loading...

TEORI PEMAHAMAN MATERIALISME DIALEKTIKA DAN EMPIRIOKRITISISME III

May 01, 2013
loading...
TEORI PEMAHAMAN MATERIALISME DIALEKTIKA
DAN EMPIRIOKRITISISME III


TEORI PEMAHAMAN MATERIALISME DIALEKTIKA
DAN EMPIRIOKRITISISME III

1. Apakah Materi Itu? Apakah Pengalaman Itu?
Pertanyaan pertama dari pertanyaan-pertanyaan itu selalu diajukan oleh kaum idealis, oleh kaum agnostikus, di antaranya oleh kaum Machis kepada kaum materialis; pertanyaan kedua diajukan oleh kaum materialis kepada kaum Machis. Coba kita analisa di mana letak masalahnya.

Avenarius berkata mengenai masalah materi:
"Di dalam ‘pengalaman penuh' yang telah dibersihkan tidak ada benda-benda fisis - yaitu "materi" di dalam pengertian metafisis yang absolut, sebab "materi" di dalam pengertian ini adalah abstraksi: dia, kiranya adalah kumpulan daripada komponen-lawan ketika mengabstraksikan (ketika melihat secara terpisah, Pent.) dari komponen-pusat yang manapun. Baik di dalam koordinasi prinsipiil, yaitu di dalam "pengalaman penuh" tidak bisa dimengerti (undenkbaar) kompone-lawan tanpa komponen-pusat, maka juga "materi" di dalam pengertian metafisis yang absolut adalah nonsen (Unding) yang penuh" (Bemerkungen, S.2 * dalam majalah yang disebutkan, paragraf 119).
Dari omongkosong itu tampak satu: Avenarius menamakan hal yang fisis atau materi sebagai absolut dan sebagai metafisika, sebab menurut teori kordinasi prinsipiilnya (atau secara baru: "Pengalaman Penuh") komponen-lawan tak terpisahkan dari komponen-pusat, alam sekitar ddak terpisahkan dari Aku, yang-bukan-Aku tak terpisahkan dari Aku (sebagaimana dikatakan oleh 3.G.Fichte). Bahwa teori itu adalah idealisme subyektif dengan jubah baru, tentang ha1 itu kita sudah berbicara pada tempatnya sendiri, dan watak serangan Avenarius kepada "materi" sama sekali jelas: kaum idealis mengingkari kenyataan fisis tak tergantung dari psykho dan oleh sebab itu membantah pengertian yang diolah filsafat untuk kenyataan semacam itu. Bahwa materi adalah data-data "fisis" (yaitu data-data yang lebih dikenal dan yang langsung diberikan kepada manusia, yang tentang adanya tidak diragukan oleh siapapun, kecuali oleh penghuni nunah-rumah kuning), -- tentang hal itu Avenarius tidak mengingkari, dia hanya menuntut agar diterixna teori "dia" tentang hubungan yang tak terpisahkan antara alam sekitar dengan Aku.
Mach menyatakan pendapat itu Iebih sederhana, tanpa keruwetan-keruwetan filosofis. "Apa yang kita namakan materi, adalah hanya hubungan wajar yang cukup diketahui daripada elemen-elemen ("perasaan")" ("Analisa Perasaan", hal. 265) Mach mengira, bahwa dengan mengajukan penegasan semacam itu, dia melancarkan "revolusi yang radikal" di dalam pandangan dunia sehari-hari. Pada kenyataannya itu adalah idealisme subyektif yang tua bangka, yang ketelanjangannya ditutupi dengan istilah "elemen"
Akhirnya seorang Machis Inggris Pearson, yang tak kenal ampun bertempur melawan materialisme, berkata: "Dari titik tolak ilmiah tak mungkin ada bantahan terhadap ha1 bahwa dengan mengklasifikasi grup-grup yang terkenal dan yang agak konstan daripada tanggapan-tanggapan panca-indera, dengan menyatukan mereka bersama dan menamakannya sebagai materi -- kita, dengan begitu, sampai pada jarak yang sangat dekat dengan definisi J.St.Mill: materi adalah kemungkinan yang konstan dari perasaan, -- tapi definisi semacam daripada materi sama sekali tidak mirip dengan hal, bahwa materi adalah benda yang bergerak" ("The Grammar of Science", 1900, 2"d ed. P. 249 * * ). Di sini tidak ada daun korma (`) "elemen", dan kaum idealis secara langsung mengulurkan tangan pada kaum agnostikus.
Pembaca melihat, bahwa semua pertimbangan daripada peletak dasar empiriokritisisme itu seluruhnya dan terutama berputar-putar dalam rangka masalah gnosiologis yang sudah sejak lama tentang hubungan fikiran dengan kenyataan, perasaan dengan hal-ha1 fisis. Diperlukan kenaifan yang tiada taranya daripada kaum Machis Rusia untuk menganggap di sini sesuatu yang paling tidak mempunyai hubungan dengan "ilmu alam terbaru" atau dengan positivisrne terbaru". Semua ahli filsafat yang telah kita ajukan, ada yang secara langsung, ada yang secara samar-samar mengganti garis filsafat dasar materialisme (dari kenyataan ke fikiran, dari materi ke perasaan) dengan garis idealisme yang berlawanan. Pengingkaran atas materi oleh mereka adalah penyelesaian yang sudah sejak lama dikenal daripada masalah-masalah pemahaman-teoritis dalam artian pengingkaran atas sumber luar, sumber obyektif dari perasaan kita, pengingkaran atas realitas obyektif yang sesuai dengan perasaan kita. Dan sebaliknya, pengakuan atas garis filsafat, yang diingkari oleh kaum idealis dan kaum agnostikus, termanifestasi dalam definisi" materi adalah apa yang ketika mempengaruhi alat-alat panca-indera kita menimbulkan perasaan; materi adalah realitas obyektif yang diberikan kepada kita di dalam perasaan, dsb.
Bogdanov dengan berkedok, bahwa dia hanya berdebat dengan Baltov, dan secara pengecut tidak menyinggung Engels, menjadi marah oleh definisi-definisi semacam itu, yang, pembaca lihat, "yang ternyata hanya sekedar pengulang-ulangan" ("Empiriomnisme", III, hal. XVI). Daripada "rumus" (si "Marxis" kita lupa menambahkan: rumusan Engels), bahwa bagi satu aliran di dalam filsafat, materi adalah primer, jiwa - sekunder, bagi aliran lain - sebaliknya. Semua kaum Machis Rusia dengan penuh gairah mengulang-ulangi "pembantahan" Bogdanov! Sedang pada kenyataannya renungan yang paling kecilpun bisa kiranya menunjukkan kepada orang-orang itu, kecuali berupa petunjuk, yang manakah yang dianggap primer. Apakah artinya memberi "definisi"? itu berarti pertama-tama memasukkan suatu pengertian ke dalam pengertian "keledai" ke dalam pengertian yang lebih luas. Sekarang muncul pertanyaan, adakah pengertian yang lebih luas, dengan mana kiranya teori pemahaman bisa beroperasi, daripada pengertian: kenyataan dan fikiran, materi dan perasaan, hal-hal yang fisis dan yang psykhis? Tidak ada. Itu adalah pengertian yang cukup luas, yang paling Was, lebih jauh maua pada hakekatnya (kalau tidak memaksudkan selalu mungkin mengubah istilah) sampai sekarang gnosiologi belum pernah melangkah. Hanya penipuan dan ketololan yang keterlaluan bisa menuntut "definisi" demikian daripada dua "deret" pengertian yang cukup luas, yang kiranya tidak terdiri dari "pengulangansederhana": yang satu atau yang lain diambil sebagai yang primer. Ambillah tiga pertimbangan sebagai atas materi di atas. Mengarah kemanakah semua pertimbangan itu? Ke hal, bahw ahli-hli filsafat itu berjalan dari yang psykhis, , atau dari Aku, ke yang fisis, atau ke alam sekitar, sebagai dari komponen-pusat ke komponen-lawan, atau dari perasaan ke materi, atau dari tanggapan panca-indera ke materi. Bisakah kiranya Avenarius, Mach dan Pearson memberikan sesuatu "definisi" lain daripada pengertian-pengertia dasar, kecuali petunjuk daripada arah garis filsafa.t mereka? Bisakah kiranya mereka memberi definisi secara lain, sekali lagi entah bagaimana secara khusus menentukan apakah Aku itu, apakah perasaan itu., apakah tanggapan panca-indera itu? Sudah cukup jelas untuk mengajukan pertanyaan, agar supaya mengerti, betapa besarnya omong kosong yang dibicarakan oleh kaum Machis, ketika mereka menuntut dari kaum materialis definisi materi yang demikian, yang kiranya tidak mengarah ke pengulangan, bahwa materi, alam, kenyataan, yang fisis adalah yang pertama, sedang jiwa, kesadaran, Perasaan, yang PSYlchis adalah yang kedua.
Zenialitas Marx dan Engels justru muncul daiam hal, bahwa mereka mengabaikan permainan-permainan congkak daripada istilah-istilah, terminologi-terminologi yang sukar, "isme-isme" yang licik, dan dengan sederhana dan langsung berkata: ada garis materialis dan idealis di dalam filsafat. Usaha untuk menemukan titik tolak "baru" di dalam filsafat dinilai sebagai kemiskinan jiwa, sebagai usaha menciptakan teori nilai "baru", teori rente "baru" dsb.
Mengenai Avenarius, Carstanjen muridnya-- berkata bahwa dia mengatakan di dalam percakapan pribadi: "Saya tidak tahu baik yang fisis maupun yang psykhis, tapi tahu yang ketiga". Atas catatan seorang pembaca, bahwa pengertian yang ketiga itu tidak diberikan oleh Avenarius, Petzoldt menjawab: "Kita tahu mengapa dia tidak bisa mengajukan pengertian bahwa mengambil sumber dari yang ketiga adalah perbuatan yang aneh, sebab setiap dari kita mengetahui baik apakah itu yang fisis maupun apakah yang psykhis, tapi tak seorangpun dari kita pada saat itu yang tahu, apakah yang "ketiga" itu. Dengan kelakuan yang aneh itu Avenarius hanya menghapus jejak, pada kenyataannya menyatakan Aku yang primer (komponen-pusat) sedang alam (alam sekitar) yang sekunder (komponen-lawan).
Sudah barang tentu, juga bertentangan materi dengan kesadaran memiliki artinya yang absoiut hanya di daiam bidang yang sangat terbatas: dalam hal ini tenttama dalam batas-batas masalah gnosiologi dasar tentang hal, apakah yang diakui sebagai yang primer dan apa yang diakui sebagai yang sekunder. Di luar batas-batas itu kerelatifan daripada pertentangan tersebut adaiah tidak teragukan.
Kita lihat sekarang pemakaian kata: pengalaman di dalam filsafat empiriokritisis. Paragraf pertama. daripada "Kritik Pengalaman Bersih" membentangkan "anggapan" sebagai berikut: "bagian yang manapun dari alam sekitar memiliki huhungan sedemikian rupa dengan individu-individu manusia, sehingga kalau dia muncul, maka mereka akan menyatakan tentang pengalamannya: yang ini dan yang itu saya mengetahui dengan pertolongan pengalaman: yang ini dan yang itu adalah pengalaman" terjemahan dalam bahasa Rusia, hal. 1). Jadi, pengalaman ditentukan semuanya oleh pengertian-pengertian yang tadi: Aku dan alam sekitar, di mana "ajaran" tentang hubungan "yang tak terpisahkan" antara mereka sementara tidak dipakai. Selanjutnya "pengertian sistesis pengalaman bersih" ; "Yaitu justru pengalaman, di mana, yang merupakan sumber dasar daripada alam sekitar" (1-2). Ka1au dianggap bahwa alam sekitar ada secara tak tergantung dari "pernyataan-pernyataan" dan "ucapan-ucapan" seseorang, maka terbukalah kemungkinan menjelaskan pengalaman secara materialis! "Pengetian analitis atas pengalaman" " "justru adalah pernyataan yang sedemikian, ke dalam mana tidak dicampurkan sesuatu yang kiranya bukan merupakan pengalaman, dan oleh sebab iiu, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan pengalaman"(2). Pengalaman adaiah pengalaman. Dan ada juga orang_ orang, yang menganggap omong-kosong yang berlagak kesarjanaan itu sebagai fikiran mendalam yang sebenarnya.
Masih perlu lagi ditambahkan, bahwa Avenarius di dalam jilid II "Kritik Pengalaman Bersih"memandang "pengalaman" sebagai "kejadian khusus" dari hal-hal psykhis, bahwa dia membagi pengalaman menjadi sachhafe Werte (nilai bendawi) dan genakenhafte Werte (nilai fikiran), bahwa "pengalaman dalam artian yang luas" mengandung yang tersebut yang terakhir itu, bahwa "pengalaman yang menyeluruh" identik dengan koordinasi prinsipiil ("Bemerkungen"). Singkatnya: "mau apa saja, mintalah apa saja". "Pengalaman" menutupi baik garis materialis maupun garis ideialis di dalam filsafat, mensucikan keruwetannya. Kalau kaum Machis kita secara percaya menganggap "pengalaman bersih" sebagai kebenaran, maka di dalam kesusteraan filsafat wakil-wakil dari bermacam-macam aliran sama-sama menunjukkan penyalah-gunaan pengertian itu dari pihak Avenarius. "Apakah pengalaman bersih itu,-- tulis A. Riehl, -- tetap dimiliki oleh Avenarius secara tak menentu, dan pernyataannya: "pengalaman bersih adalah pengalaman yang dengan mana tak tercampurkan sesuatu yang, pada gilirannya, kiranya bukan merupakan pengalaman", jelas berputar-putar pada satu lingkaran" ("Systematische Philosophie", Lpz.1907, S.102 ** ). Pengalaman bersih milik Avenarius, -¬tulis Wundt, -- kadang-kadang berarti setiap fantasi, kadang-kadang ucapan-ucapan dengan watak "kebendaan"("Phil. Studien",
* "Einfurung in die Philosophie der reinen Erfahrung" II, 329. - "Pembukaan Ke Dalam Filsafat Pengalaman Bersih", jil. II, hal. 329. Red.)
** "Filsafat Sistimatis", Leipzig, 1907, hal. 102. Red.
halaman 85
XIII Band, 5.92-93 *}. Avenarius mengolor pengertian pengalaman (5.382). "Dari definisi yang tepat dari termmolagi: pengalaman dan pengalaman bersih, __ tulis Cauwelaert, __ tergantunglah arti daripada seluruh filsafat itu" ("Rev.Neo-seholastique" 1907, fevr. P.61 **). "Ketidak tentuan defmisi atas terminologi: pengalaman, memberikan pengabdian yang balk kepada
* "Einfurung in die Philosophie der reinen Erfahrung" II, 329. - "pembukaan Ke llalam Filsafat Pengalaman Bersih", jil. II, hal. 329. Red.)
** "Filsafat Sistimatis", Leipzig, 1907, hal. 102. Red. halaman 85
XIII Band, 5.92-93 *). Avenarius mengolor pengertian pengalaman (5.382). "Dari de 'fimsi yang tePat dari terminologi: pengalaman dan pengalalmman bersih, _- tulis Cauwelaert, _- ter an
g tunglah tentuan ~ ~Pada defmisi selun~ atas h filsafat itu terminologi: " ("Rev.Neo-scholastique" 1907, fevr. P.61 * * . "Ketid
} ak
pengalam,an,memberikan penga~an yang b~ ke da Pa Avenarius" dal~n menyelundupkan idealisme dengan kedok berjuang melawann
Norman Smith Mind Vol. XV, p. 29) *** Ya, -- berkata

"Saya secara khidmat menyatakan: arti intern, jiwa daripada filsafat saya terletak dalam hal, bahwa manusia tidak memiliki sesuatu, kecuali pengalaman; manusia sampai pada apa saja hanya melewati pengalaman" ..... Tidak benarkah, betapa dia itu seorang ahli filsafat pengalaman bersih yang tegas? Penulis kata-kata itu adalah seorang idealis subyektif J.G.Fichte ("Sonn.Ber.etc, 5.12 ****). Dari sejarah filsafat diketahui, bahwa interpretasi pengertian pengalaman telah dimiliki bersama oleh kaum materialis klasik dan kaum idealis klasik. Dewasa ini berbagai macam filsafat keprofesoran menyelubungi kereaksioneran mereka dengan jubah deklamasi tentang "pengalaman". Semua kaun immanentis mengambil sumber dari pengalaman. Mach di dalam Kata pendahuluan bagi terbitan kedua bukunya "Pemahaman Dan Kesesatan" memuji buku profesor Yerusalem, di dalam mana ldta baca: "Fengakuan atas adanya Tuhan secara mula pertama tidak berkontradiksi dengan pengalaman yang manapun" ("Der krit. Id..etc", S. 222) * * * * *
Bisa hanya disayangkan, tentang orang-orang yang percaya pada Avenarius & Co, bahwa seolah-olah dengan pertolongan istilah "pengalaman" bisa mengungguli perbedaan "usang" antara materialisme dan idealisme. Kalau Valentinov dan Yushkevic menuduh Bogdanov yang sedikit menyeleng dari Machisme murni dalam penggunaan secara salah kata pengalaman, maka tuan=tuan itu di sini menemukan hanya ketololannya, Bogdanov "tidak salah" dalam masalah ini: dia hanya secara membudak menggunakan kebingungan Mach dan Avenarius.Ketika dia berkata:
" Kesadaran dan pengalaman psykhis yang langsung -adalah pengertian yang identik" ("Empiriomonisme" II, 53), sedang materi "bukan pengalaman", apai "adalah yang tidak dikenal" ("Empiriomonisme" III, XIII), -- maka dia menginterpretasi pengalaman secara idealis. Dan dia sudah barang tentu, bukan yang pertama * * * * * * * dan bukan yang terkahir membentuk sistim-sistim idealis di atas kata pengalaman. Ketika dia membantah para ahli filsafat reaksioner, dengan mengatakan, bahwa usaha-usaha keluar dari batas-batas pengalaman, pada kenyataannya menjurus ke abstraksi kosong dan ke gambaran-gambaran yang yang bekontradiksi, elemen-elemen mana bagaimanapun juga diambil dari pengalaman" (I, 48), -- dia rnempertentangkan apa yang di luar manusia dan tak tergantung dari kesadarannya, dengan abstraksi kosong daripada kesadaran manusia, artinya dia menginterpretasi pengalaman secara materialis.
Sedemikian juga halnya Mach, di bawah titik tolak mula pertama ideaiisme (benda adalah kompleks-kompleks pe asaan dan "elemen-eiemen) sering bermiripan dengan interpretasi
Judui: FiIsafat Pendidikan Naturalisme, Teori, impiikasi dan Aptikasinya dalam Pendidikan Islam
Bahan ini cocok untuk Perguroan Tinggi bagian PENDiDiKAN 1 EDUCATION, Nama & E-mail (Penuiis): Hakiki Mahfuzh
Saya Dosen di Jogjakarta Topik: pendidikan Tanggai: 10 Maret 2008
FILSAFAT PENDtDIKAN NATURALtSME TEORI, IMPLIKASf DAN APLIKASlNYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oeh : Hakiki Mahfuzh
Abstract:
Students in our school have been came from multicultural backgrounds, languages indeed capacities. These diversities inform that every person is different and has many kind of potential talents. By that reason known that, every different person needs different education.
Different education needs different philosophical thought, either in building its vision, mission, formulating its aims, and in all its processes. It is important because education is concerned with what man may become. So education has peculiar need of guidepost to direct its activities. For this guidepost, it has to go to philosophy. ,
Naturalism is one of philosophical thoughts in education that sees the education processes and nature must be in harmony. 1t is important that all educational activities in accordance with the growth and development of nature.
According to the Islamic educational perspective, all creations in the universe can be tools of teaming or teaming resources. From these creations the learners are able to take many examples, lessons and hikmah biside these Allah's creations. These are many verses of the holy A!-Quraan ask all believes to observe the world and its contents in order to understand their place between many other creations.
Key words: Naturaiisme, Teori, Implikasi, dan Aplikasi
A. Pengantar
Jhon S. Brubacher, seorang Professor di bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat dalam bukunya "A History of the Problems of Education" menyebutkan bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dahulu kala telah memiliki keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoaEan¬persoalan filsafat.1)
Banyak hal yang menyebabkan persoalan pendidikan memiliki keterikatan dengan filsafat. Salah satunya adalah pendidikan selalu berusaha membentuk kepribadian manusia sebagai subyek sekatigus obyek pendidikan. Datam konteks ini, pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang setelah pendidikan itu bertangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya menjangkau kawasan paling ideal dan baik sep8rti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun 2003), dewasa (Langeve!), atau insan kamii (Atiyah al-Abrasy). Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam, sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal, tetapi memerlukan analisis dan pemikiran fllosofis.
Selain persoatan tujuan, seluruh aspek datam pendidikan mulai dart konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran fliosofis. Dari sini juga kemudian lahir aliran-aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan. Salah satu di antara beberapa aliran fiisafat pendidikan tersebut adalah Naturalisme.
Apa saja pemikiran fifsafat Naturalisme di bidang pendidikan? Lantas Bagaimana mengpalikasikan pemikiran filsafat Naturalisme tersebut dalam pendidikan Islam? Dua pertanyaan ini layak dialamatkan kepada aliran filsafat pendidikan ini.
B. Percikan Pemikiran Naturatisme

Aliran filsafat pendidikan Naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan Aristotaiian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang sains. la berpandangan bahwa "Learned heavily on the knowledge reported by man's sense". Filsafat pendidikan ini didukung oieh tiga aliran besar yaitu Realisme, Empirisme dan Rasionalisme. Semua penganut Naturalisme merupakan penganut Realisme, tetapi tidak semua penganut Realisme merupakan penganut Naturalisme.2) Imam Barnadib menyebutkan bahwa Realisme merupakan anak dari Naturalisme.3) Oteh sebab itu, banyak ide-ide pemikiran Realisme sejalan dengan Naturalisme. Salah satunya adalah nilai estetis dan efis dapat diperoleh dari alam, karena di alam tersedia kedua hal tersebut.4)
Dimensi utama dan pertama dari pemikiran fifsafat pendidikan Naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Filsuf yang pertama kali memperhatikan dan memberikan konsidensi terhadap orientasi pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme adalah John Amos Comenius (1592-1670).
Sebagai pendeta Protestan sekaligus paedagog, ia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan oleh Tuhan dan untuk Tuhan. Manusia diciptakan dan ditempatkan di atas semua makhtuk, karena kemampuannya dalam berfikir. Percikan pemikiran Comenius berpengaruh pada teori-teori pendidikannya. Salah satunya adalafi peserta didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan intelek. Pendidikan tidak hanya sekedar untuk menjadikan seseorang mau belajar, melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.5)
Dalam pendidikan dan pengajaran, Comenius menggunakan hukum-hukum afam sebagai contoh yang senantiasa tertib dan teratur. Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut :
1. Segatanya berkembang dari alam
2. Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-ioncat melainkan terjadi secara bertahap.
3. Alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil mengadakan persiapan.
Dalam bukunya yang berjudul Didagtica Magna (The Great Didactic) ia berkomentar,
If we wish to find a remedy for the defects of nature, it is in nature herself that we must look for it. Since it is certain that art can do nothing unless it imitates nature.6)
Dalam proses pendidikan, seperti pendahulunya Woifgang Ratke, Comenius juga berpendapat tentang prosedur dalam bidang pendidikan bahwa dari pada membuat kerusakan pada proses alam, lebih baik bersahabat dengan proses alam tersebut. Pendapatnya ini berimplikasi pada pelaksanaan pendidikan dengan keharusan tidak merusak alam dan meniru perkembangan alam.
Alam berkembang dengan teratur dan menunut aturan waktu tertentu. Tidak pemah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dart bunga.
Tidak pernah terjadi lompatan tiba-tiba sebatang pohon mangga mengeluarkan buah mangga tanpa sebelumnya didahului oleh munculnya bunga mangga. Apabita pendidikan menganut aliran ini, maka setiap proses pendidikan hendaknya mengikuti pola tadarruj (bertahap) sesuai dengan perkembangan alam. Ar6nya proses pendidikan tidak dilakukan secara tergesa-gesa, melainkan dilakukan secara terencana dan bertahap sesuai dengan tahapan perkembangan fisik dan psikis peserta didik.
Perkembangan yang tertjadi di aiam merupakan cermin bagi manusia untuk bertafakur dan bertadabbur. Tidak pemah terjadi dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan makhluk yang ada di alam menyimpang dari potensi yang dimilikinya. Semuanya tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi masing-masing.
Thomas Armstrong barangkali merupakan pakar pendidikan yang dapat mengelaborasi
dengan baik pembelajaran dengan cara bertahap dan sesuai dengan perkembangan alam. Dalam In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child's Multiple intelleigences Asmtrong mengilustrasikan dengan sangat baik bagaimana sebuah sekolah yang inging dibangun oleh para binatang besar untuk binatang kecit di datam hutan. Sejak awal para binatang besar bingung menentukan mated ajar terpenting yang akan dipakai di sekolah tersebut, meskipun pada akhimya disepakati bahwa semua binatang kecil harus mengikuti mated ajar yang diberlakukan, yaitu; berlari, berenang, terbang, memanjat, dan menggali. Semula sekolah tersebut penuh keceriaan dan menyenangkan.
Namun pada hari-hari berikutnya persoalan mulai muncul ketika Kelinci yang memiliki potensi atamiyah dan jago dalam berlari harus mengikuti mated pelajaran renang. Hampir saja si Kelinci tenggelam. Ma1u bercampur haru menjadi satu dalam diri Kelinci dan pada akhirnya Kelincipun minder pada binatang lain, terutama pada ikan. la berusaha sedemikian rupa agar bisa berenang, sehingga tidak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya. Potensi berlari yang merupakan kemampuan alami utamanya terlupakan dan menjadi "loyo" akibat kebanyakan mengikuti les renang.
Problem yang sama dialami juga oteh binatang yang lain, tidak terkecuali oleh burung Elang yang jago terbang. Ketika burung Elang mengikuti mated pelajaran menggali, ia tidak mampu melakukan tugas-tugas yang diberikan ofeh binatang besar sebagai gurunya. Elang pun sedih, karena nilai raportnya merah dan harus mengulang mated pelajaran menggali. Pelajaran menggali rupanya menyita waktu Elang, sehingga ia lupa cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasai dan menjadi potensin alamnya yang menonjo(.
Semakin hari sekolah tersebut bukan menjadikan binatang kecil semakin mahir dalam mengembangkan potensi alamiyah dan bakat masing-masing, tetapi justru mengileminir potensi dan bakat beberapa binatang yang mengikuti pembelajaran. Hal ini terjadi karena para binatang kecil dipaksa melakukan hal-hal yang tidak menghargai potensi, sifat dan bakat alami mereka. Pemikiran kritis seperti ini diangkat sedemikian rupa oleh Asmtrong dengan baik agar dalam pendidikan segalanya dapat berkembang sesuai dengan potensi dan bakat masing-masing yang telah diberikan oleh alam.
Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh Camenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra. Belajar melalui indra merupakan inti dari metode belajar Naturalistik.
Baik Comenius maupun pendahuiunya Wolfgang Ratke menekankan pentingnya pengalaman pemahaman tentang sesuatu. Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahuiu, baru setefah itu penjelasan yang diperinci (exposfion) tentang benda tersebut.
Sedang Comenius menasehatkan kepada para guru bahwa sesuatu itu harus digambarkan dengan simbol secara bersama-sama. (Thing and symbol should accompany each other). Dalam mempresentasikan gagasan ini Comenius menulis sebuah buku berjudul Orbis Pictus (Dunia dalam Gambar).
Naturalisme di bidang pendidikan juga dielaborasi aleh kerangka pemikiran John Locke (1632-1704) dalam buku Essay Concerning Human Understanding. la mengemukakan bahwa teori dalam jiwa diperoleh dari pengalaman nyata. Dalam formulasi redaksi yang berbeda dengan maksud yang sama John Locke mengatakan bahwa, tidak ada sesuatu dalam jiwa tanpa melalui indra.
Kesimpulan lebih lanjut dari statement Locke adalah jiwa senantiasa kosong dan hanya terisi apabila ada pengalaman. Oleh karena alam merupakan spot power bagi pengisian jiwa, maka proses pendidikan harus mengikuti tata-tertib perkembangan alam. Kalau alam serba teratur, ia menghendaki pengajaranpun harus teratur. Mata pelajaran harus diajarkan secara berurutan (sequence) , step by step dan tidak bersamaan, misalnya: membaca dulu sampai bisa, kemudian diikuti dengan pembelajaran menulis, demikian selanjutnya.
Ide-ide Locke tersebut berseberangan dengan pandangan Platonic Notion, yang mengatakan bahwa manusia itu tahir dengan ide (gagasan) pembawaan seperti ide tentang Tuhan, rasa tentang benar dan salah, kemampuan-kemampuan iogik tentang prinsip-prinsip kontradiksi yang secara otomatis tanpa melalui belajar. Bagi Locke semua itu harus dipelajari melalui pemahaman. Oleh sebab itu, Locke berkata "baik buruknya anak (peserta didik) tergantung pada pendidikannya". Teori inilah yang kemudian melahirkan konsep Tabularasa atau t3lanksheet dalam pendidikan.
Dimensi ketiga dari frlsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan oerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita befikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
J. H. Pastolozzi seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukurn potensi manusia. Oleh sebab itu Pastolozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susila, dan segi agama. Dengan demikian tujuan pendiddikan adalah memimpin anak menjadi orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada hakekatnya tidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong dirinya. Oalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adalah "Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hitfe zur Selbsthilte).
Demensi terakhir dari percikan pemikiran fitsafat pendidikan Naturatisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasaf dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip;prinsip alam semesta.7) Rousseau (1712 -1778) menghasilkan buku yang sangat monomental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku ini terdiri atas lima jitid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan fikiran-fikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima menguias tentang pendidikan wanita dan kesusilaan.8)
C. Implikasi Naturalisme di Bidang Pendidikan
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembeiajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber betajar. Betajar di dan dengan alam yang te(ah menyediakan beragam fasititas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan mated pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengaiaman belajar Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan satah satu alasan mengapa program kami befiasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.9)
Bobbi De Porter juga yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super Camp. la menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka tihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam prak6k pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.
Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosionat yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tencipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan
dengan sumber dan mated pembetajaran secara nil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran di dalarn ketas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalarn suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seper6 di atas, para siswa teiah melakukan apa yang dikenal dengan istitah global learning (belajar global), sebuah cara belajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.
Filsuf Confucius memperkenaikan bahwa belajar akan lebih efektifi manakala para siswa melihat, mendengar, merasa, mengalami, dan memperaktikkan secara langsung apa yang mereka pelajari. What 1 hear, I forget, What I see, 1 remember, and What I do, i understand, tulis Confucius. 10)
Saat ini konsep back to nature tidak saja dikembangkan dalarn pendidikan, tetapi juga dikembangkan dalarn dunia kedokteran. Orang mulai melirik obat-obatan yang disediakan oleh alam, karena obat-obatan yang dihasilkan oleh dunia farmasi dan kini beredar terbukti memiliki side effect yang lain bagi kesehatan manusia. Barangkati inilah salah satu implikasi dari filsafat Naturalisme di luar bidang pendidikan saat ini.
D. Aplikasi Naturatisme dalarn Pendidikan Islam
A!-Qur'an berulang kali menyuruh bertafakur dan bertadabbur mengambil hikmah dari penciptaan makhluk-makhluk yang ada di jagad raya (universe) ini.11) Melalui tafakur dan tadabur terhadap ciptaan Tuhan di jagad raya, manusia akan mengenal tempatnya dengan baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Pengenalan terhadap posisi manusia di antara makhluk-makhluk-Nya ini yang oleh Muhammad Fadil a!-Jammali dimasukkan sebagai salah satu tujuan pendidikan dalarn Islam. 12)
Bertafakur dan bertadabbur terhadap ciptaan Allah, memerlukan perangkat atau sarana yang tidak lain adalah akal dan hati. Aka! ini merupakan salah satu dari pemikiran Natulalistik sebagai sarana yang hanas dikembangkan. Seorang siswa akan lebih mudah memahami sesuatu objek, jika sebeiumnya siswa tersebut dilibatkan dalam kegiatan obsenrasi terhadap objek yang akan dipahami atau dipelajari. Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara tangsung face to face terhadap sesuatu yang akan dipelajari.
Pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di atas dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, yaitu dengan cara memberikan keleiuasaan kepada siswa mengobsenrasi dan mengeksploirasi ciptaan Allah di aiam semesta. Tunjukkan kepada siswa aneka ragam ciptaan yang ada, termasuk manusia sebagai ciptaan dan sesudah itu guru memberikan penjelasan yang tengkap sesuai dengan tingkat perkembangan para siswa, sehingga mereka dapat merasakan secara nyata dan memahami dengan benar apa yang mereka pelajari. Model belajar seperti inilah yang oleh pengikut filsafat pendidikan Naturalisme dikategorikan sebagai kegiatan belajar melalui sense atau panca indra.
Ada dua asal usul ifmu pengetahuan yang diperaleh manusia, yaitu pengetahuan ekstemal dan potensi bawaan. Pengetahuan ekstemal ialah pengetahuan yang sampai pada pemikiran atau akal dari alam luar. Pengetahuan eksternal ini merupakan gambaran alam yang menembus akal melalui panca indra (sense) dan variasinya menunat kemampuan sensasi dan ke-jadian alamiah. Cara memperotehnya yaitu melalui panca indra dan akal. Al-Qur'an mengemukakan secara jeias bahwa pengetahuan ekstemal tidak akan sam-pai sebelum adanya kelahiran, seperti disebutkan dalarn surah an Naht (16) ayat 78 sebagat berikut:
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalarn keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (akal), agar kamu bersyukur.
Da1am perspektif AI-Qur'an, alam diciptakan untuk manusia dan salah satu misi diciptakannya manusia adalah untuk mengetoia dan memakmurkan alam dengan sebaik¬baiknya.13) Bagaimana mungkin manusia dapat mengelola dan memakmurkannya tanpa mempelajari alam tersebut?
Tugas mengelola dan memakmurkan alam merupakan bagian dari bentuk pengabdian manusia sebagai khalifah kepada penciptanya. Agar dapat mengelola dan memakmurkan alam, manusia perlu mengaiami proses pendidikan, di mana alam telah menyediakan beragam fasilitas untuk kepentingan pendidikan ini.
Apa saja yang disediakan alam dapat difungsikan sebagai materi ajar atau sumber
."."Ju. acerayol II cma FGIIIUGta)e71d11. Ue7td(fl SUfdII /111 If flldfl kO) Qycll IyV -IV 1 Allah berfirman:
Artinya : Sesungguhnya pada penciptaan langit den bumi den perbedaan malam den siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau sedang berbaring den memikirkan penciptaan langit den bumi."
Langit, bumi, siang den malam disebut sebagai tanda-tanda atau ayat-ayatNya. Begitu juga ape saja yang ada di alam merupakan tanda-tanda akan kekuasaan den adanya Allah. Untuk mengenal Allah sebagai pemilik alam, jaian yang paling dekat adalah dengan mempelajari tanda-tanda Allah di alam tersebui"
Studi terhadap ciptaan Tuhan sebagai ayat Kauniyah yang bertebaran di jagat raya, same halnya dengan kewajiban mempelajari ayat-ayat Qauliyah Tuhan, yaitu AI-Qur'an. Melalui kedua ayat tersebut Allah mendidik manusia agar memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana ilustrasi berikut:
Syekh Makarim al-Syirazi dalam tafsir al-Amtsal ketika menafsirkan kalimat rabbul 'alamin mengatakan bahwa rububiyatuttah thariqun Ii ma'rifatiilah. Salah satu jalan untuk mengenal Allah adalah dengan memperhatikan (mempelajari) bagaimana Allah menciptakan den memelihara alam semesta.14) Allah mendidik manusia agar mempelajari bagaimana Allah menciptakan den memelihara makhluk-makhlukNya yang bertebaran di jagat raya ini.
Studi terhadap makhluk-makhluk Allah di jagat raya (universe) ini telah terbukti mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada seat ini. Dalam konteks aliran filsafat pendidikan Naturalisme, pengenalan siswa secara langsung terhadap alam dengan berbagai bentuknya, akan melahirkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap obyek yang dipelajari dibandingkan dengan membaca buku di dalam kelas.
AI-Qur'an melalui ayat-ayatnya menyuruh manusia agar memperhatikan jagat raya ini beserta ape saja yang dikandungnya. Perhatikan misalnya dalam surah-surah berikut:
Artinya : Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, make pefiatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.15)
Artinya : Make apakah mereka tidak melihat akan langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya den menghiasinya den langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?16)
Perintah seperti di atas diungkap dalam AI-Qur'an melalui berbagai macam istilah agar manusia melakukan aktivitas bertafakur den bertadabur.
1. Tafakkara, berpikir, terdapat daiam 15 ayat febih, antara lain dalam surah ar Rum (30) ayat 8, sebagai berikut:
Artinya : Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit den bumi den ape yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar den waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya
2. Tadabbara, merenungkan, seperti dalam surah Muhammad (47) ayat 24
Artinya : Make apakah mereka tidak memperhatikan AI Quran ataukah hati mereka terkunci?
3. Natara, melihat yang dalam AI-Qur'an disebutkan lebih dari 30, antara lain adalah:
Artinya : Make apakah mereka tidak mempefiatikan unta bagaimana dia diciptakan (17) Dan langit, bagaimana ia difinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (20)
Selain tiga ungkapan di alas, juga terdapat beberapa istilah yang juga mengandung penger6an agar manusia memperhatikan ciptaan Allah di jagat raya ini seperti faqiha, Tatakkara, fahima, aqala, uIQ al bab, uIQ al 'ilmi, ulu al nuhfi, den ulu al absar.
Pengenalan secara langsung tefiadap alam sebagai obyek studi seperti percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, karena secara sangat jelas AI-Qur'an berulang kali menyuruh untuk itu.
Meskipun demikian harus diakui juga bahwasanya mengandalkan kekuatan panca indra semata dafam pembelajaran, tidak dibenarkan dalam pendidikan Islam, karena Al-Qur'an juga mementingkan kecerdasan akal. Bahkan AI-Qur'an menggambarkan mereka yang mengagungkan panca indra, tanpa menyertakan akat dalam memahami fenomena alam, bagaikan hewan.17)
Selain pengembangan akal dengan observasi, dalam percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme, juga terdapat sisi lain yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan Islam, yaitu bahwa pendidikan itu bisa berasai dad alam, manusia dan barang.
Dalam Islam pendidikan juga dapat berasal dari alam dan barang, yaitu dengan jalan bertafakkur dan bertadabbur disamping juga dapat berasal dari manusia melalui prnses pewarisan nilai dan ilmu pengetahuan.
E. Kesimpufan
Empat percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme, yaitu Pertama urgensi kesesuaian proses pendidikan dengan tahap-tahap perkembangav alam. Kedua belajar merupakan kegiatan melalui indra. Ketiga urgensi pemahaman akan sesuatu melalui observasi di alam. Keempat pendidikan dapat bersal dari alam, barang dan manusia.
Keempat percikan pemikiran tersebut memiliki ekuivafensi dengan anjuran kitab suci AI¬Qur'an kepada para pembacanya untuk menyelidiki jagat raya sebagai ciptaan Tuhan. Penyetidikan terhadap ciptaan tersebut dapat mengantarkan kepada pengenalan Allah sebagai Yang Maha Pencipta. Iniiah makna dari rububiyatullah thariqun !i ma'rifatiliah.
DAFTAR PUSTAfCA
AI-Qur'an al-Karim
Bobbi De Porter, Mike Hemacki, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung : Kaifa, 2000.
George R. Knight, 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosophy, Michigan: Andrew University Press.
Imam Bamadib, 1997, Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode, Yogyakarta : Andi 4ffest
Jalaluddin Rakhmat, 2000, Meraih Cinta ilahi : Pencerahan Sufistik, Bandung : PT. Remaja Rosda karya.
Joe Khatena, 9992, Gifted : Challenge and Response for Education, itasca : Peacock Publisher.
John F. Brubacher, 1947, A History of the Problems of Education, London: McGraw hil! book Company, Inc.
Louis O. Kattsoff, 1987 Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana,
Thomas Armstrong, 2000, Multiple Intelligences in the Classroom, Viginia : Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Aplikasinya dalam Pendidikan Islam
Judul: Filsafat Pendidikan Naturalisme, Teori, lmplikasi dan Aplikasinya dalam Pendidikan Islam
Bahan in! cocok untuk Perguruan Tinggi bagian PENDIDIKAN I EDUCATION. Nama A E-mail (Penulis): Hakiki Mahfuzh
Saya Dosen di Jogjakarta Topik: pendidikan Tanggal: 10 Maret 2008
FILSAFAT PENDIDIKAN NATURALiSME TEORI, IMPLIKASI DAN APLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Hakiki Mahfuzh
Abstract:
Students in our school have been came from multicultural backgrounds, languages indeed capacities. These diversities inform that every person is different and has many kind of potential talents. By that reason known that, every different person needs different education.
Different education needs different philosophical thought, either in building its vision, mission, formulating its aims, and in all its processes. Ft is important because education is concerned with what man may become. So education has peculiar need of guidepost to direct its activities. For this guidepost, it has to go to philosophy.
Naturalism is one of philosophical thoughts in education that sees the education processes and nature must be in harmony. It is important that all educational activities in accordance with the growth and development of nature.
According to the Islamic educational perspective, all creations in the universe can be tools of learning or learning resources. From these creations the learners are able to take many examples, lessons and hikmah biside these Allah's creations. These are many verses of the holy AI-Qur'an ask all believes to observe the world and its contents in order to understand their place between many other creations.
Key words: Naturalisme, Teori, Implikasi, dan Aplikasi
A. Pengantar
Jhon S. Brubacher, seorang Professor di bidang Sejarah dan Filsafat Pendidikan dari Universitas Yale Amerika Serikat dalam bukunya "A History of the Problems of Education" menyebutkan bahwa persoalan-persoalan pendidikan sudah sejak dahulu kala telah memiliki keterikatan yang sangat erat (closely inter-related) dengan persoalan¬persoalan filsafat 1)
Banyak hal yang menyebabkan persoalan pendidikan memiliki keterikatan dengan filsafat. Salah satunya adalah pendidikan selalu berusaha membentuk kepribadian manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan dihadapkan pada perumusan tujuan yang akan dicapai seseorang setelah pendidikan itu bertangsung. Setiap rumusan tujuan pendidikan selalu berupaya menjangkau kawasan paling ideal dan baik seperti; mandiri dan berguna (UU No. 20 Tahun 2003), dewasa (Langevel), atau insan kamil (Atiyah al-Abrasy). Formulasi tujuan pendidikan merupakan persoalan yang mendasar dan dalam, sehingga tidak mungkin dapat dirumuskan dan terjawab oleh analisis ilmiah yang dangkal, tetapi memerlukan analisis dan pemikiran filosofis.
Selain persoalan tujuan, seluruh aspek dalam pendidikan mulai dari konsep, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi membutuhkan pemikiran fitosofis. Dari sini juga kemudian lahir aliran-aliran pemikiran dalam filsafat pendidikan. Salah satu di antara beberapa aliran filsafat pendidikan tersebut adalah Naturalisme.
Apa saja pemikiran filsafat Naturalisme di bidang pendidikan? Lantas Bagaimana mengpalikasikan pemikiran filsafat Naturalisme tersebut dalam pendidikan Islam? Dua pertanyaan ini layak dialamatkan kepada aliran fllsafat pendidikan ini.
NC1r1arIcunan paaa aKat aKan KeJadlan aIBU tenomena dan nuKUm atam meli3FU! obSeNaSI. Observasi berarti mengamafi secara langsung fenomena yang ada di alam ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari. Pendapat Copernicus di atas sangat berpengaruh pada abad ke 18, sehingga abad ini dikenal dengan sebutan abad rasio (age of reason) atau Rasionalisme.
J. H. Pastolozzi seorang paedagog berkebangsaan Swiss merupakan orang yang pertamakali sukses dalam menempatkan antara teori dan praktek pendidikan menjadi satu kesatuan hukum-hukum potensi manusia. Oleh sebab itu Pastoiozzi berkata, pendidikan hendaknya dilaksanakan secara harmonis, yaitu yang meliputi berbagai segi dari hukum-hukum potensi manusia (multy purposes), segi jasmani, kejiwaan, segi sosial, segi susita, dan segi agama. Dengan demikian tujuan pendiddikan adalah memimpin anak menjadi orang baik dengan jalan mengembangkan daya-daya pada anak, karena pendidikan pada hakekatnya fidak lain daripada pemberian pertolongan, agar anak dapat menolong dirinya. Dalam bahasanya sendiri ia mengatakan pendiddikan adaiah "Pertolongan untuk pertolongan diri" (Hilfe zur Seibsthilte).
Oemensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam semesta.7) Rousseau (1712 - 1778) menghasilkan buku yang sangat monomental berjudul Emile Ou de L'Education. Buku ini terdiri atas iima jitid dan merupakan buku roman pendidikan dengan pemeran utama Emile dan Sophie. Secara bertahap Rousseau menuangkan fikiran-fikirannya tentang pendidikan dalam buku ini. Jilid pertama berisi tentang perawatan jasmani peserta didik (Emile) yang dapat dilakukan sampai umur 7 tahun. Sementara jilid kedua berisi tentang pendidikan jasmani Emile. Jilid ketiga berisi tentang pendidikan intelek, jilid keempat mengupas pendidikan akhlak dan agama serta jilid terakhir atau kelima mengulas tentang pendidikan wanita dan kesusilaan.8)
C. tmptikasi Naturalisme di Bidang Pendidikan
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahimya berbagai model pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya. Pembeiajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu an sich, tetapi lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana "mengekploirasi" sumber daya alam menjadi media, sumber dan mated pembelajaran yang sangat berguna.
Dalam buku Quantum Learning Bobbi De Porter mengatakan "Dengan mengendalikan lingkungan Anda, Anda melakukan langkah efektif pertama untuk mengendalikan seluruh pengalaman betajar Anda". Bahkan sekiranya saya harus menyebutkan salah satu alasan mengapa program kami berhasil membuat orang belajar lebik baik, saya harus menyebutkan karena kami berusaha menciptakan lingkungan optimal, baik secara fisik maupun emosional.9)
Bobbi De Porter juga yang pertama kali mengenalkan model pendidikan Quantum secara terprogram dengan nama Super Camp. la menjadikan alam sebagai tempat pembelajaran. Peserta didik dengan bebas "mengeksploirasi" apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan di alam. Guru menempatkan dirinya sebagai mitra peserta didik dalam berdiskusi menyelesaikan problem yang ditemukan di alam. Out put dari model pendidikan Quantum ini terbukti memiliki keunggulan kompetitif lebih baik dibandingkan out put model pendidikan konvensional yang dilakukan di dalam kelas. Melalui Super Camp peserta didik lebih leluasa memanifestasikan subyektifitasnya yang sangat jarang ditemukan dalam praktik pendidikan konvensioal dalam kelas di sekolah.
Jika di dalam kelas subyektifltas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah tercipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face befiadapan dengan sumber dan mated pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada
pembelajaran di dalam kelas. Di alam mereka akan melihat langsung bagaimana sapi merumput, mereka mendengar kicau burung, mereka juga merasakan sejuknya air, mencium harum bunga, memetik sayur dan buah yang semuanya merupakan pengalaman nyata tidak terlupakan. Mereka belajar dengan nyaman, asyik dan berlangsung dalam suasana menyenangkan, sehingga informasi terekam dengan lebih baik dalam otak para siswa. Melalui proses eksploratoris seperti di atas, para siswa telah melakukan apa yang dikenal dengan istilah global learning (belajar global), sebuah cara betajar yang begitu efektif dan alamiah bagi manusia.
Filsuf Confucius memperkenalkan bahwa belajar akan lebih efektif manakaia para siswa melihat, mendengar, merasa, mengalami, dan memperaktikkan secara langsung apa yang mereka petajari. What 1 hear, I forget, What ! see, I remember, and What I do, 1 understand, tulis Confucius. 10)
Saat ini konsep back to nature tidak saja dikembangkan dalam pendidikan, tetapi juga dikembangkan dalam dunia kedokteran. Orang mulai melirik obat-abatan yang disediakan oleh alam, karena obat-obatan yang dihasitkan oleh dunia farmasi dan kini beredar terbukti memiliki side effect yang lain bagi kesehatan manusia. Barangkali inilah salah satu implikasi dari fllsafat Naturalisme di luar bidang pendidikan saat ini.
D. Aplikasi Naturalisme dalam Pendidikan Islam
AI-Qur'an beruiang kati menyuruh bertafakur dan bertadabbur mengambil hikmah dari penciptaan makhluk-makhluk yang ada di jagad raya (universe) ini.11) Melalui tafakur dan tadabur terhadap ciptaan Tuhan di jagad raya, manusia akan mengenal tempatnya dengan baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Pengenalan terhadap posisi manusia di antara makhluk-makhluk-Nya ini yang oleh Muhammad Fadil al-Jammati dimasukkan sebagai saiah satu tujuan pendidikan daiam lslam.12}
Bertafakur dan bertadabbur terhadap ciptaan Allah, memerlukan perangkat atau sarana yang tidak lain adalah akal dan hati. Akal ini merupakan salah satu dari pemikiran Natulalistik sebagai sarana yang harus dikembangkan. Seorang siswa akan lebih mudah memahami sesuatu objek, jika sebelumnya siswa tersebut dilibatkan dalam kegiatan observasi terhadap objek yang akan dipahami atau dipelajari. Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara tangsung face to face terhadap sesuatu yang akan dipelajari.
Pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di atas dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam, yaitu dengan cara memberikan keleluasaan kepada siswa mengobservasi dan mengeksploirasi ciptaan Allah di alam semesta. Tunjukkan kepada siswa aneka ragam ciptaan yang ada, termasuk manusia sebagai ciptaan dan sesudah itu guru memberikan penjelasan yang lengkap sesuai dengan tingkat perkembangan para siswa, sehingga mereka dapat merasakan secara nyata dan memahami dengan benar apa yang mereka petajari. Model belajar seperti inilah yang oleh pengikut filsafat pendidikan Naturalisme dikategorikan sebagai kegiatan belajar melalui sense atau panca indra.
Ada dua asal usul ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia, yaitu pengetahuan ekstemal dan potensi bawaan. Pengetahuan ekstemal ialah pengetahuan yang sampai pada pemikiran atau akal dari alam luar. Pengetahuan eksternal ini merupakan gambaran alam yang menembus akal melalui panca indra (sense) dan variasinya menurut kemampuan sensasi dan ke-jadian alamiah. Cara memperolehnya yaitu melalui panca intlra dan akal. At-Qur'an mengemukakan secara jelas bahwa pengetahuan ekstemal tidak akan sam-pai sebetum adanya kelahiran, seperti disebutkan dalam surah an Nahl (16) ayat 78 sebagai berikut:
Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hat (akal), agar kamu bersyukur.
Dalam perspektif AI-Quran, alam diciptakan untuk manusia dan salah satu misi diciptakannya manusia adalah untuk mengelola dan memakmurkan alam dengan sebaik¬baiknya.13) Bagaimana mungkin manusia dapat mengelola dan memakmurkannya tanpa mempelajari atam tersebut?
Tugas mengelola dan memakmurkan alam merupakan bagian dari bentuk pengabdian manusia sebagai khalifah kepada penciptanya. Agar dapat mengeloia dan memakmurkan alam, manusia periu mengalami proses pendidikan, di mana alam telah menyediakan beragam fasilitas untuk kepentingan pendidikan ini.
Apa saja yang disediakan alam dapat difungsikan sebagai mated ajar atau sumber belajar sekaligus sebagai media pembelajaran. Dalam surah Ali Imran (3) ayat 190 -191
Allah berfirman:
Artinya : Sesungguhnya pada penciptaan langit clan bumi dan perbedaan malarn clan siang merupakan tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau sedang berbaring dan memikirkan penciptaan langit clan bumi."
Langit, bumi, siang clan malam disebut sebagai tanda-tanda atau ayat-ayatNya. Begitu juga apa saja yang ada di alam merupakan tanda-tanda akan kekuasaan clan adanya Allah. Untuk mengenal Allah sebagai pemitik atam, jalan yang paling dekat adatah dengan mempelajari tanda-tanda Allah di alam tersebut.
Studi terhadap ciptaan Tuhan sebagai ayat Kauniyah yang bertebaran di jagat raya, sama hatnya dengan kewajiban mempelajari ayat-ayat Qauliyah Tuhan, yaitu AI-Qur'an. Melalui kedua ayat ter5ebut Allah mendidik manusia agar memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana itustrasi berikut:
Syekh Makarim al-Syirari dalarn tafsir al-Amtsal ketika menafsirkan kalimat rabbul 'alamin mengatakan bahwa rububiyatuliah thariqun !i ma'rifatillah. Salah satu jalan untuk mengenat Allah adatah dengan memperhatikan (mempelajari) bagaimana Allah menciptakan clan memelihara aiam semesta.14) Allah mendidik manusia agar mempelajari bagaimana Allah menciptakan clan memelihara makhluk-makhlukNya yang bertebaran di jagat raya ini.
Studi terhadap makhluk-makhluk Allah di jagat raya (universe) ini telah terbukti mampu melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang ada saat ini. Dalam konteks aliran filsafat pendidikan Naturalisme, pengenalan siswa secara langsung terhadap alam dengan berbagai bentuknya, akan melahirkan pemahaman yang jauh lebih baik terhadap obyek yang dipelajari dibandingkan dengan membaca buku di dalarn kelas.
AI-Qur'an melalui ayat ayatnya menyuruh manusia agar rnemperhatikan jagat raya ini beserta apa saja yang dikandungnya. Perhatikan misainya dalarn surah-surah berikut:
Artanya : Katakanlah: "Berjalaniah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.l5}
Artinya : Maka apakah meneka tidak metihat akan iangit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya clan menghiasinya clan langit itu tidak mempunyai retak-retak sedikitpun?16)
Rerintah seperti di alas diungkap dalarn AI-Qur'an melalui berbagai macam istilah agar manusia melakukan aktivitas bertafakur clan bertadabur.
1. Tafakkara, berpikir, terdapat dalarn 15 ayat lebih, antara lain dalarn surah ar Rum (30) ayat 8, sebagai berikut:
Artinya : Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) did mereka? Allah tidak menjadikan langit clan bumi clan apa yang ada diantara keduanya metainkan dengan (tujuan) yang benar clan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya
2. Tadabbara, merenungkan, seperti dalarn surah Muhammad (47) ayat 24
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan AI Quran ataukah hati mereka terkunci?
3. Natara, melihat yang daiam AI-Qur'an disebutkan febih dari 30, antara lain adalah:
Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (17) Dan iangit, bagaimana ia ditinggikan? (18) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? (19) Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? (20)
Selain tiga ungkapan di atas, juga terdapat beberapa istitah yang juga mengandung pengertian agar manusia memperhatikan ciptaan Allah di jagat raya ini seperti faqiha, Ta2akkara, fahima, aqala, ulu al bfib, ulu al 'ilmi, uIG al nuh8, clan ulu al aWr.
Pengenalan sscara langsung terhadap alam sebagai obyek studi seperti percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturatisme dapat diaplikasikan dalarn pendidikan Islam,
manusia bukan Aku yang abstralc, Tapi atau laki-laki atau perempuan, dan masalah tentang hal, adakah dunia berupa perasaan, boleh disamakan dengan masalah: adakah manusia perasaan saya atau hubungan-hubungan kita dalam praktek mernbukrikan sebaliknya? "Kesalahan dasar idealisme justru terletak dalam hal, bahwa dia mengajukan dan menyelesaikan masalah tentang keobyektifan dan kesubyektifan, tentang kenyataan atau ketidak-naytaan dunia hanya dari titik tolak teori" (189 di sana juga). Feuerbach memperhitungkan seluruh praktek manusia sebagai dasar teori pemahaman. Sudah barang tentu, -- katanya, -- juga kaum idealis mengakui di dalam praktek keriiian Aku kita dan Kau-nya orang lain. Bagi kaum idealis "titik tolak itu, berguna hanya untuk hidup dan bukan untuk spekulasi. Tapi spekulasi, yang berkontradiksi dengan kehidupan, yang membuat titik tolak kebenaran menjadi titik tolak kematian, titik tolak nyawa yang terpisah dengan tubuh, -- spekulasi semacam itu adalah spekuiasi mati, spekulasi palsu" (192). Sebelum merasa kita bernafas; kita tidak bisa hidup tanpa udara, tanpa makanan dan minuman.
"Jadi, artinya, masaiahnya berkisar mengenai makanan dan minuman dalam menganalisa masalah tentang ke-idealan atau keriilan dunia? - seru seorang idealis yang marah -Betapa hinanya. Betapa merusaknya kebiasaan baik yaitu dengan segala kekuatan mencaci maki materialisme dalam arti ilmiah dari mimbar filsafat dan mimbar theologi dengan harapan, agar di belakang meja di hotel-hotel dengan daftar menu (makanan) L) dipraktekkan materialisme dalam arti yang paling kasar" (195). Dan Feuerbach berseru bahwa menyamakan perasaan subyektif dengan dunia obyektif "berarti menyamakan polusi dengan kelahiran anak" (198).
Catatan itu bukan yang paling sopan, tapi tepat menyasar ahli-ahli filsafat yang mengajarkan bahwa tanggapan panca indera justru adalah kenyataan yang ada di luar kita.
Titik tolak kehidupan, titik tolak praktek harus menjadi titik tolak yang pertama dan yang dasar daripada teori pemahaman. Dan dia secara tak terelakkan menjurus ke materialisme, dengan membuang dari ambang pintu reka-rekaan yang tak terbilang banyaknya daripada skolastika keprofesoran. Sudah barang tentu dalam hal ini tak boleh dilupakan bahwa kriteri praktek menurut hakekat masalahnya sendiri tidak bisa membenarkan atau membantah sepenuhrrya sesuatu bayangan manusia. Kriteri itu juga sedemikian "tak menentunya" untuk tidak mengijinkan pengetahuan manusia berubah menjadi "absolut", dan pada saat itu sedemikian tertentunya untuk melancarkan perjuangan yang tanpa ampun melawan segala macam bentuk idealisme dan agnostisisme. Apabila apa yang dibenarkan oleh praktek kita adalah kebenaran yang satu-satunya, yang terakhir, yang obyektif, -- maka dari sini timbul pengakuan akan satu¬satunya jalan ilmu pengetahuan yang menuju ke kebenaran itu, jalan yang menuruti titik tolak materialis. Misalnya, Bogdanov setuju untuk mengakui teori peredaran uang Marx sebagai kebenaran obyektif hanya "bagi zaman kita", dengan menamakan "dogamtis" anggapan atas teori itu sebagai kebenaran "obyektif supra-sejarah" ("Empiromonisme", buku III, hal. VII). Itu sekali lagi kekalutan. Kecocokan teori itu dengan praktek tidak bisa mengubah situasi akan datang yang manapun hanya karena satu sebab yang sederhana saja, yaitu menurut sebab mana, bahwa Napoleon meninggal pada tanggal 5 Mei 1821 adalah kebenaran abadi. Tapi karena kriteri praktek, -- yaitu jalannya perkembangan semua negeri-negeri kapitalis pada puluhan tahun terakhir, -- membuktikan hanya kebenaran obyektif daripada seluruh teori sosial-ekonomi Marx pada umumnya, dan bukan daripada perumusan-perumusan, bagian-bagian dsb. yang ini atau yang itu, maka jelas, bahwa membicarakan di sini tentang"dogmatisme" daripada kaum Marxis, berarti memberi konsesi yang tak termaatkan kepada ekonomi borjuis. Satu-satunya kesimpulan daripada pendapat yang dimiliki oleh kaum Marxis, bahwa teori Marx adalah kebenaran obyektif, adalah sebagai berikut: berjalan menuruti teori Marx, kita akan mendekati kebenaran obyektif makin larna makin dekat (kapanpun tak akan pernah sampai padanya samasekali), sedangkan berjalan memuruti jalan lain, kita tidak dapat sampai ke suatu apapun, kecuali kekalutan dan kebohongan.

DAFTAR PUSTAKA

1
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929