loading...

“PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA”

November 14, 2014 Add Comment

“PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA”

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu kenyataan dalam fiqih adalah adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan tetapi dalam illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan ullat hukumnya. Disamping itu sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat milieu atau lingkungan dimana ulama tersebut hidup. Perlu ditekankan disini bahwa disamping perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli dan dalil juz’i. Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa nabi, hanya saja pada masa nabi apabila terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu nabi. Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif . bahkan, perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Akhirnya perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah islamiyah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah sebab-sebab perbedaan pendapat?
2. Bagaimanakah perbedaan pendapat para ulama?
3. Apakah hikmah perbedaan pendapat para ulama?
4. Pengertian perbedaan para ulama?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sebab-Sebab Perbedaan Pendapat

Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain di mana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Sesuai dengan kaidah :

"Keluar dari perbedaan pendapat itu adalah disenangi ".


"Apa yang disepakati didahulukan daripada hal-hal di mana para ulama berbeda pendapat".

Adapun sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah:
1. Karena berbeda dalam memahami dan mengartikan kata-kata dan istilah baik dalam Al-Qur'an maupun Hadits. Seperti lafal musytarak, makna haqiqat (sesungguhnya) atau majaz (kiasan), dan lain-lainnya.
2. Karena berbeda tanggapannya terhadap Hadits. Ada Hadits yang sampai kepada sebagian ulama, tetapi tidak sampai kepada ulama yang lain. Kalau Hadits tersebut diketahui oleh semua ulama, sering terjadi sebagian ulama menerimanya sebagai Hadits sahih, sedang yang lain menganggap dha'if, dan lain sebagainya.
3. Berbeda dalam menanggapi kaidah-kaidah Ushul. Misalnya ada ulama yang berpendapat bahwa lapal am yang sudah ditakh'sis itu bisa dijadikan hujah. Demikian pula ada yang berpendapat segala macam mafhum tidak bisa dijadikan hujah. Ulama-ulama yang berpendapat bahvva mahfum itu adalah hujah, kemudian berbeda lagi tanggapannya terhadap mafhum mukhalafah.
4. Berbeda tanggapannya tentang ta'arudl (pertentangan antara dalil) dan tarjih (menguatkan satu dalil atas dalil yang lain). Seperti: tentang nasakh dan mansukh, tentang pentakwilan, dan lain sebagainya yang dibahas secara luas dalam ilmu Ushul Fiqh.
5. Berbeda pendapat dalam menetapkan dalil yang sifatnya ijtihadi. Ulama sepakat bahwa Al-Qur'an dan Al-Sunnah al-Shahihah adalah sumber hukum. Tetapi berbeda pendapatnya tentang istihsan, al-maslahah al-mursalah, pendapat sahabat, dan lain-lainnya yang digunakan dalam era berijtihad. Sering pula terjadi, disepakati tentang dalilnya, tetapi penerapannya berbeda-beda. sehingga mengakibatkan hukumnya berbeda pula. Misalnya tentang Qiyas: Jumhur ulama berpendapat bahwa Qiyas adalah dalil yang bisa digunakan. Tetapi dalam menetapkan illat hukum sering berbeda. Karena adanya perbedaan dalam menentukan illat hukumnya, maka berbeda pula dalam hukumnya.
Dari keterangan di atas jelas bahwa perbedaan pendapat para ulama itu pada prinsipnya disebabkan karena berbeda dalam cara berijtihad. Berbeda dalam cara berijtihad mengakibatkan berbeda dalam fiqh sebagai hasil ijtihad. Disamping itu sering pula terjadi perbedaan pendapat akibat milieu atau lingkungan di mana ulama tersebut hidup: Seperti Qaul Qadim dan Qawl Jadid dari Imam al-Syafi'i. Qaul Qadim merupakan hasil ijtihad Imam Al-Syafi'i ketika beliau hidup di Baghdad. Sedangkan Qaul Jadid merupakan hasil ijtihad Imam al-Syafi'i ketika beliau hidup di Mesir. Imam Abu Hanifah dihadapkan kepada masyarakat yang lebih maju peradabannya di Irak, sehingga dituntut untuk berpikir secara lebih rasional. Akibatnya, rasionalitas lebih mewarnai mazhab Hanafi. Sebaliknya, Imam Malik berhadapan dengan masyarakat Madinah, tempat Nabi berjuang dan membangun umatnya, sehingga beliau dituntut untuk lebih mengikuti dan mempertahankan `urf Ahli Madinah. Hal inilah yang menyebabkan Mazhab Maliki lebih bernuansa tradisionalis.
Perlu ditekankan disini bahwa di samping perbedaan pendapat banyak pula masalah yang disepakati para ulama, baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan dalil kulli ataupun dalil juz'i. Seperti wajib melaksanakan shalat lima waktu, puasa bulan Ramadhan, menunaikan zakat, naik haji bagi yang mampu, wajib melaksanakan, keadilan, melaksanakan amanat, wajib memelihara ukhuwah, musyawarah, dan lain-lainnya. Haram melakukan pencurian, perampokan, pembunuhan, zina, minuman khamar, menuduh zina, menghina orang, melakukan riba, menipu dalam timbangan dan sukatan, menjadi saksi palsu, dan lain sebagainya.

B. Pengaruh Perbedaan Pendapat Para Ulama,

Perbedaan pendapat ini sudah terjadi sejak masa Nabi, hanya saja pada zaman Nabi apabila terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat ada yang memberikan keputusan akhir yaitu Nabi sendiri. Dengan demikian, perbedaan pendapat dapat terselesaikan. Umat pun mengikuti keputusan Nabi ini. Pada zaman sahabat, terutama pada zaman Khulafa al-Rasyidin, untuk masalah- masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan umat selalu dimusyawarahkan oleh Khalifah dengan anggota-anggota majelis permusyawaratan. Keputusan musyawarah ini menjadi pegangan umat.
Perbedaan pendapat dalam masalah lainnya yang tidak langsung berkaitan dengan kepentingan umat. Perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqh ini tidak memberikan pengaruh yang negatif sampai ke zaman Imam-Imam mujtahidin. Mereka tahu pasti di mana dimungkinkan perbedaan pendapat, dan di mana harus terjadi kesepakatan. Dengan demikian apabila terjadi perbedaan pendapat pada masa itu mereka cukup toleran dan menghargai pendapat yang lain. Imam Syafe'i menghatgai pendapat Imam Malik dan Imam Malik juga menghargai pendapat Abu Hanifah.
Namun, setelah orang fanatik kepada satu mazhab atau kepada satu pendapat ulama, maka sering perbedaan pendapat ini mengakibatkan hal-hal yang tidak pada tempatnya. Melampaui batas-batas yang harus dipegang bersama, merusak persatuan dan kesatuan umat serta ukhuwah Islamiyah yang dibina oleh Rasulullah.SAW Prof. Hasbi menyatakan: “Apabila kita perhatikan keadaan masyarakat Islam dewasa ini dan sebabnya mereka bergolongan-golongan ditinjau dari segi hukum Islam niscaya nyatalah bahwa di antara sebab-sebab itu ialah perbedaan pegangan, perbedaan anutan, dan perbedaan ikutan. Dan untunglah di tanah air kita Indonesia ini pengaruh perbedaan anutan dan golongan tidaklah meruncing, jika dibandingkan dengan keadaan diluar negeri seperti di India, di Persia dan lain-lain tempat”. Pengaruh negatif dari perbedaan pendapat ini ternyata bisa dinetralisasi dengan pendidikan yang meluaskan wawasan berpikir tentang hukum Islam. Antara lain dengan cara muqaranah al-madzahib dan mambaca kitab-kitab Imam Madzhab.

C. Hikmah Perbedaan Pendapat Para Ulama

Perbedaan pendapat tidak akan mengakibatkan pengaruh yang negatif. Bahkan, perbedaan pendapat bisa memberikan hikmah yang besar. Dengan berpikir kritis dan bersikap terbuka terhadap perbedaaan pendapat para ulama, maka perbedaan pendapat itu akan memberikan hikmah yang besar, Berikut ini akan dikemukakan beberapa hikmah dapat ditarik dari perbedaan pendapat tersebut.
Kita memiliki sejumlah besar hasil ijtihad yang memungkinkan untuk memilih mana alternatif yang terbaik di antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Cara inilah yang sedang ditempuh para ahli hukum Islam. Sekarang seperti terbukti dalam perkembangan hukum Islam terakhir.
Di samping itu, dengan adanya perbedaan pendapat para ulama, kita akan tahu alasan masing-masing ulama tentang pendapatnya tersebut, sehingga memungkinkan kita untuk mentarjih atau cenderung kepada pendapat yang mempunyai alasan yang lebih kuat. Dengan demikian dari perbedaan pendapat ulama yang ada, dengan melihat kepada cara beristinbat, akan tampak mana pendapat-pendapat yang lebih banyak meraih nilai-nilai Al-Qur'an dan Sunnah.
Kita melihat kenyataan bahwa bagaimanapun juga selama diperkenankan ijtihad, maka berarti diperkenankan adanya perbedaan pendapat. Sebab ijtihad mengakibatkan adanya perbedaan pendapat para ulama. Ini berarti dituntut sikap toleran terhadap kenyataan adanya perbedaan pendapat. Kenyataan lain adalah umat Islam pada umumya yang tidak mampu berijtihad akan mengikuti salah satu pendapat ulama, baik dengan cara Ittiba' maupun Taklid. Ini bisa dipahami karena umat Islam yang awam mempunyai i'tikad baik untuk bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Yang tahu ajaran agama itu adalah ulama (Ahli Agama) . Maka, dengan iktikad baiknya itu mereka mengikuti salah seorang ulama. Apalagi mereka sering dengar “Al-'ulama waratsat al-anbiyd” para ulama itu adalah ahli waris para Nabi. Oleh karena itu, kedudukan ulama sangat tinggi di mata mereka. Fatwa ulama pada pandangan mereka sama dengan fungsi dalil pada pandangan mujtahid. Hal ini tampak dari ungkapan: Qaul al-mufi fi haqq al-'dm ka al-adilla ft haqq al-mujtahid.
Sekalipun keharusan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah sudah lama dikumandangkan, dan disepakati oleh seluruh Imam Mazhab, tetapi tampaknya belum ada model thuruq al-istinbath yang baru. akibatnya, sering terjadi adanya pendapat baru, tetapi jika diteliti ternyata telah ada. Mungkin, ditemukan pada Mazhab Hanafi, atau Maliki, atau Syafi'i, Habali, Dhahiri, Syi'i, atau ulama lainnya (Al-Tharabi, Abu Tsawr, Laits bin Sa'ad, dan lain-lain). Cara beristinbat untuk masalah baru pun ternyata sama dengan salah satu Imam Mazhab. Dhahiri menekankan pada dhahir nash, sedangkan Maliki dan Hanafi lebih menekankan pada kemaslahatan dan semangat ajaran. metode-metode lainnya dalam ilmu Ushul fiqh.
Akhirnya dapat dinyatakan bahwa perbedaan pendapat adalah wajar dalam masalah-masalah ijtihadiyah selama kita tetap bisa menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah. Perbedaan pendapat menjadi tidak wajar apabila menjurus kepada perselisihan dan permusuhan, serta melampaui batas-batas dalil kulli.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa perbedaan para ulama itu menurut ilmu fiqh adalah wajar dalam masalah-masalah mengungkapkan atau menyelesaikan masalah yang berkaitan dalam ijtihadiyah dan islamiyah. Pada zaman Rasulullah jika ada permasalahan mereka menyelesaikan dengan cara bermusyawarah dan akhirnya permasalahan itu diserahkan kepada nabi saw. Selain itu kita memiliki sejumlah besar ijtihad yang memungkinkan memilih mana alternatif yang terbaik antara pendapat para ulama yang bisa diterapkan untuk masa sekarang ini. Disamping itu, dengan adanya pendapat para ulama, kita bisa mengetahui pendapat masing-masing ulama. Sehingga memungkinkan bahwa kita untuk cenderung/mentarjih kepada pendapat yang mempunyai alasan yang lebih kuat.

Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran

November 06, 2014 Add Comment

Konsep Dasar Penilaian Pembelajaran

Dalam dunia pendidikan terdapat beberapa istilah yang bertemali dengan peni¬laian yaitu evaluasi, penilaian, tes, dan pengukuran. Keempat istilah ini terka¬dang digunakan mengacu pada hal sama. Namun demikian, pada prinsipnya keempat istilah sebenarnya memiliki perbedaan. Guna membedakan keempat istilah ini berikut diuraikan konsep pengukuran, tes, penilaian, clan evaluasi.
Berkenaan dengan perbedaan antara pengukuran clan tes, Nitko (1996); Ebe) dan Friesbie (1991) menyatakan bahwa pengukuran merupakan sebuah prosedur penentuan dan penetapan skor untuk menentukan spesifikasi atribut atau karakteristik siswa. Skor hasil pengukuran mencerminkan tingkatan yang dimiliki siswa. Di sisi lain, tes didefinisikan sebagai instrumen atau prosedur sistematis untuk mengobservasi dan mendeskripsikan satu atau lebih karakter siswa menggunakan skala numerik ataupun skema klasifikasi. Senada dengan pendapat kedua ahli di atas, Miller, et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran dipandang sebagai proses menetapkan nilai hasil tes atau jenis penilaian lainnya yang memiliki aturan-aturan khusus. Oleh sebab itu, pengukuran biasanya menjawab pertanyaan "seberapa banyak?" Tes merupakan instrumen untuk mengukur sampel perilaku melalui pengajuan seperangkat pertanyaan secara seragam. Sebagai salah satu alat penilaian, tes biasanya menjawab pertanyaan "seberapa baik performa seorang siswa dibandingkan dengan siswa lain atau dibandingkan dengan performa tugas yang ditetapkan?"
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929