loading...

Ekonomi Islam Teori Dan Praktek

April 26, 2013
loading...
Ekonomi Islam Teori Dan Praktek

TUJUAN DAN ASUMSI
Maksud bab ini adalah untuk menyatakan tujuan dan sasaran utama dari buku ini, dan menunjukkan bagaimana Ekonomi Islam sebagai ilmu den-an menjelaskan beberapa masalah metodologik yang diperlukan untuk rnemahami proses perurnusan teori dan kebijakan Islami.
Buku ini merupakan salah satu; buku perintis tentang Ekonomi Islam, yang mencakup berbagai topik yang luas, karena bertujuan untuk menyelidiki potensi dari etika sosial dan ekonomik Islami dalam perkembangan ekonomi Islam sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri. Dengan demikian buku ini mencoba menjelaskan implikasi kebijakan teoritis dan praktis dari bermacam-macam nilai sosio-ekonomik Islami.
Tujuan dan sasaran utama buku ini adalah:
i. Memberikan suatu penyajian sistematik tentang nilai-nilai sosio-ekonomik Islam dan maknanya dalam ilmu ekonomi, kepada mereka yang baru mempelajari ekonomi Islam, maupun kepada yang bukan ekonom, dalam bahasa awam.
ii. Meningkatkan pemahaman dinamika internal dari sistem ekonomi Islam dan pandangan hidup Islami dalam masalah-tnasalah ekonomi.
iii. Di mana mungkin, menyajikan implikasi kebijakan operasional yang sederhana dari berbagai nilai sosio-ekonomik Islam.
Berdasarkan keyakinan penulis, ada suatu sistem dan ilmu ekonomi Islami yang sanggup menjelaskan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat Islam dewasa ini. Diakui perlunya rekonstruksi proses pemikiran Islam, juga penilaian kembali nilai lama, dalam hubungan dengan realitas sosial dan ekonomi barn, agar dapat mencapai suatu sintesis yang kreatif. Dilihat dari segi ini, ilmu ekonomi Islam memiliki identitasnya sendiri. Sekarang marilah kita membicarakan tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk pengembangan ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan.
Langkah-langkah dalam Perkembangan Ilmu Ekonomi Islam
Tujuh langkah untuk merumuskan perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam. Kesemuanya saling berkaitan. Langkah pertama adalah mengidentifikasi suatu problema atau masalah. Kemudian kita mencari prinsip pedoman yang terdapat dalam syariat secara etisplisit maupun implisit, untuk memecahkan problema yang dipersoalkan. Prinsip-prinsip ini yang dapat diambil dan dideduksi dari Al Qur'an dan Sunnah, dapat dipandang abadi. Mulainya proses perumusan teoretik mengenai problema itu: titik tolak ilmu pengetahuan ilmu ekonomi Islam. Sifamya nisbi terhadap ruang dan waktu, karena pertanyaan-pertanyaan seperti "mengapa", "bagaimana", "apa", "untuk siapa" dan "yang mana", harus dikaitkan dengan asas-asas yang telah diidentifikasikan. Pertanyaan-pertanyaan itu perlu diuji dengan pilihan dar: alternatif yang mempunyai dimensi ruang dan waktu.
Dalam hal ini, baik penilaian etik, yang merupakan komponen yang lebih permanen dalam sistem nilai yang berdasarkan svariat, maupun penilaian berdasarkan perasaan intuitif seseorang, atau opini pribadi mengenai kejadian khusus, mungkin saja akan mempengaruhi baik penguraian konsep maupun perumusan kebijakan. Baik untuk dicatat, adalah walaupun Islam mengakui peran penilaian individual, tetapi harus selalu tunduk pada penilaian etis.
Dilaksanakan. Begitu pula perlu adanya lembaga yang memadai, karena tanpa hal itu ide tidak dapat dikembangkan. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa setiap kesenjangan antara hasil yang nyata dan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai, adalah cermin dari kekurangan dalam perumusan teoretis dan penentuan kebijaksanaan mengiringinya. Dalam hal ini diperlukan peninjauan kembali dari prinsip-prinsip yang digunakan. Ini juga menunjukkan ;perlu adanya rekonstruksi dari teori dan kebijakan ekonomi Islam. Hal ini jmerupakan suatu proses yang terns menerus. Dengan begitu akan terdapat kemungkinan yang tidak terbatas bagi pertumbuhan ilmu ekonomi Islam.
Penjelasan langkah 1 s.d. 7 adalah sebagai berikut:
Langkah (1) Untuk menyederhanakannya kami tnengidentifikasikan tiga fungsi ekonomi dasar : produksi, distribusi dan konsumsi : yang dikenal dalam semua sistem ekonomi, tanpa memandang perbedaan-perbedaan ideologi.
Langkah (2) Beberapa di antara asas-asas yang mengatur fungsi dasar itu, merupakan perspektif Islam abadi yang berakar pada Syariat. Ambillah tnisalnya, prinsip/asas "moderat" (tidak berlebih-lebihan). Prinsip/asas ini harus tercermin dalam perilaku Muslim, baik pada tingkat mikro-ekonomi maupun makro-ekonomi. Asas ini tidak metnpunyai dimensi waktu : secara esensial itu didasarkan pada pandangan dunia Islam dalam soal-soal ekonomi (yakni nilai-nilai normatif).
Langkah (3) Sekarang perlu diidentifikasikan cara operasinya (yakni prosesnya); "pengetahuan" ini perlu dirumuskan atau dibuatkan konsepnya. Di sinilah saat mulainya pengembangan teori dan ilmu ekonomi Islam. Dengan demikian pilihan variabel atau penggunaan pertimbangan ekonomi yang berasaskan etik harus diarahkan untuk menghasilkan pola peri laku yang cocok bagi tercapainya sasaran-sasaran yang diseleksi terlebih dahulu (berdasarkan asas "moderat"). Jadi, dalam menjelaskan fungsi konsumsi dalam ekonomi Islam, harus dapat diiden¬tifikasikan variabel-variabel yang berakar dalam Syariat. Perumusan teoretis ini tnempunyai dimensi waktu. Dapat digantikan atau diubah oleh rumusan teoretik lebih tinggi, yang sesungguhnya
adalah sarat- nilai (value-loaded).
Langkah (4) Jelaslah bahwa sekali konsep "moderat" ini sudah dirumuskan, perlu diuraikan suatu paket barang dan jasa yang tetap untuk memperoleh sasaran "moderat", baik di tingkat individual maupun kelompok. Isi dan komposisinya dapat berubah; ini tergantung dari tingkat kondisi sosial dan ekonotni masyarakat bersangkutan.
Langkah (5) Langkah ini berkaitan dengan implementasi dari kebijakan yang dipilih dalam langkah (4). Implementasi ini dapat dilaksanakan baik dengan pertukaran melalui mekanisme harga maupun melalui pembayaran transfer (transfer pay-ments). Di sinilah diperlukan pengembangan lembaga-lembaga untuk implementasi kebijaksanaan itu.
Langkah (6) Langkah ini menunjukkan perlunya evaluasi menurut ukuran, tujuan dan sasaran yang ditetapkan atau direncanakan terlebih dahulu tentang bagaimana kita akan memaksimalkan kesejahteraan dalam rangka keseluruhan prinsip seperti yang diuraikan dalam langkah (2), begitu pula dalam rangka dwiarti hasil ekonomik dan non-ekonomik, sehingga pertimbangan-pertimbangan positif dan normatif secara relatif tidak dapat dibedakan dan juga tidak penting.
Langkah (7) Langkah ini memberikan hasil dari evaluasi. Umpan-balik ini diperlukan untuk untuk menetapkan kesengajangan antara implementasi yang sebenarnya ( dalam langkah (5)) dan hasil yang diharapkan. Disinilah mulainya interprestasi dari prinsip-prinsip (sebagaimana diuraikan dalam langkah (2), yang mendasari teori ekonomi islam yang juga melandasi pengembangan dari kebijakan dan pranatanya. (sebagaimana diuraikan dalam langkah (3),(4) dan (5)).
Berdasarkan logika dan enalaran yang diketemukakan pada langkah-langkah (2) sampai (7), proses konsumsi, produksi dan distribusi seperti yang dimuat dalam table, dapat dijelaskan lebih lanjut.



METODOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM
Walaupun dalam kenyataannya, soal-soal metodologik bersifat kontroversial, pembahasan ini tidaklah sekedar merupakan latihan akademik (acadenzic exercise) yang didorong oleh keingintahuan intelektual belaka; petnbahasan ini merupakan pencettninan dari mereka yang berketetapan hati untuk memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan teori Islam yang sarat nilai, dan dengan itu mempengaruhi arah kebijaksanaan suatu ekonomi Islam. Karena itu penelitian ini dapat menimbulkan konsekuensi praktik yang besar. Sekalipun dalam kenyataannya terdapat banyak persoalan dan hal metodologik dalam ilmu ekonomi Islam, di sini penulis ingin tnembatasi pembicaraan, hanya pada tiga persoalan, yaitu:
a) Apakah iltnu ekonomi Islam itu adalah suatu ilmu pengetahuan yang nortnatif, positif, atau bersifat kedua-duanya?
b) Apakah teori ekonomi Islam diperlukan, mengingat tidak adanya suatu ekonomi Islam yang aktual?
c) Apakah ilmu ekonomi Islam itu suatu "sistem" atau "iltnu pengetahuan"?
Sekarang tnarilah kita metnbicarakan persoalan pertama.
a) Apakah Ilmu Ekonomi Islam itu suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif, atau bersifat kedua-duanya?
Memang terdapat kontroversi metodologik yang jelas mengenai apakah ilmu ekonomi Islam itu merupakan suatu ilmu pengetahuan yang positif atau normatif.
Menurut pengertian umum, ilmu ekonomi positif mempelajari problema-problema ekonomik seperti apa adanya. Ilmu ekonomi normatif mempersoalkan bagaimana seharusnya sesuatu itu. Sering dikemukakan bahwa penelitian ilmiah dalam ilmu ekonomi Barat lebih banyak membatasi diri pada persoalan-persoalan positif daripada membahas persoalan-persoalan normatif, yang tergantung pada penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk, setidak-tidaknya pada tingkatan perumusan teoretik. Dalam pada itu beberapa ahli ekonomi Islam juga telah berusaha untuk rnempertahankan perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif, sehingga dengan begitu mereka menuangkan analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka intelektual dunia Barat. Para positivis lain secara sederhana memandang bahwa ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilrnu pengetahuan normatif. Bagi penulis itu bukanlah ilmu pengetahuan positif atau normatif semata-mata. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek yang normatif dan positif itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini tidak berarti bahwa ilmu ekonomi Islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang tidak dapat dibedakan sama sekali. Sesungguhnya, Al Qur'an dan Sunnah yang terutama digunakan sebagai sumber pernyataan normatif, banyak berisi pernyataan positif. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan positif atau normatif.
Alasan kami untuk membahasnya sebagai suatu ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi adalah sebagai berikut:
(i) Telah ditunjukkan bahwa langkah-langkah (2) sampai (7) sebagaimana yang diuraikan parla tabe} di atas, terkait erat, sehingga perbedaan antara ilmu ekonomi positif dan normatif merupakan hal yang tidak penting, baik pada tingkatan teori maupun kebijaksanaan, karena nilai-nilai dapat dicerminkan baik dalam teori maupun dalam kebijakan. Karena teori memberikan kerangka bagi pilihan kebijakan, nilai-nilai tidak hanya dapat dicerminkan di dalam kebijakan dengan mengabaikan teori itu. Dipandang dari segi ini, pemisahan yang positif dari yang normatif tidak relevan dalam ilmu ekonomi Islam, karena kedua-duanya terjalin erat dengan kehidupan Islam, filsafat, lembaga kebudayaan serta agama Islam.
(ii) Ini berarti bahwa bila nilai-nilai rnasuk baik ke dalam teori maupun kebijaksanaan, perbedaan antara yang nonnatif dan positif menjadi kabur atau hilang sama sekali jika didorong sampai ke batas-batasnya.
Bila diteliti
dengan seksama, c positif dan sebalil didasarkan pada a amatan-pengamat~ seperti "Kebijaksar pengangguran ata karena dapat diuji i "Apakah kiranya int7asi?" tidak mur Dengan demikian ti dapat rnerupakan a ialah bahwa mas~ seluruhannya. Hal kegunaan model a dengan menguji k Dengan demikian, secara negatif maL sebenarnya, Sebag Syariat melarang b ekonomis. Kemudi preference) HicksTl seseorang membel nyatanya naik, mal apabila, ceteris pa turun".' Bahkan da pernyataan "imperz itu. Pernyataan "be tingkatan sikap "m dapat masuk di akal baik, seorang kons barang" bila harga ia telah melampaui 1 oleh Syariat. Pada preferensi moralny objektif tentang sib mempengaruhi ben
Kami dapat m( bagaimana nilai Is] konsep yang kelihal "fungsi konsumsi", mengidentifikasika; Umumnya dikataka C = fYa di mana C pendapatan pribadi keluarga (intrafami (intracommurcity) da untuk dapat mema
10
pada persoalan-persoalan positif daripada membahas persoalan-persoalan normatif, yang tergantung pada penilaian tentang apa yang baik dan apa yang buruk, setidak-tidaknya pada tingkatan perumusan teoretik. Dalam pada itu beberapa ahli ekonomi Islam juga telah berusaha untuk rnempertahankan perbedaan antara ilmu pengetahuan positif dan normatif, sehingga dengan begitu mereka menuangkan analisa ilmu ekonomi Islam dalam kerangka intelektual dunia Barat. Para positivis lain secara sederhana memandang bahwa ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan normatif. Bagi penulis itu bukanlah ilmu pengetahuan positif atau normatif semata-mata. Dalam ilmu ekonomi Islam, aspek-aspek yang normatif dan positif itu saling berkaitan erat, sehingga setiap usaha untuk memisahkannya akan berakibat menyesatkan dan tidak produktif. Ini tidak berarti bahwa ilmu ekonomi Islam tidak berisi komponen-komponen normatif dan positif yang tidak dapat dibedakan sama sekali. Sesungguhnya, Al Qur'an dan Sunnah yang terutama digunakan sebagai sumber pernyataan normatif, banyak berisi pernyataan positif. Tetapi berdasarkan ini saja kita tidak dapat mengatakan bahwa ilmu ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan positif atau normatif.
Alasan kami untuk membahasnya sebagai suatu ilmu pengetahuan sosial yang terintegrasi adalah sebagai berikut:
(i) Telah ditunjukkan bahwa langkah-langkah (2) sampai (7) sebagaimana yang diuraikan pada tabel di atas, terkait erat, sehingga perbedaan antara ilmu ekonomi positif dan normatif merupakan hal yang tidak penting, baik pada tingkatan teori maupun kebijaksanaan, karena nilai-nilai dapat di¬cerminkan baik dalam teori maupun dalam kebijakan. Karena teori mem¬berikan kerangka bagi pilihan kebijakan, nilai-nilai tidak hanya dapat dicerminkan di dalam kebijakan dengan mengabaikan teori itu..Dipandang dari segi ini, pemisahan yang positif dari yang normatif tidak relevan dalam ilmu ekonomi Islam, karena kedua-duanya terjalin erat dengan kehidupan Islam, filsafat, lembaga kebudayaan serta agama Islam. (1) Menurut ke-nyataannya, hal ini benar, dalam kebanyakan kehidupan ekonomi, karena "suatu pertirnbangan nilai tertentu mendasari semua alasan pemikiran eko¬nomik".= Kebanyakan argumentasi ekonomi atau ketidaksepahaman mengenai ilmu ekonomi positif adalah berdasarkan perbedaan nilai, bukan rnengenai teknik analitik. Ini dapat dipahami, karena dalam ilmu ekonomi sekuler, fungsi kesejahteraan yang mempengaruhi keputusan investasi, berasal dari sumber dalam masyarakat, dalam arti bahwa pada umumnya mewakili rnereka yang mempunyai kekuasaan politik. Dalam Islam, fungsi semacam itu berasal dari sumber yang ada di luar masyarakat itu sendiri, yaitu kehendak Allah. Variabel konstan yang berasal dari luar ini menyediakan kerangka referensi yang sahih (valid) bagi model struktur ilmu ekonomi Islam. Keluwesan variabel yang berasal dari dalam masyarakat tentunya tunduk pada prinsip Syariat (Hukum Islam).
(ii) Ini berarti bahwa bila nilai-nilai masuk baik ke dalam teori maupun kebijaksanaan, perbedaan antara yang normatif dan positif menjadi kabur atau hilang sama sekali jika didorong sampai ke batas-batasnya. Bila diteliti
dengan seksama, c positif dan sebalil didasarkan padaa amatan-pengamat; seperti "Kebijaksai pengangguran ata karena dapat diuji "Apakah kiranya inf1asi?" tidak mur Dengan demikian b dapat merupakan c ialah bahwa mas seluruhafzuya. Hal kegunaan model a dengan menguji k Dengan demikian, secara negatif mar sebenarnya, sebag Syariat melarang h ekonomis. Kemudi preference) Hicks,: seseor-ang membel nyatanya naik, ma: apabila, ceteris pa turun".' Bahkan da pernyataan "impera itu. Pernyataan "be tingkatan sikap "m dapat masuk di akal baik, seorang kons barang" bila harga ia telah melampaui 1 oleh Syariat. Pa& preferensi moralny objektif tentang sil mempengaruhi ben
Kami dapat mi bagaimana nilai Is] konsep yang kelihai "fungsi konsumsi" mengidentifikasika Umumnya dikataka C=fYadimanaC pendapatan pribadi keluarga (intrafami (intracommunity) da untuk dapat mema
10
)ersoalan-persoalan g baik dan apa yang tik. Dalam pada itu k mempertahankan f, sehingga dengan m dalam kerangka ;rhana memandang uan normatif. Bagi rnatif semata-mata. ,an positif itu saling nya akan berakibat lmu ekonomi Islam ' yang tidak dapat nnah yang terutama i berisi pernyataan atakan bahwa ilmu )rmatif.
pengetahuan sosial
ai (7) sebagaimana a perbedaan antara tidak penting, baik ulai-nilai dapat di¬Karena teori mem¬tidak hanya dapat ;,ori itu. Dipandang tidak relevan dalam dengan kehidupan x (1) Menurut ke¬ul ekonomi, karena san pemikiran eko¬-pahaman mengenai ii, bukan mengenai u ekonomi sekuler, vestasi, berasal dari imumnya mewakili m, fungsi semacam t itu sendiri, yaitu ar ini menyediakan ktur ilmu ekonomi aasyarakat tentunya
lalam teori maupun ~sitif menjadi kabur atasnya. Bila diteliti
Yang hendak dikatakan ialah bahwa masalah dan persoalan ekonomik harus ditinjau dari keseluruhannya. Hal ini terutama berlaku dalatn soal ilmu ekonomi Islam, yang kegunaan model atau hipotesa dan kesahihan teoremanya harus ditentukan dengan menguji kesesuaian antara asumsi model itu dengan asas Svariat. Dengan demikian, dalam ilmu ekonomi Islam volume investasi swasta, baik secara negatif tnaupun positif tidaklah berkaitan dengan suku bunga yang sebenarnya, sebagaimana dikemukakan oleh model Keynes. Syariat melarang bunga berdasarkan alasan-alasan etis dan berbagai alasan ekonomis. Kemudian, dari hipotesa ketidakacuhan preferensi (Indifference preference) Hicks, kita dapat menjabarkan dalil yang bersyarat, yaitu, 'jika seseorang membeli Icbih banyak dari suatu barang ketika pendapatan nyatanya naik, maka dia juga akan metnbeli lebih banyak dari barang itu apabila, ceteris paribus (keadaan-keadaan lainnya tetap sama), harganya turun".
Dengan demikian dapat masuk di akal bahwa dalam suatu masyarakat Islam yang diatur dengan baik, seorang konsumen mungkin akan menolak membeli "lebih banyak barang" bila harga turun atau pendapatan naik, jika ia berpendapat bahwa ia telah melampaui batas-batas sikap "moderat" sebagaitnana yang ditentukan oleh Syariat.
Beberapa contoh lain untuk menunjukkan bagaimana nilai Islam dapat masuk ke dalam inti perumusan teoretik dari konsep yang kelihatannya bebas-nilai. Dalatn menjelaskan hakikat dari suatu "fungsi konsumsi", langsung pada tingkat perumusan teoretik, kami harus mengidentifikasikan variabel yang berakar dalam Al Qur'au dan Sunnah.
Tingkat konsumsi dan pendapatan dalam-masyarakat (intracornrnunity) dan sebagainya yang harus dimasukkan atau diperhitungkan, untuk dapat memahami hakikat sebenarnya dari fungsi konsumsi dalam ekonomi Islam.
(iii) Setiap usaha untuk membedakan antara yang positif dan normatif akan berakibat buruk, dalam arti bahwa hal itu akhirnya akan menyebabkan lahir dan tutnbuhnya "sekularisme" dalam ekonomi Islam. Kecenderungan untuk menguji segala sesuatu dengan pengetahuan manusia yang terbatas dan prasangka, akan tnerusak asas-asas dasar ekonomi Islam. Dengan sekularisasi dimak.sudkan "suatu proses di tnana pemikiran, praktek dan lembaga agama kehilangan arti sosial".' Kita tidak boleh melupakan sejarah perkembangan "sekularisrne" dan perjuangan antara Gereja dan Negara di dunia Barat. Gereja Kristen kalah dalam perjuangan itu dari golongan sekularis, bahkan juga mengenai persoalan petnbebanan bunga (riba).
Kini nyatalah kiranya bahwa setiap usaha untuk menggolongkan ekonomi Islam sebagai ilmu yang positif atau normatif justru akan merusak tujuan untuk apa ilmu itu sebenarnya diciptakan. Ini sama halnya bila kita mencoba rnemisahkan badan manusia yang untuk delapanpuluh persennya terdiri dari air; tak pelak lagi badan itu akan binasa. Jadi, masalah dalam ekonomi Islam, harus c}ipahami dan dinilai dalam rangka ilmu pengetahuan sosial yang terintcgrasi, tanpa metnisahkannya dalam komponen normatif dan positif.
(iv) Akhirnya, jelaslah bahwa kita harus mencoba melepaskan diri sejauh mungkin dari kungkungan para positivis. Tidaklah selalu perlu atau berguna bagi kita untuk menuangkan proses pemikiran kita dalam suatu kerangka yang sesuai dengan paradigma para positivis neo-klasik ortodoks. Sekali kita membiarkan pengertian ini berlangsung sampai ekstremitasnya yang logis, besar kemungkinannya hal ini akan merasuk sistem dasar keimanan Islam yang sudah melembaga, karena sejumlah masalah dalam ekonorni Islam tidak dapat diselesaikan hanya dcngan tnengandalkan observasi atau pengamatan empiris.

b) Apakah Teori Ekonomi Islam Diperlukan, mengingat tidak adanya suatu Ekonomi Islam yang aktual?
Secara kategorik jawaban penulis adalah: Ya. Para positivis mengemukakan bahwa tidak perlu mengembangkan suatu te.ori ekonomi Islam, kareoa tidak adanya ekonomi Islam yang aktual untuk menguji ide terhadap masalah aktual. Dikatakannya pula bahwa teori harus menjelaskan fakta sebagaimana adanya. Dengan begitu, menurut tnereka, tidak ada tempat untuk teori ekonomi Islam, karena ia tidak dapat dijelaskarr dan diramalkan dari realitas sosio-ekonomik dari masyarakat Muslim kontemporcr yang ada sekarang. Jadi bagi mereka, ujian bagi suatu teori terletak pada kemampuannya untuk menjelaskan dan menerangkan realitas, walaupun sebenarnya dengan menyederhanakannya setiap teori menyimpang dari realitas.
Argumentasi para positivis yang disebut di atas jelas menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap peranan berbagai teori yang timbul dari bermacam-macam ideologi mengenai pembangunan masyarakat.
Dokumentasi sejarah memperlihatkan dengan jelas bahwa tcori untuk menjelaskan kenyataan dan perilakunya tidak selalu diperlukan. Penulis akan memberikan beberapa contoh mengenai sejarah ekonomi dan politik dunia untuk menunjang pernyataan di atas.
Periode cepat dari inovasi yang terjadi setelah berkembangnya Islam adalah suatu contoh spektakuler tentang bagaimanakah inovasi dalam agama dan nilai ekonotni membebaskan suatu masyarakat dari keseimbangan semula dan menghadapkannya pada segala konsekuensi dari dinatnika kehidupan ekonomik. Sesungguhnya, inovasi yang terpenting dalam tiap masyarakat adalah ide inovasi itu sendiri"." Jadi, larangan Islam mcngenai bunga diserta perintah mengeluarkan Zakat berpengaruh besar terhadap perkembangan teori Islam mengenai uang dan keuangan negara. Konsep etik tentang sikap "moderat" dihubungkan dengan kewajiban intra keluarga dan intra masyarakat, sangat penting untuk memaharni teori Islam tentang fungsi konsumsi dan perilaku konsumen. Konsep "keadilan" (at Adl; ,justice) antara lain, berkaitan dengan teori penyebaran pendapatan yang pada gilirannya, merupakan pusat teori pert utnbuhan dan pembangunan ekonomi.
Kini sudah jelas bahwa keberadaan suatu ekonomi aktual (yaitu realitas) di mana ide dapat diuji terhadap problema aktual, sesungguhnya tidak terlalu diperlukan untuk penyusunan suatu teori sosial dan ekonomi yang pengembangannya dibutuhkan untuk menjelaskan baik realitas sekarang maupun realitas yang diharapkan. Suatu teori dapat saja bertentangan dengan realitas karena mengabaikan fakta-fakta yang ada.
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan untuk mengembangkan teori ekonomi Islam:
i. untuk belajar dari pengalatnan terdahulu dengan mengidentifikasikan alasan tentang kewajaran atau ketidakwajaran penjelasan perilaku dan praktek ekonomi yang lampau, dengan teori ekonomi Islam
ii. untuk menjelaskan keadaan ekonomi yang aktual betapapun berkeping-kepingnya (fragmented) keadaan itu
iii. untuk mengidentifikasikan "kesenjangan " antara teori ekonomi Islam yang ideal dan praktek-praktek masyarakat Muslim kontetnporer, sehingga usaha untuk mencapai suatu keadaan yang ideal dapat diadakan. Bagi penulis tugas-tugas teori ekonomi Islam ini mempunyai arti historis di masa kini; ini jauh lebih penting dari pendirian sempit tentang teori ekonomi sebagaimana yang dianut oleh para positivis. Harus diketahui secara jelas bahwa teori ekonomi Islam, merupakan suatu ilmu, mendapatkan prinsipnya dari sistem ekonomi Islam. Ini tnembawa kita pada pertanyaan terakhir, yaitu apakah ekonomi Islam merupakan suatu ilmu atau suatu sistem.

c) Apakah Ilmu Ekonomi Islam merupakan suatu "Sistem" atau suatu "Ilmu Pengetahuan"?
Agaknya ada suatu kesalahfahaman di kalangan kaum terpelajar Muslim mengenai soal ini. Ada yang menganggap ekonomi Islam sebagai suatu "sistem", dan ada pula yang menganggapnya sebagai suatu kekhususan dapat diperlakukan terhadapnya sebagai suatu "ilmu". Perkataan "sistem" diartikan sebagai suatu "keseluruhan yang kompleks: suatu susunan hal atau bagian yang saling berhubungan"; "ilmu" adalah "pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis"." Demikian pula, perkataan "ilmu" didefinisikan sebagai "suatu wadah pengetahuan yang terorganisasi mengenai dunia fisik, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa", tetapi suatu definisi yang lengkap harus mencakup "sikap dan metoda yang melaluinyalah wadah pengetahuan itu terbentuk"." Sejalan dengan definisi tentang "sistem" ini dengan mudah kita dapat mengatakan bahwa ekonomi Islam itu sesungguhnya adalah bagian dari suatu tata kchidupan lengkap, berdasarkan empat bagian nyata dari pengetahuan, yaitu: "pengetahuan yang diwahyukan" (yakni Al-Qur'an), praktek-praktek yang berlaku pada waktu itu dalam masyarakat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan ucapan-ucapannya yang bernas (yakni Sunnah dan Hadits), deduksi analogik, penafsiran berikutnya dan konsensus yang tercapai kcmudian dalam masyarakat, atau oleh para ulama (yaitu ijma '). "Sistem" ini memuat suatu mekanisme yang built-in untuk pemikiran jernih (yaitu Ijtihad) tentang persoalan dan masalah baru sehingga penyelesaian dapat dicapai. Ini dibolehkan selarna tidak bertentangan dengan komponen dasar dari sistem itu, (yaitu AI-Qur'an dan Sunnah).
Dengan begitu terlihatlah bahwa suatu "sistem" memuat prinsip yang mengatur seluruh tata-kehidupan. Prinsip ini harus dilihat dalam suatu kerangka yang abadi (Lihat Tabel, langkah (2)). Dari prinsip ini dapat dikembangkan suatu kerangka konseptual yang dapat dikaitkan baik.untuk menjelaskan perilaku ekonomik lampau maupun realitas sekarang (ekonomi aktual) ataupun realitas akan datang yang diharapkan (tan dirnajinasikan. Sebabnya ialah, karena ketidakmampuan untuk tnengimajinasikan perubahan sosial-ekonomik rnerupakan hambatan bagi perubahan itu sendiri, karena ini akan mengakibatkan stagnasi dalam proses perkembangan dan evolusi dari ckonomi Islam sebagai suatu ilrnu. Proses yang evolusioner ini tentunya mempunyai dimcnsi-dimensi ruang dan waktu (Langkah (3) dalam Tabel l); namrm, adalah mungkin bahwa suatu kerangka konseptual yang barn dan bersaingan akan dapat memberikan arti yang baru pula pada sejumlah masalah, malahan juga dapat rnenimbulkan masalah-masalah barn. Jelaslah bahwa suatu teori ekonomi Islam dapat diganti atau diubah, namun tetap tunduk pada ketentuan dalam kerangka abadi Syariat.


Kesimpulan
Secara keseluruhan dapatlah dikatakan bahwa para ekonotn Islam yang bertekad untuk memulai dengan serius, kini telah dapat mcmperoleh pengertian luas tentang metoda penelitian deduktif atau induktif dalam merumuskan teori dan kebijaksanaan Islami. Karena, rnerupakan hal yang sahih untuk suatu teori Islami sarat nilai yang ideal dapat mempunyai dimensi waktu dan ruang. Hal ini diperlukan untuk menjelaskan tentang perilaku lembaga, dan organisasi ekonomik di masa lampau, sekarang dan membayangkannya untuk masa yang akan datang. Tetapi ini harus dipahami dalam kerangka abadi yang lebih luas dari prinsip-prinsip Al Qur'ah dan Sunnah. Walaupun ekonomi Islam adalah bagian dari suatu "sistem", tetapi ia juga merupakan suatu ilmu. Perbedaan antara ekonomi positif dan normatif tidak diperlukan, juga tidak diinginkan; dalam hal-hal tertentu malah akan menyesatkan. Namun harus dicatat bahwa metoda penelitian dapat berupa deduktif, induktif, atau kombinasi dari keduanya. Metode deduktif sebagairnana yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam, dapat diterapkan pada ekonomi Islami dalam mendeduksikan prinsip sistem Islam itu dari sumber-sumber hukum Islam. Metode induktif dapat pula digunakan untuk mendapatkan penyelesaian dari problema ekonomik dengan menunjuk pada keputusan historik yang sahih. Namun harus diakui bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk membahas soal ini menjadi komprelrensif dan lebih berrnutu. Tetapi hal ini di luar rangka pembahasan mengenai bab ini.


Dalam mempelajari ilmu eonomi islam, menyusunnya dari sumber utama Al-Qu’an, As sunnah serta khazanah islam lainnya dan tidak mengabaikan ilmu ekonomi yang ada, untuk dipergunakan sebagai penyempurnaan ilmu ekonomi islam. Sumber utama Al-Qur’an dan As Sunnah terdapat banyak informasi yang didalamnnya, mengenai pokok-pokok perekonomian. Dengan menggunakan postulak, data dan informasi yang didapat ilmu, ekonomi islam perlu disusun, walaupun hanya pada taraf asas-asas ekonomi islam saja.
Didalam agama yang dianut umat islam, memiliki tata nilai yang dianut umat islam perlu disusun, walaupun hanya pada taraf asas-asas ekonomi islam saja.
Didalam agama yang dianut umat islam, memiliki tata nilai yang mengatur agar tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang dilarang agama dengan menetapkan adanya nilai haram atau halal, makruh atau mubah, wajib ataupun sunnah dan juga nilai fardu’ain atau kipayah. Semua nilai itu berlaku terhadap barang dan jasa yang diproduksi maupun yang dikonsumsi. Juga yang berlaku pada tindakan-tindakan ekonomi dalam aktivitas kita sehari-hari semua nilai-nilai yang ada dalam ajran agama islam, sudah pasti sama dengan ajran agama non islam, tapi ada aturan tersendiri dalam tingkat penggunaannya dan tujuan pemakaiannya.
Banyak ilmu ekonomi lain yang mengatur perekonomian namun ilmu ekonomi islam tidak menjadi perekonomian pemikiran, yang berperan penting dalam nilai-nilai yang terkandung di perekonomian yang dijalankan. Penyusunan dan penerapan ekonomi islam bertujuan untuk dapat kepastian dalam pembangunan ekonomi yang berbasis islam yang berguna mengatasi masalah-masalah kemiskinan, pengangguran, inflasi, kenaikan harga, erpajakan pelayanan kesehatan,m energy, perdagangan bebas maupun hutang Negara.


Para ahli ekonomi islam, mempunyai tugas dan tanggungjawab untuk merumuskan asas-asas ekonomi dalam menyususn kebijakan ekonomi yang menyangkut nilai-nilai dlam agama islam. Metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari metoda yang digunakan dalam suatu kegiatan imiah tertentu, untuk mencapai asas dan kebijakan yang diambil atau ditetapkan.
Jika kita membicarakan dan menyusun ilmu ekonomi islam, ita harus mempeljari ekonomi umum dan zakat serta mempeljari ekonomi umum dan filsafat ekonomi untuk itu, kita perlu lebih lanjut mempelajari ilmu ekonomi umum, ahli islam terutama fiqh, serta ahli dalam ijtihad.
Perekonomian islam disusun atas fakta yang berkaitan dengan masalah, agar mampu menghasilkan teri ekonomi islam yang sah dan dapat dipergunakan oleh umat islam khususnya dan umat didunia secara universal.
Semangat islam ini merupakan pandangan hidup atau way of life kaum muslimin yang sudah diatur dengan aturan yang telah baku terutama dari Al-Qur’an maupun Al-sunnah.
Rukhul Islam ini menjadi pedoman leh setiap muslim secara sadar, yaitu sudah dipikirkan terlebih dahulu, dalam setiap gerak-geriknya. Mempelajari ilmu ekonomi isam, harus diawali dengan niat yang tulus untuk memperoleh Ridho Allah SWT.
Dengan pengetahuan yang luas mengenai ilmu ekonomi islam, peneliti harus diarahkan pada rukhul islam yang mengambil sumberdari Al-qur’an dan Al-sunnah yang mendasari norma –norma yang berbasis islam.
Dalam menemukan kebenaran ditempuh tiga cara yakni studi islam, rukhul islam dan ilmu pengetahuan.
Studi islam tentang aqidah, syariah dan akhlar ilmu ekonomi islam yang menjadi bahan utama dan pewarisan mempunyai kaitan erat terhadap kemakmuran dan keadilan penyauran pendapatan masyarakat. Kita juga penyalur pendapatan masyarakat
Kita juga harus mempelajari ibadah yang hukumnya fardhu ain yang terdiri dari thaharah, shalat puasa, haji dan zakat –zakat dan perniagaan merupakan bagian mu’amalat yang pokok pada ilmu ekonomi islam, yang sumbernya dari Al-qur’an dan As sunnah yang mencakup rukhul islam.
Upaya awal memasuki dunia nyata untuk mengamati, melihat dan mendapatkan data yang diperlukan dengan cara bertanya asas umber data tersebut. Observasi yang diikuti dengan pengumpulan, tata susunan, penetapan asumsi maslah, tata susunan, enetapan asumsi klasifikasi, abstraksi, hakikat, tipe ideal dengan menunjukkan generalisasi sebagai dasar observasi atau pengamatan.
Cara berpikir secara rasional untuk mendapatkan kebenaran –kebenaran bersifat pemikiran.
Pengujian melalui penelitian murni atau penelitian terapan. Penelitian murni di pelajari atas masalah yang belum pernah diselidii sebelumnya, sedangkan penelitian terapan ialah penelitian yang oraktis yang telah diteliti sebelumnya.
Statistic diperlukan karena kejadian yang satu dengan kejadian lainnya terkait oleh suatu pola yang teratur, yang membantu dalam menarik kesimpulan umum yang dapat dipergunakan dalam penelitian. Pengujian sangat penting terutama untuk menguji kebenaran atas fakta yang diteliti., kesimpulannya ilmu pengetahuan merupakan penelitian atas fakta-fakta untuk dapat menguji atau meneliti benar atau tidak benar, keputusan yang baik atau buruk bagi kehidupan manusia dengan system nilai dan akhlaknya.
Pengetahuan adalah kekuasaan, akan tetapi bersifat netral yang hanya dapat menunjukkan kesalahan dan kebenaran. Baik dan buruk itu terletak pada system nilai yang dianut manusia. Jadi pengetahuan harus dipegang dandigunakan bagi mereka yang berakhlak terpuji.
Kebenaran merupakan sasaran yang diidamkan oleh setiap cendekiawan, melalui penelitian agama, filasafat dan ilmu pengetahuan. Kebeneran adapada wahyu yaitu kebenaran mutlak, filsafat ang membuahkan kebenaran dan kesimpulan filsafat yang dirumuskan tanpa pengujian ilmiah, dan ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran obyektif dan kesimpulan atas penelitian yang murni, atau juga penelitian teraan atas berbagai percobaan yang dilakukan dengan mengungkapkan fakta yang sesungguhnya.
Didalam deduksi hipotesa, menjelaskan struktur hubungan yang melibatkan satu masalah yaitu hubungan sebab akibat yang sangat diperlukan kebenarannya mengenai objek yang sedang dipermasalahkan secara sah dan bersifat ilmiah.
Deduksi merupakan penarikan kesimpulan yang pernyataan bersifat umum menjadi kesimpulan yang lebih khusus atau bersifat individual.
Pernyataan yang sudah dianggap benar diambil kesmulannya dari pernyataan tersebut dari pernyataan tersebut dengan bantuan logika yang logis.


KESIMPULAN KRITIK
Didalam Buku ekonomi Islam “TEORI DAN PRAKTEK” oleh; M.A. Mannan
Didalam penulisan kata-katanya belum seutuhnya menggunakan bahasa yang dibakukan atau disesuaikan dengan ejaan yang disempurnakan.
Contoh → Praktik
Seharusnya:
Praktek
→ Kesalahfahaman
Seharusnya:
“kesalahpahaman”
→ Positive
Seharusnya:
positip
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929