loading...

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

May 10, 2013
loading...
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK
Dra. Desmita, M.Si
Penerbit PT REMAJA ROSDA KARYA Bandung

BAB 1. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK
A. PENGERTIAN INDIVIDU SEBAGAI PESERTA DIDIK
Istilah individu berasal dari kata individeral berarti satu kesatuan organisme yang tidak dapat dibagi-bagi lagi atau tidak dapat dipisahkan. Individu merupakan kata benda dari individual yang berarti orang atau perseorangan ( E CHOLS, 1975.519 ). Sejak lahir didalam kandungan ibunya, manusia merupakan kesatuan psikofisis ( jasmani dan rohani ) yang khas ( unik ) dan terus menerus mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan merupakan sifat kodrati manusia yang harus mendapat tempat dan perhatian.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembanganya, manusia memiliki berbagai kebutuhan. Kebutuhan dapat dibedakan menjadi 2 yaitu: kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Pada awal kehidupanya, seorang bayi mengutamakan jasmaninya dan tidak perduli dengan apa yang terjadi dirinya. Ia sudah merasa senang bila kebutuhan fisiknya, seperti makan, minum, dan kehangatan dapat terpenuhi. Dalam pertumbuhan dan perkembanganya tingkat kebutuhanya terus meningkat. Ia mulai membutuhkan teman, keamanan dan seterusnya. Semakin bertambah usianya, kebutuhan nonfisiknya semakin banyak.
Setiap individu dikatakan sebagai peserta didik apabila ia memasuki usia sekolah. Usia 4-6 tahun, di taman kanak-kanak. Usia 6-7 tahun di sekolah dasar. Usia 13-16 tahun di SMP, dan usia 16-19 tahun di SLTA. Jadi, peserta didik adalah anak, individu, yang tergolong dan tercatat sebagai siswa didalam satuan pendidikan.

B. KARAKTERISTIK INDIVIDU SEBAGAI PESERTA DIDIK
Setiap individu memiliki ciri, sifat bawaan (heredity), dan karaktristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan sekitarnya. Ahli psikologi berpendapat bahwa kepribadian dibentuk oleh perpaduan faktor pembawaan (karakteristik yang bersifat biologis maupun psikologis sejak lahir ) dan lingkungan.
1. Pengertian dan karakteristik kehidupan pribadi
Kehidupan karakteristik kehidupan pribadi individu menyangkut berbagai aspek antara lain aspek emosional, aspek sosiologi, social budaya dan kemampuan intelektual, yang terpadu secara integrative dengan faktor lingkungan. Seorang individu mempunyai harga diri dan berkeinginan untuk mempertahankan.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pribadi
Perkembangan pribadi dipengaruhi oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan. Aliran natifisme menyatakan bahwa seorang individu akan menjadi pribadi sebagaimana menjadi pribadi sebagaimana adanya yang telah ditentukan oleh pembawaan dan sifatnya yang dibawak sejak lahir. Sementara itu aliran emperisme menyatakan bahwa seorang individu akan menjadi pribadi yang khas, dan unik, yang dipengaruhi oleh pengalaman, pendidikan, atau lingkungan hidupnya. Aliran konfergensi menyatakan bahwa kedua faktor tersebut secara terpadu memberikan pengaruh terhadap kehidupan seseorang.
3. Perbedaan individu dalam perkembangan pribadi
Lingkungan social budaya yang mempengaruhi perkembangan pribadi seseorang. Oleh karena itu perkembangan pribadi individu berbeda-beda sesuai dengan pembawaan lingkungan tempat mereka hidup, dan dibesarkan.
4. Pengaruh perkembangan kehidupan pribadi terhadap tingkah laku
Kepribadian atau tingkah laku seseorang dipengaruhi oleh proses perkembangan kehidupan sebelumnya sebelunya dandalam perjalanya berinteraksi dengan lingkunganya serta kejadian saat sekarang.
5. Upaya pengembangan kehidupan pribadi
Kehidupan pribadi merupakan rangkaian proses pertumbuhan dan perkembangan sehingga perlu dipersiapkan dengan baik. Upaya pengembangan kehidupan pribadi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Membiasakan hidup sehat dan teratur serta pemanfaatan waktu secara baik.
b. Mengerjakan tugas dan pekerjaan sehari-hari secara mandiri dengan penuh tanggung jawab.
c. Membiasakan hidup bermasyarakat dengan membina pergaukan pada sesame terutama teman sebaya.
d. Melatih cara merespon berbagai masalah yang dihadapi secara baik.
e. Mengikuti dan mematuhi aturan kehidupan keluarga secara disiplin dan bertanggung jawab.
f. Melaksanakan peran sesuai dengan status dan tanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga.
g. Berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan sesuai minat bakat yang dimiliki baik melalui pendidika formal maupun nonformal.

S
BAB 2. PERTUMBUHAN, PERKEMBANGAN, DAN PERBEDAAN INDIVIDUAL PESERTA DIDIK

A. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN INDIVIDUAL PESERTA DIDIK
Menurut A.E Sinolungan (1997) Istilah pertumbuhan digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahan ukuran fisik yang kuantitatif makin lama semakin besar atau panjang. Ada pun istilah perkembangan digunakan untuk menyatakan perubahan-perubahyan aspek psikologi dan social, sedangkan menurut Ahmad Thonthowi (1993), mengartikan pertumbuhan sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran (size) sebagai akibat dari adanya perbanyakan (multiplication) sel-sel, dan C.P. Chalplin (2002), mengartikan pertumbuhan sebagai satu pertambahan atau kenaikan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Dari beberapa pengertan tersebut dapat dsipahami bahwa istilah pertumbuhan dalam konteks perkembangan merujuk perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu: peningkatan dalam ukuran dan struktur seperti pertumbuhan badan, pertumbuhan kaki, pertumbuhan kepala, jantung, paru-paru,dll.
Hukum-hukum perkembangan
1. Hukum kesatuan organis
Menurut hukum ini anak adalah satu kesatuan organis, bukan suatu penjumlahan atau suatu kumpulan unsur yang berdiri sendiri. Pertumbuhan dan perkembangan adalah differensiasi atau pengkhususan dari totalitas pada unsur-unsur atau bagian-bagian baru, bukan kombinasi dari unsur-unsur atau bukan suatu kumpulan dari bagian-bagian.
2. Hukum tempo perkembangan
Menurut hukum ini, setiap anak mempunyai tempo kecepatan perkembangan sendiri-sendiri. Artinya, ada anak yang mengalami perkembangan cepat, sedang, dan lambat.

3. Hukum irama
Hukum irama berlaku untuk setiap manusia, baik perkembangan jasmani maupun rohani tidak selalu dialami perlahan-lahan dengan urutan-urutan yang teratur, melainkan merupakan gelombang-gelombang besar dan kecil silih berganti.
4. Hukum masa peka
Masa peka adalah suatu masa ketika fungsi-fungsi jiwa menonjolkan diri keluar, dan peka akan pengaruh rangsangan yang datang. Menurut Maria Montessori asal Italia ini berpendapat bahwa masa peka merupakan masa pertumbuhan ketika suatu fungsi jiwa mudah sekali dipengaruhi dan dikembangkan.
5. Hukum rekapitulasi
Menurut hackle asal jerman ini menyebut hukum ini hukum biogenetis. Dalam hukum rekapitulasi ini perkembangan jasmani individu merupakan ulangan dari perkembangan jenisnya. Dengan kata lain, otogenese adalah rekapitulasi dari phylogenese. Otogenese adalah perkembangan individu sedangkan phylogenese adalah kehidupan nenek moyang suatu bangsa.
6. Hukum mempertahankan dan mengembangkan diri
Dalam diri anak terdapat hasrat dasar untuk mempertahankan dan mengembangkan diri. Hasrat mempertahankan diri terlihat dalam bentuk-bentuk nafsu makan dan minum, menjaga keselamatan diri. Sedangkan hasrat pengembangan diri seperti hasrat ingin tahu, mengenal lingkungan, ingin bergerak, kegiatan bermain-main, dan sebagainya.
7. Hukum predistinasi
Menurut hukum predistinasi berarti betapapun sempurnanya pembawaan, bakat, dan sifat-sifat keturunan, betapapun baiknya lingkungan dan pemeliharaan anak, serta betapapun lengkapnya sarana dan sumber penghidupan, tetapi proses dan jalan perkembangan tidak akan berlangsung sebagaimana yang dikehendaki manusia seandainya nasib tidak membawanya demikian atau jika tidak di izinkan Allah.s
Proses perkembangan merupakan suatu evolusi yang secara umum adalah sama pada setiap anak. Perbedaan-perbedaan individual dimungkinkan terjadi karena faktor-faktor pembawaan, pengalaman dalam lingkungan, dan fakor laoinya, seperti iklim, sosiologis, dan ekonomis.
Setiap individu mengalami pertumbuhan fisik dan nonfisik yang meliputi aspek-aspek intelek, emosi, bahasa, bakat khusus, nilai, dan moral, serta sikap. Pokok-pokok pertumbuhan dan perkembangan yaitu:
1. Pertumbuhan Fisik
Pertumbuhan fisik manusia merupakan perubahan fisik dari kecil atau pendek menjadi besar dan panjang, yang prosesnya terjadi sejak lahir hingga dewasa.
a. Pertumbuhan sebelum lahir
Manusia dimulai dari proses pembuahan ( pertemuan sel telur dan sperma ) yang membentuk suatu sel kehidupan,yang yaitu embrio. Embrio yang telah berusia satu bulan berukuran sekitar setengah sentimeter. Pada umur dua bulan, ukuranya membesar menjadi dua setengah sentimeter yang disebut janin atau fetus. Satu bulan kemudian (kandungan telah berumur 3 bulan), janin trersebut telah terbentuk menyerupai bayi dalam ukuran kecil.
Masa sebelum lahir merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan manusia yang sangat kompleks, karena masa itu merupakan awal terbentuknya organ-organ tubuh dan tersusunnya jaringan syaraf yang membentuk system yang lengkap. Pertumbuhan dan perkembangan janin berakhir setelah kelahiran. Kelahiran merupakan kematangan biologis dan jaringan syaraf masing-masing telah mampu berfungsi secara mandiri.
b. Pertumbuhan setelah lahir
Pertumbuhan fisik manusia setelah lahir merupakan kelanjutan dari pertumbuhan sebelum lahir. Proses pertumbuhan fisik manusia berlangsung sampai masa dewasa. Dalam tahun pertama pertumbuhannya, ukuran panjang badan bertambah sekitar sepertiga dari panjang semula, sedangkan berat badannya bertamabah sekitar tiga kalinya. Sejak lahir sampai umur 25 tahun, perbandingan ukuran badan individu dari pertumbuhan yang kurang proporsional pada awal terbentuknya manusia.
Pertumbuhan dan perkembangan fungsi biologis setiap orang memiliki pola urutan yang teratur. Ahli psikologi menyatakan bahwa pertumbuhan fisik dan perkembangan kemampuan fisik anak pada umumnya memiliki pola yang sama dan menunjukkan keteraturan. Secara umum pertumbuhan fisik anak dapat dibagi menjadi empat periode utama, dua periode ditandai dengan pertumbuhan yang cepar, dan dua periode lainnya dicirikan oleh pertumbuhan yang lambat.

2. Perkembangan intelek
Intelek atau daya piker seseorang berkembang sejalan dengan pertumbuhan syaraf otaknya. Karena daya pikir menunjukkan fungsi otak, kemampuan intelektual dipengaruhi oleh kematangan otak yang mampu menunjukkan fungsinya secara baik.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif seseorang mengikuti tahapan berikut ini:
a. Masa sensori motoric (0-2.5 tahun)
Masa ini adalah masa ketika bayi menggunakan system penginderaan dan aktifitas motoric untuk mengenal lingkungannya.
b. Masa pra-operasional (2 – 7 tahun)
Ciri khas masa ini adalah kemampuan anak dalam menggunakan symbol yang mewakili suatu konsep.
c. Masa konkreto pra-rasional (7 – 11 tahun)
Pada tahap ini anak sudah dapat melakukan berbagai tugas yang konkrit dan mulai mengembangkan tiga macam operasi berpikir yaitu identifikasi, negasi, dan reprokasi.
d. Masa operasional (11 – dewasa)
Pada tahap ini ia mampu mengambil kesimpulan dari suatu pernyataan.

3. Perkembangan emosional
Emosi atau perasaan merupakan salah satu potensi kejiwaan yang khas dimiliki oleh manusia. Pada awal pertumbuhannya yang dibutuhkan bayi adalah kebutuhan primer, yaitu makan, minum dan kehangatan tubuh. Apabila tidak terpenuhi bayi akan menangis. Jadi emosi merupakan perasaan yang disertai oleh perubahan atau perilaku fisik.

4. Perkembangan sosial
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya setiap individu tidak dapat berdiri sendiri tapi memerlukan bantuan individu lainnya. Pada umumnya setiap anak akan lebih tertarik kepada teman sebaya yang sama jenis kelaminnya. Selanjutnya manusia mengenal kehidupan bersama, berkeluarga, dan bermasyarakat, atau berkehidupan social.



5. Perkembangan bahasa
Fungsi pokok bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau sarana pergaulan dengan sesama.bahasa sebagai alat komunikasi dapat diartikan sebagai tanda, gerak,dan suara untuk menyampaikan isi pikiran dan perasaan kepada orang lain
Berbicara adalah bahasa lisan. Dalam perkembangan awal berbahasa lisan, bayi menyampaikan isi pikiran atau perasaannya dengan menangis,tersenyum, atau ocehan.iamenangis atau mungkin menjerit jika tidak senang atau sakit dan mengoceh atau meraba jika sedang senang.syarat itu semakin lama semakin jelas hingga ia mampu menirukan bunyi – bunyi bahasa yang di dengarnya.
Perkembangan lebih lanjut, yang telah berusia 6 – 9 bulan, ia mulai berkomunikasi dengan satu kata atau dua kata, seperti mama, maem dan sebagainya.
6. Bakat khusus
Bakat adalah kemampuan khusus yang di miliki oleh setiap individu yang memerlukan rangsangan atau latihan agar berkembang dengan baik.
7. Sikap, nilai, dan moral
Bloom (woofolk dan nicolich, 1984:390)mengemukakan bahwa tujuan akhir proses belajar, yaitu penguasaan pengetahuan (kognitif ), penguasaan nilai dan sikap (efektif), dan penguasaan,keterampilan (psikomotorik).masa bayi masih belum mempersoalkan masalah moral karena dalam kehidupannya belum di kenal hierarki nilai dan suara hati,serta perilakunya belum di bimbing oleh nilai – nilai moral, sedangkan menurut Santrock, 1995 perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain.
Semakin tumbuh berkembang fisik dan psikisnya,ia mulai memperkenalkan terhadap nilai – nilai di tunjukkan hal – hal yang boleh dan yang tidak boleh.menurut piaget, pada awalnya, pengenalan nilai dan pola tindakan itu masih bersifat paksaan,dan anak belum mengetahui maknanya. Hal ini terjadi karena perkembangan itu sendiri merupakan suatu proses perubahan yang kompleks, melibatkan berbagai unsur yang melibatkan berbagai unsur yang saling berpengaruh satu sama lain.
Sifat individual adalah sifat yang berkaitan dengan karakteristik perseorangan atau yang berkaitan dengan perbedaan individual sifat orang yang satu berbeda dengan sifat orang lain.
1. Bidang-bidang perbedaan individual
Umur kronologis sebagai faktor yang mewakili tingkat kematangan seseorang hendaknya dilihat sebagai aspek perbedaan individual. Faktor kecakapan khusus perlu dipertimbangkan, terutama dalam mempelajari hal-hal yang memerlukan kemampuan mental yang tinggi.


a. Perbedaan individual peserta didik
Perkembangan bagi setiap anak sebagai individu mempunyai sifat yang unik.saufrock dan yussen menyatakan sebagai berikut, “Eas us develops some other individual, and like individual, like some other invidual, and like no other individual”.
Maksudnya bahwa tiap-tiap invidu berkembang dengan cara tertentu, seperti individu lain, dan seperti tidak ada invividu yang lain.
Garry 1963 ( oxendine, 1984: 317) mengelompokan perbedaan individual kedalam bidang-bidang berikut ini.
a. Perbedaan fisik, seperti usia, berat badan, jenis kelamin, pendengaran, dan kemampuan bertindak.
b. Perbedaan social,seperti status ekonomi, agama, hubungan keluarga dan suku.
c. Perbedaan kepribadian, seperti watak, minat, motif, dan sikap.
d. Perbedaan intelegensi dan kemampuan dasar.
e. Perbedaan kecakapan disekolah
Perbedaan fisik bukan saja terbatas pada ciri-ciri yang dapat diamati dengan panca indra,seperti tinggi badan warna kulit, jenis kelamin, nada suara, dan bau keringat. Gejala yang dapat diamati bahwa mereka menjadi lebih atau kurang dalam bidang tertentu dibandingkan dengan yang lainya.

a. Perbedaan kognitif
Proses belajar mengajar adalah upaya menciptakan lingkungan yang positif yang direncanakan untuk mengembangkan faktor dasar yang dimiliki seseorang. Menurut blom, proses belajar, baik disekolah maupun diluar sekolah menghasilkan tiga kemampuan yang dikenal sebagai taxonomi blom, yaitu kognitif, efektif, dan psikomotorik. Menurut Myers (1996) Kognitif adalah istilah umum yang mencakup segenap mode pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan penalaran.sedangkan menurut chaplin (2002), dijelaskan bahwa kogniif adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan, mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, memperkirakan, menduga, dan menilai.



b. Perbedaan dalam kecakapan bahasa
Bahasa merupakan salah satu kemapuan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu untuk menyatakan pikiran dan perasaanya dalam bentuk ungkapan kata dan kalimat yang bermakna dan sistematis. Kemampuan berbahasa ini berbeda antara satu individu dan individu lainya, serta sangat dipengaruhi oleh faktor kecerdasan dan faktor lingkungan. Faktor lain yang juga penting adalah faktor fisik, terutama organ berbicara.

c. Perbedaan dalam kecakapan motoric
Kecakapan motoric atau kemampuan psikomotorik merupakan kemampuan untuk melakukan koordinasi kerja saraf motoric yang dilakukan oleh syaraf pusat untuk melakukan berbagai kegiatan.
Semakin dewasa seseorang, semakin matang pula fungsi-fungsi fisiknya. Kemampuan motoric dipengaruhi oleh kematangan pertumbuhan fisik dan tingkat kemamouan berfikir seseorang. Karena kematangan pertumbuha fisik dan berfikir setiap orang berbeda-beda.

d. Perbedaan dalam latar belakang
Latar belakang keluarga,baik dilihat dari segi sosio ekonomi maupun social kultural adalah berbeda-beda.perbedaab latar belakang dan pengalaman dapat memperlancar atau menghambat kemampuan atau prestasi seseorang. Pengalamn belajar yang dimiliki anak dirumah mempengaruhi kemauan dan keterampilan untuk berpretasi dalam situasi belajar yang disajikan. Minat dan sikapnya terhadap mata pelajaran tertentu, kecakapan atau kemauan untuk berkonsentrasi pada bahan pelajaran, dan kebiasaan-kebiasaan belajrar merupakan faktor-faktor perbedaan individual diantara para siswa.
e. Perbedaan bakat
Bakat adalah kemampuan khusus yang dibawa atau dimiliki seseorang sejak lahir. Kemampuan tersebut akan berkembang secara baik apabila mendapatkan rangsangan dan latihan secara tepat.sebaliknya,bakat itu tidak akan berkembang jika lingkungan tidak memberi kesempatan, dalam arti tidak ada rangsangan dan latihan yang baik. Dalam hal pengembangan bakat ini, makna pendidikan menjadi sangat penting artinya.
f. Perbedaan dalam kesiapan belajar
Perbedaan individual tidak hanya disebabkan oleh keragaman, kematangan, tetapi juga oleh keragaman latar belakang sebelunya. Anak berusia 6 tahun yang memasuki sekolah dasar kelas satu mungkin berbeda satu, dua, bahkan 3 tahun dalam tingkat kesiapan untuk mengambil manfaat dari pendidikan formal.
2. Perbedaan individual yang unik
Setiap invidu adalah khas/ unik artinya, ia memiliki perbedaan dengan lainya. Perbedaan itu bermacam-macam, mulai dari perbedaan fisik, pola berfikir dan cara merespon atau mempelajari hal baru.
a. Otak sebagai pusat belajar
Otak manusia merupakan kumpulan masa protoplasma yang paling kompleks yang terdapat dalam alam semesta. Otak dapat berfungsi aktif dan reaktif kurang lebih 100 tahun. Dan otak sebagai pusat belajar sehingga harus dijaga agar terhindar dari kerusakan.
Menurut Maclean, otak manusia memiliki tiga bagian dasar yang seluruhnya dikenal sebagai triune brain ( dalam deporter dan henarcki,2001). Bagian pertama yaitu batang otak, bagian kedua system limbik, dan bagian ketiga neokorteks. Batang otak bertanggung jawab atas fungsi motoric-sensorik pengetahuan fisik yang berasal dari panca indra.
System limbik berfungsi menyimpan perasaan, pengalaman yang menyenangkan, memori dan kemampuan belajar. System ini juga mengatur bioritme tubuh seperti pola tidur, lapar, haus, tekanan darah, jantung, gairah seksual, temperature, kimia tubuh, metabolissme, dan istem kekebalan. System limbik, panel control, dalam penggunaan informasi, dari indra penglihatan, pendengaran, sensasi tubuh, perabaan, penciuman, sebagai input yang kemudian informasi ini disampaikan kepemikir dalam otak yaitu neokorteks. Neokorteks tempat bersemayamnya pusat kecerdasan manusia.

b. Karakteristik cara belajar
Berdasarkan kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola, dan menyampaikan informasi, cara belajar individu dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai oleh prilaku tertentu.
Ciri-ciri prilaku individu dengan karakteristik cara belajar yang disebutkan diatas, menurut pendapat deporter dan hemacki ( 2001 )
1. Karakteristik prilaku individu dengan cara belajar visual
Individu yang memiliki kemampuan belajar visual yang baik ditandai dengan ciri-ciri prilaku sebagai berikut:
a. Rapi dan teratur
b. Berbicara dengan cepat
c. Mampu membuat rencana jangka pendek dengan baik
d. Teliti dan rinci
e. Mementingkan penampilan
f. Medah mengingat apa yang dilihat dari pada apa yang didengar
g. Mengingat sesuatu berdasarkan asosiasi visual
h. Pembaca yang cepat dan tekun
i. Lebih suka membaca dari pada dibacakan
j. Sulit menerima intruksi verbal
k. Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain dll

2. Karakteristik prilaku individu dengan cara belajar auditorial
Individu yang memiliki kemampuan belajar auditorial yang baik ditandao dengan ciri-ciri prilaku seperti dibawah ini:
a. Sering berbicara sendiri ketika sedang bekerja
b. Mudah tertganggu oleh keributan atau suara brisik
c. Lebih senang mendengarkan dari pada membaca
d. Suka membaca dengan suara keras
e. Lebih suka humor
f. Berbicara sangat fasih
g. Kesulitan jika menulis sesuatu
h. Senang berbicara, diskusi,dan menjelaskan
i. Suka seni music dll

3. Karakteristik prilaku individu dengan cara belajar kinestetik
Individu yang memiliki kemampuan cara belajar kinestetik dengan baik ditandai oleh :
a. Berbicara dengan perlahan
b. Menanggapi perhatian fisik
c. Banyak gerak fisik
d. Memiliki perkembangan otot yang baik
e. Banyak menggunakan bahasa tubuh
f. Belajar dengan praktik langsung






















BAB 3. Implikasi Pertumbuhan dan Perkembangan terhadap Penyelenggaraan Pendidikan


A. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Menurut chaplin (2002) Pertumbuhan sebagai satu pertumbuhan atau kenaikan dalam ukuran dari bagian-bagian tubuh atau dari organisme sebagai suatu keseluruhan. Sedangkan menurut A.E. Sinolungan (1997), pertumbuhan menunjukan pada perubahan kuantitatif, yaitu yabg dapat dihitung atau diukur, seperti panjang, atau berat tubuh. Dan menurut Ahmad thanthowi (1993) mengartikan pertumbuhan sebagai perubahan jasad yang meningkat dalam ukuran sebagai akibat dari adanya perbanyakan sel-sel. perubahan secara fisiologis sebagai hasil proses pematangan fungsi dalam perjalanan waktu tertentu. Pertumbuhan dapat pula diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniah) yang herediter dalam bentuk proses aktif berkesinambungan.
Hasil pertumbuhan, antara lain bertambahnya ukuran kuantitatif badan anak, seperti berat, panjang, dan kekuatannya. Begitu pula pertumbuhan akan mencakup perubahan yang semakin sempurna pada system jaringan syaraf dan perubahan-perubahan struktur jasmani lainnya. Dengan demikian, pertumbuhan dapat diartikan sebagai proses perubahan dan pematangan fisik.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yang kurang normal pada organisme adalah sebagai berikut.
1. Faktor sebelum lahir, seperti peristiwa kekurangan nutrisi pada ibu dan janin, dan lain-lain.
2. Faktor pada saat kelahiran, seperti pendarahan pada bagian kepala bayi yang disebabkan tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan dan efek susunan syaraf pusat karena proses kelahiran bayi dilakukan dengan bantuan tang (tangver-lossing).
3. Faktor yang dialami bayi setelah lahir, seperti pengalaman traumatic pada kepala, dan lain-lain.
4. Faktor fisiologis, misalnya bayi atau anak ditinggal ibu, ayah atau kedua orang tuanya cenderung akan mengalami gangguan fisiologis.

Menurut Werner (1957), perkembangan sesuai dengan prinsip orthogenetis, yaitu perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai pada keadaan diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap. Sedangkan
Menurut Seifert dan Hoffnung (1994) mendefenidikan perkembangan sebagai long-term changes in a persons growt, feelings pattern of thinking, social relationship, and motor skill.
Sementara chaplin 2002, mengartikan perkembangan sebagai perubahan yang berkesinambungan dan progresif dalam organisme, dari lahir sampai mati, (2) pertumbuhan, (3) perubahan dalam bentuk dan dalam fungsional (4) kedewasaan.
Menurut Reni akbar hawadi (2001), perkembangan secara luas menunjuk kepada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat, dan ciri-ciri yang baru.




Proses diferensiasi bersifat totalitas pada diri anak..
Spiker (1966) mengemukakan dua macam pengertian yang harus dihubungkan dengan perkembangan.
1. Ortogenetik, yang berhubungan dengan perkembangan sejak terbentuknya individu baru sampai dewasa.
2. Foligenetik, yaitu perkembangan dari asal-usul manusia sampai sekarang.

Bijau dan Baer (1961) mengemukakan perkembangan psikologis adalah perubahan progresif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkungannya. Interaksi adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak, bergantung pada perangsang-perangsang yang ada dilingkungannya.

Perubahan meliputi beberapa aspek, baik fisik maupun psikis. Perubahan tersebut dapat dibagi menjadi empat kategori utama, yaitu perubahan dalam ukuran, perubahan dalam perbandingan, perubahan untuk mengganti hal-hal yang lama, dan perubahan untuk memperoleh hal-hal yang baru.
1. Perubahan dalam Ukuran
Perubahan dapat berbentuk ukuran panjang atau tinggi maupun berat badan. Berat badan yang semula sekitar 3 kg ketika dilahirkan menjadi 8-9 kg pada waktu umur 6 bulan. Panjang bayi 50 cm ketika dilahirkan menjadi 60 cm pada umur 1 tahun yang diikuti oleh perubahan ukuran organ-organ tubuh lain, antara lain volume otak yang menyebabkan tampilnya kemampuan.
2. Perubahan dalam Perbandingan
Perubahan secara proposional juga menjadi pada perkembangan mental. Perbandingan antara yang tidak real, khayalan dengan hal-hal yang rasional semakin lama semakin besar. Anak-anak masih suka menghayal atau berimajinasi, tetapi makin lama akan berubah sebaliknya, yakni banyak mempelajari realita dan sedikit berhayal. Perkembangan social juga sedikit demi sedikit berubah, dari bermain sendiri, bermain dengan saudara, bermain dengan anak-anak tetangga, kemudian bermain dengan anak-anak lain di lingkungan yang lebih luas.
3. Perubahan untuk Mengganti Hal-hal yang Lama
Apabila sebelumnya bahasa bayi tidak begitu jelas, seiring dengan perkembangan usianya, ia mulai berbicara cadel lalu berubah menjadi kata-kata yang lebih jelas artinya. Kebiasaan untuk merangkak ketika mengambil sesuatu akan menghilang seiring dengan meningkatnya kemampuan motorik. Pada usia kanak-kanak, gigi anak akan tanggal satu persatu dan diganti dengan gigi tetap.
4. Perubahan untuk Memperoleh Hal-hal Baru

Ketika dilahirkan, bayi belum mempunyai gigi dan beberapa waktu kemudian (kalau sudah sampai waktunya) gigi tersebut akan tumbuh. Dengan demikian, bayi memperoleh atau menambah sesuatu yang baru yang sebelumnya tidak ada atau belum dimiliki. Menjelang usia remaja, terjadi pertumbuhan bulu-bulu ketiak, bulu-bulu sekitar alat kelamin, dan timbul kumis pada remaja laki-laki akibat mulai fungsinya kelenjar-kelenjar kelamin yang dikenal dengan istilah kelamin sekunder.

B. Pertumbuhan Fisik Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1. Faktor-faktor Penyebab Perubahan Fisik
Penyebab perubahan fisik pada masa remaja adalah adanya dua kelenjar yang menjadi aktif bekerja dalam sistem endoktrin. Kelenjar pituitari yang terletak didasar otak mengeluarkan dua macam hormon yang erat hubungannya dengan perubahan masa remaja. Kedua hormon itu adalah hormon pertumbuhan yang menyebabkan terjadinya perubahan ukuran tubuh dan hormon gonadotropik atau sering disebut hormon yang merangsang gonad agar mulai aktif bekerja. Tidak lama sebelum saat remaja dimulai, kedua hormon ini sudah mulai diproduksi dan pada saat remaja semakin banyak dihasilkan. Seluruh proses ini dikendalikan oleh perubahan yang terjadi dalam kelenjar endokrin. Kelenjar ini diaktifkan oleh rangsangan yang dilakukan kelenjar hypothalamus, yaitu kelenjar yang dikenal sebagai kelenjar untuk merangsang pertumbuhan pada saat remaja dan terletak di otak.

2. Perubahan Fisik Selama Masa Remaja
Perubahan fisik selama masa remaja meliputi dua hal, yaitu percepatan pertumbuhan dan proses kematangan seksual. Akibat percepatan pertumbuhan tersebut, terjadi perbedaan atau keanekaragaman proporsi tubuh.

3. Keragaman Perubahan Proporsi Tubuh
Pada masa kanak-kanak, bentuk tubuh tidak terlalu terlihat perbedaannya. Namun, pada akhirnya masa kanak-kanak, saat mulai memasuki tahap remaja, perbedaan bentuk tubuh antara anak laki-laki dan anak perempuan menjadi semakin jelas. Remaja laki-laki cenderung menuju ke bentuk mesomorf (cenderung menjadi anak yang kekar, berat, dan segitiga), sedangkan anak perempuan kalau tidak endomorf (cenderung menjadi gemuk dan berat) akan memperlihatkan ciri ektomorf (cenderung kurus dan bertulang panjang).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan fisik adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh Keluarga
b. Pengaruh Gizi
c. Gangguan Emosional
d. Jenis Kelamin
e. Status Sosial Ekonomi
f. Kesehatan
g. Pengaruh Bentuk Tubuh

C. Perkembangan Intelek Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)

1. Pengertian Intelek dan Inteligensi
Istilah intelek berarti kekuatan mental yang menyebabkan manusia dapat berpikir aktivitas yang berkenaan dengan proses berpikir atau kecakapan yang tinggi untuk berpikir. Menurut kamus Webster New World Dictionary of the American Language, istilah intellect berarti:
a. kecakapan untuk berpikir, mengamati atau mengerti,
b. kecakapan mental yang besar, sangat intelligence,
c. pikiran atau inteligensi.
Inteligensi merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang yang memungkinkannya memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkan ilmu tersebut dalam hubungannya dan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul.

2. Hubungan antara Intelek dan Tingkah Laku
Kemampuan berpikir abstrak menunjukkan perhatian seseorang terhadap kegiatan atau peristiwa yang tidak konkret, seperti pilihan pekerjaan, pilihan pasangan hidup, yang sebenarnya masih jauh didepannya, dan lain-lain. Bagi remaja, corak perilaku pribadinya dihari depan dan corak tingkah lakunya sekarang akan berbeda. Kemampuan abstraksi akan berperan dalam perkembangan kepribadian remaja.
Mereka dapat memikirkan perighal diri sendiri. Pemikiran ituterwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kle penilaian diri dan kritik diri. Hasil penelitian tentang dirinya tidak selalu diketahui orang lain, bukan sering terlihat usaha mereka untuk menyembunyikannya atau merahasiakannya. Dengan refleksi diri, hubungan dengan situasi akan dianggap nyata dalam pikirannya, yaitu perihal keadaan diri yang tercermin sebagai usaha yang kemungkinan terbentuk kelak dihari kemudian.


3. Karakteristik Perkembangan Intelek Remaja
Inteligensi pada masa remaja tidak mudah diukur karena perubahan kecepatan perkembangan kemampuan tersebut tidak mudah terlihat. Pada masa remaja, kemampuan untuk mengatasi masalah yang majemuk terus bertambah. Pada awal remaja, kira-kira pada umur 12 tahun, anak berada pada masa yang disebut masa operasi formal (berpikir abstrak). Pada masa ini, ia telah berpikir dengan mempertimbangkan hal yang mungkin di samping hal yang nyata.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Intelek
Menurut Wechsler, IQ adalah suatu nilai yang hanya dapat ditentukan secara kira-kira dan sementara karena selalu terjadi perubahan-perubahan akibat faktor individual dan situasional. Konstan tidaknya inteligensi sampai sekarang masih merupakan proses diskusi yang terbuka. Penelitian longitudinal selama 40 tahun dalam institut Fels oleh Mc Call, dkk. (1973) menunjukkan adanya pertambahan rata-rata nilai IQ sebanyak 28 poin antara usia 5-17 tahun (kira-kira sama dengan usia pendidikan sekolah dasar). Selanjutnya, ditemukan bahwa perubahan-perubahan intra-individual dalam nilai IQ lebih merupaka hal yang umum dari pada perkecualian.

5. Implikasi Perkembangan Intelek Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
Piaget menyebutkan bahwa sebagian besar remaja mampu memahami dan mengkaji konsep-konsep abstrak dalam batas-batas tertentu. Menurut Bruner, siswa pada usia remaja ini dapat belajar menggunakan bentuk-bentuk simbol dengan cara yang canggih. Guru dapat membantu mereka dengan menggunakan pendekatan keterampilan proses (discover approach) dengfan memberi penekanan pada penguasaan konsep-konsep abstrak.
Karena siswa pada usia remaja ini masih dalam proses penyempurnaan penalaran, guru hendaknya tidak menganggap bahwa mereka berpikir dengan cara yang sama dengan guru. Untuk itu, guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengadakan diskusi secara baik serta memberikan tugas-tugas penulisan makalah. Dalam hal ini, guru hendaknya mengamati kecendrungan-kecendrungan remaja untuk melibatkan diri dalam hal-hal yang tidak tergali. Cara yang baik dalam mengatasi bentuk-bentuk pemikiran yang belum matang ialah membantu siswa menyadari bahwa mereka telah melupakan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Namun, bila permasalahan tersebut merupakan masalah kompleks dengan bobot emosi yang cukup dalam, hal itu bukan tugas yang mudah.

D. Perkembangan Bakat Khusus Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1. Pengertian Bakat
Bakat adalah kemampuan alamiah untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang relatif bersifat umum (misalnya bakat intelektual umum) atau khusus (bakat akademis khusus). Bakat khusus disebut juga talent (talenta).
2. Jenis-jenis Bakat Khusus
Setiap individu memiliki bakat khusus yang berbeda-beda. Usaha pengenalan bakat khusus ini mula-mula terjadi pada bidang pekerjaan, tetapi kemudian dalam bidang pendidikan. Hampir semua ahli psikologi yang menyususn tes untuk mengungkap bakat khusus bertolak dari dasar pemikiran analisis faktor. Menurut Guilford, pada setiap aktivitas diperlukan berfungsinya faktor-faktor khusus.
3. Hubungan antara Bakat dan Prestasi
Dengan adanya bakat, seseorang dapat mencapai prestasi dalam bidang tertentu, tetapi diperlukan latihan, pengalaman, pengetahuan, dan dorongan atau kesempatan untuk pengembangannya. Jika orang tua menyadari bahwa anaknya mempunyai bakat menggambar dan mengusahakan agar dia mendapat pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, da anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, anak itu akan dapat mencapai prestasi yang unggul bahkan dapat menjadi pelukis terkenal.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bakat
Faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat terletap pada anak itu sendiri.
a. Anak itu sendiri, misalnya anak itu kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia miliki.
b. Lingkungan anak, misalnya orang tua yang kurang mampu untuk menyediakan fasilitas yang dibutuhkan anak.

5. Pendidikan Anak Berbakat di Indonesia
Pendidikan anak berbakat merupakan bagian integrasi pendidikan pada umumnya, dengan kekhususan memberi kesempatan maksimal bagi anak berbakat untuk berfungsi sesuai dengan potensinya, dengan harapan bahwa pada suatu saat ia akan memberi sumbangan yang maksimal bagi peningkatan kehidupan sesuai dengan aktualisasi potensinya itu. Hal itu sesuai dengan citra masyarakat yang kita anut dengan memperhatikan kaitan fungsional antara individu dan masyarakat.

b) Menulis Kreatif (mengarang)
Kehidupan imajinasi anak berbakat biasanya sangat aktif dan mengarang merupakan suatu yang biasanya gemar dilakukannya. Namun, ada anak berbakat yang minatnya cenderung ke ilmu pengetahuan alam (IPA) kadang memperoleh kesukaran dalam menyatakan dirinya, meskipun ide-idenya banyak.
Mengarang adalah suatu sarana yang dalam memperoleh keterampilan menyatakan diri. Kebimbangan memilih judul yang sesuai dapat di pancing dan diarahkan melalui:
-Gambar seseorang atau sesuatu yang diperhatikan
-Passage dalam bacaan seperti “penerbang roket mengambil tempat duduknya dalam kapsul, menunggu tanda keberangkatannya”.



c) Ilmu Pengetahuan Sosial
Pelajaran sejarah, pendidikan kewarganegaraan (PPKn), dan ilmu bumi dapat dikaitkan dengan membaca dan mempelajari berbagai bacaan. Integrasi dari kedua bacaan ini memungkinkan pendalaman suatu penguasaan yang konkret dalam kaitan dengan dengan kedua pelajaran tersebut. Juga menyuruh anak berbakat menemui beberapa tokoh tua di tempat tinggalnya untuk menanyakan peranan dalam perang kemerdekaan kits, dan memungkinkan kaitannya dengan PPKn. Suatu pameran tentang mata uang logam kuno dari negeri sendiri atau negara lain, tata cara pakaian, alat perang dan benda lain dari masa lalu serta pembangunan kini dapat menghidupkan sejarah, ilmu bumi, dan PPKn secara integral.
Kejadian aktual seperti perjuangan bangsa Asia dan Afrika, perubahan dalam sistem transportasi, penemuan baru seperti “concorde” dan sebagainya, dengan sendirinya merupakan hal-hal yang sangat menumbuhkan motivasi belajar anak berbakat.
d) IPA dan Pendidikan Kesehatan
Keterampilan proses (process skills) dalam IPA pada akhir abad ini telah digalakkan sebagai metologi IPA yang membantu anak didik mengaitkan IPA dengan dasar kehidupan. Memecahkan masalah IPA bukan lagi menghapal hukum dan aksioma saja, tetapi pengembangan aktivitas dan eksperimen yang membantu anak didik memperoleh keterampilan mengamati, megelola, meramalkan sesuatugejala, serta menilai proses tersebut. Berbagai lomba ilmiah atau seminar para ahli di bidang IPA dan Kesehatan dapat disesenggarakan.
e) Matematika
mencari jalan terpendek atau termudah dalam menyelesaikan suatu soal matematika patut dilakukan dilakukan anak berbakat. Pemahaman terhadap hubungan angka dengan membandingkan berbagai metode perkaitan, pengurangan, atau penambahan merupakan sesuatu yang menarik. Perseoalan matematika yang dikaitkan dengan cerita akan sangat melatih keterampilannya. Demikian pula, teta-teki angka banyak memberi kesempatan melatih keluwesan kemampuan berhitung.
f) Kesenian dan Bahasa
Kreativitas anak berbakat dalam berbagai jenis kesenian mendapat kesempatan berkembang dan mudah dikaitkan dengan perkembanga bahasa (umpama drama, deklamasi). Ada juga kegiatan kesenian yang secara khusus memperkaya perkembangan kesenian tertentu, seperti musik (band sekolah), melukis, membatik, dan lain-lain. Kreativitas merupakan suatu ciri khas anak bebbakat. Kreativitas ini dapat diarahkan memalui berbagai kegiatan positif dan menantang.
4) Metode belajar dan guru
Metode belajar yang paling cocok untuk anak berbakat adalah belajar melalui kelompok kecil atau individu. Apabila anak berbakat harus belajar dalam keas beser, prinsip pendekatan fullout enrichment dan akselarasi harus menjadi dasar untuk pengembangaan pada perbedaan potensinya, beberapa persyaratan yang diperlukan guru ialah memiliki inteligasi tinggi dan mempunyai minat luas dalam berbagai bidang.
6. Implasi Pengembangan Bakat Khusus Remaja terhadap Penyelengaraan pendidikan
Bagaimana kita dapat mengidentifikasi para siswa yang mempunyai bakat? Bagaimana karakteristik atau ciri-ciri mereka? Alat-alat apa yang dapat digunakan untuk mengetahui bakat-bakat khusus tersebut? Semua informasi ini dapat diperlukan sebelum dilakukan upaya pengembangan bakat-bakat khusus bagi para siswa di sekolah.
Alat ukur atau tes apa yang dipakai tentu saja bergantung pada mecam bakat yang ingin dikenali. Bagaimana orang tua dapat mengenal bakat khusus anak? Bakat anak dapat dikenali dengan melakukan observasi terhadap apa yang selalu dikerjakan dan digemari anak. Pengenalan terhadap bakat anak sangat bermanfaat bagi orang tua dan guru agar memahami dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan mengenal ciri-ciri anak berbakat, orang tua dapat menyediakan lingkungan pendidikan yang sesuai dengan bakat anak tersebut. Selai itu, dapat membantu anak-anak dalam memahami potensi dirinya, serta tidak melihat sebagai sesuatu beban, tetapi sebagai suatu anugrah yang harus dihargai dan dikembangkan. Manfaat lain dari kemampuan orang tua untuk mengenal bakat anak ialah orang tua dapat membantu sekolah dalam penyusunan program dan prosedur pemanduan anak-anak berbakat, dengan memberi informasi yang dibutuhkan tentang ciri-ciri dan keadaan anak mereka.
Sebagai contoh, orang tua memberi keterangan tentang butir-butir berikut ini:
a) Hobi dan minat anak yang khusus
b) Jenis buku yang disenangi
c) Masalah dan kebutuhan pokok
d) Prestasi yang di capai
e) Pengalaman-pengalaman khusus
f) Kegiatan kelompok yang di senangi
g) Kegiatan mandiri yang di senangi
h) Sikap anak terhadap sekolah dan guru
i) Cita-cita masa depan
Anak akan merasa aman secara psikologis apabila:
a. Guru sebagai pendidik dapat menerima sebagaimana adanya, tanpa syarat dengan segala kekuatan dan kelemahannya, serta memberi kepercayaan bahwa pada dasarnya semua siswa baik dan mampu
b. Guru sabagai pendidik mengusahakan suasana yang menggondisikan anak tidak merasa dinilai. Sebab, memberi penilaian terhadap seseorang dapat dirasakan sabagai suatu ancaman, sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri
c. Pendidikan memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam situasi anak dan milihat dari sudut pandang atau pola pikir anak. Dalam suasana seperti ini, anak-anak merasa aman untuk mengungkapkan atau mengeksresikan bakatnya.
Dengan demikian, anak akan merasakan kebebasan psikologis apabila mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain itu, pendidikan hendaknya berfungsi sebagai media pengembangan dan pembinaan bakat anak, sehingga tidak hanya semata-mata menyajikan kumpulan pengetahuan yang bersifat abstrak dan skolastik. Pengenalan bakat dan upaya pengembangannya membantu remaja untuk menentukan pilihan yang tepat dan menyiapkan dirinya untuk mencapai tujuan dan karier kehidupannya.
E. Perkembangan Hubungan Sosial Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1. Pengertian Hubungan Sosial
Menurut knapp (1984) hubungan sosial dapat menyebabkanseseorang menjadi dekat dan merasakan kebersamaan, tetapi dapat pula menyebabkan seseorang menjadi jauh dan tersisih dari suatu hubungan interpersonal.
Kehidupan anak pada dasarnya merupakan kemampuan berhubungan dan berinteraksi dengan lingkungan sosial budayanya. Pada proses interaksi sosial ini faktor intelektual dan emosional mengambil peran yang sangat penting. Proses sosial tersebut merupakan proses sosialisasi yang menempatkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif melakukan proses sosialisasi, internalisi, dan enkulturasi. Sabab, manusia tumbuh dan berkembang di dalam konteks lingkungan sosial budaya. Lingkungan itu dapat dibedakan atas lingkungan fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Lingkungan sosial memberi banyak pengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak, terutama kehidupan sosiopsikologis.
Kebutuhan bergaul dan berhubungan sosial orang lain ini mulai dirasakan sejak anak berumur enam bulan. Pada saat itu, anak telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu, ayah, dan anggota keluarganya. Anak mulai mengenal dan mampu membedakan perilaku sosial, seperti marah, seyum, dan kasih sayang. Ia akhirnya menyadari bahwa manusia itu saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi dan mempertahankan kehidupan di masyarakat.

2. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan, remaja mulai memerhatikan berbagai nilai dan norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku di keluarganya. Ia mulai memahami nilai dan norma pergaulan dalam kelompok remaja, kelompok anak-anak, kelompok dewasa, dan kelompok orang tua. Pergaulan dengan sesama remaja lawan jenis dirasakan sangat penting, tetapi tidak mudah dilakukan. (Menurut Dacey dan Kenny, 1997) remaaja yang tetap tergantung secara emosional pada orang tuanya mungkin dirinya selalu merasa enak, mereka terlihat kurang kompeten, kurang percaya diri, kurang berhasil dalam belajar, dan bekerja dibandingkan remaja yang mencapai kebebasan emosional.
Erikson mengemukakan bahwa perkembangan remaja sampai jenjang usia dewasa melalui 8 tahapan. Perkembangan remaja berada pada tahap keenam dan ketujuh, yaitu masa menemukan jati diri dan memilih kawan akrab. Sering anak menemukan jati dirinya sesuai dengan ata berdasarkan situasi kehidupan yang mereka alami. Banya di antara mereka yang amat percaya pada kelompoknya dalam menemukan jati dirinya. Dalam hal ini, Erikson berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang didorong oleh pengaruh sosiokulktural. Berbeda dengan pandangan Sigmud Freud bahwa kehidupan sosial remaja (pergaulan dengan sesama remaja terutama dengan lawan jenis) didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksualnya.
Penyesuaian diri dalam kelomompok kecil yang terdiri dari pasangan remaja berbeda jenis tetap menjadi permasalahan yang cukup berat. Dalam proses penyesuaian diri, kemampuan intelektual dan emosional mempunyai pengaruh yang kuat. Saling pengertian akan kekurangan dan kelebihan masing-masing dan upaya menahan sikap menonjolkan diri atau dominasi terhadap pasangannya, memerlukan tindakan intelektuak yang tepat dan kemampuan mengendalikan emosional. Dalam hal hubungan sosial yang lebih khusus, yang mengarah pada pemilihan pacar dan pasangan hidup, pertimbangan faktor agama dan suku bangsa menjadi masalah yang amat rumit. Perimbangan masalah agama dan suku bangsa ini bukan saja menjadi kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan, tetapi juga menyangkut kepentingan keluarga dan kelompok masyarakat yang lebih beser (sesama agama atau sesama suku).

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi perkembangan Sosial
Perkembangan sosial dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain keluarga, status sosial ekonomikeluarga, tingkat pendidikan, dan kemampuan mental, terutama emosi dan inteligensi.

1) Faktor keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama yang memberikan banyak pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangaan sosial anak. Keluarga merupakan media sosialisasi yang paling efektif bagi anak. Menurut Lamborn dan Steinderg (1993) hubungan orang tua dengan anak yang suportif memungkinkan untuk perasaan positif dan negative, yang membantu perkembangan kopetensi sosial dan otonomi yang bertanggung jawab. Sedangkan menurut Santrock (1995) remaja yang memiliki hubungan yang nyaman dan harmonis dengan orang tuanya memiliki harga diri dan kesejahteraan emosional yang lebih baik, sebaliknya, ketidakdekatan emosional dengan orang tua berhubungan dengan perasaan-perasaan akan penolakan oleh orang tua yang lebih besar serta perasaan lebih rendahnya daya tarik sosial dan romantic yang dimiliki diri sendiri. Dalam keluarga berlaku nilai dan norma kehidupanyang harus diikuti dan dipatuhi oleh anak. Sikap orang tua yang terlalu mengekang dan membatasi pergaulan akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial bagi anak-anaknya. Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu memberikan kebebasan bergaul menyebabkan perkembangan sosial anak-anaknya cenderung tidak terkendali.
2) Kematangan
Proses sosialisasi tentu saja memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk memberi dan menerima pandangan atau pendapat orang lain diperlukan kematangan intelektual dan emosional. Selain itu, kematangan mental dan kemampuan berbahasa ikut pula menentukan keberhasilan seseorang dalam berhubungan sosial. Menurut Davidoff (1988) kemantangan merupakan suatu potensi yang dibawa individu sejak lahir timbul dan bersatu dengan pembawaanya serta turut mengatur pola perkembangan tingkah laku individu. Sedangkan menurut Chaaplin (2002) mengartikan kematangan sebagai perkembangan proses mencapai kemasakan atau usia masak, proses perkembangan yang dianggap berasal dari keturunan, atau merupakan tingakah laku khusus spesies. Dan menurut Myers (1996), mengatakan bahwa kematangan adalah biological growth processes that enable ordely in behavior, relatively uninfluenced by experience. Kemudian menurut Zigler dan Stavenson (1993), kematangan adalah the ordely physiological changes that occur in all species over time and that appear to unfold according to a genetic blueprint.
3) Status sosial ekonomi
Kehidupan sosial dipengaruha pula oleh kondisi atau sosial ekonomi kelurga. Masyarakat akan memandang seseorang anak dalam konteksnya yang utuh dengan keluarga anak itu. Dari pihak anak itu sendiri, perilakunya akan memlihatkan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya, ia akan menjaga status sosial dan ekonomikeluarganya. Hal itu mengangkibatkan anak akan menempatkan dirinya dalam pergaulan sosial yang tidak tepat. Kondisi demikian dapat berakibat lebih jauh, yaitu anak menjadi terisolasi dari kelompoknya. Akibat lain, anak-anak dari keluarga kaya akan membentuk kelompok elit dengan nilai dan norma sendiri.

4) Pendidikan
Pendidikan merupakan media sosialisasi yang terarah bagi anak. Sebagai proses pengoperan ilmu yang normatif, pendidikan akan memberi warna terhadap kehidupan sosial anak di masa yang akan datang. Pendidikan untuk membentuk kepribadian anak agar mereka memiliki tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, siswa bukan saja dikenalkan dan ditanamkan nilai dan norma keluarga dan masyarakat, tetapi juga nilai dan norma kehidupan bangsa dan negara.
5) Kapasitas mental: emosi dan Inteligensi
Kapasitas emosi dan kemampuan berpikir memengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, berbahasa, dan menyesuaikan diri terhadap kehidupan di masyarakat. Perkembangan emosi dan inteligensi berpengaruh terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi dan memiliki emosi stabil akan mampu memecahkan berbagai masalah hidupnya di masyarakat. Oleh karena itu, kemampuan intelektual tinggi, pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hak ini akan mudah di capai oleh remaja yang berkemampuan intelektual tinggi.
4. Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
Dalam perkembangan sosial, para remaja dapat memikirkan perihal dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah pada penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulan dengan orang lain. Pemikiran remaja sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritisnya terhadap situasi dari orang lain, termasuk orang tuanya. Setiap pendapat orang lain dibandingkan dengan teori yang diikuti atau diharapkannya. Sikap kritis ini juga ditunjukkandalam hal-hal yang sudah umum baginya pada masa sebelumnya,sehingga ia merasa bahwa tata cara, adat istiadat yang berlakudi lingkungan keluarga bertentangan denga sikap kritis yang tampak pada pelakunya.
Pengaruh egosentri masih sering terlihat pada pikiranremaja, karena hal berikut:
a. Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalumenitikberatkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan kegagalan dalam menyelesaikan perseoalan.
b. Kemampuan berpikir dengan pendapat sendiri belum disertai pandapat orang lain dalam penilaiannya. Masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain daripada tujuan perhatian sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri dianggap sama dengan pandangan orang lain mengenai dirinya.
Proses penyesuaian diri yang dilandasi sifat egonya dapat menimbulkan reaksi lain, yaitu melebih-lebihkan diri dalam penilaian diri. Mereka merasa dirinya “ampuh” atau “hebat” sehingga berani menentang malapetaka dan menceburkan diri dalam aktivitas yang mengancan pikiran atau rencana. Aktivitas yang dilakukan pada umumnya tergolong aktivitas yang membahayakan.
Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, sifat egonya semakin berkurang. Pada akhirnya masa remaja, pengaruh egosentrisitas sudah sedemikian kecilnya, sehingga ia dapat berhubungan dengan orang lain tnpa harus meremehkan pendapat dan pandangan orang lain.
5. Mengambangkan Keterampilan Sosial pada Remaja
Sebagai makhul sosial, remaja dituntut untuk mampu mengatasi segala permasalahan yang timbul sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan sosial dan mampu meampilkan diri sesuai untuk dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh kerena itu, ia dituntut untuk menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Keterampilan-keterampilan tersebut biasanya disebut sebagai aspek psikososial. Keterampilan tersebut arus mulai dikembangkan sejak anak-anak, misalnya dengan memberikan waktu yang cukup bagi anak-anak untuk bermai atau bercanda dengan teman-teman sebaya, memberikan tugas dan tanggung jawab sesuai perkembangan anak, dan sebagainya. Dengan mengembangkan keterampilan tersebut sejak dini, anak akan mudah memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga ia dapat berkembang secara normal dan sehat.
Berdasarkan kondisi tersebut amatlah penting bagi remaja untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan sosial dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Permasalahannya adalah bagaimana cara melakukan hal tersebut dan aspek-aspek apa saja yang harus diperhatikan.
Menurut hasil studi Davis dan Forsythe (1984), dalam kehidupan remaja terdapat delapan aspek yang menuntut keterampilan sosial (social skills), yaitu keluarga, kepribadian, rekreasi, pergaulan dengan lawan jenis, pendidikan\sekolah, persahabatan dan solidaritas kelompok, dan lapangan kerja.
a. Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan pendidikan. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga aka sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken home sehinga tidak mendapatkan kepuasan psikis yang cukup akan sulit mengembangkan keterampilan sosialnya. Hal ini dapat terlihat dari:
 Kurang adanya saling pengertian (low mutual understanding)
 Kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua dan saudara
 Kurang mampu berkomunikasi secara sehat
 Kurang mampu mandiri
 Kurang mampu memberi dan menerima sesama saudara
 Kurang mampu berkerja sama
 Kurang mampu mengadakan hubungan yang baik
Keharmonisan dalam hal ini tidaklah selalu identik dengan adanya orang tua utuh, ayah dan ibu sebab dalam banyak kasus, orang tua single terbukti dapat berfungsi efektif dalam membantu perkembangan psikososial anak. Hal yang paling penting diperhatikan oleh orang tua adalah menciptakan suasana yang demokratis di dalam keluarga sehingga remaja dapat menjalin komunikasi yang baik dengan orang tua maupun saudara-saudaranya. Dengan adanya komunikasi timbal balik antara anak dan orang tua, segala konflik yang timbul akan mudah diatasi. Sebaliknya kounikasi yang kaku, dingin, terbatas, menekan, penuh otoritas, hanya akan memunculkan berbagai konflik berkepanjangan sehingga suasana menjadi tegang, panas, emosional.


b. Linkungan
Sejak dini, anak-anak harus sudah diperkenalkan dengan lingkungan. Lingkungan dalam batasan ini meliputi lingkungan fisik (rumah,pekarangan) dan lingkungan sosial (tetanga), lingkungan keluarga (keluarga primer & sekunder), lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakt luas. Dengan pengenalan lingkungan sejak dini, anak sudah mengetahui bahwa diamemiliki lingkungan sosial yang luas, tidak hanya terdiri dari orang tua, saudara, atau kakek dan nenek saja.
c. Kepribadian
Secara umum, penampilan sering diindentikkan dengan manifestasi dari kepribadian seseorang, padahal sebenarnya tidak demikian kerena apa yang tampil tidak selalu mengambarkan pribadi yang sebenarnya (bukan aku yang sebenarnya). Dalam hal ini amatlah penting bagi remaja untuk tidak menilai seseorang berdasarkan penampilan tidak menarik. Di sinilah pentingnya orang tua memberikan penanaman nilai-nilai yang memghargai harkat dan mertabat orang lain tanpa mendasrkan pada hal-hal fisik, seperti materi atau penampilan.
d. Rekreasi
Rekreasi merupakan kebutuhan sekunder yang sebiliknya dapat terpenuhi. Dengan rekreasi, seseorang akan merasa mendapat kesegaran fisik maupun psikis, sehingga terlepas dari rasa capek, bosan, menoton, serta mendapatkan semagat baru.
e. Pergaulan dengan lawan jenis
Untuk menjalankan peran menurut jenis kelamin, anak dan remaja seyogianya tidak dibatasi pergaulannya hanya dengan teman-teman yang memiliki jenis kelamin yang sama. Pergaulan dengan lawan jenis akan memudahkan anak dalam mengidentifikasi sex role behavior yang menjadi sangat penting dalam persiapan berkeluarga maupun berkeluarga.
f. Pendidikan
Pada dasarnya, sekolah mengajarkan berbagai keterampilan kepada anak. Salah satu keterampilan tersebut adalah keterampilan sosial yang dikaitkandengan car-cara belajar yang efisien dan berbagai teknik belajar sesuai dengan jenis pelajarannya. Dalam hal ini peran orang tua adalah menjaga agar keterampilan-keterampilan tersebut tetap dimiliki oleh anak dan dikembangkan terus-menerus sesuai tahap perkembanggannya. Menurut Deutsch (1993), pendidikan merupakan salah satu konteks yang memberikan peranan penting dalam pengembangan keterampilan sosial anak dan remaja.
g. Persahabatan dan solidaritas kelompok
Pada masa remaja, peran kelompok dan teman-teman amatlah besar. Sering remaja bahkan lebih memmentingkan urusan kelompok dibandingkan urusan dengan keluarga. Hal tersebut merupakan suatu yang normal sejauh kegiatan yang dilakukan remaja dan kelompoknya bertujuan positif dan tidak merugikan orang lain. Dalam hal ini orang tua perlu memberikan dukungan sekaligus pengawasan agar remaja dapat memiliki pergaulan yang luas dan bermanfaat bagi perkembangan psikososialnya. Menurut Mc.Devitt dan Ormrod (2002) mendenifisikan friendship sebagai: peer relation ship that is foluntary and reciprocal and includes sareth routines and customs, sedangkan menurut Santrock (1998) mengatakan bahwa persahabatan adalah keakraban dan kesamaan.
h. Lapangan kerja
Cepat atau lambat, setiap orang pasti akan menghadapi dunia kerja. Keterampilan sosial untuk memilih lapangan kerja sebenarnya telah disiapkan sejak anak masuk sekolah dasar. Melalui berbagai pelajaran di sekolah, mereka telah mengenal berbagai lapangan perkerjaan yang ada dalam masyarakat. Setelah masuk SLTA, mereka mendapat bimbingan kariar untuk mengarahkan karier masa depan. Dengan memahami lapangan krjadan keterampilan-keterampilan sosial yang membutuhkan, remaja yang terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi akan siap untuk berkerja.
i. Meningkatkan kemampuan penyesuaian diri
Untuk menumbuhkan kemampuan penyesuaian diri, sejak anak awal diajarkan untuk lebih memahami dirinya sendiri (kelebihan dan kekurangannya) agar ia mampu mengendalikan dirinya sehingga dapat bereaksi secara wajar dan noratif. Untuk itu, tugas orang tua\pendidik adalah membekalidiri anak dengan membiasakan untuk menerima dirinya, menerima orang lain, tahu dan mau mengakui kesalahannya, dan sebagainya. Dengan cara ini, remaja tidak akan terkejut menerima kritik atau umpan balik dari orang lain\kelompok, mudah membaur dalam kelompok dan memiliki silidaritas yang tinggi sehingga mudah diterima oleh orang lain\kelompok. Menurut Mustafa Fahmi (1977) pengertian luas tentang proses penyesuaian diri terbentuk sesuai dengan hubungan individu dengan lingkungan sosialnya, yang dituntut dari individu tidak hanya mengubah kelakuanya dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan dirinya dari dalam dan keadaan diluarnya.
6. Implikasi Pengembangan Hubungan Sosial Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Masa remaja merupakan masa mencari jati diri sehingga ia memiliki sikap yang terlalu tinggi dalm menilai dirinya atau sebaliknya. Remaja umumnya belum memahami benar tentang nilai dan norma sosial yang berlaku dalm kehidupan mesyaraktnya. Hal itu menimbulkan hubungan sosial yang kurang serasi dengan sondisi yang terjadi dalam masyarakat.
Pola kehidupan remaja yang berbeda dengan kelompok dewasa dan kelompok anak-anak dapat menimbulkan konflik sosial. Penciptaan kelompok sosial remaja ke arah perilaku yang bermanfaat and dapat diterima oleh masyarakat umum. Di sekolah perlu sering diadakan kegiatan bakti sosial, kelompok belajar, dan kegiatan-kegiatan lainya di bawah asuhan guru pembimbing.
Menurut Baskoro poedinoegroho E (2001), mengatakan reformasi pendidikan yang sedang diupayakan tidak akan berarti jika sikap kritis diri tidak termuat didalamnya. Tanpa landasan sikap kritis diri, reformasi pendidikan hanya sebatas retorika.



F. Perkembangan Bahasa Peserta Didik Usia Sekolah Menegah (Remaja)
1. Pengertian Perkembangan Bahasa
Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam pergaulan atau hubungan dengan orang lain. Bahasa merupakan alat pergaulan , pengunaan bahasa menjadi efektifsejak seseorang individu berkomunikasi denga orang lain. Pada bagia ini, perkembangan bahasa dimulai dengan meniru suara atau bunyi tanpa arti dan diikuti dengan ucapan satu suku kata, dua suku kata, menyusun kalimat sederhana, dan seterusnya. Dengan menggunaka bahasa inilah, ia berhubungan sosial sesuai dengan tingkat perilaku sosialnya.
Belajar bahasa yang sebenarnya baru dilakukan oleh anak berusia 6-7 tahun, saat ia mulai bersekolah. Jadi, perkembangan bahasa adalah meningkatkan kemampuan penguasaan alat berkomunikasi, baik dengan cara lisan, tertulis maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat. Menguasai alat komunikasi di sini diartikan sebagai upaya seseorang untuk dapat memahami and dipahami orang lain.
2. Karakteristik Perkembangan Bahasa Remaja
Pola bahasa yang dimiliki dan dikuasai anak adalah bahasa yang berkembang di dalam keluarga, yang disebut bahasa ibu.
Perkembangan bahasa ibu dilengkapi dan diperkaya oleh bahasa masyarakat tempat mereka tenggal. Hal ini berarti proses pembentukan kepribadian yang dihasilkan dari pergaulan dengan masyarakat sekitar akan memberi ciri khusus dalam perilaku bebbahasa. Pengaruh pergaulan dengan teman sebaya menyebabkan bahasa remaja lebih diwarnai oleh pola bahasa pergaulan yang berkembang di dalam kelompok mesyarakat yang bentuknya amat khusus, seperti istilah “baceman” dikalanga pelajar yang dimaksut adalah bocoran soal ulangan atau tes. Bahsa prokem juga tercipta secara khusus di kalangan ramaja untuk mengunakan istilah-istilah yang lebih halus dan intelek.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan bahasa
Telah disebutkan bahwa berbahasa terkait erat dengan kondisi pergaulan. Oleh sebab itu, perkembangan bahasa seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini:
a. Faktor umur
Bahasa seseorang akan berkembang sejalan dengan pertambahan usia dan pengalamanya. Faktor fisik ikut memengaruhi kerena semakin sempurnanya pertumbuhan organ bicara, serta kerja otot-otot untuk melakukan gerakan-gerakan dan isyarat. Pada masa ramaja, perkembangan biologis yang menunjang kemampuan berbahasa telah mencapai tingkat kematangan, disertai oleh perkembangan intelektual maka remaja akan mampumenunjukan cara-cara bekomunikasi yang baik dan sopan.
b. Faktor kondisi lingkungan
Lingkungan tempat anak umbuh dan berkembang memberi andil yang cukup besar terhadap kemampuan berbahasa. Penggunaan bahasa dilingkungan perkotaan berbeda dengan lingkungan pedesaan. Demikian perkembangan bahasa d daerah pantai, penggunaan, dan daerah daerah terpencil tidaklah sama, sehinggahberkembangberbagaibangsa daerah.
c. Faktor kecerdasan
Untuk meniru bunyi suara, dan mengenal simbol-simbol bahasa diperlukan kemampuan motorik dan intelektual yang baik. Kemampuan motorik berkolerasi fositip dengan kemampuan intelektual. Ketepatan meniru, mengumpulkan perbendaharaan kata-kata menyusun kalimat yang baik, dan memahami maksud perkataan orang lain sangat dipengaruhi oleh kemampuan kerja motorik dan kecerdasan seseorang.
d. Status sosial ekonomi keluarga
Rangsangan yang disediakan untuk ditiru oleh anak-anak dari anggota keluarga yangszosial ekomomi tinggi berada dengan keluarga yang setatus sosial ekonominya rendah. Hal ini tampak dari perkembangan bahasa pada anak-anak yang hidup dari keluarga terdidik. Dengan kata lain, pendidikan dan setatus sosial ekonomi keluarga berpengaruh terhadap perkembangan bahasa anak.
e. Faktor kondisi fisik
Orang yang cacat dan terganggu kesehatannya, seperti bisu, tuli, gagap, atau organ suara tidak sempurna akan terhadap perkembangannya dalam bahasa. Orang yang tuli sejak lahir umumnya tidak mampu mengembangkan bahasanya.
4. Pengaruh Kemampuan Berbahasa Terhadap Kemampuan Berpikir
Tingkat kemampuan berpikir sangat berpengaruh terhadapkemampuan bahasa. Demikian pula sebaiknya, orang yang kemampuan berpikir rendah akan mengalami kesulitan dalam menyusun kata-kata atau kalimat yang baik, logis, dan sistematis. Hal ini tentu saja akan menyulitkan mereka dalam berkomunikasi.
5. Implikasi Pengembangan kemampuan Bahasa Remaja Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan.
Kelompok belajar berdiri dari siswa-siswi yang memiliki variasi bahasa yang berbeda-beda, baik kemampuan maupun polanya. Sehubungan dengan itu, dalam mengembangkan stratagi belajar mengbajar dibidangbahasa, guru perlu memfokus pada kemampuan dan keragaman bahasa anak. Anak diminta untuk melakukan pengulangan (menceritakan kembali) pelajarn yang telah diberikan dengan kata kata yang disusun sendiri. Dengan cara ini, guru dapt melakukan identifikasi tentang pola dan tingkat kemampuan bahasa mereka. Kalimat atau cerita anakten tang isi pelajaran perlu diperkaya dan diperluas oleh agar mereka mampu menyusun cerita yanglebih komprehensif tentang isi bacaan yang telah dipelajarinya dengan menggunakan pola bahasa mereka sendiri.
Perkembangan bahasa yang menggunakan model pengekspresian secara mandiri, baik lisan maupun tulisan, dengan mendasarkan pada bahan bacaan akan lebih mengembangkan kemampuan dan membentuk pola bahasa anak. Dalam penggunaan model ini, guru harus banyak memberikan rangsangan dan koreksi dalam bentuk diskusi atau komunikasi bebas, oleh karena itu, sarana pengembangan berbahasa, seperti buku bacaan, da, surat kabar, majalah dan lain lain hendaknya di sediakan di sekolah.
G. Perkembangan Emosi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Kehidupan anak itu penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Banyak-sedikitnya dorongan dan minat seseorang itu mendasari pengalaman emosionalnya. Apabila dorongan, keinginan atau minatnya dapat terpenuhi, anak cenderung memiliki perkembangan afeksi atau emosi yang sehat dan stabil. Dan demikian, ia dapat menikmati dan mengembangkan kehidupan sosialnya secara sehat pula. Selain itu, ia tidak terhambat oleh gejala gangguan emosi. Sebaliknya, jika dorongan dan keingiannya tidak dapat terpenuhi, disebabkan kurangnya kemampuan untuk memenuhinya ataupun karena kondisi lingkungan yang kurang menjuang, sngat dimungkinkan perkembangan emosionalnya itu akan mengalami gangguan.
1. Pengertian Emosi
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh, perasaan-parasaan tertentu, seperti senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, atau sedih dan gembira. Perasaan yang terlalu menyertai perbuatan-parbuatan kita sehei-hari disebut sebagai warna afektif.warna afektif kadang-kadang kuat, adang-kadang lemah, atau perasaan separti itu dinamakan emosi (sartilo, 1982:59). Beberapa contoh emosi yang lainnya adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, malu, kecewa, benci.
Emosi dan perasaan adalah dua konsep yang berbeda, tetapi perbedaan keduanya tidak dapat dinyatakan secara tegas. Emosidan perasaan merupakan gejala emosionalyang secara kualitatif berkelanjutn, tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat, warna afektik dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi dapat pula disebut sebagai emosi. Minsaslnya, marah yang ditunjukan bentuk diam.Oleh karena itu, emosi dan perasaan tidak mudah untuk dibedakan.

Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahanpada fisik seseorang, seperti:
a. Reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona
b. Peredaran darah bertambah cepat bila marah
c. Denyut jantung bertambanh cepat terkejut
d. Bernapas panjang bila kecewa
e. Pupil mata membesar bila marah
f. Air liur mengering bila takut atau tegang
g. Bulu roma berdiri bila takut
h. Pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang
i. Otot menjadi tegang atau bergetar (tremor)
j. Komposisi darah berubah dan kelenjar-keenjar aktif

2. Karakteristik Perkembangan Emosi
Masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa saat ketegangan emosi meninggi sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar meningginya emosi disebabkan remaja berada di bawah tekanan sosial, dan selama masa kanak-kanak, ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan. Sebagian dari mereka memang mengalami ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyusaian diri terhadap pola perilaku baru dan harapan sosial baru.
a. Cinta/ kasih sayang
Ciri yang menonjol dalam kehidupan remaja adalah adanya perasaan untuk mencintai dan dicintai orang lain. Kapasitas untuk memberi sama pentingnya dengan kemampuan untuk menerima rasa cinta. Remaja tidak dapat hidup bahagia tanpa mendapatkan cinta kasih dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting penting walaupun kebutuhan-kebutuhan terhadap perasaan itu disembunyikan secara rapi.
b. Perasaan gembira
Orang umumnya dapat mengingat kembali pengalaman-pengalaman menyenangkan yang pernah dialami selama masa remaja. Rasa gembira muncul apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan menyenangkan.
c. Kemarahan dan permusuhan
Rasa marah dan permusuhan merupakan gejala emosional yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan nmenojol dalam perkembangan kepribadian remaja. Kita ketahui bahwa dicinta dan dicintai adalah gejala emosi yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian yang sehat.


d. Ketakutan dan cemburuan
Masa remaja telah mengalami serangkaian perkembangan panjang yang memengaruhi pasang surut rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu memeng telah teratasi, tetapi banyak pula yang masih tetap ada, banyak ketakutan baru yang muncul karena adanya kecemasan-kecemasan sejalan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi menunjukan bahwa perkembangan emosi remaja sangat dipengaruhi oleh faktor kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1960:266). Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam memengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan berfikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan menimbulkan emosi terarah pada sato objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menghapal memengaruhi reaksi emosional, dengan demikian, remaja menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak memengeruhi merekan pada usia yang lebih muda.
Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi remaja. Metode yang menujang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut.
a. Belajar coba-coba
Anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa remaja awal dibandingkan masa sesudahnya.
b. Belajar dengan cara meniru
Dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, remaja bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang yang diamati. Remaja yang suka ribut atau merasa populer di kalangan teman-temannya biasanya akan marah bila mendapat teguran gurunya.
c. Belajar dengan cara mempersamakan diri
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
d. Belajar melalui pengodisian
Dengan metode ini objek, situasi yang mulainya gagal memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, mengenal betapa tidak resionalnya reaksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, pengunaan metode pengondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.
e. Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan
Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadao rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Mendekati berakhirnya usia remaja berarti telah melewati banyak badai emosional, sehingga ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya. Ia juga telah belajar dalam seni memyembuyikan perasaan-perasaannya. Halini berarti jika ingin memahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara spontan dan terbuka ia tampakkan.
Remaja tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukan kemarahan secara terbuka. Ia harus diajarkan untuk tidak hanya menyembuyikan kemarahan, tetapi juga perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah. Remaja telah mengalami rasa cinta dan dicinta. Orang tua dan guru hendaklah menyadari perubahan ekspresi pada anak /siswanya karena tidak berarti emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan mereka. Ia tetap membutuhkan perangsangan-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosionalnya. Responsnya berbeda-beda terhadap apa yang sebelumnya dianggap ancaman atau rintangan cita-citanya. Pada akhirnya, ia perlu mempunyai kemampuan untuk memyesuaikan sikap dan perilaku dengan apa yang sedang terjadi padanya. Bertambahnya umur, pengetahuan dan pengalaman berpengaruh signifikan terhadap perubahan irama emosional remaja.
4. Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah laku
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang menjadi gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, jantung berdetak cepat, aliran darah/tekanan darah deras sehingga sistem pencernaan terganggu. Cairan pencernaan atau getah lambung terpengaruh oleh gangguan emosi yang menyenangkan dan releks berpungsi sebagai alat pembantu pencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat atau mengganggupencernaan.
Diantara rangsangan yang dinikmatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau kronis. Kegembiraan yang berlebihan, kecemasan, dan kekhawatiran menyebabkan menurunya kegiatan sistem pencernaan dan bisa juga menyebabkan sembelit. cara penyenbuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab ketegangan emosi.Radang pada lambung tidak dapat disembuhkan ,demikian pula didiare dan sembelit,jika faktor-faktor yang menyebabkan munculkan emosi tidak dihilangkan.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara. ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang yang gagap sering dapat normal berbicara jika dalam keadaan relaks atau tenang. Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi yang menyebabkan kebingungan maka akan menunjukkan kegagapan.
Perilaku ketakutan,malu-malu atau agresif dapat disebabkan ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda terhadap orang. Seorang siswa bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi karena sesuatu yang terjadi pada situasi belajar di kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menjawab soal tes lisan, Akibatnya, ia mungkin menjadi takut ketika menghadapi tes tulisan. Akibatnya, ia memutuskan untuk membolos, atau melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu melarikan diri dari orangtua, guru, atau dari otoritas lain.
5. Mengenal Kecerdasan Emosi Remaja
Masa remaja dikenal dengan masa strorm and, yaitu terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Pada masa remaja (usia 12 sampai dengan 21tahun) terdapat berapa fase (Monks, 1985), yaitu fase remaja awal (usia 12 sampai 15 tahun), remaja petengahan (15 sampai 18 tahun), remaja akhir (usia 18 sampai 21 tahun). Di antaranya juga terdapat fase pubertas yang merupakan fase yang sangat singkat dan terkadang menjadi masalah tersendiri bagi remaja dalam menghadapinya. Fase pubertas ini berkisar 11 atau 12 tahun sampai dengan 16 tahun (Hurlock, 1992) dan setiap individu memiliki variasi tersendiri, pada fase itu, remaja mengalami perubahan dalam sistem kerja hormon dalam tubuhnya dan hal ini memberi dampak pada bentuk fisik (terutama ogan-organ seksual) dan psikis, terutama emosi. Masa pubertas berada tumpang tindih antara masa anak dan masa remaja, sehingga adanya kesulitan pada masa tersebut dapat enyebabkan remaja mengalami kesulitan menghadapi fase-fase perkembangan.
Adapun Cooper dan sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan terpat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional, pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologis dan pemahaman tentang diri.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar terungkap dangan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan.
Kemampuan seseorang memotivasi diri ditelesuri malalui hal-hal berikut: a) cara mengendalikan dorongan hati, b) derajat kecerdasan yang berpengaruh terhadap unjuk rasa seseorang, c) kekuatan berfikir positif, d) optimisme, dan e) keadaan flow (mengikuti keadaan)
c. Menghadapi emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi seseorang di bangun berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
d. Membina hubungan dengan orang lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial.
6. Implikasi Pembangunan Emosi Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Sehubungan dengan emosi remaja yang cenderung benyak melamun dan sulit diterka maka, satu-satunya hal yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab moral. Guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam perkerjaan atau tugas-tugas sekolah, sehingga mereka menjadi lebih mudah ditangani, salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong meraka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Untuk menunjukan kematangannya, remaja terutama laki-laki sering terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa, seseorang guru SMP atau SMA akan dianggap dalam posisi otoritas. Sehingga merupakan target dari pemberontakan mereka. Cara yang paling cepat untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah: 1) mencoba untuk mengerti mereka, dan 2 melakukan segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan siswa di kelas akan dapat dikurangi.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap kondisi tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Oleh karena itu, seseorang guru pembimbing hendaknya tampil berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.






H. Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap peserta Didik Usia Sekolah Menegah (Remaja)
1. Pengertian Nilai, Moral, dan sikap
Proses pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan bentuk sikap dan tingkah laku merupakan proses kejiwaan yang bersifat muskil. Seseorang individu yang ada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyata tidak selalu kerena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai dengan perbuatan baik dan norma sosial. Berbuat sesuatu secara fisik adalah bentuk tingkah laku yang mudah dilihat dan diukur. Akan tetapi, di dalamnya tidak cukup sikap mental yang tidak selalu mudag ditangapi, kecuali ia tidak langsung, misalnya melalui ucapan atau perbuatan yang sangat dapat menggambarkan sikap mental tersebut.
Dalam kaitanya dengan nilai, moral merupakan kontrol dalam sikap dan tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud, misalnya dalam pengamalan nilai tenggang rasa, dalam melakukannya seseorangakan selalu memerhatikan perasaan orang, sehingga tidak berbuat sekendak hatinya. Menurut Santrock,1995 berpendapat bahwa moral adalah sesuatu yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Nilai-nilai kehidupan menyangkut persoalan baik dan buruk, sehinga berkaitan denga persoalan, dalam hal ini aliran psikonalisis tidak tidak membedakan antara sosial, norma, dan nilai (Sarlito, 1991:91). Semua konsep itu menurut Freud menyatu dalam konsepnya tentang seperego. Seper ego dalam teori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku (ego) sehinga tidak bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat.
2. Karakteristik Nilai, Moral, dan Sikap Remaja
Salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok masyarakatnya. Remaja diharapkan menggati konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskan ke dalam kode moral yang berfungsi sebagai pedoman perilakunya. Micheal mengemukakan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja, yaitu sebagai berikut.
a. Pandangan moral individu makin lama menjadi lebih abstrak
b. Keyakinan moral lebih berpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah
c. Penilaian moral yang semakin kognitif mendorong remaja untuk berani mengambil keputusan terhadap berbagai masalah yang dihadapi
d. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mudah dalam arti bahwa penilaian moral menimbulkan ketegangan emosi

Tahap-tahap perkembangan moral dapat dibagi sebagai berikut.
a. Tingkat prakonvensional
Anak tanggap terhadap aturan-aturan budaya dan terhadap ungkapan-ungkapan budaya mengenai baik dan buruk, benar dan salah. Akan tetapi hal ini semata-mata ditafsirkan darisegi sebab akibat fisik atau kenikmatan perbuatan (hukuman, keuntungan, pertukaran kebaikan), tingkat ini dapat di bagi dua tahap:
1) Tahap orientasi hukuman dan keputusan
2) Tahap orientasi relativitas-instrumental

b. Tingkat konvensional
Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau bangsa. Ia memandang bahwa hal tersebut bernilai bagi dirinyasendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Sikapnya bukan hanya konformitas terhadap harapan pribadi dan tata tertib sosial, melaikan juga loyal (setia) terhadapnya dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata-tertib atau norma-norma tersebut serta mengidentifikasikan diri dengan orang tua kelompok yang terlihat di dalamnya, teingkatan ini memiliki dua tahap:
1) Tahap orientasi kesempatan antara pribadi atau orientasi
2) Tahap orientasi hukuman dan keterteban

c. Tingkat pasca-konvensional (otonom/berdasarkan prinsip)
Pada tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang dimiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan selepas pula dari identifikasi individu sendiri dengan kelompok tersebut. Ada dua tehap pada tingkat ini:
1) Tahap orientasi kontrak sosial legalitas
2) Tahap orientasi prinsip etika universal


3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perkembangan Nilai, Moral, dan Sikap
Perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12-16 tahun, gambaran ideal yang diidentifikasikan adalah orang-orang dewasa yang berwibawa atau simpatik, orang-orang terkenal, dan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Para sosiolog berangapan bahwa masyarakat mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempuyai sangsi-sangsi tersendiri buat si pelangar.
Teori perkembangan moral yang di kemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi yang diperoleh dari kebiasaan danhal-hal lainyang berhubungan dengan nilaikebudayaan. Tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spotan pada masa anak-anak (Singgih Gunarsa, 1990:202). Anak memang bekembang melalui interaksi sosial tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dan faktor pribadi anak ikut berperan.
4. Implikasi Pengembangan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya, proses yang dilalui seseorang delam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami para ahli (Surakmad, 19980:17). Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseorang bhanya dapat didekati memalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gekala tingkah laku orang tersebut, mampu membandingkan dengan gejala serta tingkah laku orang lain. Di antara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalag proses terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disusul oleh penghayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh dala diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jaln pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai, tetapi juga dijiwai oleh nilai-nilai tersebut.






BAB 4. KONSEP KEBUTUHAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

A. Konsep Kebutuhan Individu
Individu adalah pribadi yang utuh dan kompleks. Kekompleksan tersebut dikaitkan dengan kedudukannya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Menurut Afrooz (1996) need adalah a natural requerment we should be satisfied in order to socure a better organic compatibility.sedangkan menurut chaplin (2002) mendefenisikan kebutuhan sebagai satu substansi seluler yang harus dimiliki oleh organisme tersebut dapat tetap dan sehat.
. Kebutuhan sosial psikologis semakin banyak dibandingkan dengan kebutuhan fisik karena pengalaman kehidupan sosialnya semakin luas. Kebutuhan itu timbul karena adanya dorongan-dorongan (motif). Dorongan adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu (Sumadi, 1971: 70; Lefton, 1982:137). Lefton (1982) menyatakan bahwa kebutuhan dapat muncul karena keadaan psikologis yang mengalami goncangan atau ketidakseimbangan. Munculnya kebutuhan tersebut untuk mencapai keseimbangan atau keharmonisan hidup.
Kebutuhan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan primer pada hakikatnya merupakan kebutuhan biologis atau organik dan umumnya merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif asli. Contoh kebutuhan primer, antara lain adalah: makan, minum, bernapas, dan kehangatan tubuh. Pada tingkat remaja dan dewasa, kebutuhan primer ini dapat bertambah, yaitu kebutuhan seksual.
Adapun kebutuhan sekunder umumnya merupakan kebutuhan yang didorong oleh motif yang dipelajari, seperti kebutuhan untuk mengejar pengetahuan, kebutuhan untuk mengikuti pola hidup bermasyarakat, kebutuhan akan hiburan, alat transportasi, dan semacamnya.
Cole dan Bruce (1959) (Oxendine, 1984:227) membedakan kebutuhan menjadi dua kelompok, yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan psikologis. Pengelompokan ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Murray (1938) (Oxendine, 1984:227) yang mengajukan istilah yang berbeda., yaitu kebutuhan viscerogenic dan kebutuhan psychogenic. Beberapa contoh kebutuhan fisiologis adalah: makan, minum, istirahat, seksual, perlindungan diri, sedangkan kelompok kebutuhan psikologis, seperti yang dikemukakan Maslow (1943) mencakup (i) kebutuhan untuk memiliki sesuatu, (ii) kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, (iii) kebutuhan akan keyakinan diri, dan (iv) kebutuhan aktualisasi diri.
Dalam perkembangan kehidupan yang semakin kompleks, pemisahan jenis kebutuhan yang didorong oleh motif asli dan motif-motif yang lain semakin sukar dibedakan.
Kebutuhan social psikologis seorang individu terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan kondisi kehidupannya yang semakin luas dan komleks. Freud mengemukakan bahwa sikap dan perilaku manusia didorong oleh factor seksual (dorongan seksual) dengan yang teorinya yang terkenal sebagai teori libido seksual. Pandangannya tentang konsep diri juga dikaitkan dengan teori libido seksual ini. Ia mengemukakan bahwa prinsip kenikmatan senantiasa mendasari perkembangan sikap dan perilaku manusia, dan dengan prinsip itu, ia menyatakan bahwa factor pendorong utama perilaku manusia adalah dorongan seksual.
Namun Freud menjadi terkenal sehubungan dengan pandangannya yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam perkembangan manusia terjadi pertentangan antara kebutuhan insting pribadi dan tuntutan masyarakat. Dalam pendekatannya terhadap pembentukan kepribadian, ia mengemukakan perlunya penyelesaian pertentangan tersebut dengan pendekatan analisis psikologik, sehingga teori Freud itu terkenal dengan teori psikoanalisis.
Menurut teori Freud, struktur kepribadian seseorang berunsurkan tiga komponen utama, yaitu ; id, ego, dan superego. Ketiganya merupakan factor-faktor penting yang mendorong terbentuknya sikap dan perilaku manusia serta struktur pribadi. Teori psikoanalisis Freud diawali dengan mengemukakan asumsi bahwa dorongan utama yang pada hakikatnya berada pada id, senantiasa akan muncul pada setiap perilaku.
Kebutuhan psikologis muncul dalam kehidupan manusia, saperti apa yang dialami setiap hari secara emosional; yaitu: senang, puas, susah, lega, kecewa, dan semacamnya. Karena hidup bersama di dalam masyarakat, manusia ingin mengatur dan mengikuti peraturan yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, sekalipun kadang-kadang hal ini amat sukar. Untuk itu, manusia belajar memahami norma-norma atau sifat-sifa norma, artinyo perilaku manusia diarahkan dan disesuaikan dengan kehidupan bermasyarakat.

B. Kebutuhan Dasar Individu
Pada bayi, perilakunya didominasi oleh kebutuhan-kebutuhm biologis, yakni kebutuhan untuk mempertahankan diri. Kebutuhm ini disebut definciency need artinya kebutuhan untuk pertumbuhan dan memang diperlukan untuk hidup (survival). Kemudian, pada masa kehidupan berikutnya, muncul kebutuhan untuk mengembangkan diri. Berkembangnya kebutuhan ini terjadi karena pengaruh faktor lingkungan dan faktor belajar, seperti kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan untuk memiliki (yang ditandai berkembangnya "aku" manusia kecil). Kebutuhan harga diri, kebutuhan akan kebebasan, kebutuhan untuk berhasil, dan munculnya kebutuhan untuk bersaing dengan yang lain. Menurut Maslow indikasi dari kebutuhan akan rasa aman pada anan-anak adalah kebergantungan.
kebutuhan yang paling mendasar adalah kebutuhan yang berkaitan dengan kepentingan jasmaniah atau organisme, baik yang berkaitan dengan usaha mengembangkan diri, memperoleh keamanan, maupun mempertahankan diri.
Menurut Lewis dan Lewis (1993), kegiatan remaja atau manusia itu didorong oleh berbagai kebutuhan, yaitu:
a. kebutuhan jasmaniah,
b. kebutuhan psikologis,
c. kebutuhan ekonomi,
d. kebutuhan sosial,
e. kebutuhan politik,
f. kebutuhan penghargaan, dan
g. kebutuhan aktualisasi diri.

C. Kebutuhan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja) dan Pemenuhannya
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Hall (dalam Libert dan kawan-kawan, 1974:47B) memandang masa remaja ini sebagai masa ''storm and stress”. Ia menyatakan bahwa selama masa remaja, banyak masalah yang dihadapi karena remaja itu berupaya menemukan jati diri (identitasnya) - kebutuhan aktualisasi diri. Usaha penemuan jati diri remaja dilakukan dengan berbagai pendekatan agar ia dapat mengaktualisasi diri secara baik. Beberapa jenis kebutuhan remaja dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok kebutuhan, yaitu:
1. Kebutuhan organik, yaitu makan, minum, bernapas, seks;
2. Kebutuhan emosional, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan simpati dan pengakuan dari pihak lain dikenal dengan n'Aff.
3. Kebutuhan berprestasi atau need of achievement (yang dikenal dengan n'Ach), yang berkembang karena didorong untuk mengembangkan potensi yang dimiliki dan sekaligus menunjukkan kemampuan psikofisis; dan
4. Kebutuhan untuk mempertahankan diri dan mengembangkan jenis


Pertumbuhan fisik dan perkembangan sosial-psikologis pada masa remaja pada dasarnya merupakan kelanjutan, yang dapat diartikan penyempurna proses pertumbuhan dan perkembangan dari proses sebelumnya. Pertumbuhan fisik yang ditandai munculnya tanda-¬tanda kelamin sekunder merupakan awal masa remaja sebagai indicator menuju tingkat kematangan funqsi seksualnya.
Remaja membutuhkan pengakuan akan kemampuannya, yang menurut Maslow kebutuhan ini disebut kebutuhan penghargaan. Remaja membutuhkan penghargaan dan pengakuan bahwa ia (mereka) telah mampu berdiri sendiri, mampu melaksanakan tugas-tugas seperti yang dilakukan oleh orang dewasa, dan dapat bertanggung jawab atas sikap dan perbuatan yang dikerjakannya. ¬Faktor nonfisik, yang secara integratif tergabung di dalam factor sosial-psikologis dijiwai oleh tiga dasar yang dimiliki manusia, yaitu pikir, rasa, dan kehendak. Ketiganya secara potensial mendorong munculnya berbagai kebutuhan.
Beberapa masalah yang dihadapi remaja sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhannya dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Upaya untuk mengubah sikap dan perilaku kekanak-kanakan menjadi sikap dan perilaku dewasa, tidak semuanya dapat dengan rnudah dicapai, baik oleh remaja laki-laki maupun perempuan. Pada masa ini, remaja menghadapi tugas-tugas dalam perubahan sikap dan perilaku yang besar, sedang di pihak lain harapan ditumpukan pada remaja muda untuk meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan sikap dan pola perilaku. Kegagalan dalam mengatasi ketidakpuasan ini dapat mengakibatkan menurunnya harga diri, dan akibat lebih lanjut dapat menjadikan remaja bersikap keras dan agresif atau sebaliknya tidak percaya diri, pendiam atau kurang harga diri.
2. Sering para remaja mengalami kesulitan untuk menerima perubahan-perubahan fisiknya. Hanya sedikit remaja yang merasa puas dengan tubuhnya. Hal ini disebabkan pertumbuhan tubuhnya dipandang kurang serasi. Ketidakserasian proporsi tubuh ini sering menimbulkan kejengkelan karena ia (mereka) sulit untuk mendapatkan pakaian yang pantas, juga hal itu tampak pada gerakan atau perilaku yang kelihatannya wagu dan tidak pantas.

3. Perkembangan fungsi seks pada masa ini dapat menimbulkan remaja untuk memahaminya, sehingga sering terjadi salah tingkah dan perilaku yang menentang norma. Pandangannya terhadap sebaya lain jenis kelamin dapat menimbulkan kesulitan dalam pergaulan. Remaja laki-laki akan berperilaku “menentang norma” dan remaja perempuan akan berperilaku “mengurung diri” atau menjauhi pergaulan dengan sebaya lain jenis. Apabila kematangan seksual itu tidak mendapat pengarahan atau penyaluran yang tepat, dapat berakibat negatif Konsekuensi yang diderita sering berbentuk pelarian yang bertentangan dengan norma susila dan sosial, seperti homoseksua, lari ke kehidupan “hitam” atau melacur, dan semacamnya. Remaja pria secara berkelompok kadang--kadang mencoba pergi bersama-sama ke lokasi “berlampu merah” atau lokasi WTS.
4. Dalam memasuki kehidupan bermasyarakat, remaja yang terlalu mendambakan kemandirian, dalam arti menilai dirinya cukup mampu untuk mengatasi problem kehidupan, kebanyakan akan menghadapi masalah, terutama masalah penyesuaian emosional, seperti perilaku yang over acting, “lancang", dan semacamnya. Kehidupan bermasyarakat banyak menuntut remaja untuk banyak menyesuaikan diri, namun yang terjadi tidak semuanya selaras. Dalam hal terjadi ketidakselarasan antara pola hidup masyarakat dan perilaku yang menurut para remaja, dapat berakibat kejengkelan. Remaja merasa selalu “disalahkan” dan akibatnya mereka frustasi dengan tingkah lakunya sendiri.
5. Harapan-harapan untuk dapat berdiri sendiri dan hidup mandiri, secara sosial ekonomis akan berkaitan dengan berbagai masalah untuk menetapkan pilihan jenis pekerjaan dan jenis pendidikan. Penyesuaian sosial merupakan salah satu yang sangat sulit dihadapi oleh remaja, yaitu keragaman norma dalam kehidupan bersama dalam masyarakat, norma dalam kehidupan sebaya remaja dan kuatnya pengaruh kelompok sebaya.

6. Berbagai norma dan nilai yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat merupakan masalah tersendiri bagi remaja; sedang di pihak remaja, ia merasa memiliki nilai dan norma kehidupan yang dirasa lebih sesuai. Dalam hal ini ia menghadapi perbedaan nilai dan norma kehidupan. Menghadapi perbedaan norma ini merupakan kesulitan tersendiri bagi kehidupan remaja. Sering perbedaan norma yang berlaku dan norma yang dianutnya menimbulkan perilaku yang menyebabkan dirinya dikatakan “nakal”.






D. Kemandirian Sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja
1. Pengertian Kemandirian
Kemandirian menurut Erikson (1989) adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego yaitu merupakan perkembangan kearah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Sedangkan Kemandirian, menurut Sutari Imam Barnadib (1982), meliputi “perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan/masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain”. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Kartini dan Dali (1987) yang mengatakan bahwa kemandirian adalah “hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri”. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian:
1. Keadaan seseorang yang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi kebaikan dirinya,
2. Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
3. Memiliki kepercayaan diri dalam mengerjakan tugas-tugasnya,
4. Bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya.

Robert Havighurst (1972) menambahkan bahwa kemandirian terdiri dari beberapa aspek, yaitu:
a. Emosi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengontrol emosi dan tidak bergantung kepada orangtua.
b. Ekonomi, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan mengatur ekonomi dan tidak bergantungnya kebutuhan ekonomi pada orangtua.
c. Intelektual, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.
d. Sosial, aspek ini ditunjukkan dengan kemampuan, untuk mengadakan interaksi dengan orang lain dan tidak bergantung atau menunggu aksi dari orang lain.


3. Proses Perkembangan Kemandirian

Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Contoh: untuk anak-anak usia 3-4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dan lain-lain. Sementara untuk anak remaja, berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau memberikan kesempatan kepadanya untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika ia keluar malam bersama temannya tentu saja orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan sang remaja tersebut sehubungan de'ngan keputusannya. Dengan memberikan latihan-latihan tersebut (tentu saja harus ada unsur pengawasan dari orangtua untuk memastikan bahwa latihan tersebut benar-benar efektif), diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertarnbah pula kemampuan anak untuk berpikir secara objektif, tidak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak bergantung pada orang lain sehingga kemandirian akan berkembang dengan baik.

3. Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis Remaja
Memperoleh kebebasan (mandiri) merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut, remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya.
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dengan remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima (bahkan dapat juga menolak) pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan social pertama tempat remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman.

4. Peran Orangtua terhadap Pembentukan Kemandirian Remaja
Bagaimana orangtua harus bertindak dalam menyikapi tuntutan kemandirian seorang remaja, berikut ini terdapat beberapa saran yang layak dipertimbangkan.
a. Komunikasi
b. Kesempatan
c. Tanggung Jawab
d. Konsistensi
Konsistensi orangtua dalam menerapkan disiplin dan menanamkan nilai-nilai sejak masa kanak-kanak dalam keluarga ini menjadi panutan bagi remaja untuk mengembangkan kemandirian dan berpikir secara dewasa. Orangtua yang konsisten memudahkan remaja dalam membuat rencana hidupnya sendiri, dapat memilih berbagai alternatif karena segala sesuatu sudah dapat diramalkan olehnya.

E. Kepercayaan Diri sebagai Kebutuhan Remaja
1. Pengertlan Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini akan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut bahwa ia merasa memiliki kompetensi, yakin mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri.
2. Karakteristik Individu yang Percaya Diri
Baberapa cirri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri yang proporsional, di antaranya adalah berikut ini.
a. Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak memhutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun hormat orang lain.
b. Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh orang lain atau kelompok.
c. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri sendiri.
d. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).
e. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan, bergantung pada usaha diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak bergantung/mengharapkan bantuan orang lain).




4. Perkembangan Rasa Percaya Diri

a. Pola Asuh
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat sering maletakkan standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan anak, atau membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa sadar, menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah prestasi atau penerimaan sosial. Contoh kasus yang real pernah terjadi di tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima masuk di jurusan Al (IPA), meskipun dia sudah bersekolah di tempat yang elit; rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di Al atau paling tidak A2, agar kelak bisa menjadi dokter.

b. Polo pikir negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah, kejadian, bertemu orang-orang baru, dan sebagainya.
 Labeling: mudah menyalahkan diri sendiri dan mamberikan sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”… “Saya ditakdirkan untuk menjadi orang susah”, dan sebagainya.
 Sulit menerima pujian atau hal-hal positif dari orang lain: ketika orang memuji secara tulus, ia langsung merasa tidak enak dan menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan untuk menerima tugas atau peran yang penting, ia langsung menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
 Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri: senang mengingat dan bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil membuatnya merasa menjadi orang tidak berguna.

4. Memupuk Rasa Percaya Diri
a. Evaluasi diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara objektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan” pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belurn, keahlian yang dimiliki, serta kesempatan atau sarana yang mendukung kemajuan diri.
Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan diri Anda, seperti: pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah, kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, selalu bergantung pada bantuan orang lain, atau sebab-sebab eksternal lain.


b. Beri Penghargaan yang Jujur terhadap Diri
Sadari dan hargailah sekecil keberhasilan dan potensi yang Anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini. Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan yang tepat menuju masa depan. Contoh: ingin cepat kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara.

c. Positive thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang muncul dalam benak Anda. Katakan pada diri sendiri. Jangan biarkan pikiran negative berlarut-larut karena tidak sadar, pikiran itu akan terus berakar, bercabang, dan berdaun. Semakin besar dan
menyebar, makin sulit dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan
pikiron negatif menguasai pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena keputusan keliru yang
dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di-review kembali secara logis dan asional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata tidak benar.

d. Gunakan self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakon self-affirmation yaitu berupa kata-kata yang membangkitkah rasa percaya diri.
Contohnya:
 Saya pasti bisa!
 Saya adalah penentu dari hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya!
 Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya memahami tantangan.
 Sayalah yang memegang kendali hidup ini.
 Saya bangga pada diri sendiri.


e. Berani mengambil risiko
Jangan mengalami over confidence otau rasa percaya diri yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis bukanlah menggambarkan kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (social), hingga tanpa sadar melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses.

F. Implikasi Pemenuhan Kebutuhan Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan

Pemenuhan kebutuhan fisik atau organik merupakan tugas pokok. Kebutuhan ini harus dipenuhi karena merupakan kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan agar tetap tegar (survival). Tidak berbeda dengan pemenuhan kebutuhan serupa di masa perkembangan sebelumnya, kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh factor ekonomi, terutama ekonomi keluarga.
Khusus kebutuhan seksual, yang juga merupakan kebutuhan fisik remaja, usaha pemenuhannya harus mendapat perhatian khusus dari orangtua, terutama ibu.
Pendidikan seksual di sekolah dan terutama di kalangan keluarga harus mendapatkan perhatian. Program bimbingan keluarga dan bimbingan perkawinan dapat dilakukan secara periodic oleh setiap organisasi ibu-ibu dan organisasi wanita pada umumnya. Sekolah sekali-kali perlu mendatangkan ahli atau dokter untuk memberikan ceramah – penjelasan tentang masalah-masalah remaja, khususnya masalah seksual.
Untuk mengembangkan kemampuan hidup bermasyarakat dan mengenalkan berbagai norma social, amat penting dikembangkan kelompok-kelompok remaja untuk berbagai urusan, seperti kelompok olah raga, kelompok seni dan music, kelompok koperasi, kelompok belajar, dan semacamnya. Pada saat sekolah menyelenggarakan acara-acara tertentu, seperti malam pertemuan, atau perpisahan sekolah, ada baiknya anak-anak ditugasi untuk ikut mengurus atau dilibatkan sebagai panitia penyelenggara.

BAB 5. PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA USIA SEKOLAH MENENGAH
A. Tugas-tugas perkembangan peserta didik usia sekolah menengah (remaja)
Tugas-tugas perkembangan merupakan suatu proses yang menggambarkan perilaku kehidupan sosio-psikologis manusia pada posisi yang harmonis di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas dan kompleks. Proses tersebut merupakan tugas-tugas perkembangan fisik dan psikis yang harus dipelajari, dijalani, dan dikuasai oleh setiap individu.
Secara sadar, pada akhir masa anak-anak, seorang individu akan berupaya untuk bersikap dan berperilaku lebih dewasa dan intelek. Hal ini merupakan “tugas” yang cukup berat bagi para remaja untuk lebih menuntaskan tugas-tugas perkembangannya, sehubungan dengan semakin luas dan kompleksnya kondisi kehidupan yang harus dihadapi dan dijalaninya. Mereka menjalani tugas mempersiapkan diri untuk dapat hidup lebih dewasa, dalam arti mampu menghadapi dan memecahkan masalah, bertindak etis dan normatif serta bertanggungjawab moral. Tugas-tugas perkembangan tersebut oleh Havighurst dikaitkan dengan fungsi belajar karena pada hakikatnya perkembangan kehidupan manusia dipandang sebagai upaya mempelajari nilai dan norma kehidupan sosial budaya agar mampu melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan nyata di masyarakat. Makna “dewasa” dapat diartikan dari berbagai segi, sehingga dikenal istilah dewasa secara fisik, dewasa secara mental, dewasa secara sosial, dewasa secara psikologis, dewasa secara hukum, dan sebagainya.
Havighurst (Garrison, 1956: 14 : 15) mengemukakan 10 jenis tugas perkembangan remaja, yaitu :
1. Mencapai hubungan pertemanan dengan lawan jenisnya secara lebih matang;
2. Mencapai perasaan seks yang diterima secara sosial;
3. Menerima keadaan badannya dan menggunakannya secara efektif;
4. Mencapai kebebasan emosional dari orang dewasa;
5. Mencapai kebebasan ekonomi;
6. Memilih dan menyiapkan suatu pekerjaan;
7. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga;
8. Mengembangkan keterampilan dan konsep intelektual yang perlu bagi warga negara yang berkompeten;
9. Menginginkan dan mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara moral dan sosial;
10. Memahami suatu perangkat tata nilai yang digunakan sebagai pedoman tingkah laku.

Tugas-tugas perkembangan tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan karena remaja adalah pribadi yang utuh secara individual dan sosial. Namun demikian, banyak hal yang harus diselesaikan selama masa perkembangan remaja yang singkat ini.
Memasuki jenjang usia dewasa, telah terbayang berbagai hal yang harus dihadapinya. Bukan saja menghadapi hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan fisik, sosial, dan ekonomi, tetapi juga menghadapi tugas-tugas perkembangan yang berkaitan dengan faktor psikologis, seperti pencapaian kebahagiaan dan kepuasan, persaingan, kekecewaan, dan perang batin yang bisa terjadi karena perbedaan nilai dan norma dalam kehidupan sosial.
B. Hukum-hukum Pertumbuhan dan Perkembangan
Pada setiap makhluk hidup, sejak kelahiran dan dalam menjalani kehidupan seterusnya, terdapat dasar dan pola kehidupan yang berlaku umum sesuai dengan jenis dan spesiesnya. Latar belakang sosial budaya akan mempengaruhi pola pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak. Dengan demikian, akan terbentuk karakteristik-karakteristik yang menjadi pola khusus. Di antara pola-pola khusus itu, bahkan antara pribadi dengan pribadi, juga terdapat perbedaan-perbedaan tertentu.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan itulah diperoleh kecenderungan umum dalam pertumbuhan dan perkembangan, yang selanjutnya dinamakan hukum-hukum pertumbuhan dan perkembangan. Adapun hukum-hukum perkembangan adalah sebagai berikut :
1. Hukum Cephalocoundal
Hukum ini menyatakan bahwa pertumbuhan fisik dimulai dari kepala ke arah kaki. Bagian-bagian pada kepala tumbuh lebih dahulu daripada bagian-bagian lain. Hal ini terlihat pada pertumbuhan prenatal pada janin. Seorang bayi yang baru dilahirkan mempunyai bagian-bagian dan alat-alat pada kepala yang lebih “matang” daripada bagian-bagian tubuh lainnya. Baik pada masa perkembangan prenatal, neonatal, maupun anak-anak, proporsi bagian kepala dengan rangka batang tubuhnya mula-mula kecil dan semakin lama semakin besar.
2. Hukum Proximodistal
Menurut hukum ini, pertumbuhan fisik berpusat pada sumbu dan mengarah ke tepi. Alat-alat tubuh yang terdapat di pusat, seperti jantung, hati, dan alat-alat pencernaan lebih dahulu berfungsi daripada anggota tubuh yang ada di tepi. Hal ini tentu saja karena alat-alat tubuh yang terdapat pada daerah pusat itu lebih vital daripada anggota gerak seperti tangan dan kaki.

3. Perkembangan terjadi dari umum ke khusus
Pada setiap anak terjadi proses perkembangan yang dimulai dari hal-hal yang umum, kemudian sedikit demi sedikit meningkat ke hal-hal yang lebih khusus. Seperti dikemukakan oleh Werner bahwa anak lebih dahulu mampu menggerakkan lengan atas, lengan bawah, tepuk tangan terlebih dahulu daripada menggerakkan jari-jari tangannya.
Pada perkembangan emosinya juga terjadi hal-hal yang sama. Anak menangis bila mengalami hal-hal yang tidak enak, menyakitkan, menyedihkan, atau menjengkelkan dengan reaksi atau respons yang sama.
4. Perkembangan berlangsung dalam tahapan-tahapan perkembangan
Dalam proses perkembangan terjadi tahapan yang terbagi ke dalam masa-masa perkembangan. Pada setiap masa terdapat ciri-ciri perkembangan yang berbeda antara ciri-ciri yang ada pada suatu masa perkembangan dan ciri-ciri yang ada pada masa perkembangan lainnya. Aspek-aspek tertentu yang tidak berlangsung dan tidak meningkat lagi, disebut fiksasi. Aspek intelek pada anak tertentu yang secara konstitusional terbatas pada suatu saat akan terhenti atau sulit dikembangkan. Masalah penahapan atau periodisasi perkembangan ini banyak dipersoalkan oleh para ahli. Pendapat mereka mengenai dasar-dasar penahapan ini serta panjang tiap-tiap tahapan juga bermacam-macam, yang umumnya lebih bersifat teknis daripada konsepsional.
5. Hukum Tempo dan Ritme Perkembangan
Tahapan perkembangan berlangsung secara berurutan, terus menerus, dan dalam tempo perkembangan yang relatif tetap serta berlaku umum. Perbedaan waktu, mengenai cepat lambatnya suatu penahapan perkembangan atau suatu masa perkembangan dijalani, menampilkan adanya perbedaan individual.
Secara umum, ada dua hal sebagai petunjuk keterlambatan pada keseluruhan perkembangan mental, yaitu sebagai berikut :
a. Apabila perkembangan kemampuan fisik untuk berjalan sangat tertinggal dari patokan umum, tanpa ada sebab khusus, fungsionalitas fisiknya terganggu.
b. Apabila perkembangan kemampuan berbicara sangat terlambat dibandingkan dengan anak-anak lain pada masa perkembangan yang sama. Seorang anak yang pada umur empat tahun, misalnya masih mengalami kesulitan berbicara, mengemukakan sesuatu dan terbatas perbendaharaan katanya, ia akan mengalami kelambatan pada seluruh aspek perkembangan mentalnya.

C. Karakteristik Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Istilah asing yang sering dipakai menggambarkan remaja adalah puberteit, adolescentia, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering disebut pubertas atau remaja. Istilah vuberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin pubertas yang berarti usia kedewasaan (the age manhood). Istilah ini berkaitan dengan kata Latin lainnya pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “pusic” (di wilayah kemaluan). Penggunaan istilah ini lebih terbatas dan menunjukkan mulai berkembang dan tercapainya kematangan seksual. Pubescere dan puberty sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual ditinjau dari aspek biologis.
Istilah adolescentia berasal dari kata Latin adulescentis yang artinya masa muda. Adolescensia menunjukkan masa yang tercepat antara usia 12 – 22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut.
Di Indonesia, baik istilah pubertas maupun adolescences dipakai dalam arti umum dengan istilah yang sama, yaitu remaja. Remaja ini sulit didefinisikan secara mutlak sehingga remaja menurut berbagai sudut pandangan.
1. Pengertian remaja menurut hukum
Konsep tentang remaja bukanlah berasal dari bidang hukum, melainkan dari bidang ilmu sosial, seperti sosiologi, psikologi, dan pendidikan. Konsep ini relatif baru, yang muncul setelah era industrialisasi menjadi pusat perhatian ilmu-ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir ini.
Dalam hubungan dengan hukum, tampaknya hanya undang-undang perkawinan saja yang mengenai konsep remaja, walaupun tidak secara terbuka.
2. Remaja Ditinjau dari Sudut Perkembangan Fisik
Dalam ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahapan perkembangan fisik saat alat-alat kelaminnya telah mencapai kematangan. Secara anatomis, keadaan tubuh pada umumnya telah memperoleh bentuknya yang sempurna dan secara faali, alat-alat kelaminnya sudah dapat berfungsi secara baik.
Masa pematangan fisik ini berjalan kurang lebih 2 tahun dan biasanya dihitung sejak menstruasi (haid) pertama pada anak wanita, atau sejak anak pria mengalami mimpi basah (mengeluarkan air mani pada waktu tidur) yang pertama. kematangan seksual akan merangsang remaja untuk memperoleh kepuasan seksual. Hal ini dapat menimbulkan gejala masturbasi.
Masa remaja yang dua tahun ini dinamakan masa pubertas. Pada usia berapa masa puber ini dimulai sulit ditetapkan karena cepat lambatnya menstruasi atau mimpi basah sangat bergantung pada kondisi tubuh masing-masing individu, sifatnya sangat bervariasi. Ada remaja wanita yang sudah menstruasi pada umur 9 tahun, 10 tahun, tetapi ada pula yang baru menstruasi pada usia 17 tahun. Masa remaja ini tumbuh dan berkembang ke arah kematangan, baik secara fisik maupun psikis.
3. Batasan remaja menurut WHO
Menurut definisi yang dirumuskan oleh WHO, remaja adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan saat :
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai ia mencapai kematangan seksual;
b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa;
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial – ekonomi yang penuh pada keadaan yang relatif lebih mandiri.
4. Remaja ditinjau dari faktor sosial psikologis
Selain tanda-tanda seksual, salah satu ciri remaja adalah perkembangan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa. Puncak perkembangan kejiwaan itu ditandai oleh adanya proses perubahan dari kondisi “entropy” ke kondisi “negen-tropy” (Sarlito, 1991: 11).
Entropy adalah keadaan yang menggambarkan bahwa keadaan manusia masih belum tersusun secara rapi. Walaupun sudah banyak (pengetahuan, perasaan dan sebagainya), isi-isi tersebut belum dan terkait dengan baik, sehingga belum bisa berfungsi maksimal.
Selama mas remaja, kondisi entropy ini secara bertahap disusun, diarahkan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi “negative entropy” atau negentropy. Kondisi negentropy adalah keadaan yang menggambarkan bahwa isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan perasaan atau sikapnya.

5. Definisi Remaja untuk Masyarakat Indonesia
Menurut Sarlito, tidak ada profil remaja Indonesia yang seragam dan berlaku secara nasional. Masalahnya adalah Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, dan tingkatan sosial ekonomi maupun pendidikan.
Sebagai pedoman umum, batasan usia remaja Indonesia adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah. Pertimbangan-pertimbangannya adalah sebagai berikut :
a. Usia 11 tahun adalah usia pada yang umumnya tanda-tanda seksual sekunder muali tampak (kriteria fisik).
b. Pada banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balig, baik menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
c. Pada usia tersebut, mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa.
d. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang lain, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara tradisi).
e. Status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih sangat penting dalam masyarakat Indonesia.
Secara umum, pada remaja sering terlihat adanya ciri-ciri berikut ini :
a. Kegelisahan yang menguasai dirinya. Remaja mempunyai banyak keinginan yang tidak selalu dapat dipenuhi. Di satu pihak, mereka ingin mencari pengalaman baru untuk menambah pengetahuan dari keluwesan dalam bersikap dan bertingkah laku.
b. Pertentangan yang terjadi dalam diri mereka juga menimbulkan kebingungan, baik bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Pada umumnya, timbul perselisihan dan pertentangan pendapat dan pandangan antara si remaja dan orang tua atau orang dewasa.
c. Keinginan untuk mencoba segala hal yang belum diketahuinya. Remaja biasanya ingin mencoba apa yang dilakukan oleh orang dewasa. Remaja pria mencoba merokok secara sembunyi-sembunyi, seolah-olah ingin membuktikan bahwa dirinya sudah dewasa. Remaja putri muali bersolek menurut mode terbaru yang sedang ngetren.
d. Keinginan menjelajah ke alam sekitar yang lebih luas, seperti melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pramuka atau himpunan pencinta alam, dan sebagainya.
e. Suka mengkhayal atau berfantasi. Fantasi remaja umumnya berkisar mengenai prestasi dan karier hidupnya. Khayalan dan fantasi ini tidak selalu bersifat negatif, tetapi dapat pula bersifat positif.
f. Suka akan aktivitas berkelompok. Remaja dapat menemukan jalan ke luar dari kesulitan-kesulitannya dengan cara berkumpul-kumpul melakukan kegiatan bersama.

D. Tugas Perkembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier Remaja
1. Pengertian Pendidikan dan Karier
Pendidikan pada hakikatnya adalah media belajar bagi manusia. Adapun karier adalah hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan pekerjaan yang dijalani seseorang.
Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati sepanjang hidupnya, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kehidupan karier merupakan pengalaman dalam proses bekerja untuk mempersiapkan diri memasuki dunia kerja.
2. Karakteristik Kehidupan Pendidikan dan Karier
Belajar dan bekerja itu akan lebih berhasil apabila sesuai dengan minat, bakat dan kebutuhan. Cita-cita tentang jenis pekerjaan atau jabatan di masa yang akan datang merupakan faktor penting yang mempengaruhi minat dan kebutuhan belajar seseorang. Apabila pada anak-anak, cita-citanya belum jelas, pada remaja cita-cita tersebut sudah terbentuk. Remaja telah memiliki minat yang jelas tentang jenis pendidikan dan pekerjaan tertentu. Secara sadar, ia telah mengetahui pula bahwa pendidikan dan pekerjaan yang diidamkan itu memerlukan dukungan pengetahuan dan keterampilan prasyarat yang harus dimiliki.
Selain pengenalan terhadap sistem pendidikan, para remaja tersebut memiliki teman sejawat yang semakin luas lingkungannya dan ia mulai mengenal anak lain dengan berbagai latar belakang lingkungan keluarga. Dengan kata lain, ia (mereka) mengenal dan memiliki masyarakat baru, yaitu masyarakat sekolah atau teman sebaya. Dengan demikian, mereka memiliki tiga lingkungan pendidikan yang pola dan karakteristiknya berbeda-beda. Ketiga lingkungan itu ialah keluarga, sekolah, dan masyarakat.
a. Lingkungan pendidikan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak. Pendidikan keluarga lebih menekankan aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikan keluarga bersifat individual sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing.
Di dalam keluarga, anak berkedudukan sebagai anak didik, sedangkan orangtua sebagai pendidiknya. Penyelenggaraan pendidikan keluarga secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga pola, yaitu pendidikan otoriter, pendidikan demokratis, dan pendidikan liberal.
b. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan pendidikan informal yang dikenal oleh anak-anak. Anak remaja telah banyak mengenal karakteristik masyarakat dengan berbagai nilai dan norma sosial. Karena kondisi masyarakat yang beragam itu, tentu saja banyak hal yang harus diperhatikan dan diikuti oleh anak-anak. Oleh karena itu tidak jarang seorang anak berbeda pandangan dengan orangtuanya.
c. Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan pendidikan formal yang sengaja diciptakan oleh pemerintah dan masyarakat sebagai media pendidikan bagi generasi muda, khususnya memberikan kemampuan dan keterampilan sebagai bekal kehidupan di kemudian hari. Pendidikan jalur sekolah yang diikuti anak-anak adalah jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Bagi remaja, sekolah dipandang sebagai lembaga pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya konsep dan wawasan yang berkenaan dengan nasib karier mereka di masa depan.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kehidupan pendidikan dan karier
a. Faktor Sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi keluarga banyak menentukan perkembangan kehidupan pendidikan dan karier anak. Kondisi sosial menggambarkan status orang tua merupakan faktor yang “dilihat” oleh anak untuk menentukan pilihan sekolah dan pekerjaan.
Faktor ekonomi mencakup kemampuan ekonomi orangtua dan kondisi ekonomi negara (masyarakat). Yang pertama merupakan kondisi utama karena menyangkut kemampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya. Banyak anak berkemampuan intelektual tinggi tidak dapat menikmati pendidikan yang baik disebabkan oleh keterbatasan kehidupan ekonomi orangtuanya.
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan di sini meliputi tiga macam. Pertama, lingkungan kehidupan masyarakat, seperti lingkungan masyarakat perindustrian, pertanian, atau lingkungan perdagangan. Dikenal pula lingkungan masyarakat akademik atau terdidik atau lingkungan yang para anggota masyarakatnya terpelajar atau terdidik. Lingkungan kehidupan semacam itu akan membentuk sikap anak dalam menentukan pola kehidupan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikirannya dalam menentukan jenis pendidikan dan karier yang diidamkan.
Kedua, lingkungan yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan pendidikan dan cita-cita karier remaja. Lembaga pendidikan atau sekolah yang baik mutunya, yang memelihara kedisiplinan cukup tinggi, sangat berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku kehidupan pendidikan anak dan pola pikirnya dalam menghadapi karier.
Ketiga, lingkungan kehidupan teman sebaya. Pergaulan teman sebaya akan memberikan pengaruh langsung terhadap kehidupan pendidikan tiap-tiap remaja. Lingkungan teman sebaya akan memberikan peluang bagi remaja (laki-laki atau wanita) untuk menjadi lebih matang.
c. Faktor Pandangan Hidup
Pandangan hidup itu sendiri merupakan bagian yang terbentuk karena lingkungan. Pengejawantahan pandangan hidup tampak pada pendirian seseorang, terutama dalam menyatakan cita-cita hidupnya. Pendirian seseorang terutama dalam menyatakan cita-cita hidupnya. Dalam memilih lembaga pendidikan, kondisi keluarga yang melatarbelakangi memegang peranan penting. Remaja yang berasal dari kalangan keluarga kurang, umumnya bercita-cita untuk di kemudian hari menjadi orang yang berkecukupan (kaya), sehingga memilih jenis pekerjaan yang berorientasi pada jenis pendidikan yang dapat mendatangkan banyak uang, umpamanya kedokteran, ekonomi, dan ahli teknik.
4. Pengaruh perkembangan kehidupan pendidikan dan karier terhadap tingkah laku dan sikap
Pada jenjang pendidikan dasar yang kurikulumnya masih sangat umum, sekolah menyediakan pelajaran dasar yang belum bermakna sebagai pembekalan bagi anak-anak untuk siap bekerja dan belum terarah ke pemberian keterampilan tertentu untuk terjun ke dunia kerja di dalam masyarakat.
Sikap remaja terhadap pendidikan sekolah banyak diwarnai oleh karakteristik guru yang mengajarnya. Guru yang “baik” di mata para siswa tidak hanya bergantung pada keadaan guru itu sendiri, melainkan bergantung pada banyak faktor. Guru yang baik adalah guru yang akrab dengan siswanya dan menolong siswa dalam pelajaran.
5. Upaya Pengembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier
Menghadapi tiga lingkungan pendidikan yang berbeda-beda menyebabkan peserta didik mengalami kebingungan untuk mengikutinya.
Orangtua perlu memahami kemajuan pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah dan di luar keluarga. Hal ini amat tinggi nilainya karena dengan norma dan ketentuan yang tidak terlalu jauh berbeda antara rumah, sekolah dan masyarakat, keharmonisan hidup dapat dicapai.
6. Perkembangan Karier Remaja
Dalam arti sempit, pendidikan merupakan persiapan menuju suatu karier, sedangkan dalam arti luas pendidikan merupakan bagian dari proses pengembangan karier remaja. Remaja, yang dilihat dari segi usia mencakup 12 – 21 tahun, menurut Ginzberg (Alexander, dkk, 1980) perkembangan kariernya telah sampai pada periode pilihan tentatif dan sebagian besar berada pada periode pilihan realistis, sedangkan menurut Super (Alexander, dkk, 1980) perkembangan karier remaja itu berada pada tahap eksplorasi, terutama sub tahap tentatif dan sebagian dari sub tahap transisi.
a. Tahap Minat (umur 11 – 12 tahun)
Remaja mulai mempunyai rencana dan kemungkinan pilihan karier yang didasarkan pada minat. Ia belajar tentang apa yang ia suka lakukan, dan melakukan pilihan-pilihan secara tentatif atas dasar faktor-faktor subjektif, belum didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan objektif.
b. Tahap Kapasitas (12 – 14 tahun)
Remaja mulai menggunakan keterampilan dan kemampuan pribadinya sebagai pertimbangan dalam melakukan pilihan dan rencana-rencana karier. Ia mulai menilai kemampuannya dalam bidang-bidang pendidikan dan pekerjaan yang diminati.
c. Tahap Nilai (15 – 16 tahun)
Dalam tahap ini, remaja telah menganggap penting peranan nilai-nilai pribadi dalam proses pilihan karier. Ia mulai melihat apa yang sesungguhnya penting bagi dirinya, tahu perbedaan konsepsi tentang berbagai gaya hidup yang disiapkan oleh pekerjaan, kesadaran tentang pentingnya waktu mulai berkembang dan menjadi lebih sensitif terhadap perlunya pekerjaan.
d. Tahap Transisi (17 – 18 tahun)
Dalam tahap transisi ini, remaja mulai bergerak dari pertimbangan-pertimbangan realistis yang masih berada di pinggir kesadaran ke dalam posisi yang lebih sentral. Pada tahap ini, ia mulai menghadapi perlunya membuat keputusan dengan segera, konkret, dan realistis tentang pekerjaan yang akan datang atau pendidikan yang mempersiapkannya ke suatu pekerjaan tertentu.
Untuk menghadapi remaja yang mengalami masalah atau kesulitan dalam memilih karier, Shertzer (Alexander, dkk, 1980) menyarankan hal-hal berikut:
a. Pelajari dirimu sendiri, karena kesadaran diri tentang bakat, kemampuan, dan ciri-ciri pribadi yang dia miliki merupakan kunci dari ketetapan perencanaan karier.
b. Di bidang apa kamu merasa paling sreg (comfortable)?
c. Tulislah rencana dan cita-citamu secara formal.
d. Biasakan dirimu dengan tuntutan pekerjaan tertentu yang kamu minati.
e. Tinjau dan bicarakan lagi rencana kariermu dengan orang lain.
f. Jika ternyata pilihan kariermu tidak cocok, hentikan.

E. Tugas Perkembangan Remaja Berkenaan dengan Kehidupan Berkeluarga
1. Pengertian Kehidupan Berkeluarga
Pada bagian ini diuraikan tugas perkembangan remaja dalam hubungannya dengan persiapan mereka untuk memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan berkeluarga. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa secara biologis, pertumbuhan remaja telah mencapai kematangan seksual, yang berarti bahwa secara biologis, ia telah siap melakukan fungsi produksi. Garrison (1956) menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja itu cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkan secara mantap tentang hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan karena masalah terebut mendasari pemikiran mereka untuk mulai menetapkan pasangan hidupnya.
2. Timbulnya Cinta dan Jatuh Cinta
Hampir setiap pemuda (laki-laki atau wanita) mempunyai dua tujuan utama, pertama menemukan jenis pekerjaan yang sesuai, kedua menikah dan membangun sebuah rumah tangga (keluarga). Hal ini tidak selalu muncul dalam aturan tertentu, tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan mengalami “jatuh cinta” di dalam masa kehidupannya setelah mencapai belasan tahun (Garrison, 1956: 483).
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta adalah bermacam-macam, antara lain adalah faktor kepribadian, fisik, budaya, latar belakang keluarga, dan kemampuan, seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang Jawa, dalam pemilihan pasangan hidup dilihat dari tiga segi yaitu : “bibit” atau faktor keturunan, “bebet” atau faktor status sosial, dan “bobot” atau faktor ekonomi.
Secord dan Beckman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dapat dicapai melalui tiga tahap, yaitu (1) tahap eksplorasi, menjajaki masalah-masalah yang berhubungan dengan pujian atau penghargaan dan keuangan, (2) tahap penawaran, yaitu pasangan itu menjalin berbagai janji. Tidak ada ketentuan formal dalam perjanjian ini, tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hal ini adalah saling pengertian tenteng latar belakang hubungan mereka, dan (3) tahap komitmen. Tahap komitmen ini ditandai oleh saling kebergantungan masing-masing.

3. Masyarakat dan Perkawinan
Pemilihan pasangan hidup merupakan tugas perkembangan yang didorong faktor biologis. Pemilihan pasangan hidup yang berakhir dengan perkawinan, merupakan pertanda terbentuknya inti kekeluargaan atau perluasan dan kelanjutan tentang pemekaran keluarga. Perkawinan antara laki-laki dan wanita tidak dengan begitu saja dapat terjadi, walaupun masing-masing berpendapat bahwa hal itu dirasakan sebagai hal yang “bebas”. Kenyataannya, setiap masyarakat di dunia memiliki norma berkenaan dengan masalah perkawinan. Dengan pengertian ini berarti bahwa perkawinan antara pria dan wanita bukan saja masalah yang didorong oleh faktor biologis, melainkan diatur oleh berbagai aturan atau norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

F. Implikasi Tugas-tugas Perkembangan Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Karena banyak faktor kehidupan yang mempengaruhi remaja, pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan juga harus benar-benar memperhatikan faktor-faktor tersebut, sekalipun dalam penyelenggaraan pendidikan diakui bahwa tidak mungkin memenuhi semua tuntutan dan harapan tersebut.
1. Pendidikan yang berlaku di Indonesia, baik pendidikan yang diselenggarakan di dalam sekolah maupun di luar sekolah, umumnya diselenggarakan dalam bentuk klasikal. Penyelenggaraan pendidikan klasikal ini berarti memberlakukan pola dan sistem yang sama semua tindakan pendidikan kepada semua siswa di dalam kelas, walaupun mereka berbeda-beda.
2. Beberapa usaha yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pendidikan, sehubungan dengan minat dan kemampuan remaja yang dikaitkan dengan cita-cita kehidupannya adalah sebagai berikut
a. Bimbingan karier atau bimbingan konseling dalam upaya membimbing dan mengarahkan siswa dalam menentukan pilihan jenis pendidikan dan pekerjaan sesuai dengan minat, bakat dan kemampuannya.
b. Memberikan latihan-latihan praktis yang berorientasi pada kondisi dan kebutuhan lingkungan.
c. Penyusunan kurikulum yang komprehensif dengan menyertakan kurikulum muatan lokal.
3. Keberhasilan dalam memilih pasangan hidup untuk membentuk keluarga ditentukan oleh pengalaman dan penyelesaian tugas-tugas perkembangan pada masa-masa sebelumnya. Untuk mengembangkan model keluarga yang ideal, perlu dilakukan hal-hal berikut ini :
a. Bimbingan tentang tata cara bergaul dengan mengajarkan etika pergaulan melalui pendidikan budi pekerti.
b. Bimbingan pada siswa untuk memahami nilai dan norma sosial yang berlaku, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
c. Perlu dilakukan pendidikan praktis melalui organisasi pemuda, pertemuan dengan orangtua secara periodik, dan pemantapan pendidikan agama, baik di dalam maupun di luar sekolah.



BAB 6. KONSEP PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK USIA SEKOLAH MENENGAH

A. Pengertian Penyesuaian Diri
Kemampuan penyesuaian diri yang sehat terhadap lingkungan merupakan salah satu prasyarat yang penting bagi terciptanya kesehatan jiwa/mental individu. Banyak individu yang menderita dan tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dengan kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan maupun masyarakat pada umumnya. Tidak sedikit orang-orang yang mengalami stres atau depresi akibat kegagalan mereka untuk melakukan penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan yang ada dan kompleks.
Makna keberhasilan pendidikan seseorang terletak pada sejauh mana yang telah dipelajarinya itu dapat membantu dalam menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan kehidupannya. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari sekolah dan di luar sekolah, seseorang memiliki sejumlah kecakapan, minat, sikap, cita-cita, dan pandangan hidup. Dengan pengalaman-pengalaman itu, secara berkesinambungan, ia dibentuk menjadi seorang pribadi yang matang dan memiliki tanggung jawab sosial dan moral.
Kondisi fisik, mental, dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh factor-faktor lingkungan yang kemungkinan akan berkembang ke proses penyesuaian yang baik atau tidak baik. Sejak lahir sampai meninggal, seorang individu merupakan organisme yang bergerak aktif dan dinamis. ia aktif dengan tujuan dan aktivitas-aktivitasnya yang berkesinambugan. Ia berusaha untuk meemuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan rohaninya.
Pengertian penyesuaian diri (adaptasi) pada awalnya berasal dari pengertian yang didasarkan pada ilmu biologi, yaitu dikemukakan oleh Charles Darwin yang terkenal dengan Teori evolusi. Ia mengatakan “genetic changes can improve the obility of orgamisms to survive, reproduce, and, in animals, raise offspring, is process is called adaptation”. Artinya tingkah laku manusia dapat dipandang sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan ligkungan tempat ia hidup, seperti cuaca dan berbagai unsure alamiah lainnya. Semua makhluk hidup secara alami telah dibekali kemampuan untuk menolong dirinya sendiri dengan cara beradaptasi dengan keadaan lingkungan alam untuk bertahan hidup. Dalam istilah psikologi penyesuaian diri (adaptasi dalam istilah biologi) disebut dengan istilah adjusment. Adjustment meruapakan suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Manusia dituntut untuk menyeesuaikan diri dengan lingkungan social, kejiwaan dan lingkungan alam sekitarnya. Kehidupan itu secara almaiah juga mendorong manusia untuk terus-menerus menyesuaikan diri.
Dengan demikian, penyesuaian diri merupakan suatu proses alamiah dan dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungannya. Penyesuaian diri juga dapat diartikan sebagai berikut:
a. Penyesuaian diri yang berarti adaptasi dapat mempertahankan eksistensi, atau bisa "survive" dan memperoleh kesejahteraan jasmani dan rohani, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan lingkungan sosial.
b. Penyesuaian diri dapat pula diartikan sebagai konformitas yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip yang berlaku umum.
c. Penyesuaian diri 'dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan juga mengorganisasi respons-respons sedemikian rupa, sehingga bisa Mengatasi segala macam konflik, kosulitan, dan frustasi-frustasi secara efektif. Individu merniliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat atau memenuhi syarat.
d. Penyesuaian diri dapat diartikan sebagai penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional berarti memiliki respons emosional yang sehat dan tepat pada setiap persoalan dan situasi.

B. Karakteristik Penyesuaian Diri
Dalam kenyataan, tidak selamanya individu akan berhasil dalam melakukan Penyesuaian diri. Hal itu disebabkan adanya rintangan atau hambatan tertentu yang menyebabkan ia tidak mampu melakukan penyesuaian diri secara optimal. Rintangan-rintangan itu dapat bersumber dari dalam dirinya (keterbatasan) atau mungkin dari luar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut, ada individu-individu yang mampu melakukan penyesuaian diri secara positif, tetapi ada pula yang melakukan penyesuaian diri secara tidak tepat (salah suai).
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah.




1. Penyesuaian Diri yang positif
Individu yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut.
a. Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional yang berlebihan.
b. Tidak menunjukkan adanya mekanisme pertahanan yang salah.
c. Tidak menunjukkan adanya frustasi pribadi.
d. Memiliki pertimbangan yang rasional dalam pengarahan diri.
e. Mampu belajar dari pengalaman.
f. Bersikap realistik dan objektif.

Dalam penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukan berbagai bentuk berikut ini.

a. Penyesuaian diri dalam menghadapi masalah secara langsung
Dalam situasi ini, individu secara langsung menghadapi masalah dengan segala akibatnya. la akan melakukan tindakan yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya, seorang remaja yang hamil sebelum menikah akan menghadapinya secara langsung dan berusaha mengemukakan segala alasan kepada orangtuanya.

b. Penyesuaian diri dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan)
Dalam situasi ini, individu rnencari berbagai pengalaman untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalahnya. Misalnya, seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas membuat makalah akan mencari bahan dalam dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.

c. Penyesuaian diri dengan trial and error
Dalam cara ini, individu melakukan tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Misalnya, seorang pengusaha mengadakan spekulasi untuk meningkatkan usahanya.

d. Penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti)
Apabila individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya, gagal berpacaran secara fisik, ia akan berfantasi tentang seorang gadis idamannya

e. Penyesuaian diri dengan belaiar
Dengan belajar, individu dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk membantu penyesuaian dirinya. Misainya, seorang guru akan berusaha belaiar tentang berbagai ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan profesionalismenya.

f. Penyesuaian diri dengan pengendalian diri
Penyesuaian diri akan lebih efektif jika disertai oleh kemampuan memilih tindakan yang tepat serta pangendalian diri secara tepat pula. Dalam situasi ini, individu akan berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi.

g. Penyesuaian diri dengan perencanaan yang cermaf.:
Dalarn hal ini, sikap dan tindakan yang dilakukan merupakan keputusan yang diambil berdasarkan perencanaan yang cermat atau matang. Keputusan diambil setelah dipertimbangkan dari berbagai segi, seperti untung dan ruginya.

2. Penyesuian Diri yang Salah
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, membabi buta, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian yang salah, yaitu reaksi bertahan, reaksi menyerang, dan reaksi melarikan diri.

a. Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya dengan seolah-¬olah ia tidak sedang menghadapi kegagalan. la akan berusaha menunjukkan bahwa dirinya tidak mengalami kesulitan. Adapun bentuk khusus dari reaksi ini, yaitu sebagai berikut.
1) Rasionalisasi, yaitu mencari-cari alasan yang masuk akal untuk membenarkan tindakannya yang salah.
2) Represi, yaitu menekan perasaannya yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar. la akan berusaha melupakan perasaan atau pengalamannya yang kurang menyenangkan atau yang menyakitkan.
3) Proyeksi, yaitu menyalahkan kegagalan dirinya pada pihak lain atau pihak ketiga untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya, seorang siswa yang tidak lulus menyebutkan bahwa hal itu disebabkan guru-gurunya membenci dirinya.
4) “Sour grapes” (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan fakta atau kenyataan. Misalnya, seorang remaja yang gagal menulis SMS mengatakan bahwa handphone-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa menggunakan HP.

r
b. Bereaksi menyerang (aggressive reaction)
Individu yang salah suai akan menunjukkan sikap dan perilaku yang bersifat menyerang atau konfrontasi untuk menutupi kekurangan atau kegagalannya. la tidak mau menyadari kegagalannya atau tidak mau menerima kenyataan. Reaksi-reaksinya, antara lain:
1) Selalu membenarkan diri sendiri,
2) Selalu ingin berkuasa dalam setiap situasi,
3) Merasa senang bila mengganggu orang lain,
4) Suka menggertak, baik dengan ucapan maupun perbuatan,
5) Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka,
6) Bersikap menyerang dan merusak,
7) Keras kepala dalam sikap dan perbuatannya,
8) Suka bersikap balas dendam,
9) Memerkosa hak orang lain,
10) Tindakannya suka serampoagan, dan sebagainya.

c. Reaksi melarikdn diri (escape reaction)
Dalam reaksi ini, individu akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan konflik atau kegagalannya. Reaksinya tampak sebagai berikut:
1) Suka berfantasi untuk memuaskan keinginan yang tidak tercapai dengan bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai),
2) Banyak tidur, suka minuman keras, bunuh diri, atau menjadi pecandu narkoba,
3) Regresi, yaitu kembali pada tingkah laku kekanak-kanakan. Misalnya, orang dewasa yang bersikap dan berperilaku seperti anak kecil.



3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Penyesuaian Diri
Proses penyesuaian diri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang menentukan kepribadian itu sendiri, baik internal maupun eksternal. Factor-faktor itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Faktor fisiologis
Kondisi fisik, seperti struktur fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkernbangannya secara instrinsik berkaitan erat dengan susunan tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe temperamen (Moh. Surya, 1977). Misalnya, orang yang tergolong ektomorf, yaitu yang ototnya lemah atau tubuhnya rapuh, ditandai oleh sifat-sifat segan dalam melakukan aktivitas sosial, pemalu, pemurung, dan sebagainya.
Karena struktur jasmaniah merupakan kondisi yang primer bagi tingkah laku, dapat diperkirakan bahwa sistem syaraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan-gangguan dalam sistem syaraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-¬gejala gangguan mental. Dengan demikian, kondisi tubuh yang baik merupakan syarat tercapainya proses penyesuaian diri yang baik pula.

b. Faktor psikologis
Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi kemampuan penyesuaian diri seperti pengalaman, hasil belajar, kebutuhan-kebutuhan, aktualisasi diri, frustasi, depresi, dan sebagainya.

1) Faktor pengalaman
Tidak semua pengalaman mempunyai makna penyesuaian diri. Pengalaman yang mempunyai arti dalam penyesuaian diri, terutama pengalaman yang menyenangkan atau pengalaman yang traumatic (menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan, seperti memperoleh hadiah dari suatu kegiatan cenderung akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik. Sebaliknya, pengalaman yang traumatik akan menimbulkan penyesuaian diri yang keliru atau salah suai.

2) Faktor belajar
Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri. Hal ini karena melalui belajar, pola-pola respons yang membentuk kepribadian akan berkembang. Sebagian besar respons dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak diperoleh proses belajar daripada diperoleh secara diwariskan. Dalam proses penyesuaian diri, belajar merupakan suatu proses modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan berlangsung terus sepanjang hayat dan diperkuat dengan kematangan.

3) Determinasi diri
Proses penyesuaian diri, di samping ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas, terdapat faktor kekuatan yang mendorong untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi dan atau merusak diri. Faktor-faktor itulah yang disebut determinasi diri. Determinasi diri mempunyai fungsi penting dalam proses penyesuaian diri karena berperan dalam pengendalian arah dan pola penyesuaian diri. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian dirinya. Ada beberapa orang dewasa yang mengalami pengalalami pengalaman penolakan ketika masa kanak-kanak, tetapi mereka dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif tersebut karena dapat menentukan sikap atau arah dirinya sendiri.

4) Faktor konflik
Pengaruh konflik terhadap perilaku bergantung pada sifat konflik itu sendiri. Ada pandangan bahwa semua konflik bersifat mengganggu atau merugikan. Padahal, ada orang yang memiliki banyak konflik, tetapi tidak mengganggu dan merugikannya. Sebenarnya, beberapa konflik dapat memotivasi soseorang untuk meningkatkan kegiatan dan penyesuaian dirinya. Ada orang yang mengatasi konfliknya dengan cara meningkatkan usaha ke arah pencapaian tujuan yang menguntungkan bersama secara sosial. Akan tetapi, ada pula yang memecahkan konflik dengan cara melarikan diri, sehingga menimbulkan gejala-gejala neurotis.

c. Faktor perkembangan dan kematangan
Dalam .proses perkembangan, respons berkembang dari respons yang bersifat instinktif menjadi respons yang bersifat hasil belaiar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia, perubahan dan perkembangan respons, tidak hanya diperoleh melalui proses belajar, tetapi juga perbuatan individu telah matang untuk melakukan respons dan ini menentukan pola penyesuaian dirinya.
Sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan yang dicapai individu berbeda-beda, sehingga pola-pola penyesuaian dirinya juga akan bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya. Selain itu, hubungan antara penyesuaian dan perkembangan dapat berbeda-beda menurut jenis aspek perkembangan dan kematangan yang dicapai. Kondisi-kondisi perkembangan dan kematangan mempengaruhi setiap aspek kepribadian individu, seperti emosional, sosial, moral, keagamaan, dan intelektual. Dalam fase tertentu, salah satu aspek mungkin lebih pentig dari aspek lainnya.

d. Faktor lingkungan
Berbagai lingkungan, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, kebudayaan, dan agama berpengaruh kuat terhadap penyesuaian diri seseorang.
1) Pengaruh lingkungan keluarga
faktor lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat penting karena keluarga merupakan media sosialisasi bagi anak-anak. Proses sosialisasi dan interaksi social yang pertama dan utama dijalani individu di lingkungan keluarganya. Hasil sosialisasi tersebut kemudian dikembangkan di lingkungan sekolah dan masyarakat umum.

2) Pengaruh hubungan dengan orangtua
Pola hubungan antara orangtua dengan anak mempunyai pengaruh yang positif terhadap proses penyesuaian diri. Beberapa pola hubungan yang dapat memengaruhi penyesuaian diri adalah sebagai berikut.
a. Menerima (acceptances)
Orangtua menerima kehadiran anaknya dengan cara-cara yang baik. Sikap penerimaan ini dapat menimbulkan suasana hangat, menyenangkan, dan rasa aman bagi anak.
b. Menghukurn dan disiplin yang berlebihan
Hubungan orangtua dengan anak bersifat keras. Disiplin yang terlalu berlebihan dapat menimbulkan suasana psikologis yangkurang menyenangkan bagi anak.
c. Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan
Perlindungan dan pemanjaan secara berlebihan dapat menimbulkan perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung, dan gejala-gejala salah usai lainnya.
d. Penolakan
Orangtua menolak kehadiran anaknya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penolakan orangtua terhadap anaknya dapat menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri.


3) Hubungan saudara
Hubungan saudara yang penuh persahabatan, saling menghormati, penuh kasih sayang, berpengaruh terhadap penyesuaian diri yang lebih baik. Sebaliknya suasana permusuhan, perselisihan, iri hati, kebencian, kekerasan dan sebagainya dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan dalam penyesuaian dirinya.

4) Lingkungan masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat tempat individu berada menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala tingkah laku salah suai atau perilaku menyimpang bersumber dari pengaruh keadaan lingkungan masyarakatnya. Pergaulan yang salah dan terlalu bebas di kalangan remaja dapat mempengaruhi pola-pola penyesuaian dirinya.

5) Lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah berperan sabagai media sosialisasi, yaitu mempengaruhi-kehidupan intelektual, sosial, dan moral anak-anak. Suasana di sekolah, baik sosial maupun psikologis akan mempengaruhi proses dan pola penyesuaian diri para siswanya. Pendidikan yang diterima anak di sekolah merupakan bekal bagi proses penyesuaian diri mereka di lingkungan masyarakatnya.

e. Faktor budaya dan agama
Proses penyesuaian diri anak, mulai lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-¬faktor kultur dan agama. Lingkungan kultural tempat individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Misalnya, tata cara kehidupan di masjid atau gereja akan mempengaruhi cara anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi korflik, frustasi, dan ketegangan lainnya. Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak. Ajaran agama ini merupakan sumber nilai, norma, kepercayaan dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan, dan kestabilan hidup anak-anak. Sembahyang dan berdoa merupakan media menuju arah kehidupan yang lebih nyaman, tenang, dan berarti bagi manusia. Olen karena itu, agama memegang peran penting dalam proses penyesuaian diri seseorang.



C. Proses Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuain diri yang sempurna tidak akan pernah tercapai. Penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses psikologis sepanjang hayat (life long process) dan manusia terus-menerus akan berupaya menemukan dan mengatasi tekanan dan tantangan hidlup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respons penyesuaian diri, baik atau buruk, dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan memelihara kondisi-kondisi keseimbangan yang wajar. Penyesuaian diri adalah sebagai suatu mekanisme atau proses kea rah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dengan tuntutan eksternal. Dalam prosesnya dapat muncul konflik, tekanan, atau frustasi, dan individu didorong untuk meneliti berbagai kemungkinan perilaku yang tepat untuk membebaskan diri dari ketegangan atau konfliks tersebut.
Orang akan dikatakan sukses dalam melakukan penyesuaian diri jika ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau dapat diterima oleh lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu orang lain. Penyesuaian diri yang baik, yang selalu ingin diraih setiap orang, tidak akan dapat tercapai, kecuali bila kehidupan orang tersebut benar-benar terhindar dari tekanan, kegoncangan dan ketegangan jiwa yang akut, dan orang tersebut mampu menghadapi kesukaran dengan cara yang objektif serta berpengaruh bagi kehidupannya, serta ia dapat menikmati kehidupannya dengan stabil, tenang, merasa senang, dan berprestasi.

1. Lingkungan Keluarga yang Harmonis

Apabila dibesarkan dalarn lingkungan keluarga yang harmonis yang di dalamnya terdapat cinta, kasih, respek, toleransi, rasa aman, dan kehangatan, seorang anak akan dapat rnelakukan penyesuaian diri secara sehat dan baik. Rasa dekat dengan keluarga merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi perkembangan jiwa seorang anak. Dalam kenyataannya, banyak orangtua yang mengetahui hal ini, tatapi mereka mengabaikannya dengan alasan mencari penghasilan yang besar untu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Sikap ini sering ditanggapi negatif oleh remaja dengan merasa bahwa dirinya kurang diperhatikan, tidak disayangi, diremehkan, atau dibenci. Jika hal tersebut terjadi berulang¬ulang dalam jangka waktu yang cukup lama (terutama pada masa kanak-kanak), kemampuannya dalam menyesuaikan diri pun akan terhambat. Berdasarkan kenyataan tersebut, pemenuhan kebutuhan anak akan rasa aman, disayangi, haruslah diperhatikan. Orangtua ¬harus berusaha untuk meningkatkan kualitas pengasuhan, pengawasan, dan penjagaan pada anaknya. Jangan sampai semua urusan makan dan pakaian diserahkan pada orang lain atau pernbantu, karena hal itu dapat mernbuat anak menjadi tidak bahagia.
Lingkungan keluarga juga merupakan lahan untuk mengembangkan berbagai kemampuan yang dipelajarinya melalui permainan, senda gurau, pengalaman sehari-hari di dalam keluarga. Dorongan semangat dan persaingan antar anggota keluarga yang dilakukan secara sehat memiliki pengaruh yang penting dalam perkembangan kejiwaan anak. Orangtua sebaiknya tidak membiasakan anak pada hal-hal yang tidak dimengerti atau sesuatu yang sulit untuk dilakukan olehnya, karena hal itu akan memupuk rasa putus asa pada jiwa anak.
Di lingkungan keluarga, seorang anak juga belajar untuk tidak menjadi egois. la diharapkan dapat berbagi rasa dengan anggota keluarga yang lain dan belajar untuk menghargai hak orang lain.
Di dalam lingkungan keluarga, seorang anak mempelajari dasar-¬dasar dari cara-cara bergaul dengan orang lain. Biasanya yang menjadi acuan atau contoh adalah figur orangtua, tokoh pemimpin, atau seseorang yang menjadi idolanya. Oleh karena itu, orangtua atau orang dewasa dituntut untuk meneladani atau menunjukkan sikap-sikap atau tindakan-tindakah yang baik.
Dalam hasil interaksi dengan keluarganya, seorang anak juga mempelajari sejumlah adat dan kebiasaan, seperti dalam hal makan, minum, berpakaian, cara berjalan, berbicara, duduk, dan sebagainya. Selain itu, dalam keluarga masih banyak hal lain yang berperan dalam proses pembentukan kemampuan penyesuaian diri yang sehat, seperti rasa percaya pada orang lain atau diri sendiri, pengendalian rasa ketakutan, sikap toleransi, kerja sama, kehangatan dan rasa aman yang semua hal itu sangat berguna bagi penyesuaian diri di masa depannya.

2. Lingkungan Teman Sebaya
Suatu hal yang sulit bagi remaja adalah menjauh dari dan dijauhi oleh temannya. Remaja mencurahkan kepada teman-temannya apa yang tersimpan di dalam hatinya, dari angan-angan, pemikiran, dan perasaan-perasaannya. Ia mengungkapkan kepada teman tentang rencana, cita-cita, dan kesulitan-kesulitan hidupnya.
Pengertian dan saran-saran dari teman-temannya akan membantu dirinya dalam menerima keadaan dirinya serta memahami hal-hal yang menjadikan dirinya berbeda dari orang lain dan keluarga orang lain. Semakin mengerti ia akan dirinya, semakin meningkat keadaannya untuk menerima dirinya, mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Ia akan menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya itu.

3. Lingkungan Sekolah
Sekolah mempunyai tugas yang tidak hanya terbatas pada masalah pengetahuan dan informasi saja, tetapi juga mencakup tanggung jawab moral dan social secara luas dan kompleks. Demikian pula guru, tugasnya tidak hanya mengajar saja, tetapi juga berperan sebagai pendidik, pembimbing, dan pelatih bagi murid-muridnya. Pendidikan modern menuntut guru untuk mengamati perkembangan penyesuaian diri murid-muridnya serta mampu menyusun system pendidikan yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Dengan demikian, proses pendidikan merupakan penciptaan penyesuaian antara individu dengan nilai-nilai yang diharuskan oleh lingkungan menurut kepentingan penkembangan individu. Keberhasilan proses ini sangat bergantung pada cara kerja dan metode yang digunakan oleh guru dalam proses penyesuaian tersebut.

D. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
Pada dasarnya, penyesuaian diri memiliki dua aspek, yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian social.
1. Penyesuaian Pribadi
Penyesuaian pribadi adalah kemampuan seseorang untuk menerima diri demi tercapainya hubungan yang harmonis antara dirinya dan lingkungan sekitarnya. Ia menyatakan sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak objektif sesuai dengan kondisi dan potensi dirinya. Keberhasilan penyesuaian diri pribadi ditandai oleh tidak adanya rasa benci, tidak ada keinginan untuk lari dari kenyataan, atau tidak percaya pada potensi dirinya. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai oleh adanya kegoncangan dan emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib yang dialaminya, sebagai akibat adanya jarak pemisah antara kemampuan individu dan tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya. Hal inilah yang menjadi sumber terjadinya konflik yang kemudian terwujud dalam rasa takut dan kecemasan, sehingga untuk meredakannya, individu harus melakukan penyesuaian diri.





2. Penyesuaian Sosial
Dalam kehidupan masyarakat akan timbul suatu pola kebudayaan dan pola tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat istiadat, nilai, dan norma social yang berlaku dalam masyarakat. Proses ini dikenal dengan istilah proses penyesuaian soaial. Penyesuaian social terjadi dalam lingkup hubungan social di tempat individu itu hidup.S
1.) Mengapa setiap orang memiliki kebutuhan ?
Jawaban: ~ Karena kebutuhan seseorang individu muncul karena pertumbuhan dan perkembangan psiko fisiknya. Adanya dorongan (motif) yang merupakan faktor utama munculnya kebutuhan dan dorongan tersebut secara alami (asli) maupu karena proses belajar atau mendorong seseorang individu untuk bertingkah laku memenuhi kebutuhannya. Dalam pertumbuhan fisiknya manusia memerlukan kekuatan dan daya tahan tubuh serta perlindungan keamanan fisiknya yang didasari oleh adanya kebutuhan tersebut.
2.) Bagaimana pandangan Freud, Erikson, Rogers tentang kebutuhan tersebut ?
Jawaban: ~ Freud menyatakan bahwa dalam perkembangan manusia terjadi pertentangan antara kebutuhan instink pribadi dan tuntutan masyarakat. Kemudian struktur kepribadian seseorang berunsurkan tiga komponen utama, yaitu: Ide, Ego, Super ego. Ide merupakan sumber kekuatan instink pribadi yang berkerja atas darar prinsip kenikmatan tang pada proses berikutnya akan memunculkan kebutuhan dan keinginan. Ego adalah komponen pribadi yang praktis dan rasional, dan juga ego erupakan komponen pribadi yang mewakili kenyataan (realita).
~ Erikson berpendapat bahwa pendekatan untuk menyesuaikan pertentangan itu yang lebih bersifat sosial dan beroriantasi kepada ego. Dengan revisi ini dimaksutkan agar kebutuhan-kebutuhan dalam perkembangan manusia perlu lebih dilihat dari sisi kepentingan sosial.
~ Rogers manyatakan dalam teorinya bahwa manusia memiliki kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila pengaktualisasian individudiri itu dapat terwujud maka hal itu merupakan pertanda bahwa individu itu telah mencapai tingkat perumbuhan pribadi yang semakin luas lingkupnya dan dengan demikian manusia menjadi lebih bersikap sosial.
3.) Sebutkan kebutuhan dasar manusia dan bagaimana dengan adanya kebutuhan primer dan sekunder ?
Jawaban: ~ Kalau menurut sifatnya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan jasmani dan rohani. Karena kebutuhan jasmani erat kaitannya dengan upaya manusia menutupi atau mamoerindah jasmania manusia. Kebutuhan tersebut antara lain: makanan, pakaian, sepatu, dan jaket. Kemudian kebutuhan rohani adalah berupa upaya manusia untuk memenuhi kepuasan jiwa atau hati.
~ Kalau menurut intansitasnya, kebutuhan yang utama yaitu primer, sekunder, dan tersier. Arena dasar kita gunakan adalah peranan kebutuhan tersebut terhadap kelangsungan hidup manusia. Dengan adanya kebutuhan ini, artinya kebutuhan sangat erat kaitanya dengan kelangsungan hidup manusia, maka kebutuhan tersebut adalah kebutuhan sekunder.
4.) Apa yang dimaksut dengan tugas perkembangan !
Jawaban: ~ Maksutnya yaitu dimana perkembangan kehidupan manusia itu dipandang sebagai upaya mempelajari norma kehidupan dan budaya masyarakat agar ia (mereka) mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik didalam kehidupan nyata dan perkembangan itupun berjalan secara bertahap-tahap.
5.) Sebutkan pokok-pokok tugas perkembangan yang berkaitan dengan pribadi, kehidupan masyarakat, kehidupan karir dan pendidikan, dan kehidupan keluarga !
Jawaban: ~ secara pribadi tugas perkembangan yaitu berupaya untuk mampu mandiri arti mampu mengurus diri sendiri sampai dengan mengatur dana memenuhi kebutuhan serta tugasnya sahi-hari, mengerjakan tugas dan perkerjaan praktis sehari-hari secara mandiri. Dengan penuh tanggung jawab mengikuti aturan kehidupan keluarga dengan penuh tanggung jawab dan disiplin dan hidup bermasyarakat dengan melakukan pergaulan dengan sesama terutama dengan teman sebaya.
~ dalam kehidupan masyarakat kondisi masyarakt yang amat ragam tentu banyak hal harus diperhatikan dandiikuti oleh anggota masyarakat dan demikian para remaja perlu memahami hal itu menujukan gaya dan pola kehidupan yang baik sesuai dengan kultur yang baik dan dinamis oleh masyarakat.
6.) Bagaimana upaya dan bentuk-bentuk pemenuhan yang dilakukan oleh remaja khususnya yang bekaitan dengan kematangan funsi seksual ?
Jawaban: ~ Garrison menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja adalah cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkan secara mantap tentang hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan.








BAB 7. PERMASALAHAN DAN UPAYA PENANGANAN MASALAH PENYESUAIAN DIRI PESERTA DIDIK USIA

SEKOLAH MENENGAH

A. Implikasi Proses Penyesuaian Diri Pesera Didik Usia Sekolah Menengah Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Oleh karena itu, di setiap sekolah lanjutan diadakan guru bimbingan dan penyuluhan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapinya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja di sekolah adalah sebagai berikut :
1. Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa betah bagi siswa, baik secara sosial, fisik maupun akademis.
2. Menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan bagi siswa.
3. Berusaha memahami siswa secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun aspek pribadinya.
4. Menggunakan metode dan alat mengajar yang mendorong gairah belajar.
5. Menggunakan prosedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi siswa.
6. Menciptakan ruangan kelas yang memenuhi syarat kesehatan.
7. Mmebuat tata tertib sekolah yang jelas dan dipahami siswa.
8. Adanya keteladan dari para guru dalam segala aspek pendidikan.
9. Mendapatkan kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan.
10. Melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik-baiknya.


B. Masalah Penyesuaian Diri Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Persoalan krusial yang dihadapi peserta didik usia sekolah menengah (remaja) dalam kehidupan sehari-hari dan yang menghambat penyesuaian diri adalah masalah hubungan remaja dengan orang dewasa, terutama orangtua.
Penolakan orangtua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, penolakan yang bersifat tetap sejak awal, yaitu orangtua merasa tidak sayang kepada anaknya karena berbagai sebab, seperti tidak menghendaki kelahiran. Menurut Zakiah Darajat (1983) yang dikutip dari Boldwyn : “Bapak yang menolak anaknya akan berusaha menundukkan anaknya dengan kaidah-kaidah kekerasan, karena itu, ia mengambil ukuran kekerasan, kekejaman tanpa alasan nyata”. Kedua, akibat dari penolakan itu adalah pura-pura tidak tahu keinginan anak atau masalah anak.
Hasil penelitian psikologis membuktikan bahwa remaja yang hidup dalam rumah tangga yang tidak harmonis cenderung akan mengalami masalah emosional, yang terlihat dari adanya kecenderungan marah-marah, suka menyendiri, serta sering gelisah dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam lingkungan keluarga yang harmonis.
Permasalahan penyesuaian pun akan muncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal.
Masalah penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah lanjutan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin akan mengalami masalah penyesuaian diri dengan guru, teman, dan mata pelajaran. Sebagai akibatnya, prestasi belajar mereka menjadi menurun dibandingkan dengan prestasi di sekolah sebelumnya.

C. Karakteristik Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
Bagi orangtua yang memiliki anak berusia remaja, mereka merasakan bahwa usia remaja adalah waktu yang sulit. Sebaliknya, bagi para remaja, tuntutan internal membawa mereka pada keinginan untuk mencari jati diri yang mandiri dari pengaruh orangtua.
Masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasan usia maupun peranannya sering tidak terlalu jelas. Hal ini karena usia pubertas yang dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15 – 18), kini terjadi pada awal belasan, bahkan sebelum usia 11 tahun. Seorang anak berusia 10 tahun mungkin saja sudah (atau sedang) mengalami pubertas, namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan sudah siap menghadapi dunia orang dewasa.
Memang, banyak perubahan pada diri seseorang sebagai tanda keremajaan, namun sering perubahan itu hanya merupakan suatu tanda-tanda fisik dan bukan sebagai pengesahan akan keremajaan seseorang. Untuk memahami remaja, perlu dilihat berdasarkan perubahan pada dimensi-dimensi tersebut.
1. Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas, yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putrid ataupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis, dia mengalami perubahan yang sangat besar.
Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadotrophins atau gonadotrophichermones) pada anak laki-laki, luteinizing hormone yang juga dinamakan Interstitial-Cellmulating Hormone (ICSH) merangsang pertumbuhan testosteron. Pertumbuhan secara cepat dari hormon-hormon tersebut mengubah sistem biologis seorang anak. Anak perempuan akan mendapat menstruasi, sebagai pertanda bahwa sistem reproduksinya sudah aktif. Selain itu, terjadi juga perubahan fisik seperti payudara mulai berkembang, dan lain-lain. Anak lelaki mulai memperlihatkan perubahan dalam suara, otot, dan fisik lainnya yang berhubungan dengan tumbuhnya hormone testosteron.
2. Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak berkembang sehingga mereka mampu berpikir multidimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasinya dengan pemikiran mereka sendiri.


3. Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode saat seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi pembentukan nilai diri mereka.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya.

4. Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini, mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Hasil penelitian di Chicago oleh Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) menemukan bahwa remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meksipun mood remaja mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Remaja cenderung untuk menganggap dirinya sangat unik dan bahkan percaya bahwa keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada usia 16 tahun ke atas, keeksentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja mulai sadar bahwa orang lain ternyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau dipikirkannya.

D. Beberapa Masalah Peserta Didik Usia Sekolah Menengah (Remaja)
1. Permasalahan Kesehatan Anak Usia Sekolah
Usia anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas masa remaja dan dewasa nanti. Sampai sekarang masih terdapat perbedaan dalam penentuan usia anak. Menurut UU No. 20 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dikatakan bahwa usia anak adalah sebelum usia 18 tahun dan belum menikah. American Academic of Pediabic tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak, yaitu mulai dari fetus (janin) hingga usia 21 tahun.
Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan yang sudah lengkap. Di dalam periode ini, banyak permasalahan kesehatan yang sangat menentukan kualitas anak di kemudian hari. Semua itu meliputi kesehatan umum, gangguan perkembangan, gangguan perilaku, dan gangguan belajar. Semua ini akan menghambat pencapaian prestasi anak di sekolah. Sayangnya, permasalahan tersebut kurang begitu diperhatikan baik oleh orang tua dan guru.
Orangtua dan guru adalah sosok pendamping saat anak melakukan aktivitas kehidupan setiap hari. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi mereka untuk mengetahui dan memahami permasalahan dan gangguan kesehatan pada anak usia sekolah.
a. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah
Pertumbuhan adalah berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran dan dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang bisa diukur dengan ukuran berat, panjang, umur tulang, dan keseimbangan metabolik. Adapun perkembangan adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan. Hal ini menyangkut adanya proses diferensiasi sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ dan sistem organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya.

b. Permasalahan kesehatan anak usia sekolah
Secara epidemiologis, di Indonesia, penyebaran penyakit berbasis lingkungan di kalangan anak sekolah masih tinggi. Kasus infeksi seperti demam berdarah dengue, diare, cacingan, ienfeksi saluran pernapasan akut, serta reaksi simpang terhadap makanan akibat buruknya sanitasi dan keamanan pangan.
Permasalahan perilaku kesehatan pada anak usia TK dan SD biasanya berkaitan dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan seperti gosok gigi yang baik dan benar, kebiasaan cuci tangan pakai sabun, kebersihan diri. Pada anak usia SLTP dan SMU (remaja), masalah kesehatan yang dihadapi biasanya berkaitan dengan perilaku beresiko, seperti merokok, perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya), kehamilan yang tak diingini, abortus yang tidak aman, infeksi menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Selanjutnya, akan di bahas tentang permasalahan kesehatan anak usia sekolah, di antaranya adalah penyakit menular, penyakit noninfeksi, gangguan pertumbuhan, gangguan perkembangan dan perilakunya

1) Penyakit menular pada anak sekolah
Sekolah merupakan tempat yang paling memungkinkan sebagai sumber penularan penyakit infeksi pada anak sekolah. Infeksi menular yang dapat menular di lingkungan sekolah adalah : demam berdarah dengue, infeksi tangar mulut, campak, rubella (campak jerman), cacar air, gondong dan infeksi mata (konjungtivitis virus).
a) Infeksi kaki, tangan dan mulut
Infeksi tangan, kuku, dan mulut disebabkan oleh virus entero virus coxsackie A16, atau virus entero 71. Masa inkubasi sekitar 3 – 6 hari. Virus masuk melalui rongga mulut dan saluran cerna. Tanda dan gejala penyakit kaki tangan dan mulut adalah gelisah, demam ringan, nyeri otot dan tulang serta, hilang selera makan. Meskipun jarang, infeksi virus ini dapat menyebabkan myocarditis (infeksi otot jantung), pneumonia (infeksi paru), meningoencephalitis (infeksi otak) dan kematian. Serangan penyakit kaki tangan dan mulut di Taiwan oleh virus entero 71 yang mengakibatkan kematian pada 19,3% diakibatkan oleh pendarahan paru.
b) Campak
Penyakit campak adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus campak. Virus campak menyebar lewat percikan ludah penderita. Gejala-gejalanya adalah demam, batuk, pilek dan timbul bercak merah di kulit 3 – 5 hari setelah anak menderita demam.
c) Mumps (Gondong)
Penyakit gondong adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus gondong. Penularannya terjadi melalui udara. Gejala-gejalanya adalah demam 3-5 hari. Pembengkakan di daerah pipi yang berdekatan dengan telinga bagian bawah, rasa kurang enak badan, nyeri kepala, dan rasa sakit bila menelan atau mengeluarkan air liur. Komplikasi paling sering adalah radang otak dan radang buah pelir atau kandung telur (14 – 35%) yang dapat mengakibatkan kemandulan.
d) Rubela
Penyakit rubella atau campak Jerman adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus rubella. Penularannya melalui udara. Gejala-gejala yang khas adalah demam, timbulnya bercak merah di kulit (hampir serupa dengan campak) pembesaran kelenjar getah bening di leher dan bagian belakang kepala.
e) Cacar air
Cacar air atau varisela memang merupakan penyakit anak-anak yang sudah ratusan tahun dikenal orang. Diawali dengan gejala melemahnya kondisi tubuh, pusing, demam yang kadang-kadang diiringi batuk, dalam waktu 24 jam timbul bintik-bintik yang berkembang menjadi lesi (mirip kulit yang terangkat karena terbakar) dan terakhir menjadi benjolan-benjolan kecil berisi cairan. Namun, dalam waktu kurang dari seminggu, lesi ini akan mengering dan menimbulkan rasa gatal. Dalam waktu 1-3 minggu, bekas pada kulit yang mengering akan terlepas.
2) Penyakit noninfeksi
a) Alergi
Alergi pada anak usia sekolah dapat menyerang semua organ mulai ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Alergi ini sangat beresiko untuk mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak disebabkan sering berulangnya penyakit, luasnya sistem tubuh yang terganggu, dan bahaya komplikasi yang terjadi.
b) Infeksi parasit cacing
Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25 – 35% dan cacing cambuk (frichuris trichiura) 75%. Resiko tertinggi terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan lupa cuci tangan, dan bermain-main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki. Cacing gelang yang panjangnya 20 – 30 cm hidup di rongga usus halus. Cacing ini mengkonsumsi makanan yang telah dicerna di usus halus, sehingga anak menjadi kurang gizi. Cacing cambuk yang berukuran 4 – 5 cm hidup di usus besar. Kepala dan sebagian badan masuk ke selaput lendir usus, menyebabkan luka-luka kecil dan pendarahan. Infeksi ringan menyebabkan radang usus ringan, sedangkan infeksi berat bisa menimbulkan disentri (buang air besar disertai darah, lendir, dan rasa sakit disekitar dubur), diare menahun, dan bagian ujung usus keluar dari dubur.
c) Gangguan pertumbuhan
Gangguan pertumbuhan atau sering disebut gagal tumbuh atau “failure to thrive” bukanlah suatu diagnosis, tetapi merupakan terminology yang dipakai untuk menunjukkan adanya kegagalan bertumbuh atau lebih khusus adalah kegagalan mendapatkan kenaikan berat badan yang pada kasus tertentu disertai terjadinya gangguan pertumbuhan linear dan lingkar kepala.
3) Gangguan perkembangan dan perilaku anak sekolah
Gangguan perkembangan dan perilaku pada anak sangat luas dan bervariasi. Gangguan yang terjadi pada anak sekolah adalah gangguan belajar, konsentrasi, bicara, emosi, hiperaktif, ADHD hingga austism.
a) Penolakan sekolah (School Refusal)
Penolakan sekolah atau fobia sekolah dan sering disebut mogok sekolah adalah bentuk kecemasan yang tinggi terhadap sekolah yang biasanya disertai berbagai keluhan yang tidak pernah muncul ataupun hilang ketika jam sekolah sudah lewat, hari minggu atau libur.
b) Gangguan belajar
Kesulitan belajar bukanlah suatu diagnosis tunggal semata-mata melainkan terdiri dari berbagai jenis gangguan dengan berbagai gejala, penyebab, pengobatan dan perjalanan penyakit. Untuk menentukan apakah seorang anak mengalami kesulitan belajar tertentu atau tidak, dapat digunakan pedoman yang diambil dari Diagnostic & Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV). Ada dua kelompok besar kesulitan belajar, yaitu sebagai berikut.
(1) Gangguan perkembangan bicara dan bahasa.
(2) Gangguan kemampuan akademik (Academic Skills Disorders)
Ada beberapa gangguan kemampuan akademik yang sering dikeluhkan oleh orangtua, yaitu sebagai berikut :
o Gangguan membaca
o Disleksia
o Gangguan menulis ekspresif
o Gangguan berhitung (Diskalkulia)
c) Gangguan tidur
Pada usia prasekolah, gangguan tidur ditandai dengan awal jam tidur yang larut malam, tidur sering gelisah (bolak-balik posisi badannya), kadang sering menggigau, menangis, dan berteriak.
d) Hiperkinetik atau gangguan motorik berlebihan
Anak tidak mau diam dan tidak bisa duduk lama. Bergerak terus tak tentu arah tujuannya. Kadang, disertai kebiasaan menjatuhkan badan secara keras ke tempat tidur. Kebiasaan lainnya adalah senang melompat-lompat dan memanjat. Tangan dan kaki sering bergerak terus bila duduk.
e) Gangguan koordinasi dan keseimbangan
Gangguan ini ditandai oleh aktivitas berjalan, seperti terburu-buru atau cepat sehingga kemampuan berjalan terlambat. Gangguan lainnya adalah bila berjalan jinjit atau bila duduk bersimpuh posisi kaki ke belakang seperti huruf w.






f) Gangguan konsentrasi atau gangguan pemusatan perhatian
Anak mengalami gangguan pemusatan perhatian, sering bosan terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan. Ia tidak bisa duduk lama di kursi. Dikelas tidak dapat tenang menerima pelajaran, sering mengobrol, mengganggu teman dan lain-lain, bila mendengar cerita, tidak bisa dalam waktu lama, sering tampak bengong atau melamun.
g) Impulsif
Gejala impulsif ditandai dan kesulitan anak untuk menunda respons. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar.
h) Gangguan emosi dan agresivitas
Gangguan emosi pada anak usia sekolah ditandai oleh sifatnya yang mudah marah, gampang berteriak, bila marah sering histeris, melempar benda yang dipegang hingga temper tantrum. Penampilan fisik lainnya adalah meninju, membanting pintu, mengkritik, merengek, memaki, menyumpah, memukul kakak/adik atau temannya, mengkritik diri sendiri, memecahkan barang dengan sengaja.
i) Gangguan Depresi
Seorang anak yang mengalami gangguan depresi akan menunjukkan gejala-gejala seperti perasaan sedih yang berkepanjangan, suka menyendiri, sering melamun di dalam kelas/ di rumah, kurang nafsu makan atau makan berlebihan, sulit tidur atau tidur berlebihan, merasa lelah, lesu atau kurang bertenaga, merasa rendah diri, sulit konsentrasi dan sulit mengambil keputusan, merasa putus asa, gairah belajar berkurang, tidak ada inisiatif, hipo/beraktivitas.
j) Autism
Autism adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam sedang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi sosial.
k) ADHD
Sejak 20 tahun terakhir, gangguan pemusatan perhatian sering disebut sebagai ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders). Gangguan ini ditandai dengan adanya ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang dihadapi, sehingga rentang perhatiannya sangat singkat waktunya dibandingkan anak lain yang seusia, biasanya disertai dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif.

c. Imunisasi Anak Usia Sekolah
Menurut Program Pengembangan Imunisasi yang direkomendasikan Departemen Kesehatan Indonesia dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, imunisasi wajib yang harus diberikan untuk anak usia sekolah adalah DPT dan Polio untuk anak kelas 1 SD, DT dan Tf untuk anak kelas VI dan polio ulang saat anak usia 16 tahun dan imunisasi campak ulang pada kelas 1 bila belum mendapatkan imunisasi MMR.

d. Upaya Peningkatan Kesehatan Anak Sekolah
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) menjadi sangat penting dan strategis; untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mencanangkan konsep Sekolah Sehat atau Health Promoting School (Sekolah yang mempromosikan kesehatan).
Health Promoting School adalah sekolah yang telah melaksanakan UKS dengan ciri-ciri melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah, menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan aman, memberikan pendidikan kesehatan di sekolah, memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan, ada kebijakan dan upaya sekolah untuk mempromosikan kesehatan dan berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.

e. Kesehatan Reproduksi Peserta Didik Usia Sekolah Menengah
Remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda, bergantung pada faktor sosial budaya. Cirinya adalah alat-alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, inteligensi mencapai puncak perkembangannya, emosi sangat labil, kesetiakawanan yang kuat terhadap teman sebaya, dan belum menikah.
Kurun usia remaja sering disebut sebagai peralihan periode strum und drang, yaitu periode peralihan antara anak-anak dan masa dewasa yang penuh gejolak. Gejolak ditimbulkan, baik oleh fungsi sosial remaja dalam mempersiapkan diri menuju kedewasaan (mencari identitas diri, memantapkan posisi dalam masyarakat tersebut, dan sebagainya) maupun oleh pertumbuhan fisik (perkembangan tanda-tanda seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang tidak proporsional, dan sebagainya), serta perkembangan inteligensinya (makin tajam bernalar, makin kritis, dan sebagainya)
Adapun di kalangan masyarakat yang sudah lebih canggih (masyarakat modern, kalangan menengah ke atas), kurun usia remaja bisa lebih panjang, bisa mencapai belasan tahun (di Indonesia antara 11 – 24 tahun). Penyebabnya adalah makin awalnya tanda-tanda akil balig (karena gizi yang baik, rangsangan dari lingkungan dsb). Sementara persyaratan untuk menjadi dewasa justru semakin berat (harus sekolah dulu, punya pekerjaan dulu dsb). Meningkat dari usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria dalam UU Perkawinan 1974 sampai mendekati umur 26 tahun bagi wanita dan 30 tahun bagi laki-laki).
Patut disayangkan, pelayanan kesehatan reproduksi justru sulit diperoleh di Indonesia (termasuk di Jakarta) sehubungan dengan adanya anggapan bahwa informasi tentang seks dan pelayanan kontrasepsi hanya diperuntukkan bagi yang sudah menikah, sementara bagi yang belum menikah ditabukan.
Kendala yang menyebabkan sulitnya bagi remaja untuk mengakses informasi tentang seks dan pelayanan kesehatan reproduksi adalah faktor agama, adapt dan tradisi. Dalam alam pikiran (kognisi) sebagian besar masyarakat, masih belum dapat dipisahkan dari faktor agama dan susila di satu pihak dengan faktor kesehatan di pihak lainnya. Pendidikan seks dan pelayanan kesehatan reproduksi yang asas dan tujuannya adalah kesehatan (mental dan fisik) terus-menerus dinilai negative karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai iman dan takwa yang dasar dan tujuannya adalah agama dan kesusilaan.
Selama ini remaja dianggap kelompok yang tabu untuk disentuh oleh informasi seks maupun pelayanan kesehatan reproduksi. Seakan-akan kalau tabu itu dilanggar, mereka akan melakukan seks pranikah dan pada gilirannya seluruh masyarakat pun melakukannya. Padahal, perilaku seksual yang tidak sesuai norma-norma agama dan sosial bukan berawal dari kelompok remaja, melainkan dari golongan dewasa. Dengan demikian remaja adalah kelompok yang justru dilindungi dari ancaman tersebut.
Salah satu caranya adalah dengan memberi kekebalan kepada remaja itu sendiri berupa pendidikan seks. Pendidkan seks bukanlah sekadar penerangan tentang seks (atau hubungan seks), melainkan sebagaimana pendidikan lainnya (pendidikan agama, pendidikan pancasila), pendidikan seks juga mengandung nilai-nilai (baik-buruk-benar-salah) yang harus ditansformasikan kepada peserta didik.
Sudah tentu, penyampaian nilai- nilai tersebut harus proporsional dan professional. Tidak boleh terlalu menggurui (menasehati) yang sering dianggap menyebalkan oleh para remaja, juga tidak boleh terlalu amatiran (sehingga asal memberi jawaban saja walaupun salah). Pendidikan seks harus disampaikan secara bersahabat (sebagai teman) dan sekaligus berbobot (berisi informasi yang tepat dan benar). Oleh karena itulah, penulis melalui PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) mengajukan gagasan hot-line service “Sahabat Remaja” yang dioperasikan pada tahun 1982-1986 di berbagai cabang PKBI (Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Kupang), dengan bantuan dana dari UNFPA (United Nation Funds For Population Activities) dan IPPF (International Planned Parenthood Fossociation).

2. Masalah Remaja dan Rokok
Meskipun semua orang tahu akan bahaya yang akan ditimbulkan akibat rokok, perilaku merokok tidak pernah surut dan tampaknya masih dapat ditelorir oleh masyarakat. Hamper setiap saat dapat disaksikan dan dijumpai orang yang sedang merokok. Bahkan, di sebelah ibu yang sedang menggendong bayi sekalipun, orang tersebut tetap tenang mengembuskan asap rokoknya dan biasanya orang-orang yang ada di sekelilingnya seringkali tidak peduli.
Hal yang memprihatinkan adalah usia perokok yang setiap tahun semakin muda. Bila dulu orang mulai berani merokok saat SMP, sekarang anak-anak SD kelas 5 sudah merokok secara diam-diam.
a. Bahaya rokok
Kerugian yang ditimbulkan rokok sangat banyak bagi kesehatan. Akan tetapi, sayangnya masih saja banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya. Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsiogenik. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Pada awalnya, rokok mengandung 8-20 mg nikotin dan setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25 %. Walaupun dalam jumlah kecil, hanya dalam waktu 15 detik sampai ke otak manusia.
Efek dari rokok/tembakau memberi stimulasi depresi ringan, gangguan daya tangkap, alam perasaan, alam pikiran, tingkah laku dan fungsi psikomotor.

b. Tipe-tipe Rokok
Mereka yang dikatakan perokok sangat berat adalah bila mengasumsi rokok lebih dari 31 batang per hari dan selang merokoknya lima menit setelah bangun pagi.
Menurut Silvan Tomkins (dalam Al Bachri 1991), ada 4 tipe perilaku merokok berdasarkan Management of affect theory, keempat tipe tersebut adalah :
1) Tipe perokok yang dipengaruhi oleh perasaan positif. Dengan merokok, seseorang merasakan penambahan rasa yang positif. Green (dalam Psychological Factor in Smoking, 1978) menambahkan asa 3 subtipe ini :
• Pleasure relaxation, merokok hanya untuk menambah atau meningkatkan kenikmatan yang sudah didapat, misalnya merokok setelah minum kopi atau makan.
• Stimulation to pick them up. Merokok hanya dilakukan sekedarnya untuk menyenangkan perasaan.
• Pleasure of handling the cigarette. Kenikmatan yang diperoleh dengan memegang rokok.
2) Perilaku merokok yang dipengaruhi oleh perasaan negatif. Banyak orang yang menggunakan rokok untuk mengurangi perasaan negatif, misalnya bila ia marah, cemas, gelisah, rokok dianggap sebagai penyelamat.
3) Perilaku merokok yang adiktif. Green menyebutnya sebagai psychological Addiction. Mereka yang sudah adiksi akan menambah dosis rokok yang digunakan setiap saat setelah efek dari rokok yang dihisapnya berkurang.
4) Perilaku merokok yang sudah menjadi kebiasaan. Mereka menggunakan rokok bukan karena untuk mengendalikan perasaan mereka, tetapi karena benar-benar sudah menjadi kebiasaan rutin.


c. Penyebab remaja merokok
1) Pengaruh orangtua
2) Pengaruh teman
3) Faktor kepribadian
4) Pengaruh iklan

d. Upaya pencegahan
Suatu program kampanye anti merokok bagi para remaja yang dilakukan oleh Richard Evans (1980) dapat dijadikan contoh dalam melakukan upaya pencegahan agar remaja tidak merokok, karena ternyata program tersebut membawa hasil yang menggembirakan. Kampanye anti merokok ini dilakukan dengan cara membuat berbagai poster, film dan diskusi-diskusi tentang berbagai aspek yang berhubungan dengan merokok. Lahan yang digunakan untuk kampanye ini adalah sekolah, televise, atau media.

3. Remaja dan Perilaku Konsumtif
Belanja adalah kata yang sering digunakan sehari-hari dalam konteks perekonomian, baik di dunia usaha maupun rumah tangga.
a. Pola hidup konsumtif
Konsumtif biasanya digunakan untuk menunjuk pada perilaku konsumen yang memanfaatkan nilai uang lebih besar daripada nilai produksinya untuk barang dan jasa yang bukan menjadi kebutuhan pokok. Sebagai ilustrasi, seseorang memiliki penghasilan 500 ribu rupiah. Ia membelanjakan 400 ribu rupiah dalam waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sisa 100 ribu ia sudah rusak. Dalam hal ini orang tadi belum disebut berperilaku konsumtif. Tapi apabila ia belanjakan untuk sepatu yang sebenarnya tidak ia butuhkan (apalagi ia membeli sepatu 200 ribu dengan kartu kredit), ia dapat disebut berperilaku konsumtif.




b. Perilaku konsumtif remaja
Di kalangan remaja yang memiliki orangtua kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal, mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Dari sejumlah hasil penelitian, ada perbedaan dalam pola konsumsi antara pria dan wanita. Perbedaan tersebut adalah berikut ini.
Pria Wanita
1. mudah terpengaruh bujukan penjual.

2. sering tertipu karena tidak sabaran dalam memilih barang.
3. mempunyai perasaan kurang enak bila tidak membeli sesuatu setelah memasuki took
4. kurang menikmati kegiatan berbelanja sehingga sering terburu-buru mengambil keputusan membeli.
1. lebih tertarik pada warna dan penjual bentuk, bukan pada hal teknis dan kegunaannya.
2. tidak mudah terbawa arus bujukan penjual.
3. menyenangi hal-hal yang romantis.
4. cepat merasakan suasana took.
5. senang melakukan kegiatan berbelanja walau hanya window shopping (melihat-lihat saja tapi tidak membeli)

4. Perkelahian Pelajar
Perkelahian atau yang sering disebut tawuran, sering terjadi di antara pelajar. Bahkan, bukan “hanya” antarpelajar SMU, tetapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja.

a. Dampak perkelahian pelajar
Jelas bahwa perkelahian pelajar ini merugikan banyak pihak. Paling tidak, ada empat kategori dampak negatif dari perkelahian pelajar. Pertama, pelajar (dan keluarganya) yang terlibat perkelahian jelas mengalami dampak negatif bila ia mengalami cidera atau bahkan tewas. Kedua, rusaknya fasilitas umum seperti bus, halted an fasilitas lainnya, serta fasilitas pribadi seperti kaca took dan kendaraan. Ketiga, terganggunya proses belajar di sekolah. Terakhir, mungkin yang paling dikhawatirkan para pendidik, adalah berkurangnya penghargaan siswa terhadap toleransi perdamaian dan nilai-nilai hidup orang lain.

b. Pandangan umum terhadap penyebab perkelahian pelajar
Secara psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile delinquency). Kenakalan remaja, dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi, yaitu situasional dan sistematik.
c. Tinjauan psikologis penyebab remaja terlibat perkelahian pelajar
Dalam pandangan psikologi, setiap perilaku merupakan interaksi antara kecenderungan di dalam diri individu (sering disebut kepribadian, walaupun tidak selalu tepat) dan kondisi eksternal. Bila dijabarkan, terdapat sedikitnya 4 faktor psikologis yang menyebabkan seorang remaja terlibat perkelahian pelajar.
1) Faktor internal
Remaja yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsangan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa mereka mengalami konflik batin, mudah frustasi, memiliki emosi yang labil, tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang kuat.

2) Faktor keluarga
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orangtua atau pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orangtua yang terlalu melindungi anaknya, menyebabkan si anak ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik.
3) Faktor sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu, tetapi terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang menoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.
4) Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari dialami remaja, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba).

d. Faktor penyebab perilaku agresi
Bagi warga Jakarta, aksi-aksi kekerasan, baik individual maupun massa, mungkin sudah merupakan berita harian. Saat ini beberapa televise, bahkan membuat program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi kekerasan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll).
Ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa saja penyebab perilaku agresi.
1) Amarah
Marah merupakan emosi yang memiliki ciri-ciri aktivitas sistem syaraf parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat yang biasanya disebabkan adanya kesalahan, yang mungkin nyata-nyata salah atau mungkin juga tidak (Davidoff, Psikologi suatu pengantar 1991).



2) Faktor biologis
Ada beberapa faktor biologis yang mempengaruhi perilaku agresi (Davidoff, 1991) :
• Gen tampaknya berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku agresi.
• Sistem otak yang tidak terlibat dalam agresi ternyata dapat memperkuat atau menghambat sirkuit neural yang mengendalikan agresi.
• Kimia darah (khususnya hormone seks yang sebagian ditentukan faktor keturunan) juga dapat mempengaruhi perilaku agresi.
3) Kesenjangan generasi
Adanya perbedaan atau jurang pemisah (gap) antara generasi anak dan orangtua dapat terlihat dalam bentuk hubungan komunikasi yang semakin minimal dan sering tidak nyambung. Permasalahan generation gap ini harus diatasi dengan segera, mengingat bahwa selain agresi, masih banyak permasalahan lain yang dapat muncul, seperti ketergantungan narkotik, kehamilan di luar nikah, seks bebas.
4) Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif adalah sebagai berikut ini.
a) Kemiskinan
b) Anonimitas
c) Suhu udara yang panas
5) Peran belajar model kekerasan
Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini anak-anak dan remaja banyak mengetahui adegan kekerasan melalui televise dan juga “games” yang bertema kekerasan. Selain itu, ada pula acara-acara TV yang menyajikan acara khusus perkelahian yang sangat popular di kalangan remaja seperti Smack Down, UFC (Ultimate Fighting Championship) atau sejenisnya. Walaupun pembawa acara berulang kali mengingatkan penonton untuk tidak mencontoh apa yang mereka saksikan, diyakini bahwa tontonan tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan jiwa penontonnya.

6) Frustasi
Frustasi terjadi bila seseorang terhalang oleh sesuatu dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Agresi merupakan salah satu cara berespons terhadap frustasi. Remaja miskin yang nakal adalah akibat dari frustasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi, tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya, mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi.
7) Proses pendisiplinan yang keliru
Pendidikan disiplin yang otoriter dengan penerapan yang keras, terutama dilakukan dengan memberikan hukuman fisik, dapat menimbulkan berbagai pengaruh yang buruk bagi remaja (Sukadji, Keluarga dan Keberhasilan Pendidikan, 1988). Pendidikan disiplin seperti itu akan membuat remaja menjadi seorang penakut, tidak ramah dengan orang lain, dan membenci orang yang memberi hukuman, kehilangan spontanitas serta inisiatif dan pada akhirnya melampiaskan kemarahannya dalam bentuk agresi pada orang lain. Pola pendisiplinan tersebut dapat pula menimbulkan pemberontakan, terutama bila larangan-larangan yang bersangsi hukuman tidak diimbangi dengan alternatif (cara) lain yang dapat memenuhi kebutuhan yang mendasar (misalnya dilarang untuk keluar main, tetapi di dalam rumah tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya karena kesibukan mereka).

E. Penanganan Masalah Remaja Dengan Cara Mekanisme Pertahanan Diri
Sebagian individu mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress ataupun konflik dengan melakukan mekanisme pertahanan diri, baik yang ia lakukan secara sadar ataupun tidak.
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan.
Istilah mekanisme bukanlah istilah yang paling tepat karena menyangkut semacam peralatan mekanik. Istilah tersebut mungkin karena Freud banyak dipengaruhi oleh kecenderungan abad ke-19 yang memandang manusia sebagai mesin yang rumit.
Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Mekanisme pertahanan diri berikut, di antaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya.
1. Represi
Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Pada umumnya, banyak individu yang pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya :
a. Individu cenderung untuk tidak berlama-lama mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan.
b. Berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada.
c. Lebih sering mengomunikasikan berita baik daripada berita buruk
d. Lebih mudah meningat hal-hal positif daripada yang negatif.
e. Lebih sering menekankan kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
2. Supresi
Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan untuk menjaga agar implus-implus dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi, tetapi mengingkarinya secara umum).

3. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)
Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan eskpresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar yang dibuat samar dengan tindak kebaikan.
4. Fiksasi
Dalam menghadapi kehidupannya, individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya.

5. Regresi
Regresi merupakan respons yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali melakukan sesuatu yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Misalnya anak yang baru memperoleh adik, akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya.

6. Menarik Diri
Reaksi ini merupakan respons yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apa pun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.

7. Mengelak
Bila merasa diliputi oleh stress yang lama, kuat dan terus-menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.


8. Denial (Menyangkal Kenyataan)
Bila individu menyangkal kenyataan, dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri.
9. Fantasi
Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan mengakibatkan frustasi. Akan tetapi, bila dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaran yang baik, fantasi menjadi cara sehat untuk mengatasi stress. Dengan demikian, berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu.
10. Rasionalisasi
Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.
1. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan intelektualisasi, ia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalahan secara objektif.
2. Proyeksi
Individu yang menggunakan teknik proyeksi biasanya sangat tepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929