loading...

Makalah Thaharah

January 23, 2013
loading...
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam Hukum Islam Thaharah (bersuci) dengan segala seluk beluknya adalah sangat penting, terutama karena syarat sah shalat wajjib suci dari hadast besar dan hadast kecil serta suci badan, pakaian dan tempat dari najis.

Thaharah (bersuci) merupakan alat pembuka pintu (miftah) untuk memasukkan ibadah shalat. Tanpa thaharah, pintu tersebut tidak akan terbuka, artinya ibadah shalat baik fardhu maupun yang sunat, tidaklah sah. Karena fungsinya sebagai alat pembuka (pintu) shalat, maka setiap ,muslim yang bermaksud akan mendirikan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan tahu melaksanakannya sehingga thaharahnya terhitung sah menurut ajaran ibdah syari’ahnya.

Bila kita perhatikan pengertian thaharah secara lughawi (bahasa) berarti “Suci” menurut istilah ahli fiqh (terminologi) thaharah adalah menghilagkan sesuatu yang menjadi kendala bagi sahnya ibadah tertentu. Kendala tersebut ada yang sifat atau bendanya. Sehingga dapat diketahui melalui indra, seperti benda-benda najis, tetapi ada juga yang sifat atau bendanya tidak nyata (abstrak) seperti hadast-hadast. (Baihaqi, 1966 : 17)

Adapun yang dimaksud hadast adalah keadaan tidak suci dengan kata lain, orang yang tidak suci dikatakan berhadast yang menyebabkan tidak boleh shalat, thawaf atau ibadah lain yang mensyaratkan suci. Seseorang muslim yang

bathal wudhunya maka ia telah suci kembali dan oleh karenanya ia boleh shalat, thawaf dan amalnya yang mensyaratkan wudhu.

Hadast terbagi dua : hadast besar terjadi karena sesuatu yang menyebabkan misalnya bersetubuh, haid atau sebab lainnya yang mewajibkan mandi dan hadast kecil terjadi karena tidak berwudhu atau wudhu batal. Maka mensucikannya adalah dengan berwudhu.(Baihaqi, 1996:18)

Perintah berwudhu ditunjukkan pada orang yang akan melaksanakan shalat. Wudhu adalah salah satu dari syarat sahnya shalat artinya shalat yang didirikan tidak akan menjadi sah tanpa didahului dengan wudhu yang sah.

Sebagai firman Allah dibawah ini :



•

Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kesiku, lain sapulah kepalamu dan basuh kakimu hingga dua maka kaki ......(Depag RI, 1988:158)

Berdasarkan ayat diatas, cukup jelas tentang tata cara melakukan wudhu anggota badan yang menjadi anggota wudhu yang disebut rukun wudhu.

Diantara faedah dan manfaat yang diperoleh dari perbedaan pendapat inilah adalah kemudahan dalam menjalankan agama, karena perbedaan itu membawa kepada perbedaan hukum, dan memilih. Pendapat yang terkuat yang

sesuai dengan kesanggupannya. Allah sendiri tidak membebani seseorang itu diluar batas kemampuannya,sebagaimana firman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286 :

•

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Depag RI, 1982 : 73)

Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat yang dikerjakan oleh seseorang dalam ibadah shalat, Rasulullah SAW bersabda :

•



Artinya : “Allah tidak menerima shalat diantara kamu jika berhadast, sehingga lebih dahulu ia berwdhu”. (Bukhari, 1981 : 28)

Para imam Mahzab berbeda pendapat tentang rukun wudhu ini baik jumlahnya maupun batasan-batasannya. Diantara iman Mahzab ada yang berprinsip bahwa tidak ada rukun wudhu lagi kecuali yang tercantum dalam Al-Qur’an. Sementara Mahzab yang lain ada yang menambah lebih yang disebutkan dalam ayat Al-Qur’an tersebut.

Perbedaan dalam tata cara tidak hanya dalam masalah niat, juga terdapat perselisihan dalam cara menyapu kepala. Mahzab imam Hanafi dan Imam Syafi’i mempunyai persepsi berbeda, seperti : Imam Hanafi berpedapat

wajib mengusap seperempat kepala, tetapi cukup dengan memasukkan kepala

1. Dalil kitab suci Al-Qur’an, firman Allah SWT :



•

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah matamu dan tanganmu sampai dengan siku dan basuhlah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”(Depag RI, 1983:158).

2. Dalil Sunnah, diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda :



Artinya : “Allah tidak menerima shalat salah seorang diantaramu bila ia berhadast, sampai ia berwudhu lebih dahulu.” (Al- Faukhari, 1992:111).

3. Ijma’, telah terjalin kesepakatan kaum muslimin atas disyari’atkannya wudhu, semenjak zaman Rasulullah SAW hingga sekrang ini, hingga tak dapatdisangkal lagi bahwa ia adalah ketentuan yang berasal dari agama. (Sabiq, 1983:36).

a. Niat

Niat yaitu tujuan untuk berbuat atau melakukan dengan motivasi (dorongan) untuk mengikuti perintah-perintah Allah SWT. (Mughniyah, 1995 :22), dan merupakan perbuatan hati nurani, yang tak ada sangkut pautnya dengan lisan, dan mengungkapkannya tidaklah disyariatkan. Alasan diwajibkannya ialah hadist riwayat Umar ra :





Artinya : “Bahwa Rasulullah Saw bersabda : Semua perbuatan itu adalah dengan niat, dan setiap manusia akan mendapat sekedar apa yang diniatkan”. (Bukhari, 1992:51).

b. Membasuh Muka

Yang dimaksud dengan membasuh muka ialah mengalirkan air pada muka, batasan muka yang wajib dibasuh ialah dari tempat tumbuh rambut kepala sebelah atas sampai tulang dagu sebelah kebawah dan lintangnya dari telinga kanan ke telinga kiri, seluruh bagian muka yang tersebut wajib dibasuh, tidak boleh ketinggalan sedikitpiun, bahkan wajib sedikit agar kita yakin terbasuh semuannya. Firman Allah SWT :



Artinya : “Maka Basuhlah mukamu”...

(Depag RI, 1980 : 1-58)

c. Membasuh kedua tangan sampai kedua siku

Siku ialah engsel yang menghubungkan tangan, lengan, dan kedua siku itu termasuk yang wajib dibasuh, sebagaimana firman Allah SWT :



Artinya :”,.. dan tanganmu sampai dengan siku”...

(Depag RI, 1988 : 158).

d. Menyapu Kepala

Menyapu kepala ialah melepaskan sesuatu yang basah dan ini tidak akan terwujud kecuali adanya gerakan dari anggota yang menyapu dalam keadaan lekat dengan yang disapu maka melekatkan tangan atau inu jati ke atas kepala atau lainnnya, tidak dapat dikatakan menyapu. (Sabiq, 1988 : 38)



Artinya : ...dan sapulah kepala mu”...

Depag RI, 1983 : 158)

e. Membasuh kedua kaki serta kedua mata kaki

Inilah yang pasti dan mutawatir dari perbuatan maupun perkataan Rasulullah SAW. (Sabiq, 1983 : 39).

•

••



Artinya : “Rasulullah Saw terkebelakang dari kai dalam sebuah perjalanan. Kemudian ia dapat menyusul kami, sedangkan waktu ashar sudah sempit, kamipun segera berwudhu dan membasuh kaki kami. Nabi pun berseru sekeras suaranya duaatau tiga kali,, celakalah mata-mata kaki disebabkan api neraka”.

(Bukhari, 1992 : 128).

Semua fardhu yang kami sebutkan diatas ialah sesuai dengan yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6, kecuali niat



•

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”...

(Depag RI, 1983 : 158).

f. Tertib, berurutan. (Sabiq, 1983 : 39).

Ini berdasarkan pada sebuah hadist Rasulullah Saw :



Artinya : “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah”

(Sukandy, 1995 : 24).

Fardlu atau rukun wudhu yang dikemukakan diatas adalah yang sepakati oleh para ulama dan meninggalkan salah satunya mengakibatkan tidak sahnya wudhu yang kita kerjakan.

C. Sunnat Wudhu dan yang membatalkan Wudhu

1. Sunat Wudhu

Sunat wudhu itu dapat diutarakan sebagai berikut :

a. Membaca “Basmalah” ketika memulai wudhu.

diriwayatkan sebuah hadist dari Abu Hurairah ra :



•

Artinya : “Rasulullah Saw bersabda tidak sah wudhunya orang yang tidak membaca nama Allah dipermulaannya”.

(Sukandy, 1995 :25)

b. Membasuh telapak tangan sampai pergelangan tangan.

c. Berkumur

d. Istiraq yaitu menghirup air ke hidung kemudian mengeluarkan kembali.

e. Membasuh seluruh kepala yaiotu dengan cara mengusap ujung kepala sampai akhir kemudian kembali lagi ke tempat memulainya. Hadist Rasulullah Saw sebagaiberikut :

•

•





•

••



Artinya : “Dari Ibnu Abbas Ra bahwasannya ia berwudhu ia membasuh wajahnya ia mengambil secidupair, lalu berkumur dan instinshab dengannya. Ia menjadikan seperti itu ia menaruhkan ke tangannya yang lain lalu membasuh mukanya ia mengambil secidup air lalu membasuh tangannya yang kanan, ia mengambil air lalu membasuh tangannya yang kiri. Ia mengusap kepalanya, ia mengambil secidup air lalu memercikkan pada kakinya yang kanan sambil membasuhnya lalu membasuh kakinya yang kiri kemudian ia berkata Demkianlah saya melihat Rasulullah berwudhu. (Bukhari, 1992 :116).

f. Mengusap dua buah telinga bagian luar dan dalam

g. Menyela-nyele jenggot yang tebal

h. Menyela-nyela jari tangan dan kaki

i. Mendahulukan anggota yang kanan dari pada yang kiri

Hadist dari Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi bersabda :



Artinya : “Apabila kamu sekalian berwudhu maka dahulukan anggota kananmu”. (Sukandi, 1995 ;24).

j. Meniga kalikan pada tiap-tiap memabsuh anggota wudhu

k. Berurutan artinya tidak lama selang waktunya dalammengerjakan anggota yang satu dengan lain

l. Tidak meminta pertolongan pada orang lain kecuali sakit

m. Tidak diseka kecuali jika ada hajat

n. Menggosok-gosok anggota wudhu

o. Menjaga supaya percikan air jangan kembali ke badan

p. Tidak bercakap-cakap sewaktu berwudhu kecuali jika ada hajat

q. Bersiwak

r. Membaca dua kalimat syahadat dan menghadap kiblat sewaktu berwudhu

s. Membaca do’a setelah selesai berwudhu

t. Membaca dua kalimat syahadat sesudah selesai berwudhu. (Idris, 1994 :9, (Rifa’i, 1978 : 64), (Munir, 1992 : 154), (Sabiq, 1983 : 39).

2. Yang Membatalkan Wudhu

Ada beberapa hal yang menyebakan batalnya wudhu dan menghalangi ibadah seseorang untuk mencapai faedah yang dimaksudkan.

Hal-hal yang dapat membatalkan wudhu tersebut adalah sebagai berikut :

a. Keluar sesuatu dari dua pintu atau jalan salah satu dari keduanya, baik yang keluar itu berupa zat atau angin yang biasa atau yang tidak biasa seperti darah, atau yang keluar itu najis atau suci seperti ulat, baik muka maupun belakang (qubul dan dubur) termasuk didalamnya seperti kencing, buang air besar. Berdasarkan firman Allah :



Artinya : “... Atau datang dari tempat buang air ...”

(Depag RI, 1983 : 125).

Angin dubur yakni kentut berdasarkan hadist Abu Hurairah :







Artinya : “Telah bersabda Rasulullah Saw. Allah tidakmenerima shalat seseorang diantaramu jika ia berhadast sampai ia berwudhu maka berkatalah seorang laki-laki dari hadramaut : Apa maksudnya hadst Ya Abu Hurairah? Kentut atau berak ujarnya”.

(Bukhari, 1992 : 111). Mani dan Wadi (Sabiq, 1963 : 45).

b. Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk atau disebabkan obat biar sedikit atau banyak dan tidak ada bedanya duduk itu tetap ditempatnya atau tidak karena ketidak sadaran disebabkan semua itu lebih hebat sewaktu tidur, dan hal ini telah disepakati oleh para ulama. Batal juga wudhu karena tidur yang tidak tertutup tempat keluar angin, tetapi tidur yang tertutup pintu keluar anginnya, seperti orang tidur dengan duduk yang tetap tidaklah batal wudhunya. Adapun yang tidur dengan duduk yang tetap keadaan badanya tidak membatalkan wudhu, karena tiada timbul sangakaan bahwa ada keluar sesuatu dari padanya. Sabda Rasulullah SAW :

••••



Artinya : “Kedua mata itu tali yang mengikat pntu dubur maka apabila kedua mata itu tidur, terbukalah ikatan pintu itu, maka barang siapa yang tidur, hendaklah ia berwudhu”.

(Al-Khalidi, 1996 : 92)

c. Bersetubuh kulit laki-laki dengan kulit perempuan. Baik yang menyentuh maupun yang disentuh, dengan syarat keadaan keduanya sudah sampai umur (dewasa), dan antara keduanya bukan muhrim, baik muhrim turunan, pertalian persusuan, ataupun perkawinan. Firman Allah SWT :



Artinya : “...atau telah menyentuh perempuan ...”

(Depag RI, 1983 : 125).

d. Menyentuh kemaluan tanpa ada batas. (Sabiq, 1983 : 46). Berdasarkan hadist Basrah binti Bhafwan ra :

•

Artinya : “Bahwa nabi Saw bersabda : Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka janganlah ia shalat sampai ia berwudhu lebih dahulu”.

(Sukandi, 1995 : 33).

Yang dimaksud menyentuh kemaluan (farji) baik kemaluannya sendri maupun orang lain, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang tua, dubur maupun qubul, semua itu dinyatakan dapat membatalkan wudhu.

Yang dimaksud tapak tangan atau jari, termasuk juga tapak jari yaitu sekalian yang bertemu apabila dihadapkannya keduanya, maka itulah yang disebut tapak tangan maka tidak batal jika seseorang menyentuh kemaluan dengan kulit belakang jarinya. (Al-Husainy, t.t,:67)

BAB IV

TATA CARA BERWUDHU' MENURUT MAZHAB EMPAT

A. Persepsi Empat Mazhab Tentang Tata Cara Berwudhu'

Berbicara mengenai tata cara berwudhu' cukup jelas apa yang telah digambarkan dalam surat Al-Maidah ayat 6, di mana keempat anggota badan yang harus dibasuh ataupun disapu, lebih dikenal dengan istilah "fardu atau nzkun wudhu"'.

Adapun persepsi Imam mazhab tentang tata cara berwudhu' berbeda-beda, dikarenakan di antara mereka ada yang mei:ambahkan beberapa hal sebagai sunat wudhu' bahkan ada yang menambah rukun wudhu' selain dari yang disebutkan dalam Al-Qur'an.

1. Imam Hanafi

Hanafiyah tidak menambahkan fardu atau rukun wudhu' kecuali yang sudah tereantum di dalam Al-Qur'an. Fardu atau rukun wudhu menurut Hanafiyah adalah membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai pergelangan tangan, membasuh kedua kaki dan menyapu seperempat kepala (AI-jaziri, 1999 :56-58). Berikut tata cara berwudhu' menurut mazhab hanafi:

a) Membaca tasmiyah setiap hendak berwudhu' sehingga bila lupa pada permulaannya, kemudian ingat setelah membasuh anggota wudhu' yang lainnya maka hendaklah dilakukan ketika ia ingat agar supaya wudhu' tersebut tidak kosong dari bacaan tasmiyah.

tidak wajib dengan telapak tangan, dan disyaratkan bila menyapu dengan telapak tangan paling kurang dengan tiga jarinya.(Mansyur, 1995 :152).

g) Mengusap kedua telinga, caranya hendaknya mengusap bagian dalam kedua telinga dan bagian belakangnya. Bagian luar telinga diusap dengan menggunakan bagian dalam jari jempol, dan bagian dalam telinga diusap dengan menggunakan kedua jari telunjuk.(A1 jaziri, 1994: 140).

h) Membasuh dua kaki hingga dua mata kaki, kedua mata kaki adalah dua tulang yang tampak terlihat dibagian bawah betis, di atas telapak kaki. (Al-jaziri, 1994:117).

Berikut beberapa sunat wudhu' menunat hanafiyah selain yang telah disebutkan di atas, di antaranya adalah (Al-jaziri, 1999 :67-70) :

a) Mengulangi membasuh sebanyak tiga kali, membasuh pertama adalah wajib, dan kedua serta ketiganya adalah sunnat.

b) Niat, yang dilakukan saat membasuh muka.

c) Menertibkan rukun wudhu' sesuai yang tereantum dalam Al-qur'an.

d) Segera, yaitu air wudhu itu tidak sampai kering dari anggota wudhu' sebelum membasuh anggota selanjutnya.

e) Bersiwak (menggosok gigi). (Al jaziri, 1994 : 139-142).

2. Imam Maliki

Di dalam mazhab Maliki fardu wudhu' selain yang tereanium dalam A1-Qur'an, mereka menam bahkan tiga hal lagi yaitu niat, muwalat dan tadlik lisan.(Al jaziri, 1999:58-61). Berikut tata cara berwudhu' menurut mazhab Maliki

m. Tadlik (menggosok), maksudnya ialah melewatkan tangan di atas anggota wudhu' seperti menyiram rambut dan jari jemari kedua tangan. Jadi tidak cukup hanya dengan melewatkan air wudhu saja, (Mansyur, 1995 : 155) .

Adapun sunat-sunat wudhu' selain yang tersebut dalam tata cara wudhu diatas antara lain :

a) Berurutan, yaitu mendahulukan wajah atas kedua tangan, kedua tangan atas kepala dan kepala atas kedua kaki.

b) Mengulang tiqa kali.

c) Bersiwak sebelum berkumur.

d) Menyegerakan dalam membasuh. (A1 Jaziri, 1994 : 143).

3. Imam Syafi’i

Di dalam mazhab Safi'iyah, rukun wudhu' selain dari yang dijelaskan dalam AI-Qur'an juga menambahkan dua rukun lagi, yaitu, mat dan tertib (A1-Jaziri. 1994 : 61-62). Berikut tata cara berwudhu' menurut mazhab ini:

a. Isti'adzah, yaitu mengucapkan 

b. Niat, dilakukan sejak permulaan bagian dari bagian wudhu'. (Mansyur, 1995 : 155).

c. Membasuh kedua tangan sampai dipergelangan. (dilakukan bersamaan dengan mat sunat wudhu' dan Basmalah)

d. Berkumur, yaitu memasukkan air kedalam mulut, dalam hal ini tidak disyaratkan menggerak-gerakkan dan tidak pula membuangnya dari mulut akan tetapi cukup dengan memasukkan air kedalam mulutnya, akan tetapi

e. Menurutkan antara anggota wudhu’ yang empat (tertib) sel Bagaimana di dalam A1 Qur'an. (Al Jaziri. 1994 : 127).

Selain sunat wudhu’ dalam tatacara berwudhu’ yang dikemukakan di atas, Safiyah masih memiliki beberapa sunat di dalam berwudhu’ diantaranya yaitu:

1. Menghadap kiblat bila memungkinkan

2. Membaca Do’a disetiap gerakan wudhu’

3. Memulai dari yang depan

4. Menggosok-gosok anggota wudhu’

5. Mendahulukan yang kanan dari yang kiri

6. Mentiga kalikan dalam membasuh (juga bacaannya)

7. Menyela-nyela jemari tangan dan kaki

8. Bersiwak (gosok gigi) sebelum berkumur

9. Menyela-nyela jenggot (Al Jaziri. 1994:147-155)

4. Imam Hambali

Hanabilah menambahkan selain dari yanng dijelaskan dalam Al-Qur’an ada tiga fardhu wudhu’ lagi yaitu niat, tertib muwalat (Al Jaziri, 1999: 62-63).

a. Menghadap kiblat

b. Niat

c. Membasuh kedua telapak tangan

d. Berkumur

e. Menghirup air kedalam hidung (Al Jaziri. 1994:152)

B. Sebab Perbedaan Pandangan Mazhab Empat

Menurut Hanafiyah, tidak ada fardu wudhu' selain dari empat perkara yang telah disebutkan Al Qur'an, sedangkan Syafi'iyah, menambah dua fardu lagi yaitu niat dan tertib. Malikiyah menambah niat, muwalat dan tadlik (menggosok) dan Hanabilah menambahkan niat, tertib dan muwalat.

1. Niat.

Tiga imam mazhab sepakat tentang penambahan niat sebagai fardu wudhu', sebagaimana juga disepakati oleh jumhur ulama. Mereka mengambil dalil wajib niat pada wudhu' sebagai berikut:

a. Firman Allah BWT. :

•

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh keeuali supaya menyembah Allah dengan rnemurnikan ketaatan kepada-Nya dulam (menjalankan) agama dengan lurus... "

(Depag RI, 1983 : 1084).

Allah SWT telah menafihkan sesuatu perintah keeuali dengan beribadah kepadanya dengm ikhlas, wudhu' daperintahkan, maka lazimlah ikhlas niat kepada Allah,

b. Sabda Nabi SAW:





dihilangkan, sedangkan pada kulit orang berhadats tidak ada benda yang wajib dihilangkan. Oleh karena itu tidaklah sah qias tersebut. (Syaltout,1996:30).

3. Tertib.

Syafi'iyah dan Hanabilah menambah tertib sebagai salah satu rukun wudhu' dengan mengambil dalil :

a. Firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 6 tersebut menyebutkan menurut. urutan-urutan kenyataan, yang berlawanan dengan urutan letaknya danpengelompokannya. Datangnya ayat dengan cara khusus ini tentu mempunyai maksud, jelaslah bahwa ayat ini menunjukkan tertib.(Syaltout,1996:41)

b. Bahwa wauw mengandung pengertian tertib atau urutan. Ditambah lagi sabda Rasulullah SAW. :



Artinya : "Mulailah dengan apa yang telah dimulai Allah". (Sukandy, 1995 024).

c. Mereka mengatakan bahwa wudhu' itu adalah ibadah yang terdiri dari beberapa perbuatan yang berbeda-beda, yang satu terikat dengan yang lain tentang terwujudnya tujuan yang dimaksudkan. Oleh karena itu wajiblah tertib seperti shalat dan haji. (Mansyur, 1995:160).

Hanafiyah dan Syafi' iyah sepakat bahwa muwalah adalah sunat wudhu' bukanlah rukun wudhu' sebagaimana yang diyakini. Malikiyah dan Hanabilah.

Dengan mengambil dalil hadits yanq diriwayatkan oleh Jarir Ibnu Hazim dari Qatadah dari Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada nabi SAW sedang orang itu sudah berwudhu' dan ketinggalan di atas belakang kakinya sebesar kuku, maka bersabdalah nabi SAW kepadanya :



Artinya : "Kembalilah dan perbaikilah wudhu ' mu"

(Al-Khalidi 1995 :84)

Tegasnya sebab terjadinya perbedaan di kalangan mazhab empat tersebut adalah dikarenakan pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami ayat wudhu tersebut, juga hadits yang dipakai oleh masing-masing mazhab.

C. Pendapat Yang Rajih

Setelah diperhatikan dan dipahami dalil masing-masing mazhab tentang penambahan fardhu wudhu' selain yang tereantum dalarn AI-qur'an, maka penulis akan menganalisis alasan masing-masing mazhab satu persatu.

1. Niat.

Tiga mazhab sepakat tentang penambahan niat sebagai fardu wudhu' dan satu mazhab ( Manaf iyah ) menolak dengan dalil sebagaimana diatas. sedang yang disentuh tidak wajib. Pada saat tertentu pula, ia berpendapat bahwa yang menyentuh atau yang disentuh diperlakukan sama, yakni harus wudhu'.

Sebagian ulama lainnya berpendapat harus wudhu' lantaran bersentuhan dengan wanita jika di waktu menyentuh itu ada rasa nikmat, hal itu baik dilakukan dengan pelapis atau tidak, dengan menggunakan anggota tubuh manapun. Terkeeuali bereiuman, mereka tidak mengemukakan syarat kelezatan. Itulah pendapat Imam Malik dan sebagian besar dari pengikutnya. Sebagian ulama lagi berpendapat tidak wajib wudhu' bagi siapa saja yang menyentuh wanita. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Ibnu Rusyd, 1990:h 70)

Yang menjadi sebab perbedaan pendapat di antara ulama itu adalah adanya isytirak pada istilah menyentuh (al-lams). Di dalam bahasa Arab, lafaz tersebut terkadang berarti menyentuh dengan tangan dan terkadang diartikan sebagai jima' (setubuh). Misalnya saja firman Allah SWT:



Artinya: ... atau menyentuh (menurut mufassir berarti bersetubuh perempuan ... (al-Maidah, 5:6) (Depag RI, 2000:144)

Namun, terdapat ulama yang mengemukakan pendapat bahwa maksud kata al-lams (pada lamastumunnisa') diartikan sebagai menyentuh (wanita) dengan tangan. Ada ulama pula yang berpendapat

bahwa kata itu dikategorikan sebagai lafzun `am urida bihi `I'lam. Karenya, pendapat ini tidak mengemukakan syarat kelezatan (dalam menyentuh).

Ulama yang berpendapat dengan mensyaratkan kelezatan, alasannya adalah adanya riwayat yang berlawanan dengan pengertian ayat di atas secara umum:

•



Artinya: Bahwa Nabi saw pernah menyentuh `Aisyah ketika beliau sujud dengan tangannya, dan kenungkinart, `Aisyah juga menyentuh beliau.

Abu umar memberitahukan bahwa hadits di atas, dikatakan oleh Ulama Hijaz sebagai dhaif, tetapi dinilai shahih oleh ulama Kufah. Ibnu Abdi Barr (Abu Umar) dalam menilai hadits di atas lebih cendrung menilai shahih. Bahkan ia mengatakan bahwa hadits tersebut juga diriwayatkan melalui jalan Ma'bad bin Nabatah.

Imam Syafii dalam masalah ini mengatakan, jika hadits Ma'bad bin Nabatah mengenai meneium itu adalah shahih, maka ia berpendapat tidak ada wudhu' karen meneium (wanita) atau menyentuh.

Orang yang menyatakan wajibnya wudhu' lantaran menyentuh memakai tangan, mengajukan alasan bahwa lafazh menyentuh, secara hakiki berarti menyentuh memakai tangan. Sedang secara majazi, biasa

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. (1933). Al-qur'an Dan Ter jemahnya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suei al-Qur'an Departemen Agama RI.

Anonim. (1994 ). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Al-Bukhari. Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. (1992), Shahih Bukhari. Semarang, Asy-syifa'.

AI-husainy, Taqiyuddin Abu Bakar Muhammad, (t.t.), Kifayat Al-akhyar, Semarang, Toha Putra.

Al-khalidi, M, Abdul Azizah, ( 1995), Sunan Abu Daud, Beirut, Dar Al-kutub.

Al jaziri, Abdurahman., (1994), Al-fiqh 'Ala AI-mazhahib AI-arba'ah, Darul Ulum Press.

Al-zuhaily, Wahbat, (.1989), Al-fiqh Al-islami Wa' adil latuh, Beirut, Dar Al-fikir

Asy-syurbasy, Ahmad, (1993), Sejarah Dan Biografi Empat Mazhab, Jakarta, Bumi Aksara,

Baihaqi Ak Prof. Dr. H, (1996), Fiqh Ibadah, Bandung, Penerbit M2S Bandung.

Hadi, Sutrisno, (1994), Metode Research, Yogyakarta, Fakultas Psikologi U.G.M

Ibrahim, Dr.H. Muslim MA, (1990), Pengantar Fiqh Muqaran, Jakarta, Erlangga. Idris, Drs.H. Abdul Fatah dan Drs. H. Abu Ahenadi, (1994), Fiqh Islam Lengkap, Jakarta, Rineka Eipta.

Khallaf, Abdul Al-Wahab, (1974), Khulashah Tarikh Al-tasyri' Al-islami, Semarang, Ramadhani.

Mansyhur, Drs.H. Kahar, (1995), Shalat Wajib Menurut Mazhab Yang Empat, Jakarta, Rineka Cipta.

Mughniyah, Muhammad Jawad., (1996) , AI-fiqh 'Ala Mazhahib Al-khamzah, Jakarta, Lentera.

Munir, Drs.A. dan Drs. Sudarsono SH., (1992), Dasar-dasar Agama Islam, Jakarta, Rinneka Eipta.

Razak, Nazaruddin, (1989). Dien Al-Islam, Bandung, Al-maarif.

Rifai, Drs.H. Moh.,(1978), Ilmu Fiqh Islam Lengkap, Semarang, Toha Putra.

Rusyd, Ibnu, (1990), Bidayatul Mujtahiri, Jakarta, Bulan Bintang. Sabiq, Sayyid, (1983), Fiqh Al-sunnah, Beirut, Dar Al-fikr.

Sirry, A. Mun'im, (1995), Sejarah Fiqh Islam Sebuah Pengantar, Surabaya, Risalah Gusti.

Sukandy, M. Syarif, (1995), Bulughul Maram, Bandung, Al-maarif.

Syaltout, Prof. Dr. Syaikh Mahmuud dan Prof, Syaikh M. All Asy-sayis (1996), Muqaranatul Madzahib Fiqh, Jakarta, Bulan Bintang
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929