loading...

Pengertian Putusan

November 14, 2016
loading...
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia yang notabene adalah negara yang menganut prinsip “rule of law” telah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi salah satu dari tujuan segala elemen di dalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya; maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan.
Dalam hal ini, pruduk hukum yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah ditentukan apa saja yang boleh di hasilkan oleh peradilan tersebut. Sudah tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung.
Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali. Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang produk hukum di pengadilan pada lingkungan Peradilan Agama.



B. Rumusan Masalah.
1. Apa pengertian dari putusan?
2. Apa saja jenis atau macam putusan?
3. Bagaimana bentuk isi putusan?
4. Bagaimana tata cara pelaksanaan putusan?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Putusan
Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk pengadilan agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.
Penjelasan pasal 10 UU No 7 Tahun 1989 memberi defenisi tentang putusan sebagai berikut: “putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa”.
Kemudian Gemala Dewi memberikan defenisi lebih lanjut tentang pengertian putusan ini sebagai berikut, bahwa putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan kedalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka oleh umum, sebagai suatu bentuk produk pengadilan(Agama) sebagai hasil dari suatu pemeriksaan perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Sedangkan menurut A. Mukti memberikan defenisi putusan sebagai berikut: “putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa putusan adalah: pernyataan hakim yang tertulis atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.

B. Macam-macam Putusan
Mengenai macam-macam putusan, HIR tidak mengaturnya secara terperinci. Di berbagai literatur, pembagian macam atau jenis putusan tersebut terdapat keanekaragaman. Tentang macam-macam putusan ini tidak terdapat keseragaman dalam penjabarannya.
Menurut A. Mukti Arto macam-macam putusan dapat diklarifikasikan berdasarkan 4 segi pandang, yaitu:

1. Jenis Putusan Dilihat Dari Segi Fungsinya
Kalau dilihat dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, maka putusan pengadialan agama ada dua macam, yaitu:
a. Putusan Akhir
Putusan Akhir ialah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan maupun yang belum menempuh semua tahap pemeriksaan. Misalnya ; putusan verstek yang tidak diajukan verzet, putusan yang menyatakan Pengadilan Agama tidak berwenang memeriksa, dll.
b. Putusan Sela
Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan. Misalnya putusan terhadap tuntutan provisionil, dll.
Putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan. Putusan sela dibuat seperti putusan biasa tetapi tidak dibuat secara terpisah melainkan ditulis dalam Berita Acara Persidangan (BAP) saja.

2. Jenis Putusan Dilihat Dari Segi Hadir Tidaknya Para Pihak
Dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, hal ini ada tiga macam, yaitu:
a. Putusan Gugur
Putusan Gugur ialah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena Penggugat /Pemohon tidak hadir. Putusan Gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahap pembacaan gugatan/permohonan.
b. Putusan Verstek
Putusan Verstek adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir. Keputusan Verstek diatur dalam Pasal 125 HIR dan 196-197 HIR, Pasal 148-153 R.Bg. dan 207-208 R.Bg. UU Nomor 20 Tahun 1947 dan SEMA Nomor 9 tahun 1964.
c. Putusan Kontradiktoir
Putusan kontradiktoi adalah putusan akhir yang dijatuhkan pada saat sidang tanpa kehadiran para pihak. Dalam pemeriksaan putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam sidang. Terhadap putusan ini dapat dimintakan banding.

3. Jenis Putusan Dilihat Dari Sifatnya
Menurut sifatnya, putusan dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Putusan declaratoir. Yaitu putusan yang menyatakan atau menerangkan keadaan atau status hukum. Misalnya pernyataan adanya hubungan suami istri dalam perkara perceraian yang perkawinannya tidak tercatat pada Pegawai Pencatat Nikah setempat.
b. Putusan Constitutif. Yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya putusan perceraian, semula terikat dalam perkawinan menjadi perkawinannya putus karena peceraian.
c. Putusan condemnatoir. Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak. Misalnya menghukum tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan untuk dibagi waris.

C. Isi Putusan
Bila diperhatikan secara keseluruhan suatu putusan, bentuk dan isi putusan Pengadilan Agama secara singkat adalah sebagai berikut(Harahap, 1993:350-353).
1. Kepala putusan.
Putusan harus memuat kepala putusan yang meliputi “putusan”, kalimat “Bismillahirrah-manir-rahim”, dan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2. Nama Pengadilan dan Jenis Perkara.
Pengadilan Agama mana yang memeriksa perkara dan apa jenis perkaranya.
3. Identitas Para Pihak.
Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat, umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai penggugat atau tergugat.
4. Duduk Perkara.
Memuat tentang:
 Uraian lengkap isi gugatan;
 Pernyataan sidang para pihak dihadiri para pihak;
 Pernyataan upaya perdamaian;
 Uraian jawaban tergugat;
 Uraian replik;
 Uraian duplik;
 Uraian kesimpulan para pihak;
 Pembuktian para pihak.
5. Pertimbangan Hukum.
Berisi penilaian hakim tentang segala sesuatu, peristiwa, dan alat bukti yang diajukan, dengan alasan-alasan hukum yang menjadi dasar, pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis yang bersangkutan dengan perkara yang diperiksa.
6. Amar putusan.
Amar putusan didahului dengan “MENGADILI” kemudian diikuti petitum berdasarkan pertimbangan hukum. Di dalamnya diuraikan hal-hal yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau diterima.
7. Penutup.
Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan dalam persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa, panitera yang membantu, kehadiran para pihak dalam pembacaan putusan. Putusan ditandatangani oleh majelis hakim dan penitera yang ikut sidang dan pada akhir putusan dimuat perincian biaya perkara.

D. Pelaksanaan Putusan
Pelaksanaan putusan atau eksekusi merupakan rangkaian akhir dari proses berperkara di pengadilan (Hamami, 2003:237). Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvorbar bij vorraad) dapat dilakukan pelaksanaan putusan (soetantio, 1997:129).
Suatu putusan dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila:
 Para pihak telah menerima putusan;
 Tidak ada upaya hukum yang dilakukan para pihak atau salah satu pihak yang berperkara dalam tenggang waktu yang telah ditentukan;
 Telah diputus oleh pengadilan tingkat terakhir atau kasasi(Hamami, 2003:237).
Tata cara pelaksanaan eksekusi adalah sebagai berikut:
a. Pemohon eksekusi mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan alasan termohon eksekusi tidak mau melaksanakan putusan dengan suka rela.
b. Ketua pengadilan membuat penetapan dikabulkannya permohonan eksekusi apabial terdapat cukup alasan dengan menetapkan sidang peneguran dengan memanggil para pihak untuk hadir dalam persidangan yang ditetapkan.
c. Pada sidang yang ditetapkan termohon ditegur agar melaksankan putusan dengan suka rela dalam tenggang waktu delapan hari setelah sidang peneguran.
d. Apabila dalam tenggang waktu delapan hari termohon tidak melaksankan putusan dengan suka rela maka akan dilaksanakan pelaksanaan putusan secara paksa atau eksekusi.
e. Ketua pengadilan membuat penetapan yang berisi perintah kepada panitera atau wakilnya dengan disertai tiga orang saksi untuk melaksankan eksekusi putusan.
f. Panitera dan wakilnya menetapkan hari pelaksanaan eksekusi dan termohon eksekusi diminta untuk hadir pada waktu yang telah ditentukan di tempat pelaksanaan eksekusi juga pejabat terkait untuk menyaksikan eksekusi.
g. Pelaksanaan eksekusi putusan pengosongan (penyerahan) benda tetap dengan cara mengeluarkan barang-barang termohon eksekusi yang berada di dalamnya kemudian dikunci dari luar.
h. Pelaksanaa eksekusi putusan pembayaran sejumlah uang dilakukan dengan melelang barang-barang bergerak atau tidak bergerak yang di sita.
BAB III
KESIMPULAN

Putusan disebut vonnis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu produk pengadilan agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk pengadilan semacam ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau jurisdictio cententiosa.
putusan adalah: pernyataan hakim yang tertulis atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Mengenai macam-macam putusan, HIR tidak mengaturnya secara terperinci. Di berbagai literatur, pembagian macam atau jenis putusan tersebut terdapat keanekaragaman.


DAFTAR PUSTAKA

A. Mukti Arto, “Praktik Perkara Perdata Pada Peradilan Agama”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 1996.
Abdullah Tri Wahyudi. “Peradilan Agama di indonesia”. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar), 2004.
Dewi, Gemala, “Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia”, (Jakarta: Kencana), 2005.
Harahap, M. Yahya “kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989”, (Jakarta: Pustaka Kartini), 1993.
Raihan A. Rasyid. “Hukum acara Peradilan Agama”. (Jakarta: Rajawali Press), 2007.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929