loading...

Paradigma Pemahaman Gharib Al-Hadits

April 21, 2013
loading...
Paradigma Pemahaman Gharib Al-Hadits


A. PENDAHULAN
Gharib al-Hadits, merupakan sebuah kata yang terdapat dalam matan hadits yang memiliki ketidak jelasan arti. Ketidak jelasan arti ini, dipengarahui oleh beberapa faktor, seperti beragamya sttktt bangsa dan qabilah arab yang mempunyai khazanah bahasa yang berbeda tempat Nabi menyampaikan hadits atau adanya periwayatan hadits Nabi yang disatnpaikan tnelalui makna dan lain sebagainya. Secara teoritis, pada dasarnya, kajian terhadap teks gharib al-Hadits ini telah dipelajari dan disusun oleh para ulama hadits, hanya saja kajian yang telah mereka kembangkan, hanya menjelaskan cara-cara memahami saja dan tidak menyusun langkah-langkah sistematis. Untuk itu, dalam sebuah tulisan sederhana ini, dicoba untttk membuat langkah-langkah sistematis sekaligus mencoba untuk menyusun sebuah paradipna dalam memahami teks gharib hadits. Namun agaknya, kajian inipun perlu pembatasan, mengingat jika berbicara tentang gharib, maka hal itu tidak terlepas dari dua hal, yakni gharib pada sanad dan gharib pada matan. Kajian ini, hanya difokuskan dengm gharib pada matan.

B. PENGERTIAN GHARIB AL-HADIS
Secara literal lafazh gharib berarti (yang artinya samar, tidak jelas, tersembunyi dalam pembicaraan atau jauh dari tanah airnya) . Secara Istilahi, al-Syahrazwary mendefenisikan:

Gharib hadits adalah hadits yang terdapat pada matannya lafazh-lafazh yang asing, samar, tidak jelas yang jauh dari pemahaman karena sedikit penggunaannya.

Adapun Muhammad Thahir al-Jawwabi4 merumuskan:


Gharib dari kalimat adalah samar (tidak jelas) yang jauh dari pemahaman seperti asingnya manusia yang jauh dari tanah air, yang terpisah dengan penduduk.

Dengan demikian gharib al-Hadits adalah lafazh matan hadits yang sulit dipahami karena mempunyai ketidak jelasan atau kesamaran makna.

C. HISTORISITAS LAHIRNYA GHARIB AL-HADITS
Rasulullah merupakan pemilik otoritas tertinggi hadits, sebab karena beliaulah hadits itu ada. Beliau dalam menyampaikan hadits-hadits mempunyai banyak majlis. Suatu ketika beliau menyampaikan dalam sebuah rnasjid, suatu ketika beliau menyampaikarunya ditempat-tempat umuun seperti di pasar dan SUM ketika lagi beliau menyampaikannya dalam sebuah peperangan serta banyak lagi majlis lainnya. Di samping itu, peran beliau juga berbeda-beda dalam menyampaikannya. 1'erkadang ia berperan sebagai seorang qadhi, sebagai seorang kepala negara, sebagai sPorang kepala rumah tangga dan lain sebagainya. Apa yang disampaikan Rasul tersebut, dihadiri dan didengar oleh banyak sahabat dari berbagai qabilah yang memiliki khazanah bahasa yang beragam. Karena hal-hal demikian Rasul sering mengucapkan lafazh-lafazh yang berbeda dan sering pula mengulang-ulanganya. Konsekuensinya, sahabat-sahabat yang mendengar hadis dari beliau mempunyai pengaruh lafazh yang berbeda¬beda. Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa pada masa sahabat ini, lafazh-lafazh yang berbeda ini tidak menyulitkan pemahaman. mereka tidak pemah merasa hadits-hadits dari Nabi tersebut sukar untuk difahami. Tegasnya, pada masa ini tenna gharib ittr sendiri belum dikenal bahkan dianggap tidak ada sama sekali. Dalam konteks ini, pernyataan Ibnu Atsir dalam al-Nihayat fi Gharib al-Hadits dapat dijadikan sebuah ilustrasi bagaimana Rasul memberikan penjelasan kepada para sahabat, la menegaskan : Bahwa Rasul SAW adalah orang Arab yang terfasih bahasanya, ia menjelaskan sejelas mungkin, menyenangkan tutur katanya, mendorong ucapannya., menjelaskan lahjah-lahjah, menegakkan hujjah, memahamkan apa yang dibicarakan serta menunjukkan jalan yang benar bagi para sahabat ..., sehingga Ali bin Abi Thalib berkata - ketika Ali mendengar Rasul berbicara kepada suku bani Nahd -- : Ya Rasulullah, kami adalah keturunan dari bapak yang smaa, dan kami melihat engkau berbicara kepada suku Arab dengan apa yang tidak kami pahami. berkata Rasul •Rasul berbicara kepada bangsa Arab berdasarkan perbedaan bangsa dan qabilah tnereka., Rasul tnenjelaskan kebutuhan mereka serta memilah-milah dan memerincikan tiap-tiap yang tidak mereka pahami, dan menyampaikan hadits yang tidak mereka ketahui”
Pada masa sahabat ini, sebagai yang disebut Abu Zahwu lisan Arab terlindung dari cela dan tidak bercampur dengan lisan `ajamya hingga sampai masa penaklukan. Yakni dengan banyaknya masuk orang-orang `ajam, mereka membaur bersama orang-orang Arab hingga saling menikahi, maka tumbuhlah suku bangsa yang bant dan bercampurlah lisan ajamnya, mereka mengetahui lisan yang tidak semestinya dalam pembicaraan mereka. kemudian datanglah masa tabiin yang menemptth cara mereka, bahkan bahasa kelompokpun seluruhnya sedikit demi sedikit menjadi ajam. setelah masa tabiin, dan seterusnya keadaan lisan arab menjadi ajam, sulitlah bagi manusia memahami sejumlah lafazh-lafazh hadits Nabi .
Berawal dari masa inilah, tnulai titnbul lafazh-lafazh gharib dalam hadis. Di samping itu suatu faktor yang sangat menunjang seputar kemtmculan lafazh-lafazh gharib adalah adanya periwayatan hadits secara makna. Muhammad Thahir al-Jawwabi menyebutkan, bahwa Rasul dalam menyampaikan hadits berhadapan dengan berbagai suku yang memiliki bahasa dan hafalan yang berbeda, mereka ada yang tidak menghafal hadits, tapi menghubungkan tnaknanya dengan kemampuan intelektual yang mereka miliki kemudian mengaitkan bahasanya, maka terhitnpunlah hadits-hadits dalam pengertian yang sama namun dengan lafazh-lafazh yang berbeda.
Menyadari kondisi seperti ini, timbullah inisiatif para ulama membuat suatu panduan untuk menjelaskan kembali berbagai lahjah yang pernah dipergunakan rasul kepada beragatn qabilah dan suku-suku Arab. Sebab kalau tidak demikian, pemahaman terhadap hadits lambat latun akan semakin jauh dari maksud yang dikandung hadits itu sendiri.
Adapun ulama yang pertama menghimpun lafazh-lafazh gharib al-¬hadits dan atsar berdasarkan penuturan Muhammad Abu Zahw, adalah Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Mutsanna al-tamimy (w.210H), kemudian Abu al-Hasan al-Nadhr bin Syumail al-Maziny (w.204H), kemudian Muhammad al-Mustanir (yang lebiih populer dengan Quthrttb) (w.206H), kemudian Abu Ubaid al-Qasim bin Salam (w.226H), Kemudian Abu Abdullah Muhammad bin Muslim bin qutaibah al-Dainawari (w.276H) yang mengarang kitab "Gharih al-Hadits", kemudian lbrahim al-Harby (w.285H), kemudian Abu Sulaiman Hamad al¬-Khattaby (w.278H), kemudian Ahmad bin Muhammad al-Harawy (w.401 H), Kemudian Abu al-qasitn Mahtnud bin Amr al-Zamakhsyari (w.537H) dengan kitabnya "Al-Faiq Gharih al-Hadits", Kemudian Abu Musa Muhammad bin Abi Bakar al-Madiny al-Asfahany (w.581 H), kemudian Abu al-Faraj IN al-Jauzy (w.594H), kemudian Muhammad al-Syaibani yang lebih dikenal dengan Ibn Atsir (w.606H) dengan karya menumentalnya "al-Nihayah Gharib al-Hadits", dan oleh Jalal al-Din al-Syuyuthi (w.91 I H) meringkas kembali kitab al-Nihayah Ibn Atsir yang diberinya nama dengan "al-Dur al-Natsir Talkhish Nihayah Ihn Alsir'' .
D. PARADIGMA PEMAHAMAN GHARIB AL-HADITS
Paradigna pemahaman terhadap teks gharib hadits yang ada sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Ibnu Atsir dalam al-Nihayah Fi Gharib al-Hadits, adalah melalui pendekatan pemahaman kebahasaan. Menummya, suatu hal yang penting dan mesti ditentukan adalah mengetahui lafazh dan mengetahui artinya. Lafazh terba6~ kepada mufrad dan murakkab. Pengetahuan terhadap lafazh yang mufrad lebih diutamakan dari lafazh yang murakkab. Lafazh murfad terba6~ kepada khas dan `am. Seterusnya lafazh tersebut mesti diketahui zat dan sifatnya.
Bertolak dari prinsip-prinsip Ibnu Atsir ini, penulis mencoba untuk mengembangkan lebih lanjut ke dalam sebuah langkah yang sistematis dengan tujuan untuk lebih memudalhkan memahami teks gharib hadits tersebut yang penulis namakan denga.n pendekatan henneneutik. Dalam pada itu, penulis juga mencoba untuk menggunakan pendekatan tematik untuk memahami teks gharib al-hadits.
1. Pendekatan Hermeunetik
Pendekatan hemeneutik maksudnya adalah suatu apaya dalam memahami teks gharib hadits melalui interpretasi dengan menempatkan konsep teks dalam kedudukan sentral. Pendekatan ini dilakukan dengan melalui langkah-langakah sebagai berikut :
a. Telaah hakikat teks
Teks hadits harus diperlakukan sebagai sesuatu yang mandiri, dilepaskan dari pengucapnya, waku penciptaannya dan konteks budaya pengucap maupun kebudayaan yang berkembang dalam niang dan waktu ketika teks itu disampaikan. Oleh karena itu, wujud teks adalah tulisan dan yang ditulis adalah bahasa maka yang menjadi perhatian adalah hakikat bahasa. Sebagaimana diketahui, bahasa merupakan alat komunikasi, alat untuk menyampaikan sesuatu. Konsekuensinya, terdapat hubungan antara "alat penyampai" dan "apa yang disampaikan". Tujuan dari telaahan ini, adalah unnik mengerti tentang "apa yang disampaikan" itu, dengan cara menginterpretasi "alat penyampai" nya, yaitu teks atau bahasa tulis.
Dalam penelaahan teks atau bahasa tulis ini, ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan interpretai yang akurat. Pertama, cakupan makna yang dikandungnya dan kedua, konstnrk bahasanya.
1. Cakupan Makna
Interpretasi terhadap teks gharib, yang harus diperhatikan adalah cakupan makna yang dikandunppya. Suatu teks bisa mencakup makna yang umum dan bisa mencakup makna yang khusus. Identifkasi terhadap makna ini sangat penting sekali nilainya, sebab jika terjadi kesalahan bisa berakibat salah pemahaman dalam melihat hadits secara utuh.
Teks yang `am dalam gharib hadits maksudnya adalah teks yang mempunyai banyak pemahaman di kalangan ahli bahasa Arab yang sering beredar (digunakan) dalam pembicaraan. Contohnya :
.

Adapun teks yang khas, teks yang ada dalam kebahasaan tapi merupakan sebuah kalimat gharib yang tidak diketahui keculi orang yang mengeluarkan perkataan atau hanya digunakan dalam satu qabilah saja. Misalnya :


2. Konstruk Teks
Sebuah teks, pada dasarnya memiliki akar kata dan timbangan kalimat yang sifatnya berubah-ubah dan memiliki tanda harakat. Misalnya :

Kata ………………………………………………… berasal dari akar kata yang berarti ia mempunyai timbangan kalimat dan. Dan kata-kata tersebut memiliki tanda harakat sebagai indikasi la mempunyai status kedudukan tertentu. Kata itu bisa mempunyai status kedudukan sebagai khabar, mubtada, fa'il, maf ul, mudhaf, mudhaf ilaih, na'at, man'ut dan lain sebagainya. Teks-teks ini tidak bisa diinterpretasikan semaunya saja sebelum memahami konstruk teks itu sendiri. Pengetahuan yang mendalam tentang perubahan kata beserta atributnya ini sangat membantu sekali dalvn menemukan sebuah intetpretasi yang benar.
b. Proses Apresiasi
Maksudnya, proses di mana seseorang mesti terlebih dahulu mengerti akan teks atau kemampuan ketika membaca teks yang tidak hanya bisa kembali kepada pemahaman asalnya, tapi juga menciptakan pemahaman baru bagi dirinya. Dengan kata lain, ia terlebih dahulu mengerti teks itu sendiri kemudian mengaktulisasikan makna teks dan mengaktualisasikaruiya kedalam dirinya sendiri. Kemampuan alrnialisasi ini sangat ditentukan oleh arti dasar teks itu, kemudian pandangan atau pemahaman yang kita miliki. Pandangan atau pemahaman ini, bisa sempit dan bisa luas tergantung keilmuan dan kedalaman pengetahuan yang kita miliki.
c. Proses interpretasi
Pada waktu berhadapan dengan teks, seseorang berada pada situasi yang dikenal dengan situasi hermeneutic. Ia berada pada posisi `antara", yaitu masa kini (di mana la berada) dan masa lalu (di mana teks itu diciptakan), demikian pula antara yang dikenal dan yang asing. Dalam situasi seperti ini, seseorang menginterpretasikan arti yang tampak, dan mencoba untuk mengerti arti yang tidak tampak (tersebunyi). Arti yang tidak tampak menjadi tersembunyi kadang--kadang oleh unsur banyaknya penggunaan kata-kata itu dengan arti yang berbeda atau kata-kata itu hanya dikhususkan dalam satu kelompok saja. Dengan demikian, proses interpretasi lm seolah-olah menjembatani unsur-unsur itu. Atas dasar inilah maka teks itu disebut sebagai “mandiri". Seterusnya, dalam proses interpretasi, seseorang harus melibatkan kemampuan menerapkan pemahaman dasar teks dan historisitas yang ia ketahui. Sehingga setiap interpretasi menciptakan situasi tertentu dan pada waktu tertentu pula. Hal ini berarti bahwa setiap saat bisa terjadi inteipretasi baru.
Misalnya kata di atas. Jika diinterpretasikan maka makna yang tampak adalah "menghalalkan". Jadi secara lahir haditsadalah bahwasanya dia menghalalkan darah lbn al-Harith'. Padahal arti yang sebenarnya (baca: tersembunyi) adalah "menghilangkan" darah Ibn al-harith. Ini diketahui berdasarkan riwayat yang mengatakan demikian jika difahami berdasarkan konteksnya, sebab kata itu sendiri berarti umum, ia banyak digunakan di kalangan bahasa arab. Demikian juga dengan kata dalam hadits yang arti sebenarnya (tersembunyi) adalah `Muhammad telah eninggalkan khamar'. Sedangkan arti yang tampak adalah `Muhammad telah meninggal Al-Bazaq'. Al-Bazaq adalah sebuah nama klmsus bagi minuman yang memabukkan yang hanya dikenal dalam budaya Persi. Dengan demikian, kalau al-bazaq itu dalam budaya Persia sama artinya dengan Al-Khamar pada masa Nabi, maka tidak menutup kemungkinan sama pula ia dengan beer, grand sand dan tuak dalam budaya kebahasaan Indonesia saat ini. Jadi kalau kita pahami al-ha.-ay itu dengan minuman yang harus persis sama dengan meniman yang berdar pada orang-orang Persi, maka kita tidak akan menemukannya dalam kehidupan kita saat ini dengan bahasa yang secara jelas jelasnya berbeda, inilah yang dikatakan dengan pemahaman yang sempit.

2. Pendekatan Tertulis
Pendekatan teertulis dalam memahami lafazh gharib adalah dengan menghimpun berbagai hadits gharib yang mnyangkut tema sentral yang sama dari hadis-hadis yang berbeda riwayat dengan mengaitkan antara kata-kata yang `am dengan khas, kemudian menarik sebauh konsep dari tema gharib yang dikaji. Katakanlall misalnya hadits yang membicarakan tentang orang yang beriman. Dalam hadits disebutkan:

Hadits inø dimaksud sebagai penimpamaan. Dua orang yang beriman yang menggali tanah, kemudian mengairi kebun tanpa beban dan kesulitan. Sedangkan dua orang kafir menggali dan mengairi dengan penLai beban dan kesulitan. Ini menrupakan ilustrasi mengenai kebaikan dan manfaat serta ilustrasi yang sebaliknya.
Dalam hadis lain juga disebutkan :

Hadits ini artinya adalah al-nahyu (larangan) jika dalam bentuk pemberitaan. Maksudnya, orang yang beriman itu tidak akan melakukan perbuatan zina, sebab perbuatan in] tidak patut bagi orang-orang yang beriman. dikatakan juga, adalah sebagai janji untiik mengllindari. Adapula yang mengatakan tidak akan berzinah, yakni orang yang telah sempurna imannya.
Seterusnya, disebutkun dalam hadits yang lain :

Maksudnya, orang-orang yang beriman itu membenarkan dan meyakini tanda-tanda dan mu'jizat yang didatangkan Allah kepada mereka.

………………………………………………….
Kemudian dal am hadits lain disebutkan :

Di sini seolah-olah sebagai isyarat kepada sebuah kelompok yang beriman lantaran takut dengan pedang. Sedangkan Amr bin `Ash adalah orang yang ikhlas dalam imannya.
Dari teks-teks di atas, semuanya berbicara bentuk-bentuk orang yang beriman, yakni : pertama, gambaran orang yang beriman itu harus selalu mengerjakan perbuatan balk dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Kedua, orang beriman wajib meniggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, orang beriman mesti membenarkan dan meyakini tanda-tanda keesaan dan kebesaran mu'jizat Tuhan dan keetnpat orang yang beriman itu adalah orang yang ikhlash.
Dengan demikian, dapat ditarik sebuah konsep bahwa itnan itu adalah pembenaran, keyakinan, ketaatan dan keikhlashan.
E. KESIMPULAN
Demikianlah sebuah paradigma dalam memahami gharib al-hadits. Yakni dengan menggunakan pendekatan henneneutik dan tematik. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa unmk memahami teks gharib al-Hadits secara hermeneutik, pemahaman teks hadits secara mufrad mutlak harus didahulukan, kemudian bani bisa memahaminya secara mtirakakkab. Dalam memahami teks secara mufrad, titik sentral yang mesti diperhatikan adalah hakekat teks yang meliputi cakupan makna dan konstnik teks. Selanjutnya, secara tematik dengan menghimpun teks-teks gharib al-hadits yang setema dan mengaitkan antara teks yang `am dengan yang khas, kemudian menarik sebagai konsep pemahaman.
Namun demikian, satu hal yang perlu dipertegas, bahwa paradigma ini hanya mentpakan salah satu pendekatan saja. Artinya, matode ini tidak bisa digunakan unttik memahami dan menyelesaikan semua hadits yang memiliki permasalahan. Wallahu a'lam hi al-shawab.

BIBLIOGRAFI

Abu Umar usman bin Abd al-Rahman al-Syahrazwary, Ulum al-Hadits li Ibn al-Shalih (Madinah, Maktabah al-Ilmiyah, 1972)
Abi al-Fadhl Abd al-Rahim bin al-Husain al-' Iraqy, dalam Fath al-Maghith Syarh alfiah al-Hadits (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1993
Jamal al-Din Mtthammad Ibn Mukarram Ibil Manzur al-Afriqiy al-Mishriy dalam, Hadits wa al-'Arab. J.I. (Beirut, Dar al-Fikr, t.th)
Majd al-Din al-Mubarak bin Muhammad al-Jazari, al-Nihcivuh Fi Ohcrrih crl-Hadits wa al-Alsar, J.I (Beirut, Dar al-Fikr, t.th)
Muhatnmad Abu Zahwu, al-Hadits wa al-Nahaddithun Au Inayah Ummah al- Islamiyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir, t.tp:th) (Mesir, up: t.th)
Muhammad Thahir al-Jawwabi, Muhammad Thahir Al-Jawwabi, Juhud al-Muhaddithin Fi Naqh Matn al-Hadits al-Nabawi al-Syarif (Tunisia, Muassasat Abd Karim bin Abdullah, 1986)
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929