loading...

Makalah Ushul Fiqih

January 14, 2013
loading...
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis telah selesai menyusun makalah ini.

Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikut beliau yang setia.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ushul fiqih ibu Nur Qomariyah, S.Pd.I yang telah memberikan tugas berupa makalah ini. Mudah-mudahan dengan adanya tugas ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis. Daripada itu, penulis juga mengharapkan agar para pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.

Sekiranya dalam penyusunan makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan, penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah yang berikutnya.

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

‘Illat merupakan rukun yang keempat dari qiyas yaitu:

1. Al-Ashl

2. Al-Far’u

3. Al-Hukm

4. Al-‘Illat

‘Illat merupakan rukun yang terpenting, karena ‘Illat qiyas itu merupakan asas. Dan pembahasannya adalah pembahasan yang terpenting dalam hal qiyas. Selanjutnya Imam Bazdawi berkata ‘Illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas.

B. Pokok Permasalahan

1. Apa pengertian

2. Apa macam-macam ‘Illat

C. Tujuan Penulisan

Dalam menyusun makalah ini bertujuan disamping untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen pengampu, juga untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis. Dengan ini dapat mengetahui letak kemampuan manfaat pada makalah ini, dengan mendapatkan pengetahuan yang lebih mendalam.

D. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini ialah mengambil dan menyalin dari buku referensi menurut silabus mata kuliah ushul fiqih. Selanjutnya disusun secraa runtun sehingga tersusunlah makalah ini.

BAB II

PEMBAHASAN

‘ILLAT

A. Pengertian ‘Illat

‘Illat yaitu menyifatkan sesuatu kepada dasar dan diatasnya dibina hukumnya dan dengannya itu diketahui adanya hukum itu pada furu. Memabukkan itu disifatkan kepada khamar. Dibina atasnya haram. Dengan inilah diketahui adanya haram itu pada setiap air buah yang memabukkan (Abdul Wahab Khallaf: 1995:73).

Defenisi lain dikemukakan oleh sebagian ulama ushul: ‘Illat ialah suatu sifat khas yang dipandang sebagai dasar dalam penetapan hukum. Kandungan (Abu Zuhrah: 1994:364).

Imam Bazdawi menegaskan bahwa ‘illat merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas. Asas qiyas adalah mencari ‘illat yang terkandung dalam nash. Orang yang mengakui adanya ‘illat dalam nash, berarti ia mengakui adanya qiyas.

Wahbah Al-Zuhaili mengatakan bahwa ‘illat harus bersifat konkret dan dapat diketahui secara pasti keberadaannya pada setiap pelakunya dan sifatnya sesuai dengan tujuan pembentukan hukum, yaitu mewujudkan kemaslahatan dengan mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.

Sehubungan dengan itu, ada istilah lain yang hampir sama dengan ‘illat yaitu hikmah. Secara teoritis antara ‘illat dan hikmah terdapat perbedaan, tetapi satu sama lain mempunyai hikmah terhadap suatu hukum. ‘Illat hukum ialah suatu sifat yang jelas lagi pasti yang dijhadikan sebagai dasar bagi pembinaan hukum. Sedangkan hikmah hukum adalah dorongan atau tujuan yang dimaksud Allah untuk mencari kemanfaatan yang harus diambil kemudaratannya yang harus dihindari atau dikurangi. Misalnya mengqashar shalat bagi orang yang melakukan perjalanan. ‘Illat adalah safar atau mengadakan perjalanan, sementara hikmahnya memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan disebabkan hikmah bersifat relatif dan masih diragukan, ia tidak dapat dijadikan sebagai landasan penetapan hukum Allah menjadikan bepergian atau safar sebagai ‘illat hukum, karena ia sudah pasti dan jelas. (Firdaus: 2004:64)

B. Macam-Macam ‘Illat (Abdul Wahab Khallaf: 1995:83)

Ulama ahli ushul membagi ‘illat empat macam, yaitu:

1. Al-Manasib Al-Muatsir (korelasi yang bersifat mengikat)

Yaitu menyifatkan sesuatu yang sesuai, disusun oleh syar’i hukum atas kesepakatan dan ditetapkan dengan nash atau ijmak, i’tibar dan ‘ain illat bagi hukum.

Misalnya firman Tuhan yang berbunyi:

Artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkah diri dari perempuan di waktu haid”. (Q.S 2:222)

Dengan nash ini hukum ditetapkan yaitu wajib menjauhkan diri dari perempuan di waktu dia sedang haid. Karena haid itu adalah penyakit. Disini nash terang-terangan mengatakan bahwa yang menyebabkan dalam masalah ini ialah karena penyakit. Penyakit inilah yang mewajibkan orang mengasingkan diri dari perempuan yang sedang haid. Menyifatkan ini namanya manasib muatsir.

Adapula firman Allah yang berbunyi “tidak ada warisan orang yang membunuh”. Nash ini menetapkan hukum yaitu dilarang orang yang membunuh itu mendapatkan warisan dari orang yang mewariskan itu. Pembunuhan itulah yang melarang mendapatkan warisan. Tindakan ini namanya manasib muatsir.

2. Al-Munasib Al Mala-Im (korelasi yang sesuai)

Yaitu suatu hubungan hukum ‘illat yang tidak mendapatkan pengukuhan langsung dari Allah sebagai ‘illat hukum, tetapi ada petunjuk dari nash atau ijma’ yang menganggap ‘illat hukum itu sebagai penentu dari hukum sejenis atau menganggap kesamaan jenis sifat sebagai ‘illat suatu ketetapan hukum yang sama, atau menganggap kesamaan jenis sifat sebagai ‘illat bagi hukum sejenis.

Sucinya air liur kucing, ketetapan hukum macam ini berdasarkan ketetapan nash Rasulullah memberikan alasan bagi sucinya air liur kucing. “Sesungguhnya kucing itu tergolong binatang yang selalu bergaul dengan kamu”.

Hal ini menunjukkan bahwa ‘illat bagi sucinya air liur kucing ialah untuk menghilangkan kerepotan. Dengan demikian, maka segala sesuatu yang mendatangkan kerepotan (untuk menghindarinya dibutuhkan keringanan untuk mempermudah melakukannya).

Oleh karena itu apabila dilarangany seorang dokter melihat aurta pasien wanita mendatangkan kerepotan, makaia diperbolehkan melihatnya berdasarkan qiyas sucinya air liur kucing sebab kadar repotnya menghindari melihat aurat wanita bagi seorang dokter itu setingkat sulitnya menghindari air liur kucing. Maka hukum melihat aurat itu sejenis dengan hukum menyentuh air liur kucing (Abu Zuhrah: 1994:371).

3. Manasib mursil (korelasi yang lepas)

Yaitu berhubungan antara hukum ‘illat yang tidak mendapatkan pengukuhan dari Allah atau Rasulnya, baik pengukuhan langusng maupun tidak langsung. Dalam hal ini, para ahli hukum Islam berselisih pendapat. Mazhab Maliki dan Hambali mengambil munasabah bentuk ketiga ini sebagai hujjah hukum yang selanjutnya dikenal maslahah. Sementara mazhab Syafi;i dan Hanafi tidak mempergunakan munasabah bentuk ketiga sebagai hujjah hukum.

Bisa juga munasabah ini suatu hubungan antara hukum dengan ‘illat yang mendapat pengukuhan dari nash, akan tetapi tidak tepat. Jadi kesimpulannya bahwa sifat yang patut menjadi ‘illat itu harus ada pengukuhan dalil nash dari Allah atau Rasulnya. Karena sifat-sifat yang dianggap sebagai ‘illat harus ada dalil syar’i yang mengukuhkannya.

4. Munasib malgha

Yang washaf yang menjelaskan bahwa dalam membina hukum, perlu dimantapkan kemaslahatan. Syar’i tidak menyusun hukum atas dasar mukallaf. Syar’i menunjukkan dalil apa saja untuk membatalkan ‘itibarnya. Misalnya, terpaksa membatalkan puasanya dengan sengaja pada bulan ramadahan karena dia merasa tersiksa menahannya.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan

1. ‘Illat menurut bahasa ialah sesuatu yang bisa merubah keadaan, sedangkan menurut istilah ‘illat ialah suatu sifat pada ashl yang menjadi landasan adanya hukum.

2. ‘Illat ialah pokok yang menjadi landasan qiyas dan merupakan rukun qiyas dan landasan dari bangunan qiyas sebagai contoh: “Memabukkan sebagai ‘illat meminum khamar”.

3. Macam-mcam qiyas dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Al-Manasib al-Muatsir

2. Al-Manasib al-Malaim

3. Al-Manasib Mursil

4. Al-Manasib Malgha

3.2. Saran

Demikianlah penulis menyusun makalah ini sedemikian singkat. Mudah-mudahan dalam makalah ini bermanfaat bagi pembaca dengan ditambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

Penulis sangat menyadari akan segala kekurangan yang terdapat dalam karya tulis ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang bersifat membangun guna penyempurnaan makalah yang berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khallaf. 1995. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Rineka Cipta

M. Abu Zuhrah. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus

Firdaus. 2004. Ushul Fiqih. Jakarta Timur: Zikrul Hakim
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929