loading...

skripsi pernikahan

January 21, 2013
loading...
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap individu yang berkahwin mengimpikan satu kehidupan yang bahagia karena rumahtangga yang bahagia menjadikan penghuni-penghuninya dapat hidup dalam suasana tenang, harmoni dan selesa. Setiap anggota keluarganya saling kasih mengasihi, hormat menghormati dan menjalankan aktiviti-aktiviti rumahtangga dengan penuh kerelaan. Perjalanan hidup sebuah keluarga bahagia didasarkan di atas prinsip saling menjaga dan mengambil berat di antara satu sama lain, sentiasa memberi sokongan semasa menghadapi konflik dan penyelesaian permasalahan. Selain daripada itu, setiap suami isteri dapat meningkatkan lagi potensi diri dan membina hubungan erat dengan orang lain. Di dalam menjalani kehidupan, mereka sentiasa sensitif dengan perubahan serta berupaya menyesuaikan dirinya.

Kebahagiaan hidup sebuah keluarga banyak bergantung kepada persefahaman di dalam menjalinkan perhubungan suami isteri. Kegagalan mereka untuk berbuat demikian akan melahirkan ketegangan dan konflik. Oleh itu tidak mustahil jika dikatakan bahawa krisis adalah suatu perkara lumrah di dalam sebuah rumahtangga walau bagaimana harmoni kehidupan rumahtangga tersebut. Keadaan ini hanya boleh dapat diatasi dengan kebijaksanaan suami dan sokongan daripada isteri yang pengasih.

Tidak ada kehidupan rumah tangga yang penuh kesenangan, kenikmatan, dan ketenangan yang tidak diterpa badai rumah tangga. Inilah sunnatullah hidup, tidak ada yang abadi dalam satu keadaan. Justru kita harus menghadapi semua ini dengan tenang, memahami dan berhukum dengan hukum Allah yang benar dan melihat sejarah (peri kehidupan) Nabi Muhammad Saw sebagai perumpamaan yang tinggi yang kita amalkan didalam kehidupan didunia dan akhirat.

Sehingga segala bentuk kebijakan dan Perbedaan kultur, pendidikan, usia, kedewasan, atau karakter sering menjadi pemicu percekcokan jika ada tidak disatukan dalam bingkai kasih sayang, saling pengertian, sadar akan hak dan kewajiban, serta disadari nilai-nilai keimanan.

Tujuan didalam perkawinan itu sendiri untuk mendapat sebuah keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah. Namun kita sebagai hamba yang Esa haruslah menjalankan corak kehidupan yang diredoi Allah untuk menjamin kebahgiaan yang akan dibina itu kelak. Sekiranya timbul masalah didalam rumah tangga haruslah ditangani dengan perbincangan, dan berdamai adalah lebih digalakkan.

Oleh karena itu agama Islam amat menitik beratkan rumah tangga yang mengikut jalur hukum Islam. Ini karena didalam hukum Islam itu terdapatnya aturan-aturan didadam rumah tangga. Dengan berpandukan al-Quran, Sunah, dan Rasul sebagai uswatul hasanah bagi kita sebagai seorang umat manusia. Berikut ini merupakan ayat Al-Quran yang menyatakan Rasulullah itu adalah “Uswatul Hasanah” . Allah berfirman:

                

Artinya: “Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Seperti ayat yang di atas ini menerangkan kita bahwa Rasulullah itu adalah ikutan kita dalam segala hal. Jadi termasuklah didalam rumah tangga juga perlulah berpandukan contoh tauladan bagaimana Rasulullah menjalani hidup sehariannya bersama istri-istrinya.

Seorang suami harus menjaga dirinya, istri dan keluarga serta mentaati Allah dan Rasul. Dengan itu juga suami selaku ketua keluarga perlu menegur istri atau anak-anak daripada melakukan maksiat atau perkara yang di larang oleh Allah. Ini karena suami selaku ketua keluarga dan bertanggung jawap dari istri dan anak-anaknya terjerumus ke dalam api neraka. Allah berfirman:

        ••              

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Thahrim (6)

Berangkat dari latar belakang masalah diatas, maka penulis merasa terpanggil untuk mengkaji apa yang terkandung di dalam sebuah rumah tangga itu, sehingga bisa di panggil keluarga Sakinah, Mawaddah dan Warahmah. Semua pertanyaan tersebut perlu dicarikan jawabannya melalui kajian yang serius dan mendalam. Maka penulis tertarik untuk mengkajinya dan menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penyelesaian Komplik Rumah Tangga Menurut Hukum Islam”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka yang mejadi obyek

bahasan dalam skipsi ini adalah:

1. Apakah yang terkandung didalam sebuah pernikahan?

2. Apakah problematika dalam rumah tangga dan solusinya?

3. Bagaimana penyelesaian komplik rumah tangga menurut hukum islam?

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan yang dibahas, maka dipandang perlu batasan masalah agar pembahasan yang dilakukan lebih terarah. Dalam permasalahan ini, penulis hanya membatasi pada yang terfokus pada pandangan empat Mazhab, tentang permasalahan nusyuz, hadhanah, dan nafkah.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Ingin mengkaji apakah yang terkandung dalam sebuah penikahan.

b. Untuk mengetahui dan menyelidiki bagaimana problematika dalam rumah tangga dan solusi.

c. Untuk mengkaji bagaimana penyelesaian komplik rumah tangga menurut hukum Islam.

2. Kegunaan Penelitian

a. Sebagai suatu sumbangan pemikiran, khususnya bagi mereka yang ingin

mendalami masalah rumah tangga bahagia menurut hukum Islam.

b. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi dan meraih gelaran Sarjana Strata (S1).

E. Tinjauan Kepustakaan

Sejauh pengamatan penulis dan informasi yang dapat, belum ditemui seseorang yang melakukan penulisan dan penelitian tentang penyelesaian komplik rumah tangga menurut hukum Islam. Walaubagaimanapun ada beberapa buku yang berkaitan yang bisa dijadikan rujukkan, kepada penyusunan skripsi penulis, seperti:

1. Kitab “Al- Umm” karangan Imam Asyafi’ sebagai sumber rujukan dan panduan utama.

2. “1001 Tips Keluarga Sakinah, Mawadah, Rahmah”, (Samara) sebagai bahan rujukan utama.

3. “Menjadi Istri Penuh Persona” karya penulisan Asraf Sahin.

4. “Rahsia Istri Cantik Dan Kreatif” karya penulisan Shabah Said.

5. “Agar Suami-Istri Romantis Selalu” karya penulisan Nurma Ratna Sari.

6. “Agar Suami Makin Sayang” karya penulisan Adil Fathi Abdulloh.

7. “Kiat Merebut Hati Pria” karya penulisan Adil Fathi.

8. “Kiat Membahgiakan Suami Lahir Batin Sejak Malam Pertama” karya penulisan Nurlela El- Anwari.

Dan banyak lagi buku yang diambil sebagai rujukan. Untuk itu penulis mencoba menuangkan secara khusus dalam skripsi ini, baik mengenai peran-peran dalam kekeluargaan, berbagai problematika, sejarah dan berbagai nasihat, yang membawa skripsi ini berjudul “Penyelesaian Komplik Rumah Tangga Menurut Hukum Islam”.

F. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis penulisan skripsi ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) dan pengumpulan data dalam penulisan, penulisan ini dilakukan dengan mencari data-data dari berbagai sumber yang berhubung dengan masalah yang dibahaskan, lalu dikumpulkan, dipilih serta diteliti kesesuaiannya dengan penulisan skripsi ini.

2. Sumber data penelitian yang digunakan di bawah judul ini adalah berbentuk Penelitian Pustaka (Library Research) yang menekankan pada penelusuran dan penelitian bahan-bahan pustaka yang sesuai dengan kajian yang diteliti, yaitu tentang Potret Rumah Tangga Bahagia Menurut Hukum Islam. Oleh karena itu, seluruh data yang akan dituangkan ke dalam hasil penelitian ini berhasil dari bahan-bahan tertulis yang secara garis besar terdiri dari dua data yaitu Data Primer dan Data Skunder.

a. Data Primer: Adalah data yang bersumber al-Quran, Hadis dan buku yang berkaitan dengan penyelesaian komplik rumah tangga menurut Islam. Seperti buku “Kitab Al- Umm jilid ke-8”.

b. Data Skunder: Adalah data yang diperoleh hasil daripada bacaan perpustakaan serta liteture yang mempuyai hubungan dengan penelitian tersebut seperti, buku merangkumi Bunga-bunga Ditaman Bahgia karangan Abu Thalib Qadir bin Muhammad bin Husin dan buku Wanita Dalam Syariat Dan Masyarakat karangan Al-Thahir Al-Hadad dan lain-lain lagi.

G. Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Mengumpul data dari buku-buku yang berhubungan dengan pokok kajian ini yang menjadi sumber utama dalam penulisan skripsi.

b. Data yang dihimpun bersumberkan dari data primer, dan dilanjutkan dengan data-data skunder yang dijadikan sumber tambahan sebagai pelengkapan materi pembahasannya.

c. Sumber data yang terkumpul dikodifikasikan dengan tambahan data yang akurat dan tepat.

H. Tehnik Analisa Data

Semua data yang diperolehi terdiri dari berbagai literatur, majalah dan kitab-kitab Fiqh, Hadis dan Tafsir. Setelah data terkumpul sesuai dengan permasalah dibahaskan dan kemudian dipelajari serta difahami di bawah ini metode yang di gunakan oleh penulis.

1. Metode Induktif, yaitu mengembangkan sebuah ide yang dikemukakan oleh seorang pakar, atau beberapa orang pakar menjadi sebuah pembahasan bersifat khusus kemudian dibahas kepada permasaalahan yang bersifat umum.

2. Metode Deduktif, yaitu mengembangkan sebuah ide yang dikemukakan oleh seorang pakar, atau beberapa orang pakar menjadi sebuah pembahasan bersifat umum kemudian dibahas kepada permasalahan yang bersifat khusus.

3. Metode Komperatif, dengan cara membandingkan antara dua data yang berlainan untuk mengambil suatu pendapat yang logis, tepat dan akurat untuk dijadikan bahan rujukan dan pedoman dalam menetapkan kesimpulan dengan berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.

BAB II

PENIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM.

A. Pengertian Nikah

Nikah menurut istilah bahasa berarti gabungan atau kumpulan. Orang Arab mengatakan tanaakahatil Asyjaaru bilamana pohon-pohon saling bergabung satu sama lainnya. Nikah menurut istilah syara’ yaitu Undang-undang Agama Islam ialah akad yang mengandung unsur diperbolehkan melakukan persetubuhan dengan mengunakan lafaz nikah atau tazwij.

Nikah menurut istilah adalah akad perkawinan yang sah. Nikah juga terkadang digunakan untuk mengungkapkan arti hubungan suami istri. Jika kata nikah di sandarkan kepada istri dengan mengatakan, “Si Fulan menikahi istrinya”. Maka yang di maksud adalah melakukan hubungan suami isteri (khusus). Jika ada yang mengatakan “Ia menikahi putri si Fulan”, maka yang dimaksudkan adalah melakukan akad pernikahan (umum). Kedua lafaz tersebut menjadi sebab halalnya hubungan laki-laki wanita. Menurut beberapa ulama, hanya dengan dua kalimah inilah pernikahan menjadi sah, karena ada dasarnya dari Al-Qur’an dan Al-Hadis.

Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita (Hanafi).

Aqdu An-nikah dibaca dihubungkan dengan Q. IV: 21 aqdu nikah

sebutan Al quran Q. II: 232, 235, 237 yang lazim dalam bahasa indonesia sehari-hari disebut Akad Nikah dari kata-kata Aqad Nikah.

Nikah artinya perkawinan sedangkan aqad artinya perjanjian. Jadi Akad Nikah berarti perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria membentuk keluarga bahgia dan kekal abadi.

Pengertian perkawinan menurut Sajuti Thalib yang merupakan pengarang buku Hukum Keluarga Indonesia. Menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-iaki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasihi, tenteram dan bahgia.

Pengertian nikah menurut Imam Syafie adalah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan seksual.

Pengertian nikah menurut Prof. Dr. Hazairin S.H. yaitu pengarang buku Hukum Kekeluargaan Nasional mengatakan inti perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau itu tidak ada nikah (perkawinan) bilamana tidak ada hubungan seksual. Beliau mengambil tamsil bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri, maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk menikahi lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.

Pengertian Nikah Menurut Prof Ibrahim Hosen yaitu pengarang buku Nikah Dalam Pandangan Prof. Ibrahim Hosen, Studi atas Kitab Fiqh Perbandingan jilid ke-12. Menurut Prof Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti sebuah aqad dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, Sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh (syafi'i). “Dialah yang menciptakan kamu dari satu zat dan daripadanya dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang”. (Q. VII: 189) Al-A’raaf (tempat tertinggi). Jadi menurut Al Quran, perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling, menyantuni (rahmah).

Pengertian nikah menurut Kompilasi Hukum Islam sebagai kesimpulannya adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Adalah penting di dalam sebuah perkawinan itu mempuyai akad nikah, (perjanjian nikah). Yaitu akad tersebut yang di lafazkan ketika acara akad nikah, Dan setelah berjayanya akad lafaz tersebut maka terhasilah suatu perhubungan suamu istri yang sah. Dengan sahnya suatu perkawinan itu maka bisa melakukan hubungan lahir batin antara suami dan istri dalam keadaan halal, dan ciptakanlah sebuah rumah tangga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah. Yang mana didalam perjalanan melayari rumah tangga itu di lengkapi ketaqwaan, keimanan, dan sentiasa berharap keredhaan Allah Swt. Barulah terwujudnya rumah tangga yang diimpikan setelah sekian lama oleh umat manusia .

B. Hukum Nikah

Terdapat lima hukum nikah:

1. Wajib.

Orang yang berkemampuan menunaikan nafkah zohir dan batin, sihat tubuh badan serta dikuwatiri terjerumus kepada zina karena tidak dapat mengawal nafsu.

Hukum ini berlaku bagi orang yang takut berbuat zina jika tidak melakukannya, sedangkan dia adalah orang yang mampu melaksanakan. Meninggalkan zina adalah wajib, sedangkan apa yang dapat menyempurnakan kewajiban adalah juga wajib.

Haram

Orang yang tidak berkemampuan menunaikan nafkah zahir dan batin atau diyakini akan menunaikan kezaliman terhadap pasangan. Hukum ini berlakukan pada pernikahan yang dilakukan di Negara yang sedang terjadi peperangan. Karena pernikahan tersebut terkadang dapat menyebabkan kelahiran beberapa anak, kemudian anak-anak tersebut bisa dibunuh atau diculik. Contoh pernikahan jenis ini adalah seseorang yang mempuyai isteri bermaksud menikah dengan wanita lain, akan tetapi dia khawatir tidak dapat berlaku adil. Dalam kondisi seperti ini dia haram menikah. Firman Allah:

                              

Artinya: “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap ( hak-hak ) perempuan yang yatim ( bilamana kamu mengawininya ), maka kawinilah wanita-wanita ( lain ) yang kamu senangi: dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka ( kawinilah ) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa’:3

Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja, jika tidak mampu berkawinlah seorang sahaja.

3. Makruh.

Bagi mereka yang tidak memberi nafkah tetapi berkeinginan untuk beristri. Hukum ini berlaku bagi orang fakir yang tidak mempuyai keinginan untuk menikah. Penyebabnya adalah bahwa ia akan menganiaya dirinya sendiri dengan menafkahi orang lain, padahal dia tidak berkeinginan untuk menikah.

4. Mubah atau Harus

Orang tidak mempuyai tuntutan mendesak untuk berkawin dan tidak ada pekara yang menghormatinya berkawin. Hukum ini berlaku bagi orang kaya yang tidak berkeinginan untuk melakukan pernikahan, walaupun dia mampu memberi nafkah. Dia bisa bermanfaat bagi seorang wanita dengan memberikan nafkah padanya.

5. Sunah.

Orang yang berkemampuan menunaikan nafkah zahir dan batin, serta berkeinginan untuk berkawin tetapi tidak dikuwatirkan terjerumus kepada zina. Sabda Rasullallah:

حدىث عبد الله بن مسعود رضي الله عنه : عن علقمة قال كنت أمشي معه يحد ثه فقال له عثمان يا أبا عبد الرحمن ألا نزوجوك جارية شا بة لعلها تذكرك بعض ما مضى من زما نك قال فقال عبد الله لْآن قلت ذاك لقد قال لنا قال فقال عبد الله لآنقلت ذاك لقد قال لنا رسول الله ضلى الله عليه وسلم يا معشر الشباب من الستطاع منكم ألباءة فليتزوج فاء نه أغض للبصر و احصن للفرح و من لم يستطع فعليه با الصوم فانه له وجاء (الصحيح البخاري و مسلم)

Artinya: “ Hadis Abdullah bin Mas’ud R.a: Diriwayatkan dari Al-Qamah R.a katanya: Aku pernah berjalan-jalan di Mina bersama Abdullah R.a. Kami bertemu dengan Usman R.a yang kemudian memghampiri Abdullah R.a. Setelah berbincang beberapa saat, Utsman R.a bertanya: “Wahai Abu Abdurrahman: Maukah aku jodohkan kamu dengan seorang perempuan muda? Mudah-mudahan perempuan itu akan dapat mengingatkan kembali pada masa lampaumu yang indah.” Mendengar tawaran itu Abdullah R.a menjawab: “Apa yang kamu ucapkan itu adalah sejalan dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah S.a.w kepada kami: Wahai golongan pemuda! Siapa di antara kamu yang telah mempuyai kemampuan zahir dan batin untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Sesungguhnya penikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan. Maka siapa yang tidak berkemampuan, hendaklah d puasa itu dapa menjaga nafsu.”

C. Hikmah Nikah

1. Menjamin Kesehatan

Perkawinan dapat menjauhi daripada maksiat terutama jenayah zina yang boleh menyebabkan berbagai penyakit, seperti Aids dan Sipilis. Penyakit itu menggugat kesihatan dan membinasakan kehidupan.

3. Memupuk Kasih Sayang

Perkawinan diikat hubungan dengan rasa tanggungjawab bersama suami istri. Dengan itu terjalinlah kasih sayang diantara kedua-duanya.

حديث النعمان بن بشير رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائرالجسد بالسهر والحمى (رواه البخاري و مسلم )

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Musa R.a katanya: Rasulullah Saw bersabda: “Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.”

4. Menjalinkan Silahturahmi

Perkawinan dapat menghubungkan persaudaraan antara pihak lelaki dan perempuan serta merapatkan hubungan antara masyarakat. Ikatan perkawinan boleh berlaku tanpa mengira bangsa dan budaya.

حديث خبير بن مطعم رضي الله عنه: عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يدخل الخنة قاطع (رواه البخاري و مسلم)

Artinya:“Diriwayatkan dari ‘Jubair bin Mut’im R.a katanya: Nabi Saw bersabda: “Tidak akan masuk Surga orang yang memutuskan hubungan kekeluargaan (silaturrahmi)”.

5. Memberi ketenteraman kepada suami dan istri

Perkawinan merupakan perkongsian hidup antara suami istri, kesenangan dan kesusahan akan dihadapi bersama. Zuriat yang dihasilkan melalui ikatan perkawinan memberi ketenteraman dan keceriaan kepada mereka.

D. Tujuan Nikah

1. Bukan untuk kepuasan.

Tujuan dan niat menikah bukan untuk kepuasan lahir batin belaka, juga bukan bertujuan ikut-ikutan, apabila menikah hanya bertujuan libido sex atau tendensi lain. Menikah dengan niat seperti itu tidak memperoleh pahala, kecuali Allah akan merendahkan taraf hidup mereka.

2. Karena niat.

Tujuan utama menikah (niat dalam hati) ialah untuk beribadah kepada Allah. Disebut beribadah kepada Allah karena anda menikah atas dorongan mengikuti perintah Allah dan Rasul-nya. Seperti yang diketahui, Islam amat melarang umatnya hidup membujang. Ini karena menikah merupakan perintah Allah dan Sunnah Rasul, dalam Islam tidak ada istilah hidup membujang sekalipun dengan alasan tekun beribadah dan asyik dalam beribadah yang menyenangkan. Kadang-kadang orang terlalu jauh dari urusan duniawi dan hanya mengasingkan diri beribadah kepada Allah, dia lupa tidak menikah, padahal dalam Islam dilarang keras hidup membujang.

حديث سعد بن أبي و قاص رضي الله عنه: رد رسول الله صلى الله عليه وسلم على عثمان بن مظعون التبتل ولو أذن له لا, ختصينا (البحاري و مسلم)

Artinya: “ Diriwayatkan dari Saad bin Abu Waqqas R.a katanya: Rasulullah Saw melarang Utsman bin Maz’un untuk membujang. Seandainya Nabi merestui, pasti kami akan membujang.”

Islam tidak mengangap wanita sebagai pencukur tajam yang mengikis habis kebenaran, dimata Allah pria wanita sama saja, yang membedakan hanya iman dan ketakwaan kepada-Nya, maka diapun layak untuk dinikahi sebagai patner menuju kebajikan dan surga. Sebab didalam intern keluarga hanya saham-saham surga yang patut ditanam. Bilamana seorang pria betul-betul asyik dengan keperjakaan, harus ada konsekuensi bila tidak menikah, tentu dia tidak hancur dan membahayakan dirinya, karena segala godaan nafsaniah kemanusian bisa ditepis tanpa harus menikah dengan syarat utama, dia harus berjihad di jalan Allah.

E. RUKUN DAN SYARAT NIKAH

Rukun dan Syarat nikah harusnya berjalan seiringan. Jika salah satunya tidak dipenuhi dapat diibaratkan seperti bumi tiada penghuninya, kehidupan tiada udara untuk dihirup udaranya.

1. Rukun Nikah

Setiap perbuatan hukum dalam Islam harus memenuhi dua unsur pokok, yaitu syarat dan rukun, bila syarat rukun tidak terpenuhi, maka hukum tersebut tidak sah menurut Islam:

a. Ada mempelai laki-laki.

b. Ada mempelai wanita.

c. Ada wali.

d. Ada saksi.

e. Ada sighoh akad ijab dan qabul.

Urat pokok rukun nikah terletak pada ijab dan qabul sebagai lafaz hukum akad nikah, bila tidak ada akad nikah tentu pernikahan tidak sah dan perbuatan ijab dan qabul itu tidak sah juga tanpa adanya lafaz nikah. Lima rukun nikah diatas sah bila masing-masing kelima rukun memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Begitu juga setiap rukun nikah mempuyai syarat-syarat yang tersendiri. Maka syarat-syaratnya perlu dipenuhi. Oleh itu sempurna syarat-syarat dalam rukun dan ada lafaz nikah . Maka sempurnalah sebuah Rukun Nikah.

2) Syarat-syarat Rukun Nikah

Masing-masing kelima rukun wajib memenuhi beberapa syarat yang wajib terpenuhi.

a) Syarat-syarat Mempelai Laki-Laki

(1) Beragama Islam.

(2) Prianya jelas, arti dia tidak banci, atau betul-betul seorang pria yang layak untuk menikah.

(3) Pria tidak memiliki hubungan mahram dengan calon istri, baik mahram dari segi nasab atau mahram dari segi susuan. Misalnya ada hubungan saudara (kakak adik) atau keponakan dengan

bibi dari dari ayah dan ibu.

(4) Tidak ada unsur paksaan.

(5) Wanita yang dinikah tidak dalam iddah Raj’iyah, karena status iddah raj’I masih berstatus istri dengan bukti wanita yang berada dalam iddah raj’I masih berhak memperolehi waris.

(6) Calon pengantin pria tidak boleh menikahi dua wanita sekaligus, dimana dua wanita itu masih ada hubungan darah. Akad nikah seperti itu batal untuk kedua-duanya, dan tidak ada dasar untuk memenangkan salah satu. Jika dilakukan dengan dua kali akad, maka akad yang pertama (wanita itu) sah menjadi istrinya dan akad kedua tidak sah.

(7) Laki-laki tidak memiliki empat istri sekalipun salah satu dari keempat istri berstatus iddah Raj’iyah, karena istri dalam lingkup iddah raj’yah masih berstatus istri atas dasar hukum. Alasannya Pria hanya diperbolehkan menikahi maksimal empat wanita, otomatis menikah dengan wanita yang kelima tidak sah. Kecuali salah satu istrinya sudah berstatus Iddah Thalaq Bai’n karena Thalaq Bai’n karena Thalaq Bai’n sudah tidak berstatus istri.

(8) Bilangan laki-laki menikahi lima wanita dengan akad lima kali, maka akad yang terakhir tidak sah, sementara empat wanita yang sebelumnya diangap sah menjadi istri. Dan jika dilakukan dalam satu akad, maka kelima wanita semuanya tidak sah menjadi istrinya (Kitab Fathul Mu’in).

(9) Ada penentuan bahwa si A adalah calon mempelai pria (Tak’yin).

(10) Proses akad nikah tidak sedang menjalankan ihram haji atau Umrah.

b. Syarat-syarat Mempelai Wanita

1) Beragama Islam.

2) Mempelai wanita tidak berstatus menjadi istri orang lain.

3) Menentukan (ta’yin) bahwa wanita inilah yang akan dinikahi dengan saudara yang artinya pengantin wanita jelas.

4) Wanita tidak dipernahkan dinikahi oleh ayahnya (Q S.4:22), maksudnya menikahi ibu tiri.

5) Atas kemauan sendiri.

6) Telah memberi izin kepada wali untuk dinikahinya.

7) Belum pernah dili’an (sumpah) oleh calon suaminya.

8) Tidak sedang menjalani ihram haji atau umrah. Intinya wanita yang akan menikah atau dinikahi tidak ada halangan syar’iyah untuk melangsungkan pernikahan . Halangan haram pernikahan (muhrim) atau mahram sebab masih ada hubungan saudara susuan.

Tentang masalah syar’iyah ini banyak sekali ragam bentuk dan pola-pola hukum yang membuat halal dan haramnya akad nikah misalnya, haram menikahi keturunan istri dari segi nasab atau saudara susuan sekalipun sudah melepasi satu generasi.

c. Syarat-syarat Wali

Pernikahan tidak sah tanpa adanya wali yang menikahkan. Adapun syarat-syarat wali selain dia, berhak menjadi wali sesuai urutan-urutan wali, harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:

1) Beragama Islam.

2) Laki-laki sudah baliqh.

3) Tidak gila dan atas kemauan sendiri.

4) Adil dan tidak sedang menjalankan ihram.

Urutan wali mengikut nasab

(1) Ayah.

(2) Kakek.

(3) Saudara lali-laki kandung.

(4) Saudara laki-laki seayah.

(5) Anak lali-laki dari saudara laki-laki sekandung (kepona-kan).

(6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

(7) Paman sekandung (paman dari ayah yang seibu dan seayah).

(8) Paman seayah.

(9) Anak laki-laki dari paman sekandung.

(10) Bila semua itu tidak ada, barulah menikah dengan wali Hakim.

d. Syarat menjadi Saksi Nikah

1) Islam.

2) Berakal.

3) Baliqh.

4) Bukan hamba.

5) Lelaki.

6) Adil.

7) Tidak fasiq.

8) Mendengar dan melihat.

9) Mengerti bahasa yang digunakan dalam Ijab dan Kabul.

10) Kuat ingatan.

11) Waras fikiran.

12) Tidak dipaksa.

13) Bukan dalam ihram.

e. Ketentuan Bahasa Ijab dan Qabul dan Sighatnya.

Kalimat ijab tidak sah melainkan dengan salah satu dari dua kalimat tersebut di atas, karena ada Imam Muslim yang mengatakan,

فلا يصح الايجاب إلابأحد هذين أللفظين, الخير مسلم ( إتقوا الله فى النساء فإنكم أخذ تموهن بأمانة الله, و استحللتم فروجهن بكلمت الله) وهي ماورد فى كتابه, ولم يردفيه غير هما.

Artinya: “Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam urusan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka berdasarkan amanat Allah, dan kalian halalkan farji (kemaluan) nya dengan (menyebut ) kalimah Allah.” Kedua lafaz itulah (nikah dan kawin) yang disebutkan di dalam Kitabullah, tiada kata-kata lain di dalamnya selain dari kedua lafaz tersebut.

Wanita menjadi halal bagi seorang laki-laki karena lantaran dinikahkan menggunakan ijab bahasa yang sudah ditentukan Allah, yakin dengan dua bahasa: “Zawaj-tuk…atau anka tuka…” (Aku kawinkan ……: aku nikahkan….aku nikahkan) dengan wanita perwalianku si ....: boleh salah satu dari kedua kalimat itu (ada yang berpendapat tidak boleh), maka Imam Syafi’I menggabungkan dua kalimat tersebut dijadikan satu menjadi ijab seorang wali menikahkan.

ولايصىج بأزوجك أو أنكحك على ألاوجه, ولابكنايه كأحللتك إبنتى أوعقد تها لك.

Artinya: “Menurut pendapat yang paling kuat (alasannya), tidak sah melakukan ijab dengan kata-kata “uzawwijuka” dan “unkihuka” (Aku sedang sedang mengawini kamu, aku sedang menikahkan kamu). Tidak sah pula memakai kata-kata kinayah (sindiran), seperti ucapan, “Aku halalkan putriku kepadamu,” atau “Aku ikatkan dia untukmu.”

Setelah Ijab, kemudian ada akad Qabul ( menerima ) diucapkan pengantin pria (Qabil-tu nikahaahaa…), dimana Ijab dan Qobul diperbolehkan menggunakan bahasa setempat dengan catatan. Sesuai makanannya dengan “Zawaj-tuka dan ankahtuka”, yakin, menikahkan atau mengawinkan.

Jika calon pengantin tidak mengerti bahasa Ijab qabul dengan bahasa arab, namun dia mengerti maksud lafaz tersebut adalah akad nikah, maka pernikahanya dianggap sah.

Ada yang mengatakan, Ijab harus menggunakan bahasa Arab, pendapat ini ditentang oleh banyak ulama. Termasuk Iman Athiyah mengatakan Ijab Qabul menggunakan selain bahasa Arab diperbolehkan, asalkan terjemah menggunakan selain bahasa Arab diperbolehkan, asalnya terjemah dari lafaz zawajtuka dan ankahuka. Misalnya untuk bahasa Indonesia dua lafaz itu diterjemahkan. Dengan “Aku kawinkan…/ Aku nikahkan…..” maka dua kalimat ini sah dianggap sebagai ijab pernikahan.

Lafaz Sighah

( وشرط فيها ) أي الصيغة ( إيجاب من اأولي ) و هو ( كزوجتك أو أنككتك ) موليت فلانة.

Artinya: “Dalam shighah (teks) disyaratkan adanya ijab dari pihak wali, seperti ucapan,” Aku nikahkan kamu atau aku kawinkan kamu dengan dengan orang yang ada alasan dalam perwakilanku, yaitu Fulanah.”

Jadi sighot ijab qabul lebih utama menggunakan bahasa Arab, jika tidak bisa harus mempelajari dulu, dan jika tidak bisa, boleh menggunakan bahasa terjemah dari dua kalimat itu asalkan terjemah itu benar-benar terjemah dari lafaz nikah secara bahasa.

BAB III

PROBLEMATIKA DALAM RUMAH TANGGA

Sebuah rumah tangga pasti akan mengalami prolematika, berikut ini merupakan beberapa prolematika yang sering terjadi didalam sebuah rumah tangga itu. Dengan itu kita sebagai umat Islam harus bersiap sedia dengan apa-apa yang menguji kita kelak. Sesungguhnya orang bersabar adalah orang yang di sayangi oleh Allah. Berikut ini beberapa prolematika-prolematika di dalam rumah tangga.

A. Problematika Nusyuz.

1. Pengertian Nusyuz.

Nusyuz menurut bahasa adalah derhaka atau ingkar. Istilah iyalah keengganan istri menunaikan kewajiban terhadap suami tanpa alasan yang munasabah mengikut hukum syara’ . Nusuz adalah perbuatan yang diharamkan oleh syara’. Para malaikat melaknat istri yang nusyuz sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis yang berikut:

عن أبي هريرة رضي اللة:قال رسول اللة (ص ): اذا دعا الرجل امرأته الى فراشه فأبت فبات غضبان عليها لعنتها الملاءكة حتى تصبح. ( رواه البخاري و مسلم )

Artinya: “Dari Abu Hurairah ( Ra ): sabda rasulullah Swa: Apabila seorang suami mengajak istrinya ketempatan tidur, dia enggan, lalu suaminya tidur dalam keadaan marah, para Malaikat melaknat hingga kesubuh”.

Hadis ini menjelaskan salah satu bentuk nisyuz yaitu keengganan istri suami ditempat tidur tanpa sebab-sebab yang munasabah mengikut syara’. Bentuk nusyuz yang lain iyalah istri melakukan kekerasan kepada suami sama ada dengan perkataan atau perbuatan dan istri melakukan kecurangan.

2. Perkara yang boleh membawa kepada nusyuz.

a. Istri enggan melainkan suami ketempat tidur ( bersetubuh )

b. Keluar rumah tanpa izin suami tanpa sebab-sebab yang munasabah.

c. Melakukan kekasaran sama ada dengan perkataan atau perbuatan terhadap suami.

d. Ingkar perintah suami yang tidak bercanggah dengab syara’.

e. Membenarkan lelaki yang tidak disukai oleh suami memasuki rumah semasa ketiadaan suami.

B. Mengasuh/ Merawat Anak ( hadhanah )

Mengasuh anak disini lebih membahaskan komplik mengasuh anak selepas kedua

1. Hak Merawat Anak (Hadhanah)

Anak merupakan titipan Tuhan yang harus betul-betul dijaga. Menjadi dambaan setiap orang tua kepada anaknya untuk menjadi orang yang berbakti, berguna bagi agama , nusa dan bangsa. Orang tua manakahyang tidak ingin anaknya seperti itu. Agar hal itu benar-benar terwujud, orang tua mempunyai peranan penting dalam mendidiknya. Dalam konteks dikenal dengan istilah Hadhanah.

Hadhanah terambil dari kata"Hidhan"artinya lambung. Sedang menurut definisi para fuqaha', hadhanah yang dimaksud ialah hak untuk memelihara anak kecil ,baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikan baginya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya . Jadi tidak termasuk disini pemeliharaan terhadap anak yang telah dewasa yang tamyiz.

Syarat-syarat Perawatan Anak

Seorang hadhinah ( ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya perlu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu.

2. Syarat-syarat Mengasuh Anak

Syarat-syarat yang wajib dipenuhi oleh orang yang hendak mengasuh anak, adalah :

1. Berakal sehat.

2. Dewasa, sebab jika anak kecil sekalipun mumayyiz tetap membutuhkan orang lain untuk mengurusi urusannya dan mengasuhnya.

3. Mampu mendidik ; karena itu, orang yang buta atau yang rabun, tidak boleh menjadi pengasuh, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, bukan orang yang mengabaikan urusan rumahnya sehingga merugikan anak kecil yang diurusnya.

4. Terpercaya dan berbudi dan berbudi luhur.

5. Islam ; anak kecil Muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang

bukan Muslim. Karena hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah swt. tidak membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir.

Allah swt. berfirman :

ولن يجعل الله للكفارين على المؤمنين سبيلا. ….

Artinya: " Dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir menguasai orang-orang Mukmin " ( Q.S An-Nisa' : 141)

Alasan ketidak bolehan tersebut adalah karena ditakutkan anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dengan agama pengasuhnya, dididik dengan tradisi agamanya sehingga sukar bagi anak untuk meninggalkan agamanya ini. Hal ini merupakan bahaya paling besar bagi anak tersebut

kecuali bagi orang yang mencintai. Dan cemburu itu termasuk sifat yang baik dan bagian yang mulia, baik pada laki-laki atau wanita.

C. Nafkah

Sejak akhir – akhir ini isu dan masalah berkaitan dengan nikah mis-yar, harta sepencarian dan isu kekeluargaan rumah tangga sering diperbahaskan. Rata – rata menyatakan pendapat dan pendirian masing – masing di dalam menegakkan hak serta kewajipan yang harus dilunaskan. Rentetan dari itu, ramai yang menolak kaum adam mengambil alih tugas kaum hawa yang seharusnya menyelesaikan tanggungjawab tersebut.

1. Makna Nafkah

Nafkah itu menurut Islam ialah Asal makna nafkah ialah mengeluarkan atau menghabiskan. Perkataan nafkah (mengeluarkan atau menghabiskan) hanya digunakan dengan makna yang baik sahaja.

Namun, persoalan yang harus difahami kini adalah bagaimana kedudukan nafkah yang sebenar menurut perspektif Islam dan Undang – Undang Kekeluargaan. Perkara ini harus diambil kira dalam meneliti setiap permasalahan.

2. Hukum Memberi Nafkah

Tugas suami untuk memberi nafkah ke atas isteri dan anak-anaknya adalahwajib. Allah s.w.t. berfirman , Mafhum dari Surah Al-Baqarah ayat 233 yang mana kewajiban memeberi nafkah itu adalah kewajiban seorang suami atau ayah kepada anak-anak. Keperluan yang merupakan memberi makan dan pakaian dengan cara yang baik .

Dalam hadith Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, maksudnya,“Dari Aisyah bahawasanya Hindun bin Uthbah pernah bertanya kepada baginda Rasulullah : Hai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufiyan adalah orang kafir. Ia tidak mahu memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehingga aku mesti mengambil daripadanya tanpa pengetahuannya. Maka Rasulullah SAW bersabda : Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan baik

3. Nafkah Menurut UU Mahkamah Di Malaysia

Di bawah peruntukan Undang – Undang Keluarga Islam di Selangor dan Johor Seksyen 59 (1) dan (2) menyatakan tertakluk kepada hokum syarak mahkamah, boleh memerintahkan orang lelaki membayar nafkah kepada isterinya atau bekas isterinya

Namun, seseorang isteri tidak berhak mendapat nafkah apabila ia nusyuz atau enggan dengan tidak berpatutan menurut kemahuan atau perintah sah suaminya.Di bawah Seksyen 60, 61, dan 62 menyatakan mahkamah boleh memerintahkan mana – mana orang yang bertanggungan tentang hal itu mengikut hokum syarak supaya membayar nafkah kepada seseorang yang lain jika ianya tidak berupaya sepenuhnya atau sebahagiannya disebabkan kerosakan otak, jasmani, atau tidak sihat dan mahkamah berpusat

Di bawah Seksyen 64, 65 memperuntukan sesuatu perintah nafkah itu tamat apabila mati orang yang kena membayar nafkah atau mati orang yang berhak menerima nafkah menurut perintah yang telah ditetapkan mana yang lebih awal. Begitu juga di dalam Seksyen 65 (1) dan (2) hak isteri untuk menerima perintah nafkah akan terhenti apabila tamat idah atau isteri hidup dalam perzinaan dengan orang lain atau apabila isteri itu berkahwin dengan orang lain.

BAB IV

PENYELESAIAN PERMASALAH RUMAH TANGGA MENURUT FIQIH HUKUM ISLAM

Sebagaimana yang diartikan dengan Nusyuz seperti di bab tiga tersebut dan prolematika-prolematikanya, Manakala bab ke empat ini ada menjelaskan penyelesaiannya pula.

Dalam Hukum Islam itu Nusyuz seperti berikut, Pada bahasa derhaka atau ingkar. Manakala dari sudut istilah keenggannan istri menunaikan kewajiban terhadap suami tanpa alasan yang munasabah mengikut hukum syara’. Dan penerangan temtang nusyuz mengikut hukum Islam ada seperti bab tiga diatas, dengan itu juga para ulama’ ada mengemukakan pendapatnya mengenai nusyuz seperti yang berikut.

A. Penyelesaian Nusyuz Menurut Mazhab

1. Menurut Mazhab Syafi’i.

Menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, Menurut Ibnu Manzur, secara terminologis nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap isteri atau sebaliknya. Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada isteri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya. Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyuz isteri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika isteri tidak disibukkan oleh pelbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.

وترك إجابته إلى المسكن اللائك بها النشوز

Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyuz.

1) Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik.

2) Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya).

3) Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya.

4) Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi isteri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.

Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa' ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya.

Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal isteri nusyuz. Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.

2. Nusyuz Menurut Mazhab Maliki

Pendapat Imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa’ (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakim.

Melakukan hajr yang artinya memboikot istri dalam rangka menasehatinya untuk tidak berbuat nusyuz. Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan ayat, Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr maksimal adalah empat bulan. Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz). Karena dalam ayat hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya secara mutlak dan tidak dibatasi.

Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika hajr yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami bisa melakukan cara hajr yang lain. Dari Anas bin Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَال

Artinya: “Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari” (HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).

Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.

Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat. Namun hendaklah seorang suami memperhatikan aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:

a. Memukul dengan pukulan yang tidak membekas.

Sebagaimana nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’:

وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

Artinya: “Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).

Jika seorang suami memukul istri layaknya petinju –Mike Tyson-, maka ini bukanlah mendidik. Sehingga tidak boleh pukulan tersebut mengakibatkan patah tulang, memar-memar, mengakibatkan bagian tubuh

rusak atau bengkak.

b. Tidak boleh memukul istri di wajah.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ

Artinya: “Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih).

Aisyah menceritakan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Aku tidaklah pernah sama sekali melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan Allah”. (HR. Ahmad 6: 229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadis ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim)

1. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian, maka tidak boleh dilakukan.

2. Jika istri telah mentaati suami, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman:

وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya: “Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).

Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh Islam. Jika solusi yang

ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian bisa jadi sebagai jalan terakhir. Mudah-mudahan Allah memudahkan untuk membahas hal ini. Semoga Allah memberi kemudahan demi kemudahan.

3. Nusyuz Menurut Mazhab Hanafi

Menurut terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri.

Menurut mazhab Hanafi, apabila seorang isteri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka isteri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama.

Hanafiyah adalah tertahannya seorang isteri di rumah suami. Memukul hanya pada satu tempat karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar keadaan. Dalam memukul, Mazhab Hanafi menganjurkan agar menggunakan alat berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu, atau dengan alat yang tidak sampai melukai. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidak dibenarkan salah seorang kamu memukul dengan pemukul yang lebih dari sepuluh lidi kecuali untuk melakukan hal yang telah ditetapkan Allah SWT (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kategori Nusyuz menurut Hanafiyah:

Sebagaimana isteri, nusyuz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya. Dan hal ini sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim (seorang Ulama’ Hanafiyah) sebagai berikut mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya. Berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama. Menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.

Sementara itu, bentuk nusyuz yang berupa perbuatan dapat berupa: tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas. Menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan isteri. Tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain. Menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya. Bersenggama dengn isteri melalui duburnya.

4. Nusyuz Menurut Mazhab Hambali

Nusyuz adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama’ Hambaliyah mendefinisikanya dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.

Apabila isteri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Padahal suami telah mengajak pindah ke tempat kediman bersama sedang tempat kediaman bersama (tempat tinggal) tersebut merupakan tempat tinggal yang layak bagi dirinya. Sebagaimana dalil:

وترك إجابته إلى المسكن اللائك بها النشوز

Apabila keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya isteri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya isteri itu bukan karena kebutuhan suami maka isteri itu dianggap nusyuz.

Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan, sebagaimana pendapat mazhab Hambali. Dalilnya disebutkan dalam hadis Abu Burdah Al Anshori, ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْلِدُوا فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ

Artinya: “Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah” (HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).

Dengan adanya berbagai cara untuk menangani masalah nusyuz ini diharapkan dapatlah membantu pasangan rumah tangga untuk menyelesaikan mengikut aturan yang di sediakan. Oleh itu ingatlah Allah sentiasa bersama orang-orang yang bersabar didalam kehidupan sehariannya

B. Penyelesaian Hak Perawatan Anak.

Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak ituwajib. Akan tetapi mereka berbeda dalam hal apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anaknya Para ulama sepakat bahwasanya hukum

1. Hak Perawatan Menurut Syafi’ah

Hak asuhan itu berturut-turut adalah, ibu, ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris si anak. Sesudah itu adalah ayah,ibunya ayahnya ayah, ibu dari ibunya ayah, dan seterusnya hingga keatas, dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan disusul kerabat-kerabat dari ayah.

2. Hak Perawatan Menurut Malikiah.

Hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada nenek dan seterusnya ke atas, saudara perempuan ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ayah,ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.

3. Hak Perawatan Menurut Hanafiah

Hak itu secara berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudara-saudaranya perempuan kandung, saudara-saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, anak perempuan dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan dari saudara seibu, dan demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.

a. Syrat Mengasuh menurut Hanafiah

Kemudharatan wanita atau laki-laki yang mengasuh, menggugurkan hak asuhan.

4. Hak Perawatan Menurut Hambaliah

Hak asuh itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunyanya ibu, ayah, ibu-ibunya, kakek, ibu-ibu dari kakek, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.

a. Syarat Mengasuh Hambaliyah

Pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang dan yang penting, dia tidak membahayakan kesehatan si anak. Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliah berpendapat: Apabila ibu si anak bercerai pula dengan suaminya yang kedua, maka larangan bagi haknya untuk mengasuh si anak dicabut kembali, dan hak itu dikembalikan sesudah sebelum menjadi gugur karena perkahwinannya dengan laki-laki yang kedua itu

C. Nafkah

Para ulama’ mazhab sepakat nafkah itu wajib. Meliputi tiga hal: pangan, sadang,dan papan.

1. Nafkah Menurut Syafi’yah

Syafi’yah mengatakan: Nafkah diukur berdasarkan kaya dan miskinnya suami,tanpa melihat keadaan istri, Yang demikian itu bila dikaitankan dengan persoalan sandang dang pangan. Sedang dalam hal papan, disesuaikan dengan apa yang patut baginya menurut kebiasaan yang berlalu,dan tidak pada kondisi suami,

2. Nafkah Menurut Hanafiah

a. Dikalangan kalangan Hanafiah terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan berdasar kondisi suami-istri, dan yang kedua dengan berdasar kondisi suami saja.Biaya pengobatan, Al-Fiqh ala Al- Mazahib Al- Arba’ah mengatakan bahawa, pengobatan dan buah-buahan bukanlah nerupakan kewajiban kewajiban suami untuk menyediakannya pada saat terjadinya sengketa antara keduanya.Manakala Kitab Al-Jawahir jilid V disebutkan bahawa, istri tidak berhak atas biaya pengobatan dan berbekam dari suaminya, maupun untuk mandi air panas kecuali di kala haru teramat dingin. Sayyid Abu Al-Hasan dalam Al-Wasilah-nya mengatakan bahwa, apabila obat yang dibutuhan untuk mengobati penyakit-penyakit yang diderita orang banyak, maka hal itu sudah termasuk dalam nafkah wajib. Akan tetapi bila hal itu termasuk dalam kategori pengobatan besar dan membutuhkan biaya besar, maka biayanya bukan merupakan kewajiban suami dan tidak pula harus diambil dari nafkah.

b. Tempat Tinggal Bagi Istri Menurut Hanafiah dan Hambaliah

Tempat tinggal istri harus merupakan tempat tinggal yang layak dengan kondisi suami-istri, yang harus dikosongkan dari keluarga lain, anak ( suami ), dan kaum kerabat yang lainnya, kecuali dengan izin istrinya.

c. Tempat Tinggal Bagi Istri Menurut Malikiah.

Apabila istri berasal dari kalangan bawah yang tidak mampu, maka dia tidak berhak menolak untuk tinggal bersama-sama kerabat suami, dan bila dia berasal dari kalangan orang kaya, maka berhak dia menolak. Dalam hal ini yang disebut terkemudian ini, istri wajib tinggal di rumah keluarga suaminya dengan syarat harus disediakan kamar khusus baginya yang memungkinkan dia menyediakan diri kapan saja dia mahu, serta dijamin bahwa dia tidak akan diperlakukan buruk oleh keluarga suaminya itu.

d. Tempat timggal Bagi Istri Menurut Syafi’ah

Tempat tinggal bagi istri adalah wajib, dengan menyediakan tempat tinggal yang layak bagi istrinya dan bukan berdasarkan kondisi suami, sekalipun suaminya tidak mampu. Namun tetapi kondisi suami harus jadi timbangan dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengan nafkah, tanpa ada perbedaan abtara pangan, sadang, dan papan.

3. Nafkah Menurut Hambali dan Maliki.

Mengatakan: keadaan suami-istri berbeda, yang satu kaya dan lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan adalah tengah-tengah antara dua hal- itu.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah penulis kemukakan pada bab terdahulu, maka sampailah pada bab kesimpulan. Sebagai akhir dari tulisan ini dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

1. Didalam sebuah pernikahan adanya ikatan yang kuat yang “misaaqan ghaliizhan”. Yang mana didalamnya ada akad nikah, lafaz ijab dan qabul, dan sahnya sebuah pernikahan itu.

2. Didalam pernikahan juga terdapatnya problematika-problematika. Diantara problematika-problematika yang ringan seperti kelakuan istri yang tidak menyenangkan suami, dan sebagainya. Manakah problematika yang agak berat yang mana sehingga mengakibatkan permasalahan nusuz dan sebagainya. Oleh itu terdapatnya juga beberapa solusi didalam problematika-problematika ini, diantaranya ada cara untuk tangani nusuz dan sebagainya.

3. Walau terdapatnya perbedaan antara empat Mazhab ini, harus kita ingat sesungguhnya perdamaian itu adalah yang terbaik dan disukai Allah. Maka sekiranya terdapat perselisihan didalam rumah tangga hadapilah dengan cara yang telah Allah sediakan penyelesaiannya menurut cara islam. Sesungguhnya Agama Islam adalah Agama yang sempurna.

4. Sesungguhnya Allah sudah mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai ikutan seluruh umat. Jadi teladanilah bagaimana Nabi kita menyelesaikan perbagai masalah yang menimpa ketika terdapatnya permasaalah dalam Komplik dalam rumah tangga beliau.

5. Dengan adanya pandangan penyelesaian empat mazhab ini bagi menanbah ilmu pengetahuan yang mana selama ini, kita hanya berpanduka satu majhab sahaja. Ini dapat menggambarkan bahwa Islam ini sangat meluas dan tidak menyusahkan umatnya berpandukan kondisi dan situasi.

B. Saran-saran

1. Kepada seseorang yang berniat untuk berumah tangga hendaklah menyediakan persiapan yang secukupnya. Bukan saja dari segi fizikal dan mental malahan harus dari meteri dan ilmu pengetahuan yang lengkap untuk bekalan semasa melayari bahtera rumah tangga.

2. Sebagai kedua ibu-bapa juga harus selalu menasihatkan anak-anak mereka, jangan hanya mencari kesalahan sebelah pihak dan dengan mudah menggalakan penceraian kepada anak-anak anda, usaha untuk mencari solusi yang sebagus mungkin.

3. Jangan mudah putus asa dengan masalah yang menimpa, sentiasa berbincang antara kedua jika berlakunya permasalahan. Tanganilah masalah itu mengikut cara Islami.

4. Sebagai umat Islam kita haruslah banyak bersabar dalam mejalani semua ujianya. Sesungguhnya Orang yang bersabar disayangi oleh Allah.

5. Sekiranya berlaku permasalahan bisalah merujuk kepada sebuah agensi penasihat atau pun bertanya kepada yang lebih memahami solusi permasalahan tersebut.

6. Sebarang perselisihan yang terjadi antara kedua belah pihak haruslah diselesaikan dengan perbincangan yang pertama penting didalam sebuah kekeluargaan. Kerna sesungguhnya Rasulullah turut mengadakan perbincangan ataupun musyawarah untuk menentukan keputusan yang terbaik diantara yang terbaik.

7. Kita sebagai penganut yang mengamalkan peganggan dengan mazhab syafi’iah, bagaimanapun harus mengghormati apa-apa sahaja pendapat di mazhab Malikiah, mazhab Hanafiah, mazhab Hambaliah dan mazhab yang lain. Ini kerna sesungguhnya agama Islam itu adalah agama yang cintakan kedamaian dan keharmonisan didalam kehidupan.

C. Kata Penutup

Segala puji dan syukur bagi Allah Swt, karena atas segala kekuatan yang diberikutnya dan karunianya yang tidak terhingga. Karena dengan penunjuk-Nya dapatlah penulis menyelesaikan skripsi ini, walaupun bukan mudah hingga bisa mencapai keakhirnya. Penulisan menyadari bahwa dalam penulisan ini terdapat banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya saranan-saranan dan kritikan yang membangun demi penyempurnaan skripsi dan akhir kata, penulis berharap semoga Allah berkahi skripsi ini dan menjadi manfaat kepada penulis dan kepada orang lain.
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929