loading...

MAKALAH TASAWUF AMALI ILMU TASAWUF

March 04, 2019 2 Comments
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan kemudahan. Tanpa pertolongan-Nya mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengetahui seberapa pentingnya “Tasawuf Amali” itu, dan mengetahui begitu berperan pentingnya Tasawuf Amali terhadap dunia pendidikan, kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber. Makalah ini disusun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah SWT akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Tasawuf Amali” Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penyusun memohon kriitik dan saran dari pembaca.


Muaro Jambi, 23 Februari 2019


Penyusun




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………... ........... i
DAFTAR ISI……………………………………………………………. ........... ii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………..... ........... 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………........... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………............. 1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………........... 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………............. 2
A. Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali....................................... 2
B. Pengertian dan Penjelasan Maqamat dan Ahwal.................................. 4
C. Prinsip Ajaran Tasawuf Amali Dzul An-Nun Al-Mishri....................... 10
BAB III PENUTUP............................................................................................. 12
A. Kesimpulan…………………………………………………............. 12
B. Saran.................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf (Tasawwuf) adalah ilmu yang memperkenalkan cara-cara menyucikan jiwa dengan memerangi hawa nafsu demi memporoleh kebahagian yang abadi di sisi Tuhan. Pada awalnya, tasawuf merupakan gerakan zuhud, yakni mengabdikan diri hanya untuk beribadah pada Tuhan dan menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan duniawi. Kemudian dalam perkembangannya, konsep tersebut melahirkan suatu aliran sufisme yang kemudian tersebar ke seluruh dunia.
Tasawuf Amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaki. Jika tasawuf akhlaki berfokus pada pensucian jiwa, tasawuf amali lebih menekankan terhadap cara-cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, baik melalui amalan lahiriah maupun batiniah.
Di samping itu, ada juga yang berpendapat bahwa tasawuf amali adalah ajaran yang dianut oleh pengikut tarekat (ashhâbut turuq), yang meliputi menjauhi sifaf-sifat tercela, mengutamakan mujâhadah, menghadap Allah dengan bersungguh-sungguh dan memutuskan hubungan dengan lainnya. Apabila dilihat dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari, terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam aliran tasawuf amali, yaitu syaria’t, thariqat, dan ma’rifat.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali ?
2. Pengertian dan Penjelasan Maqamat dan Ahwal ?
3. Prinsip Ajaran Tasawuf Dzul Al-Nun Al-Mishri ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali.
2. Untuk Mengetahui Pengertian dan Penjelasan Maqamat dan Ahwal.
3. Untuk Mengetahui Prinsip Ajaran Tasawuf Dzul Al-Nun Al-Mishri.
BAB II

PEMBAHASAN


A. Pengertian dan Karakteristik Tasawuf Amali

1. Pengertian Tasawuf Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tasawuf amali adalah seperti yang dipraktekan di dalam kelompok tarekat, dimana dalam kelompok ini terdapat sejumlah sufi yang mendapat bimbingan dan petujuk dari seorang guru tentang bacaan dan amalan yang harus di tempuh oleh seorang sufi dalam mencapai kesempurnaan rohani agar dapat berhubungan langsung dengan Allah. Apabila dilihat dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari, terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam aliran tasawuf amali, yaitu syaria’t, thariqat, dan ma’rifat.
a. Syaria’t
Syaria’t berasal dari kata syara’, secara etimologi mempunyai arti “jalan-jalan yang bisa ditempuh air”, maksudnya adalah jalan yang harus ditempuh manusia untuk menuju jalan Allah SWT.
Secara umum, syaria’at merupakan hukum (segala ketentuan yang ditetapkan Allah SWT) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat muslim di dunia, mulai dari urusan hubungan antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia (Habuminallah Habuminannas), kunci menyelesaikan masalah kehidupan baik dunia dan akhirat, rukun, syarat, halal-haram, perintah dan larangan, dan sebagainya. Sumber syaria’t sendiri berada dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
b. Thariqat
Thariqat (طرق) berarti “metode” atau “jalan”, yang secara konseptual terkait dengan haqiqah/ hakikat atau kebenaran sejati. Dalam aliran tasawuf atau sufisme, thariqat berarti jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai tujuan sedekat mungkin dengan Allah SWT, dengan menerapkan metode pengarahan moral dan jiwa.
Thariqat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat. Jadi jalan utamanya adalah Syar’, sedangkan anak jalan disebut thariq. Sehingga dapat disimpulkan untuk menuju Thariq, seseorang harus melewati syar’. Maksudnya, sebelum mempelajari thariqat para sufi wajib memahami syariat terlebih dahulu, sebab syariat adalah pangkal dari suatu ibadah.
c. Hakikat
Secara etimologi, hakikat berasal dari kata “Al-Haqq” yang berarti kebenaran. Secara garis besar, hakikat merupakan ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran sejati mengenai Tuhan. Dalam kitab Al-Kalabazi, hakikat menurut ilmu tasawuf didefinisikan sebagai aspek yang berkaitan dengan amal batiniah, merupakan amalan paling dalam dan merupakan akhir perjalanan yang ditempuh oleh para sufi.
d. Ma’rifah
Ditinjau dari segi bahasa, Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-yurifu-irfan. Secara umum, ma’rifat didefinisikan sebagai kumpulan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan amalan ibadah yang merupakan perpaduan dari syariat, thariqat, dan hakikat, dimanan nantinya ilmu ini digunakan untuk mengenal Allah SWT lebih mendalam melalui sanubari atau mata hati.
2. Karakteristik Tasawuf Amali















B. Pengertian dan Penjelasan Maqamat dan Ahwal

1. Pengertian dan Penjelasan Maqamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah.
Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan al-ridla. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Taubat
Taubat berasal dari Bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti “kembali” dan “penyelesalan”. Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Bagi orang awam, taubat dilakukan dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi. Sedangkan bagi orang khawash taubat dilakukan dengan riyadhah dan mujahadahdalam rangka membuka hijab yang membatasi dirinya dengan Allah swt. Taubat ini dilakukan para sufi hingga mampu menggapai maqam yang lebih tinggi.

2. Zuhud
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zuhada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Menurut pandangan orang-orang sufi, dunia dan segala kemewahan, serta kelezatannya adalah sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan dosa. Oleh karena itu, seorang pemula atau calon sufi harus terlebih dahulu menjadizahid. Sikap zuhd ini erat hubungannya dengan taubah, sebab taubah tidak akan berhasil apabila hati dan keinginannya masih terkait kepada kesenangan duniawi.

3. Sabar
Sabar, secara harfiah , berarti tabah hati. Secara terminologi, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Sabar, menurut Al-Ghazali, jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani). Kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya, untuk menahan nafsu makan dan seks yang berlebihan.

4. Wara’
Wara’, secara harfiah, berarti saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Sedangkan pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya.

5. Faqr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.

6. Tawakkal
Secara harfiah tawakkal berarti menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakkal adalah apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak. Hamdun al-Qashshar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.

7. Ridha
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha danqadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.

8. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah.
Dalam pandangan Ath-Thusi, mahabbah dibagi menjadi tingkatan. Pertama,mahabbah al-‘ammah, yaitu cinta yang timbul dari belas kasihan dan kebaikan Allah kepada hamba-Nya. Kedua, hubb ash-shadiqin wa al-muttaqin, yaitu cinta yang timbul dari pandangan hati sanubari terhadap kebesaran, keagungan, kemahakuasaan, ilmu dan kekayaan Allah. Ketiga, mahabbah ash-shidiqin wa al-‘arifin, yaitu mahabbah yang timbul dari penglihatan dan ma’rifat para sufi terhadap kekalnya kecintaan Allah yang tanpa ‘illat.
9. Ma’rifat
Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-irfan-ma’rifat yang berarti pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat pada umumnya, dan merupakan pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal yang bersifat zhahir, tetapi bersifat batin, yaitu pengetahuan mengenai rahasia-rahasia Tuhan melalui pancaran cahaya Ilahi.


2. Pengertian dan Penjelasan Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak mampu bertahan lama, sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Sehubungan dengan ini, Harun Nasution mendefinisikan hal sebagai keadaan mental, seperti perasaan senang, persaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya.



1. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.

2. Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat diantaranya adalah:
a. Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b. Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c. Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.

3. Raja’
Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam al-Qur’an,

Yang Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Al-Baqarah: 218).

Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, semenatara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.

Raja’ menurut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.

Raja’ yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.

4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah.

5. Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns.

6. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi, tasawuf adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah. Seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dalam situasi seperti itu, seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, di mana seorang sufi seakan-akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kasih.

Tokoh-Tokoh Tasawuf Amali
1) Rabiah Al-Adawiah
Bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Lahir tahun 95 H (713 H) di suatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat tahun 185 H (801 M).
Rabiah Al-Adawiah dalam perkembangan mistisisme dalam Islam tercatat sebagai peletak dasar tasawuf berasaskan cinta kepada Allah SWT.

2) Dzul An-Nun Al-Mishri
Bernama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Lahir di Ikhkim, daratan tinggi Mesir tahun 180 H (796 M) dan wafat tahun 246 H (856 M).
Al-Mishri membedakan ma’rifat menjadi dua yaitu ma’rifat sufiah adalah pendekatan menggunakan pendekatan qalb dan ma’rifat aqliyah adalah pendekatan yang menggunakan akal. Ma’rifat menurutnya sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab maa’rifat merupakan fitrah dalam hati manusia.

3) Abu Yazid Al-Bustami
Bernama lengkap Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Syarusan Al-Bustami. Lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 M dan wafat tahun 947 M.
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dalam istilah tasawuf, fana diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dan fana berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah.


4) Abu Manshur Al-Hallaj
Bernama lengkap Abu Al-Mughist Al-Husain bin Mashur bin Muhammad Al-Baidhawi. Lahir di Baida sebuah kota kecil di daerah Persia tahun 244 H (855 M)
Diantara ajaran tasawufnya yang paling terkenal adalah Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdad al-wujud (kesatuan wujud) yang di kembangkan Ibnu Arabi.


C. Prinsip Ajaran Tasawuf Dzul An-Nun Al-Mishri
Dalam tasawuf, Dzul An-Nun Al-Mishri dipandang sebagai bapak ma’rifah. Dzun An-Nun Al-Mishri merupakan pelopor paham ma’rifah. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nucholson dan Abd. Al-Qadir dalam falsafah Al-Shufiyyah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang ma’rifah dalam bidang sufisme Islam.
Pertama, ia membedakan antara ma’rifah sufiyah dan ma’rifah aqliyah. Apabila yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan Akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, ma’rifah sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati) sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifah Al-Mishri merupakan gnosisme ala Neo-Platonik. Teori-teorinya kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun di pandang sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifah pada mulanya sulit diterima oleh kalangan teolog. Karena itulah, ia dianggap sebagai zindiq. Karena itu pula, ia ditangkap oleh khalifah, meskipun akhirnya dibebaskan.
Berikut ini beberapa pandangan tentang hakikat ma’rifah :
1. Sesungguhnya ma’rifah yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana para hakim, mutakaliman, dan ahli balagah, tetapi ma’rifah terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Hal itu karena mereka adal orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2. Ma’rifah yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifah yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaannya, mereka merasa hamba, mereka berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.

Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifah kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifah batin yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari kecemasan sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi.
Dengan pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan sampai akhirnya ia sepenuhnya hidup di dalam-Nya dan lewat dirinya.
Ketika Dzul An-Nun Al-Mishri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan ia menjawab: “Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan.” Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah seorang sufi lebih dahulu menunjukkan kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan mengabdikan diri sebagai Hamba Allah dalam beramal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah.
Dzul An-Nun Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu :
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofi dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah

Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat auliya adalah yang paling tinggi tingkatannya karena mereka mencapai tingkatan musyahadah. Sementara para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam ini sebab mereka masihh menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Menurut Dzun An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4 yaitu:
1. Mencintai Allah Yang Maha Agung
2. Menjauhi yang sedikit dunia
3. Mengikuti Al-Qur’an
4. Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada Allah)
BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan
Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tokoh-tokohnya adalah Rabiah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Bustami, Dzul An-Nun Al-Mishri, dan Abu Manshur Al-Hallaj.

Apabila dilihat dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari, terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam aliran tasawuf amali, yaitu syaria’t, thariqat, dan ma’rifat.
Dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani).
Dzul An-Nun Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu :
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofi dan ulama
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah

Menurut Dzul An-Nun Al-Mishri bahwa prinsip dasar tasawuf ada 4 yaitu:
5. Mencintai Allah Yang Maha Agung
6. Menjauhi yang sedikit dunia
7. Mengikuti Al-Qur’an
8. Takut akan terjadi perebutan (dari taat kepada Allah)


B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang.



https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929