loading...

Makalah Ushul Fiqh | Urf

January 15, 2013
loading...
PENDAHULUAN

Kata ushul fiqih tersusun dari dua kata yaitu ushul dan fiqih. Ushul adalah kata jama’ dari ashal ( ). Ashal (asal) menurut bahasa artinya tempat terdirinya sesuatu. Jadi asal itu sama dengan pangkal, pokok, dasae. Misalnya pondamen adalah tempat tegaknya rumah; akar adalah tempat tegaknya pohon dan sebagainya. Yang duduk di atas asal disebut cabang ( ) jadi jika dipakai seperti tersebut diatas, maka rumah adalah cabang ( ) sedang pondamen adalah asal ( ).

Kata yang kedua, yaitu fiqih menurut bahasa artinya faham sedang menurut istilah syara’ artinya: “mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan orang mukallaf, baik amal perbuatan anggota maupun batin, seperti hukum: wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan itu”.

Maka jika disimpulkan, ta’rif ushul fiqih ialah qaidah-qaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dan dalil-dalil hukum (yakni qaidah-qaidah yang menetapkan dalil-dalil hukum). Hukum-hukum tersebut ada sumbernya (dalilnya) yaitu Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Maka yang dimaksud ushul fiqih adalah sumber-sumber (dalil-dalil) tersebut dan bagaimana cara menunjukkan kepada hukum dengan secara ijmal.

Dalil ijmal ialah dalil yang belim dibahas secara terperinci untuk sesuatu maksud hukum tertentu. Jadi hanya merupakan dalil semata-mata yang masih memerlukan katerangan.

‘URF

1. Pengertian ‘Urf

Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuata atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat ‘urf ini sering disebut sebagai adat.

Pengertian diatas juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara’. Diantara contoh ‘urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian diantara manusia tentang jual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal walad atas anak laki-laki bukan perempuan dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.

Dengan demikian, ‘urf itu mencakup sikap saling pengertia diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka, baik keumumannya ataupun kekhususannya. Maka ‘urf berbeda dengan ijma’ karena ijma’ merupakan tradisi dari kesepakatan para mujtahidin secara khusus.

‘Urf ialah apa-apa yang telah dibiasakan oleh masyarakat dan dijalankan terus menerus baik berupa perkataan maupun perbuatan. ‘Urf disebut juga adat kebiasaan. (Abdul Wahab Khallaf, 1972:89)

2. Macam-Macam ‘Urf

‘Urf terdiri dari dua macam, yaitu ‘urf shahih dan ‘urf fasid. ‘Urf shahih adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusiadan tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak menghaalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.

Adapun ‘urf fasid yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang wajib.

3. Kedudukan ‘Urf

‘Urf (adat kebiasaan) yang benar, yaitu yang tidak menyalahi syara’ hendaknya menjadi bahan pertimbangan seseorang ahli ijtihad dalam melakukan ijtihadnya dan bagi seseorang hakim dalam mengeluarkan keputusannya.

Alasan pengambilan ‘urf tersebut ialah:

a. Syariat Islam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (‘urf) yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat “seimbang” (kafa’ah) dalam perkawinan dan urut-urutan perwalian dalam nikah dan pewarisan harta pusakan atas dasar asabah (pertalian dan susunan keluarga).

b. Apa yang dibiasakan orang, baik kata-kata maupnun perbuatan menjadi pedoman hidup mereka yang dibutuhkan.

‘Urf yang salah yaitu yang berlawanan dengan syara’ atau berlawanan dengan hukum yang sudah jelas karena ada nasnya, maka tidak menjadi bahan pertimbangan seseorang mujtahid atau seseorang hakim. Syari’at Islam tidak memperhatikan kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab yang salah seperti perkawinan “maqf” (yaitu perkawinan seseorang lelaki dengan seorang perempuan bekas istri ayahnya yang meninggal), tawaf sekitar tanpa berpakaian.

4. Hukum ‘Urf

a. ‘Urf shahih dan pandangan para ulama

Telah disepakati bahwa ‘urf shahih itu harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qodhi (hakim) harus memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu yang telah saling kenal manusia meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan dengan syara’ harus dipelihara.

Dan syari’ pun telah memeliharan ‘urf bangsa Arab yang shahih dalam membentuk hukum, maka difardhukanlah diat (denda) atas perempuan yang berakal, disyaratkan kafa’ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan dan diperhitungkan pula adanya ‘ashabah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal kematian dan pembagian harta pusaka).

Diantara para ulama ada yang berkata, “adat adalah syariat yang dikukuhkan sebagai hukum” begitu juga ‘urf menurut syara’ mendapat pengakuan hukum. Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah bersama murid-muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbuatan ‘urf mereka. Sedangkan Imam Syafi’i ketika sudah berada di Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya ketika beliau berada di Baghdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf, maka tak heran kalau beliau mempunyai dua mazhab, mazhab qadim (terdahulu/pertama) dan mazhab jadid (baru).

Begitu pula dalam fiqih hanafiayh. Banyak huku-hukum yang berdasarkan atas ‘urf, diantaranya apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan adalah pendapat orang yang disaksikan ‘urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam (terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah ‘urf. Barangsiapa bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia maka ikan tawar, maka tidak berarti bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar ‘urf.

Pendapat yang dinukir itu adalah sah apabila telah menjadi ‘urf. Jadi, syarat sah akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’ atau apabila di tuntut oleh akad atau apabila berjalan padanya ‘urf. Al-Marhum ibnu Abidin telah menyusun risalah yang ia namakan “menyebarkan ‘urf diantara hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan ‘urf”. Diantara ungkapannya yang terkenal, “apa-apa yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti yang diisyaratkan menurut syara’ dan apa-apa yang telah tetap menurut ‘urf adalah seperti yang telah ditetapkan menurut nash.

b. Hukum ‘urf fasid

Adapun ‘urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.

Dalam Undang-Undang positif manusia, ‘urf yang bertentangan dengan Undang-Undang umum tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau dari segi lain yaitu apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia? Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan mereka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadan darurat dibolehkan melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa menduduki tempat kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka dihukumi dengan batalnya akda tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf tidak diakui.

Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, fuqaha berkata, “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.

5. Kehujjahan ‘Urf

‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, ‘urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang umum dan dibatasi yang mutlak.

Karena ‘urf pula terkadang qiyas itu ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini sekalipun tidak sah menurut qiyas karena kontrak tersebut adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).

6. Kesimpulan

‘Urf adalah ketentuan yang telah dikenal menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya dan ‘urf terkadang bisa disebut adat.

Macam ‘urf ada 2 macam yang pertama yaitu ‘urf shahi, yang kedua ‘urf fasid (rusak). ‘Urf shahih yaitu bertentangan dengan dalil syara’ tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib. Adapun ‘urf fasid yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia tetapi bertentangan denan syara’ atau menghalalkan yang haram membatalkan yang wajib.

Kedudukan ‘urf shahih harus dipelihara oleh seorang mujtahiddin didalam menciptakan hukum-hukum dan oleh seorang hakim dalam memutuskan perkara, selama tidak berlawanan dengan syara’ (‘urf fasid).

‘Urf bukan merupakan dalil syara’ tersendiri pada umumnya ‘urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Setiap muslim dituntut untuk bertanya kepada ulama tentang syariat Islam tentang kewajibannya dan apa yang dihalalkan dan diharamkan baginya dan Allah yang menentukan halal haramnya sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Miftahul Arifin. Ushul Fiqih. Surabaya: CV. Citra Media. 1997

Drs. H.A Faishal Haq. Ushul Fiqih. Surabaya: CV. Citra Media. 1997

Prof. Dr. Rachmad Syafe’i, M.A. Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia. 2007

A.Hanafie, M.A. Ushul Fiqih. Jakarta: Wijaya. 1957

Pelajaran Dari Hadist Arbain. Hadist ke 22
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929