loading...

Resume AL KHAASH

June 22, 2013
loading...
AL'AAM (UMUM DAN PETUNJUKNYA
Jika dalam nash syara' fierdapat lafal yang 'aam, dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya, maka ia harus d,ipahami menurut keumumannya dan hukumnya ditetapkan unfbk semua satuan¬satuannya secara pasti. Jika terdapat dalil yang mengkhusu!ikan¬nya, maka waji dipahami menurut apa yang tersisa dari satuaYinya setelah dikhususkan dan hukumnya ditetapkan untuk satuan¬satuannya secara dugaan, bukan pasti. Lafal yang umum tidak boleh dikhusukan kecuali dengan dalil sebanding atau lebih tinggi dalam hal kepastian atau dugaannya.
Definisi al'aam
Al 'aam adalah yang menurut arti bahasanya menunjukkan atas mencakup atau menghabiskan semua satuan-satuannya, yang sesuai dengan maknanya tanpa membatasi jumlah dari satuan¬satuan itu. Seperti lafal kullu 'aqd (setiap akad) yang terdapat dalam ucapan para. ahli fikih:

Untuk sahnya setiap akad disyaratkan adanya sifat keahlian-pada dua orang yang melakukan akad,
Adalah lafal yang al 'aam (umum) yang menunjukkan atas ter¬cakupnya segala sesuatu yang dapat dikatakan akad, dengan tanpa m.embatasi pada akad tertentu saja. Seperti lafal man alqaa dalam hadis yang berbunyi:

Barangsiapa yang melempar (meletakkan) pedangnya maka ia aman,
Adalah lafal yang umum yang menghabiskan setiap orang yang melempar pedangnya, tanpa membatasi pada satu atau bebe¬rapa orang tertentu.

Macam-macam al'aam.
Dari penelitianberhadap nash menunjukkan bahwa al 'aam terbagi menjadi tiga macam:
1.. Al'aam yang dinuksudkan adalah umum secara pasti. Yaitu, al 'aam yang disertai alasan yang dapat menghilangkan ke¬mungkinan takhshish, seperti al 'aam dalam firman Allah Swt.:


Dan tidokada sabc binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya. (QS. Huud: 6)
Dan firman Allah Swt.:

. .
Dan daripada air, Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (QS. al Anbiyaa: 30)
Pada nasing-masing ayat tersebut terdapat penetapan sunnah Allah yang beisifat umum yang tidak ditakhshish dan tidak diganti 1Vlaka al 'aam pada kedua ayat tersebut adalah pasti petunjuknya atas umum, tidak mungkin dlkehendaki makna khusus.
2 Al 'aam yang dimaksudkan adalah khusus secara pasti. Yaitu al 'aarn yang disertai alasan yang dapat menghilangkan kete¬tapannya atas malrna umum dan menjelaskan bahwa yang di¬maksud adalah sebagian satuannya, seperti firman Allah Swt.:

Mengerjakan haji ke Baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah. (QS Ali lmran: 97)
3. Al 'aam yang difakhshish. Yaitu al 'aam yang mutlah tidak diser¬tai dengan alasan yang meniadakan kemungkinan takhslii,sh, tidak pula alasan yang meniadakan pefunjukn a atas umuna.
Seperti kebanyakan nash yang mengandung LAN yang uanum, mutlak dari alasan bersifat lafal, akal,, atau adat yang dapat menentukan umum atau khusus. Lafal ini adalah unaum lathr¬nya, sampai ada dalil yang mengkhusqskannya. Seperxi dalam fuman Allah Swt. :

Wanita-wanita yang ditalak itu menahan diri...
Takhshish al'aam
Takhshish al 'aam menurut istilah ulama ahli ushul adalah rnen¬jelaskan bahwa yang dimaksud al'aam menurut syari' pada mula¬nya adalah sebagian satuannya, tidak seluruhnya. Atau menje¬
laskan bahwa hukum yang terkait dengan al 'aam pada awal penetapan hukum syara' adalah sebagian satuannya. Maka hadis Nabi Saw.:

Tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri yang kurang dari seperempat dinar,
Adalah mentakhshish al 'aam yang terdapat dalam firman Allah Swt.:

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya. (QS. al Maidah:38)


KAIDAH KE TUJUH:
AL KHAASH DAN PETUNJUKNYA.
Jika di dalam nash terdapat lafal yang khusus, maka hukumnya ditetapkan secara pasti atas yang ditunjukkannya, selama tidak ad a dalil yang mentakwil d an men ghendaki main a yang lain. Jika terdapat lafal yang mutlak, maka penetapak hukum harus secara mutlak selama tidak ada dalil yang membatasinya. Jika berbentuk perintah maka harus diartikan wajib atas apa yang diperintahkan selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti wajib. Jika berbentuk larangan maka harus diartikan haram atas apa yang dilarang selama tidak ada dalil yang membelokkan dari arti haram.
a. Lafal khusus
Lafal khusus adalah lafal yang dibuat untuk menunjukkan satu satuan tertentu; berupa orang, seperti Muhammad atau satu jenis, seperti laki-lalki, atau beberapa satuan yang bermacam'matcam dan terbatas, seperti tiga belas, seratus, kaum, golongan, jamaah, kelom¬pok, dan lafal lain yang menunjukkan jumlah satuan dan tidak menunjukkan cakupan kepada seluruh satuannya.
Hukum lafal umum secara global adalah jika ia terdapat dalam nash syara' yang menunjukkan secara pasti kepada maknanya yang khusus yang dibuat untuknya secara hakiki dan hukum itu ditetap¬
kan karena petunjuknya secara pasti, bukan dugaan. Jadi, hukum yang diambil dari firman Allah Swt.:

(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluda orang miskin


Bentuk Amar (perintah)
Jika lafal klntrius yang terdapat pada nash syara' itu berbentuk arintah atau bentuk berita yang bermakna perintah maka berarti ~wajiban, yakni menuntut sesuatu yang diperintahkan atau yang iberitakan secara tetap dan pasii. Firman Allah Swt.: Faqtha'uu aydiyahumaa (maka potonglah tangan keduanya...) berarti kewaji¬ban memotong tangan pencuri laki-laki clan perempuan. Firman Allah Swt.: walmuthallaqaatuyatarabbashna... (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menunggu...) berarti kewajiban wanita yang ditalak untuk menunggu selama tiga kali quruu'. Karena pen¬dapat yang unggul menyatakan bahwa bentuk perintah dan benti tapapun yang berarti perintah secara bahasa dibuat untuk arta kewajiban. Adapun suatu lafal ketika dimutlakkan maka makriaraya menunjukkan arti hakiki sebagaimana lafal itu dibuat; ia tidak boleh dibelokkan dari arti hakiki kecuali dengan alasan tertentu.
A. Kalimat Umum Dan Khusus (‘Am Dan Khas)
1. Ciri-ciri Lafazh Umum
Kalimat umum atau ‘am, yaitu kalimat yang didgunakan untuk mencakup seluruh bagiannya, Hanafi mengartikan ‘am, sebagai lafazh yang digunakan untuk menunjukkan suatu makna yang dapat terwujud ada satuan-satuan yang banyak dengan jumlah yang tidak terbatas.
Kalimat-kalimat yang tergolong memiliki makna yang umum ada tujuh, yaitu sebagai berikut:
1) Isim istifham, yang digunakan untuk bertanya, seperti kata man, ma, dan ayyun. Contohnya dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 245 dengan kata man :


Artinya:
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rejeki) dan kepada Nya-lah kamu dikembalikan.”
(QS. Albaqarah : 245)
Dalam surat Al-Mudatsir ayat 42 yang menggunakan kata ma:

Artinya:
“Apakah yang memasukkan kamu ke dalam saqar (neraka)?”
QS. Al-Muddatstsir : 42)
Surat An-Naml ayat 38 yang menggunakan kata ayyun :

Artinya:
“Berkata Sulaiman, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” QS. AN-Naml:38)

2) Isim syarat: seperti digunakan kata man (barang siapa), ma (apa saja), dan ayyun (yang mana saja).
Contoh man dalam surat An-Nisa ayat 123 :

Artinya:
“Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberikan pembalasan dengan kejahatan itu.”
(QS. An-Nisa: 123)
Contoh yang menggunakan kata ma dalam Al-Baqarah 272:

Artinya:
“dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al-Baqarah : 272)
Contoh ayyun dalam Surat Al-Isra’ayat 110:

Artinya:
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Al-Asmaa Al-Husna (nama-nama yang terbaik).”
(QS. Al-Isra’ : 110)

3) Lahazh kullun, jami’un ma’syar, kaffah (artinya seluruhnya), Masing-masing lafazh melingkupi bagian-bagiannya atau meliputi mudha ilaih dari lafazh-lafazh tersebut.
Misalnya dalam surat Ath-Thur ayat 21 yang menggunakan kata kullu:

Artinya :
“Semua manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

4) Isim mufrad yang dima’rifahkan oleh alif lam, misalnya dalam surat AL-ma’idah ayat 38:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya”.
(QS. Al-Ma’idah : 38)

5) Jama’ yang dima’rifkan oleh alif lam atau dengan idhafah, misalnya dalam surat AL-Baqarah ayat 228:

Artinya:
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali guru.” (QS. Al-Baqarah : 228)
Contoh idhofah, pada kalimat umahatukum dalam surat AN-Nisa’ ayat 23 :

Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” (QS. An-Nisa : 23)

6) Isim nakirah dalam susuanan nafi (inkar), contoh dalam hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah, yang menyebutkan:

Artinya:
“Orang tua tidak boleh diqishas karena anaknya.”
7) Isim maushul, seperti alladzina dalam surat An-Nur ayat 4:

Artinya:
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik[1029] (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
(QS. An-Nur ayat 4).

2. Lafazh Umum karena Sebab yang Khusus
Lafazh yang umum dengan sebab yang khusus adalah memandang peristiwa atau kejadian yang khusus, tetapi memiliki maksud yang umum. Pemaknaan maksud yang umum bukan pada kejadiannya, melainkan pada kalimat yang digunakannya.
Salah satu contohnya bahwa terdapat ayat-ayat Al-Quran yang diturunkan dengan sebab nuzul tertentu, misalnya tentang keharaman minum arak atau khamar, sebab nuzulnya berkaitan dengan kebiasaan orang Jahiliah atau beberapa sahabat yang belum mampu menghentikan kebiasaanya, bahkan ada yang shalat sambil mabuk, sehingga turun ayat Al-Quran, : lataqrab ash- shalah wa antum sukara” (jangan kalian dekati shalat, sedangkan kalian sedang mabuk).

3. Menyebutkan Sebagian Isi Lafazh Umum Yang Sama Hukumnya
Ulama ushul menetapkan kadiah :

Artinya :
“Menyebutkan sebagian satuan kata yang umum yang sesuai hukumnya dengan lafazh yang umum tersebut, tidak berarti mengkhususkannya.”
Contohnya hadis riwayat Imam Muslim yang menyebutkan :

Artinya :
“Tiap-tiap kulit yang disamak mejadi suci”


Artinya :
“Menyamak (kulit kambing Maemunah) menjadikannya suci.”

Contoh diatas memberikan gambaran bahwa yang suci bukan hanya kulit kambing Maemunah yang sedang disamak, tetapi untuk semua kulit kambing, siapapun pemiliknya. Meskipun dalam kalimatnya disebutkan bahwa kulit kambing Maemunah suci, “tiap-tiap kulit kambing yang disamak, menjadi suci.”

B. KHAS, TAKHSIS, DAN MUKHASIS
Khas ialah suatu lafazh yang digunakan untuk menunjukkan satu materi tertentu, baik berupa benda mati atau benda bergerak, misalnya Zulkarnaen atau kata rajulun (seorang laki-laki).
Takhsis ialah menyebut sebagian benda dari yang umum atau mengeluarkan satuan-satuan materi dari yang umum, sedangkan satuan lainnya belum atau tidak disebutkan. Dengan demikian, keumumannya masih berlaku bagi satuan yang tersisa.
Mukhassis ialah dalil yang menjadi dasar atau hujjah dikeluarkannya satuan dari yang umum.
Kaitannya dengan khas, takhsis, dan mukhassis, Hanafi menjelaskan melalui satu contoh sebagaimana tertuang dalam surat Al A’raf ayat 32 :

Artinya :
“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamab-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik? “katakanlah, semuanya itu (disediakan, bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja pada hari Kiamat, “Demikianlah, kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”.
1. Pembagian Mukhassis
Mukhassis dibagi dua :
a. Mukhassis muttasil, yaitu mukhassis yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi pengertiannya selalu berhubungan dengan dalil.
b. Mukhassis munfasil, yaitu mukhassis yang dapat berdiri sendiri. Yang termasuk mukhassis muttasil, ialah :
1. istisna muttasil
2. Syarat,
3. Sifat
4. Ghayah
5. Badal ba’dhu min kull (sebagian sebagai pengganti keseluruhan).

Yang termasuk mukhassis munfasil, ialah :
a. Peraturan-peraturan syariat yang umum
b. ‘urf (adat kebiasaan)
c. Nash-nash hukum syara’, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas.


Perincian adalah :
a. Al-Quran di-takhsis-kan dengan Al-Quran
b. Hadis di-takhsis-kan dengan Al-Quran
c. Al-Quran di-takhsis-kan dengan Hadis
d. Hadis di-takhsis-kan dengan Hadis
e. Takhsis dengan qiyas dan
f. Takhsis dengan ijma’

2. Syarat-Syarat Sahnya Istisna
Menurut Hanafi, ada dua syarat sah istisna, yaitu :
a. Dalam mengucapkan istisna, antara mustasna dan mustasna minhu harus bertemu. Bentuk, berhenti sebentar, pertanyaan orang lain dan keadaan lain yang menurut kebiasaan tidak memutuskan pembicaraan, tidak dianggap membatalkan sahnya istisna.
b. Mustasna tidak menghabiskan mustasna minhu. Pengecualian yang menghabiskan adalah batal. Misalnya, “Aku yang punya sejuta, kecuali sejuta.”

3. Istisna dari Kalimat Ingkar dan Kalimat Positif
Istisna dari kalimat ingkar (nafi) menjadi positif. Contoh : tidak ada Tuhan, kecuali Allah. Tidak ada tuhan adalah kalimat ingkar, pengecualiannya (istisna) menetapkan adanya Tuhan, yaitu Allah.

4. Istisna sengan Wa’Athaf
Menurut pendapat Imam Syafi’i, Imam Malik dan Imam Ahmad istisna sesudah beberapa jumlah yang bersambung-sambung, istisna itu kembali kepada semua jumlah.
Golongan Hanafiyah mengatakan bahwa istisna itu kembali pada jumlah yang terakhir. Menurut Imam Syaukani : kalau tidak ada halangan, baik dari lafazh itu sendiri maupun dari dalil-dalil lainnya, pengecualian (istisna) itu kembali kepada seluruh jumlah sebelumnya.
5. Syarat
Syarat dibagi dua :
a. Syarat tunggal, seperti jika telah wudhu, kamu bersih dari najis.
b. Syarat berbilang, yaitu suatu hal yang harus menyatu, jika kamu rajin belajar dan bekerja, kamu akan pintar. Jika kamu beriman dan beramal saleh, kamu akan masuk surga. Atau masing-masing dapat berdiri sendiri. Misalnya, kalau berwudhu dan mandi janabah harus memakai niat.

6. Sifat
Sifat disebut di belakang dengan satu lafazh atau beberapa lafazh.
Contoh dalam suart An-Nisa’ ayat 25 :

Artinya :
“Maka ia kawin denga hamba sahaya, yaitu perempuan yang beriman”.

Kata fatayat adalah kata umum yang dapat meliputi yang beriman atau yang tidak beriman. Dengan adanya sifat al-mukminat (beriman), hamba sahaya yang tidak beriman tidak termasuk di dalamnya.
Adakalanya kata-kata itu saling berhubungan dan adakalanya tidak berhubungan. Jika berhubungan, sifat itu kembali kepada mausuf dan dalam keadaan tidak berhubungan, sifat itu kembali kepada kata yang terakhir.

7. Ghayah
Ghayah ialah penghabisan sesuatu yang mengharuskan tetapnya (ghayah) dan tidak adanya hukum bagi sesudahnya. Adapun mughayah ialah lafazh yang jatuh sesudah ghayah. Ghayah ada dua, yaitu hatta (sehingga) dan ila (sampai). Misalnya : “tidak ada dosa bagimu berbuat sesuatu, sehingga kamu mendurhakai.”
Kalimat sebelumnya kata sehingga, memberi pengertian, bahwa semua perbuatan tidak larang. Kata “Sehingga” men-takhsis-kan keumuman kalimat sebelumnya. Sebab, dengan adanya perhitungan ini, tidak berlaku hukum yang umum, yaitu tidak adanya dosa. Hal itu dapat diartikan “berdosa” jika melakukan perbuatan yang durhaka. Contoh lainnya, terdapat ayat : wama kunamu’adibina hatta nab’asa rasul. “Semua perbuatan tidak menyebabkan dosa, sehingga ada rasul yang menjelaskan status perbuatan yang segala perbuatan dan manusia dituntut memilih yang baik dengan meninggalkan yang buruk, setiap perbuatan atas balasannya.

8. Badal
Dalam ilmu nahwu badal (pengganti) yang bisa men-takhsis-kan hanya badal badhi minkullin. Contohnya dalam surat Ali ‘Imran ayat 97.

Artinya :
“Wajib atas manusia mengerjakan haji karena Allah, yaitu orang-orang yang mampu dijalannya.”

Kata an-nas adalah kull (semua manusia), artinya siapapun juga terkena kewajiban haji. Manistatha’a (yang kuasa) adalah sebagian (ba’dhu) dari keseluruhan manusia, dan menggantikan lafazh an-nas. Dengan adanya pengganti ini, tidak setiap orang diwajibkan haji, tetapi hanya yang mampu.

9. Mukhassis Munfasil
Mukhassis Munfasil berkaitan dengan dasar hukum yang umum, artinya berbagai taklif yang tidak ada pengecualiannya, sebagaimana taklif berlakunya beban hukum untuk semua mukallaf. Dengan demikian, anak kecil, orang gila, dan orang yang sedang tidur terkena taklif karena bukan mukallaf.
Berkaitan pula dengan ‘urf (kebiasaan), karena terkadang kebiasaan dapat men-takhsis-kan nash-nash yang umum.
10. Pelaksanaan Takhsis
Pelaksanaan takhsis ada beberapa macam, yaitu :
a. Takhsis Al-quran oleh Al-Quran
b. Takhsis Al-Quran oleh Hadis
c. Takhsis Hadis oleh Al-Quran
d. Takhsis Hadis oleh Hadis
e. Takhsis dengan ijma’, sebagaimana semua dipanggil untuk melaksanakan shalat jumat, dan ijma’ ulama menyatakan, kecuali perempuan.
f. Takhsis dengan qiyas, contoh: perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, hendaklah didera masing-masing dengan seratus dera (Q.S. An-Nur : 2). Budak perempuan (amah) di-Takhsis, karena jika berzina dideranya hanya separuhnya, yaitu 50 kali dera, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 25 :
g. Takhsis dengan pendapat sahabat. Dalam masalah Takhsis dengan pendapat sahabat terjadinya ikhtilaf. Golongan Hanafiyah dan Malikiyah membolehkan, sebagaimana seorang pencuri yang harus dipotong tangannya, tetapi Umar bin Khaththab tidak melakukannya dengan berbagai alasan (pada masa musim paceklik, orang kaya yang dicuri menimbun harta, atau pencuri tersebut sedang kelaparan dan ingin mempertahankan hidupnya atau menyelamatkan keluarganya dari kematian karena kelaparan. Oleh karena itu, pencuri tersebut dikenai ta’zir.


KHASH
1. Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan defenisi khash. Namun, pada akhirnya defenisi tersebut mempunyai pengertian yang sama. Defenisi yang dapat dikemukakan disini, antara lain :

Artinya :
“Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan meninggal.”
Dan menurut Al-Bazdawi, defenisi khash adalah :

Artinya :
“Setiap lafaz yang dipasangkan pada satu arti yang menyediri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak).”

2. Hukum Lafazh Khash
Apabila, lafazh khash dikemukakan dalam bentuk mutlaq, tanpa batasan apapun, maka lafazh itu memberi faedah ketetapan hukum secara mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil yang memalingkannya pada makan yang lain. Demikian juga apabila lafazh itu dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faidah berupa hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada qarinah (indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.

Atas dasar itu, maka kata salasatin pada firman Allah SWT, yang berbunyi :

Mengandung pengertian khash, yang tidak mungkin mengandung arti kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazh itu sendiri, yaitu tiga. Oleh karena itu, dialah makna-nya adalah qatiyah.

3. Perbedaan Pendapat Akibat Keqath’ian Dialalah Khash
Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. Namun, mereka berbeda pendapat dalam sifat ke-qath’i-annya itu, apakah lafazh khash yang dipandang qath’i dilalah-nya itu sendiri jelas dengan sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain atau perubahan dan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath’i dilalah-nya, tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka menyatakan. “Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memiliki arti secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan lafazh khash itu sendiri. Seandainya lafazh khash itu masih mempunyai kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima. (al-Bazdawi, 1308 1.9).
Golongan Syafi’iyah memandang bahwa lafazh khash itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab itu, mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafazh khash yang terdapat dalam Al-qur’an denagn hadis ahad yang merupakan penjelasannya. Maka menurut golongan ini, tuma’ninah yang diisyaratkan oleh hadis tersebut merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Quran dan termasuk fardu dalam ruku’.
4. Macam-Macam Lafazh Khash
Lafazh khash itu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang dipakai pada lafazh itu sendiri. Ia kadang-kadang berbentuk mutlaq tanpa dibatasi oleh suatu syarat atau qayyid apapun, kadang-kadang berbentuk muqayyad, yakni dibatasi oleh qayyid, kadang-kadang berbentuk amr (perintah), dan kadang-kadang berbentuk nahy (larangan).
Dengan demikian, macam - macam lafazh khash mencakup : mutlaq, muqayyad, amr, dan nahyi.).

‘AAM
1. Pengertian Lafazh ‘Amm
Lafazh ‘aam ialah suatu lafazh yang menunjukkan satu makna yangmencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para ulama Ushul Fiqih memberikan defenisi ‘amm anatra lain sebagai berikut :
1. Menurut ulama Hanafiyah :

Artinya :
“Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun makna.”

2. Menurut ulama Syari’iyah, diantaranya Al-Ghazali :

Artinya :
“Satu lafazh yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih.”

3. Menurut Al-Bazdawi :

Artinya :
“Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu kata”.


2. Dilalah Lafazh ‘Amm
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i, yang dimaksud qath’i, menurut Hanafiyah ialah :


Artinya :
“Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil.”

Namun, bukan berarti tidak ada kemungkinan taksis sama sekali. Oleh karena itu, menetapkan ke-qathi-an lafazh ‘amm, pada mulanya tidak boleh di-taksis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya zhami.
Menurut Jumhur ulama, (Malikiyah, Syafi’iyyag, dan Hanabillah), diallah’amm adalah zhanni. Mmereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahri, yang mempunyai kemungkinan di-taksis. Dan kemungkinan ini pada lafazh ’amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nya qath’i.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-taksis Al-Qur’an. Kecuali lafazh ‘amm Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah ‘amm itu qath’i, seperti yang telah diuraikan dimuka, dan takhsis bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafazh ‘amm. Mereka menetapkan bahwa pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak memerlukan penjelasan. Oleh karena itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat Al-Maidah ayat 6 sudah cukup jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu.
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh ‘amm Al-Qur’an adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar ahad dapat men-takshis lafazh ‘amm Al-Qur’an. Ia kadang-kadang berpengang pada lafazh ‘amm Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-taksis lafazh ‘amm Al-Quran dengan khabar ahad.
Menurut Imam Malik, khabar ahad yang dapat men-taksis lafazh ‘amm Al-Quran ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau dengan qiyas.
Diantara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip diatas ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah tidak halal di makan, mereka berpegang pada ayat :

Artinya :
“Janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan)yang belum disebut bismillah terhadap binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa.
Menurut Hanafiyah, apabila lafaz ‘amm dan khash itu berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat men-taksis lafazh ‘amm. Dan apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta’arud, sebab fungsi lafaz khash disini sebagai penjelasan terhadap ‘amm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis.

Artinya:
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.”
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit atapun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang pada hadis yang kedua yang bersifat ‘amm. Sedangkan pada hadis yang khusus, yaitu jadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima ausaq itu senilai dengan dua ratus dirham (Asy-Syaukani, III :3 ).

A. ‘Am dan Khas, Amr dan Nahi
1. ‘Am dan Khas
Menurut ahli ushul fiqh, nash-nash yang berkaitan dengan hukum, bila ditinjau dari segi cakupan maknanya dibagi kepada lafal umum (‘am) dan lafal khusus (khas).
a. Lafal Umum
Al-miidi, seorang ulama mazhab Syafi’i, mendefenisikan lafal umu, sebagi berikut:

Suatu lafal yang menunjukkan dua hal atau lebih secara bersamaan dengan mutlak.
Dari defenisi ini diketahui hakikat lafal umum, yaitu lafal yang terdiri dari satu pengertian secara tunggal, tetapi mengandung beberapa satuan pengertian (Afrad). Setiap lafal tunggal dapat dipakai untuk setiap satuan pengertiannya secara sama dalam penggunaanya. Bila hukum berlaku pada satu lafal umum, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap satuan pengertian yang tercakup dalam lafal itu.

2. Pembagian lafal umum
Berdasarkan penelitian ulama terhadap al-nushus, lafal umum terbagi menjadi tiga bagian :
1. Lafal umum yang dimaksudkan secara pasti untuk umum. Lafal umum ini disertai indikasi yang menanfikan kemungkinan takhsis, seerti firman Allah, seperti firman Allah surat Hud, 11 : 6.


Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpangannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).
Ayat ini merupakan jaminan Allah terhadap semua makhluk untuk mendapat rezeki dalam ayat ini merupakan sunnatullah yang tidak dapat di takhsis dan diganti. Ayat ini merupakan qath’i al-dalalah untuk menunjukkan umum.

2. Lafal umum yang dimaksudkan secara qath’i untuk khushu dengan disertai indikasi yang menadikan lafal tersebut tetap umu. Misalnya, firman Allah surat Ali imran, 3 : 97 :

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Kata al-nas (manusia) dalam ayat ini adalah umum, tetapi yang dimaksudkan hanyalah orang-orang mukallaf. Secara logika, anak-anak dan orang gila keluar dari kewajiban melaksanakan ibadah haji tersebut.

3. Lafal umum yang terbebas dari indikasi yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupan. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah, 2 : 228.

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.

Lafal umum dalam ayat ini adalah kata al-mutallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan makna umumnya atau sebagian. Dalam kasus ini, Jumhur ulama berpendapat, sebagaimana dikutif Adib Saleh, berlaku kadiah ushul fiqh bahwa terbukti ada pentakhsishnya, ayat itu harus diteapkan kepada semua satuan cakupannya secara umum.

b. Lafal Khas
Lafal khas adalah suatu lafal yang mengandung satu pengertian secara tunggal. Menurut Abu Zahrah, para ulama sepakat memahami lafal khas menunjuka untuk pengertian khusus secara qath’i (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat qath’i selama tidak ada indikasi yang menunjukkan pengertian lain. Misalnya, firman Allah surat Al-Maidah, 5:89:

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
2. Amr dan Nahi
a. Amr (Perintah)
Menurut mayoritas ahli ushul fiqh, amr ialah suatu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukan kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya. Perintah melakukan suatu perbuatan menurut Adib Saleh, di dalam al-nushsus disampaikan dengan berbagai redaksi berikut :
1. Melalui;afal amara dan sekakar dengannya yang mengandung perintah (suruhan), speerti firman Allah suart al-Nisa, 4 : 58 :

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.

2. Menggunakan lafal kutiba (diwajibkan), seperti firman Allah sursh al-Baqarah, 2 : 183 :

Hai orang - orang yang beriman diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, mudah-mudahan kamu bertaqwa.
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929