pengertian alat lebih luas dari pada media.
Menurut Zakiah Drajat alat dan media pendidikan memiliki arti yang sama yaitu sebagai sarana pendidikan. Secara harfiah media diartikan sebagai “ perantara “ atau “ pengantar “. AECT mendefinisikan media yaitu segala bentuk yang digunakan untuk proses penyaluran informasi.
Robert Hanick dkk. ( 1986 ) mendefinisikan media adalah sesuatu yang membawa informasi antara sumber ( source ) dan penerima ( receiver ) informasi. Kemp dan Dayton mengemukakan peran media dalam proses komunikasi sebagai alat pengirim ( transfer ) yang mentransmisikan pesan dari pengirim ( sender ) kepada penerima pesan atau informasi ( receiver ).
Oemar Hamalik mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari alat pendidikan merupakan suatu perangkat atau media yang digunakan dalam proses pendidikan khususnya dalam pembelajaran kepada anak didik/siswa. Sedangkan pengertian media pendidikan sendiri secara keseluruhan memiliki arti yaitu segala bentuk yang dijadikan sebagai perantara dalam proses komunikasi dengan tujuan menyalurkan informasi antara guru dan siswa. Dengan kata lain bahwa media pendidikan merupakan bagian dari alat-alat pendidikan.
Terkait dalam pendidikan Islam, alat/media pendidikan Islam memiliki arti segala benda/bentuk yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Alat ini mencakup apa saja yang dapat digunakan termasuk di dalamnya metode pendidikan Islam. Alat pendidikan Islam yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menuntun atau membimbing anak didik/siswa dalam masa pertumbuhannya agar kelak menjadi manusia berkepribadian muslim yang diridhai Allah Swt. Oleh karena itu, alat/media pendidikan ini harus searah dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan tidak boleh bertentangan dengan koridor agama Islam.
Diantara yang termasuk dalam alat pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1. Pendidik.
2. Lembaga pendidikan yang memberikan tempat untuk dapat terlaksananya pendidikan formal atau informal.
3. Sarana dan prasarana pendidikan yang membantu kelancaran pelaksanaan pendidikan, terutama dalam proses belajar-mengajar.
4. Perpustakaan, yakni buku-buku referensi yang memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada pendidik dan peserta didik.
5. Kecakapan atau kompetensi pendidik sehingga memberikan pengajaran yang professional dan sesuai dengan kapabilitasnya.
6. Metodologi pendidikan dan pendekatan sistem pengajaran yang digunakan, misal menggunakan metode ceramah, diskusi, tanya jawab, penugasan, atau pengajaran lainnya.
7. Manajemen pendidikan yang mengolah pelaksanaan pendidikan. Ini merupakan alat yang amat penting dalam pendidikan, seperti pengaturan jadwal mata pelajaran, penempatan pendidik dalam mata pelajaran tertentu, peraturan lama mengajar, pemenuhan gaji atau honorarium pendidik, penentuan rapat-rapat pendidik dan sebagainya.
8. Strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan belajar siswa dalam lembaga pendidikan tertentu, karena setiap lembaga pendidikan masing-masing memiliki visi misi yang berbeda-beda.
9. Evaluasi pendidikan dan evaluasi belajar.
10. Alat-alat bantu dalam pendidikan dapat berupa pengembangan teknik belajar-mengajar, diantaranya sebagai berikut :
1. Mengajar dengan menggunakan teknik kuis, sehingga terjadi persaingan dalam menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh pendidik.
2. Pertanyaan secara lisan di kelas.
3. Tugas individu.
4. Tugas kelompok.
5. Ulangan semester.
6. Ulangan kenaikan.
7. Laporan kerja praktik lapangan.
8. Responsi atau ujian praktik yang dipakai untuk mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya.
Metode-metode dalam pendidkan Islam juga merupakan bagian dari alat-alat pendidikan. Semua metode dan alat-alat pendidikan dalam pendidikan Islam harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam Al-quran dan As-Sunnah, sesuai yang telah dipaparkan di atas berkenaan dengan pencapaian tujuan pendidikan Islam.

B. Manfaat Alat dan Media dalam Pendidikan Islam
Semakin berkembangnya teknologi dan semakin meluasnya ilmu pengetahuan, sangat mempengaruhi sistem pendidikan. Dengan demikian media/alat dalam proses pendidikan Islam pun tidak lepas adanya integrasi dari canggihnya teknologi. Sehingga alat/media pendidikan Islam yang menggunakan teknologi ini mampu mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran, yang nantinya akan mempertinggi hasil belajar yang hendak dicapai oleh siswa pula. Karena sesuai pada perkembangan teknologi dan pengatahuan tersebut alat/media pendidikan dewasa ini memiliki fungsi, sebagai berikut :
1. Membantu memudahkan belajar siswa dan memudahkan pengajaran bagi guru.
2. Memberikan pengalaman lebih nyata ( abstrak menjadi kongkret ).
3. Menarik perhatian siswa lebih besar, sehingga siswa lebih antusias untuk mengikuti pelajaran.
4. Semua panca indra yang dimiliki masing-masing murid dapat diaktifkan.
5. Dapat membangkitkan dunia teori dengan realitanya.
Perancangan konsep yang secara matang akan melengkapi fungsi dari media pendidikan yang digunakan. Sehingga media dalam kegiatan mengajar bagi guru bukan lagi suatu alat peraga melainkan sebagai pembawa informasi atau pesan pembelajaran yang dibutuhkan oleh siswa. Dengan demikian seorang guru lebih fokus pada pengembangan dan pengolahan individu ( siswa ) dan kegiatan belajar-mengajar.
Selain 5 fungsi media pendidikan di atas, menurut Dr. Nana Sudjana dan Drs. Ahmad Rivai media pendidikan dalam proses belajar siswa memiliki manfaat antara lain :
1. Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapt dipahami oleh siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik.
3. Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak jenuh dan bosan dan guru tidak kehabisan tenaga.
4. Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sehingga tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan lain-lain.
Dengan persepsi yang sama, pendapat lain disampaikan juga oleh Abu Bakar Muhammad mengenai fungsi/manfaat alat/media pendidikan, yaitu :
1. Mampu mengatasi kesulitan-kesulitan dan memperjelas materi pelajaran yang sulit.
2. Mampu mempermudah pemahaman dan menjadikan pelajaran lebih hidup
( menarik).
3. Merangsang anak untuk bekerja dan menggerakan naluri kecintaan, melatih belajar dan menimbulkan kemauan keras untuk mempelajari sesuatu.
4. Membantu pembentukan kebiasaan, melahirkan pendapat memperhatikan dan memikirkan suatu pelajaran.
5. Menimbulkan kekuatan perhatian ( ingatan), mempertajam indra memperhalus perasaan dan cepat belajar.
Dari berbagai fungsi/manfaat alat/media pendidikan terkait pada pendidikan Islam, maka fungsi/manfaat media pendidikan dalam pendidikan Islam memiliki fungsi/manfaat yang sama. Perbedaan hanya terletak pada materi yang dikemas di dalam alat/medianya. Dalam pendidikan Islam, segala materi pengajaran yang akan disampaikan kepada siswa bernuansa Islami sesuai pada tujuan pendidikan Islam, sehingga menarik perhatian siswa dan menumbuhkan semangat belajar siswa mengenai pendidikan Islam.
Namun dalam pemakaian alat/media pendidikan Islam harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Memudahkan dan menyedikitkan beban,
2. Berangsur-angsur demi terbentuknya pemahaman anak didik,
3. Menggembirakan dan tidak menimbulkan rasa takut,
4. Menyamakan persepsi tentang kebenaran,
5. Mengembangkan perbedaan pendapat sebagai rahmat Tuhan,
6. Penelitian yang meyakinkan. Penelitian ini merupakan salah satu alat pendidikan Islam yang sangat penting.
Media pendidikan/alat pendidikan yang bersifat non materi memiliki sifat yang abstrak dan hanya dapat diwujudkan melalui perbuatan dan tingkah laku seorang pendidik terhadap anak didiknya. Diantar media dan sumber belajar yang termasuk kedalam katagori ini adalah : keteladanan, perintah, tingkah laku, ganjaran dan hukuman.
C. Teknologi Informasi sebagai Alat dan Media dalam Pendidikan Islam
Kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, semakin berkembangnya sosial dan budaya tidak mudah hanya diikuti oleh ilmu pendidikan yang tradisional. Secara dinamis ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berubah mengikuti perkembangan zamannya.
Pengaruh dari perkembangan teknologi ini, masyarakatpun menjadi semakin dinamis dan ilmu berkembang semakin luas. Berkaitan dengan pendidikan perlu adanya keserasian dalam sistem kependidikan guna menghadapi tugas-tugas yang semakin komplek. Dalam hal ini dinyatakan bahwa seorang guru bukan satu-satunya yang dijadikan sumber belajar, karena di luar itu masih banyak sumber belajar yang lain yang dapat diakses sendiri oleh siswa, seperti koran, majalah, radio, televisi, dan internet.
Teknologi komunikasi yang di dalamnya mencakup teknologi informasi memegang peran yang penting dalam pendidikan saat ini. Pendidikan yang melibatkan manusia sebagai makhluk sosial, tidak bisa lepas dari fungsi pendidikan tersebut yakni interaksi melalui komunikasi antar sesamanya. Oleh karena itu pendidikan tidak akan berjalan tanpa adanya suatu komunikasi. Komunikasi tidak bisa berfungsi secara efektif jika tidak memiliki kecakapan dalam menyampaikan informasi agar dapat diterima oleh komunikan.
Di era globalisasi ini, teknologi komunikasi berkembang dengan pesat. Hal ini memungkinkan untuk bisa lebih mudah mengakses informasi dari seluruh penjuru dunia. Dengan perkembangan teknologi informasi pada masa kini, justru merupakan hal yang berperan penting dalam membantu proses pendidikian Islam khususnya. Dengan demikian adanya teknologi informasi dalam pendidikan Islam dapat menjadi pelengkap, sehingga proses pembelajaran tidak hanya disampaikan secara verbal saja. Misalnya pembelajaran materi tentang sholat fardhu, guru dapat menyampaikan materi dengan cara demonstrasikan melalui video sholat, film tentang sholat fardhu dan gerakan sholatnya. Dengan cara demikian materi akan lebih mengena pada diri anak, sebagai kelanjutannya perlu adanya praktek langsung dengan siswa. Bahkan materi sulit sekalipun seperti haji, merawat jenazah dan materi lain yang berkaitan dengan pendidikan Islam dapat dimudahkan dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Munculnya teknologi informasi, sangat banyak pengaruh positifnya karena segala informasi, baik ilmu pengetahuan, berita dan segala ilmu lainnya bisa kita akses secara langsung dan cepat serta informasi tersebut dapat dikirim ke seluruh penjuru dunia dalam hitungan detik saja. Hal ini merupakan peluang besar dan tantangan dalam pendidikan Islam khususnya. Peluang yang terlihat adalah besarnya kemungkinan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam ke seluruh pelosok dunia dengan menggunakan biaya minimal namun hasilnya bisa maksimal. Sebagai contoh internet akan menjadi alat penyebaran bagi perangkat teknologi informasi. Lembaga-lembaga pendidikan Islam dapat mendesain program-program e-learning, seperti pengajaran Al-Qur’an, ceramah-ceramah ulama, kajian-kajian agama Islam, materi pendidikan Islam, dapat di download dengan mudah oleh siapa saja dari seluruh negara. Sedangkan, tantangan yang akan muncul dari perkembangan teknologi informasi adalah persoalan nilai dan informasi itu sendiri. Maksudnya penyampaian berita-berita ataupun informasi yang bersifat mendistorsikan ajaran Islam, menjerumuskan umat melalui informasi yang salah atau informasi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat ditegaskan bahwa teknologi informasi dapat menjadi media pembelajaran yang efektif, berperan signifikan dalam menyampaikan pengajaran pendidikan Islam ke seluruh penjuru dunia dalam upaya menghadapi “perang pemikiran” yang semakin meluas dari setiap lini kehidupan. 
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam pencapaian proses pendidikan Islam alat/media sangat berperan penting sebagai pelengkap dalam pelaksanaannya. Karena proses pengajaran dengan memanfaatkan alat/media pendidikan dirasa lebih memiliki daya tarik terhadap peserta didik dan mempermudah dalam menyerap materi pelajaran. Selain itu dapat memberikan situasi yang kondusif dan menimbulkan suasana belajar yang bervariasi sesuai pada alat/media yang digunakan yang menyesuaikan materi pelajaran.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, dapat mengakses segala informasi atau ilmu pengetahuan seantero jagad. Demikianpun ilmu tentang pendidikan Islam. Hal ini dapat dijadikan sebagai peluang bagi para pendidik untuk membantu dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam. Karena dengan hadirnya teknologi informasi memudahkan dalam proses pelaksanaan tugas-tugasnya yang semakin kompleks, dan lebih menguntungkan dalam pelaksanaan pembelajarannya. Pendidik dapat dengan mudah mengakses materi-materi yang berkaitan dengan pendidikan Islam dengan cara men-dwonload sebagai referensi selain dari buku dalam penyampaian pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA

Sudjana, Nana., dan Rivai, Ahmad. 2007. Media Pengajaran. Bandung : Sinar Baru Algensindo Offset.
Basri, Hasan., dan Ahmad Saebani, Beni. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Syukur, Fatah. 2004. Teknologi Pendidikan. Semarang : Rasail.
http://hmguwalor.guru-indonesia.net

GANGGUAN BERBAHASA

June 22, 2013
GANGGUAN BERBAHASA

Proses berbahasa dimulai dengan enkode semantik, enkode gramatika dan enkcode fonologi. Enkode semantika dan enkode gramatika berlangsung dalma otak, sedangkan enkode bicara yang melibatkan sistem saraf otak (neuromiskuler) berbicara dari otot tenggorokan, otot lidah, otot bibir, mulut, langit-langit, rongga hidung pita suara, dan paru-paru. Karena itu, dapat dikatakan bahwa berbahasa adalah proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (Dari otak) secara lisan, dalam bentuk kata-kata atau kalimat-kalimat.
Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktif maupun reseptif.
Secara medis menurut Sidharta (1984) gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu
1. Gangguan Berbicara
Gangguan berbicara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama, gangguan mekanisme berbicara yang berimplikasi pada gangguan organik; dan kedua, gangguan berbicara psikogenik.
a. Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan, dan paru-paru. Maka gangguan berbicara berdasarkan mekanismenya ini dapat dirinci menjadi gangguan berbicara akibat kelainan pada paru-paru (pulmonal), pada pita suara (laringal), pada lidah (lingual), dan pada rongga mulut dan kerongkonan (resonantal).
1. Ganguan Akibat Faktor Pulmonal
Gangguan berbicara ini dialami oleh para penderita penyakit paru-paru.

2. Gangguan Akibat Faktor Laringal
Gangguan pada pita suara menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi serak atau hilang sama sekali.
3. Gangguan Akibat Faktor Lingual
Lidah yang sariawan atau terbuka akan terasa pedih kalau digerakkan. Untuk mencegah timbulnya rasa pedih ini ketika berbicara maka gerak aktivitas lidah itu dikurangi secara semaunya. Dalam keadaan seperti ini maka pengucapan sejumlah fonem menjadi tidak sempurna.
4. Gangguan Akibat Faktor Resonansi
Gangguan akibat faktor resonansi ini menyebabkan suara yang dihasilkan menjadi bersengau. Pada orang sumbing, misalnya suaranya menjadi bersengau (bindeng), karena rongga mulut dan rongga hidung yang digunakan untuk berkomunikasi melalui defek di langit-langit keras (palatum), sehingga resonansi yang seharusnya menjadi terganggu.

b. Gangguan Akibat Multifaktorial
Akibat gangguan multifaktorial atau berbagai faktor bisa menyebabkan terjadinya berbagai gangguan berbicara. Antara lain adalah berikut ini.
1. Berbicara Serampangan
Berbicara serampangan atau sembrono adalah berbicara dengan cepat sekali, dengan artikulasi yang rusak, ditambah dengan “menelan” sejumlah suku kata, sehingga apa yang diucapkan sukar dipahami. Berbicara serampangan ini karena kerusakan di serebelum atau bisa juga terjadi sehabis terkena kelumpuhan ringan sebelah badan
2. Berbicara Propulsif
Gangguan berbicara propulsif biasanya terdapat pada para penderita penyakit parkinson (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, dan lemah). Pada waktu berbicara ciri khas ini akan tampak pula. Artikulasi sangat terganggu karena elastisitas oto lidah. Otot wajah, dan pita suara, sebagian besar lenyap. Dalam pada itu volume suaranya kecil, iramanya datar (menonton). Suaranya mla-mula tersendat-sendat, kemudian terus-menerus, dan akhirnya tersendat-sendat kembali. Oleh karena itu, cara berbicara seperti ini disebut propulsif.
3. Berbicara Mutis (Mutisme)
Penderitaan gangguan mutisme ini tidak berbicara sama sekali. Sebagian dari mereka mungkin masih dapat dianggap membisu, yakni memang sengaja tidak mau berbicara. Mutisme ini sebenarnya bukan hanya tidak dapat berkomunikasi secara verbal saja, tetapi juga tidak dapat berkomunikasi secara visual maupun isyarat, seperti dengan gerak-gerik, dan sebagainya.
Dunia ilmiah sebenarnya belum dapat menjelaskan dengan tepat apa mutisme itu. Oleh karna itu, tak heran kalau kita dapatkan berbagai teori dan anggapan dari berbagai pihak tentang mutisme itu. Oleh karna itu pula, setiap orang yg tidak dapat berkomunikasi verbaldinyatakan sebagai mitistik. Dengan begitu seseorang yang membisu sebagai tindakan protes nonverbal dapat dianggap menderita mutisme histerik, padahal sebenarnya merupakan sindrom konversi histerik. Perwujudan hysteria lain adalah mutisme elektif karna membisunya itu ditujukan kepada orang-orang tertentu saja,misalanya kepada gurunya atau pacarnya. Dewasa ini apa yang dulu di kenal sebagai mutisme akinetik lebih di kenal sebagai locked-in syndrome. Dalam hal ini, si penderita masih hidup karena jantung, paru-paru, ginjal,hati, dan hamper semua organ masih berfungsi.
Mutisme lain yang tidak dapat di sembuhkan di sebut mutisme idiopatik, yakni mutisme yang belum diketahui penyebabnya. Hanya baru diperkirakan mitisme ini mungkin suatu keadaan jiwa yang terganggu sejak dilahirkan ( Sidharta,1982).
Mutisme tidak bisa di samakan dengan orang bisu, apalagi dengan bisu – tuli. Dalam hal kebisuan ini sebenarnya perlu dibedakan adanya tiga macam penderita. Pertama, orang yang bisu karena kerusakan atau kelainan alat artikulasi, sehingga dia tidak bias memproduksi ujaran bahasa ; tetapi alat pendengaranya normal sehingga dia dapat mendengar suara - bahasa orang lain. Kedua, orang yang bisu karena kerusakan, atau kelainan alat pendengarnya, sehingga dia tidak bisa memproduksi ujaran- bahasa dan juga tidak bisa mendengar. Orang golongan ketiga ini menjadi bisu karena dia tidak pernah mendengar ujaran-bahasa orang lai,sehingga dia tidak pernah mendengar ujaran – bahasa itu.
c. Gangguan Psikogenik
Gangguan berbicara psikogenik ini sebenarnya tidak bisa disebut sebagai suatu gangguan berbicara. Mungkin lebih tepat disebut sebagai variasi cara berbicara yang normal, tetapi yang merupakan ungkapan dari gangguan di bidang mental. Modalitas mental yang terungkap oleh cara berbicara sebagian besar ditentukan oleh nada, intonasi, dan intensitas suara, lafal dan pilihan kata. Ujaran yang berirama lancar atau tersendat-sendat dapat juga mencerminkan sikap mental si pembicaraan.
1. Berbicara Manja
Disebut berbicara manja karena ada kesan anak (orang) yang melakukannya meminta perhatian untuk dimanja. Umpanya, kanak-kanak yang baru terjatuh, terluka, atau mendapat kecelakaan, terdengar adanya perubahan pada cara berbicaranya. Fonem atau bunyi [s] dilafalkan sebagai bunyi [c] sehingga kalimat “saya sakit, jadi tidak suka makan, sudah saja, ya” akan diucapkan menjadi “caya cakit, jadi tidak cuka makan, udah caja ya”. Dengan berbicara demikian dia mengungkapkan keinginannya untuk dimanja. Gejala seperti ini kita dapati juga pada orang tua pikun atau jompo (biasanya wanita).
2. Berbicara Kemayu
Berbicara kemayu ( istilah dari Sidharta, 1989) berkaitan dengan perangai kewanitaan yang berlebihan. Jika seorang pria bersifat atau bertingkah laku kemayujelas sekali gambaran yang dimaksudkan oleh istilah tersebut. Berbicara kemayu dicirikan oleh gerak bibir dan lidah yang menarik perhatian dan lafal yang dilakukan secara ekstra menonjol atau ekstra lemah gemulai dan ekstra memanjang (inggris; lisp; belanda; lispelen). Meskipun seperti inibukan suatu gangguan ekspresi bahasa, tetapi dapat dipandang sebagai sindrom fonologik yang mengungkapkan gangguan identitas kelamin terutama jika yang dilanda adalah kaum pria.

3. Berbicara Gagap
Gagap adalah berbicara yang kacau karena sering tersendat-sendat, mendadak berhenti, lalu mengulang-ulang suku kata pertama, kata berikutnya dan setelah berhasil mengucapkan kata-kata itu kalimat dapat diselesaikan.
Adapun yang menyebabkan terjadinya gagap ini belum diketahui secara tuntas. Namun, hal-hal berikut dianggap mempunyai peranan dalam menyebabkan terjadinya kegagapan itu.
1. Faktor-faktor “stres” dalam kehidupan berkeluarga
2. Adanya kerusakan pada belahan otak (hemisfer) yang dominan
3. Faktorneurotik famial
dulu ada anggapan bahwa gagap terjadi karena adanya pemaksaan untuk menggunakan tangan kanan pada anak-anak yang kidal. Namun, kini anggapan tersebut tidak dapat dipertahankan menurut sidharta (1989) kegagapan adalah disfasia yang ringan. Kegagapan ini lebih sering terjadi pada kaum laki-laki dari pada kaum perempuan, dan lebih banyak pada golongan remaja dari pada golongan dewasa ( chauchard, 1983).

4. Berbicara latah
Latah sering disamakan dengan ekolalla, yaitu perbuatan membeo atau menirukan apa yang dikatakan orang lain; tetapi sebenarnya latah adalah suatu sindrom yang terdiri atas curah verbal repetitif yang bersifat jorok (koprolalla) dan gangguanlokomotorik yang dapat dipaning. Koprolalla pada latah ini berorientasi pada alat kelamin laki-laki. Awal mula timbulnya latah ini, menurut mereka yang terserang latah, adalah setelah bermimpi melihat banyak sekali penis lelaki sebesar dan sepanjang belut.

2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Bagaimana kemampuan berbahasa dikuasai manusia, berkaitan erat dan sejalan dengan perkembangan manusia yang baru lahir itu. Kanak-kanak yang lahir dengan alat-alat arti kulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata dengan telinga nya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Pada mulanya ucapan tiruannya itu cuman mirip, tetapi lambat laun akan menjadi tegas dan jelas. Dalam perkembangan itu kata-kata akan menjadi perkataan yang merupakan abstraksi atau kata-kata yang mengandung makna. Umpamanya, kata ayam menjadi simbol dari binatang diasosiasikan dengan jenis, kegunaan, kualitas dan sebagainya. Proses belajar berbicara dan mengerti bahasa adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi ferbal dan komprehensi auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf di otak yang disebut neuron.
Berbahasa, seperti sudah disebutkan diatas, berarti berkomunikasi dengan menggunakaan suatu bahasa. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca dan Wernicke harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia, dalam hal ini Broca sendiri menamai afemia.

Resume AL KHAASH

June 22, 2013
AL'AAM (UMUM DAN PETUNJUKNYA
Jika dalam nash syara' fierdapat lafal yang 'aam, dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka ia harus d,ipahami menurut keumumannya dan hukumnya ditetapkan unfbk semua satuan¬satuannya secara pasti. Jika terdapat dalil yang mengkhusu!ikan¬nya, maka waji dipahami menurut apa yang tersisa dari satuaYinya setelah dikhususkan dan hukumnya ditetapkan untuk satuan¬satuannya secara dugaan, bukan pasti. Lafal yang umum tidak boleh dikhusukan kecuali dengan dalil sebanding atau lebih tinggi dalam hal kepastian atau dugaannya.
Definisi al'aam
Al 'aam adalah yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup atau menghabiskan semua satuan-satuannya, yang sesuai dengan maknanya tanpa membatasi jumlah dari satuan¬satuan itu. Seperti lafal kullu 'aqd (setiap akad) yang terdapat dalam ucapan para. ahli fikih:

Untuk sahnya setiap akad disyaratkan adanya sifat keahlian-pada dua orang yang melakukan akad,
Adalah lafal yang al 'aam (umum) yang menunjukkan atas ter¬cakupnya segala sesuatu yang dapat dikatakan akad, dengan tanpa m.embatasi pada akad tertentu saja. Seperti lafal man alqaa dalam hadis yang berbunyi:

Barangsiapa yang melempar (meletakkan) pedangnya maka ia aman,
Adalah lafal yang umum yang menghabiskan setiap orang yang melempar pedangnya, tanpa membatasi pada satu atau bebe¬rapa orang tertentu.

Macam-macam al'aam.
Dari penelitianberhadap nash menunjukkan bahwa al 'aam terbagi menjadi tiga macam:
1.. Al'aam yang dinuksudkan adalah umum secara pasti. Yaitu, al 'aam yang disertai alasan yang dapat menghilangkan ke¬mungkinan takhshish, seperti al 'aam dalam firman Allah Swt.:


Dan tidokada sabc binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya. (QS. Huud: 6)
Dan firman Allah Swt.:

. .
Dan daripada air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (QS. al Anbiyaa: 30)
Pada nasing-masing ayat tersebut terdapat penetapan sunnah Allah yang beisifat umum yang tidak ditakhshish dan tidak diganti 1Vlaka al 'aam pada kedua ayat tersebut adalah pasti petunjuknya atas umum, tidak mungkin dlkehendaki makna khusus.
2 Al 'aam yang dimaksudkan adalah khusus secara pasti. Yaitu al 'aarn yang disertai alasan yang dapat menghilangkan kete¬tapannya atas malrna umum dan menjelaskan bahwa yang di¬maksud adalah sebagian satuannya, seperti firman Allah Swt.:

Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS Ali lmran: 97)
3. Al 'aam yang difakhshish. Yaitu al 'aam yang mutlah tidak diser¬tai dengan alasan yang meniadakan kemungkinan takhslii,sh, tidak pula alasan yang meniadakan pefunjukn a atas umuna.
Seperti kebanyakan nash yang mengandung LAN yang uanum, mutlak dari alasan bersifat lafal, akal,, atau adat yang dapat menentukan umum atau khusus. Lafal ini adalah unaum lathr¬nya, sampai ada dalil yang mengkhusqskannya. Seperxi dalam fuman Allah Swt. :

Wanita-wanita yang ditalak itu menahan diri...
Takhshish al'aam
Takhshish al 'aam menurut istilah ulama ahli ushul adalah rnen¬jelaskan bahwa yang dimaksud al'aam menurut syari' pada mula¬nya adalah sebagian satuannya, tidak seluruhnya. Atau menje¬
laskan bahwa hukum yang terkait dengan al 'aam pada awal penetapan hukum syara' adalah sebagian satuannya. Maka hadis Nabi Saw.:

Tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri yang kurang dari seperempat dinar,
Adalah mentakhshish al 'aam yang terdapat dalam firman Allah Swt.:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. al Maidah:38)


KAIDAH KE TUJUH:
AL KHAASH DAN PETUNJUKNYA.
Jika di dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ad a dalil yang mentakwil d an men ghendaki main a yang lain. Jika terdapat lafal yang mutlak, maka penetapak hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Jika berbentuk perintah maka harus diartikan wajib atas apa yang diperintahkan selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti wajib. Jika berbentuk larangan maka harus diartikan haram atas apa yang dilarang selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti haram.
a. Lafal khusus
Lafal khusus adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-lalki, atau beberapa satuan yang bermacam'matcam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum, golongan, jamaah, kelom¬pok, dan lafal lain yang menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.
Hukum lafal umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara' yang menunjukkan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetap¬
kan karena petunjuknya secara pasti, bukan dugaan. Jadi, hukum yang diambil dari firman Allah Swt.:

(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluda orang miskin


Bentuk Amar (perintah)
Jika lafal klntrius yang terdapat pada nash syara' itu berbentuk arintah atau bentuk berita yang bermakna perintah maka berarti ~wajiban, yakni menuntut sesuatu yang diperintahkan atau yang iberitakan secara tetap dan pasii. Firman Allah Swt.: Faqtha'uu aydiyahumaa (maka potonglah tangan keduanya...) berarti kewaji¬ban memotong tangan pencuri laki-laki clan perempuan. Firman Allah Swt.: walmuthallaqaatuyatarabbashna... (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu...) berarti kewajiban wanita yang ditalak untuk menunggu selama tiga kali quruu'. Karena pen¬dapat yang unggul menyatakan bahwa bentuk perintah dan benti tapapun yang berarti perintah secara bahasa dibuat untuk arta kewajiban. Adapun suatu lafal ketika dimutlakkan maka makriaraya menunjukkan arti hakiki sebagaimana lafal itu dibuat; ia tidak boleh dibelokkan dari arti hakiki kecuali dengan alasan tertentu.
A. Kalimat Umum Dan Khusus (‘Am Dan Khas)
1. Ciri-ciri Lafazh Umum
Kalimat umum atau ‘am, yaitu kalimat yang didgunakan untuk mencakup seluruh bagiannya, Hanafi mengartikan ‘am, sebagai lafazh yang digunakan untuk menunjukkan suatu makna yang dapat terwujud ada satuan-satuan yang banyak dengan jumlah yang tidak terbatas.
Kalimat-kalimat yang tergolong memiliki makna yang umum ada tujuh, yaitu sebagai berikut:
1) Isim istifham, yang digunakan untuk bertanya, seperti kata man, ma, dan ayyun. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 245 dengan kata man :


Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rejeki) dan kepada Nya-lah kamu dikembalikan.”
(QS. Albaqarah : 245)
Dalam surat Al-Mudatsir ayat 42 yang menggunakan kata ma:

Artinya:
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?”
QS. Al-Muddatstsir : 42)
Surat An-Naml ayat 38 yang menggunakan kata ayyun :

Artinya:
“Berkata Sulaiman, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” QS. AN-Naml:38)

2) Isim syarat: seperti digunakan kata man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja).
Contoh man dalam surat An-Nisa ayat 123 :

Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberikan pembalasan dengan kejahatan itu.”
(QS. An-Nisa: 123)
Contoh yang menggunakan kata ma dalam Al-Baqarah 272:

Artinya:
“dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al-Baqarah : 272)
Contoh ayyun dalam Surat Al-Isra’ayat 110:

Artinya:
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaa Al-Husna (nama-nama yang terbaik).”
(QS. Al-Isra’ : 110)

3) Lahazh kullun, jami’un ma’syar, kaffah (artinya seluruhnya), Masing-masing lafazh melingkupi bagian-bagiannya atau meliputi mudha ilaih dari lafazh-lafazh tersebut.
Misalnya dalam surat Ath-Thur ayat 21 yang menggunakan kata kullu:

Artinya :
“Semua manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

4) Isim mufrad yang dima’rifahkan oleh alif lam, misalnya dalam surat AL-ma’idah ayat 38:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
(QS. Al-Ma’idah : 38)

5) Jama’ yang dima’rifkan oleh alif lam atau dengan idhafah, misalnya dalam surat AL-Baqarah ayat 228:

Artinya:
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru.” (QS. Al-Baqarah : 228)
Contoh idhofah, pada kalimat umahatukum dalam surat AN-Nisa’ ayat 23 :

Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa : 23)

6) Isim nakirah dalam susuanan nafi (inkar), contoh dalam hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, yang menyebutkan:

Artinya:
“Orang tua tidak boleh diqishas karena anaknya.”
7) Isim maushul, seperti alladzina dalam surat An-Nur ayat 4:

Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur ayat 4).

2. Lafazh Umum karena Sebab yang Khusus
Lafazh yang umum dengan sebab yang khusus adalah memandang peristiwa atau kejadian yang khusus, tetapi memiliki maksud yang umum. Pemaknaan maksud yang umum bukan pada kejadiannya, melainkan pada kalimat yang digunakannya.
Salah satu contohnya bahwa terdapat ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dengan sebab nuzul tertentu, misalnya tentang keharaman minum arak atau khamar, sebab nuzulnya berkaitan dengan kebiasaan orang Jahiliah atau beberapa sahabat yang belum mampu menghentikan kebiasaanya, bahkan ada yang shalat sambil mabuk, sehingga turun ayat Al-Quran, : lataqrab ash- shalah wa antum sukara” (jangan kalian dekati shalat, sedangkan kalian sedang mabuk).

3. Menyebutkan Sebagian Isi Lafazh Umum Yang Sama Hukumnya
Ulama ushul menetapkan kadiah :

Artinya :
“Menyebutkan sebagian satuan kata yang umum yang sesuai hukumnya dengan lafazh yang umum tersebut, tidak berarti mengkhususkannya.”
Contohnya hadis riwayat Imam Muslim yang menyebutkan :

Artinya :
“Tiap-tiap kulit yang disamak mejadi suci”


Artinya :
“Menyamak (kulit kambing Maemunah) menjadikannya suci.”

Contoh diatas memberikan gambaran bahwa yang suci bukan hanya kulit kambing Maemunah yang sedang disamak, tetapi untuk semua kulit kambing, siapapun pemiliknya. Meskipun dalam kalimatnya disebutkan bahwa kulit kambing Maemunah suci, “tiap-tiap kulit kambing yang disamak, menjadi suci.”

B. KHAS, TAKHSIS, DAN MUKHASIS
Khas ialah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan satu materi tertentu, baik berupa benda mati atau benda bergerak, misalnya Zulkarnaen atau kata rajulun (seorang laki-laki).
Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya belum atau tidak disebutkan. Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan dari yang umum.
Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan melalui satu contoh sebagaimana tertuang dalam surat Al A’raf ayat 32 :

Artinya :
“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamab-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik? “katakanlah, semuanya itu (disediakan, bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja pada hari Kiamat, “Demikianlah, kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.
1. Pembagian Mukhassis
Mukhassis dibagi dua :
a. Mukhassis muttasil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi pengertiannya selalu berhubungan dengan dalil.
b. Mukhassis munfasil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri. Yang termasuk mukhassis muttasil, ialah :
1. istisna muttasil
2. Syarat,
3. Sifat
4. Ghayah
5. Badal ba’dhu min kull (sebagian sebagai pengganti keseluruhan).

Yang termasuk mukhassis munfasil, ialah :
a. Peraturan-peraturan syariat yang umum
b. ‘urf (adat kebiasaan)
c. Nash-nash hukum syara’, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas.


Perincian adalah :
a. Al-Quran di-takhsis-kan dengan Al-Quran
b. Hadis di-takhsis-kan dengan Al-Quran
c. Al-Quran di-takhsis-kan dengan Hadis
d. Hadis di-takhsis-kan dengan Hadis
e. Takhsis dengan qiyas dan
f. Takhsis dengan ijma’

2. Syarat-Syarat Sahnya Istisna
Menurut Hanafi, ada dua syarat sah istisna, yaitu :
a. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhu harus bertemu. Bentuk, berhenti sebentar, pertanyaan orang lain dan keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya istisna.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang menghabiskan adalah batal. Misalnya, “Aku yang punya sejuta, kecuali sejuta.”

3. Istisna dari Kalimat Ingkar dan Kalimat Positif
Istisna dari kalimat ingkar (nafi) menjadi positif. Contoh : tidak ada Tuhan, kecuali Allah. Tidak ada tuhan adalah kalimat ingkar, pengecualiannya (istisna) menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah.

4. Istisna sengan Wa’Athaf
Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad istisna sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, istisna itu kembali kepada semua jumlah.
Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istisna itu kembali pada jumlah yang terakhir. Menurut Imam Syaukani : kalau tidak ada halangan, baik dari lafazh itu sendiri maupun dari dalil-dalil lainnya, pengecualian (istisna) itu kembali kepada seluruh jumlah sebelumnya.
5. Syarat
Syarat dibagi dua :
a. Syarat tunggal, seperti jika telah wudhu, kamu bersih dari najis.
b. Syarat berbilang, yaitu suatu hal yang harus menyatu, jika kamu rajin belajar dan bekerja, kamu akan pintar. Jika kamu beriman dan beramal saleh, kamu akan masuk surga. Atau masing-masing dapat berdiri sendiri. Misalnya, kalau berwudhu dan mandi janabah harus memakai niat.

6. Sifat
Sifat disebut di belakang dengan satu lafazh atau beberapa lafazh.
Contoh dalam suart An-Nisa’ ayat 25 :

Artinya :
“Maka ia kawin denga hamba sahaya, yaitu perempuan yang beriman”.

Kata fatayat adalah kata umum yang dapat meliputi yang beriman atau yang tidak beriman. Dengan adanya sifat al-mukminat (beriman), hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk di dalamnya.
Adakalanya kata-kata itu saling berhubungan dan adakalanya tidak berhubungan. Jika berhubungan, sifat itu kembali kepada mausuf dan dalam keadaan tidak berhubungan, sifat itu kembali kepada kata yang terakhir.

7. Ghayah
Ghayah ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya (ghayah) dan tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Adapun mughayah ialah lafazh yang jatuh sesudah ghayah. Ghayah ada dua, yaitu hatta (sehingga) dan ila (sampai). Misalnya : “tidak ada dosa bagimu berbuat sesuatu, sehingga kamu mendurhakai.”
Kalimat sebelumnya kata sehingga, memberi pengertian, bahwa semua perbuatan tidak larang. Kata “Sehingga” men-takhsis-kan keumuman kalimat sebelumnya. Sebab, dengan adanya perhitungan ini, tidak berlaku hukum yang umum, yaitu tidak adanya dosa. Hal itu dapat diartikan “berdosa” jika melakukan perbuatan yang durhaka. Contoh lainnya, terdapat ayat : wama kunamu’adibina hatta nab’asa rasul. “Semua perbuatan tidak menyebabkan dosa, sehingga ada rasul yang menjelaskan status perbuatan yang segala perbuatan dan manusia dituntut memilih yang baik dengan meninggalkan yang buruk, setiap perbuatan atas balasannya.

8. Badal
Dalam ilmu nahwu badal (pengganti) yang bisa men-takhsis-kan hanya badal badhi minkullin. Contohnya dalam surat Ali ‘Imran ayat 97.

Artinya :
“Wajib atas manusia mengerjakan haji karena Allah, yaitu orang-orang yang mampu dijalannya.”

Kata an-nas adalah kull (semua manusia), artinya siapapun juga terkena kewajiban haji. Manistatha’a (yang kuasa) adalah sebagian (ba’dhu) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan lafazh an-nas. Dengan adanya pengganti ini, tidak setiap orang diwajibkan haji, tetapi hanya yang mampu.

9. Mukhassis Munfasil
Mukhassis Munfasil berkaitan dengan dasar hukum yang umum, artinya berbagai taklif yang tidak ada pengecualiannya, sebagaimana taklif berlakunya beban hukum untuk semua mukallaf. Dengan demikian, anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang tidur terkena taklif karena bukan mukallaf.
Berkaitan pula dengan ‘urf (kebiasaan), karena terkadang kebiasaan dapat men-takhsis-kan nash-nash yang umum.
10. Pelaksanaan Takhsis
Pelaksanaan takhsis ada beberapa macam, yaitu :
a. Takhsis Al-quran oleh Al-Quran
b. Takhsis Al-Quran oleh Hadis
c. Takhsis Hadis oleh Al-Quran
d. Takhsis Hadis oleh Hadis
e. Takhsis dengan ijma’, sebagaimana semua dipanggil untuk melaksanakan shalat jumat, dan ijma’ ulama menyatakan, kecuali perempuan.
f. Takhsis dengan qiyas, contoh: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, hendaklah didera masing-masing dengan seratus dera (Q.S. An-Nur : 2). Budak perempuan (amah) di-Takhsis, karena jika berzina dideranya hanya separuhnya, yaitu 50 kali dera, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 25 :
g. Takhsis dengan pendapat sahabat. Dalam masalah Takhsis dengan pendapat sahabat terjadinya ikhtilaf. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan, sebagaimana seorang pencuri yang harus dipotong tangannya, tetapi Umar bin Khaththab tidak melakukannya dengan berbagai alasan (pada masa musim paceklik, orang kaya yang dicuri menimbun harta, atau pencuri tersebut sedang kelaparan dan ingin mempertahankan hidupnya atau menyelamatkan keluarganya dari kematian karena kelaparan. Oleh karena itu, pencuri tersebut dikenai ta’zir.


KHASH
1. Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan defenisi khash. Namun, pada akhirnya defenisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Defenisi yang dapat dikemukakan disini, antara lain :

Artinya :
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan meninggal.”
Dan menurut Al-Bazdawi, defenisi khash adalah :

Artinya :
“Setiap lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang menyediri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”

2. Hukum Lafazh Khash
Apabila, lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makan yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faidah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT, yang berbunyi :

Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dialah makna-nya adalah qatiyah.

3. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dialalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sendiri jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan dan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan. “Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh khash itu sendiri. Seandainya lafazh khash itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima. (al-Bazdawi, 1308 1.9).
Golongan Syafi’iyah memandang bahwa lafazh khash itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafazh khash yang terdapat dalam Al-qur’an denagn hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Quran dan termasuk fardu dalam ruku’.
4. Macam-Macam Lafazh Khash
Lafazh khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
Dengan demikian, macam - macam lafazh khash mencakup : mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.).

‘AAM
1. Pengertian Lafazh ‘Amm
Lafazh ‘aam ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yangmencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqih memberikan defenisi ‘amm anatra lain sebagai berikut :
1. Menurut ulama Hanafiyah :

Artinya :
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”

2. Menurut ulama Syari’iyah, diantaranya Al-Ghazali :

Artinya :
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.”

3. Menurut Al-Bazdawi :

Artinya :
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata”.


2. Dilalah Lafazh ‘Amm
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qath’i, menurut Hanafiyah ialah :


Artinya :
“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”

Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan taksis sama sekali. Oleh karena itu, menetapkan ke-qathi-an lafazh ‘amm, pada mulanya tidak boleh di-taksis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhami.
Menurut Jumhur ulama, (Malikiyah, Syafi’iyyag, dan Hanabillah), diallah’amm adalah zhanni. Mmereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahri, yang mempunyai kemungkinan di-taksis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ’amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-taksis Al-Qur’an. Kecuali lafazh ‘amm Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘amm itu qath’i, seperti yang telah diuraikan dimuka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafazh ‘amm. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh karena itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu.
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takshis lafazh ‘amm Al-Qur’an. Ia kadang-kadang berpengang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-taksis lafazh ‘amm Al-Quran dengan khabar ahad.
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-taksis lafazh ‘amm Al-Quran ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan qiyas.
Diantara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip diatas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah tidak halal di makan, mereka berpegang pada ayat :

Artinya :
“Janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan)yang belum disebut bismillah terhadap binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa.
Menurut Hanafiyah, apabila lafaz ‘amm dan khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat men-taksis lafazh ‘amm. Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafaz khash disini sebagai penjelasan terhadap ‘amm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis.

Artinya:
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.”
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit atapun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘amm. Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu jadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham (Asy-Syaukani, III :3 ).

A. ‘Am dan Khas, Amr dan Nahi
1. ‘Am dan Khas
Menurut ahli ushul fiqh, nash-nash yang berkaitan dengan hukum, bila ditinjau dari segi cakupan maknanya dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas).
a. Lafal Umum
Al-miidi, seorang ulama mazhab Syafi’i, mendefenisikan lafal umu, sebagi berikut:

Suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlak.
Dari defenisi ini diketahui hakikat lafal umum, yaitu lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian (Afrad). Setiap lafal tunggal dapat dipakai untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaanya. Bila hukum berlaku pada satu lafal umum, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap satuan pengertian yang tercakup dalam lafal itu.

2. Pembagian lafal umum
Berdasarkan penelitian ulama terhadap al-nushus, lafal umum terbagi menjadi tiga bagian :
1. Lafal umum yang dimaksudkan secara pasti untuk umum. Lafal umum ini disertai indikasi yang menanfikan kemungkinan takhsis, seerti firman Allah, seperti firman Allah surat Hud, 11 : 6.


Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpangannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Ayat ini merupakan jaminan Allah terhadap semua makhluk untuk mendapat rezeki dalam ayat ini merupakan sunnatullah yang tidak dapat di takhsis dan diganti. Ayat ini merupakan qath’i al-dalalah untuk menunjukkan umum.

2. Lafal umum yang dimaksudkan secara qath’i untuk khushu dengan disertai indikasi yang menadikan lafal tersebut tetap umu. Misalnya, firman Allah surat Ali imran, 3 : 97 :

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Kata al-nas (manusia) dalam ayat ini adalah umum, tetapi yang dimaksudkan hanyalah orang-orang mukallaf. Secara logika, anak-anak dan orang gila keluar dari kewajiban melaksanakan ibadah haji tersebut.

3. Lafal umum yang terbebas dari indikasi yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupan. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah, 2 : 228.

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.

Lafal umum dalam ayat ini adalah kata al-mutallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan makna umumnya atau sebagian. Dalam kasus ini, Jumhur ulama berpendapat, sebagaimana dikutif Adib Saleh, berlaku kadiah ushul fiqh bahwa terbukti ada pentakhsishnya, ayat itu harus diteapkan kepada semua satuan cakupannya secara umum.

b. Lafal Khas
Lafal khas adalah suatu lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal. Menurut Abu Zahrah, para ulama sepakat memahami lafal khas menunjuka untuk pengertian khusus secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat qath’i selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Misalnya, firman Allah surat Al-Maidah, 5:89:

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
2. Amr dan Nahi
a. Amr (Perintah)
Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amr ialah suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukan kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah melakukan suatu perbuatan menurut Adib Saleh, di dalam al-nushsus disampaikan dengan berbagai redaksi berikut :
1. Melalui;afal amara dan sekakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan), speerti firman Allah suart al-Nisa, 4 : 58 :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

2. Menggunakan lafal kutiba (diwajibkan), seperti firman Allah sursh al-Baqarah, 2 : 183 :

Hai orang - orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa.

Contoh Makalah Fiqih Siyasah

June 13, 2013


BAB I
PENDAHULUAN
Pariode kedua dari masa perkembangan fiqh ini bermula sejak meninggalnya nabi Setelah nabi Muhammad Saw wafat,  pada tanggal 8 juni 632/11H dan berakhir ketika muawwiyah bin abi sopyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H[1] sahabat sebagai generasi islam pertama, meneruskan ajaran dan misi kerasulan. Berita meninggalnya Nabi Muhammad Saw merupakan peristiwa yang mengejutkan sahabat. Sebelum jenazah Nabi dikubur, sahabat telah berusaha memilih penggantinya sebagai pemimpin agama dan pemimpin negara. Abu Bakar adalah sahabat pertama yang dipilih sebagai pengganti Nabi, kemudian Abu Bakar diganti oleh Umar bin Khattab, umar bin kattab diganti oleh Usman bin Affan, dan Usman bin Affan diganti oleh Ali bin Abi Thalib[2].
Disini kami akan menjelaskan mengenai peradilan terhadap perkembangan hukum Islam pada masa para sahabat. Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'.
Pariode ini dikenal sebagai pariode sahabat yang dikan dengan Abu rasyidun.[3]Urutannya sebagai berikut : Abu bakar  adalah khalifah yang pertama yang terpilih menjadi pengganti nabi SAW, Abu bakar yang diganti oleh umar ibn Al-Khaththab,dan diganti oleh usman ibn affan dan digantikan oleh ‘Ali ibn Abi thalib .Empat pemimpin diatas dikenal sebagai Al-Khukafah Ar-Rasyidun(pemimpin yang diridhai.[4]Pada masa ini islam mulai melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji panji islam dalam menjalankan misinya ke berbagai daerah disekitar jazirah Arab,seperti Iran ,siria,mesir dan diaderah afrika utara dan belahan dunia lainnya.[5]

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Perkembangan Ketatanegaraan Islam Masa Rasulullah SAW
Ø  Kondisi sosial Budaya Bangsa Arab Sebelum Islam.
Secara geografis ,Negar Arab di gambarkan seperti empat persegi panjang bujur sangkar yang berakhir di asia selatan. Negara arab di kelilingi dari berbagai Negara ,sebelah utara di oleh syiriah ,sebelah timur oleh Nejd ,sebelah selatan oleh yaman ,dan sebelah barat oleh laut erit. [6] Philips K. Hitty juga mendiskrifsikan luas negar arab adalah seperempat Negara Negara eropa dan sepertiga negar Amerika serikat . Negara arab berada di semenanjung Asia bagian barat daya. Luasnya sepenanjung Arab adalah yang palig besar di dunia adalah 1.027.000 m2 mil. [7]
Ø  Implikasi Adat Bangsa Arab Sebagai Sumber Hukum
            Adat sebagai sumber hukum bangsa arab,terlihatdari system kesukuan yang digunakan oleh bangsa arab sebelum islam. Sistem kesukuan ini didasarkan pada pendapat-pendapat anggota suku atau marga dalm komunitas tertentu. Pendapat atau perilaku komunitas tersebut ,pada akhirnya menjadi sebuah tradisi yang baku pada setiap suku ataupun ras,yang kemudian dilakukan kembali kepada anggota atau suku tersebut.Depinisi adat disini berada dlam definisi adat yang di akui dalam islam. Hal itu terbukti ,dalam analisa Asaf A. A Fyzee[8], berbagai pola atau system ,seperti perkawinan,ekonomi,social digunakan dalam menjalankan system kesukuan tersebut.
Ø  Ijtihad Nabi Muhammad SAW
            Secara esensi kedatangan nabi pada masyarakat arab menyebabkan terjadinya kristalisasi pengalaman baru dalam dimensi ketuhanan yang mempenagruhi segala aspek kehidupan masyarakat ,termasuk hukum yang digunakan pada masa itu[9].Keberhasilan nabi dalam memenangkan kepercayaan abngsa arab pada waktu itu disebabkan kemampuannya dalam memodifikasi jalan hidup orang-orang Arab, sebagian nilai dan budaya Arab pra-islam ,untuk beberapa hal di ubah dan diteruskan oleh masyarakat Muhammad kedalam tatanan moral islam[10]. Secara geologis ia merupakan keturunan suku quraisy ,suku yang terkuat dan berpengaruh di arab. 
Ø  Kondisi Hukum Islam pada Masa Nabi Muhammad SAW.
            Pertumbuhan fiqh pada saat ini tidak terhindarkan dari peran Nabi Muhammad SAW . ,baik sebagai pemimpin keagamaan maupun pemimpin meliter[11]. Pariode pertumbuhan fiqh atau pariode Nabi adalah: masa ketika fiqh mulai tumbih dan membentuk dirinya menjelma ke dalam perwujudan. Sumber asasi yang ada dalam pariode ini adalah AL-Qur’an dan Sunna Rasul. Pada masa nabi terbagi menjadi dua Pariode, Mekkah dan Madinah. Pariode mekkah[12] berlangsung selama 12 tahun dan beberapa bulan semenjak wahyu pertama dan hingga nabi berhijrah ke dalam pariode ini ,nabi telah mencurahkan perhatiannya untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat arab dengan menanamkan aqidah[13](tauhid) kedalam jiwa mereka serta memalingkannya dalam memperhamba diri selain Allah[14]. Pariode madinah[15] berlansung selam 10 tahun ,sejak nabi hijra sampai beliau wafat pada tahun 11 H.
Dalam pariode ini umat islam berkembang dengan pesat ,pengikutnya terus menerus bertambah .Kemudian di buat peraturan karean masyrakat membutuhkannya untuk mengatur hubungan masyarakat yang lain ,baik dalm keadaan damai maupun perang.[16]Analisis G.E Von Grunebaum[17]menjelaskan bahwa diakhir tahun masa nabi ,baik diparide mekka maupun madinah ,beberapa hukum keluarga yang dibentuk diantarnya:Pembatasan poligami,pengaturan kewarisan dan pembentukan adat yang religious.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada Pariode Nabi Muhammad SAW,keadaan fiqh memang masi sederhana , berupa pengenalan terhadap hukum hukum islam dalam ruang dan waktu tertentu, paling tidak ada tiga aspek yang bisa ditarik dari proses pengembangan syariat pada pariode nabi, baik di Mekkah maupun Madinah sebagai berikut.
1.      Metode Nabi SAW, dalam menerapkan Hukum, Banyak hal syari’at islam secara global, terutama pada pariode Mekkah. Nabi pun tidak banyak menerangkan perbuatanya itu wajib atau sunnah ,sebagai mana syarat dan rukunya. Ketika Nabi SAW Sholat para shabat melihat nabi dan menirunya tampa meniru nya dan menanyakan dalam tata cara
2.      Sebagian disyariatkan, sebagian tidak. Ada hukum yang disyariatkan untuk persoalan yang diahadapi masyarakat ataupun para sahabat.
3.      Turunya syariat secara bertahap , Pertama tahapan dalam menerapkan kesatuan hukum islam seperti,sholat disyariatkan pada malam isra’mi’raj, Kedua, tahapan berlanjut ,misalnya sholat pada awalnya diwajibkan dua rakaat . Setelah hijrah kemadinah , Shalat diwajibkan empat rakaat ,terutama penahapan pengharaman khomar[18].
Dalam hal ini strategi yang di lakukan oleh Rasulullah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
v  Membangun Masjid
Setibanya di kota Madinah,tugas pertama yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.adalah mendirikan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap system, akidah dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas masjid. Kaum muslim akan sering bertemu dan berkomunikasi sehingga tali ukhuwwah dan mahabah semakin terjalin kuat dan kokoh.
v  Merehabilitas Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan masjid tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah ke Madinah). Kaum muslimin yang melakukun hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga baik yang sudah tiba di Madinah maupun yang masih dalam perjalanan dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan di kota Madinah.
Ø  Membangun Konstitusi Negara
Setelah mendirikan masjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar tugas berikutnya yang di lakukan Rasulullah Saw adalah menyusun konstitusi negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga Negara baik Muslim maupun non-Muslim, serta pertahanan dan keamanan negara.
v  Meletakan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan berbagai upaya stabilitas di bidang sosial, politik serta pertahanaan dan keamanan negara, Rasulallah meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Al Qur’an,seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di hapus dan di gantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qurani, yakni persaudaran, persamaan, kebebasan dan keadilan.
v  Sistem Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi.Oleh karena itu,peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu, sehingga Islam sebagai sebuah agama dan negara dapat berkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
v  Sistem Keuangan Dan Pajak
Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat sebagai rasul dalam masyarakat jahilyah sudah terdapat lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu yang disebut Darun Nadriah. Di dalamnya para tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan etika dilantik sebagai rasul mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu yaitu darul arqam.
B.   Masa Khulafah Rasyidun
1.      Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq ra
Pariode dari masa perkembangan fiqh ini bermula sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW.pada tanggal 8 juni 632/11 dan berakhir ketika Muawwiyah bin abi sopyan menjabat sebagai kahalifah pada tahun 41 H (680) M. Meninggalnya nabi merupakan peristiwa yang tidak diharapakan di kota madinah dan tentu saja mengejutkan para sahabat . Tiga puluh tahun pasca nabi Muhammad SAW.  Persoalan umat muslim pada pariode ini di tangani oleh para sahabat[19].
 Adapun sistem politik Islam pada masa Abu Bakar bersifat “sentral”, jadi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah, Abu Bakar selalu mengajak para sahabat untuk bermusyawarah[20]. Sedang kebijaksanaan politik yang diilakukan Abu Bakar dalam mengemban kekhalifahannya yaitu:
1. Mengirim pasukan dibawah pimpinan Usamah bin Zaid, untuk memerangi kaum Romawi sebagai realisasi dari rencana Rasulullah, ketika beliau masih hidup. Sebenarnya dikalangan sahabat termasuk Umar bin Khatab banyak yang tidak setuju dengan kebijaksanaan Khalifah ini. Alasan mereka, karena dalam negeri sendiri pada saat itu timbul gejala kemunafikan dan kemurtadan yang merambah untuk menghancurkan Islam dari dalam.
2. Timbulnya kemunafikan dan kemurtadan. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat, maka segala perjanjian dengan Nabi menjadi terputus. Adapun orang murtad pada waktu itu ada dua yaitu :
b. Mereka membedakan antara sholat dan zakat, tidak mau mengakui kewajiban zakat dan mengeluarkannya.
3. Mengembangkan wilayah Islam keluar Arab. Ini ditujukan ke Syiria dan Persia. Untuk perluasan Islam ke Syiria yang dikuasai Romawi (Kaisar Heraklius), Abu Bakar menugaskan 4 panglima perang yaitu Yazid bin Abu Sufyan ditempatkan di Damaskus, Abu Ubaidah di Homs, Amir bin Ash di Palestina dan Surahbil bin Hasanah di Yordan.
Adapun kebijakan di bidang pemerintahan yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah:
1. Pemerintahan Berdasarkan Musyawarah
Apabila terjadi suatu perkara, Abu Bakar selalu mencari hukumnya dalam kitab Allah. Jika beliau tidak memperolehnya maka beliau mempelajari bagaimana Rasul bertindak dalam suatu perkara. Dan jika tidak ditemukannya apa yang dicari, beliaupun mengumpulkan tokoh-tokoh yang terbaik dan mengajak mereka bermusyawarah.
2. Amanat Baitul Mal
Para sahabat Nabi beranggapan bahwa Baitul Mal adalah amanat Allah dan masyarakat kaum muslimin. Karena itu mereka tidak mengizinkan pemasukan sesuatu kedalamnya dan pengeluaran sesuatu darinya yang berlawanan dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari’at. Mereka mengharamkan tindakan penguasa yang menggunakan Baitul Mal untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi.

3. Konsep Pemerintahan
Politik dalam pemerintahan Abu Bakar telah beliau jelaskan sendiri kepada rakyat banyak dalam sebuah pidatonya : “Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantara kamu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, maka bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah ! orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan hak kepadanya.
4. Kekuasaan Undang-undang
Abu Bakar tidak pernah menempatkan diri beliau diatas undang-undang. Beliau juga tidak pernah memberi sanak kerabatnya suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari undang-undang. Dan mereka itu dihadapan undang-undang adalah sama seperti rakyat yang lain, baik kaum Muslim maupun non Muslim.
2.      Masa Umar bin Khatthab ra
Dalam masa pemerintahannya, Umar telah membentuk lembaga-lembaga yang disebut juga dengan ahlul hall wal aqdi, di antaranya adalah:
1. Majelis Syura (Diwan Penasihat), ada tiga bentuk :
a. Dewan Penasihat Tinggi, yang terdiri dari para pemuka sahabat yang terkenal, antara lain Ali, Utsman, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabbal, Ubay bin Kaab, Zaid bin Tsabit, Tolhah dan Zubair.
b. Dewan Penasihat Umum, terdiri dari banyak sahabat (Anshar dan Muhajirin) dan pemuka berbagai suku, bertugas membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umum.
c. Dewan antara Penasihat Tinggi dan Umum. Beranggotakan para sahabat (Anshar dan Muhajirin) yang dipilih, hanya membahas masalah-masalah khusus.
2. Al-Katib (Sekretaris Negara), di antaranya adalah Abdullah bin Arqam.
3. Nidzamul Maly (Departemen Keuangan) mengatur masalah keuangan dengan pemasukan dari pajak bumi, ghanimah, jizyah, fai’ dan lain-lain.
4. Nidzamul Idary (Departemen Administrasi), bertujuan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat, di antaranya adalah diwanul jund yang bertugas menggaji pasukan perang dan pegawai pemerintahan.
5. Departemen Kepolisian dan Penjaga yang bertugas memelihara keamanan dalam negara.
v  Pengembangan Islam Sebagai Kekuatan Politik
Periode kekhalifahan Umar tidak diragukan lagi merupakan “abad emas” Islam dalam segala zaman. Khalifah Umar bin Khattab mengikuti langkah-langkah Rasulullah dengan segenap kemampuannya, terutama pengembangan Islam. Ia bukan sekedar seorang pemimpin biasa, tetapi seorang pemimpin pemerintahan yang professional. Ia adalah pendiri sesungguhnya dari sistem politik Islam. Ia melaksanakan hukum-hukum Ilahiyah (syariat) sebagai code (kitab undang-undang) suatu masyarakat Islam yang baru dibentuk. Maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa beliaulah pendiri daulah islamiyah (tanpa mengabaikan jasa-jasa Khalifah sebelumnya).
Khalifah Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, beliau juga memperbaiki dan mengadakan perbaikan terhadap peraturan-peraturan yang perlu direvisi dan dirubah. Umpamanya aturan yang telah berjalan tentang sistem pertanahan, bahwa kaum muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang. Umar mengubah peraturan ini, tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi bertalian dengan ini diadakan pajak tanah (al-kharaj). Di samping itu, Umar juga mengadakan “dinas malam” yang nantinya mengilhami dibentuknya as-syurthah pada masa kekhalifahan Ali. Disamping itu Nidzamul Qadhi (departemen kehakiman) telah dibentuk, dengan hakim yang sangat terkenal yaitu Ali bin Abu Thalib.
Mengenai ilmu keislaman pada saat itu berkembang dengan pesat. Para ulama menyebarkan ke kota-kota yang berbeda, baik untuk mencari ilmu maupun mengajarkannya kepada muslimin yang lainnya. Hal ini sangat berbeda dengan sebelum Islam datang, dimana penduduk Arab, terutama Badui, merupakan masyarakat yang terbelakang dalam masalah ilmu pengetahuan. Buta huruf dan buta ilmu adalah sebuah fenomena yang biasa.
v  Ahli-ahli kebudayaan membagi ilmu Islam menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Al ulumul islamiyah atau al adabul islamiyah atau al ulumun naqliyah atau al ulumus syariat yang meliputi ilmu-ilmu Quran, hadis, kebahasaan (lughat), fikih, dan sejarah (tarikh).
2. Al adabul arabiyah atau al adabul jahiliyah yang meliputi syair dan khitabah (retorika) yang sebelumnya memang telah ada, tapi mengalami kemajuan pesat pada masa permulaan Islam.
3. Al ulumul aqliyah yang meliputi psikologi, kedokteran, tehnik, falak, dan filsafat.Pada saat itu, para ulama berlomba-lomba menyusun berbagai ilmu pengetahuan karena:Mereka mengalami kesulitan memahami Al Qur’an, Sering terjadi perkosaan terhadap hukum, Dibutuhkan dalam, istimbath (pengambilan) hukum dan Kesukaran dalam membaca Al Qur’an.
3.      Masa Utsman bin Affan ra
Pendapatnya bahwa istri yang di cerai ole suaminya yang sedang sakit, Kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit tersebut ,mendapatkan harta pusaka ,baik ia istri dalam  waktu tunggu maupun tidak. Sementara pendapat lain bahwa perempuan tersebut mendapatkan harta pusaka apabila suaminya meninggal dalam waktu tunggu :Tetapi apabila suaminya meninggal setelah waktu tunggu istri tersebut tidak mendapatkan harta pusaka ,Selain itu Utsman Bin affan membuat mushaf AL-Qur’an yang dikenal sebagai mushaf utsmani.Dan ma utsman ini mendirikan beberapa bangunan buat pertahanan diantaranya:
Ø    Pembangunan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Ustman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang memadai. Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut.
Selain itu Usman ibn Affan membuat mshaf Al-Qur’an yang di kenal dengan msuhaf utsmany ,maka pada masa khalifah abdul malik bin marwan Al-Qur’an diberi tanda sakal dan titk atas jasa Abu Aswad Adauly[21]. dan hadist di kodifikasi pada masa khalifah umar bin Abdul Aziz[22]. Khalifah ini termasyur karena ketakwaannya dalam menjalankan pemerintahannya, Para ahli sejarah menyejajarkan dengan pemerintah ortodoks Abu bakar dan umar[23].
4.      Masa Ali bin Abi Thalib ra
Setelah Ali dibaiat menjadi Khalifah, ia mengeluarkan dua kebijaksanaan politik yang sangat radikal yaitu:
1. Memecat kepala daerah angkatan Ustman dan menggantikan dengan gubenur baru.
2. Mengambil kembali tanah yang dibagi–bagikan Ustman kepada famili–familinya dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang sah.
diantara pendapat Ali Bin Abi thalib berpendapat bahwa: Pertama: dalam al-qur’an terdapat larangan minuman khamar yang keharamannya ditetapkan secara beransur-ansur [24]. Kedua: Seorang menikah dengan seorang perempuan kemudian ia akan melakukan perjalanan tampa membawa istrinya . Menanggapi kebijakan yang dilakukan okleh Ali tersebut, ada yang berpendapat bahwa kebijaksanaan Ali itu terlalu radikal dan kurang persuasive, sehingga menimbulkan perlawanan politik dari gubenur khususnya gubenur Syiria (Bani Ummayyah) yang tidak mau tunduk pada Khalifah Ali, terbukti ia menolak kehadiran gubenur yang baru diangkat Ali.



KESIMPULAN
Dari beberapa khalifah di atas yang kami uraiakan disini kami dapat menyimpulkan bahwa, Ketika para khalifah dihadapkan suatu perkara kepada mereka dan disuruh memberikan fatwa hukum, maka para khalifah mencari ketentuan hukumnya dalam Kitaballah, bila tidak menemukan ketentuan hukum dalam al-Qur'an maka mereka mencarinya dalam sunnah Nabi dan Ijma'. Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib. Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga. sistem pemerintahan dan ketatanegaraan dalam Islam bukanlah teokrasi, bukan pula aristokrasi. Dalam Islam segala urusan harus diselesaikan, dan penyelesaiannya adalah dengan cara yang bijak dan disebut sebagai sistem syura.
Sebagai sahabat Nabi, hal-hal yang berkaitan dengan politik (ketatanegaraan) tentu bisa menjadi panutan kita. Abu Bakar dan Umar memang sosok Negarawan yang ideal, adapun kebijakan kebijakan mereka antara lain: Penjagaan agama, penuntasan masalah zakat, Pembentukan administrasi Negara dan pendistribusian, Pengangkatan para hakim, Pembentukan lembaga keuangan dan pemberian tunjangan. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa dimana fungsi masjid yang sebenarnya tidaklah sebatas hanya untuk melakukan sembahyang saja, tetapi merupakan pusat bagi pemecahan segala urusan sosial, seperti pengadilan, pengajaran, dan memecahkan berbagai masalah. Seperti Abu Bakar, umar, atau dengan menyumpah pembawa sunnah tersebut atas kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Ali bin Abi Thalib.
 Pada periode ini, para Qadli belum mempunyai sekretaris atau catatan yang menghimpun hukum-hukum produk Qadlanya, karena Qadli lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya, demikian juga qadli pada masa itu belum mempunyai tempat kusus (Gedung Pengadilan), sehingga mula-mula seorang qadli hanya berada di rumah, kemudian pihak-pihak yang berpekara itu datang kerumahnya, lalu diperiksa dan diputuskan disitu juga.




DAFTAR PUSTAKA
1.      Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam, Juz I, Muktabah al Nahdhah al Mishriah, Kairo, hal. 526 al.164
2.      Dedi Supriyadi ,M.Ag 2010.Sejarah hukum islam ,Bandung, CV. PUSTAKA SETIA


[1] Philip K.Hitti,op cit.,hlm 178 dan H. Lammens J.,Islam …, Op cit.,hlm 35 keduanya sepakat bahwa nabi SAW, meninggal pada tanggal 8 juni 632 M.
[2] Kemal A. Faruqi ,Islamic jurisprudence , Op . cit., hlm 22
[3] Lihat Munawwir Sadjali ,Islam dan tata Negara,Jakarta :UI Press 1993, hlm 21-30
[4] Penggantian nabi Muhammad SAW, oleh abu bakar sebagai khalifah pertama didasarkan bahwa ketika nabi SAW sakit menjelang wafatnya . Abu bakar menjadi imam shalat.
[5] M. Ali As-Sayis (terj), Op Cit, hlm .58.
[6] H. Lammens , S.J.,Islam and institutions,new delhi: oriental books reprint corporations, 1979, hlm1.
[7] Philip K. Hitti , History of thr arabs , lake champlain, new York corlear bay club, 1966,hlm 3.
[8] Asaf  A.A Fyzee, outline …,Op. Cit. hlm. 6-10
[9] E. von Grunadeum ,classical islam: A History 600-1258, Chicago:aldin publicing Company, 1970, hlm. 27.
[10] Charles J. Adam,”islam” dalam A, readers ,1977,hlm 411
[11]S.M  Imamuddin ,arab muslim ….,Op.Cit., hlm 38. 
[12] S.M. Immamuddin ,Arab muslim…, Op Cit ..,hlm. 38.
[13] Perbaikan aqidah diharapkan menyalamatkan umat islam dari kebiasaan sebelumnya seperti peperangan,membunuh,berzinah ,dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
[14]Hasbi Ash Shaddiqieqy, pengantar…..,hlm .34.
[15] Ciri ciri masyarakat islam fase madinah a. islam tidak lagy lemah,karena jumlahnya banyak dan berkualitas b. mengemilisasi permusuhan untuk mengesahkan alllah dll(Sya’bban Muhammad isma’il ,1985,hlm 94)
[16] Hasbi Ash Shaddiqieqy, pengantar…..,hlm .35.
[17] G.E Von Grunebaum ,Classical Islam …,Op Cit., hlm 46
[18] Mun’im A. Sirry. Op .Cit,hlm 24-25.
[19] Kemal A. Faruqi,Islamic jurispudenci , Op Cit ,hlm 22
[20] M. Ali As-Sayis ,Op. Cit ., hlm 61.
[21] Mana,ul Qathan , Mabahits fi ulum Al-Qur’an ,Mansyuratu Al-Asry Al-Hadist, hlm 151.
[22] Muhammad Ajaj Al-khatab,’ Ushulul Al –Hadist ,Beirut : Dar Al-Fikr,1989, hlm 181
[23] Hasan Ibrahim Hasan, Op .Cit.., hlm .96.
[24] Pada awalnya dikatakan bahwa khamar telah banyak mudarat dari pada manfaatnyal(Q.S. Al-Baqarah (2);219) ,cegahan yang kedua bahwa orang yang hendak melakukan sholay di larang minum khamar(Q.S. An-Nisa(4);43)
dan tarkhir dikatakan bahwa khomar haram secara mutlak.
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929