loading...

PENGANTAR SEJARAH PENDIDIKAN

May 21, 2014 Add Comment
BAB I
PENDAHULUAN

A. Konsep Dasar Pendidikan
Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-
anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan
(Ngalim Purwanto, 2002:11). Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam
UU. No. 20 Tahun 2003, bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat
Indonesia mempunyai pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari
proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan
masyarakat untuk survive dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbicara masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami perkembangan secara optimal (Dictionary of Education dalam T. Sulistyono, 2003).
Dari beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.

B. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan
Dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945. Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
ragka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,




berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Rumusan konstitusional tersebut apabila dicermati menegaskan bahwa arah dan tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa, berbudi pekerti luhur, sehat jasmani rohani, cakap, berilmu, dan kreatif, mengembangkan kemandirian serta menjadi warga negara yang baik. Ini semua dalam rangka membangun watak bangsa yang beradab dan bermartabat.
Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut sangat ideal dan komprehensif, bahkan bisa dikatakan yang terlengkap di dunia. Rumusan tujuan pendidikan tersebut adalah untuk memberikan suasana kebatinan dan semangat serta motivasi bagi setiap komponen manusiawi yang terkait dan terus berusaha untuk mencapai cita-cita yang ideal itu. Dijelaskan pula dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 1, butir 1, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Jadi menurut amanat UU No. 20 Tahun 2003 ini, peserta didik harus didorong untuk aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, mampu mengendalikan diri, memiliki kepribadian yang kuat, akhlak yang mulia serta ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan yang implikasinya pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

C. Aliran-aliran dalam Pendidikan
Makna pendidikan sangat luas, dan setiap orang dengan pandangan tertentu merumuskan arti pendidikan berbeda dari rumusan pendidikan yang dirumuskan seseorang ahli dengan pandangan yang lain. Begitu pun kalau secara khusus kita kuatkan dengan proses pendidikan sebagai proses pembinaan peserta didik sebagai subjek didik. Dalam hal ini memang ada beberapa aliran dalam pendidikan:
1. Aliran Nativisme
Tokoh aliran ini adalah Schopenhauer (Jerman: 1788-1860). Aliran ini
berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor
yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu
dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Potensi yang dibawa




sejak lahir atau pembawaan inilah yang sepenuhnya mempengaruhi perkembangan
anak, yang baik akan menjadi baik, dan yang jelek akan menjadi jelek. Menurut
kaum nativisme tersebut, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan,
sehingga percuma saja kita mendidik, atau dengan kata lain pendidikan tidak
diperlukan. Dalam ilmu pendidikan hal ini disebut pesimisme pedagogis.
2. Aliran Empirisme
Tokoh dari aliran ini adalah John Locke (Inggris: 1932-1704). Pandangan aliran ini berlawanan dengan kaum nativisme, karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu ditentukan oleh lingkungannya, atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Menurut aliran ini, manusia dilahirkan putih bersih seperti kertas putih, tidak membawa potensi apaapa. Perkembangan selanjutnya tergantung dari pendidikan dan atau lingkungannya. Dalam artian, bahwa manusia dapat dididik menjadi apa saja (ke arah yang baik maupun sebaliknya), menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya. Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme pedagogis. Dalam hal ini pendidik memegang peranan yang sangat penting dengan menyediakan lingkungan pendidikan dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman (empiri: pengalaman).
3. Aliran Naturalisme
Tokoh aliran ini adalah JJ. Rousseau (Prancis: 1712-1778). Nature artinya
adalah alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran
nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak
(manusia) sejak dilahirkan adalah baik. Perkembangannya kemudian sangat
ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika
pengaruh/pendidikan itu baik, akan menjadi baik, tapi jika pengaruh itu jelek, akan
jelek pula hasilnya. Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini JJ. Rousseau: “…semua
anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pendipta, tetapi semua
menjadi rusak di tangan manusia”. Artinya, anak hendaknya dibiarkan tumbuh dan
berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak
mencampurinya.
4. Aliran Konvergensi
Tokoh dari aliran ini adalah William Stern (Jerman: 1871-1939), yang
berpendapat bahwa anak sejak lahir telah membawa pembawaan atau potensi-




potensi, namun dalam perkembangan selanjutnya ditentukan bersama baik oleh
pembawaan maupun lingkungan atau pendidikan. pembawaan tidak akan
berkembang dengan baik jika tidak ada dukungan pendidikan dan atau lingkungan.
Sebaliknya pendidikan dan atau lingkungan tidak akan berhasil baik manakala pada
diri anak tidak ada pembawaan yang mendukungnya. Menurut Stern, pendidikan
tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan ada dua garis lurus yang menuju
ke suatu titik temu (convergen: menuju ke suatu titik). Aliran konvergensi pada
umumnya dapat diterima secara luas, walaupun masih ada juga beberapa kritik
terhadapnya.
Aliran konvergensi dikritik sebagai aliran yang cocok untuk hewan dan
tumbuh-tumbuhan, kalau bibitnya baik dan lingkungannya baik maka hasilnya pasti
baik. Padahal bagi manusia hal itu belum tentu, karena masih ada faktor lain yang
mempengaruhi yaitu pilihan atau seleksi dari yang bersangkutan. 5. Tut Wuri Handayani
Konsep ini berasal dari Ki Hadjar Dewantara, seorang pakar pendidikan
Indonesia, sekaligus pendiri Perguruan Taman Siswa. Tut Wuri Handayani berasal
dari bahasa Jawa, “Tut Wuri” berarti “mengikuti dari belakang”, dan “handayani”
berarti “mendorong, memotivasi, atau membangkitkan semangat”. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa aliran ini mengakui adanya pembawaan, bakat,
maupun potensi-potensi yang ada pada anak sejak lahir. Dengan kata “tut wuri”
berarti pendidik diharapkan dapat melihat, menemukan, dan memahami bakat atau
potensi-potensi apa yang timbul dan terlihat pada anak didik, untuk selanjutnya
dapat dikembangkan dengan memberikan motivasi atau dorongan ke arah
pertumbuhan yang sewajarnya dari potensi-potensi tersebut.
Dibandingkan dengan keempat aliran pendidikan yang telah dibahas
sebelumnya, tut wuri handayani lebih mirip dan dekat dengan aliran konvergensi
dari William Stern, yang berpendapat bahwa perkembangan anak (manusia)
ditentukan oleh bagaimana interaksi antara pembawaan atau potensi-potensi yang dimiliki anak yang bersangkutan dan lingkungan ataupun pendidikan yang mempengaruhi anak dalam perkembangannya. Dengan kata lain, sifat-sifat dan ciriciri anak (manusia) dalam perkembangannya ada yang lebih ditentukan oleh pembawaannya, dan ada pula yang lebih ditentukan oleh lingkungannya, tergantung kepada mana yang lebih dominan dalam interaksi antara keduanya.




Tut wuri handayani merupakan bagian dari konsep kependidikan Ki Hadjar Dewantara yang secara keseluruhan berbunyi sebagai berikut:
Ing ngarso sung tulodo
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani
Ing ngarso sung tulodo artinya jika pendidik sedang berada didepan maka hendaklah
memberikan contoh teladan yang baik terhadap anak didiknya. Ing ngarso: di depan,
sung: asung = memberi, tulodo: contoh/teladan yang baik. Ing madyo mangun karso
berarti jika pendidik sedang berada di “tengah-tengah” anak didiknya, hendaknya ia
dapat mendorong kemauan atau kehendak mereka untuk berinisiatif dan bertindak.
Ing madyo: di tengah; mangun: membangun, menimbulkan dorongan; karso:
kehendak atau kemauan. Ditambah dengan tut wuri handayani yang telah diuraikan
sebelumnya, maka ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh.



















BAB II
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN EROPA MASA KLASIK


A. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN YUNANI
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat
manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya




dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
1. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
3. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki
keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut
bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut
merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena
dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta
mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).

1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (± 900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a. anak adalah milik negara;
b. tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga
negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a. Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b. Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c. Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan: anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal
rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus
dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada
disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak
terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk
mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
Berikut ini gambar ikhtisar pendidikan di Sparta:






Tujuan: membentuk
Tentara dan warga negara

Pendidikan
Athena

a. Pendidikan
jasmani 1. Pendidikan Agama:
(terpenting) tidak ada
2. Pendidikan intelek:
Pelaksanaannya hampir-hampir tidak
Dengan ada
3. pendidikan estetika:
b. Pendidikan musik, bernyanyi
rohani
4. Pendidikan etika:
kemauan; menahan
hati patuh
5. Pendidikan sosial:
pembentukan
warganegara


2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon (± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah: membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciriciri pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b. Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani. Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
a. trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu
mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;




b. quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu
bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976).
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala
kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam
perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan kesusilaan.

3. Ahli-Ahli Pendidik Yunani
a. Pythagoras (580-500 SM)
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang menjadi dasar pendidikannya:
1) hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
2) jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
3) sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus
membawa manusia ke arah kesempurnaan;
4) kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni
dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama “Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:




1) bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu
ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan
kesanggupan dalam menempuh jalan hidup yang saleh;
2) bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-
anggota penuh, dan mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
3) bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat,
mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras
sendiri.

b. Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi
ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo:
Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai
pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari
kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama
manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa. Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya (menarik kesimpulan sendiri).
Beberapa jasa Socrates:
1) pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk
mencapai kebajikan;
2) pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari
hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
3) Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia
tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak




pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan membelakangi dewa-dewa resmi.

c. Plato (427-347 SM)
Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari keluarganya.
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan
pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan
pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis.
Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan
negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara.
Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia
berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan.
Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan
demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya. Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian pengajarannya.
Pengaruh plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad pertengahan.
Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat platonis.



d. Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato, maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui
pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus
mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan
dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang




buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).
Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi menjadi 4 bagian:
1) pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
2) pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
3) pendidikan sampai dengan usia pubertas;
4) pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya, disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral. Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan dilakukan oleh negara.

B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ROMAWI
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan
kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada awalnya
adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda baik tujuan
maupun alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman Romawi baru
(Hellenisme).



1. Jaman Romawi Lama
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan berani,
siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan
warganegara yang cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga, dan
merupakan pendidikan bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi pelajarannya
meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi
prioritas.
Hasil pendidikan dinilai baik, karena:




a. kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan
mutlak dan anak-anak patuh pada perintahnya;
b. kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah
tangga;
c. agama mempunyai pengaruh besar, orang Romawi percaya dikelilingi oleh dewa-
dewanya;
d. anak-anak mempelajari Undang-Undang negaranya, menganggapnya sakti dan tidak
melanggar.

2. Jaman Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani
(Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan.
Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk pembentukan
manusia yang harmonis. Pendidikan ratio dan kemanusiaan (humanitas) menjadi
prioritas.
Organisasi sekolah yang dibentuk meliputi:
a. sekolah rendah: pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik dan
menyanyi tidak mendapat perhatian;
b. sekolah menengah: pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan kesusasteraan klasik;
c. sekolah tinggi: diberikan keahlian pidato, hkum, dan undang-undang.
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme (dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM). Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara alam dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut juga panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai dengan alam berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.




Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari
rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan)
menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan
kemanusian/humanitas).


3. Seneca (meninggal 65 SM)
Seneca merupakan tokoh pendidik lain di jaman Romawi baru. ia adalah seorang kaisar Nero, juga seorang ahli filsafat dan moralis yang terkenal. Beberapa petunjuk tentang pengajaran yang diberikan adalah:
a. kita mengajar tidak untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan;
b. panjang jalan melalui perintah, singkat jalan melalui teladan;
c. dengan mengerjakan, kita menjadi paham.


4. Quintilanus
Adalah seorang profesor ilmu pidato yang terkenal. Ia adalah seorang Spanyol yang
tinggal di Roma. Ia menjadi terkenal karena menulis buku “Instituo Oratorio”
(pendidikan menjadi ahli pidato). Dia berpendapat bahwa jika suatu saat seorang anak memperlihatkan kesalahan-kesalahannya, maka hal itu adalah akibat dari pendidikan yang salah. Dalam hal ini ia sependapat dengan JJ. Rousseau, bahwa semua manusia itu baik sejak lahir.
Pendapatnya tentang pendidikan:
a. pendidikan harus diberikan secepatnya, sejak dari keluarga. Harus dicari pengasuh
yang berbudi baik dan berilmu dan dapat menjadi contoh. Sebab kesan pertama yang
diterima oleh anak berpengaruh besar sekali bagi perkembangan selanjutnya;
b. kelak anak itu harus bersekolah, karena: di sana ia akan merasa lebih bebas, dapat
belajar banyak dari teman-temannya, dan ada suasana bersaing yang sehat.
c. Guru harus dapat mempelajari sifat-sifat dan pembawaan masing-masing anak, agar
dapat mengembangkannya dengan baik;
d. Mengajar hendaknya tidak terlalu cepat, anak ibarat botol yang kecil lehernya, jika
diisi terlalu banyak akan terbuang sia-sia;
e. Pelajaran hendaknya diselingi dengan permainan, supaya guru dapat memperoleh
pandangan yang lebih baik tentang budi pekerti anak-anak;




f. Gaya bahasa yang digunakan harus menarik perhatian anak-anak, lebih baik agak
berani dan banyak fantasi;
g. Teknik mengajar harus lunak, tidak terlalu keras, tidak banyak mencela, tapi jangan
pernah pula terlalu banyak memuji. Tidak boleh memberi hukuman fisik, sebab
dengan memukul, jiwa anak akan rusak karena merasa malu;
h. Pada pelajaran membaca, anak-anak diberi huruf dari gading, dan mereka disuruh
membuat bermacam kata dari huruf itu;
i. Pada pelajaran menulis, sebuah meja dipahat huruf timbul dan mereka disuruh
mengikuti huruf-huruf itu.
j. Pada pelajaran mengarang anak-anak harus mengarang seperti sedang bercakap-
cakap. Bahan dan bahasa dari pengalaman pribadi anak;
k. Quintillanus menganggap daya ingat itu sangat penting, oleh sebab itu harus dilatih
dengan baik. Setiap hari anak harus menghafal di luart kepala hal-hal yang menarik,
sesudah itu hal-hal yang kurang menarik, mula-mula mekanis, sesudah itu logis.
Dalam organisasi sekolah, sesudah sekolah permulaan yang memberikan pelajaranpelajaran pokok, anak kemudian mengunjungi sekolah menengah, di mana diajarkan bahasa Yunani, baru kemudian bahasa Latin. Setelah itu pelajaran dilanjutkan ke Sekolah Tinggi. Mata pelajaran yang diberikan adalah:
a. trivium: gramatika (bahasa), filosofi, dan retorika;
b. quadrivium: musik, geometri, arithmetika, dan astronomi. Ketujuh mata pelajaran
tersebut dinamai “Artes Liberalis yang tujuh”.
Teori pengajaran Quantilianus telah memberikan lukisan tentang seluruh praktek
pengajaran di Roma pada jaman kaisar. Banyak teknik dan paham modern yang
diselenggarakan oleh Quantilianus, seperti papan meja, menuruti huruf timbul dengan
jari, mengarang seperti menulis tentang hal-hal yang dialami sendiri dan sebagainya.

5. Jaman Agama Kristen
Agama Kristen menandai satu perubahan dengan membawa unsur-unsur baru:
a. tujuan hidup manusia tidak terletak di dunia fana ini seperti tujuan kebudayaan klasik
Yunani dan Romawi, tetapi di alam baqa kelak;
b. berbeda dengan kebudayaan klasik yang mengenal banyak dewa, agama kristen hanya
mengakui adanya satu Tuhan (monotheisme);




c. dalam pandangan agama ini, pendidikan tidak hanya untuk golongan tertentu saja,
melainkan untuk semua manusia (umum).
Pada jaman ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan sekolah, yaitu:
a. sekolah-sekolah kristen;
b. sekolah kafir / jahiliyah.
Yang termasuk kategori sekolah kristen adalah:
a. sekolah catechumeen (sekolah pendengar). Tujuannya menarik dan mendidik orang-
orang yang masuk agama kristen. Sekolah ini terdiri dari tiga kelas. Kelas I untuk
pendengan (catechumeen), yang mendengarkan pelajaran agama dengan tidak
berbicara. Setelah tamat kelas I mereka dinaikkan ke kelas II, setelah menyatakan
bahwa ia telah meninggalkan takhayulnya. Untuk kelas III khusus bagi mereka yang
betul-betul ingin masuk agama nasrani. Guru-gurunya adalah Uskup (catechumeen
laki-laki), dan Diakones (catechumeen perempuan). Sekolah ini mengalami masa
keemasannya pada abad ke-3;
b. sekolah Episcopal, untuk pembinaan paderi. Pemuda-pemuda yang pandai dipilih oleh
uskup untuk dididik menjadi paderi. Pada sekolah ini diberikan pelajaran seperti:
theologi/gerejani dan pelajaran-pelajaran yang bersifat keduniawian (umum). Dengan
demikian mereka yang tidak lulus untuk menjadi paderi masih bisa mendapat
pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari;
c. sekolah catecheet (theolog). Tujuan sekolah ini untuk mendidik ahli
keagamaan/theolog, memberikan pengetahuan umum yang lebih, serta menjadi pusat keagamaan agama kristen. Pengetahuan umum yang diajarkan seperti: kesusasteraan Yunani, sejarah, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu binatang, dan dialektika. Sekolah catecheet yang terkenal bertempat di Iskandariah, yang di antaranya memberikan kuliah: clemens (pembangunan etika kristen), dan origens (sarjana yang paling pandai pada jaman itu).
Sedangkan yang dimaksud dengan sekolah-sekolah kafir adalah sekolah-sekolah yang tidak mengajarkan mata pelajaran agama. Sekolah kafir yang terkenal antara lain: sekolah Rethor di Karthago, Iskandariah dan Tambul. Sekolah kafir/jahiliyah ini mengajarkan 7 kesenian bebas (the seven liberal arts), pengetahuan hukum, dan filsafat.
Salah satu tokoh pendidik pada jaman kristen adalah Augustinus. Ia merupakan
seorang ahli pendidik kristen. Lahir di Tagaste Afrika tahun 354. Augustinus memperoleh
pendidikannya di sekolah Rethor di Karthago, sebuah sekolah tinggi ciptaan orang Roma.




Ia memberikan kuliah-kuliah di Karthago, Roma, dan Milan. Saat berusia 33 tahun ia beralih menjadi pemeluk agama kristen. Tujuh tahun kemudian uskup di Hippo, dan meninggal dunia tahun 430.
Tujuan pendidikan Augustinus hampir sama dengan Plato, yaitu kebajikan. Prinsip Plato: kebajikan terletak dalam memeritah kehendak dengan intelek, membentuk manusia berbudi, tujuan Plato untuk di dunia kini. Sedang Augustinus: kebajikan adalah cinta yang sempurna terhadap Tuhan, tujuannya untuk hidup di dunia fana.
Buku-buku karya Augustinus yang terkenal di antaranya adalah:
a. catechizandis rudibus (pelajaran agama bagi yang tidak mengetahui). Buku ini
memberikan petunjuk-petunjuk praktis serta uraian tentang ilmu jiwa pendidikan. augustinus menganjurkan agar dalam mengajar terdapat: kegembiraan, pilihan bahan yang baik, cinta terhadap anak yang timbul dari cinta terhadap Tuhan;
b. contessionis (pengakuan): melukiskan tentang riwayat hidupnya sampai dengan tahun
400. Di dalamnya tercantum juga pengetahuan tentang ilmu jiwa, tentang ingatan dan
petunjuk-petunjuk tentang pendidikan.

C. PENDIDIKAN DI EROPA ABAD PERTENGAHAN
Abad pertengahan merupakan jaman scholastik (pelajaran sekolah). Scholastik
dimaksud sebagai usaha ilmiah untuk membuat supaya pelajaran-pelajaran gereja dapat dipahami dengan memberikan bukti-bukti yang logis. Kehidupan duniawi dianggap hanya sebagai landasan bagi hidup di alam baka. Apabila di Yunani dan Romawi ada orang tunduk pada negara, maka kini tunduk pada gereja.
Abad pertengahan di Eropa dibagi menjadi dua bagian yang berlainan keadaannya. Abad ke-5 dan ke-6 disebut abad gelap. Pada masa itu terjadi perpindahan bangsa-bangsa, kekacauan, dan bangkitnya kebudayaan. Sesudah perang salib, timbullah bagian kedua dari jaman tengah ini dengan timbulnya kota-kota, dan budak belian dibebaskan sekembalinya dari perang Palestina. Pada bagian kedua inilah awal munculnya universitas.
Dalam masa abad gelap di seluruh Eropa terjadi perpindahan bangsa-bangsa dari timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan. Pada abad ke-7 terjadi pula perpindahan bangsabangsa baru dari tanah Arab melalui Mesir, Afrika, menyeberang ke Spanyol dan Prancis. Mula-mula akan mengalahkan bangsa Barat, tapi pada tahun 732 dapat dikalahkan oleh bangsa Prancis.




Beberapa aliran yang mempengaruhi pendidikan dan pengajaran antara lain: Religi, Renaissance, Reformasi, Rationalisme, dan Sosialisme. Aliran-aliran tersebut tidak terpisah satu sama lain, akan tetapi yang satu merupakan reaksi atas aliran sebelumnya, dan saling mempengaruhi.
Pada abad pertengahan, aliran religi menjadi sangat berpengaruh. Pendidikan bersifat akherat, hal-hal yang sifatnya duniawi tidak begitu mendapat perhatian. Semua usaha pendidikan tertuju kepada kehidupan akherat.
Yang menjadi lembaga pendidikan adalah: rumah tangga, gereja, sekolah, negara, dan masyarakat. Semua lembaga tersebut didominasi oleh religi. Agama merupakan pusat dari seluruh pendidikan dan pengajaran. Pekerjaan para paderi yang semula mengerjakan tanah, mengeringkan paya-paya guna memajukan pertanian, beralih ke penyelenggaraan kepentingan-kepentingan rohaniah, yaitu dengan didirikannya sekolah-seolah.
Sekolah-sekolah yang didirikan pada abad pertengahan antara lain:
1. sekolah biara. Pertama didirikan oleh Benedictus dari Nurcia tahun 520. Tujuannya
adalah: mendidik anak untuk calon penghuni biara dan untuk kehidupan dalam
masyarakat. Maka muncul 2 macam sekolah: sekolah untuk mendidik calon rahib, dan
sekolah luar untuk kepentingan kehidupan masyarakat, namun demikian gurunya sama.
Mata pelajarannya meliputi: bahasa latin (bahasa pengantar); agama; membaca;
menulis; dan menyanyi. Bagi kelas-kelas tinggi: agama; sejarah; dan the seven liberal arts. Kepala sekolah gereja disebut scholarum, yang kemudian berubah menjadi scholasticus. Metode mengajar yang dipakai adalah mekanis, yaitu murid-murid menyebut apa-apa yang disebutkan oleh guru. Sesudah itu semuanya harus dihafal di luar kepala. Hukuman bagi setiap kesalahan dengan pukulan;
2. sekolah kathedral. Didirikan pada setiap kathedral (gereja pusat), ditempatkan di bawah
pemilikan uskup. Pengajarannya hampir sama dengan sekolah biara, kepala sekolahnya
disebut magister;
3. sekolah istana. Didirikan di istana sebagai pusat pengetahuan oleh Karel Agung (768-
814) yang banyak menaruh minat terhadap pendidikan dan kemajuan rakyat. Sekolah itu
dinamakan Schola Palatina, yang menjadi teladan bagi seluruh kerajaan. Di sini dididik
anak-anak raja dan kaum bangsawan dan juga pemuda-pemuda yang hendak menjadi
pegawai. Pemimpinnya yang terkenal adalah: Aicinus. Banyak pelajar yang datang dari
negeri-negeri lain. Oleh sebab itu sekolah istana Karel Agung memperoleh nama
internasional;






4. sekolah cathecismus dan sekolah parochi (sekolah nyanyi). Catechismus adalah
pelajaran agama berupa tanya jawab; dan parochi adalah daerah di bawah seorang parochus atau pastur. Dua sekolah ini dapat dianggap sebagai bentuk permulaan sekolah rakyat (sekolah umum). Pengajaran diselenggarakan oleh para pendeta parochi. Di Metz didirikan sebuah sekolah nyanyi oleh Karel Agung untuk murid-murid nyanyiannyanyian gereja. Pelajaran yang diberikan: agama; membaca; menulis; bernyanyi; dan pekerjaan tangan.
Akibat perang salib terjadi bermacam perubahan, seperti:
1. munculnya golongan ketiga; kemajuan perniagaan dan industri; terjadinya cita-cita
pendidikan yang lain;
2. munculnya golongan bangsawan yang mempunyai cita-cita pendidikan tertentu, yaitu
pendidikan ksatria;
3. munculnya bermacam-macam gilde yang merupakan lembaga pendidikan yang baik.
Berkembanganya perdagangan dan perindustrian memperkuat kedudukan kota-kota yang mendirikan bermacam-macam sekolah. sekolah kota dikepalai oleh seorang rektor. Bentuk pengajarannya masih bersifat formalistis, menghafal seperti buku. Sedangkan pendidikan ksatria tujuannya tidak menari kepandaian dan pengetahuan, melainkan ketangkasan naik kuda, dan membuat syair.
Abad ke-13 dinamai abad universitas. Di sini lama kelamaan terjadi kebutuhan
untuk memperoleh pengajaran tinggi. Beberapa sekolah biara terbaik diperluas dan
dipertinggi mutu pelajarannya. Sehingga berdirilah universitas-universitas yang pertama:
1. universitas di Salerno: untuk ketabiban;
2. universitas di Bologna: untuk ilmu hukum;
3. universitas di Paris: untuk theologi.
Perguruan tersebut hanya mempunyai satu fakultas, yaitu: sekolah tinggi. Metode yang dipakai adalah metode scholastik: maha guru mempergunakan buku tertentu, misalnya: Corpus Juris, kemudian pelajar membuat diktat. Setelah itu diadakan penjelasan dan pembicaraan. Atas inisiatif raja, paus, dan orang-orang terkemuka jumlah universitas semakin lama semakin bertambah banyak.
Kelemahan-kelemahan abad pertengahan:
4. semua sekolah diperintah oleh gereja dan paderi;
5. semua pelajaran dan pendidikan hanya untuk kepentingan gereja dan paderi;
6. kehidupan sehari-hari tidak mendapt perhatian sebagaimana mestinya;




7. yang diselenggarakan adalah pengetahuan yang telah ada, yang berasal dari ahli-ahli
Yunani dan Romawi, sehingga tidak ada perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan;
8. metode mengajar formalistis: menghafal tepat seperti yang terdapat dalam buku secara
mekanis. Oleh sebab itu seringkali bersifat verbalistis.
Perubahan akan terjadi pada jaman Renaissance (akan dibahas pada pertemuan ke-4).





















BAB III
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI ASIA PADA MASA KLASIK

Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
1. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan;
2. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat universal;
3. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki
keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.






A. PENDIDIKAN DI MESIR PADA MASA KLASIK
Mesir purba telah mengenal peradaban yang tinggi. Tanahnya didiami oleh rakyat yang cerdas dan tahu akan harga diri. Penduduknya terdiri dari beberapa golongan yang masing-masing mempunyai tugas hidup sendiri-sendiri (pembagian kasta). Kasta yang paling berkuasa ialah kasta pendeta. Pada tahun 31 SM Mesir menjadi suatu bagian dari negara Romawi.
Agamanya adalah polytheisme (menyembah banyak dewa). Dewanya yang terutama adalah Ra (matahari), dipuja sebagai sumber dari segala kehidupan. Osiris juga dipuja sebagai hakim yang mengadili orang-orang mati, serta isinya yang bernama Isis.
Tulisannya terkenal dengan nama hieroglyph (artinya adalah tulisan suci), sampai sekarang masih banyak disimpan orang. Tulisan itu biasanya dipahatkan pada batu atau kadang-kadang dituliskan pada daun-daun papyrus.
Ciri-ciri pendidikan pada masa Mesir Purba:
1. sumber pengetahuan ialah kumpulan-kumpulan nyanyian pujaan pada dewa-dewa;
2. yang menyelenggarakan pendidikan adalah kasta pendeta. Hanya para pendeta dan
prajurit yang dapat menikmati pendidikan.
Tujuan pendidikan pada masa itu adalah: bersifat susila-keagamaan. Semua aktivitas manusia akhirnya bermaksud berbakti kepada dewa-dewa.
Pelajaran yang diutamakan di Mesir pada masa klasik adalah membaca, menulis, berhitung, bahasa, ilmu ukur tanah, ilmu alam, ilmu binatang, bergulat, bersenam, dan musik. Buku sumber yang digunakan adalah buku-buku hermetis, yaitu buku suci yang jumlahnya 42 buah yang berasal dari dewa Toth (Yunani: Hermes).
Pusat pendidikan disebut sekolah-sekolah kuil dan merupakan pusat-pusat kuliah
yang teratur. Seluruh organisasi kuil disebut kesatuan rumah Seti, yang di dalamnya
terdapat pula perpustakaan, asrama, dan sekolah rendah (untuk anak warga negara bebas).

B. PENDIDIKAN DI INDIA PADA MASA KLASIK
Rakyat India terbagi dalam 4 kasta, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Bagi orang India ilmu adalah alat untuk mencari kesempurnaan mistik. Mistik adalah penyepian batin dari kenyataan dengan tujuan manunggal dengan Tuhan.
Kasta brahmana terdiri dari kaum pendeta. Kasta ksatria adalah kaum bangsawan,
prajurit, mereka menerima pengajaran dalam membaca, menulis, berhitung, dan ilmu siasat
berperang. Kasta waisya terdiri dari para tukang, pedagang, peladang, dan sebagainya.




Kasta waisya mendapatkan pengetahuan dan pengajaran dalam bidang pertanian. Kasta paling rendah atau kasta sudra dianggap sebagai manusia yang hina, yang hanya dapat melakukan pekerjaan budak, sehingga mereka tidak berhak mendapat pengajaran.
Ciri pendidikan pada masa itu adalah:
1. pendidikan agama diutamakan. Dasar pendidikannya adalah kitab veda (kitab suci orang
India);
2. kasta brahmana menjadi penyelenggara dari pendidikan. Mereka menguasai hidup dan
hanya kasta ini yang mempunyai pengetahuan;
3. tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan mistik
dengan ilmu pengetahuan sebagai alatnya;
4. pendidikan untuk kaum perempuan tidak diperhatikan, kecuali untuk calon-calon penari
kuil.
Pelaksanaan pendidikan diawali dengan pemberian munya (kalung suci), yaitu: seutas tali yang digantungkan dari bahu kiri ke pinggang kanan. Munya sebagai tanda penerimaan dalam lingkungan keagamaan. Upacara ini disebut upacara upanayana (udayana). Pemberian munya pada anak brahmana saat berumur 8 tahun, sedang untuk anak ksatria pada usia 11 tahun, dan bagi anak waisya saat berusia 12 tahun.
Selama penyelenggaraan pendidikan, murid-murid tinggal bersama dengan gurunya, hidup sederhana dan bekerja keras membantu keluarga gurunya. Sistem ini disebut sistem guru-kula (kula:murid), atau pendidikan asrama. Guru dan istrinya dianggap sebagai orangtua oleh para murid.
Sistem guru kula masih tetap dipertahankan sampai masa India modern di samping
sistem pendidikan yang lain (klasikal), terutama sekali karena pengaruh Rabindranath
Tagore. Ia adalah seorang tokoh pendidikan di India yang terkenal. Tokoh lain yang besar pengaruhnya bagi pendidikan agama Islam di India adalah Sayyid Ahmad Khan.

1. Rabindranath Tagore
Lahir di Calcutta tanggal 7 Mei 1861. Dikirim untuk belajar di Inggris pada tahun 1877 untuk belajar ilmu kehakiman. Tahun 1886 ia menikah dan gemar menjalani hidup secara pendeta. Pada tahun 1900 mendirikan Shanti Niketan (panti perdamaian). Tahun 1913 ia mulai mengadakan perjalanan mengelilingi dunia. Tagore adalah seorang pembaharu sosial, pendidik, pujangga, ahli musik dan ahli filsafat yang berusaha memperjuangkan kemajuan bangsanya dan memperjuangkan tercapainya perdamaian dunia.




Hasil karyanya di bidang kesusastraan yang terkenal adalah Gitanjali (1913), dan merebut hadiah nobel bagi kesusastraan. Tahun 1915 mendapat gelar Doktor honoris causa dalam bidang kesusastraan dari universitas Calcutta dan tahun 1941 dari universitas Oxford. Pada tahun 1927 ia mengunjungi Jawa dan Bali, juga mengunjungi Taman Siswa. Tagore meninggal pada usia 80 tahun di Santi Nikethan pada tahun 1941. Bukunya yang terkenal adalah the Hope and Despair of Bengalie (1878), isinya adalah bahwa antara Timur dan Barat harus ada kerjasama.
Cita-cita hidupnya adalah:
a. pembaharuan kebudayaan India lama dengan menggabungkan antara idealisme Timur
dan realisme Barat. Tapi tetap dengan pedoman bahwa India harus tetap memiliki sifat-
sifatnya yang asli;
b. persaudaraan sedunia tanpa mengenal perbedaan kasta, kulit, bangsa, dan agama;
c. pembaharuan di lapangan sosial, memajukan rakyat dengan pendidikan rakyat, sehingga
setiap desa menjadi suatu Sriniketan (panti kemakmuran).
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran:
a. murid belajar dengan melakukan (mencoba sendiri), dengan kegiatan musik dan tari,
dengan hidup dan bekerja di alam bebas;
b. agama menjadi dasar sistem pendidikan asrama (sistem guru-kula);
c. kehidupan di sekolah harus otonom, yang berhak mengatur dan memerintah sendiri (self
government).
Lembaga pendidikan yang berhasil ia dirikan: Shantiniketan (panti perdamaian), tahun 1901 di Bolpur (159 km dari Calcutta); Sriniketan (panti kemakmuran), sekolah pertanian dan perkebunan, tahun 1913; Universitas Visva Bharati (Visva: dunia, Bharati: India), tahun 1921, merupakan penjelmaan perdamaian dunia. Semboyannya jatra visvan bharati ekanidan: seluruh dunia berkumpul pada satu tempat, ia menghendaki universitasnya menjadi pusat kebudayaan dunia. Fakultas-fakultasnya meliputi:
a. fakultas kala bhavana (fakultas kesenian);
b. fakultas sangit bhavana (fakultas musik);
c. fakultas hindi bhavana (fakultas sastra dan kebudayaan Hindu).
Pengaruh Tagore cukup besar di tingkat dunia atas usahanya memperkenalkan dan mengangkat kebudayaan Timur. Moh. Syafei dan Ki Hadjar Dewantara termasuk di antaranya yang terpengaruh juga prinsip pendidikan dari Tagore.






2. Sayyid Ahmad Khan (1817-1896)
lahir di Delhi pada tahun 1817. Ia mendapatkan pendidikan dan pengajaran termasuk membaca Al Qur’an di rumahnya sendiri. Ia adalah tokoh pendidikan yang besar di India, pendiri Universitas Islam di India (Aligarch College, 1875). Pada tahun 1889 mendapat gelar doktor honoris causa dalam ilmu hukum dari Universitas Edenburgh, dan meninggal dunia pada tahun 1899.
Cita-citanya adalah mewujudkan masyarakat Islam yang modern dengan mengambil
Turki sebagai contoh. Semboyannya adalah “tolonglah dirimu sendiri, hanya dengan
demikian engkau dapat maju”. Beberapa usahanya di bidang pendidikan antara lain:
a. mendirikan Alifarch College (universitas Islam), yang bertujuan: menciptakan
pemimpin-pemimpin dan sarjana-sarjana muslim yang sanggup mewujudkan masyarakat Islam yang modern. Universitas dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: bagian Inggris dan Timur. Seluruh mahasiswa diwajibkan mempelajari agama Islam. Orang Hidu dan Kristen juga diterima menjadi mahasiswa;
b. pada tahun 1875 mendirikan Mohammadan Educational Conference, konferensi ini
diadakan setiap tahun sekali;
c. tahun 1888 mendirikan organisasi Patriotic Association, yang bertujuan mengimbangi
usaha-usaha kongres India yang makin mengutamakan kepentingan-kepentingan
golongan Hindu saja.

C. PENDIDIKAN DI CINA PADA MASA KLASIK
Kebudayaan Cina berkembang sendiri tanpa adanya pengaruh dari kebudayaan luar.
Masuknya unsur-unsur kebudayaan asing tidak mengurangi keaslian kebudayaan Cina.
Dengan begitu pendidikan dan pengajarannya mempunyai ciri-ciri yang khas, yang tidak
menunjukkan persamaan dengan ciri-ciri pendidikan di negara-negara Timur lainnya.
Pendidikan anak-anak merupakan pendidikan pendidikan bagi keluarga dan bagi negara.
Tujuan pendidikan dan cita-cita hidup di Cina adalah Lao Tse dan Konfusius.
Ciri-ciri pendidikan di Cina masa klasik di antaranya adalah:
1. pendidikan tidak dihubungkan dengan agama, tetapi dengan tradisi dan kehidupan
praktis. Yang dihormati bukan pandeta tetapi leluhurnya;
2. penyelenggara pendidikan adalah negara dan keluarga;




3. tujuan pendidikan adalah mendidik kepala-kepala keluarga yang baik, pegawai yang
rajin, suami yang setia, anak-anak yang patuh, pegawai-pegawai yang rajin, warga
negara yang jujur dan rela berbakti, tentara yang gagah berani.
Penyelenggaraan pendidikan:
1. pendidikan di rumah: diselenggarakan sebelum anak masuk sekolah. Mulai umur 6
tahun mereka menerima pelajaran dari guru yang sengaja didatangkan di rumah
(biasanya untuk kalangan pegawai tinggi dan bangsawan). Pelajaran yang diberikan:
berhitung permulaan dan ilmu hitung;
2. pendidikan di sekolah: setelah anak-anak berumur 10 tahun mulai dikirim ke sekolah.
pelajaran yang diberikan: berhitung, menulis, membaca, musik, dan menari. Yang
diutamakan adalah pelajaran menulis;
3. pendidikan untuk pegawai: setiap orang mempunyai kemungkinan menduduki jabatan
tinggi. Untuk menjadi pegawai harus menempuh ujian dulu. Para pegawai setiap 3 tahun
sekali wajib menempuh ujian ulangan, juga untuk kenaikan pangkat ujian ulangan harus
ditempuh terlebih dahulu.

Lao Tse
Lao Tse lahir pada tahun 604 SM, ketika di Cina timbul kekacauan politik. Ia adalah
seorang ahli mistik. Ajarannya disebut Tao (jalan Tuhan atau sabda Tuhan). Manusia harus
hidup selaras dengan Tao. Manusia yang dapat berpadu hidupnya dengan Tao harus hidup
selaras dengan Tao, dapat menahan hawa nafsunya, dapat melenyapkan nafsu serakah, dan
dapat mendengar duara Tao dalam kalbunya sendiri. Menurut ajaran Tao, perang hanya
akan memusnahkan manusia, dan kebahagiaan hidup tidak akan tercapai dengan kekuatan
senjata.

Konfusius (Kong Fu Tse), 551-479 SM
Konfusius adalah seorang ahli etika (etik: filsafat/kesusilaan, ilmu kesusilaan, ilmu
tentang baik-buruk), mengajarkan hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Ajarannya dapat dipahami semua orang dan tidak sulit. Menurutnya manusia harus
bertindak sesuai dengan kedudukannya masing-masing. Masing-masing harus mengenal
tempat dalam lingkungannya dan dengan penuh kesadaran menjalankan tugasnya masing-
masing sebaik-baiknya (baik sebagai raja, tentara, pegawai, guru, dan sebagainya). Orang




yang lebih tinggi derajatnya harus memegang teguh Yen (dapat meraba hati orang yang derajatnya lebih rendah dengan rasa kemanusiaan dan kasih sayang.
Rasa hormat dan memuliakan (Hiao) adalah kebajikan hidup yang tertinggi
nilainya. Hiao juga mengatur hubungan kekeluargaan antara anak dan orang tua, pegawai dengan raja, seorang sahabat kepada teman, adik terhadap kakak dan sebagainya. Dengan jalan demikian maka negara akan aman dan damai, terhidar dari bencana, karena setiap orang memahami tugasnya masing-masing.
Konfusius juga mengajarkan bahwa dalam segala hal manusia harus berpedoman pada peraturan yang telah disusun oleh nenek moyang. Leluhurlah yang dijadikan teladan. Tradisi menguasai pandangan hidup mereka. Itulah sebabnya maka penganut-penganut ajaran Konfusius bersifat ststia, tidak memandang ke depan akan tetapi menoleh ke belakang ke alam yang telah lampau.
Konfusius berhasil mengumpulkan beberapa kesusastraan Cina yang disusun menjadi 4 jilid:
1. buku tentang sejarah;
2. buku yang berisis tentang syair-syair;
3. buku tentang upacara-upacara, yang merupakan cermin kesusilaan;
4. buku tentang metamorfosa.
Bukunya yang kelima adalah hasil karyanya sendiri tentang sejarah Lu, daerah kelahirannya. Kelima buku tersebut dipandang sebagai buku suci dan menjadi dasar pendidikan di Cina secara keseluruhan.





























BAB IV
TEORI PENDIDIKAN ISLAM DAN ALIRAN-ALIRAN UTAMA DALAM
PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM

A. TEORI PENDIDIKAN ISLAM
Para ahli pendidikan muslim membedakan secara tegas antara pendidikan (al-
tarbiyah) dan pengajaran (al-ta’lim). Pendidikan mempunyai ruang lingkup luas dari pada pengajaran. Al-Ghazali dalam M. Jawwad Ridla (2002:200) menyatakan bahwa:
“Pendidikan tidak hanya terbatas pada pengajaran semata. Si penanggungjawab berkewajiban mengawasi anak dari hal sekecil dan sedini mungkin. Ia jangan sampai menyerahkan anak yang berada di bawah tanggungjawabnya untuk diasuh dan disusui kecuali oleh perempuan yang baik, agamis, dan hanya memakan sesuatu yang halal…”.
Al-Ghazali juga menambahkan bahwa “…pendidikan itu mirip seperti pekerjaan seorang petani yang menyiangi duri dan rerumputan agar tanamannya bisa tumbuh dan berkembang dengan baik”. Keseriuasan menangani urusan anak membawa para ahli pendidikan pada kesadaran bahwa aktivitas pendidikan dimulai dari semenjak awal kehidupan.
1. Dasar-Dasar Psikologis Proses Pembelajaran
Beberapa dasar psikologis pendidikan yang sangat penting yang bisa diambil dari pemikiran para ahli pendidikan Islam:






a. al-idrak (kognisi) sebagai dasar utama pembelajaran. Para ahli pendidikan muslim
mengharuskan guru memberi perlakuan yang berbeda terhadap anak yang cerdas dan anak yang berkemampuan terbatas. Guru mengajarkan materi yang jelas dan sederhana agar dapat dipahami oleh anak yang berkemampuan terbatas; jangan sampai guru menyampaikan kepadanya materi yang rumit dan kompleks, sebab hal ini dapat menyurtkan minat dan animonya untuk belajar;
b. para ahli pendidikan Islam menegaskan bahwa usia yang tepat untuk pengajaran awal
adalah enam tahun. “Jika usia anak telah mencapai enam tahun, maka ia sudah
seharusnya dibawa kepada guru untuk belajar serius dan intensif”, (Ibnu Sina dalam al-
Qannun.
c. Pemahaman Tentang Subjek Didik. Pemahaman tersebut tercermin dalam: 1)
pemahaman tentang kejiwaan anak merupakan dasar pijakan bagi keberhasilan
pengajaran. Pemahaman ini dimulai dengan memahami perihal diri anak dengan terlebih
dahulu memahami lingkungan sosial anak, terutama lingkungan keluarganya karena
anak adalah cerminan dari kondisi keluarganya; 2) pemahaman guru bahwa
pada dasarnya anak suka sekali bermain, sehingga harus difasilitasi dengan tepat;
d. guru tidak boleh secara terang-terangan bertindak pilih kasih pada murid mereka, karena
anak sudah memiliki kepekaan terhadap tindakan diskriminatif (pilih kasih) yang
diterimanya. Hal ini dapat menimbulkan kebencian di kalangan murid;
e. sanksi (hukuman) dalam pendidikan haruslah merupakan sanksi edukatif, yakni sanksi
yang bersifat dan dimaksudkan untuk memperbaiki, bukan untuk menghancurkan
kepercayaan dan harga diri murid.
f. Metode Pengajaran: guru dituntut mengajar subjek didik sesuai dengan tingkat
pemahamannya, jangan sampai mengajarkan materi yang tidak proporsional dan tidak
dapat dipahami subjek didiknya;
g. tahapan sistematik dalam mencapai hal itu: 1) guru menyampaikan problem inti dari
setiap bab kajian, agar secara umum diperoleh gambaran utuh keseluruhan bab kajian;
2) secara bertahap mengulas ragam variasi pendapat yang berkembang dari setiap bab;
3) guru menyelesaikan dan menjelaskan problem-problem pelik yang tak terpecahkan agar subkej didiknya mencapai penguasaan materi yang argumentatif;
h. guru menyusun strategi lanjut berupa diskusi, dialog, adu argumentasi. Dengan strategi
ini, materi pembelajaran yang telah dikuasai berubah menjadi sebuah “pengalaman”




pribadi yang teruji. Sebab efek diskusi dan dialog jauh lebih kuat dibanding efek pengulangan .
i. Pengajar (guru). Proses pembelajaran mepakan proses interaksi rasional dan hidup
antara pendidik dan peserta didik, antara orang yang sudah “dewasa” dan orang yang
belum “dewasa”. Oleh karena itu ada dua prinsip dasar edukatif yang sangat penting:
kitab (buku) tidak bisa menggantikan posisi guru dalam pengajaran. Guru berperan
penting dalam proses belajar, pembinaan moral, dan keyakinan. Dengan begitu seorang
guru yang diamanati mengajar diharapkan mempunyai kesempurnaan pribadi, baik
dalam kapasitas keilmuan, moral, maupun perangainya. Seorang pendidik menurut Ibnu
Sina seharusnya cerdas, agamis, bermoral, simpatik, kharismatik, dan pandai membawa
diri.

j. Penyiapan Individu Untuk Berpartisipasi Aktif Dalam Kehidupan Ekonomi Masyarakat
Tuntutan para ahli pendidikan muslim terhadap perlunya pengarahan peserta didik
untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi masyarakat membawa pada keharusan
diversifikasi pengajaran, agar masing-masing peserta didik dapat belajar hal yang sesuai
dengan minat dan bakatnya sebagai bekal terjun ke dalam kancah kehidupan sosial. Dengan
demikian guru harus menyingkap potensi-potensi yang dimiliki peserta didik dan
mengarahkannya mengingat tidak semua jenis ketrampilan bisa dengan mudah dikuasai,
melainkan hanya ketrampilan yang sesuai dengan bakatnya. Dengan begitu guru akan
mengetahui seberapa besar peluang yang dimiliki peserta didik untuk bisa menguasai
ketrampilan yang akan diajarkannya. Lebih jauh, pengajaran ketrampilan benar-benar akan
mendapatkan relevansi “psikologis”, dan benar-benar efektif dan efisien.

B. ALIRAN-ALIRAN UTAMA DALAM PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
Aliran-aliran utama pemikiran pendidikan Islam dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: Aliran Agamis-konservatif; aliran religius-rasional; dan aliran pragmatis-instrumental.
1. Aliran Konservatif
Pendidikan dalam aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan. Ilmu dimaknai
dengan pengertian sempit, hanya mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat ini (hidup di
dunia) hanya yang jelas membawa manfaat di akhirat. Untuk penuntut ilmu harus
mengawali belajarnya dengan kitab suci Al-Quran, dengan menghafal dan menafsirkan.




Setelah itu dilanjutkan dengan belajar al-Hadist. Tokoh-tokoh aliran ini adalah al-Ghazali, Nasirudin al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Qabisi.
Menurut aliran ini, ragam ilmu diklasifikasikan menjadi:
a. ilmu yang wajib dipelajari setiap individu, yaitu ilmu tentang kewajiban-kewajiban
agama;
b. ilmu yang wajib kifayahuntuk dipelajari (apabila sebagian warga suatu masyarakat telah
mempelajarinya maka warga yang lain tidak wajib lagi mempelajari), contoh: ilmu
kedokteran, ilmu hitung.
Sedangkan menurut al-Ghazali sendiri ilmu-ilmu pelengkap, termasuk di dalamnya filsafat dibagi menjadi 4:
a. ilmu ukur dan ilmu hitung, diperbolehkan dipelajari dan dilarang hanya jika jelas-jelas
dapat mengantarkannya ke ilmu yang tercela;
b. ilmu mantik (logika), ilmu yang berkenaan dengan bentuk dalil (argumentasi);
c. ilmu ketuhanan (teologi), ilmu yang berisi kajian tentang dzat Tuhan; dan
d. ilmu kealaman.

2. Aliran Religius-Rasional
Beberapa tokoh dari aliran ini adalah: Ikhwan al-Shafa, al-Farabi, Ibnu Sina, dan
Ibnu Miskawaih. Ikhwan al-Shafa merumuskan ilmu sebagai gambaran tentang sesuatu
yang diketahui pada jiwanya. Lawan dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran
yang diketahui pada jiwanya. Belajar dan mengajar adalah mengaktualisasikan hal-hal
potensial, melahirkan hal-hal yang “terpendam” dalam jiwa. Aktivitas tersebut bagi guru
(orang berilmu) dinamakan dengan mengajar, dan bagi pelajar dinamakan dengan belajar.
Jiwa pelajar adalah berilmu (mengetahui) secara potensial. Artinya, siap untuk
belajar, atau menurut istilah pendidikan sekarang educable (kesiapan ajar). Proses
pengajaran adalah usaha transformatif terhadap kesiapan-ajar agar benar-benar menjadi riil,
atau dengan kata lain, upaya transformatif terhadap jiwa pelajar yang semula berilmu
(mengathui) secara potensial agar menjadi berilmu (secara riil-aktual. Dengan demikian inti
proses pendidikan adalah pada kiat transformasi potensi-potensi manusia agar menjadi
kemampuan "psiko-motorik". Aliran religius-rasional banyak membangun konsep-
konsepnya dari pemikiran filsafat Yunani dan berusaha menyelaraskan pemikiran filsafat
Yunani dengan pandangan-pandangan dasar dari orientasi keagamaan mereka.




Hal penting dari pemikiran Ikhwan al-Shafa dan tokoh sealiran lainnya adalah
ijtihad (perenungan intelektual) mereka dalam menafsirkan fenomena pendidikan secara
sosiologis, bahwa pendidikan pada tahap pertama merupakan sosialisasi atau proses
“adaptasi” sosial. Mereka membedakan antara “pengetahuan” dan “pendidikan”.
Pengetahuan adalah cahaya batin yang melimpah dari dalam jiwa; pendidikan adalah proses tumbuh kembang yang berada dalam kerangka sosial, yakni pendidikan merupakan aktivitas sosial di mana tata nilai dan ideologi yang terbangun secara sosial mempunyai peran nyata. Para ahli pendidikan rasionalis muslim mengakui akan kebutuhan manusia terhadap kehidupan bermasyarakat atau kebutuhan manusia terhadap pembentukan tatanan sosialkemasyarakatan dalam istilah kita sekarang. Mereka membagi ragam disiplin ilmu secara hirarkis sebagai berikut:
a. ilmu-ilmu syar’iyah (keagamaan);
b. ilmu-ilmu filsafat;
c. ilmu-ilmu riyadliyyat (pelatihan jiwa dan akal).
Dalam aliran ini pendidikan harus dipandang sebagai fenomena sosial yang tidak bisa dimengerti dengan baik tanpa dikaitkan dengan perilaku manusia (masyarakat) dan halhal yang mempengaruhinya: cita-cita, kepentingan dan distribusi potensi/kekuatan di masyarakat.

3. Aliran Pragmatis
Ibnu Khaldun adalah satu-satunya tokoh dari aliran ini. Pemikirannya meskipun tidak kurang komprehensifnya dibanding kalangan rasionalis, dilihat dari sudut pandang tujuan pendidikan, lebih banyak bersifat pragmatis dan lebih berorientasi pada aplikatifpraktis. Ia membagi ragam ilmu yang perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan menjadi dua bagian:
a. ilmu-ilmu yang bernilai intrinsik, seperti ilmu-ilmu syar’iyyat (keagamaan): tafsir,
hadis, fikih, kalam, ontologi dan teologi dari cabang filsafat;
b. ilmu-ilmu yang bernilai ekstrinsik-instrumental bagi ilmu-ilmu jenis pertama, seperti
bahasa Arab, ilmu hitung, dan sejenisnya bagi ilmu syar’iy, logika bagi filsafat.
Aliran pragmatis yang digulirkan Ibnu khaldun merupakan wacana baru dalam pemikiran
pendidikan Islam. Ia mengakomodir ragam keilmuan yang nyata terkait dengan kebutuhan
langsung manusia, baik berupa kebutuhan spiritual-rohaniah maupun kebutuhan material.


















BAB V
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABAD PERTENGAHAN


A. MASA RENAISSANCE
Renaissance adalah gerakan maknawiyah, yang merupakan reaksi terhadap sikap
hidup abad pertengahan. Renaissance (kelahiran kembali) kebudayaan klasik. Orang
kembali mempelajari bahasa latin dan Yunani serta filsafatnya. Ciri dari masa ini adalah
manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha mencari pedoman baru dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta mulai ditinggalkan, mengarah pada masa kejayaan Republik Romawi. Cita-cita tersebut mendorong dipelajarinya berbagai pengetahuan. Berbagai aliran muncul pada masa ini, seperti: humanisme, reformasi, dan kontra reformasi.

1. Humanisme
Lahir di Italia, pelopornya Petrarca dan Bocaccio. Dalam aliran humanisme, Tuhan sebagai pusat norma tertinggi ditinggalkan, cita-cita manusia dicari pada diri manusia sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan, keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia. Dampak bagi pendidikan dan pengajaran: alat pendidikan yang terpenting adalah mempelajari peradaban klasik.
Tujuan utama pengajaran mempelajari peradaban klasik, bahasa Yunani dan bahasa Latin. Pendidikan jasmani juga mendapat tempat terhormat. Akibatnya, pendidikan intelek mempunyai tempat yang terhormat dan menjadi maju, sedangkan pendidikan agama menjadi terbelakang. Dasar pendidikan etika tidak lagi agama, tetapi etika alam.
Tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan
gembira. Berani diartikan sebagai percaya kepada diri sendiri, bukan taat kepada kekuasaan




Tuhan seperti jaman pertengahan. Berani pula untuk memperoleh kemashuran yang telah dicita-citakan oleh ahli filsafat pada jaman Yunani dan Romawi. Bebas diartikan lepas dari ikatan gereja dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektifistis seperti pada abad pertengahan. Gembira berarti menunjukkan dirinya kepada kenikmatan duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti abad pertengahan.
Pengaruh humanisme dalam organisasi sekolah: orang berpendapat bahwa negara
harus turut campur dalam pengelolaannya. Pengaruh dalam penetapan bahan pelajaran:
terdiri dari artes liberalis yang 7, dengan ditambah ilmu alam, menggambar, dan puisi.

2. Reformasi
Awalnya muncul di Jerman, dipelopori oleh Luther dan Calvijn. Reformasi
merupakan reaksi terhadap tindakan gereja yang pada masa itu membebani rakyat dengan
bermacam pajak. Penagnut aliran ini ingin kembali pada ajaran nasrani, dan hanya
mengakui injil sebagai satu-satunya sumber kepercayaan. Mereka menyangkal kekuasaan
Paus dan konsili-konsili (permusyawaratan gereja), karena pertentangan itulah mereka
disebut kaum protestan.
Berbeda dengan humanisme yang bersifat aristokratis (tertuju hanya kepada lapisan atas), dan membentuk sarjana; reformasi bersifat lebih demokratis, tertuju kepada seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal kepentingan, humanisme lebih tertuju pada kepentingan ilmu pengetahuan, estetika dan filsafat, sedangkan dalam reformasi mengutamakan kepentingan agama dan tidak setuju dengan filsafat Yunani. Bagi reformasi, bahasa latin dan Yunani hanya untuk memahami injil. Beberapa tokoh reformasi:
1. Luther
Merupakan seorang reformator dari Jerman. Pemikirannya dalam pendidikan:
a. semua anak harus mengunjungi sekolah;
b. anak-anak belajar hanya beberapa jam sehari, selebihnya waktu digunakan untuk
mempelajari pekerjaan tangan;
c. anak perempuan belajar satu jam dalam sehari, selebihnya mereka mengerjakan
pekerjaan rumah tangga;
d. anak-anak miskin yang betul-betul pintar saja yang disuruh belajar;
e. posisi guru dihargai tinggi;
f. pelajaran agama dianggap sebagai pelajaran paling penting.




Dalam karyanya, luther menterjemahkan injil dalam bahasa Jerman dan memberikan
lagu-lagu agama. Dalam perjuangannya ia banyak mendapat bantuan dari raja-raja yang
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Paus Roma. Dalam penyelenggaraan pendidikan,
negara ikut bertanggungjawab atas pengajaran, bukan lagi gereja seperti pada agama
Katolik.



2. Calvijn
Dalam buku-bukunya ia banyak mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan, serta pengaruhnya di dalam rumah tangga dan pendidikan agama. Dalam hal bahasa, Calvijn lebih mementingkan pelajaran bahasa latin. Di Geneva didirikan sebuah gymnasium yang juga memberikan pelajaran rendah dan satu sekolah tinggi.
3. Zwingli
Daerah yang dipengaruhi Zwingli lebih kecil dibandingkan Luther maupun Calvijn.
Dalam paham paedagogisnya, pelajaran bahasa klasik adalah penting. Ilmu pengetahuan
dan ilmu pasti harus diajarkan, tetapi tidak boleh mengambil waktu terlalu banyak.
Pendapatnya yang baru adalah bahwa setiap murid harus mempelajari satu pekerjaan
tangan. Ia mendirikan sekolah di Zurich, yang kemudian menjadi universitas.

3. Kontra Reformasi
Renaissance dialami pula oleh gereja katolik, yang disebut sebagai kontra reformasi. Hal ini
disebabkan oleh konsili di Trente (1543-1563) yang memutuskan akan memperbaiki
keadaan dan menjalankan disiplin yang keras terhadap peraturan-peraturan gereja serta membela diri terhadap serangan-serangan kaum protestan. Dalam konsili itu dibicarakan juga usaha-usaha untuk memperluas pendidikan dan pengajaran. Para uskup harus mendirikan sekolah-sekolah seminari untuk memberi kesempatan anak-anak dari keluarga kurang mampu bisa masuk dengan gratis, untuk mendidik calon pendeta, mengajarkan agama kepada anak-anak dan orang dewasa dalam bahasa ibu.
Organisasinya disusun seperti susunan ketentaraan dengan paus sebagai “jenderalnya”.
Biara menjadi sumber semangat perang untuk memberantas keingkaran orang terhadap
agama serta memperluas pengaruh agama katolik dan memperkokoh kedudukan paus.
Sekolah-sekolah banyak didirikan, mulai dari sekolah rendah sampai dengan universitas.




Mazhab Yezuit di bawah pimpinan Ignatius de Loyola menjadi pelopor dalam dunia pendidikan. rencana pendidikan kaum Yezuit tertera dalam “ratio studiorum”




B. PENDIDIKAN PADA MASA REALISME
Aliran realisme muncul dalam bidang pendidikan kurang lebih tahun 1600. Aliran ini bertujuan untuk:
1. meninggalkan cara-cara pembentukan secara klasik, seperti yang dianjurkan oleh
humanisme;
2. mengarahkan perhatian kepada dunia nyata, kepada alam dan benda-benda yang
sebenarnya
aliran ini muncul disebabkan oleh:
1. munculnya ilmu-ilmu kealaman; dan
2. ambruknya sistim pengajaran yang bersifat humanistis.
Karena realisme inilah, dunia pengetahuan yang sampai saat itu masih terpengaruh oleh ajaran Aristoteles mulai goyah.
Munculnya ilmu-ilmu kealaman disebabkan karena manusia berambisi membongkar segala rahasia-rahasia alam. Manusia mulai mempergunakan fikirannya dengan lebih mendalam. Segala peristiwa alam diselidiki dan diamati. Maka muncullah penemuanpenemuan hebat, seperti penemuan Copernicus yang menyatakan bahwa dunia ini berputar mengelilingi matahari (bertentangan dengan pendapat sebelumnya, yaitu Ptolomaeus bahwa bumilah yang menjadi pusat semesta alam). Banyak musafir yang menjelajah ke segala jurusan untuk menemukan benua-benua baru. ketidaksanggupan ilmu-ilmu klasik dalam menerangkan kenyataan-kenyataan itulah, maka dicari jalan baru.
Tokoh yang berperan pada masa ini adalah:
1. Francis Bacon (1561-1626)
Idenya dalam pendidikan adalah:
a. usaha-usaha untuk mencari metode baru;
b. penggunaan metode induksi;
c. penghargaan besar terhadap matapelajaran-matapelajaran realita: ilmu bumi, ilmu ayat, ilmu alam;
d. penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, nukan bahasa latin lagi.






2. Johan Amos Comenius (1592-1671)
Hasil karyanya yang terkenal adalah DIDACTICA MAGNA, yang menjelaskan tentang:
a. tujuan pendidikan: pendidikan hendaknya diarahkan pada kehidupan di alam baka,
dicapai dengan pembentukan ilmiah dan pendidikan budi pekerti serta kesalehan;
b. metode: pendidikan harus disesuaikan dengan alam;
c. hukum didaktik: kepastian; urutan yang tepat; kelancaran belajar; dan kecepatan
belajar;
d. pendidikan kesusilaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, bertujuan mencapai 4
kebajikan dari Plato (budi, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan).

C. PENDIDIKAN MASA PENCERAHAN (AUFKLARUNG)
Gejala-gejala baru muncul pada abad ke-18, terutama pada pertengahan kedua dari abad itu. Seluruh kegiatan manusia saat itu ditujukan kepada usaha mengadakan pencerahan terhadap abad kegelapan. Abad kegelapan adalah ialah abad pertengahan, yang roh jamannya dianggap berakhir setelah abad ke-18 tiba.
Pada masa ini manusia ingin bebas dari ikatan gereja dan tradisi, hasilnya gereja dan negara terpisah. Dalam pendidikan, dituntut agar negara yang harus menyelenggarakan pengajaran, terutama bagi rakyat umum, lepas sama sekali dari pengaruh gereja (tuntutan ini baru berhasil pada akhir abad ke-19).
Seluruh gerakan rohaniah dalam pelbagai lapangan itulah yang disebut sebagai Pencerahan, yang telah menguasai alam pikiran orang di Eropa Barat pada abad ke-18 dan ke-19. dua aliran maknawiyah yang berkembang dan saling mempengaruhi saat itu adalah:
1. Empirisme
Aliran ini beranggapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran adalah empiri atau pengalaman. Segala sesuatu harus dicari dari bahan-bahan yang telah kita peroleh dari pengalaman kita sendiri. Paham ini berasal dari Inggris, dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626).
Dalam paham ini, barangsiapa yang menghendaki ilmu pengetahuan harus mengadakan
penyelidikan sendiri. Ia harus mencari gejala-gejalanya, kemudian menyusunnya dengan
teliti dan dengan menempuh jalan induksi sampai pada hukum-hukum yang umum.
Oleh karena itu empiri dan induksi merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh
pengetahuan. Dengan penyelidikan sendiri, pengamatan fakta-fakta dan pengalaman




adalah terbesar maknanya. Aliran ini kemudian lebih diperluas dan diuraikan oleh kaum empiris bangsa Inggris lainnya, seperti John Locke, Berkeley, dan Hume.
2. Rationalisme
Aliran ini lahir di Prancis dan Descartes (1596-1650), berpendapat bahwa sesuatu itu dianggap benar jika sesuai dengan akal fikiran. Fikiran manusia akan sanggup memecahkan segala persoalan. Untuk menuju ke arah kemajuan dan kesempurnaan, ditempuh jalan fikiran yang sehat.
Rationalisme merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang bersifat dogmatis dan tradisi, yang mulai tampak pada abad ke-15 dan ke-16. menurut rationalisme, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pengamatan alat dria (induksi) masih diragukan kebenarannya. Yang jelas dapat dipercaya adalah kenyataan, bahwa manusia itu berpikir. Ia berpikir dengan akalnya, maka akal budinya itulah yang berkuasa dalam hidupnya.
Penyebab manusia berpikir tidak terletak pada manusia sendiri, tetapi pada Tuhan. Yang
mengatakan hal itu adalah budi atau akal kita. Budi itulah yang menetapkan norma-
norma hidup. Rationalisme menempatkan budi itu di atas wahyu Ilahi. Budi menetapkan
apa yang dapat kita terima dan apa yang tidak, juga di lapangan agama.
Beberapa ahli pendidikan besar yang menguasai paedagogik (ilmu mendidik) pada abad ke18 di antaranya adalah:
1. John Locke
Sistem pendidikannya sesuai dengan teori tabula-rasa, percaya bahwa pendidikan itu maha kuasa. Jiwa seorang anak sama dengan sehelai kertas putih yang kosong, yang dapat ditulisi sekehendak hati oleh pendidik, sehingga semua pengetahuan datang dari luar karena pengaruh faktor-faktor lingkungan. Locke tidak mempermasalahkan sama sekali pengaruh pembawaan si anak. Dalam paedagogik, aliran ini disebut Paedagogis optimisme, sebagai lawan dari paedagogis pessimisme (nativisme) yang menganggap bahwa perkembangan jiwa itu adalah hasil daripada faktor pembawaan belaka. Bagi Locke bentuk pengajaran yang terbaik adalah belajar sambil bermain. Nilai formil lebih penting daripada nilai materiil, oleh karena itu Locke lebih mengutamakan pembentukan kesusilaan daripada pembentukan akal.
Dalam pendidikan kesusilaan, manusia itu harus selalu dapat menguasai diri sendiri dan
memiliki rasa harga diri. Sejak kecil anak harus dibiasakan berbuat baik, untuk itu




pendidik hendaknya memegang teguh kewibawaannya. Ia tidak setuju dengan hukuman jasmani dan pemeberian hukuman.
Dalam pendidikan agama, Locke memperingatkan agar pelaksanaan pendidikan keagamaan tidak berlebih-lebihan. Ia menganggap injil tidak tepat bagi anak-anak, kecuali beberapa ceritera sebagai bahan bacaan anak-anak. Pengaruh Locke di Inggris tampak di sekolah-sekolah bagi anak-anak bangsawan (public school). Ajaran dan citacitanya sebagian kita jumpai lagi pada Rousseau dan kaum Philanthropijn.

2. J.J. Rousseau (1712-1778)
Cita-cita pendidikan Rousseau kita jumpai dalam bukunya “Emile”, yang ditulisnya bagi golongan bangsawan dan kaum terpelajar. Ketika itu anak-anak golongan tersebut mendapat pendidikan dari gubernur-gubernur, yang tidak mengenal perkembangan anak yang sewajarnya dan tidak memberikan kebebasan.
Tujuan pendidikan menurutnya adalah membentuk manusia yang bebas dan merdeka. Sifat pendidikan yang dijalankan individualistis, anak harus dijauhkan dari pengaruh masyarakat, bahkan dari pengaruh orang tuanya.
Dasar pendidikannya adalah pembawaan anak yang baik. Ia percaya bahwa anak sejak lahir berpembawaan baik. Jika kelak anak itu berkelakuan buruk, hal itu disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh jahat dari dunia sekitar/lingkungannya.






BAB VI
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA ABAD KE-19

Pada abad ini, pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Beberapa penyebab terjadinya kemajuan tersebut adalah:
1. Revolusi Prancis
Revolusi prancis yang terjadi sejak tahun 1789, berupa kebangkitan kasta ketiga
menimbulkan gelombang demokrasi hampir di seluruh Eropa. Kasta ini menuntut hakhaknya di lapangan politik, diikuti pula adanya perlawanan terhadap kaum bangsawan dan agama. Perlawanan ini muncul akibat meluasnya cita-cita pencerahan, yang mengemukakan teori tentang manusia yang mempunyai derajat sama, tidak terpengaruh oleh kelahiran, kasta, atau kepercayaan. Semboyan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan bergema di sluruh dunia Barat.
Pengaruhnya dalam bidang pendidikan, rakyat umum menuntut pula hak-haknya di
lapangan pendidikan dan pengajaran. Bahwa pengajaran jangan hanya dinikmati oleh
kaum bangsawan dan hartawan saja. Orang mulai menganggap bahwa sekolah sebagai
suatu lembaga penting yang dapat memelihara dan memajukan negara dan masyarakat.
Oleh karena itu pengajaran harus diperluas dan harus diselenggarakan oleh negara
(bukan gereja). Revolusi di bidang pendidikan mencapai puncaknya ketika Konvensi
Nasional berhasil memberikan pendidikan gratis kepada semua warga negara (1791).

2. Revolusi Industri
Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu alam menyebabkan perubahan besar di sektor industri. Perkembangan teknik menghasilkan penemuan-penemuan baru dan memungkinkan munculnya berbagai industri, yang sebelumnya dikerjakan dengan tangan, mulai dikerjakan dengan mesin. Pabrik-pabrik tumbuh di mana-mana. Revolusi industri ini dimulai di Inggris, kemudian tersebarluas hingga pada abad ke-19 pengaruhnya tampak di hampir seluruh dunia.
Pengaruh revolusi industri di bidang pendidikan dan pengajaran cukup besar. Sejak itu pengajaran harus diberikan pada jumlah murid yang besar (pengajaran massa). Sistem pengajaran sekepala diganti dengan sistem pengajaran klasikal.

Di bawah ini beberapa tokoh pendidikan yang besar pengaruhnya pada abad ke-19, yaitu:






1. Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
Dilahirkan di Zurich (Swiss). Pestalozzi memulai usahanya di bidang pendidikan
dengan mendirikan sebuah rumah yang diberi nama “Neuhof”, yang dijadikannya rumah pendidikan untuk 50 orang anak-anak terlantar. Anak-anak itu bekerja disitu, seperti bercocok tanam, bertenun, dan beternak. Sesudah itu baru diajarkannya membaca, menulis, dan berhitung. Walaupun usahanya ini pernah gagal karena kurangnya dana, namun akhirnya mengalami jaman keemasannya juga. Muridnya banyak dan memiliki staf guru-guru yang kuat. Ia banyak mendapat kunjungan dari berbagai negara yang bermaksud untuk mempelajari metode mengajarnya.
Cita-cita pendidikannya, Pestalozzi menghendaki pendidikan yang disesuaikan dengan perkembangan jiwa anak. Bakat yang dibawa anak sejak lahir harus dikembangkan, sehingga anak dapat mencapai kepribadian yang sejati. Tugas pendidik adalah menolong anak dalam pembentukan diri sendiri. Pestalozzi menghendaki perbaikan masyarakat melalui pendidikan individu dengan pertolongan keluarga, terutama oleh ibu.
Dalam didaktiknya, semua pengajaran harus berpangkal pada pengamatan benda-benda yang sebenarnya. Pestalozzi membedakan tiga unsur yang harus dikembangkan oleh pengajaran, yaitu: Bunyi (kata); Bentuk; dan Bilangan.

2. Johann Friedrich Herbart (1776-1841)
Lahir di Oldenburg (Jerman). Setelah belajar pada ilmu filsafat di Universitas di Yena, ia menjadi Gubernur dan kemudian Mahaguru dalam ilmu filsafat pada beberapa universitas di Jerman. Herbart adalah seorang pelopor yang terbesar dari intelektualisme, yaitu sebuah paham bahwa kemajuan di bidang rohaniah hanya dapat dicapai melalui akal dan pengetahuan saja.
Pada tahun 1806 ia menulis Allgemeine Paedagogik (paedagogik umum), yang
merupakan ilmu mendidik yang berdasarkan ilmu filsafat dan ilmu jiwa. Herbart adalah seorang ahli fikir pertama yang melihat paedagogik sebagai ilmu pengetahuan praktis yang berdasarkan pada:
a. ilmu filsafat, yang menentukan tujuan pendidikan;
b. ilmu jiwa, yang menentukan jalan dan alat-alat untuk sampai pada tujuan itu.
Tujuan pendidikan menurut Herbart adalah kebajikan, dan untuk mendapatkannya diperlukan pengetahuan. Maka pendidikan dan pengetahuan berfungsi memberikan pengetahuan itu.




Pengertian dari pengetahuan dan bagaimana cara mencapainya diuraikan dalam ilmu
jiwanya, yang terkenal dengan nama “teori tanggapan” atau “ilmu jiwa tanggapan”. Ia
menentang teori daya dari Aristoteles, bahwa perasaan dan kehendak dianggap sebagai
daya-daya jiwa yang berdiri sendiri dan terpisah dari tanggapan-tanggapan. Menurutnya
semua gejala jiwa berdasarkan pada tanggapan-tanggapan. Perasaan, hasrat, dan
kemauan adalah keadaan-keadaan khusus yang timbul karena asosiasi tanggapan yang
silih berganti muncul dalam kesadaran. mEmiliki tanggapan-tanggapan berarti memiliki
pengetahuan.
Bila tidak ada tanggapan-tanggapan, tidak akan mungkin timbul kemauan. Kemauan
adalah kelanjutan dari sejumlah tanggapan. Oleh karenanya, pengajaran berfungsi
memberikan tanggapan-tanggapan yang sebanyak-banyaknya, sehingga dapat
mempengaruhi dan mengatur kemauan (juga kesusilaan). Itulah inti dari
“intelektualisme” menurut Herbart. Dengan demikian, kesusilaan dapat dikuasai atau dipengaruhi melalui intelektual (akal), yang penuh dengan tanggapan-tanggapan. Oleh karena itu, seharusnya tanggapan-tanggapan itu jelas dan terang.
Dalam mencapai tujuan pendidikan, dibutuhkan 3 alat pendidikan, yaitu:
a. pemerintahan, untuk membiasakan anak agar taat kepada kehendak pendidik. Dalam
hal ini diperlukan: pengawasan, memberikan perintah, larangan, ancaman, dan
hukuman. Jadi merupakan tindakan preventip;
b. siasat menuju pembentukan kesusilaan dan ke arah pemberian pimpinan untuk
sampai pada keteguhan watak, pada kesusilaan yang sebenarnya. Untuk itu, dijaga
agar anak tetap setia pada kehendak berbuat baik, dan;
c. pengajaran, yang bermaksud memberikan sejumlah besar tanggapan-tanggapan yang
jelas dan terang.
Syarat agar tujuan pengajaran dapat tercapai adalah:
a. pengajaran harus menarik perhatian;
b. tanggapan-tanggapan baru diberikan berdasarkan hal-hal yang telah dikenal,
berdasarkan tanggapan-tanggapan yang telah ada (apersepsi);
c. pengertian-pengertian yang jelas diberikan dengan mempergunakan metode
mengajar yang teratur;
d. bahan pelajaran harus sebanyak mungkin berhubungan satu sama lain, sehingga
semua yang dipelajari merupakan suatu kesatuan yang bulat (asas konsentrasi).






3. Friedrich Frobel (1782-1852)
Dilahirkan di Thuringen (Jerman) pada 1782. Dia pertama kali mendirikan sebuah sekolah bagi anak-anak kecil pada tahun 1837 di Blankenburg, yang dinamakannya “kindergarten” (Taman Kanak-kanak). Di sekolah tersebut diutamakan bermain, menyanyi dan pekerjaan tangan.
Dalam bukunya Menschenerziehung Frobel mencoba memberikan dasar filsafat pada
sistim pendidikannya. Pokok ajarannya adalah sebagai berikut: “segala sesuatu
merupakan satu kesatuan yang dikuasai oleh satu hukum yang sama dan sumber yang sama, yaitu Tuhan. Tuhan ada pada segenap isi alam semesta. Tuhan menciptakan manusia menurut contohnya. Oleh karena itu, manusia harus bekerja dan berkarya menurut contoh Tuhan. Dorongan untuk mencipta ini ada pada setiap manusia, juga pada anak. Dorongan mencipta pada anak harus dikembangkan dengan seksama, karena anak harus dibentuk menjadi manusia yang berbudi baik dan dapat menciptakan serta memajukan kebudayaan.”
Frobel menghendaki agar pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan alam anak-
anak. Anak-anak harus dibawa ke arah ketertiban, penguasaan diri, dan keaktifan. Hal
itu dapat dicapai dengan jalan pekerjaan, karena pada setiap anak selalu ada dorongan
untuk bekerja. usaha Frobel untuk memuaskan dorongan ini pada anak adalah dengan
jalan menyuruhnya bekerja di kebun dan mengikuti kegiatan permainan yang
dipimpinnya sendiri. “suruhlah anak itu bermain, tidak ada yang lain selain bermain,
sampai ia berumur 7 tahun.” Setiap anak mempunyai kebunnya sendiri di sekolah.
dengan demikian dapat terlatih daya kerja anak dan mereka belajar bergaul dengan
teman-temannya.
Pada permainan Frobel banyak mempergunakan imajinasi anak, dengan jalan menyuruh anak sambil bermain membuat dan menyusun bermacam-macam benda. Ia berpedoman pada suatu prinsip, bahwa saat memberikan alat-alat permainan hendaknya diperhatikan urutan yang teratur, mulai dari benda-benda yang sederhana, meningkat sampai pada benda yang paling rumit.
Karya Frobel yang terkenal dengan nama Spielgaben, terdiri dari 5 jenis alat permainan, yaitu:
a. terdiri dari sebuah kotak berisi 6 bola dari wol. Warnanya bermacam-macam
seperti warna pelangi. Anak-anak harus bermain dengan bola itu. Dengan itu




mereka mendapatkan pengertian seperti: ke kiri- ke kanan, ke muka - ke belakang, dan sebagainya;
b. terdiri dari sebuah bola kayu, sebuah kubus kayu, dan sebuah silinder kayu. Bola
dan kubus merupakan suatu pertentangan, yakni dari gerak dan istirahat. Silinder
adalah bentuk peralihan;
c. terdiri dari sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 kubus kecil. Anak-anak
harus menyusun kubus-kubus tersebut sampai timbul “bentuk kehidupan” (misal,
2 kubus disusun ke atas menjadi meja), dan “bentuk keindahan” (misal, 4 kubus
merupakan sebuah bujur sangkar);
d. sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 prisma;
e. sebuah kubus yang dibagi atas 27 kubus-kubus kecil.
Dengan alat permainan yang keempat dan kelima anak-anak harus menyusun bentukbentuk yang lebih pelik. Disamping bahan-bahan tersebut, ia juga memberikan alatalat lain seperti: bilah-bilah untuk disusun, kertas-kertas anyaman, manik-manik. Semua alat tersebut berfungsi sama , yaitu mengembangkan kegiatan sendiri.
Selain itu anak-anak diberi pula kesempatan untuk mempelajari pelajaran seperti: menggambar, bercerita, syair, mengamati binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pada prinsipnya, dengan permainan yang dapat mengembangkan imajinasi anak, maka berkembanglah dorongan mencipta pada anak. Dengan demikian Frobel mengubah prinsip sekolah, dari sekolah dengar menjadi sekolah kerja.
Tujuan pendidikan bagi Frobel adalah “memperkuat daya mencipta pada manusia dengan mempergunakan semua alat, dan dimulai sejak kecil”.












BAB VII
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABAD KE-20






A. PENDAHULUAN
Pada abad ke-20 banyak muncul temuan-temuan baru baik di bidang kesenian, politik, pandangan hidup, maupun yang berhubungan dengan hidup kejiwaan. Hal ini berpengaruh pada perkembangan paedagogik, sehingga muncul bermacam aliran dalam paedagogik. Di bawah ini akan diuraikan beberapa aliran terbaru dalam paedagogik beserta tokoh-tokohnya yang terkenal.

B. PAEDAGOGIK INDIVIDUIL DAN PAEDAGOGIK KEPRIBADIAN
Sebelum abad ke-19, sistim pengajaran yang digunakan adalah sistem pengajaran sekepala, murid secara bergiliran seorang demi seorang datang kepada guru untuk memperdengarkan hafalannya. Mulai abad ke-19 muncul cita-cita memajukan rakyat umum, yang mengakibatkan lahirnya pengajaran klasikal (ingat: Pestalozzi). Sistem klasikal lahir dari dorongan untuk menyebarkan pengajaran di kalangan rakyat umum secara luas, sehingga setiap guru pada waktu yang sama harus memberikan pengajaran pada seluruh kelas. Sistem ini masih berjalan sampai sekarang.
Adanya cita-cita baru abad 20 menyebabkan guncangnya sendi-sendi sistem
pengajaran klasikal tersebut. Muncul suatu sistim yang ingin menonjolkan ke depan perkembangan individu. Sistem ini ingin mendidik manusia sebagai makhluk individu, menjadi orang yang sadar akan dirinya sendiri dan bertanggungjawab, menjadi orang yang berpribadi. Sistim inilah yang dinamakan sistem individuil.
Sistem tersebut didukung oleh dua aliran, yang erat sekali hubungannya satu sama
lain, yaitu: paedagogik individuil dan paedagogik kepribadian. Yang pertama menganggap
individu sebagai objek pendidikan. individu mewakili dirinya yang berdiri sendiri, memiliki
nilai-nilai hidup dan pembawaan yang tertentu. Individu inilah yang harus dikembangkan
dan dididik karena individulah yang bertanggungjawab atas segala tindakannya. Sedangkan
yang kedua berpendapat bahwa hasil pendidikan itu hanya tergantung pada kepribadian si
pendidik. Yang menentukan apa yang harus dicapai dalam pendidikan bukanlah metode-
metode, bukan buku-buku bacaan, organisasi sekolah, melainkan pada kepribadian yang
mendidik dan mengajar. Pendidik ibaratnya harus menjadi seorang seniman yang sanggup
membentuk kepribadian anak. Hal ini hanya dapat terjadi bila pendidik sendiri seorang yang
berpribadi.
Dapat disimpulkan, bahwa pada paedagogik individuil tekanan diberikan pada
kepribadian siswa, sedangkan pada paedagogik kepribadian ditekankan pada kepribadian




pendidik (guru). Kedua aliran ini sedikit sekali perbedannya. Kesamaan keduanya adalah
sama-sama ingin mendidik anak menjadi pribadi yang kuat. Tokoh-tokohnya yang terkenal
adalah:
1. Dr. Maria Montessori (1870-1952)
Ia adalah seorang dokter wanita yang pertama di Italia. Ia mendapat gelar doktor dalam
ilmu ketabiban pada 1896. Dewasa ini, hampir di setiap negara mempunyai sekolah
Montessori. Montessori menyusun metodenya berdasarkan 3 prinsip pokok, yaitu:
a. prinsip ilmiah, segala sesuatu harus dikerjakan berdasarkan penelitian ilmiah. Itulah
sebabnya metodenya didasarkan pada pengamatan jiwa anak dengan teliti;
b. prinsip kebebasan, anak-anak tidak boleh dipaksa untuk melaksanakan kehendak
pendidik. Anak harus bebas, dapat mencurahkan hatinya dengan spontan, karena
mereka memiliki daya untuk “mendidik diri sendiri”. Pada setiap masa
perkembangan, anak mempunyai kebutuhan rohaniah yang berbeda. Menurut ilmu hayat, suatu pembawaan berkembang dengan sempurna pada usia tertentu dan dapat pula menjadi “tumpul”, bila saat untuk mengembangkan pembawaan itu tidak dipergunakan. Saat itu dinamakan “masa peka”.
Dalam hubungannya dengan pendidikan, “masa peka” ini berarti suatu masa dalam
kehidupan yang sangat baik bagi perkembangan sifat-sifat dan daya-daya tertentu.
Itulah sebabnya maka tugas pemimpin (guru di sekolah Montessori disebut
pemimpin) ialah mempelajari anak-anak untuk dapat mengetahui, bilamana pada mereka timbul “masa peka” bagi perkembangan sifat-sifat tertentu. Pemimpin harus mempergunakan masa itu sebaik-baiknya untuk mengajarkan pengetahuan tertentu atau ketangkasan dengan memilih alat pelajaran yang tepat.
“Masa peka” timbul secara spontan, untuk itu Montessori menghendaki agar anak
dapat bekerja dalam kebebasan. Sebab itulah ia sangat menentang pengajaran
klasikal, yang memaksa anak-anak pada saat yang sama mengerjakan hal-hal yang
sama. Menurut metode Montessori, setiap anak harus berada di bawah observasi
pemimpin. Pada prakteknya, sekelompok anak di bawah pimpinan seorang
pemimpin, dan setiap anak diperhatikan secara individuil apa yang mereka perlukan
pada saat tertentu.
c. Prinsip kegiatan sendiri. Secara alamiah, anak selalu melatih diri utnuk belajar
mempergunakan fungsi-fungsi tertentu dengan baik. Untuk itu seorang pendidik
tidak boleh menghalanginya, karena dengan jalan itulah anak dapat berkembang.




Pendidik harus membiarkan anak mencoba sendiri dan menemukan sendiri. Itulah sebabnya maka di sekolah Montesori segala sesuatu disesuaikan dengan besar badan anak-anak.
Untuk melaksanakan cita-citanya itu, Montessori mendirikan rumah kanak-kanaknya
yang pertama dan diberinya nama “casa dei bambini”. Ini adalah sebuah lembaga bagi
kanak-kanak usia 3-7 tahun. Mereka berada di sana sehari penuh dan tidak saja
menerima pemeliharaan rohani, tapi juga jasmaninya.k usia 3-7 tahun. Mereka berada di
sana sehari penuh dan tidak saja menerima pemeliharaan rohani, tapi juga
jasmaninya.Rumah kanak-kanak ini disusun sedemikian rupa, sehingga tidak
menyerupai sekolah: tidak ada bangku-bangku melainkan kursi-kursi dan meja-meja
yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh kanak-kanak; lemari-lemari dan perkakas
dapur bagi kanak-kanak; mereka mendapat kesempatan untuk mencuci dan tidur;
banyak udara dan cahaya. Perkembangan jasmani anak diikuti dan dipimpin dengan
seksama. Latihan-latihan bercakap, latihan-latihan alat dria dan latihan-latihan yang
berhubungan dengan hidup sehari-hari merupakan dasar dari yang diajarkan. Pengajaran
diberikan dengan berperaga dan mempergunakan sejumlah alat-alat pelajaran yang
beraneka warna. Juga disediakan sebidang tanah untuk kebun sekolah.
Alat-alat pelajaran pada sekolah Montessori disusun disesuaikan dengan fase-fase perkembangan anak dan dipergunakan pada:
a. latihan susunan otot, seperti berjalan, berdiri, berlari, memakai dan membuka
pakaian, memelihara pekerjaan rumah tangga (misal: menata makanan di meja,
mencuci piring, dan sebagainya), berkebun, pekerjaan tangan, dan bersenam.
b. Latihan alat-alat dria
1) Alat peraba. Dengan meraba anak-anak harus dapat membedakan berbagai
benda. Untuk membedakan pengertian halus dan kasar anak-anak meraba papan
yang halus dan yang dibubuhi ampelas;
2) Alat pencium. Anak-anak disuruh mencium roti, daging, bunga, dan sebagainya.
Kemudian dengan mata tertutup mereka mencium benda-benda itu dan dapat
menyebut namanya.
3) Alat pengecap dan perasa temperatur. Anak disuruh mencecap berbagai zat,
seperti garam, gula, cuka, dsb untuk menanamkan pengertian manis, asin, asam,
dsb. Perasa temperatur dilatih dengan menyuruh anak meraba kantung-kantung




karet yang diisi dengan air panas, hangat, dingin. Latihan-latihan tersebut dilakukan dengan mata tertutup;
4) Alat daya ingat. Beberapa di antaranya seperti: balok kayu yang mempunyai 10
lubang. Kedalam lubang dapat dimasukkan silinder-silinder dari berbagai ukuran
(tidak sama besarnya). Anak harus memasukkan silinder-silinder itu ke dalam
lubang-lubang. Bila memasukkan silinder ke dalam lubang yang tidak pas ia
dapat melihat sendiri adanya kesalahan.
5) Alat pendengar.
- dua pasanga kotak, yang kalau diguncang menimbulkan suara yang berbeda.
Anak harus mencari pasangan kotak-kotak yang sama bunyinya;
-dua pasang genta, masing-masing merupakan nada yang berurutan tingginya.
Anak harus mencari nada-nada yang sama dari kedua pasangan genta
tersebut;
- permainan ketenangan. Kelas digelapkan, anak-anak harus mendengarkan
perkataan pemimpin yang diucapkan dengan berbisik, kemudian mereka
menjalankan perintah-perintah yang diberikan dengan berbisik pula.
c. Latihan akal
Latihan dan alat-alat di atas adalah bagi anak-anak yang berusia 5 tahun ke bawah.
Setelah anak memiliki suatu kecekatan dalam mempergunakan bermacam benda dan
jiwanya telah diperkaya dengan bermacam tanggapan dan pengertian, mata dan
tangannya telah terlatih, maka anak telah siap untuk belajar menulis, membaca, dan
berhitung.
1) menulis. Pelajaran menulis diberikan bila “masa peka” nya telah tiba. Mula-mula
anak belajar mengikuti bentuk huruf-huruf yang dibuat dari ampelas dengan
jarinya. Kemudian ia harus dapat melukiskan bentuk huruf-huruf itu tanpa
contoh. Setelah itu ia mempelajari bunyi huruf-huruf itu. Tanpa disadari anak
belajar membuat huruf-huruf dan pada suatu saat tiba-tiba ia sampai pada
penemuan: bahwa ia dapat menulis;
2) membaca. Latihan membaca yang pertama dilakukan dengan jalan menempatkan
di muka anak beberapa benda dengan namanya. Awalnya anak membacanya
dengan perlahan, lalu datang komando “capat”, dan “lebih cepat lagi”. Latihan
lain dengan memperlihatkan mainan dengan namanya yang telah ditulis pada
potongan kertas. Latihan yang agak sulit dengan memberikan potongan-




potongan kertas yang telah ditulis dengan pertanyaan-pertanyaan dan tugas. Anak harus membacanya dan melaksanakan tugas itu.
3) Berhitung. Awalnya dengan mempergunakan alat pelajaran yang terdiri dari 10
buah bilah yang panjangnya 1-10 dm, masing-masing bilah bergantian diberi
warna merah dan biru. Untuk menghubungkan angka dan bilangannya, maka
pada bilah-bilah itu dituliskan angka-angkanya. Mempelajari bilangan-bilangan
1-10 berlangsung menurut 3 tingkatan belajar.

2. Miss Helen Parkhurst
Dengan mempelajari prinsip-prinsip metde Montessori, Parkhurst menyusun suatu sistim pengajaran baru dengan nama “Sistim Dalton” (1919). Ia sendiri menyebutnya laboratory plan. Menurutnya, sekolah itu harus merupakan sebuah laboratorium (tempat penelitian), dan anak-anak menjadi peneliti-penelitinya.
Sekolah Dalton merupakan penggabungan sistim pengajaran klasikal dan pengajaran Montessori (individuil), serta berdasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan dan kooperasi (kerjasama).
Di sekolah Dalton, sejumlah pelajaran tertentu seperti bahasa, berhitung, ilmu bumi,
sejarah, dsb diberikan secara klasikal dan sebagian lagi dikerjakan murid-murid sendiri
dengan bebas. Bebas yang dimaksud: awalnya tiap bulan murid masing-masing
menerima tugas ntuk setiap mata pelajaran. Guru memeriksa dan mencatat semua yang
dikerjakan oleh tiap anak setiap harinya. Selama mengerjakan tugas bulanannya mereka
bebas menanyakan kepada guru. Sekolah dibagi menjadi beberapa ruang (sesuai mata
pelajaran). Murid bebas pergi dari ruangan yang satu ke ruang yang lain. Bila seorang
selesai dengan tugasnya akan diberikan tugas bulanan yang baru. Tidak semua mata
pelajaran “didaltonkan”, beberapa seperti menyanyi, bercerita, gerak badan, tetap
diberikan secara klasikal.
Murid yang tidak dapat menyesuaikan diri dikumpulkan dalam sebuah ruangan yang dinamakan adjustment room. Di sini mereka bekerja di bawah pimpinan yang lebih keras. Mereka diberi kesempatan lagi untuk mengerjakan tugas yang kurang difahaminya.
Metode tersebut adalah untuk anak-anak usia 6-9 tahun, yang belum dapat diberi tugas-
tugas bulanan secara tertulis diadakan kelas-kelas Sub Dalton, yang biasanya dipimpin
oleh seorang guru. Ruang kelas dibagi atas 4 sudut kelas, yakni untuk pelajaran




membaca, menulis, berhitung, dan menggambar. Setiap sudut mempunyai sebuah meja besar yang cukup dipergubakan untuk 12 orang anak. Kebebasan anak-anak lebih dibatasi lagi, karena bila seorang anak sudah luai dengan satu pelajarannya pada sebuah sudut, maka ia harus tetap bekerja di sana minimal 20 menit. Anak-anak diberti bantuan secara individuil dan sebanyak mungkin disuruh bekerja sendiri. Tetapi mereka diperbolehkan juga untuk bekerja bersama-sama.

C. PAEDAGOGIK SOSIAL
Paedagogik sosial modern lahir pada abad ke-20, mengemukakan bahwa
individu itu baru berarti bila ia menjadi bagian organis dari masyarakat. Tokoh-
tokohnya yang terkenal di antaranya adalah: John Dewey dan Kerschensteiner, yang
menjadi pelopor Arbeitsschule (sekolah kerja). Dewey berpendapat bahwa ”sekolah
mempunyai tujuan sosial. Segala tujuannya harus tunduk pada tujuan itu. Sekolah harus
merupakan pencerminan kembali dari masyarakat yang bercita-citakan demokrasi”.
Pendapat Kerschensteiner senada dengan Dewey, “tugas sekolah adalah
membentuk warga negara, yang harus melaksanakan pekerjaannya dengan penuh perasaan tanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat”. Baginya bentuk masyarakat yang tertinggi adalah negara.
Pemupukan semangat bekerja adalah yang terpenting, bukan hanya banyak
mengetahui. Itulah sebabnya sekolah kerja benar-benar bertentangan dengan sekolah
dengar. Menurut Dewey pula, sekolah itu harus merupakan masyarakat dalam bentuk
kecil (embryonic community life), karena sekolah harus berguna bagi pembentukan
sosial.
1. John Dewey (1859-1952)
Dilahirkan di Vermont (Amerika) pada tahun 1859. menjadi mahaguru dalam ilmu
filsafat dan paedagogik pada universitas di Chicago tahun 1895, dan di New York
(1904). Buku berharga yang pernah ditulisnya adalah School and Society dan How
we Think.
Dewey mendirikan sebuah sekolah untuk mencoba metode pengajarannya dan untuk menghubungkan hasil-hasil studi teoritisnya dengan kegiatan-kegiatan sosial. Ia berpendapat bahwa segala sesuatu harus dicoba dengan praktek.






D. PAEDAGOGIK EKSPERIMENTIL

E. PAEDAGOGIK SOSIAL





DAFTAR PUSTAKA

Beeby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan.
Jakarta: LemLit Pendidikan&Penerangan Eko&Sos

Dyah Kumalasari. (2007). Dinamika Pendidikan Indonesia Pada Masa Kolonial. Jurnal
Istoria. Yogyakarta: Pendidikan Sejarah FISE UNY
I. Djumhur. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu

M. Ngalim Purwanto. (2002). Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya

Mansur, Dahlan, dan M.Said. (1989). Mendidik dari Zaman ke Zaman. Jakarta:
PT.Rajawali Press

Palmer.A.Joy. (2003). 50 Pemikir Pendidikan: Dari Piaget Sampai Masa Sekarang.
Yogyakarta: Jendela
Soegiono. (1993). Tokoh-Tokoh Pendidikan Dunia. Jakarta: CV. Ilmu UU. No. 20 Tahun 2003
Zuhairini, dkk. (1997). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara
sumber
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929