loading...

Ahli waris yang mendapatkan bagian sisa (Ashabah)

November 08, 2016
loading...
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ahli waris yang mendapatkan bagian sisa (Ashabah)
1.      Pengertian ashabah
Kata ashabah merupakan jamak dari ﻋﺎﺼﺐ yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai mana yang dikemukakn Rifa’I Arif.
Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashabul al-furud.
Dalam pembagian sisa harta warisan ahli waris yang memiliki hubungan kekrabatan yang terdekatlah yang lebih dahulu menerimanya. Konsekuensi cara pemabagian warisan ini maka ahli waris yang peringkat kekerabatannya berada dibawahnya tidak mendapatkan bagian. Dasar pembegian ini adalah perintah Rasulullah saw:
أَلْحِقُوا الفَرَئِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَلاَوْلَى رَجُلٍ ذَكَرٍ (متفق عليه )
“Berikanlah bagian-bagian tertentu  kepada ahli waris yang berhak, maka sisanya untuk ahli waris laki-laki yang utama.” (Muttafaq ‘alaih)

Dari kelompok ashbul al-furud ada yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan kata lain tidak ditegaskan baik dalam al-Qur’an maupun asunnah, ahli waris yang demikian ini dinamakan dengan ashabah. Ahli waris ashabah ini menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini dapat mengabisi seluruh, jika ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi haknya.

2.      Macam-macam ashabah
Ashabah secara umum terbagi menjadi tiga yaitu Ashabah bi nafsi, Ashabah bi al ghair, Ashabah ma’a al-ghairi, dengan penjelasan sebagai berikut :
a.       Ashabah bi nafsi, Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya), yaitu :
·         Anak laki-laki
·         Cucu laki-laki dari garis laki-laki
·         Bapak
·         Kakek (dari garis bapak)
·         Saudara laki-laki sekandung
·         Saudara laki-laki seayah
·         Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
·          Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
·         Paman sekandung
·         Paman seayah
·         Anak laki-laki paman sekandung
·         Anak laki-laki paman seayah
·         Mu’tiq dan mu’tiqah
Dalil pewarisan mereka adalah firman Allah SWT :
يُوصِيكُمُ اللهُ فِى اَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ......
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadammu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…..” (an-Nisaa’:11)
b.      Ashabah bi al ghair, Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu ahli waris penerima ashabah bi al-ghair tersebut adalah :
·         Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
·         Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki.
·         Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung.
·         Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Ketentuan yang berlaku, apabila mereka bergabung menerima bagian ‘ashabah. Maka bagian ahli waris laki-laki adalah dua kali bagian perempuan. Dasarnya adalah firman Allah Swt:
وَاِنْ كَانُوْا اِخْوَةً رَّجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظَّ الأُنْثَيَيْنِ (النساء)
“jika mereka beberapa orang saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan…” (An-Nisa’: 176).
c.       Ashabah ma’a al-ghair, Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak menerima bagian sisa. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka ia menerima bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah). Ahli waris yang menerima bagian ashabah ma’a al-ghair adalah :
·         Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
·         Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih).
Ashabah karena sebab, Yang dimaksud para ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.




B.     Dzawil Arham
1.      Pengertian Dzawil Arham
Secara umum, Dzawil Arham berarti orang yang memiliki hubungan kekerabatan (hubungan darah) dengan orang yang meninggal, baik tergolongashabil furudh(pemilik bagian pasti) ataupun ‘ashabah, berdasarkan QS. Al- anfal :75 :
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itusebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (dari pada yang bukan kerabat) didalam kitab Allah.”QS. Al- anfal :75
Dalam ilmu Faraidh, Dzawil Arham adalah kerabat (famili), baik laki-laki ataupun perempuan yang tidak memiliki bagian tertentu dan ‘ashabah.
M. Ali Ash-Shabuni menjelaskan bahwa, Dzawil Arham adalah kerabat mayat yang tidak termasuk ashhabul furudh ataupun ‘ashabah,seperti saudara laki-laki ibu (khal), saudara perempuan ibu (khalal), saudara perempuan ayah (‘amah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.

2.      Hukum Warisan Dzawil Arham
Ulama Hanafiah, Hanabilah, sebagian ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah mangatakan bahwa apabila tidak dijumpai seorang pun dari ahli waris yang mempunyai bagian tertentu atau ‘ashabah, maka tirkah diserahkan sepenuhnya kepada Dzawil Arham sebagai warisan. Berdasarkan QS. Al-Anfal:75 sebagaimana disebutkan diatas dan QS. An-Nisa:7 yang berbunyi :

“Bagi laki-laki ada hak dan bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya” QS.An-Nisa:7
M. Ali Ash-Shabuni menegaskan bahwa jika mayat tidak meninggalkan ahli waris dari Ashhabul furudh dan ashabah, maka yang berhak mewarisi harta warisannya adalah Dzawil Arham. Kewarisan dzawil Arham ini didasaekan pada madzhab Hambali, Hanafi, Maliki dan sekarang sudah menjadi undang-undang perdata islam(al-ahwal asy-syaksiyyah).
Dilain pihak,sebagian ulama syafi;iyah mengatakan bahwa dzawil arham tidak dapat diwarisi, karena tidak disebutkan didalam Al-Qur’an, seandainya mereka berhak mewarisi tentulah ahli wala’ (yang memerdekakan) tidak didahulukan atas mereka.

3.      Cara Pewarisan Dzawil Arham
Ada tiga cara pewarisan dzawil arham, yaitu
a.       Cara Al-Rahm, Cara al-rahm disebut juga dengan cara al-taswiyah. Kelompok ini mengatakan bahwa tirkah dibagikan kepada dzawil arham secara merata, tidak membedakan antara kerabat yang dekat dengan yang jauh, antara laki-laki dan perempuan, mereka memiliki hal yang sama.
b.      Cara Ahli Tanzil, Madzhab ini menyebutkan bahwa dzawil arham dapat menduduki posisi ahli waris asal (induknya), baik sebagai ashab al-furudh atau ashabah bagaikan mereka masih hidup, kemudian warisan dibagikan kepada dzawil arham (furu’) dengan ketentuan 2:1 (laki-laki dua kali lipat dari perempuan) dan ketentuan warisan lainnya.
c.       Cara Ahlu al-Qarabah, Disebut Ahl al-Qarabah sebab prinsip pembagian waris untuk dzawil arham ini berdasarkan jihat (jalur) yang lebih dekat, yakni mereka mendahulukan pewaris pada orang yang lebih dekat dan seterusnya sebagai qiyasan pada pewaris ‘ashabah.

4.      Ahli Waris Pengganti
Dzawil arham dapat menerima bagian sebagai ahli waris pengganti atau karena tidak ada dzawil furudh dan atau ashabah yang telah disebutkan diatas mereka adalah:
a.       Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan yang berkedudukan sama denagn anak perempuan yakni apabila anak perempuan mendapat ½ maka ia juga mendapat ½ (separo).
b.      Anak (laki-laki atau perempuan ) dari cucu perempuan yang berkedudukan sama dengan cucu perempuan.
c.       Kakek (ayah dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu
d.      Nenek dari pihak kakek (ibu dari kakek yang tidak menjadiahli waris seperti halnya nenek dari ibu) kedudukannya sama dengan ibu.
e.       Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau sebapak. Kedudukannya sama dengan saudara laki-laki.
f.       Anak (laki-laki atau perempuan) dari saudara seibu. Kedudukannya sama dengan saudara seibu.
g.      Anka (laki-laki atau perempuan) dari saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu. Kedudukannya sama dengan saudara perempuan sekandung atau seayah.
h.      Bibi (saudara perempuan dari ayah) dan saudara perempuan dari kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
i.        Paman yang seibu dengan ayah dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek. Kedudukannya sama dengan ayah.
j.        Saudara (laki-laki atau perempuan) dari ibu. Kedudukannya sama dengan ibu.
k.      Turunan dari rahim-rahim tersebut diatas.
Mereka tersebut dapat menerima warisan dengan Syarat (a.)Sudah tidak ada asshab al-furudh atau ‘ashabah sama sekali. Jika ada sisa warisan, maka di radd-kan (dikembalikan) kepada ahli waris yang ada, tidak diberikan kepada dzawil furudh, atau (b.) bersama dengan salah seorang suami-istri.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929