loading...

Makalah Persoalan Yurisdiksi berkaitan dengan Pesawat Udara

November 24, 2016
loading...
BAB I
PENDAHULUAN

Pada dewasa ini dimana transpotasi menggunakan pesawat merupakan hal yang sudah biasa dilakukan, sehingga banyak hal yang terjadi di dalam pesawat udara tersebut termasuk tindak pidana di dalamnya, yang mana sumber daya manusia meningkat dan tindak pidana juga meningkat.
Kejahatan yang dilakukan hukumnya tidak jauh dari hokum pidana pada umumnya, yang lebih banyak terjadi kejahatan dalam penerbangan biasanya yang melakukan penipuan dalam kegiatan administrasi, tidak dalam pesawat udara.
Akan tetapi kejahatan yang dilakukan dalam pesawat juga harus ada peraturan yang mengaturnya, karena hokum adalah untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan tentram sehingga sangat diperlukan peraturan tersebut, juga untuk memberikan klasifikasi hokum bagi pelaku tindak pidana.
Kami pemakalah akan membahas sedikit ulasan tentang kejahatan dalam pesawat, akan di paparkan di bawah berikut ini.





BAB II
PEMBAHASAN
OLEH KELOMPOK V
KEJAHATAN DALAM PESAWAT
A. Perbedaan Ruang Udara dan Ruang Angkasa
Sebagaimana diketahui menurut hukum Internasional wilayah negara terdiri dari tiga matra yaitu, darat, laut dan udara. Kalau wilayah laut merupakan perluasan dari wilayah daratan, wilayah udara suatu negara mengikuti batas-batas wilayah negara di darat dan di laut. Hal ini kemudian tercermin dalam Paris Convention for the Regulation of Arieal Navigation tahun 1919 yang mengakui kedaulatan penuh negara di ruang udara di atas wilayah daratan dan laut territorialnya. Pada awalnya kedaulatan negara tidak ditetapkan batas jaraknya secara vertical (usque ad coelum). Namun, kemudian dibatasi dengan adanya pengaturan tentang ruang angkasa.
Secara teoritis dengan adanya kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayahnya, setiap negara dapat melakukan larangan bagi negara-negara lain untuk terbang di atas wilayahnya, kecuali kalau telah diperjanjikan sebelumnya. Dewasa ini teori tersebut telah berubah dengan lahirnya perjanjian internasional yang mengatur penggunaan ruang udara dan lahirlah ketentuan-ketentuan umum yang mengatur antara lain tentang kebebasan penerbangan (freedom of overlight) dan hak lintas penerbangan (transit). Ketentuan-ketentuan tersebut menjadi bahan perundingan dalam konferensi Cichago tentang Penerbangan Sipil Internasional (Chicago Conference on Internasional Civil Aviation) yang diselenggarakan pada tahun 1994 yang kemudian menghasilkan (Chicago Convention on international Civil Aviation) yang mulai berlaku sejak tahun 1974.
B. Persoalan Yurisdiksi berkaitan dengan Pesawat Udara
Salah satu akibat meningkatnya volume jangkauan dan frekuensi lalu lintas udara internasional, yang di barengi dengan meningkatnya jumlah negara dimana pesawat udara perusahaan penerbangan didaftarkan telah menimbulkan peningkatan persoalan-persoalan yurisdiksi yang juga deliknya berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat udara dalam penerbangan.
Apabila hal ini belum cukup, perkembangan lain telah menjadi ancaman besar terhadap keselamatan dan kepercayaan terhadap penerbangan sipil Internasional karena meningkatnya peristiwa pembajakan (hijacking) dan tindakan terorisme terhadap penumpang-penumpang pesawat udara terkait.
Upaya penting pertama untuk menanggulangi persoalan-persoalan di lakukan oleh Konvensi Tokyo 14 september 1963, tentang Tindak Pidana dan Tindakan Lain Tertentu yang dilakukan di dalam Pesawat Udara (Tokyo Convention on Offences and Certain Other Acts Commined on Bord Aircraft). Tujuan- tujuan konvensi tersebut adalah:
a. Untuk menjamin bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan di dalam pesawat udara dalam penerbangan atau di atas permukaan laut lepas, atau di kawasan di luar wilayah suatu negara, atau yang melakukan tindak pidana dalam pesawat udara demikian yang membahayakan keselamatan penerbangan tidak akan terlepas dari penghukuman hanya karena tidak ada negara yang di anggap memiliki yurisdiksi untuk menangkap atau mengadili mereka.
b. Untuk tujuan-tujuan perlindungan dan disipliner untuk memberikan kewenangan dan kekuasaan khusus kepada komandan pesawat udara para anggota awak pesawat dan juga kepada para penumpang.

C. Pengertian Hukum Udara
Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai pengertian hukum udara (air law). Mereka menggunakan istilah hukum udara (air law), atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum navigasi udara (air navigation law) atau hukum transportasi udara (air transportation law) atau hukum penerbangan (aerial law), atau hukum aeronautika penerbangan (aeronautical law), atau udara-aeoronautika penerbangan (air-aeronautical law), saling bergantian tanpa membedakan satu dengan yang lain. Istilah-istilah tersebut pengertiannya lebih sempit dibandingakan dengan pengertian air law.
Pengertian air law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi, perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkutan, manajemen, dan lain-lain. Pakar-pakar hukum memberikan definisi, Hukum Udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestic dan internasional.
Pesawat udara diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Menurut Konvensi Paris 1919, klasifikasi pesawat udara diatur dalam Bab VII tercantum dalam pasal 30, 31, 32, dan 33, masing-masing mengatur jenis pesawat udara, pesawat udara militer. Menurut pasal 30 Konvensi Paris 1919, pesawat udara terdiri dari 3 jenis, masing-masing pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunakan untuk dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan, bea cukai dan polisi termasuk pesawat udara sipil (private aircraft), namun demikian dalam Konvensi Paris 1919 tidak diatur pengertian pesawat udara.
Dalam hukum nasional, yaitu pengertian pesawat udara dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang dimaksud dengan pesawat udara adalah setiap mesin atau alat-alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.
Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, bea cukai, dan pesawat udara polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara sipil (private aircraft) dan pesawat udara-pesawat udara tersebut berlaku ketentuan Konvensi Paris 1919, sedangkan pesawat udara militer, bea cukai dan polisi tidak berlaku ketentuan pada Konvensi Paris 1919. Setiap pesawat udara.yang dikemudikan oleh anggota militer termasuk pesawat udara militer untuk kepentingan ini. Tidak ada pesawat udara militer negara anggota boleh terbang di atas wilayah negara anggota lainnya tanpa persetujuan lebih dahulu.
Dalam hal pesawat udara militer milik negara anggota memperoleh persetujuan terbang di wilayah negara anggota Konvensi Paris 1919, pada prinsipnya menikmati hak istimewa yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional sebagaimana berlaku pada kapal perang. Selanjutnya, mengenai pesawat udara sipil juga diatur dalam Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Dalam Pasal 3 diatur mengenai pesawat udara Negara 2 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan
Pesawat udara negara (state aircraft) adalah pesawat udara yang digunakan untuk militer, polisi, dan bea cukai sedangkan yang dimaksud dengan pesawat udara sipil (civil aircraft) adalah pesawat udara selain pesawat udara negara (state aircraft). Pesawat udara negara tidak mempunyai hak untuk melakukan penerbangan diatas negara-negara anggota lainnya, sedangkan pesawat udara sipil yang melakukan penerbangan tidak berjadwal dapat melakukan penerbangan diatas negara anggota lainnya. Pesawat udara Negara (state aircraft) tidak mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan (nationality and registration mark), walaupun pesawat udara tersebut terdiri dari pesawat terbang (aeroplane) dan helikopter.
Sedangkan di dalam hukum internasional, setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan (nationality and registration mark). Dalam hukum nasional Indonesia sendiri, terdapat pengertian pesawat udara sipil yaitu “pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga”. Selain itu juga terdapat pengertian pesawat udara sipil asing, yaitu “pesawat udara yang digunakan untuk kepentingan angkutan udara niaga dan bukan niaga yang mempunyai tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan negara asing.
A. Perlindungan Hukum Dalam Hal Terjadinya Kejahatan atau Pelanggaran di Dalam Pesawat Udara
Dewasa ini ternyata masih banyak korban kecelakaan pesawat udara yang tidak mengerti
hak-hak yang seharusnya mereka terima berdasarkan perlindungan hukum yang berlaku sebagai akibat kecelakaan pesawat udara, maupun terjadinya tindak pidana di dalam pesawat udara. Selain penumpang, demikian pula pegawai pemerintah yang mengalami kecelakaan pesawat udara saat sedang menjalankan tugas pemerintahan. Masalah aspek hukum yang timbul akibat transportasi udara sangat luas.
Masalah-masalah hukum yang timbul misalnya masalah yurisdiksi, kekosongan hukum, kedaulatan atas wilayah udara, ketertiban, dan disiplin dalam pesawat udara selama penerbangan berlangsung, perlindungan awak pesawat udara, penumpang, pemilik pesawat udara, operator, ekstradisi, lingkup berlikunya, pelanggaran hukum nasional, wewenang negara anggota, wewenang kapten penerbang (aircraft commander), sertifikasi awak pesawat udara (certificate of competency), maupun pesawat udara (certificate of airworthiness) itu sendiri, penggunaan pesawat udara, izin pendaratan, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara (nationality and registration mark), transportasi bahan peledak (dangerous good), dan lain-lain sangat luas untuk disebutkan satu per satu.
Pada tahun 1950, delegasi Meksiko dalam Konferensi yang membahas konsep Legal Status of Aircraft mengusulkan konvensi tentang tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara.Konsep tersebut kemudian dikembangkan oleh Legal Sub Committee yang dibentuk oleh Legal Committee dibawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization), untuk mempelajarai instrument hukum lebih lanjut.Di dalam konsep Legal Status of Aircraft yang dikembangkan Legal Sub Committee tersebut digunakan prinsip yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara dan prinsip yurisdiksi territorial. Penggunaan prinsip tersebut kemudian didukung sepenuhnya oleh delegasi Amerika Serikat yang disampaikan kepada Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi.
Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich pada 1959, konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan konsep konvensi yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara yang berjudul Draft Convention on Offences amd Certain Other Acts Commited on Board Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep sebelumnya, karena dalam konsep ini diatur prinsip yurisdiksi negara terhadap pelaku pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak dan kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak pesawat udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman hukuman ganda (double trial).
Konferensi Diplomatik yang dihadiri oleh enam puluh satu negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional dan lima organisasi internasional lainnya tersebut telah berhasil mengesahkan konvensi internasional yang berjudul Convention on Offences and Certain Other Acts Committed on Board Aircraft yang ditandatangani tanggal 14 September 1963. Konvensi Tokyo 1963 mengatur perlindungan hukum terhadap kapten penerbang, awak pesawat udara, penumpang, pemilik pesawat udara, operator maupun pelaku tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan itu sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Konvensi Tokyo 1963 .
Berdasarkan pasal 10, kapten penerbang tidak dapat dikenakan gugatan perdata maupun tuntutan pidana atau sanksi administratif lainnya karena perbuatannya untuk melaksanakan wewenang yang diberikan oleh Konvensi Tokyo 1963. Kapten Penerbang (Aircfart Commander, Pilot-In-command) adalah pilot yang ditetapkan/ditunjuk oleh “operator atau oleh pemilik pesawat udara dalam kasus penerbangan umum, sebagai penanggung jawab dan bertugas untuk melakukan suatu penerbangan yang aman selamat.
Perlindungan hukum terhadap kapten penerbang tersebut diperlukan untuk melindungi kehidupan dan keselamatan kapten penerbang beserta keluarganya, karena tanpa perlindungan hukum tersebut, wewenang yang diberikan oleh konvensi tidak ada artinya sebab kapten penerbang tidak akan berani melakukan langkah-langkah yang diperlukan.
Seperti halnya kapten penerbang, kepada awak pesawat udara juga diberi perlindungan hukum. Menurut pasal 10, awak pesawat udara (air crew) yang telah melakukan tindakan-tindakan tertentu untuk dan atas nama kapten penerbang, guna menyelamatkanpenumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut, maka awak pesawat udara tersebut dibebaskan dari gugatan perdata, tuntutan pidana, maiupun sanksi administratif lainnya. Tanpa adanya perlindungan hukum demikian awak pesawat udara juga akan berpikir berkali-kali untuk melaksanakan ketentuan yang diatur dalam konvensi.
Perlindungan hukum lainnya yang diberikan oleh Konvensi Tokyo 1963 kepada penumpang untuk meneruskan perjalanannya. Dalam hal kapten penerbang maupun awak pesawat udara tidak dapat melakukan pencegahan melawan tindakan melawan hukum oleh pelaku, mala berdasarkan pasal 10 Konvensi Tokyo 1963, “para penumpang juga dapat melakukan pencegahan untuk dan atas nama kapten penerbang karena itu penumpang yang melakukan tindakan pencegahan melawan hukum tersebut juga memperoleh perlindungan hukum, sehingga mereka tidak dapat didajukan gugatan perdata atau tuntutan pidana atas perbuatannya untuk mencegah perbuatan tersebut.
Perlindungan hukum juga diberikan kepada pemilik pesawat udara maupun perusahaan penerbangan terhadap gugatan perdata maupun tuntutan pidana sebagai akibat perbuatan melawan hukum. Menurut pasal 10 konvensi, “di samping kapten penerbang, awak pesawat udara maupun kepada penumpang, kepada pemilik pesawat udara (owner of aircraft) maupun perusahaan penerbangan diberikan perlindungan hukum sebagai akibat langkah-langkah tertentu untuk dan atas nama kapten penrbang, sesuai dengan ketentuan konvensi juga memberikan kekebalan hukum kepada pemilik pesawat udara maupun operator pesawat udara.” Kepada pemilik pesawat udara maupun operator juga memperoleh kekebalan hukum dari gugatan perdata maupun tuntutan pidana pelanggaran maupun kejahatan serta administratif.
Di samping memberi perlindungan hukum kepada kapten penerbang, awak pesawat udara, penumpang maupun perusahaan penerbangan sebagai akibat pencegahan tindakan melawan hukum, Hukum Internasional juga memberikan perlindungan hukum kepada pelaku tindak pidana. Konvensi Tokyo 1963 begitu objektif dengan memberikan perlindungan hukum kepada orang yang telah melakukan tindakan pidana pelanggaran maupun kejahatan di dalam pesawat udara sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) Konvensi Tokyo 1963, “apabila seorang pelaku tindak pidana dalam pesawat udara ditahan oleh negara anggota, orang tersebut harus dibantu oleh negara yang menahan untuk segera dapat menghubungi perwakilan negara tertuduh dalam waktu yang tidak terlalu lama.” Apabila tertuduh dapat menghubungi perwakilan negaranya, perwakilan tersebut dapat membantu kesulitan yang dihadapi oleh tertuduh, karena sesuai dengan hukum internasional yang berlaku perwakilan negara mempunyai kewajiban membantu dan melindungi warga negaranya.
Di samping pasal 13 ayat (3), perlindungan hukum terhadap tertuduh juga terdapat dalam pasal 13 ayat (5). Menurut pasal 13 ayat (5) tersebut “apabila tertuduh ditahan, negara yang menahan mempunyai kewajiban untuk segera memberitahukan kepada perwakilan negara tertuduh.” Bilamana negara yang menahan tidak berhasil menghubungi negara tertuduh yang mengakibatkan keruguan atau tertuduh bertambah menderita, negara tersebut mempunyai kewajiban hukum internasional untuk menanggung kerugian yang timbul, dengan demikian jelas maksud untuk melindungi kepentingan tertuduh, karena itu negara yang menahan mempunyai kewajiban mengambil langkah-langkah tertentu yang dianggap perlu untuk melindungi tertuduh.
Di samping perlindungan tersebut, penumpang yang diturunkan atas penumpang yang diserahkan kepada pejabat yang berwenang atau penumpang yang dituduh melakukan tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara harus diperlakukan seperti halnya warga negara dari negara tempat diturunkan. Apabila penumpang tersebut ditahan, maka tempat penahanan, perawatan, makanan, pemeliharaan kesehatan dan segala pelayanan yang berlaku terhadap warga negaranya juga harus berlaku terhadap penumpang tersebut.
Hal ini diatur dalam pasal 14 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963. Berdasarkan pasal tersebut, “apabila penumpang yang diturunkan oleh kapten pemerbang dengan alasan melindungi keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara dan barang-barang yang diangkut atau untuk menjamin ketertiban dan disiplin dalam pesawat udara atau penumpang yang 8Vienna Convention On Diplomatic Relations, 1961 diturunkan telah melakukan tindak pidana atau penumpang diserahkan kepada pejabat yang berwenang karena menurt keyakinan kaptem penerbang penumpang tersebut telah melakukan tindakan melawan hukum dengan ancaman, sehingga penumpang yang diturunkan tersebut tidak dapat melanjutkan perjalanannya ke negara tujuam atau penumpang tersebut ditolak tinggal di negara tersebut, maka penumpang yang bersangkutan berhak untuk dikembalikan ke negaranya atau tempat tinggal tetapnya atau negara tempat keberangkatan terakhir.
Dalam hal tersebut, penumpang berhak memilih negara yang paling menguntungkan dari sisi perjalanan, dengan demikian penumpang tersebut memiliki kesempatan pergi ke negara yang dianggap memberi pelayanan paling baik dibandingkan negara sendiri, negara tempat tinggal tetap, dan negara tujuan akhir perjalanan.
B. Perlindungan Hukum Dalam Hal Terjadinya Kecelakaan Pesawat Udara
Dalam hal kecelakaan pesawat udara, perlindungan hukum korban kecelakaan pesawat udara masih banyak tergantung pada peraturan perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Perusahaan penerbangan yang satu dengan yang lainnya belum ada keseragaman, dalam hal apakah perusahaan penerbangan yang sudah memberi jaminan asuransi kepada awak pesawat udara baik loss of licence maupun personal accident insurance. Yang dimaksud dengan korban kecelakaan pesawat udara dalam tulisan ini adalah mereka yang ada di dalam pesawat udara, apapun status mereka. Mereka adalah awak pesawat udara (crew), awak pesawat udara cadangan (extra crew), peninjau (observer) baik dari instansi pemerintah maupun dari staf atau karyawan perusahaan penerbangan, para penumpang sah maupun tidak sah (tidak dilindungi dengan dokumen pengangkutan berupa tiket). Awak pesawat udara (crew) adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai karyawan perusahaan penerbangan untuk mengoperasikan pesawat udara dalam penerbangan. Awak pesawat udara (crew) termasuk pilot, co-pilot, pramugari, pramugara, juru mesin, juru radio, navigator. Awak pesawat udara cadangan (extra crew) adalah mereka yang menjalankan tugas sebagai karyawan perusahaan penerbangan, tetapi mereka belum mengoperasikan pesawat udara. Mereka akan menggantikan tugas awak pesawat udara pada penerbangan selanjtnya. Extra crew tidak berpakaian dinas seragam, tidak terdaftar sebagai penumpang maupun sebagai crew pesawat udara. Mereka terdaftar sebagai extra crew. Para peninjau (observer) adalah mereka yang karena tugasnya harus berada di dalam peswawat udara, misalnya dalam rangka training, familiarization penerbangan atau keperluan lainnya. Mereka dapat dari instansi pemerintah maupun dari staf atau karyawan dari suatu perusahaan penerbangan. Sebagai pegawai suatu perusahaan penerbangan, dapat saja ditugaskan oleh perusahaan yang harus dilakukan di dalam pesawat udara.Untuk menjalankan tugas tersebut mungkin saja dilakukan berulang kali, tanpa memperhatikan dokumen-dokumen pengangkutan yang seharusnya mereka lengkapi.
Penumpang adalah orang-orang selain yang disebutkan di atas, mereka adalah pihak yang mengadakan perjanjian pengangkutan dengan perusahaan penerbangan. Namun demikian, tidak semua penumpang merupakan pihak yang berjanji, tetapi kadang-kadang sebagai penumpang gelap (penumpang yang tidak dilindungi dengan dokumen pengangkutan yang biasa disebut tiket). Biasanya memakai nama orang lain, sehingga orang tersebut tidak terdaftar dalam daftar penumpang (pax manifest).
Perlindungan terhadap penumpang gelap, secara manusiawai adalah tepat, tetapi secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena penumpang gelap diancam dengan hukuman berdasarkan Hukum Internasional. Kebijaksanaan yang tidak dilandasi dasar hukum hanya bersifat temporer dan sangat terpengaruh oleh para pimpinan pada saat tertentu saja.
Peraturan perundang-undangan baru tentang penerbangan, yaitu Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 melakukan suatu pembenahan terkait pemeriksaan terhadap personel penerbangan sipil yang diindikasikan melakukan suatu pelanggaran etika dalam profesi dan berpotensi melanggar ketentuan hukum pidana. Mekanisme pemeriksaan atas personel penerbangan dilaksanakan melalui majelis profesi penerbangan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 364 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang menentukan bahwa untuk melaksanakan penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi penerbangan, dengan tugas pokok sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 365 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009, yaitu:
1. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang penerbangan;
2. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan pengguna jasa penerbangan; dan
3. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.
Terkait dengan dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana yang ditemukan dalam hasil penyidikan lanjutan majelis profesi penerbangan, maka dapat dilimpahkan kepada instansi yang memiliki kompetensi terkait dengan hal tersebut seperti yang ditentukan dalam Pasal 368 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 bahwa majelis profesi penerbangan berwenang:
1. memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;
2. menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan
3. memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.
Pembenahan terhadap prosedur investigasi atas kecelakaan pesawat terbang dan para personel penerbangan merupakan langkah yang ditempuh pemerintah selaku regulator untuk mendapatkan kepastian hukum dalam pemeriksaan kondisi yang sering terjadi didalam lingkungan penerbangan dengan didasarkan pada ketentuan-ketentuan penerbangan internasional, khususnya ICAO Annex 13 tentang Aircraft Accident and Incident Investigation (Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang) yang berlaku secara universal dikalangan penerbangan dunia dan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) atau Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil (PKPS) sebagai ketentuan standar keselamatan penerbangan.
Berdasarkan pada realita di lapangan dan dengan menitikberatkan pada pertanggungjawaban dalam aspek hukum pidana melalui mekanisme penyelidikan dan penyidikan atas seorang personel penerbangan sipil khususnya Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di Indonesia terkait dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
3. Aturan Pidana dalam Regulasi Penerbangan terhadap Kecelakaan Pesawat Terbang
Konvensi Chicago 1944 Wilayah penerbangan bersifat internasional, hal ini terjadi karena moda transportasi udara tidak hanya bergerak dalam lingkup domestik dalam negeri saja, melainkan menembus batas wilayah negara. Berdasarkan atas kondisi tersebut, maka regulasi terkait dengan penerbangan tidak hanya menggunakan aturan-aturan yang bersifat nasional, melainkan juga bersifat internasional dan disusun berdasarkan kesepakatan negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization / ICAO). Aturan penerbangan yang berlaku secara internasional tersebut tertuang dalam Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasional lainnya. Annexes merupakan ketentuan standar dan petunjuk pelaksanaan internasional (international standards and recommended practices) atas aturan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944. Secara substansi, aturan internasional lebih menitik beratkan aturan-aturan privat dalam ketentuan-ketentuan yang dihasilkan. Hal ini didasarkan pada konsep perjanjian antara penyedia jasa dan pengguna jasa, yang dimana hal tersebut merupakan bagian dari ketentuan aturan privat (perdata).




BAB III
KESIMPULAN
Dengan adanya perjanjian maka akan mengurangi kejahatan tindak pidana yang dilakukan seseorang, dan menentukan batasan yang harus ditempuh melalui perjanjian tersebut, juga perlunya Yurisdiksi untuk menentukan kejahatan seperti apa yang dilakukan oleh seseorang.

DAFTAR PUSTAKA

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung 2003, PT. Alumni
K. Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional, Jakarta: 2012, Rajawali Pers

loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929