loading...

TEORI HUKUM DALAM BERBAGAI RUANG DAN GENERASI

April 17, 2013
loading...
BAB 3
TEORI HUKUM DALAM
BERBAGAI RUANG DAN GENERASI



Teori hukum yang muncul dari abad ke abad dan generasi ke generasi, tidak hanya memperlihatkan warna kosmologi dan semangat zamannya, tetapi juga memunculkan pergeseran cara pandang sesuai dengan peralihan zaman. Maka di samping kita bertemu dengan para pemikir zaman klasik, pemikir abad pertengahan, pemikir zaman modern, dan pemikir kontemporer, tapi serentak itu pula kita berjumpa dengan generasi hukum alam, generasi rasionalisme, generasi historisme, generasi positivisme, generasi sosio-antropologi, generasi realisme, dan generasi-generasi lain sesudahnya.
Untuk diketahui, di samping teori-teori yang lahir dalam tradisi Barat, terdapat pula pemikiran hukum yang bernilai tinggi dalam kebudayaan-kebudayaan lain di dunia, misalnya, di Cina, India, Mesir, Jepang, Afrika, dan Timur Tengah . Tapi karena pemikiran yang paling subur mengenai teori hukum, tumbuh dalam tradisi Barat dan berpengaruh besar pada pandangan modern mengenai hukum, maka jejak teori-teori dari Barat itulah yang akan dipaparkan dalam karya ini. Sudah tentu, tidak semua teori bisa dibahas di sini. Penulis hanya mengangkat beberapa teori dari tiap periode dan generasi untuk menunjukkan betapa isi sebuah teori hukum mencerminkan warna kosmologi dan semangat zamannya, berikut pergeseran cara pandang seturut peralihan zaman dan tantangan yang dihadapi.
Beberapa tujuan yang ingin dicapai lewat paparan ini. Pertama, ingin menunjukkan bahwa teori hukum itu tidak tunggal, dan tidak hanya terwakili oleh teori hukum murni seperti dianut kuat dalam pendidikan hukum dewasa ini. Kedua, kita dapat memetik manfaat dari teori-teori tersebut dalam melakukan refleksi terhadap hukum sebagai lembaga manusia. Ketiga, membantu proses pembentukan cara berpikir yang konseptual dan metodis. Kita bisa setuju dan tidak setuju dengan isi teori-teori itu. Tapi basis dan kerangka teoretis yang dipakai dalam membangun teorinya sangat bernilai dalam membentuk cara berpikir ilmiah. Dengan begitu kita dapat memperkaya kerangka analisis pengembangan kajian hukum yang lebih beragam, luas, dan konseptual-metodis.

3.1. Teori Hukum Zaman Klasik

Teori hukum sejak filsuf Ionia hingga Epicurus diwarnai cakrawala religiusitas, baik yang bersumber pada mitis (pra abad ke-6 Seb. M) maupun yang bersumber pada religi Olympus (abad ke-5 sampai abad ke-1 Seb. M). Dalam kosmologi era sebelum abad ke-6 Seb. M, `yang ilahi' itu ada dalam alam. Alam sepenuhnya dikuasai oleh kekuataan mitis. Karenanya alam dipahami sebagai kekuatan yang mengancam, serba gelap, dan berjalan alamiah. Hidup manusia, dengan demikian sepenuhnya tergantung pada nasib. Manusia harus tunduk dan rela menerima nasib sesuai aturan alam, yakni seleksi alam .
Masuk abad ke-6 yang berlanjut hingga abad ke-1 Seb. M, kosmologi serba mitis berganti kosmologi religi Olympus. Dalam terang kosmologi ini, 'yang ilahi' itu (telah) ada dalam diri manusia, lewat apa yang disebut logos (akal). Logos merupakan akal dewa-dewi yang mencerahkan dan menuntun manusia pada pengenalan akan yang `benar', 'baik', dan `patut'. Berkat logos yang mencerahkan itu, dimungkinkan terciptanya suasana keteraturan (nomor). Nomos inilah yang menjadi petunjuk hidup di dunia rill. Nomos dapat mengambil bentuk dalam wujud kebiasaan maupun wujud aturan yang menuntun kehidupan umat manusia yang bermartabat .
Sekalian suasana religiusitas dalam dua periode itu, menjadi setting dari

Skema: Alam Pikiran Yunani Kuno
ALAM PIKIRAN YUNANI KUNO

Religiusitas


















teori-teori hukum yang muncul pada zaman klasik, mulai dari barisan filsuf Ionia, kaum Sofis, barisan filsuf Athena (Socrates-Plato-Aristoteles), hingga Epicurus (Lih. Skema di bawah). Empat kelompok pemikir itu memiliki cara berpikir yang berbeda. Filsuf Ionia berciri heroic minded yang berbasis prinsip survival, kaum Sofis berciri `visionary minded' yang merujuk pada pencerahan logos dan nomos. Filsuf Athena berciri rational minded yang merujuk pada penataan tertib polis secara rasional. Sedangkan Epicurus lebih pada `theoretical minded' berhubungan dengan pemisahan tertib polis dengan tertib individu .
Karena polis merupakan wujud logos, maka dalam polis dimungkinkan tercipta keteraturan/hukum. Warga polis menata hidupnya sesuai aturan logos itu. Oleh karena itu, setiap warga polis harus tunduk pada hukum yang berlaku dalam polis. Hanya dengan itu, manusia dapat berkembang secara penuh.

Hukum itu Tatanan Kekuatan:
Teori Filsuf Ionia
Hukum sebagai tatanan kekuatan, merupakan teori dari barisan para filsuf pertama Yunani sebelum abad ke-6 Seb. Masehi . Generasi filsuf ini dikenal sebagai filsuf Ionia, seperti Anaximander, Thales, Heraklitus, dan Empedocles. Sebagai generasi filsuf awal, mereka sangat lekat dengan kosmologi alam (-iah) dan mitis . Kosmologi alamiah melahirkan pandangan bahwa kekuatan merupakan inti tatanan alam. Manusia sebagai bagian dari alam, tidak lepas dari kodrat yang tersebut. Bahkan manusia mewarisi kualitas `Dionysian' bawaan yang cenderung liar, menerima kekejaman, dan siap menghadapi nasib yang ditimpakan oleh hidup sebagaimana apa adanya. Sedangkan mitis melahirkan konspesi tentang kesatuan alam dan manusia. Karena itu, apapun yang dibuat manusia (termasuk hukum), harus mencerminkan dan searah dengan tatanan alam.
Teori para filsuf Ionia tentang hukum mencerminkan kosmologi di atas. Pertama, hukum merupakan tatanan yang dikuasai logika kekuatan, karena memang berasal dan diperuntukan bagi manusia-manusia yang siap bersaing dalam kancah kekejaman dan nasib. Kedua, tidak ada perbedaan antara aturan alam dan aturan buatan manusia. Baik aturan alam maupun aturan manusia dianggap sebagai bagian dari logika alam, yakni logika kekuatan. Aturan alam menjiwai aturan hukum. Hukum kodrat yang paling operasional dalam alam, adalah `hukum survival. Untuk filsuf Ionia, hukum tidak lebih dan tidak kurang adalah persoalan mengenai bagaimana manusia bisa ada, dan tetap ada (survive). Hukum adalah `rumus-rumus' untuk tetap survive. Persoalan paling pokok dalam hidup manusia sebenarnya amat sederhana: "ada" atau "lenyap". Dan ini berlaku untuk semua mahkluk hidup.
Konsepsi tentang keutamaan kekuatan dan ketakaturan dalam filsafat kaum filsuf ini, tidak lepas dari gagasan dominan tentang dunia masa itu. Dunia dipahami sebagai bangunan maha besar yang terbangun dari benda-benda materi . Kosmos dan nomos yang dalam periode berikutnya (era Sofis dan Socrates) dianggap sebagai tatatanan ketertiban, ditepis oleh barisan filsuf awal ini. Ini dikatakan dengan tegas oleh Heraclitos misalnya. Bagi dia, kosmos itu tidak ada. Kalaupun ada, maka bentuk terbaiknya paling-paling mirip timbunan rongsokan yang tersebar tidak karuan. Ini ada kaitan dengan teori Heraclitos tentang dinamika sosial.

Dalam konteks teori Heraclitos tentang dinamika sosial, perselisihan atau perang merupakan kodrat sosial. Hasil akhir perang, selalu adil di mana yang kuat mengalahkan yang lemah. Perang adalah ayah sekaligus raja segala sesuatu. Perang akan menyebabkan sebagian golongan menjadi dewa, sedangkan yang lain hanyalah manusia biasa. Perang juga mengubah sebagian di antara mereka menjadi budak, dan yang lain menjadi tuan. Singkatnya, inti keadilan adalah pertikaian. Ya, semua hal berkembang lewat pertikaian.

Jelas kiranya, hukum berisi aturan-aturan yang memungkinkan berlangsungnya hubungan-hubungan sosial dalam logika `arus kuat-lemah'. Karena dalam setiap struktur sosial selalu ada pihak yang dominan, maka dimungkinkan pula hukum menjadi alatnya orang kuat, sebagaimana kemudian diungkapkan secara eksplisit oleh Protagoras dari barisan filsuf generasi berikutnya, yakni kaum sofis.

Jika keadilan adalah pertikaian, dan jika sukses dalam peperangan adalah standar kebaikan, maka nyatalah bahwa tatanan sosial yang ingin dibangun adalah tatanan yang dipandu oleh logika `seleksi alam', logika `kuat-lemah'. Persis dititik ini, hukum bukan saja alatnya orang unggul, alatnya orang kuat. Lebih dari itu, ia merupakan media pelembagaan kehendak untuk menguasai, sebagaimana kemudian digenapi dalam filsafat moyangnya eksistensialisme, yakni Friedrich Nietzsche berkat ilham langsung dari penggagas `dunia serba kehendak,' Arthur Schopenhauer.
Apa yang ditampilkan dalam teori filsuf Ionia itu, adalah teori yang mencerminkan strategi tertib hidup dari manusia-manusia yang langsung berhubungan dengan daya-daya alam yang serba rahasia, suatu dunia yang diwarnai ketegangan antara manusia dan daya kekuatan alam. Alam raya dirasakan `berkuasa penuh' atas diri manusia, karena belum diimbangi kemampuan manusia menjinakan alam lewat ilmu dan teknik (sebagaimana dilakukan manusia modern). Akibatnya, dunia dialami bukan sekedar jagad yang penuh problem (masalah yang dapat dipecahkan), tetapi juga sarat misteri (masalah yang tidak mungkin terpecahkan). Di sini, manusia menempuh strategi adaptasi. Ini pola umum umat manusia lintas zaman. Jika dimungkinkan (berdasarkan kemampuan ilmu dan teknik yang dimilikinya), ia akan melakukan perubahan. Tetapi jika sebaliknya, dia akan menyesuaikan diri.
Bronislaw Malinowsky pernah melaporkan pengamatannya yang amat menarik tentang beberapa suku primitif di kepulauan Pasifik. Bila mereka harus berangkat menangkap ikan di daerah perairan yang dalam, maka upacara-upacara religius selalu mengiringi keberangkatan mereka. Tapi sungguh aneh! Upacara seperti itu tidak pernah ada, ketika cuaca amat baik, dan mereka cukup mencari ikan di dekat pantai. Anda tau, apa artinya ini?
Menurut Malinowsky, untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam batas kemampuan mereka, maka manusia berani tampil otonom. Tapi soalnya sama sekali lain jika kekuatan yang dihadapi berada jauh di luar kemampuan manusiawinya. Dalam hal ini, mereka menempuh strategi adaptasi. Bentuk adaptasi bisa berbeda. Upacara religi yang dilakukan para nelayan dalam contoh di atas, hanya salah satu cara adaptasi. Menghadapi kedigdayaan Soeharto masa Orde Baru, ratusan juta rakyat Indonesia selama 32 tahun, lebih memilih strategi adaptasi. Keadaan menjadi lain samasekali ketika tahun 1998 kedigdayaan itu telah merosot, dengan mudah orang menuntut perubahan.

Jadi teori filsuf Ionia mengenai hukum sebagai kekuatan, benar-benar merupakan strategi `tertib hidup' dari manusia zaman itu yang memilih adaptasi terhadap alam. Sesuai tingkat peradaban masa itu, maka alam dijadikan sebagai titik-tolak analisis. Ketika itu, alam dipahami sebagai jagad penuh kuasa yang hanya tersusun dari benda-benda materi (manusia juga dianggap benda materi). Karena bangunan benda-benda materi belaka, maka tidak dikenal adanya tatanan moral sebagai panduan kehidupan. Nah, karena tidak ada tatanan moral, maka praktis alam dikuasai oleh `logika' dasarnya, yakni kekuatan. Dalam logika kekuatan itulah, manusia sebagai bagian dari alam menjalankan kehidupan ragawinya sehari-hari. Di sinilah `hukum survive' berlaku, yakni ada atau lenyap. Terjadilah seleksi alam. Siapa yang kuat dan cerdik, ia survive. Dan siapa yang mampu survive, dia berkesempatan menjadi sumber hukum. Logislah, bila dalam konteks ini, hukum menjadi `rumus-rumus' orang kuat untuk tetap survive. Ya, hukum menjadi tatanan kekuatan (orang kuat) untuk tetap survive.

Mungkin bagi sebagian kita, teori di atas terkesan begitu kasar. Kita boleh tidak setuju dengan para filsuf Ionia itu, karena terkesan mengumbar naluri belaka. Tapi tahukah Anda, bahwa apa yang mereka katakan, ada sisi benarnya? Teori mereka, sebenarnya juga tidak terlalu kuno. Nietzsche, filsuf Jerman abad-19 yang mengangkat diri seorang nabi itu, pernah menulis buku Beyond Good and Evil (1885) dan The Anti-Christ (1888). Kata Nietzsche, "Aku menyebut Kristianitas suatu kutukan besar, suatu kesesatan yang dahsyat dan sangat mendalam....., aku menyebutnya suatu noda kekal umat manusia.... . Mengapa Nietzsche berkata begitu? Karena Kristianitas terlampau mengagungkan sisi moral manusia yang digambarkan penuh kasih, welas-asih, ingin hidup damai, dan lain sebagainya. Kristianitas, kata Nietzsche, telah secara sepihak mengorbankan kualitas-kualitas naluriah manusia sehingga mengabaikan watak keberanian, kekejaman, tegas, riang, penuh gairah, dan hidup sebagaimana adanya.
Tidak hanya Kristianitas yang diserang Nietzsche. Barisan pemikir besar yang mengajarkan keutamaan jiwa, menjadi sasaran utama serangannya. Menurut Nietzsche, Kristianitas hanya merupakan tahap terakhir dari suatu cara berpikir yang ganjil yang bermula dari Socrates. Socrates mendorong keyakinan terhadap jiwa kekal dan kebenaran mutlak. Plato, murid Socrates, menciptakan filsafat mengenai `dua dunia' di mana dunia materil hanyalah salinan yang lebih rendah dari dunia transenden yang sempurna. Descartes, filsuf awal modern, berusaha membuktikan eksistensi jiwa yang kekal serta kebenaran-kebenaran kekal tertentu pada matematika dan ilmu. Bahkan kata Descartes, rasio kitalah yang menyebabkan kita menjadi manusia . Filsuf Jerman di era Aufklarung, Immanuel Kant, mengakui eksistensi dunia `noumenal' yang lebih unggul dan mustahil dijangkau oleh kemampuan indrawi manusia.

Semua pemikir itu kata Nietzsche, telah membodohi diri mereka sendiri (dan kebudayaan Barat pada umumnya) dengan percaya pada kemungkinan adanya jenis-jenis pengetahuan mutlak dan paripurna. Tidak Semua itu tidak autentik kata Nietzsche. Manusia itu, tidak dituntun oleh nilai. Aslinya, la dikendalikan oleh `kehendak akan kuasa. Ya, kehendak berkuasa. Semua yang ada di jagat raya ini, termasuk manusia, eksis dalam keadaan bertarung terus-menerus untuk saling menguasai.

Tesis filsuf Ionia mengenai survive sebagai intisari `aturan alam', juga mendapat apresiasi yang amat tinggi dari etikawati abad 20, Ayn Rand . Wanita Amerika kelahiran Rusia ini adalah seorang filsuf yang cukup kontroversial. Jika diringkas secara sederhana, maka semua filsafatnya adalah: "Egoisme yang Tidak Malu-Malu". Terhadap nasib dan kepentingan sesama, prinsipnya adalah angkat bahu. Anda bebas, saya bebas. Mari kita bersaing! Siapa cerdik dan pandai, la menang. Laissez faire! Cepat jatuh iba, kepingin berbuat baik kepada sesama ini adalah akar dari segala kejahatan. Tindakan bunuh diri!

Menarik untuk mengetahui apa yang menjadi asumsi Rand. Bagi Rand, apa yang ada (what is), itulah yang menentukan apa yang seharusnya (what ought). Ini prinsip paling asasi untuk bertahan hidup. Bila Anda tersesat di padang pasir, Anda tidak akan survive karena Anda bersemedi. Tetapi dengan memanfaatkan akal semaksimal-maksimalnya, mengamati keadaan secermat-cermatnya, menentukan cara yang sebaik-baiknya untuk tetap hidup. Sebab itu, akal bukanlah sekedar embel-embel yang boleh ada atau boleh tidak ada. Akal adalah masalah hidup atau mati. Singkatnya, akal merupakan tuntutan rasional dari kepentingan diri sendiri setiap manusia. Setiap orang adalah tujuan pada dirinya, bukan alat untuk yang lain. Maka etika yang benar adalah etika yang mampu egois.

Mengorbankan din sendiri adalah tindakan yang tidak etis. Mengorbankan diri sendiri berarti menjadikan diri sendiri sebagai alat belaka demi nilai lain yang tidak rasional. Keadilan-lah, dan bukan kasih, yang harus menjadi prinsip dalam hubungan antar manusia. Kasih itu, tidak rasional, bertentangan dengan kepentingan diri sendiri. Lalu keadilan dalam arti apa? Ini: keadilan adalah bila saya mempunyai kebebasan yang penuh untuk mengejar kepentingan diri saya, dan saya juga memberi kebebasan kepada Anda untuk mengejar kepentingan diri Anda. Inilah keadilan yang sebenarnya menurut Rand.

Apakah "baik" dan "jahat" kalau begitu? Orang yang baik menurut Rand adalah orang yang berupaya tetap survive dengan memanfaatkan akalnya secara maksimal dan menghasilkan karya-karya secara produktif. Sedang orang yang jahat adalah orang yang memilih untuk tidak memakai akalnya, tetapi berupaya untuk survive, misalnya dengan mencuri milik sesamanya, atau dengan menindas sesamanya. Yang disebut "salah" di sini, bukan karena berbuat jahat pada sesama, tetapi karena tidak memanfaatkan akalnya untuk hidup.
Sudah jelas, Rand mengagungkan tiga nilai yang dianggap paling utama. Nilai pertama adalah akal, sebab akal dianggap sebagai satu-satunya alat yang terbaik yang dimiliki manusia untuk ada dan survive. Nilai yang kedua adalah tujuan yang jelas dan gamblang, yaitu untuk ada dan survive. Dan yang ketiga adalah harga diri, atau rasa percaya diri, yaitu keyakinan dan kepastian pada diri sendiri bahwa saya mampu untuk berpikir dan pantas untuk tetap hidup.

Sekali lagi, kita bisa tidak setuju dengan para filsuf Ionia, Nietzsche dan Rand. Meski demikian, ada sisi positif dari cara berpikir mereka. Pertama, pentingnya pemahaman yang komprehensif tentang manusia yang justru menjadi titik-tolak teorisasi tentang hukum. Setiap teorisasi tentang hukum harus mempertimbangkan secara seimbang dimensi intelek, moral, dan naluriah manusia ini. Terlalu menekankan dimensi intelek dan moral saja, maka semua aturan yang akan mengatur perilaku manusia, cenderung hanya berisi himbauan-himbauan, karena toh manusia itu tau dan sadar benar mana yang baik dan mana yang buruk untuk dilakukan. Lagi pula, dengan bekal nilai dan intelektual yang dimiliki manusia itu, logisnya la lebih cenderung berbuat yang baik ketimbang yang buruk.
Tapi faktual, tidak begitu. Intelektual dan nilai yang inheren dalam diri manusia, yang rasional itu, ternyata tidak sepenuhnya mampu melahirkan perilaku-perilaku bijak. Di sinilah dimensi naluriah manusia, perlu dipertimbangkan pula. Tapi jangan melulu di situ. Sebab terlalu menekankan dimensi naluriah, hanya akan melahirkan aturan yang serba menekan dan melarang. Aturan hukum, hanya akan penuh dengan larangan-larangan. Dan ini juga tidak tepat. Manusia bukanlah sepenuhnya naluriah. Manusia memiliki nilai-nilai, kesadaran tentang apa yang seharusnya. Kesadaran inilah yang membuat manusia dalam banyak hal justru harus menekan hasrat dan nalurinya. Tidak sekedar mengikuti desakan dorongan naluri alamiahnya. Manusia memiliki potensi untuk bertindak penuh pertimbangan menurut norma-norma yang benar, baik, dan tepat.
Itulah yang disebut kesadaran etis manusia. Yaitu kesadaran manusia tentang mana yang benar dan mana yang salah, tentang mana yang baik dan mana yang jahat, tentang mana yang pantas/tepat dan mana yang tidak pantas. Kesadaran etis, merupakan hal yang intrinsik (dibaca hakiki) dalam diri manusia sebagai manusia. Kesadaran etis adalah kesadaran tentang norma-norma yang seharusnya melekat pada manusia sebagai manusia. Norma-norma itulah yang mengendalikan tingkah dilakunya. Yaitu norma-norma atau ukuran-ukuran tentang apa yang seharusnya dilakukan. Manusia dapat berusaha melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan sedapat mungkin tidak melakukan apa yang tidak seharunya dilakukan.
Tapi dalam dunia riil, semua itu bersifat hipotetis. Keharusan-keharusan tersebut bukanlah sekedar apa yang harus ditaati. la juga kalau bukan yang terutama adalah bagaimana menaatinya. Bahwa idealnya manusia (sebagai manusia) harus bertindak luhur, sama sekali tidak disangkal. Tidak pula diingkari, sekalian ideal itu melekat dalam intelek manusia. Tetapi tentulah tidak bisa dijamin, apa yang seharusnya itu, benar-benar terwujud dalam tindakan nyata. Manusia toh memiliki naluri, dan lagi pula senantiasa berada dalam kehidupan riil yang tidak hitam-putih. Justru naluri dan situasi-kondisi itulah yang dalam banyak hal menghadapkan manusia pada persoalan dan dilema, bagaimana menaati keharusan-keharusan yang dituntut darinya.

Karena dua dimensi itu (naluriah dan intelektual/nilai) dan juga kondisi-kondisi riil yang dihadapi manusia, maka tiap tatanan yang diperuntukan bagi tertib hidupnya (termasuk aturan hukum), harus menyediakan ruang yang seimbang antara dimensi larangan dan dimensi fasilitasi. Tidak ada manfaatnya dan tentu tidak efektif membuat aturan yang melarang pencurian (meski dengan sanksi yang berat), jika mayoritas warga dari sebuah masyarakat berada dalam kemiskinan (yang akut). Yang lebih dibutuhkan adalah aturan yang memfasilitasi untuk membuka akses pada sumber-sumber daya yang ada.
Kedua, teorisasi tentang hukum tidak bisa lepas dari konsepsi kita tentang manusia. Dengan kata lain, konsepsi tentang ontologi manusia akan menentukan tanggapan kita tentang hukum. Karena filsuf Ionia melihat manusia sebagai tipikal Dionysian, maka hukum bagi mereka adalah tatanan kekuatan. Tapi ini hanya salah satu versi. Plato dan Aristoteles di era Polis Yunani menyodorkan versi lain. Bagi mereka, menghadapi manusia yang cenderung liar itu, hukum harus difungsikan sebagai media pengenalan dan pendidikan moral. Dan inilah tugas utama hukum dalam menghadirkan keadilan sejati. Demikian juga Thomas Hobbes di era Renaissance, misalnya dengan konsepsi manusia yang sama, ia justru menanggapi hukum sebagai alat penjamin keamanan individu yang harus bersifat rasional dan obyektif. Sudah tentu, tanggapan kita akan lain lagi jika manusia dilihat sebagai oknum yang tertib dan bermoral.

Ketiga, dari cara analisis filsuf Ionia, kita berkesempatan mengkaji hukum dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya bertumpu pada rumusan-rumusan hitam-putih aturan, apalagi hanya sibuk mengecek legal-tidak legalnya sebuah aturan. Sebuah aturan memiliki konteksnya, baik yang bersifat ideologis, maupun sosial, politik, kultural, ekonomi, dan bahkan basis materialnya. Belajar dari filsuf Ionia, ternyata hukum berkaitan erat dengan pandangan dunia dan kosmologi zamannya. Tidak hanya itu, hukum pun memiliki basis materialnya, yakni alam yang masih telanjang, manusia ragawi yang butuh hidup dan mau tetap hidup, dunia sebagai susunan benda-benda materi belaka, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi `satu daging dan darah' dalam suatu aturan hukum. Karena itu, kajian terhadap sebuah peraturan, selain harus komprehensif juga dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai perspektif dan ini harus menjadi wilayah kajian hukum. Tidak relevan lagi dikotomi studi yuridis vs studi empiris. Semua sudut pandang dan pendekatan harus dimobilisir untuk mengkaji hukum (dan aturan hukum) yang berontologi utuh itu.
Keempat, konteks dunia dan manusia mitis dalam teori para filsuf Ionia, bisa menggugah kita untuk melakukan semacam studi perbandingan dengan konteks masyarakat tradisional yang terdapat di berbagai belahan dunia dewasa ini. Tidak hanya itu, kita dapat melacak apakah hukum modern yang dikembangkan di berbagai lingkungan negara dewasa ini, sudah lepas samasekali dari naluri kekuatan sebagaimana dirumuskan oleh para filsuf Ionia itu. Dan masih banyak manfaat lain yang sangat bernilai secara akademis yang dapat kita petik dari teori kekuatan filsuf kuno Ionia.
Kelima, pada tingkat yang lebih praksis (tindakan politis dan etis), dari kerangka analisis teori kekuatan itu, kita memperoleh pesan kuat bahwa untuk membangun kehidupan yang adil dan damai, dibutuhkan adanya tatanan nilai sebagai bingkai kehidupan. Ketelanjangan alam tanpa tatanan moral dalam kosmologi filsuf Ionia, menyebabkan dunia kehidupan dikuasai `hukum kekuatan'. Itu berarti, hukum yang dalam masyarakat modern menjadi mekanisme monopolis menata kehidupan sosial, haruslah memiliki patokan moral dan nilai-nilai. Isi dan muatan hukum harus mengandung nilai-nilai moral dan keadilan. Tanpa itu, seperti tampak dalam teori kekuatan di atas, aturan-aturan hukum hanya akan menjadi kekerasan yang diformalkan.

Hukum Sebagai Tananan Logos:
Teori Kaum Sofis
Ketelanjangan alam yang `dipuja' barisan para `filsuf pertama', ditutup oleh barisan filsuf Sofis. Dengan latar belakang konsepsi religi Olympus tentang manusia (manusia memiliki jiwa dan raga), barisan filsuf yang disebut terakhir itu, tidak lagi memandang kekuatan setelanjang barisan filsuf pertama. Dunia materi bukan lagi segala-galanya. Ada unsur lain yang lebih utama, yakni manusia yang memiliki logos. Dunia berpusat pada manusia yang punya logos itu. Hukum pun berpusat pada manusia yang demikian itu. Praktis, kaum Sofis langsung menusuk jantung teori hukum dari filsuf pertama. Seperti dicatat C.J. Friedrich, serangan kaum Sofis terhadap filsuf Ionia mengakibatkan teori hukum saat itu berhadapan dengan problem polarisasi antara nomos dan psysis. Pendekatan yang menekankan nomos, mendorong adanya kesederajatan di depan hukum. Sedangkan pendekatan yang menekankan pysis (kodrat), mengkondisikan orang-orang tertentu berada dalam posisi menolak nomos (menolak ide kesedarajatan).
Bagi kaum Sofis, hukum bukan lagi melulu sebagai gejala alam yang telanjang per se. Mereka mengaitkan hukum dengan `moral alam', yakni logos-semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. Wujudnya adalah nomos-yang dalam tradisi Yunani menunjuk pada kebiasaan sakral dan penentu segala sesuatu yang baik. Nomos hanya bisa eksis dalam polis (negara kota di Yunani). Di luar polis hanya ada kekacauan.
Esensi nomos sebenarnya soal kepatutan. Ya, kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras. Nomos menjunjung keadilan, menjamin keamanan, serta mendatangkan kesejahteraan . Karena nomos mengandung moral logos, maka pelanggaran terhadap nomos, perlu dihukum karena dianggap melakukan kesombongan. Nomos ini menurut Protagoras (salah satu eksponen Sofis), bisa tampil dalam bentuk kebiasaan, dan juga dalam bentuk undang-undang. Oleh karena itu, dalam tradisi Yunani, hukum (nomos) dan UU (nomos) sangatlah penting untuk menata polis.
Sebenarnya kaum Sofis sudah bergeser dan mengajukan anti tesis terhadap teori hukum filsuf pertama, khususnya menyangkut kekuatan sebagai inti hukum. Tapi menurut Protagoras, faktual, hukum memang ditetapkan oleh orang kuat, maka praktis, hukum menjadi alatnya orang kuat. Celakanya, konstatasi itu serentak menjadi keyakinan Protagoras. Tampaknya Protagoras terjatuh pada relativisme nilai. Antara idea dan sikap tidak sejalan. Ini memunculkan reaksi keras dari Socrates sebagai pioner filsuf Athena. Reaksi itu dimunculkan dalam teori dan filsafat Socrates.
Kita harus membaca teori kaum Sofis itu dalam konteks posisi mereka sebagai pemikir di era transisi. Mereka berada di `ruang antara', yakni di penghujung akhir masa filsuf Ionia (dengan religi mitis-nya), dan di gerbang era filsuf Athena (dengan religi Olyrrepus-nya). Masa antara ini, berpengaruh pada teorisasi mereka tentang hukum. Di satu sisi, hukum ditanggapi sebagai wujud logos, tapi di sisi lain mereka tetap mengamini relativisme nilai. Maka dengan mudah mereka menerima fakta bahwa hukum harus juga diakui sebagai miliknya orang kuat (karena faktual, orang-orang kuatlah yang memproduksi hukum itu).
Lepas dari sifat mendua itu, toh teori mereka juga memperlihatkan strategi `tertib hidup' manusia dalam menghadapi dua `kekuatan'/kekuasaan' yang menyergapnya. Teori bahwa hukum merupakan jalan yang mencerahkan (di tingkat ideal), dan serentak merupakan alatnya orang kuat (di tingkat real), sesungguhnya mencerminkan tarik-menarik dua `kekuasaan' itu. Tentu saja, sikap realistis kaum Sofis (yang `mengijinkan' atau mengakui peran orang kuat dalam hukum), sebenarnya tidak lepas dari relativisme nilai yang dianut para filsuf ini. Akibat relativisme nilai tersebut, nama sofis menjadi tidak harum. Pasca Socrates, nama sofis tidak lagi dalam arti sophistes (seorang bijaksana atau orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu), tetapi berubah menjadi sophistery (orang yang menipu orang lain dengan menggunakan keahlian retorikanya). Salah satu tuduhan dari Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah para Sofis pandai membuat pendapat menjadi pendapatan.
Sama seperti teori filsuf Ionia, teori dari kaum Sofis pun memberi peluang eksplanasi yang cukup besar bagi kita dalam melihat hukum. Pertama, sebuah teori mesti dibangun berdasarkan asumsi dasar tertentu. Asumsi dasar itulah yang akan menjadi basis eksplanasi (penjelasan) terhadap isi teori. Teorisasi kaum Sofis, hukum merupakan aturan hidup yang terang (mencerahkan) dan dapat diandalkan menuntun pada kehidupan yang adil dan damai, tidak dibangun dari ruang kosong. Mereka mendasarkan kostruksi teoretisnya itu pada asumsi dasar tentang logos yang menunjuk pada sumber pencerahan, keadilan, kedamaian, dan hal-hal baik lainnya. Logos itulah yang memungkinkan adanya nomos yang akan menjadi sumber aturan hukum positif oleh karena hukum mencerminkan nomos, maka logislah kalau ia merupakan aturan hidup yang terang, mencerahkan, dan adil.
Kedua, teori kaum Sofis sekali lagi menunjukkan, hukum bukanlah unit yang tertutup yang lepas dari sistem sosial yang lebih besar. Hukum (suatu aturan) menjadi tatanan yang kait mengait dengan sub-sub sistem lain dalam masyarakat, baik yang sifatnya abstrak maupun yang lebih empiris. Teori kaum Sofis, `hukum merupakan aturan yang mencerahkan', tidak akan bisa dimengerti dengan baik tanpa dikaitkan dengan religi Olympus Yunani yang memunculkan ide tentang logos, nomos, serta polis. Demikian pula, pengakuan kaum Sofis, hukum merupakan alatnya orang kuat, juga tidak dapat dipahami dengan baik tanpa dikaitkan dengan kenyataan empiris di mana orang-orang yang berkuasalah yang sesungguhnya menciptakan hukum. Sistem realitas tersebut menjadi unsur yang esensial dalam teori mereka. Di sini, kaum Sofis seolah mengingatkan bahwa kita tidak akan memahami secara memadai sebuah aturan hukum tanpa menyertakan sekalian faktor yang kait mengait dengan peraturan tersebut, baik yang sifatnya ideologis maupun yang empiris.
Ketiga, di aras praksis, teori kaum Sofis memberi pesan yang cukup jelas, hukum yang baik membutuhkan basis idealisme sebagai rujukan bagi muatan dan isinya. Bagi kaum Sofis, idealisme itu adalah logos. Di sini sekali lagi perlu ditegaskan, mutu materi dan isi hukum harus menjadi perhatian utama dunia pendidikan hukum. Dan untuk memperoleh muatan dan isi hukum yang mutu, tidak bisa lain dari pengkajian yang komprehensif terhadap manusia dan dunia kehidupan sosialnya. Itu berarti, kajian-kajian sosial-humaniora menjadi sesuatu yang pokok dari kajian hukum. Sulit dibayangkan kiranya, kita bermimpi membangun hukum yang mutu, jika akademisi hukum tetap saja ingin memenjarakan diri dalam tradisi kajian legalitas aturan, apa lagi menganggap isi hukum bukan wilayah kajian hukum.

Hukum Sebagai Tatanan Kebajikan:
Teori Socrates
Pemujaan manusia Dionysian ala filsuf Ionia dan ketakpanggahan kaum Sofis terhadap keutamaan logos, memunculkan reaksi kembar dari Socrates (sebagai tokoh utama barisan filsuf Athena). Terhadap filsuf Ionia, Socrates menampilkan tokoh anti tesis Apollonian yang berwatak rasional, tertib, ramah, dan bermoral. Sedangkan terhadap kaum Sofis, ia memancangkan maskot `pribadi berintegritas' (manusia yang menjunjung satunya kata dan tindakan). Itulah prototipe manusia sesungguhnya. Manusia bukanlah `binatang urakan' model Dionysian. Bukan pula mahluk oportunis ala Protagoras. Manusia, hakikat asasinya adalah wujud logos, dan oleh karena itu, kehidupannya termasuk di bidang hukum mencerminkan keluhuran logos itu.

Bagi Socrates, sesuai dengan hakikat manusia, maka hukum merupakan tatanan kebajikan. Tatanan yang mengutamakan kebajikan dan keadilan bagi umum . Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat (kontra filsuf Ionia), bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri (kontra kaum Sofis). Hukum, sejatinya adalah tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum .
Pemikiran Socrates itu harus dipahami dalam konteks pemikiran etisnya tentang eudaimonia. Tujuan kehidupan manusia menurut Socrates adalah eudaimonia (kebahagiaan). Tentu yang dimaksud Socrates adalah kebahagiaan seperti dipahami orang Yunani, yakni suatu keadaan obyektif yang tidak tergantung pada perasaan subyektif . Bagi bangsa Yunani, eudaimonia berarti kesempurnaan jiwa yang oleh Plato dan Aristoteles diakui sebagai tujuan tertinggi dalam hidup manusia.

Menurut Socrates, untuk mencapai eudaimonia harus melalui arete, biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai virtue (kebajikan). Manusia harus mempunyai arête sebagai manusia. Arete membuat manusia sebagai manusia yang baik. Seorang yang sudah mempunyai arete (keutamaan) sudah pasti tahu apa yang baik, dan hidup yang baik, tidak berarti lain daripada mempraktikkan pengetahuan tentang yang baik itu.
Prinsip itu menurut catatan Lloyd, dipertahankan Socrates secara konsisten, termasuk ketika ia dihadapkan pada "pengadilan sesat" masa itu . Sebagai warga negara yang mengetahui hukum yang berlaku dan sebagai warga polis, Socrates pantang menolak atau mengelakkan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu. Sikap tersebut menurutnya, merupakan hal yang benar dan bermoral, karena setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku dalam negara itu. Seorang yang melanggar hukum, pada dasarnya berarti mencabik landasan hidup bersama .
Kontrak sosial yang melahirkan kewajiban moral menaati hukum dalam polis seperti dilakukan Socrates, bukanlah dalam makna kontrak sosial zaman modern. Kontrak sosial yang dimaksud Socrates adalah kesediaan menjadi warga polis. Polis itu, bukanlah lembaga duniawi belaka. la merupakan lembaga logos, atau lebih tepat sebuah wujud logos. Karena logos merupakan representasi dewa-dewi yang mencerahkan dan sekaligus memberi petunjuk tentang jalan hidup yang baik, maka setiap orang yang menjadi warga polis (sebagai lembaga logos) terbeban secara moral untuk tunduk pada hukum polis.
Eudaimonia (kesempurnaan jiwa), menjadi inti filsafat kebijaksanaan Socrates. Lewat filsafat ini pula, ia `menyerang' dua barisan filsuf sebelumnya: filsuf Ionia dan kaum Sofis. Bahkan demi mempertahankan filsafatnya, dia bersedia mati dengan meminum hemlock. Dari tiga butir yang menjadi saripati "filsafat kebijaksanaan" Socrates, dua di antaranya relevan diungkapkan di sini. Butir pertama, peningkatan jiwa, kepedulian terhadap kebijaksanaan dan kebenaran, merupakan keutamaan tertinggi (primum et summum bonum) dalam hidup manusia. Butir ini diungkapkan dalam Apology, karya Plato. Bagi Socrates, inti hidup manusia adalah keluhuran jiwa, bukan keutamaan materi sebagaimana diajarkan filsuf Iona. Lebih lanjut dikatakan Socrates, sebelum mengejar kebijaksanaan dan kebenaran janganlah dulu berpikir tentang uang atau kemasyhuran atau prestise jasmani. Ini langsung menohok jantung hedonisme kaum Sofis. Kebajikan tidak muncul dari uang, namun kebajikan mendatangkan uang dan segala hal yang baik bagi manusia, secara umum maupun pribadi. Ini - kata Socrates - adalah inti ajarannya.

Butir kedua filsafat Socrates adalah kebajikan. Kebajikan tidak lain adalah pengetahuan. Menurut prinsip ini untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukan kebaikan. Kejahatan, kekeliruan atau semacamnya muncul karena kurangnya pengetahuan, ketidakacuhan, dan ketiadaan lainnya. Butir kedua ini sebenarnya menyangkut integritas manusia. la menuntut satunya pengetahuan dan tindakan, bukan seperti kaum Sofis yang justru suka mempermainkan pengetahuannya demi materi. Menurut Socrates, hal ini konyol, karena jika Anda benar-benar lebih tahu, jika Anda benar-benar paham mengenai hal yang baik untuk dilakukan, maka Anda pasti akan melakukannya. Jika Anda benar-benar memiliki penilaian yang lebih baik dari yang Anda gunakan, maka Anda pasti akan bertindak berdasar penilaian tersebut, dan bukannya berlawanan.

Bagi Socrates, karena kebajikan adalah pengetahuan, dan untuk mengetahui kebaikan adalah dengan melakukannya, maka kekeliruan hanya datang dari kegagalan untuk mengetahui apa yang baik. Dalam kalimat Socrates yang terkenal disebutkan: "Jika mengetahui kebaikan, seseorang tak mungkin bermaksud memilih kejahatan". Orang-orang yang menghabiskan hidupnya demi mengejar kekuasaan, gengsi, atau kekayaan-mereka melakukannya karena berpikir bahwa salah satu dari tindakan itu akan membawa kebahagiaan.

Ini bukti, bahwa sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang baik. Mereka tidak tahu bahwa hal itu tidak baik dan tidak akan membawa kebahagiaan. Kata Socrates, orang harus tahu sifat hakiki manusia, sifat sejati manusia, supaya mengerti apa yang baik bagi manusia dan apa yang akan membawa kebahagiaan, serta supaya mengerti bagaimana hidup dan apa yang harus dikejar untuk diraih. Tanpa memperhatikan ini, kita tidak akan tahu apa yang baik untuk manusia dalam kehidupan-mengejar demi mencapai sesuatu namun tak pernah mendapatkan kebahagiaan.

Ungkapan Socrates, yang terkenal, adalah Gnothi seaton! Kenalilah dirimu. Ini merupakan kata kunci bagi manusia agar jadi bijak dan adil. Kenalilah dirimu, bahwa kamu adalah bagian dari akal Tuhan. kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki tempat tertentu menurut stratifikasi sosial dalam negara (pemimpin atau warga biasa). Kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki tugas ganda: sebagai warga negara sekaligus warga religi. Kenalilah dirimu, bahwa kamu harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai ilmu dalam encyclopaedie. Kenalilah dirimu, bahwa kamu memiliki hak untuk ikut memerintah. Syarat Polis yang demikianlah yang membedakan mutu kota Yunani kuno dengan kehidupan kota yang kita kenal saat ini.
Teori Socrates menampilkan teori `tertib hidup' yang lain lagi. Sebagai orang yang berada dalam `rezim' religi Olympus, ia menghadapi keluhuran religi itu sebagai `kekuasaan' yang membutuhkan jawaban strategis tertentu. Socrates memilih `jalan kebijaksanaan' sebagai tatanan tertib hidup manusia. Maka teorinya tentang hukum pun, bertumpu pada `jalan kebijaksanaan' itu. Mengapa jalan kebijaksanaan' dijadikan tatanan tertib hidup manusia? Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan: (i). Socrates memberi tempat yang utama pada kehadiran manusia sebagai oknum moral. Itulah sebabnya, keutamaan jiwa dari tiap individu manusia, menjadi pusat perhatian Socrates. Keutamaan jiwa terletak pada usaha meraih kebijaksanaan. Kedua, Socrates ingin melepaskan diri sekaligus menghentikan pengaruh dua generasi filsuf sebelumnya (filsuf Ionia dan Sofis) yang cenderung kurang memperdulikan keluhuran jiwa. Ketiga, Socrates hendak melembagakan pedoman moral obyektif dalam hidup bersama (dalam polis) seturut keluhuran logos. Karena hakikat polis merupakan wujud logos, maka tiap warga polis harus hidup menurut tatanan logos itu. Cara berpikir Socrates ini berpengaruh kuat terhadap teori hukum dari Plato, Aristoteles, dan juga abad pertengahan.

Dalam ajaran moral yang menggugah dari Socrates, ada satu hal yang relatif khas (dari Socrates), yakni perilaku hukumnya. la begitu hormat pada hukum. Fenomena ini membuka peluang melakukan eksplanasi dalam kajian hukum. Minimal ada empat peluang eksplanasi. Pertama, perilaku hukum terkait dengan penghormatan seseorang pada negara. Socrates hormat pada hukum, bukan karena hukum itu sendiri, tetapi karena penghormatannya pada negara (polis) sebagai lembaga publik nan luhur. Kedua, perilaku hukum terkait dengan pandangan hidup seseorang. Ketaatan pada hukum bagi Socrates merupakan wujud keutamaaan seorang manusia.

Ketiga, perilaku hukum seseorang terkait dengan keanggotaannya dalam kehidupan sosial. Socrates pantang menghindari hukuman atas dirinya, karena baginya (sebagai anggota masyarakat) setiap pelanggaran hukum berarti mencabik landasan hidup bersama. Keempat, perilaku hukum juga dapat dipengaruhi faktor ekonomi. Kata Socrates, selalu saja ada orang-orang yang melanggar hukum demi kenikmatan diri.
Di luar empat hal itu, tentu masih banyak kemungkinan lain yang dapat dikaji mengenai perilaku hukum. Apa yang dilakukan Socrates hanya semacam contoh saja betapa hukum itu mengandung unsur perilaku. Hukum itu tidak hanya aturan, tetapi juga perilaku. Karya Donald Black dan sebaran tulisan Satjipto Rahardjo mewartakan hal yang sama. Wilayah kajian perilaku hukum bisa menjangkau sentrum yang lebih luas, termasuk perilaku aparat hukum-mulai dari pelaksana lapangan, hingga elite manajemen dalam birokrasi hukum. Perspektif yang dapat dipakai pun bisa beragam. Misalnya saja menggunakan kerangka analisis Lawrance Kholberg mengenai tingkat moralitas. Dengan kerangka Kholberg, niscaya kita bisa temukan beragam variasi, mulai dari perilaku hukum taraf pra-konvensional (tingkat rendah dan kekanak-kanakan), taraf konvensional, sampai pada yang pasca konvensional.
Seperti diketahui, Lawrence Kohlberg membagi jenjang kesadaran etis, atau dalam istilahnya sendiri, kesadaran "moral", dalam tiga tahapan besar . Tahapan pertama adalah tahap moralitas pra-konvensional. Tahap kedua, moralitas konvensional. Dan tahap ketiga, tahapan moralitas purna konvensional. Tiap tahapan itu terdiri dari dua jenjang. Sehingga seluruhnya, menjadi enam jenjang.

Moralitas pra-konvensional adalah moralitas yang mengandalkan kalkulasi untung-rugi dan hukuman. Ini sering disebut moralitas kekanak-kanakan. Ketaatannya pada aturan (konvensi) bukan dengan rela dan sadar bahwa kesepakatan-kesepakatan dimaksud, benar dan baik adanya. Tetapi kurena takut kena sanksi. Inilah moralitas jenjang pertama. Si Upik tahu, mencuri kue itu tidak boleh. Namun itu bukan karena ia sadar bahwa mencuri itu jahat. la tidak melakukannya bukan karena alasan itu. Tetapi karena, misalnya, takut dimarahi atau dipukul oleh ibu. Kohlberg menamakan jenjang yang paling awal dari kesadaran etis seseorang sebagai kesadaran yang berorientasi pada "hukuman". Mengapa Upik tidak mencuri kue? Oleh karena takut dihukum oleh ibu. Itu sebabnya, la patuh. Jadi persoalannya bukanlah apakah "mencuri" itu baik atau jahat. Persoalannya ialah, apa hukumannya?
Pada anak-anak, pertimbangan itu tentu saja dilakukan secara mekanis. Pada orang dewasa, soalnya lain lagi. Orang dewasa sudah pandai berhitung. Si Bejo pada suatu saat menjalankan busnya dengan amat hati-hati. Mengapa? Karena ada pak polisi di depan. Tapi segera ia akan ngebut lagi, bila pak polisi tak kelihatan. Ada begitu banyak orang dewasa dengan moral kekanak-kanakan. Bukankah kita juga sering tergoda untuk melanggar saja ketika lampu merah menyala di perampatan jalan? Sebab waktu itu jam 2.00 pagi, tidak ada polisi, dan jalan pun sepi. Demikianlah, bila kita berada pada kesadaran etis yang paling awal ini.

Jenjang kedua. Pada jenjang ini, tindakan moral seseorang memang masih kekanak-kanakan. Tapi sudah lebih rasional. Tidak terlalu mekanis dan membabi-buta. Orang sudah mulai menghitung-hitung dan memilih-milih. Motivasi utama dalam tindakan moral pada jenjang ini adalah bagaimana mencapai kenikmatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Tindakan moral seseorang adalah "alat" atau " instrumen" untuk mencapai tujuan di atas. Saya melakukan sesuatu untuk mendapat sesuatu. `You ,certch my hack and I scratch yours,"kata orang Amerika. "Anda menggaruk punggungku, dan aku menggaruk punggungmu." Sudah ada rasa keadilan di sini. Tapi keadilan yang berdasarkan perhitungan. Sebab itu, Ani sudah dapat memprotes, "Ibu tidak adil karena kue Totok lebih besar dari kue Ani."

Kohlberg mengatakan, nilai moral yang berlaku pada jenjang ini bersifat "instrumental". Artinya, sebagai "alat" untuk mencapai kenikrnatan sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesakitan sedapat-dapatnya. Rasa takut dihukum masih merupakan faktor, tapi bukan tanpa perhitungan. Arya tahu pimpinannya melakukan korupsi. Apakah Arya akan mengadukan pimpinannya itu ke pihak berwajib, sangat ditentukan oleh kalkulasi untung-ruginya. Mana yang menguntungkan bagi dirinya, melaporkan pada polisi atau `salam damai' dengan bosnya. Jenjang ini masih pra-konvensional. Sebab pertimbangan pokok bukanlah apa yang benar dan apa yang baik secara kolektif, tetap apa yang menguntungkan bagi diri subyektifnya.
Pada moralitas yang pra-konvensional, titik pusatnya adalah diri sendiri. Pada moralitas yang konvensional, cakrawala seseorang sudah lebih luas. Orang sudah benar-benar memperhitungkan orang lain. Berusaha sedapat-dapatnya untuk memenuhi harapan masyarakat di sekitarnya. Dan berusaha sedapat-dapatnya untuk tidak melakukan apa yang dilarang. Pada jenjang inilah, orang berusaha, misalnya untuk menjadi warga masyarakat yang baik, umat yang baik, warga negara yang baik, atau orang tua yang baik. Caranya, dengan memenuhi harapan kelompoknya meskipun itu berarti yang bersangkutan tidak dapat lagi mencapai kenikmatan diri yang sebanyak-banyaknya. Kalau perlu malah bersedia menahan diri.
Jenjang ketiga. Apa yang benar dan baik itu ditentukan oleh orang lain. Saya tidak menetapkannya. Saya hanya tinggal mematuhinya. Saya tidak korupsi bukan karena takut dihukum, tetapi lebih karena keluarga saya melarang korupsi. Betapa pun terbatasnya, dan masih bersifat parokhial, moralitas pada jenjang ini telah merupakan perkembangan yang luar biasa dibandingkan jenjang-jenjang sebelumnya. Tapi karena sifatnya terbatas, maka moralitas seperti ini kadang berhadapan dengan masalah. Masalah yang terbesar ialah, bila terjadi perbenturan atau pertentangan loyalitas. Harapan-harapan yang ada pada setiap kelompok bukan saja berbeda-beda, tapi boleh jadi malah saling bertentangan satu dengan yang lain. Loyalitas saya sebagai anggota keluarga yang baik, menuntut saya untuk bersikap dan bertindak jujur di mana saja. Tapi di kantor di mana saya bekerja, ini tidak mungkin. Saya justru mungkin akan tersingkir oleh kejujuran saya itu. Mana yang harus dipilih? Dalam hubungan inilah, Kohlberg melihat bahwa jenjang berikutnya merupakan perkembangan yang signifikan.

Jenjang keempat. Bila terjadi konflik loyalitas seperti disebut di atas, apa yang kita jadikan dasar untuk memilih dan mengambil keputusan? jawaban yang sederhana ialah, kita harus merujuk pada suatu prinsip atau hukum yang lebih tinggi. Yaitu hukum obyektif yang tidak hanya berlaku untuk satu-satu kelompok saja, tapi hukum yang mempunyai keabsahan yang lebih luas. Hukum yang lebih berdimensi universal. Inilah orientasi dari moralitas pada jenjang keempat. Pada jenjang ini, seseorang sudah berhasil menembus tembok-tembok kelompok yang sempit, untuk menengok dan berpegang pada yang lebih luas lagi. Manakah yang harus dipilih, korupsi atau tidak? Masalahnya bukan memilih pada mana yang lebih memberi jaminan identitas dan sekuritas (seperti jenjang ketiga), akan tetapi apa hukumnya.
Kata kunci dalam jenjang keempat ini adalah "kewajiban". Kita melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, bukan hanya agar kita diterima oleh orang lain, tapi oleh karena kita sadar bahwa itu adalah "kewajiban" kita menurut hukum yang berlaku umum. Dengan melaksanakan "kewajiban" itu, dapat saja kita akan tersingkir dari kelompok kita. Tetapi itu tidak lagi menjadi ganjalan yang utama. Persoalan kita, bukan lagi soal akan disukai atau tidak disukai oleh orang lain, tetapi apakah kita menaati hukum yang berlaku atau tidak.
Menurut Kohlberg, jenjang keempat di atas, belum merupakan puncak perkembangan moral manusia. Memang, dibandingkan dengan moralitas pra-konvensional yang berpusat pada diri sendiri, moralitas konvensional mempunyai cakrawala yang jauh lebih luas. Bahkan pada jenjang keempat, cakrawala tidak lagi terbatas pada kelompok yang parokhial, melainkan lebih universal. Tetapi, tetap belum universal dalam arti sesungguhnya. Loyalitas saya pada hukum atau undang-undang negara, tentu jauh lebih luas dibandingkan dengan loyalitas saya kepada ketentuan-ketentuan keluarga. Namun, betapapun luasnya "negara", ia tetap merupakan satu kelompok. Belum universal. Belum mencakup seluruh umat manusia. Ketetapan-ketetapan yang ada, bagaimanapun hanya berlaku dalam batas-batas kelompok tertentu.

Jenjang kelima. Jika pada jenjang keempat, hukum yang berlaku wajib ditaati. Hukum itu sendiri, tidak dipertanyakan. Mempertanyakan, malah mungkin dianggap salah. Pada jenjang kelima, orang menyadari bahwa hukum-hukum yang ada, sebenarnya tidak lain dari kesepakatan-kesepakatan. Kesepakatan antar manusia yang melahirkan hukum. Oleh karena itu, kesepakatan antar manusia pulalah yang dapat mengubahnya. Tidak ada hukum yang serta-merta dianggap sakral, yang tidak dapat diubah. Bila hukum tidak lagi memenuhi fungsinya, ia harus diubah. Ada sikap kritis dalam jenjang kelima ini. Orang senantiasa memperjuangkan keutamaan dalam isi hukum ketimbang bersikap formal-legalistik (sebagaimana jenjang keempat).
Jenjang keenam. Menurut Kohlberg, pada jenjang inilah perkembangan pemikiran moral seseorang mencapai puncuknya, yaitu moralitas yang pantang mengkhianati suara hati nurani dan keyakinan tentang yang benar dan yang baik. Orang-orang tidak takut menentang arus. Berani dalam kesendirian. Rela menerima mati daripada menipu diri. Semua itu bukan untuk kepuasaan dan kepentingan diri pribadi. Visi dan misinya jelas, yaitu demi tegaknya harkat dan martabat seluruh umat manusia. Visi dan misi universal. Untuk semua itu, orang-orang seperti Mahatma Gandhi melakukan tindakan-tindakan yang sering kali tidak tercerna oleh akal sehat orang-orang biasa. Moralitas mereka, bukan irasional, tetapi melampaui akal. Moralitas yang transrasional.

Kerangka Kohlberg itu, dapat kita manfaatkan untuk melakukan kajian terhadap perilaku hukum (dan bisa juga budaya hukum) dari berbagai kelompok sosial (entah masyarakat maupun aparat), dengan menggunakan jenjang-jenjang moralitas yang diajukan Kohlberg. Dengan begitu kita berkesempatan melakukan pemetaan pola perilaku hukum dari sisi moralitas. Analog dengan itu, kita juga dapat memanfaatkan kerangka-kerangka analisis lain yang bermanfaat untuk pengembangan kajian terhadap hukum sebagai fenomena manusia dan sosial.
Dari teori Socrates, jelaslah kiranya bahwa dimensi perilaku dan budaya hukum tidak sekedar lampiran tambahan dalam kajian hukum. la bukan hanya salah satu unsur sub-sistem hukum. Lebih dari itu, perilaku dan budaya hukum merupakan bidang kajian yang penuh eksplanasi untuk studi dan karena itu sangat bernilai dari sisi keilmuan.
Tidak ada alasan yang cukup logis bagi komunitas penstudi hukum untuk menafikan dua hal itu sebagai bagian wilayah kajiannya. Sekali lagi, penstudi hukum bukanlah `tukang aturan'. Sebagai komunitas keilmuan, penstudi hukum merupakan teoritisi di bidang `manejemen manusia dan kehidupan sosialnya'.


Hukum Sebagai Sarana Keadilan:
Teori Plato
Dengan mengambil inti ajaran kebijaksanaan Socrates, maka Plato sang murid, juga mengaitkan hukum dengan kebijaksanaan dalam teorinya tentang hukum. Namun berbeda haluan dengan Socrates, Plato justru melangkah lebih jauh. la tidak seperti Socrates yang menempatkan kebijaksanaan dalam konteks mutu pribadi individu warga polis. Sebaliknya, Plato justru mengaitkan kebijaksanaan dengan tipe ideal negara polis di bawah pimpinan kaum aristokrat. Dasar perbedaan tersebut terletak pada perbedaan asumsi tentang peluang kesempurnaan pada manusia. Bagi Socartes, secara individual manusia dimungkinkan mencapai kesempurnaan jiwa secara swasembada. Sedangkan Plato tidak percaya pada tesis gurunya itu. Bagi Plato, kesempurnaan individu hanya mungkin tercipta dalam konteks negara di bawah kendali para guru moral, para pimpinan yang bijak, para mitra bestari, yakni kaum aristokrat. Menurut Popper, model Plato tersebut merupakan kerajaan orang yang paling bijak dan menyerupai dewa.
Menurut Plato, pengungkapan kebaikan hanya diterima oleh kaum aristrokrat itu. Mereka adalah orang-orang terpilih. Karena kaum aristrokrat (para filsuf merupakan orang-orang bijaksana, maka di bawah pemerintahan mereka dimungkinkan adanya partisipasi semua orang dalam gagasan keadilan . Kondisi ini memungkinkan keadilan tercapai secara sempurna. Bila ini yang terjadi, maka hukum tidak diperlukan. Keadilan bisa tercipta tanpa hukum, karena yang menjadi penguasa adalah kaum cerdik pandai, kaum arif bijaksana yang pasti mewujudkan theoria (pengetahuan dan pengertian terbaiknya) dalam tindakan . Ini diungkapkan Plato dalam buku The Republic. Dengan kata lain, aristokrasi sebagai negara ideal Plato, adalah bentuk negara yang pemerintahannya dipegang oleh kaum arif bijaksana, yaitu para filsuf. Pemerintahan dijalankan dengan berpedoman pada keadilan sesuai ide keadilan orang arif tersebut. Kaum bijak bertindak sebagai guru sekaligus pelayan kepentingan umum berbasis keadilan.
Tapi seturut dengan merosotnya negara, baik ke dalam bentuk timokrasi maupun dalam wujud oligarki, demokrasi, ataupun tirani, maka tidak mungkin adanya partisipasi semua orang dalam keadilan. Di sinilah hukum dibutuhkan sebagai sarana keadilan. Jadi dapat dikatakan hukum dalam teori Plato adalah instrumen untuk menghadirkan keadilan di tengah situasi ketidakadilan. Pada sistem timokrasi, ketidakadilan itu tampil dalam bentuk ambisi para pemimpin mengejar kemewahan, kehormatan, dan kekayaan bagi diri sendiri. Dalam oligarki, situasi ketidakadilan itu berwujud monopoli penguasaan sumberdaya dari orang kaya yang serakah. Dalam demokrasi, ketidakadilan mewajah dalam bentuk kepemimpinan orang-orang tidak terdidik (bukan aristokrat), dan kecenderungan penonjolan interes pribadi para wakil di lembaga perwakilan. Sedangkan dalam tirani, ketidakadilan itu menyeruak dalam bentuk kesewenang-wenangan.

Secara lebih riil, Plato merumuskan teorinya tentang hukum, demikian: (i). hukum merupakan tatanan terbaik untuk menangani dunia fenomena yang penuh situasi ketidakadilan, (ii). Aturan-aturan hukum harus dihimpun dalam satu kitab, supaya tidak muncul kekacauan hukum, (iii). Setiap UU harus didahului preambule tentang motif dan tujuan UU tersebut. Manfaatnya adalah agar rakyat dapat mengetahui dan memahami kegunaan menaati hukum itu, dan insaf tidak baik menaati hukum hanya karena takut dihukum. Ini berangkat dari konsep Socrates bahwa orang yang cukup sadar tentang hidup yang baik, akan melaksanakan yang baik itu, (iv). Tugas hukum adalah membimbing para warga (lewat UU) pada suatu hidup yang saleh dan sempurna, (v). Orang yang melanggar UU harus dihukum. Tapi hukuman itu bukan balas dendam. Sebab, pelanggaran merupakan suatu penyakit intelektual manusia karena kebodohan. Seorang penjahat belum cukup tahu tentang keutamaan yang harus dituju dalam hidup ini. Pengetahuan itu dapat ditambah lewat pendidikan sehingga ia sembuh dari penyakitnya. Cara mendidik itu adalah lewat hukuman. Maka hukuman bertujuan memperbaiki sikap moral si penjahat. Jika penyakit itu tidak dapat disembuhkan, maka orang itu harus dibunuh.
Tesis Plato tentang kaum arif bijaksana yang dapat diandalkan sebagai mitra bestari dalam menghadirkan keadilan, mungkin menjadi peluang eksplanasi yang menarik dalam kajian hukum. Tesis Plato ini dapat menjadi salah satu pisau analisis untuk menjelaskan krisis hukum dan kemerosotan keadilan dalam bentangan penegakan hukum. Kita bisa membangun semacam hipotesis, misalnya `di tangan pelaksana yang tidak arif dan bijaksana, maka hukum cenderung menjadi alat kemungkaran'. Hipotesis ini siap diuji kesahihannya dalam dunia empirik. Dengan begitu kita bisa memberi penjelasan secara ilmiah dan obyektif tentang banyak hal selain soal ketidakadilan, semisal (i). Logika di balik kemacetan hukum, (ii). Mengapa orang enggan berurusan dengan polisi, jaksa, dan hakim, (iii). Mengapa orang cenderung main hakim sendiri, (iv). Mengapa proses hukum menjadi ladang bisnis, (v). Mengapa terjadi mafia dalam proses hukum, dan lain sebagainya.
Jadi Plato sebetulnya mengingatkan kita sekali lagi betapa faktor manusia (aparat) merupakan soal yang sangat sentral dalam hukum di samping faktor-faktor lain, semisal sarana yang memadai, dana yang cukup, kebijakan instansi dan lain sebagainya. Aturan hukum (yang mutu sekali pun), tidak bisa jalan sendiri tanpa ada manusia yang menjalankannya. Aturan yang baik itu, akan benar-benar dirasakan manfaatnya jika si manusia pelaksananya juga bermutu secara intelektual dan integritasnya. Bahkan di tangan si pelaksana yang arif-bijaksana itu, aturan yang tidak mutu dan buruk bukan jadi halangan untuk mendatangkan keadilan dan kemaslahatan, begitu juga sebaliknya. Ungkapan seminal dari Profesor Taverne, ahli hukum Belanda yang cukup tersohor itu, sebenarnya menunjuk ke situ. Hanya pada tangan hakim, jaksa, dan polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun, kita dapat mempersembahkan hasil yang baik. Dalam konteks Indonesia, suara yang sama sering diungkapkan berulang-ulang oleh Profesor Satjipto Rahardjo dengan menekankan perlunya `keberanian', kepeloporan, komitmen moral, dan bertindak kreatif dari aparat hukum.
Sama seperti `pesan' teori Socrates, teori Plato pun seolah memberi himbauan pada penstudi hukum agar faktor manusia (aparat hukum) menjadi bagian integral dalam studi hukum. Eksplanasi teoretis yang dihasilkan dari kajian terhadap faktor aparat itu, tidak hanya bermanfaat secara praktis dalam rangka penegakan hukum, tetapi juga memberi bobot ilmiah pada kajian hukum.

Hukum itu Rasa Sosial-Etis:
Teori Aristoteles
Masih dalam konteks keadilan, Aristoteles mengaitkan teorinya tentang hukum dengan perasaan sosial-etis. Perasaan tersebut bukanlah bawaan alamiah `manusia sempurna' versi Socrates, bukan pula mutu `kaum terpilih' (aristokrat) model Plato. Perasaan sosial-etis justru ada dalam konteks individu sebagai warga negara (polis). Berdiri sendiri lepas dari polis, seorang individu tidak saja bakal menuai `bencana'-karena dari sananya bukan mahluk swasembada, tetapi juga akan cenderung liar dan tak terkendali karena bawaan alamiah Dionysian-nya.
Oleh sebab itu, hukum, seperti halnya polis, merupakan wahana yang diperlukan untuk mengarahkan manusia pada nilai-nilai moral yang rasional . Hanya dalam polis yang merupakan institusi logos (teratur, rasional, bermoral, dan mencerahkan) seorang individu dimungkinkan menjadi mahluk moral yang rasional. Dengan meraih keadaan ini, manusia dapat menikmati kebahagiaan. Dalam teori Aristoteles, kebahagiaan (eudaimonia) karena menemukan diri sebagai oknum moral yang rasional, merupakan tujuan ultimum manusia.
Inti manusia moral yang rasional, menurut Aristoteles adalah memandang kebenaran (theoria, kontemplasi) sebagai keutamaan hidup (summum bonum). Dalam rangka ini, manusia dipandu dua pemandu, yakni akal dan moral. Akal (rasio, nalar) memandu pada pengenalan hal yang benar dan yang salah secara nalar murni, serta serentak memastikan mana barang-barang materi yang dianggap baik bagi hidupnya. Jadi akal memiliki dua fungsi, yakni fungsi teoretis dan fungsi praksis. Untuk fungsi yang pertama, Aristoteles menggunakan kata sophia yang menunjuk pada kearifan. Sementara yang kedua digunakan kata phronesis yang dalam terminologi Skolastik abad pertengahan disebut prudentia (prudence). Lalu bagaimana dengan fungsi moral? Moral menurut Aristoteles, memandu manusia untuk memilih jalan tengah antara dua ekstrim yang berlawanan, termasuk dalam menentukan keadilan . Moral, memandu pada sikap moderat. Ya, sikap yang dalam bahasa Sanksekerta disebut purata kencana.
Dalam konstruksi filosofis mahluk moral yang rasional inilah, Aristoteles menyusun teorinya tentang hukum. Baginya, karena hukum menjadi pengarah manusia pada nilai-nilai moral yang rasional, maka ia harus adil. Keadilan hukum identik dengan keadilan umum. Keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak mengutamakan diri sendiri, tapi juga tidak mengutamakan pihak lain, serta adanya kesamaan. Di sini tampak kembali apa yang menjadi dasar teori Aristoteles, yakni `perasaan sosial-etis'. Tidak mengherankan, jika formulasinya tentang keadilan bertumpu pada tiga sari hukum alam-yang olehnya dianggap sebagai prinsip keadilan utama. Prinsip dimaksud adalah: Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere (Hidup secara terhormat, tidak mengganggu orang lain, dan memberi kepada tiap orang bagiannya). Prinsip keadilan ini merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat dalam hidup, dan karenanya mengikat semua orang, baik masyarakat maupun penguasa . Hukum, sebagai kembaran dari keadilan ini merupakan alat paling praktis untuk mencapai kehidupan yang baik, adil, dan sejahtera. Menurut Aristoteles, tanpa ada kecenderungan hati sosial-etis yang baik pada para warga negara, maka tidak ada harapan untuk tercapai keadilan tertinggi dalam negara-meskipun yang memerintah adalah orang-orang bijak dengan undang-undang yang mutu sekalipun.
Karena hukum mengikat semua orang, maka keadilan hukum mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun ia membagi kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik melahirkan prinsip: "semua orang sederajat di depan hukum". Sedangkan kesamaan proporsional melahirkan prinsip: "memberi tiap orang apa yang menjadi haknya". Selain model keadilan berbasis kesamaan, Aristoteles juga mengajukan model keadilan lain, yakni keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif identik dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif (remedia, berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu perjanjian dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berupaya memberi kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan. Jika suatu kejahatan dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan pada si pelaku.

Singkatnya, keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan. Keadilan korektif merupakan standar umum untuk memperbaiki setiap akibat dari perbuatan, tanpa memandang siapa pelakunya. Prinsip-prinsip itu adalah hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti-rugi harus memperbaiki kerugian dan memulihkan keuntungan yang tidak sah. Konsep Themis, sang dewi keadilan, melandasi keadilan jenis ini yang bertugas menyeimbangkan prinsip-prinsip tersebut tanpa memandang siapa pelakunya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa teori Aristoteles tentang hukum dan keadilan merupakan teori yang relatif lebih sistematis dan lengkap dibandingkan dengan Plato maupun Socrates. Bangunan argumentasi atau kerangka analisisnya pun begitu bening, sebening yang dilakukan Socrates dan Plato. Untuk menghindari pengulangan yang tidak perlu, di sini hanya akan dibahas dua peluang eksplanasi yang mungkin kita dapat dipetik dari teori Aristoteles.
Pertama, mengenai kaitan logis antara mutu negara dan perilaku hukum seorang warga. Kalau teori Socrates membuka peluang eksplanasi tentang kemungkinan adanya kaitan logis antara perilaku taat hukum dengan penghormatan seorang individu pada negara, maka teori Aristoteles memberi peluang eksplanasi tentang kaitan antara mutu negara dengan perilaku taat hukum seorang warga. Mungkin secara hipotetis dapat dikatakan, ketaatan seseorang pada hukum, ditentukan oleh keberhasilan negara menjadi `guru moral'. Ini dimensi baru yang menarik untuk diulas dan dijelaskan secara ilmiah oleh penstudi hukum. Banyak eksplanasi ilmiah yang bisa dilakukan dengan menggunakan hipotesa ini. Untuk menyebut sekedar contoh: (i). Kegagalan negara menanamkan moralitas publik, menyebabkan berkembangnya `budaya pelanggaran hukum', (ii). Kegagalan negara memberi teladan, menyebabkan orang tidak perduli hukum, (iii). Sikap negara yang mengutamakan kekerasan menyebabkan munculnya sindrom main hakim sendiri, (iv). Bisa juga dijelaskan bahwa korupsi berakar pada kegagalan negara menanamkan pemahaman tentang perbedaan ruang publik dan ruang privat, berikut nilai-nilai yang menyertainya. Dan masih banyak soal lain yang dapat dijelaskan.

Kedua, mengenai faktor akal dan moral dalam menentukan keadilan di bidang hukum. Teori Aristoteles tentang ini diarahkan pada cara manusia menentukan `apa yang benar', `apa yang baik', dan `apa yang tepat'. Cara yang mengandalkan rasio murni, menghasilkan kepastian tentang mana `yang benar' dan mana `yang salah'. Mengapa? Oleh karena patokan tentang `benar-salah' biasanya dirumuskan secara eksplisit dalam aturan, prinsip, dan konvensi-konvensi normatif lainnya. Di pihak lain, cara yang mengandalkan rasio praktis, menghantar kita pada keyakinan tentang yang 'baik' dan `luhur'. Apa yang baik dan yang luhur, sesungguhnya ada dalam tujuan dan niat. Oleh karena itu, kita dapat katakan, rasio praktis menunjuk pada logika tujuan. Sedangkan cara yang mengandalkan moral, menghantar kita pada kearifan menentukan `apa yang tepat' dan `apa yang tidak tepat'.
Secara sederhana kita bisa katakan, menentukan keadilan dalam hukum tidak hanya soal `benar-salah' menurut aturan dan doktrin. Kehidupan manusia itu begitu kompleks dan begitu dinamisnya, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Perintah "Jangan membunuh", misalnya. Perintahnya sendiri sangat jelas. Tapi bagaimana hukum yang jelas ini harus diterapkan adalah sesuatu yang jauh dari sederhana! Apakah itu berarti hukuman mati adalah salah? Apakah itu berarti membunuh karena membela diri adalah salah? Apakah membunuh dalam peperangan adalah salah? Dan banyak pertanyaan lain lagi.

Mungkin akan sedikit terbantu, seandainya perintah itu diperinci lagi sedemikian rupa, sehingga la dapat menjawab semua kesulitan. Solusi ini memang logis, dan mungkin sering dilakukan orang. Tapi akibatnya ialah, hukum lalu berubah menjadi kasuistri. Hukum berubah menjadi satu daftar panjang tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang. Bukan saja ini tidak mungkin dapat dikerjakan dengan lengkap dan sempurna, tetapi juga ada ekses yang mengancam, yaitu legalisme yang beku dan kaku. Hukum tidak lagi melayani manusia, tapi sebaliknya, manusia melayani hukum. Bagaimana pun, harus diakui bahwa yang "benar" itu belum tentu "baik". Penerapan hukum secara kaku, tidak jarang justru berakibat buruk. Bisa terjadi, hanya demi kepastian, dan mau setia pada `yang benar', kita terpaksa membiarkan seorang anak mati secara mengenaskan di sebuah areal berbahaya, karena hukum yang berlaku di tempat itu melarang siapapun selain petugas untuk masuk.

Maka selain mengandalkan aturan, untuk meraih keadilan perlu cara yang lebih bijak, yakni rasio praktis. Aturan hukum tetap penting, tapi bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan, berikut akibatnya. Betapapun "salah"-nya, tapi kalau berangkat dari tujuan "baik", apalagi akibatnya "baik", maka tindakan itu baik. Sebaliknya, betapapun "benar"-nya, kalau dilakukan dengan tujuan "jahat", apalagi berakibat "buruk", maka ia jahat. Melalui metode ini, masuk areal berbahaya dan terlarang untuk menyelamatkan jiwa si anak (meski dengan resiko bagi jiwanya, dan tentu menyalahi aturan), justru bisa dipandang sebagai sebuah tindakan luhur, dan adil. Bukankah jiwa manusia lebih berharga dan mulia dari suatu aturan?
Tapi mengandalkan niat dan tujuan baik saja, tidak cukup meraih keadilan. Keadilan tidak hanya substansi tapi juga prosedur. Tidak semua orang setuju, demi orang miskin kita diijinkan merampok harta orang kaya. Suatu prosedur hanya boleh dilangkahi jika itu memang satu-satunya cara untuk menyelamatkan kepentingan yang sangat besar lagi luhur. Bahkan bukan masalah, seandainya tindakan itu dilakukan terhadap diri kita sendiri. Pertolongan terhadap jiwa si anak dalam kasus di atas, kita anggap tepat dan adil justru karena itulah satu-satunya cara yang tersedia. Jika harus menunggu ijin yang berwenang, atau menunggu datangnya tim penyelamat yang sah, maka jiwa si anak pasti tidak tertolong.
Jelas kiranya, masalah penerapan hukum sangat kompleks dan melibatkan pergulatan akal, rasa, dan moral, tidak sekedar menegakkan aturan-aturan an sich. Semua pergulatan tersebut menjadi bidang kajian yang sangat menarik dan tentu penuh ekplanasi dalam studi hukum. Aristoteles seolah memberi pesan pada penstudi hukum agar faktor tujuan dan konteks tidak harus dinafikan dalam setiap teorisasi di bidang penerapan hukum.

Hukum dan Kepentingan Individu:
Teori Epicurus
Konsep Aristoteles tentang leburnya eksistensi individu dalam polis, dan individu hanya bermakna jika berada dalam polis, ditentang oleh Epicurus (342-271 Seb. M). Dengan latar belakang pecah dan tercerai-berainya polis-polis Yunani pasca wafatnya Alexander tahun 323 Seb. Masehi, Epicurus menyaksikan fakta antara orang perorangan dan negara, terasing satu sama lain. Individu tidak sudi lagi mengabdi pada komunitas, termasuk pada negara. Dengan begitu, terputus sama sekali kaitan antara kebahagiaan umum dengan kebahagiaan perorangan .
Fakta itu bagi Epicurus memberi pesan tunggal, bahwa manusia pada dasarnya individualistis. Afiliasi apapun, termasuk dalam bentuk negara, dasarnya adalah kepentingan-kepentingan perorangan. Untuk diketahui, individualistis versi Epicurus bukanlah individualisme buta. Para individu cenderung menghindar dari keterlibatan di bidang politik dan urusan-urusan kemasyarakatan, karena dua medan itu sering kali mendatangkan ketegangan dan stres. Cara berpikir Epicurus ini harus dipahami dalam konteks etika epicurianisme-nya. Bagi epicurianisme, tujuan kehidupan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan hanya mungkin tercipta, jika tiada penderitaan jiwa-raga. Segala sesuatu yang dapat menyusahkan jiwa-raga, harus dihindari. Kesenangan sensual dan indrawi yang membawa akibat sakit raga dan penderitaan jiwa, harus dijauhi. Dapat dimengerti, dan juga tidak kebetulan, jika gagasan atomistik (individu-individu yang terpisah) dari Epicurus, justru muncul di tengah peperangan dan pergolakan politik yang melanda polis polis Yunani kala itu. Semua peristiwa itu menderitakan raga dan menyengsarakan jiwa.
Dari epicurianisme itulah, Epicurus membangun teorinya tentang hukum. Hukum (sebagai aturan publik), menurut Epicurus, mesti dipandang sebagai tatanan untuk melindungi kepentingan-kepentingan perorangan tersebut. Undang-undang diperlukan, sebenarnya untuk mencegah terjadinya kekerasan dan menghindari ketidakadilan akibat konflik kepentingan individual yang senantiasa muncul . Dengan kata lain, hukum diperlukan untuk mengatur kepentingan-kepentingan individu secara damai demi terjaganya keamanan raga dan kedamaian jiwa. Oleh karena itu, tugas hukum dalam konteks ini adalah sebagai instrumen ketertiban dan keamanan bagi individu-individu yang sama-sama merindukan hidup tenang dan tenteram.
Karena hukum mengatur nasib individu, maka pembuatannya harus berdasarkan persetujuan individu-individu tersebut. Dan sini, sering dikatakan, gagasan kontrak sosial, bermula dari teori Epicurus. Ini tidak seluruhnya benar, dalam pemikiran Socrates pun kita sudah temukan benih kontrak sosial, yaitu ketika orang bersedia menjadi warga polis dan mengikatkan diri secara moral menaati seluruh aturan polis.
Dalam karya Plato, Republik, prinsip kontrak sosial sudah pula ditemui. Dikatakan bahwa demi menghindari munculnya ketidakadilan, warga polis sampai pada keyakinan bahwa lebih menguntungkan kalau mereka menyetujui secara timbal-balik untuk tidak melakukan ketidakadilan dan tidak melakukan hal-hal yang mendatangkan penderitaan. Karena itu, ditetapkanlah UU dan persetujuan-persetujuan di antara mereka-yang kesemuanya mengungkapkan hal-hal yang oleh hukum dianggap patut dan benar .
Gagasan kontrak sosial sejak zaman klasik (Socrates, Plato, Epicurus), maupun yang muncul pada abad pertengahan (John of Salisbury, John of Paris, Thomas Aquinas), dan bahkan yang lebih eksplisit dalam pemikiran modern (Grotius, Hobbes, Locke, Rousseau, dll), sebenarnya berporos pada inti yang sama, yaitu individu/rakyatlah yang menjadi sumber semua kekuasaan politik. Dalam pengertian ini, seluruh teori kontrak sosial merupakan perintis bagi teori tentang demokrasi. Aspek lain yang penting dari semua teori kontrak sosial, terletak pada konsepsi masyarakat atomistis seperti nampak dalam pemikiran Epicurus .
Teori `atomistik' dari Epicurus tidak kalah penting menyumbang pesan eksplanasi bagi kajian hukum. Pertama-tama, Epicurus mengingatkan kita bahwa suatu sistem hukum dibangun dalam konteks realitas tertentu. Ia mencerminkan situasi atau semangat zaman tertentu. Karena itu, setiap analisis terhadap suatu tatanan hukum harus selalu memperhitungkan aspek konteks situasi di belakang kelahiran tatanan hukum itu. Pengkajian sejarah dan sosiologi hukum menjadi sangat penting di sini. Dengan begitu terbuka peluang ekplanasi yang cukup besar mengenai berbagai hal di balik tatanan hukum yang ada. Kita tidak hanya mengenal aturan ini atau itu, tetapi mampu memahami dan menjelaskan profil dan rohnya. Melalui pemahaman yang komprehensif seperti ini, kita dapat menempatkan suatu tatanan hukum secara proporsional, baik bagi kepentingan teoretis maupun untuk kepentingan praktik. Dalam banyak hal, kita sering tergelincir pada kesalahan yang tidak perlu dalam memperlakukan sebuah teori atau pun aturan hukum, lantaran mengabaikan pemahaman historis dan sosiologis dari teori atau aturan tersebut.
Kedua, teori Epicurus juga mewartakan hal lain, yakni persoalan hukum bertali-temali dengan struktur dan susunan masyarakat di mana hukum itu muncul. Struktur dan susunan masyarakat tersebut harus menjadi satuan analisis dalam setiap kajian kita terhadap hukum. Apa yang digambarkan Epicurus adalah sebuah tipe masyarakat dengan struktur dan susunan yang lebih menekankan faktor individu, ketimbang kelompok/kolektif. Di sini, faktor individu amat ditonjolkan. Ada prioritas untuk kepentingan dan kebebasan tiap manusia. Setiap lembaga yang hendak menata kehidupan bersama, termasuk institusi hukum, harus bertolak dan berdasarkan aspirasi individual manusia. Dalam masyarakat tersebut, siapa "orang dalam" dan siapa "orang luar", tidak terlalu dipersoalkan. Yang terpenting adalah siapa Anda, bukan dari kelompok mana Anda berasal. Siapa kita ditentukan oleh kepentingan dan karya, bukan oleh asal kita. Yang penting, bukan dengan kelompok mana kita berhubungan, melainkan kualitas hubungan itu sendiri. Bukan apa status Anda, tetapi bagaimana kualitas Anda.
Ketiga, dari teori Epicurus kita didorong untuk melakukan semacam kajian komparasi tentang profil hukum dalam berbagai jenis masyarakat. Mengikuti klasifikasi Mary Douglas , kita bisa membandingkan keadaan hukum dalam tipe masyarakat yang individualis dengan tiga tipe lain seperti: (i) Tipe masyarakat yang amat menonjolkan faktor kelompok, (ii) Tipe yang menempat faktor kelompok dan individu sama penting, dan (iii) Tipe yang tidak menekankan baik faktor kelompok maupun faktor individu.
Dalam tipe yang menekankan faktor komunal, maka kelompok adalah segala-galanya. Tanpa kelompok, individu tidak mempunyai arti apa-apa. Sebab itu, yang paling penting bagi individu dalam masyarakat itu adalah bagaimana untuk tetap berada dalam kelompok. Ada batas yang jelas antara "orang dalam" dan "orang luar". Dikeluarkan dari kelompok, atau dijadikan "orang luar", adalah nasib yang lebih buruk daripada kemelaratan. Hampir dapat diduga, nilai-nilai apa yang muncul dalam tipe masyarakat seperti MI. Di sini, nilai-nilai yang ditetapkan masyarakat berlaku mutlak. Tak dapat ditawar-tawar lagi. Yang benar dan yang baik adalah konformitas total.
Sementara dalam tipe yang menempat faktor kelompok dan individu sama penting, menampilkan warna yang berbeda. Pada satu pihak, kelompok penting. Apa yang diharapkan dan ditetapkan oleh kelompok, tertata rapi, jelas, dan terperinci. Ini membuat para warga aman, memiliki kepastian. Tapi di pihak lain, prestasi, kerja keras, dan prakarsa pribadi juga sama pentingnya. Tiap-tiap individu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri. Hanya apabila setiap individu melaksanakan fungsinya sekreatif mungkin dan semaksimal mungkin, kelompok dapat berjalan dengan baik. Sebab itu, kelompok memberi kesempatan dan dorongan kepada individu-individu untuk berfungsi sebaik mungkin. Tipe seperti ini biasanya kita saksikan dalam organisasi-organisasi fungsional pada masyarakat modern, seperti rumah sakit, kampus, dan lain sebagainya.
Sedangkan tipe terakhir (yang tidak menekankan baik faktor kelompok maupun faktor individu), kita bisa temukan dalam kelompok-kelompok hippie. Mereka tidak perduli soal keanggotaan. Siapa di dalam dan siapa di luar, juga tidak penting. Hampir tidak ada syarat-syarat keanggotaan. Sebagai pribadi, juga tidak ada kewajiban yang harus dipenuhi. Masing-masing bebas melakukan apa yang ia kehendaki dan senangi. Nilai-nilai yang terpenting dalam tipe ini adalah: kesungguhan, otentisitas pribadi, dan kejujuran pada diri sendiri. Dosa yang paling tercela adalah kemunafikan, kesewenang-wenangan terhadap orang lain, dan membiarkan diri sendiri mandeg dalam frustrasi.
Per teori, struktur suatu masyarakat menentukan prioritas nilai-nilai yang dianut warganya. Orientasi nilai seseorang ditentukan oleh tipe masyarakat di mana ia hidup. Di sini kita juga berkesempatan mengkaji perilaku hukum dalam kaitan dengan orientasi nilai sosial dan tipe masyarakatnya. Dengan menggunakan kerangka analisis Kluckhohn dan Strodtbeck misalnya, kita bisa menjelaskan posisi hukum dalam konteks lima persoalan yang berkaitan dengan dimensi praktis kehidupan manusia. Kita dapat melakukan kajian tentang kaitan antara tindak kriminal dengan: (i) Sikap terhadap hidup, (ii) Sikap terhadap kerja, (iii) Sikap terhadap waktu, (iv) Sikap terhadap sesama, dan (v) Sikap terhadap alam. Kita ambil contoh untuk konteks masyarakat Jawa. Bagaimana kaitan antara tindak kejahatan dengan sikap hidup orang Jawa yang mengutamakan sikap narima (ikhlas dengan segala keterbatasan yang ada), aja kesusu (karena narima dipahami sebagai sabar menunggu waktu), aja ngaya (karena narima berarti tenang, santai, menerima segala keterbatasan), dan juga sikap aja serakah (karena narima berarti ikhlas menerima apa yang telah ditentukan menjadi bagian kita). Masih banyak kajian yang dapat dilakukan, baik yang mangaitkan dengan jenis sikap yang lain, seperti sikap terhadap kerja yang cenderung berorientasi pada status maupun yang mencoba untuk membandingkan perilaku hukum dari kelompok-kelompok sosial dan budaya yang ada.
3.2. Teori Hukum Abad Pertengahan
Abad Pertengahan merupakan suatu era di mana pemikiran serba Ilahiah (utamanya teologi Kristen) begitu dominan. Rezim Ilahi `dilibatkan' (secara langsung) dalam pengelolaan dunia ini. Manusia dan alam dianggap berada di bawah kendali Alkhalik. Sama seperti logos di era sebelumnya, Tuhan-dengan sekalian kehendak dan firman-Nya, menuntun hidup manusia pada pengenalan akan Alkhalik yang menjadi sumber hidup serentak sumber hukum. Dengan itu, manusia tidak saja dimungkinkan hidup `tertib' di dunia, tetapi juga memperoleh keselamatan di akhirat. Praktis, kehadiran rezim Ilahi menjadi `kekuasaan' yang dihadapi manusia di era ini. Maka, seperti tampak pada pemikiran Agustinus (di penghujung akhir zaman klasik/tahun 400 M) dan Thomas Aquinas (paruh kedua abad pertengahan/tahun 1200 M), tertib hidup manusia (termasuk teori tentang hukum) diletakkan dalam kerangka tatanan 'cinta kasih dan hidup damai'. Ini merupakan jawaban atas campur tangan Ilahi dalam hidup manusia .

Hukum itu Tatanan Hidup Damai:
Teori St. A.Gustinus
Masih dengan nuansa hukum alam zaman Yunani dan Romawi, St. Agutinus membangun teorinya mengenai hukum di bawah tema keadilan juga. Meski demikian, pengalaman pahit pergolakan menjelang keruntuhan Kekaisaran Romawi, menyebabkan Agustinus memberi poin tambahan pada unsur hukum alam sebelumnya. Jika bagi bangsa Yunani dan Romawi, keadilan dipahami sebagai hidup yang baik, tidak menyakiti siapapun, dan memberi kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya, maka bagi Agustinus semua itu belum cukup. Mengenal Tuhan dan hidup saleh, merupakan salah satu unsur penting dari keadilan.

Ia melihat tatanan hukum sebagai sesuatu yang didominasi oleh tujuan perdamaian. Bahkan res republica dipahami Agustinus sebagai komunitas rasional yang ditentukan dengan nilai-nilai deligere (yakni dihargai dan dicintai) . Sebuah konsep yang berseberangan dengan regnum yang menunjuk pada kerajaan Romawi sebagai segerombolan perampok karena mereka tidak memiliki keadilan. Ditonjolkan pula istilah delicto proximi atau cinta kepada sesama. Semua unsur keadilan itulah yang mesti menjadi dasar hukum. Tanpa itu, maka aturan dalam bentuk apapun tidak layak disebut hukum (lex esse von vedatzrr, quae justa non fuerit) .

Sampai tingkat tertentu, relasi `rindu-benci' antara `kerajaan suci' Romawi dan pihak agama (khususnya di Eropa Barat, agama Kristen), melahirkan sistem penataan kewenangan dan kenegaraan yang khas pula, yakni pemilahan antara negara dan gereja yang kemudian melahirkan ajaran teokrasi dan ajaran sekularisme. Agustinus mengadopsi zwei zwaarden theorie (teori dua pedang) dari Paus Gelasius, yakni pedang kerohanian dan pedang keduniawian. Pemilahan tersebut ternyata membawa dampak dalam pembentukan hukum, yaitu (i)Hukum yang mengatur soal keduniawian (kenegaraan), (ii)Hukum yang mengatur soal keagamaan (kerohanian). Demikian pula terdapat dua macam kodifkasi hukum: (i)Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Raja Theodosius dan Raja Justinianus. Ini adalah kodifikasi peraturan yang dikeluarkan oleh negara. Kodifikasi tersebut dinamakan Corpus Iuris. (ii)Kodifikasi yang diselenggarakan oleh Paus Innocentius, yaitu kodifikasi yang dikeluarkan oleh gereja. Kodifikasi ini disebut Corpus Iuris Canonici.
Corpus Iuris terdiri atas empat bagian, yaitu: Institzrten: Ajaran yang mempunyai kekuasaan mengikat seperti undang-undang. Maksudnya, jika ada hal-hal yang kurang jelas pengaturannya, maka dapat dicari dalam instituten. Pandecten: Penafsiran suatu peraturan oleh para sarjana. Codex. Peraturan atau undang-undang yang ditetapkan oleh raja. Novellen: Tambahan dari suatu peraturan atas undang-undang.
Sebagai tokoh agama, Agustinus menempatkan hukum Ilahi (lex aeterna) sebagai cita dari hukum positif. Hukum Ilahi yang abadi menempatkan batas pada semua hukum positif yang tidak boleh dilampaui. Jika hukum positif (lex temporalis) melanggar aturan Ilahi itu, maka la telah kehilangan kualitas hukumnya.
Sebagai tokoh Kristen awal abad Masehi, Agustinus hadir di penghujung berakhirnya Kekaisaran Romawi dengan jatuhnya kerajaan Romawi Barat tahun 476 Masehi. Ia berada di tengah pergolakan menjelang keruntuhan kerajaan Ronawi itu. Di situ terjadi penyerangan intensif kaum barbar merebut kerajaan dan bersamaan dengan itu, terjadi pula perlawanan terhadap agama Kristen yang pada tahun 375 ditetapkan oleh Theodosius sebagai agama negara.
Konteks regnum Kerajaan Romawi dan kejadian-kejadian sekitar keruntuhan kerajaan tersebut itulah yang menjadi setting teori Agustinus tentang hukum sebagai tatanan kedamaian. Kedamaian hanya mungkin, jika hukum mengarahkan orang pada pengenalan akan Tuhan. Dan pengenalan akan Tuhan akan menghantar orang pada nilai-nilai deligere dan cinta pada sesama (delicto proximi). Secara harfiah, nilai-nilai itu merupakan hal yang dihargai dan dicintai oleh komunitas republik (res republica). Dalam atmosfir seperti inilah, keadilan bisa tercipta, yakni keadilan yang sudah dikenal pada zaman Yunani dan Romawi yang kemudian dirumuskan oleh Ulpian sebagai: Honeste vivere, alterum non laedere, sum quique tribuere.
Menurut C.J. Friedrich penekanan Agustinus pada deligere dan delicto proximi, dapat ditafsirkan sebagai upaya Agustinus untuk mentransformasi konsep Cicero mengenai komunitas hukum, menjadi komunitas “kemurahan hati” dan “cinta kasih”. Dan lagi menurut Agustinus komunitas cinta kasih itu sangat penting bagi sebuah republik. Niatlah, di antara nilai-nilai yang dihargai oleh komunitas itu, terdapat nilai keadilan. Dengan menambahkan aspek pengenalan akan Tuhan sebagai sisi penting keadilan, maka Agustinus memberi bobot kesalehan pada keadilan. Keadilan menjadi sebuah kualitas yang mencakup kesalehan yang pada instansi terakhir menghantar orang, pada hidup saleh/terhormat di mata Tuhan dan sesama (honeste vivere).
Bagaimana sumbangan Agustinus pada pengembangan eksplanasi di hidang hukum? Pertama, lewat konsep `pengenalan akan Tuhan', sebagai prasyarat keadilan, Agustinus secara implisit memberi sinyal, betapa penting peran sikap etis iman terhadap berseminya keadilan dalam hukum. Sikap iman yang tulus, menjadi pra-kondisi bagi lahirnya kedamaian dan keadilan. Kita boleh tidak setuju dengan teori Agustinus yang mengandaikan intervensi lembaga agama (Gereja) dalam urusan negara dan hukum, meski dengan alasan menghadirkan tatanan Ilahi di bumi hukum agama, memang tidak harus ditransfer begitu saja sebagai hukum positif, apalagi dalam masyarakat kekinian yang cenderung plural dan heterogen. Tapi tentulah tidak bisa disangkal, bahwa dunia hukum butuh sokongan nilai etis iman. Meski tidak secara langsung, nilai etik yang bersumber pada agama dan iman dapat mengkondisikan dan menginspirasi penyelenggaraan hukum dan keadilan. Dalam istilah sosiologi Weberian, nilai etik iman tidak harus mendukung secara ex opere operato (secara langsung dan otomatis) kepada tertib hukum, tetapi dapat secara ex opere operantis (yaitu kalau anggota komunitas bersedia menghubungkan kehidupan imannya dengan tertib hukum).
Kedua, dengan inspirasi teori Agustinus, kita dapat melakukan kajian secara empiris tentang banyak hal. Misalnya, kaitan antara ketataan hukum dengan penghayatan iman seseorang/suatu komunitas, korelasi antara religiusitas aparat hukum dengan kepekaan mereka soal keadilan, kaitan antara angka kejahatan dengan afiliasi religius (seperti dilakukan Durkheim), dan lain sebagainya. Lewat studi seperti ini, kita tidak hanya bisa memastikan tingkat korelasi antar variabel tersebut, tetapi juga bisa menjelaskan secara ilmiah logika di balik korelasi variabel itu.
Ketiga, konsep Agustinus tentang deligere dan delicto proximi yang dapat berfungsi mengkondisikan lahirnya kedamaian dan keadilan, seolah mengingatkan kita tentang pentingnya modal sosial (Social capital) dalam kehidupan hukum. Di sini kita berkesempatan melakukan kajian tentang interrelasi antara suasana penyelenggaraan hukum dengan kondisi modal sosial yang dimiliki sebuah komunitas. Dengan menggunakan kerangka teori tentang modal sosial, baik dari Bourdieu yang memberi penekanan pada jaringan-jaringan sosial , maupun dari Coleman yang memberi penekanan pada ketersediaan sumber daya-sumber daya dalam struktur sosial , dari Francis Fukuyama yang menekankan pada truts , atau dari Putnam yang memberi perhatian pada jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan kepercayaan (trus), kita dapat melakukan analisis yang bermanfaat di bidang hukum. Sekedar contoh, soal pengaruh timbal-balik antara modal sosial dan penegakan hukum. Di situ dapat dikaji bagaimana sumbangan modal sosial yang dimiliki masyarakat ataupun yang dimiliki komunitas aparat penegak hukum terhadap proses penegakan hukum. Demikian juga sebaliknya, dapat dikaji bagaimana pengaruh penegakan hukum terhadap kondisi modal sosial dalam suatu komunitas.

Hukum itu Bagian Tatanan Ilahi:
Teori Thomas Aquinas
Thomas Aquinas (1225-1274 M), merupakan imam gereja abad pertengahan. Tidak jauh berbeda dengan Agustinus, Aquinas pun mendasarkan teorinya tentang hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum diperlukan untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Karena zaman ini merupakan era dominasi agama (yang diawali oleh agama Kristen), maka kehidupan moral dimaksud menunjuk pada ukuran agama tersebut , misalnya mengejar kebaikan dan menjauhi kejahatan. Hal kebaikan dimaksud antara lain: menjunjung hak alamiah manusia untuk mempertahankan hidup, cinta dan hidup berkeluarga, kerinduan mengenal Tuhan, dan hidup bersahabat.
Imperatif-imperatif moral tersebut berpengaruh pula terhadap hukum. Tata hukum harus dibangun dalam struktur yang berpuncak pada kehendak Tuhan. Karena itu, sebagaimana tercerminkan dalam doktrin Thomas Aquinas, konfigurasi tata hukum dimulai dari (i). Lex Aeterna: Hukum dan kehendak Tuhan, (ii). Lex Naturalis. Prinsip umum (hukum alam), (iii). Lex Devina: Hukum Tuhan yang dalam Kitab Suci, (iv). Lex Humane: Hukum buatan manusia yang sesuai dengan hukum alam.
Jika hukum (lex humane) menjadi tidak benar karena: (a). Mengabaikan kebaikan masyarakat, (b). Mengabdi pada nafsu dan kesombongan pembuatnya, (c). Berasal dari kekuasaan yang sewenang-wenang, (d). Diskriminatif terhadap rakyat, maka hukum itu tidak sah karena bertentangan dengan moral hukum alam dan Tuhan .

Hukum pada dasarnya merupakan cerminan tatanan Ilahi. Legislasi hanya memiliki fungsi untuk mengklarifikasi dan menjelaskan tatanan Ilahi itu. Tugas hakim adalah menegakkan keadilan melalui fungsinya menerapkan hukum dalam kaitan dengan pemberlakuan undang-undang. Pemikiran Aquinas ini hanya bisa dipahami dalam konteks kosmologi dan ontologi Skolastik. Kosmologi dimaksud adalah mengijinkan penalaran rasional selama batas-batas yang ditetapkan oleh wahyu Ilahi tidak dilanggar. Penerapan hukum positif pada kasus riil, harus dibaca sebagai implementasi hukum Ilahi.
Dalam konteks itulah Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari wahyu, dengan hukum yang dijangkau oleh akal manusia. Hukum yang berasal dari wahyu disebut ius divinum positivum (hukum Ilahi positio. Sedangkan hukum yang ditemui lewat kegiatan akal, terdiri dari beberapa jenis, yakni (i). Ius raaturale (hukum alam), (ii). Ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan (iii). Ius positivum humanum (hukum positif buatan manusia).
Dalam sistem Aquinas, akal berada di atas kehendak. Bagi Aquinas, akal itu mencerahkan, sedangkan kehendak cenderung naluriah. Itulah sebabnya, hukum yang berintikan iustum (keadilan), mutlak merupakan produk akal. Tentang keadilan, Aquinas membedakan dalam tiga kategori: (i). Iustitia distributiva (keadilan distributio, yang menunjuk pada prinsip kepada yang sama diberikan sama, kepada yang tidak sama diberikan yang tidak sama pula. Ini disebut kesederajatan geometris. (ii). Iustitia commutativa (keadilan komutatif atau tukar-menukar), menunjuk pada keadilan berdasarkan prinsip aritmetis, yaitu penyesuaian yang harus dilakukan apabila terjadi perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. (iii). Iustitia legalis (keadilan hukum), yang menunjuk pada ketaatan terhadap hukum. Bagi Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal (dan diasumsikan hukum itu berisi kepentingan umum), maka keadilan hukum disebut juga sebagai keadilan umum (iustitiageneralis).
Melalui akal untuk mengenal apa yang baik dan apa yang jahat, manusia dapat menemukan dasar moral kehidupan, yakni semua yang baik harus dilakukan, dan yang jahat harus dihindari. Apa yang baik itu adalah segala sesuatu yang sesuai dengan hukum alam. Sebaliknya yang jahat adalah yang tidak sesuai dengan itu. Hukum alam sendiri berasal dari Tuhan. Karenanya, hukum alam berakar dalam aturan abadi (lex aeterna) yang melekat pada sifat Tuhan. Inilah yang memberi ciri khusus pada hukum alam Skolastik, sebagai aturan yang berdimensi kesalehan sebagaimana sudah ditemukan dalam teori Agustinus.
Karena yang dapat d
itangkap oleh akal hanyalah hukum alam, bukan lex aeterna (dalam wujud aslinya), maka hukum alam yang terletak dalam akal manusia itu, diterima sebagai suatu partisipasi lex aeterna dalam ciptaan rasional. Hukum alam yang ditimba manusia dari aturan alam tadi, oleh Aquinas dibagi dalam dua kelompok: (i). Hukum alam primer, yaitu norma-norma umum yang bersifat semesta sehingga dirasakan wajar oleh semua manusia (seperti hak atas kehidupan, laki-laki dan wanita bersatu dalam perkawinan, kekuasaan orang tua atas anaknya dan mendidiknya, hak mencari kebenaran Ilahi, hidup bermasyarakat, unicuique suum tribuere, dan neminem laedere). (ii). Hukum alam sekunder, berupa norma-norma hasil derivasi langsung dari hukum alam primer ataupun pengembangan sesuai dengan situasi tertentu (seperti jangan membunuh, jangan mencuri dan lain sebagainya).
Semua tatanan politik, semua pemerintahan harus berada di bawah hukum. Berikut beberapa poin teori Aquinas tentang hukum. (i). Hukum dan perundang-undangan harus rasional dan masuk akal, karena ia merupakan aturan dan ukuran tindakan manusia. (ii). Hukum ditujukan bagi kebaikan umum. Karena hukum merupakan aturan bagi perilaku, dan karena tujuan dari segala perilaku itu adalah kebahagiaan, maka hukum mesti ditujukan bagi kebaikan bersama. (iii). Karena hukum ditujukan bagi kebaikan dan kesejahteraan umum, maka ia hanya dapat dibuat oleh nalar dari semua orang lewat badan legislasi. (iv). Hukum perlu dipublikasikan karena ia mengandung aturan yang memandu hidup manusia, maka aturan itu mesti mereka ketahui agar memiliki nilai kewajiban .

Beberapa poin dari doktrin Aquinas ini, sampai derajat tertentu berseberangan dengan sistem di Romawi sebelumnya. Tidak hanya terhadap doktrin hukum perdata Romawi dengan faham patrimonial tentang kekuasaan berdasarkan hak milik perdata dengan slogan: every man must have a lord. Poin 1 dari doktrin di atas, justru membantah konsepsi Marsilius (era Romawi) bahwa hukum merupakan perintah paksa. Bagi Marsilius, perintah paksa merupakan bentuk esensial dari hukum, lepas dari apa yang terkandung dalamnya. Bagi Aquinas, pandangan Marsilius itu keliru. Hukum menurut Aquinas merupakan produk akal. Konsepsi Marsilius bahwa hukum merupakan perintah menunjukan hukum hanyalah produk kehendak, bukan nalar/akal. Sedangkan poin nomor 3 justru menyerang doktrin Romawi princeps legibus solutes est (hanya Caesar yang berhak membuat UU karena hanya dia saja yang berkuasa).

Tidak jauh berbeda dengan Agutinus, Thomas Aquinas juga mengaitkan hukum dengan agama. Ini tidak perlu diulangi lagi. Hal yang perlu dicatat di sini adalah pemikiran Aquinas tentang keadilan hukum. Melalui teorinya tentang keadilan hukum, Aquinas menyisipkan sebuah pesan luhur tentang betapa pentingnya mutu dari isi suatu aturan hukum. Aquinas menempatkan keadilan hukum sebagai keadilan umum, justru karena hukum diandaikan berakar pada hukum alam (yang tidak lain mencerminkan keluhuran Ilahi), dan lagi pula hukum itu diasumsikan mengatur kepentingan umum.
Itulah sebabnya bagi Aquinas, menaati hukum bermakna sama dengan bersikap baik dalam segala hal. Jadi perilaku hukum paralel dengan perilaku moral. Itu berarti, seluruh ketentuan hukum harus searah dengan nilai-nilai moral. Aquinas tidak mengizinkan adanya pertelingkahan (kontradiksi) antara aturan hukum dengan norma-norma moral. Dengan kata lain, setiap aturan hukum harus dapat diterima secara akal sehat. Tidak boleh ada aturan hukum `yang aneh-aneh', yang tidak bisa dinalar oleh akal sehat. Sebab kalau tidak, maka tidak semua kebajikan (dapat ) dibenarkan secara hukum. Akan ada kebajikan yang dilarang oleh hukum. Di mata Aquinas, hal seperti ini merupakan sebuah anomali, sesuatu yang ganjil dan aneh. Normalnya, aturan hukum dan kebajikan, harus jalan beriringan sehingga orang tidak perlu berdebat antara keputusan moral dan keputusan hukum.
Di sini jelas, materi dari suatu aturan hukum, menentukan apakah aturan tersebut layak disebut hukum atau justru hanya sebuah tatanan kemungkaran. Ditegaskan pula oleh Aquinas, dalam hal ius positivum humanum bertelingkah dengan prinsip-prinsip ius naturale, maka hukum yang disebut pertama harus dikalahkan.

Bagi penyelenggaraan hukum dewasa ini, prinsip yang dikemukakan Aquinas itu dapat dijadikan semacam landasan kerja dalam penegakan hukum. Banyak kejadian memilukan dalam penegakan hukum, justru karena orang lupa akan prinsip yang ditawarkan Aquinas itu. Di tengah dominasi legalisme dan hegemoni positivisme yuridis, aparat penegak hukum sering begitu saja larut dalam rimba logika aturan yang serba formal-legalistik tanpa tergugah melakukan refleksi mengenai aturan yang dihadapinya.
Lewat doktrinnya tentang hukum alam, Aquinas seolah mem-peringkatkan bahwa cara yang demikian justru dapat mereduksi hakikat hukum itu sendiri. Dalam ungkapan Profesor Satjipto Rahardjo, aparat penegak hukum perlu memiliki kemampuan membaca kaidah, bukan membaca peraturan. Menurut Prof. Satjipto, "....Berhenti pada pembacaan undang-undang sebagai peraturan bisa menimbulkan kesalahan besar karena kaidah yang mendasari peraturan itu menjadi terluputkan. "....Kaidah itu adalah makna spiritual, roh. Sedangkan peraturan adalah penerjemahan ke dalam kata-kata dan kalimat. Membaca undang-undang tidak salah, tetapi hanya berhenti sampai di situ saja bisa membawa malapetaka". "...logika peraturan hanya salah satu. Selain itu ada logika kepatutan sosial (social reasonableness) dan ada pula logika keadilan...". I{onstatasi Prof. Satjipto itu paralel dengan apa yang oleh Aquinas disebut iustitia legalis (keadilan hukum).
Dengan berpegang pada prinsip di atas, aparat penegak hukum berpeluang melakukan penegakan hukum secara progresif. Sebuah ketentuan hukum, bukan harga mati. Dalam semangat pro-keadilan (versi Rahardjo) atau spirit ius naturale (versi Aquinas), aturan tersebut dapat dikesampingkan-manakala la menimbulkan dekadensi, suasana korup, dan implikasi merugikan kepentingan manusia secara umum. Dalam logika itulah revitalisasi hukum dapat dilakukan .

3.3. Teori Hukum Era Renaissance
Pemikiran yang serba moral dan serba ilahi era Klasik dan abad pertengahan, cenderung ditinggalkan oleh teoretikus zaman modern. Teori hukum zaman modern menempatkan `manusia duniawi' yang otonom sebagai titik tolak teori. Hukum tidak lagi terutama dilihat dalam bayang-bayang alam dan agama, tetapi melalui sebagai tatanan manusia yang bergumul dengan pengalamannya sebagai manusia duniawi.
Meski begitu, sebagai filsuf, para pemikir zaman modern, terutama era Renaissance, masih juga dipengaruhi kosmologi metafisika. Mereka tetap mengakui hukum alam, tapi tidak menjadikannya sebagai perhatian utama. Bagi filsuf-filsuf seperti Jean Bodin (1530-1596), Hugo Grotius (1583-1645), dan Thomas Hobbes (1588-1679), yang teorinya segera akan dibahas di halaman berikut ini, hukum positif-lah (buatan manusia lewat negara) yang menjadi fokus perhatian. Ini bisa dimengerti oleh karena `kekuatan' yang dihadapi manusia zaman ini adalah (i). `Manusia-manusia duniawi' yang sccara individual menjinjing kebebasan tanpa batas. (ii). Keberadaan nation-state di bawah pemerintahan raja-raja (yang kuat). Teori hukum (sebagai tertib manusia), dikonstruksi dalam konteks yang dcmikian itu.

Hukum itu Perintah Penguasa Berdaulat:
Teori Jean Bodin
Dengan latar belakang tata politik baru, yaitu munculnya negara-negara bangsa di bawah pemerintahan raja-raja yang kuat, Bodin meletakkan teori hukum dalam konteks doktrin kedaulatan. Dalam logika doktrin kedaulatan yang digagasnya, Bodin melihat hukum sebagai perintah raja, dan perintah ini menjadi aturan umum yang berlaku bagi rakyat dan persoalan umum. Semua tradisi dan hukum kebiasaan, hanya akan menjadi absah dengan adanya perintah pemegang kedaulatan yang menetapkannya.
Bagi Bodin, kekuasaan raja adalah kekuasaan tertinggi atas warga dan rakyat. Raja sendiri tidak terikat oleh hukum (summa in cires ac subditos legibusque solute potestas). Sebab, jika raja berada di bawah hukum, maka itu berarti akan menghancurkan makna dasar kedaulatan (yang satu, bulat, dan superior). Kedaulatan tidak lagi menjadi kedaulatan, jika ia terikat pada institusi lain. Bisa dimengerti jika di bawah `rezim kedaulatan' ala Bodin, tidak dikenal perlindungan hukum yang ketat bagi rakyat. Satu-satunya kewajiban yang harus terima raja adalah kewajiban dalam hukum privat yang menyentuh kepemilikan dan kekayaan. Jika raja berhutang (kepada siapapun), dia wajib melunasinya .
Karena teorinya tentang kedaulatan yang menjurus pada negara, maka Bodin dikenal sebagai penganut doktrin kedaulatan negara. Bagi Bodin, hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak negara. Negaralah yang menciptakan hukum, dan negara adalah satu-satunya sumber hukum yang memiliki kedaulatan. Di luar negara tidak ada satu orang dan institusi pun yang berwewenang menetapkan hukum . Gagasan bahwa negaralah yang berdaulat, dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari kepentingan individu selalu dikalahkan oleh kepentingan negara .
Dikemudian hari, pandangan yang mendukung kedaulatan negara, datang dari para sarjana dalam mashab Deutsche Publizisten Schule. Menurut mereka, negara itu kuat karena mendapat dukungan dari tiga golongan yaitu: (1) armee (angkatan perang); (2) junkertum ( golongan industrialis); (3) burokrasi (staf pegawai negeri). Sebaliknya rakyat tidak mempunyai kekuatan apa-apa, sehingga tidak mempunyai wewenang apa pun, maka tidak mungkin memiliki kekuasaan tertinggi (kedaulatan). Oleh karena itu, menurut sarjana-sarjana Deutsche Publizisten Schule, pemegang kedaulatan adalah negara.
Apakah dengan demikian, Bodin menjadi penganjur kekuasaan otoritarian? Meski interpretasi ke arah itu terbuka lebar, namun dalam teorinya tentang hukum, Bodin terkesan tidak sepenuhnya memihak kekuasaan mutlak. Ia masih berpegang pada cita hukum alam. Ia membedakan secara tegas antara perundang-undangan dan hukum. Hukum (jus) adalah baik dan adil tanpa perintah. Sedangkan perundang-undangan (leges) dihasilkan dari penerapan kedaulatan orang yang memerintah. Implisit la membedakan hukum sebagai perundang-undangan, dengan hukum yang bersumber dari moral dan keadilan.
Pada karya lain. Bodin mendefinisikan jurisprudens sebagai seni memberi, kepada semua orang apa yang menjadi miliknya, dan ini dilakukan sedemikian rupa agar komunitas manusia dapat dipertahankan keutuhannya . Di sini, jurisprudens semakna dengan hukum alam. Hukum merupakan cahaya kebaikan (prudentia) dan nalar ilahi. Oleh karena itu, la membagi hukum menjadi dua kategori, yakni hukum alam dan hukum manusia. Hukum alam ditanamkan pada manusia sejak awal keberadaannya, dan selalu adil lagi seimbang. Sedangkan hukum manusia merupakan aturan yang ditetapkan berdasarkan asas manfaat. Ini dibagi lag, menjadi hukum perdata dan hukum yang lazim bagi semua bangsa (lus gentiarm) yang dalam keduanya Bodin membedakan lagi antara jars antecedens dan jus consequens. Jus antecedens merupakan hukum materil, sedangkan jus conseguens merupakan hukum formal. Penggunaan kata jus dalam bidang-bidang di atas, paling tidak memberi kesan pada kita bahwa hukum positif juga mesti berkualitasjus (adil).
Dalam teorinya tentang legis actio (realisasi hukum), Bodin tidak tampak sebagai penganjur otoritarianisme. Realisasi hukum menurut Bodin bisa terjadi di dalam maupun di luar pengadilan. Sumber realisasi hukum di luar pengadilan dapat berupa adat kebiasaan dan beberapa jenis tindakan bantuan hukum. Sedangkan realisasi di dalam pengadilan menunjuk pada penerapan hukum oleh hakim yang bebas dan obyektif.

Hukum itu Tatanan Keamanan:
Teori Thomas Hobbes
Thomas Hobbes melihat hukum sebagai kebutuhan dasar bagi keamanan individu. Di tengah orang-orang liar yang suka saling memangsa, hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai. Bagi Hobbes, sesuai posisinya sebagai penganut materialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri . Tidak ada pengertian adil atau tidak adil. Yang ada, hanyalah nafsu-nafsu manusia. Dalam keadaan seperti itu, terjadilah belum omnium contra omnes di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egoistis. Watak manusia Dionisyan ala filsuf Ionia dan individu egois ala Epicurus, seolah hidup kembali dalam teori Hobbes.
Bagi manusia-manusia seperti ini, jika tidak ada hukum, maka demi mengejar kepentingan diri, mereka akan terlibat dalam war of all against all (perang semua melawan semua). Tanpa hukum yang ditegakkan oleh penguasa yang kuat, maka individu-individu akan saling membinasakan (homo homini lops). Maka hukum merupakan pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan orang lain. Agar efektif, maka hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa yang punya kekuasaan besar .
Lalu hukum yang bagaimanakah yang dibutuhkan? Sama seperti Bodin yang memperdulikan keluhuran hukum alam, Thomas Hobbes juga melihat hukum alam sebagai tatanan perilaku yang terdiri dari aturan-aturan bijak. Bagi Hobbes seperti juga Bodin, keluhuran hukum alam menjadi panduan bagi raja dalam `mengeluarkan perintah'. Kekuasaan raja yang mutlak, semata-mata dibutuhkan untuk menegakkan hukum agar individu-individu warganya aman dari gangguan individu lain sesamanya.

Hukum alam (yang intinya keadilan, kesetaraan, kerendahatian, kemurahatian, dan semua yang sebaiknya dilakukan), tidak akan tegak dan tidak akan berfungsi sebagai payung perlindungan jika tanpa ada kekuasaan dari penguasa untuk menegakkannya. Dengan kata lain, tanpa kekuasaan yang efektif untuk menegakkan hukum, maka tiap individu akan kembali pada naluri aslinya, yakni bertindak berat sebelah, sombong, dendam, dan sebagainya. Tanpa kekuasaan penguasa yang cukup kuat, maka tiap orang akan mengandalkan kekuatannya sendiri. Dalam kondisi alami (kehidupan tanpa penguasa), begitu kata Hobbes, hukum dan keadilan sama-sama tidak memiliki makna. Di mana tidak ada kekuasaan, di situ tidak ada hukum. Dan di mana tidak ada hukum, di situ tidak ada keadilan.

Itulah sebabnya bagi Hobbes, kekuasaan tidak kurang dari sarana yang ada sekarang untuk mendapat kebaikan yang nyata di kemudian hari. Sekalipun penyalahgunaan kekuasaan bersaranakan hukum terbuka lebar, namun hal itu masih lebih baik daripada kondisi alamiah semula yang brutal. Hobbes juga member sentuhan moral dalam hukum. Ini bukan semata karena preferensinya pada keluhuran hukum alam. Lebih dari itu, ada misi luhur untuk kebaikan individu, yaitu mendidik mereka untuk menjadi warga yang baik. Mereka tidak hanya butuh petunjuk hidup lewat aturan hukum, tetapi juga butuh teladan.
Karenanya, Hobbes merumuskan kualifikasi mutu yang mesti dimiliki hakim. Pertama, harus memiliki pemahaman yang benar mengenai hukum alam sebagai keadilan. Kedua, tidak mengejar kekayaan. Ketiga, dalam menjatuhkan vonis, harus mampu membebaskan diri dari segala ketakutan, kemarahan, kebencian, dan hasrat. Keempat, harus memiliki kesabaran untuk mendengarkan, harus tekun dalam mendengarkan, dan harus memiliki ingatan yang kuat, menggali dan menerapkan apa yang telah ia dengar dan saksikans .

Hukum itu Kesadaran Sosialitas:
Teori Hugo Grotius
Manusia egois yang urakan model Hobbes, berseberangan dengan Grotius. Bagi Grotius, setiap orang mempunyai kecenderungan hidup bersama. Tidak hanya itu, karena memiliki rasio, manusia itu juga ingin hidup secara damai . Begitulah, Grotius menjadikan sosiabilitas manusia sebagai landasan ontologi dan fondasi segala hukum.
Hukum itu, asalnya dari kesadaran `manusia sosial' itu agar sosialitas tetap terjaga. Bahwa kemungkinan hidup penuh kekacauan seperti digambarkan Hobbes, tidak disangkal oleh Grotius. Tapi kekacauan itu, bukanlah bawaan manusia. Kekacauan terjadi, semata-mata karena gesekan-gesekan sosial dalam hidup bersama, utamanya ketika tidak ada `aturan main' bersama. Di situ terbuka muncul berbagai pencideraan, entah dalam bentuk pengambilan tanpa hak milik orang lain, ataupun dalam wujud ingkar janji dan lain sebagainya.
Maka hukum sangat dibutuhkan agar tiap orang kembali pada kodratnya sebagai `manusia sosial' yang berbudi. Hukum, dengan demikian, merupakan `pcngawal' dalam sosiabilitas manusia untuk menjamin agar prinsip-prinsip `individu sosial' yang berbudi itu tetap tegak. Prinsip-prinsip dimaksud adalah: (1). Milik orang lain harus dihormati. `Punyamu', bukan selalu `punyaku'. Jika kita pinjam dan membawa keuntungan, maka harus diberi imbalan. (2). Kesetiaan pada janji. Kontrak harus dihormati (pacta sunt servanda). (3). Harus ada ganti rugi untuk tiap kerugian yang diderita. (4). Harus ada hukuman untuk setiap pelanggaran .
Empat prinsip itu, tidak hanya ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum, tetapi juga dapat ditemukan secara a posterior', yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang beradab. Secara de facto, semua bangsa menerima prinsip-prinsip itu. Apa sebab? Menurut Grotius, sebab utamanya adalah karena akal sehat (sensus communis) yang dimiliki semua manusia. Jika semua prinsip ini diterima karena persetujuan semua bangsa, maka serentak menjadi hukum bangsa-bangsa.

Empat prinsip di atas, merupakan inti hukum alam versi Grotius. Menurutnya, hukum alam adalah segala ketentuan yang benar dan baik menurut rasio, tidak mungkin salah, lag, pula adil. Bahkan bagi Grotius, kebenaran hukum alam tersebut tidak dapat diganggu-gugat. Bahkan Tuhan sendiri tidak dapat mengubah kebenaran hukum itu. Seandainya Tuhan tidak ada pun, atau tidak memperdulikan manusia, maka hukum alam sebagai hasil akal manusia, dapat memimpin manusia itu sendiri . Tesis ini sekaligus membantah Aquinas dan Althusius yang mengatakan, hukum alam itu berasal dari Tuhan. Bagi Grotius, hukum alam berasal dari rasio, bukan dari Tuhan.
Grotius juga membagi hukum alam dalam arti sempit dan arti luas. Hukum alam dalam arti sempit (merupakan hukum yang sesungguhnya) karena menciptakan hak untuk menuntut apa yang menjadi bagian hak seseorang. Keadilan yang berlaku dalam bidang ini adalah `kedilan yang melunasi' (z'ustztr'a expletrz'x atau comrrtutativa). Sedangkan hukum alarn dalam arti luas menunjuk pada hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melain hak berdasarkan kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dalam bidang ini ialah `keadilan yang memberikan' (iustitia atributrix atau distributiva).

Grotius merupakan penganut humanisme awal zaman modern. Karenanya, la memandang manusia sebagai oknum pribadi yang bebas serta memiliki hak-hak tertentu. Hal ini berlaku bagi seuap manusia. Karena perhatian Grotius pada sisi manusia pribadi yang otonom dan bebas itu, maka hukum alam di mata Grotius melulu berkaitan dengan hukum privat. Ini mengingatkan kita pada tradisi hukum Romawi, yang juga hanya mengakui hukum privat. Hukum positif, menurut Grotius, tidak boleh melawan hukum alam itu. la tidak boleh menyuruh sesuatu yang tidak dibolehkan oleh hukum alam . Satu-satunya pengecualian adalah demi kepentingan umum karena memang soal kepentingan umum, tidak tergolong hukum alam.
Konflik ontologi antara Hobbes dan Grotius tentang manusia itu, `didamaikan' oleh Samuel Pufendorf (1632-1694) yang hidup di era Aufklarung. Pufendorf menggabungkan dua teori itu dalam sebuah konsepsi baru. la menjadikan sosiabilitas Grotius maupun `inkapasitas awal' dari Hobbes sebagai landasan ontologi dan epistemologi hukum . Manusia tidak hanya mahluk fisik an sich. Juga tidak melulu mahluk moral per se. Manusia adalah kedua-duanya, mahluk fisik serentak mahluk moral. Dengan inkapasitas awal, manusia berada dalam dunia alami di mana ia memiliki kebutuhan dan menghadapi bahaya. Namun dengan sosiabilitasnya, yang terkait dengan pemahaman nilai, ia berpartisipasi dalam dunia moral yang memperdulikan hal-hal yang luhur dan damai .
Hukum harus dipahami dalam konteks itu. la tidak hanya alat keamanan, dan juga tidak sekedar `pengawal' dalam hidup. Karena yang fisik dan moral itu setiap kali konflik secara permanen dalam diri manusia, maka persoalan tentang hukum bukanlah terletak pada alat untuk ini atau itu. Persoalan hukum justru terletak pada pemahaman bahwa kejahatan dan hukuman merupakan konsekuensi tak terhindarkan dalam ontologi manusia. Dengan kata lain, hukum bagi manusia adalah ibarat hidup itu sendiri-yang harus berisi arahan dan didikan. Aturan¬aturan memberi arahan, sedangkan hukuman member] didikan. Atas dasar ini, Pufendorf menyerukan sebuah perintah yang imperatif "Jangan mengganggu orang yang menyebabkan ia mengeluh bahwa haknya telah dirampass .
3.4. Teori Hukum Era Aufklarung
Telah dikatakan sebelumnya bahwa kosmologi era Aufklarung diwarnai `kekuasaan' akal atau rasio manusia. Suatu fenomena budaya yang bermula saat menjelang akhir abad ke-17. Manusia era ini adalah individu-individu yang rasional, bebas, dan otonom. Mereka mampu menentukan jalan yang dianggap baik bagi dirinya, termasuk dalam membentuk institusi hidup bersama. Negara bukan lembaga alamiah. la merupakan `mahluk buatan' dari manusia-manusia yang bebas dan rasional itu. Jalannya negara, berikut tatanan yang ada di dalamnya, ditentukan secara rasional dan obyektif.
Meski hidup dalam negara, masing-masing individu memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dalam tuntunan rasio yang dimiliki masing-masing individu. Maka di sini muncul teori tentang hukum sebagai tatanan perlindungan hak-hak dasar manusia. Teori tersebut merupakan jawaban strategis mengenai `tertib hidup' manusia zaman itu di tengah sistem situasi khas era itu. Pemikir-pemikir utama era in-1, antara lain Locke, Montesquieu, Rousseau, dan Kant.

Hukum itu Pelindung Hak Kodrat:
Teori John Locke
Sebagai penganut hukum alam abad ke-18 , Locke berpegang pada prinsip hukum alam zaman itu, yakni kebebasan individu dan keutamaan rasio . la juga mengajarkan tentang kontrak sosial. Dan teorinya tentang hukum beranjak dari dua hal itu. Teorinya, tentu saja berbeda dengan Hobbes yang hidup di era abad ke-17 (era nation-state yang mengagungkan kekuasaan sentral). Jika kontrak sosial Hobbes mengandaikan adanya penyerahan seluruh hak individu secara total pada penguasa, maka Locke tidak demikian.
Orang-orang yang melakukan kontrak sosial, bukanlah orang-orang yang ketakutan dan pasrah seperti dibayangkan Hobbes. Mereka, kata Locke, adalah orang-orang yang tertib yang elan dan menghargai kebebasan, hak hidup, dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan sebagai manusia . Semua itu sudah dilestarikan sejak awal masyarakat manusia. Maka Hobbes salah besar, jika mengira masyarakat awal itu kacau. Mereka hidup tertib, kata Locke. Di situ pun ada perdamaian dan hidup mereka dituntun rasio . Bahkan menurut Locke, itulah masyarakat ideal, karena hak-hak dasar manusia tidak dilanggar.
Menurut Locke, hak-hak tersebut tidak ikut diserahkan kepada penguasa ketika kontrak sosial dilakukan. Oleh karena itu, kekuasaan penguasa yang diberikan lewat kontrak sosial, dengan sendirinya tidak mungkin bersifat mutlak. Kalau begitu, adanya kekuasaan tersebut justru untuk melindungi hak-hak kodrat dimaksud dari bahaya-bahaya yang mungkin mengancam, baik yang datang dari dalam maupun dari luar . Begitulah, hukum yang dibuat dalam negara pun bertugas melindungi hak-hak dasar tersebut.
Bagaimana memastikan hukum yang dibuat itu memang diarahkan pada perlindungan hak-hak dasar tersebut? Rakyat sendirilah yang harus menjadi pembuat hukum, begitu kata Locke. Lewat lembaga legislatif, rakyat berhak menentukan warna dan isi sebuah aturan. Hak rakyat menyusun undang-undang bersifat primer, asli dan tidak bisa dicabut. Karena itu, Locke menempatkan kekuasaan legislasi sebagai inti dalam kehidupan politik. Ia berada di atas kekuasaan-kekuasaan lain. Kekuasaan pengadilan maupun hukum kebiasaan-yang dalam tradisi Inggris menempati posisi sentral dan utama, menurut Locke harus juga berada di bawah kekuasaan legislasi.
Hanya satu, ya, satu-satunya kekuasaan yang harus dihormati oleh badan legislasi adalah hukum alam dan nalar. Mengapa? Karena hukum alam dan nalar itu merupakan landasan cita hukum untuk membuat aturan hukum positif. Cita hukum dimaksud adalah pelestarian masyarakat dan pelestarian tiap anggota masyarakat, melarang menghancurkan hidupnya, dan melarang merampas hidup dan kekayaan orang lain.
Untuk diketahui, gagasan tentang keutamaan legislatif (parlemen), sudah muncul di Yunani sejak abad ke-4 Seb. Masehi. Dalam tradisi Yunani Antik itu, parlemen memang diposisikan sebagai poros republik. la merupakan satu-satunya lembaga utama dalam negara. Bahkan dalam refleksinya atas konsepsi Yunani tersebut, Jean Bodin berujar demikian: "di mana tidak ada kekuasaan legislatif, di situ tidak ada republica, yang berarti tidak ada pemerintahan yang sah, dan dengan demikian, tidak ada negara .
Alhasil, kekuasaan dan produk UU yang dihasilkan parlemen pun, tidak dapat diganggu-gugat. Yudikatif hanya bertugas menjalankan saja apa yang terumus dalam undang-undang. Asas utama di sini adalah "UU tidak dapat diganggu gugat", atau dalam rumusan kant, la bouche de la lois (hakim merupakan mulut UU). Tugas hakim hanya menerapkan UU yang dibuat oleh lembaga legislatif, bahkan hakim harus menuruti saja secara harfiah apa kata undang-undang (qui les juges suivent la letter de la lois)
Konsep yang bertahan cukup lama di daratan Eropa Kontinental itu, akhirnya ditinggalkan juga pada sekitar abad ke-l8-berkat inspirasi pemikiran Montesquieu-melalui Trias Politica-nya. Sejak Montesquieu `merevisi' konsep Locke, kekuasaan kehakiman mendapat posisi sentral sebagai pilar negara demokrasi modern. Montesduieu mendudukkan kekuasaan kehakiman dalam areal yang otonom-lepas dari kooptasi kekuasaan eksekutif versi Locke. Gebrakan Montesquieu itu, tidak hanya melepaskan genggaman eksekutif atas yudikatif, tetapi juga pada perkembangan kemudian menjadi inspirasi untuk mengakhiri superioritas parlemen warisan Yunani Antik (kuno).
Lalu muncullah gagasan judicial review of legislation yang dipercayakan pada yudikatif. Negara-negara Eropa Kontinental pasca abad ke-18, akhirnya juga menempatkan lembaga yudikatif menjadi seimbang dengan kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif. Bahkan dalam beberapa hal, kedudukan yudikatif lebih superior dari yang lain.
Dalam praktik kenegaraan negara modern dewasa ini, kekuasaan yudikatif menjadi sarana untuk mengontrol lembaga-lembaga yang lain, misalnya: (i). Mengkaji kesesuaian UU hasil legislatif dengan konstitusi (ludiczal review of the constitutionality of legislation), (ii). Mengawasi dan mengontrol kesesuaian kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh badan eksekutif dengan landasan hukumnya, (iii). Pada beberapa negara, lembaga yudikatif bertindak sebagai arbitrasi (penengah) apabila terjadi konflik yuridis antara lembaga-lembaga negara mengenai wewenang fungsional masing-masing.
Jelas kiranya, yudikatif (kekuasaan kehakiman), lalu menjadi cabang kekuasaan dengan otoritas menjaga supremasi hukum atas semua cabang kekuasaan yang lain. Yudikatif lalu menjadi salah satu berbicara tentang negara hukum, maka inklusif berbicara tentang kekuasaan yudikatif yang merdeka. Semua teori negara hukum, baik dari Stahl, Sheltema , Van Wijk, Konijnenbelt, maupun dari Zippelius memberi tempat pada yudikatif sebagai kekuasaan yang vital dalam negara (hukum) modern.
Pemikiran yang lebih eksplisit tentang hukum sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya, dikemukakan oleh Immanuel Kant. Bagi Kant, manusia merupakan mahluk berakal dan berkehendak bebas. Negara bertugas menegakkan hak-hak dan kebebasan warganya. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat merupakan tujuan negara dan hukum. Oleh karena itu, hak-hak dasar manusia tidak boleh dilanggar oleh penguasa. Bahkan pelaksanaan hak-hak dasar itu, tidak boleh dihalangi oleh negara. Untuk tujuan itu, harus ada pemisahan kekuasaan atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Karena perlindungan hak-hak rakyat itu begitu penting, maka seperti halnya tradisi Yunani-yang juga dianut Rousseau, Kant menempatkan lembaga legislasi dan produk-produknya sebagai poros negara republik. Bisa dikatakan, dalam konteks perlindungan hak-hak rakyat, Kant mengambil posisi seorang legalis radikal. Sangat mungkin, Kant memandang perlindungan hak rakyat merupakan suatu imperatif moral. Ya, menggunakan terminologi Kant, suatu Kategorisher Imperativ.

Memang, isu kebebasan dan hak-hak dasar manusia menjadi ikon kosmologi abad ke-18. Kosmologi itulah yang mengilhami pemikir zaman itu, termasuk Kant, Locke, dan Montequieu. Selama periode ini, terjadi pergeseran cara pandang tentang hak-hak dasar. Hak-hak tersebut tidak lagi dilihat hanya sebagai kewajiban yang harus dihormati oleh penguasa, tetapi juga dipandang sebagai hak yang multak dimiliki rakyat. Kredo masa itu adalah: Tiap manusia dikaruniakan hak-hak yang kekal dan tidak dapat dicabut, yang tidak pernah ditinggalkan ketika umat manusia "beralih" untuk memasuki era baru dari kehidupan pramodern ke kehidupan modern, serta tidak pernah berkurang karena tuntutan "hak memerintah penguasa".
Sebagaimana diketahui, pandangan Locke mengenai "hak-hak alamiah" dan "asas pemisahan kekuasaan" semakin diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang menghendaki pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pemikiran J.J. Rousseau tentang "paham kedaulatan rakyat" juga turut mengokohkan ajaran Locke di atas. Berdirinya negara-negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo Saxon pada abad ke-17 sampai abad ke-19, sebenarnya diilhami secara signifikan oleh "asas pemisahan kekuasaan" dari Locke dan Montesquieu, serta "paham kedaulatan rakyat" dari Rousseau, dan dikombinasikan dengan perjuangan politik berdasarkan paham kedaulatan hukum yang digagas oleh Krabe dan Jellinek.
Bagaimana persisnya teori Krabe tentang kedaulatan hukum? Krabe berangkat dari fakta bahwa riilnya negara tunduk pada hukum. Hukum itu sendiri, menurut Krabe, bersumber dari rasa hukum dalam tiap diri individu. Karena merupakan `bakat manusiawi', maka rasa hukum itu merupakan sebuah insting. Ya, insting hukum. Insting hukum inilah yang dalam perkembangannya melahirkan kesadaran hukum. Norma hukum merupakan produk lanjutan dari kehidupan bersama dari orang-orang yang memiliki kesadaran hukum tersebut. Karena norma hukum merupakan realitas obyektif yang berada di atas semua orang, maka norma itulah yang berdaulat.

Jellinek dengan teori Selbstbindung-nya, mendukung Krabe. Negara, kata Jellinek, dengan sukarela mengikatkan diri tunduk kepada hukum sebagai penjelmaan kehendak sendiri. Mengapa negara rela tunduk pada hukum? Kata Jellinek, karena dalam hukum itu terkandung aspek-aspek ideal berupa rasa hukum, kesadaran hukum, dan aspek keadilan (tentu saja di samping kemasyarakatan/manfaatnya).
Tapi Struycken membantah krabe mengenai rasa hukum sebagai titik-tolak norma hukum yang obyektif. Menurut Struycken, rasa hukum individu tidak dapat dijadikan sumber hukum karena ia selalu berubah setiap saat. Rasa hukum juga bisa berbeda dari orang ke orang, dari golongan ke golongan. Jadi jika hukum didasarkan pada rasa hukum individu, maka bukan hukum yang bersifat umum yang dicapai, melainkan anarki norma. Kritik Struycken ini dijawab Kranenburg. Menurut Kranenburg, ada pola yang bersifat tetap dalam reaksi terhadap kesadaran hukum. Setiap orang yang merasa dirugikan, selalu memiliki reaksi yang sama untuk meminta ganti rugi. IM, kata Kranenburg merupakan bukti tentang adanya pola yang tetap menyangkut kesadaran hukum. Boleh saja rasa hukum tiap individu itu tidak sama atau selalu berubah, namun yang pasti ada unsur-unsur yang sama dalam reaksi kesadaran hukum. Kesadaran hukum itu tidak sama dengan rasa hukum. Kesadaran hukum merupakan tingkat yang lebih tinggi dari sekedar rasa hukum. la merupakan semacam sintesa dari rasa hukum yang beragam dari tiap individu. la merupakan produk kolektif dari kehidupan bersama. Sedangkan rasa hukum merupakan insting individual seorang manusia. Begitu argumentasi Kranenburg.

Hukum Itu Produk Akal Praktis:
Teori Immanuel Kant
Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, Kant dikenal dengan Imperatif Kategoris-nya. Ada dua norma yang mendasari prinsip ini: (i)Tiap manusia diperlakukan sesuai martabatnya. la harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek. (ii) Orang harus bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta. Prinsip semesta yang dimaksud Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom. Manusia yang memiliki hak-hak dasar, seperti hak menikah dan hak berkontrak. Di samping itu, terdapat pula hak-hak jenis lain yang disebut hak-hak lahir, seperti hak memiliki.
Menurut Kant, dalam kebebasan dan otonominya, tiap-tiap individu cenderung memperjuangkan kemerdekaan yang dimilikinya. Ini memang suatu yang wajar. Tapi sangat mungkin, pelaksanaan kemerdekaan seseorang bisa merugikan orang lain. Untuk menghindari kerugian itu, dibutuhkan hukum. Hukum merupakan kebutuhan dari setiap mahluk bebas dan otonom yang mau tidak mau memang harus hidup bersama. Persis di titik ini, seolah ada seruan, `hiduplah berdasarkan hukum jika ingin hidup bersama secara damai dan adil'. Seruan ini bernuansa imperatif etik, dan oleh karena itu, timbul kewajiban untuk menaati hukum .

Kant percaya, untuk membangun tatanan negara yang rasional, diperlukan suatu hukum dan menejerial pemerintahan yang memastikan tiap orang menghormati kebebasan orang lain. Negara tidak perlu mengatur rakyatnya dengan kontrol yang bersifat moral atau pun religius. Sebab, jika dalam suatu masyarakat majemuk masing-masing kelompok mengklaim kebenaran absolut agama, moralitas, atau kulturnya, maka yang akan terjadi adalah kekacauan dan konflik. Kebijakan moralistis, hanya akan memecah-belah masyarakat modern yang plural dalam kategori-kategori agama, moral, maupun kebudayaan. Dari sinilah Kant mengusulkan perlunya tatanan hukum yang obyektif dan imperatif. Makna hakiki dari hukum yang obyektif dan imperatif itu, adalah hukum menjamin kepentingan semua individu menurut dua prinsip imperatif kategoris di atas, bukan menurut ukuran-ukuran primordial yang parokial (agama, moralitas, dan kultur tertentu).

Karena hukum harus berpedoman pada dua prinsip imperatif kategoris dimaksud, maka Kant memasukan hukum dalam bidang `akal praktis'. Hukum merupakan bidang sollen, bukan bidang sein. Ini ada kaitan dengan kategori Kant mengenai akal manusia. Menurut Kant, manusia memiliki dua jenis akal, yakni `akal murni' (akal teoritis) dan `akal praktis'. Akal murni merupakan media untuk melihat `yang ada' (Sein), yakni alam, fakta, dan semua yang dapat direkam oleh indera. Sedangkan akal praktis merupakan media untuk menangkap bidang `harus' (Sollen), yakni norma-norma. Itulah sebabnya, hukum merupakan bidang `akal praktis'. `Akal praktis' berbicara tentang apa yang seharusnya. la berbicara tentang Maximes, yaitu prinsp-prinsip kelakuan yang dirasa sebagai kewajiban .
Maximes itu sendiri (seperti terkristal dalam imperztif kategoris), memiliki dua sisi, yakni `materi' dan `bentuk'. `Materi' adalah isi dari norma-norma (maximes) tersebut. Sedangkan `bentuk' adalah sifat mewajibkan yang menandai norma-norma itu. Norma-norma ini, menurut Kant, harus otonom, yakni harus memiliki sifat mewajibkan sendiri. Itu hanya mungkin jika norma-norma tersebut dipandang secara formal (`bentuk'-nya), yakni dalam sifat mewajibkan. Norma yang sungguh-sungguh mewajibkan secara mutlak dan umum itu, adalah norma yang ada dalam imperatif kategoris di atas. Karena hukum merupakan bidang `akal praktis', maka pembentukannya haruslah mengikuti keharusan menurut prinsip imperatif kategoris itu. Tidak boleh hukum dibuat atas dasar petimbangan-pertimbangan pragmatis berbasis pengalaman inderawi seperti rasa enak, rasa suka, rasa untung, dan lain sebagainya. Hanya hormat terhadap norma-norma sebagai kewajiban (imperatif kategoris), yang dapat menjadi motif untuk membentuk aturan hukum .
Lalu bagaimana dengan keharusan menaati hukum? Aturan hukum sebagai norma hukum positif, bukanlah bidang keharusan yang otonom. la merupakan bidang keharusan yang heteronom. Dalam keharusan yang heteronom, maka berlakunya norma tidak berasal dari rasa kewajiban yang menyentuh batin manusia, melainkan dari sesuatu yang di luar kewajiban batin. Di sini Kant memperkenalkan istilah legalitat, yakni `sifat hukum' dari suatu perbuatan. Inti sifat hukum dan suatu perbuatan adalah penyesuaian dengan apa yang sudah dibentuk sebagai hukum . Dapat disimpulkan, bagi Kant, prinsip-prinsip aturan hukum merupakan bidang keharusan yang otonom, dan karenanya mewajibkan secara otonom pula. Sedangkan aturan hukum itu sendiri (sebagai aturan hukum positi terbilang bidang keharusan yang heteronom, dan oleh karena itu, dialami sebagai gejala yang tidak bersangkut paut dengan persoalan kewajiban batin. Lepas dari apa pun motifnya (rasa respek atau takut), orang harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh hukum .

Hukum itu Kewajiban:
Teori Christian Wolff
Teori dari Christian Wolff ini, berangkat dari pengandaian bahwa hukum alam, seperti juga hukum lainnya, berbasis kewajiban. Tiada hukum tanpa kewajiban yang mendahului keberadaannya. Hukum berada dan mengalir dalam kewajiban, begitu kata Wolff Hak bawaan versi Locke, misalnya dianggap ada karena si manusia pemilik hak itu memiliki kewajiban bawaan juga .
Dengan atribut bawaan yang demikian, maka sesungguhnya manusia setara adanya. Tidak ada manusia yang secara alami memiliki hak untuk berkuasa atas milik orang lain. Juga tidak ada manusia yang dari sana-nya punya hak memberi perintah pada orang lain. Itu berarti, semua manusia pada dasarnya bebas. Karena itu, tuntutan dasar dalam kehidupan manusia yang mesti dijamin oleh hukum adalah berlaku adil. Kebaikan hidup hanya terjamin jika setiap orang memiliki sikap yang adil. Mengutip Leibniz, keadilan menurut Wolff adalah cinta kasih seorang bijaksana (iustitia est caritas sapientis). Orang adil adalah orang yang dengan kebaikan hatinya mengejar kebahagiaan dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempuranaan itu hanya dapat dicapai melalui cinta kasih terhadap Tuhan dan sesama manusia .
Dengan dasar filsafat itu, Wolff mengajukan tiga eselon norma yang menjadi pedoman norma hukum . Pertama, norma `tingkat rendah' (mengatur hubungan manusia dengan benda). Prinsip dasar dalam norma ini adalah: Jangan merugikan orang lain (neminem laedere). Di sini muncul penghormatan terhadap hak milik (ius propietatis). Keadilan di sini, adalah keadilan tukar-menukar (iustitia commutativa). Kedua, norma `tingkat menengah' (mengatur hubungan antar-orang). Prinsip utama di sini ialah: Berikanlah setiap orang menurut haknya (unicuique suum tribuere). Di sini berlaku hak untuk hidup bersama secara pantas (ius societatis). Sikap yang diperlukan dalam bidang ini adalah aequitas, yakni cinta kasih dan kesediaan untuk berguna bagi orang lain. Keadilan di sini ialah keadilan distributif (iustitia distributiva). Ketiga, norma `tingkat ringgi' (mengatur hubungan manusia dengan Tuhan). Di sini berlaku hak dan kewajiban orang untuk berbakti pada Tuhan (ius pietatis atau ius internum). Prinsip dasar dalam bidang ini ialah bertingkah-laku secara luhur dan terhormat (honeste vivere). Keadilan yang berlaku adalah keadilan umum (iustitia universalis).

Hukum dan Lingkungan Fisik:
Teori Montesquieu
Montesquieu yang nama lengkapnya: Charles-Louis de Secondat de la Brede et de Montesquieu, adalah pemikir bidang hukum dan politik era Aufklarung di Prancis. Dalam karya monumentalnya L'Esprit des Lois (Roh Hukum), la membahas raison d’etre bagi hukum. la menegaskan, dalam suatu bentuk pemerintahan, suatu sistem hukum harus ditemukan lebih daripada bisa ditemukan. Apa sebab? Karena sejatinya sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia.
Dengan `ilham' metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu? la bertolak dari sisi watak masyarakat. Menurutnya, ada dua faktor utama yang membentuk watak suatu masyarakat. Pertama, faktor fisik. Faktor fisik yang utama adalah iklim, yang menghasilkan akibat-akibat fisiologis mental tertentu. Selain faktor iklim, keadaan daratan, kepadatan penduduk, dan daerah kekuasaan suatu masyarakat juga turut berpengaruh .
Kedua, adalah faktor moral. Menurut Montesquieu, seorang legislator yang baik, bisa membatasi pengaruh faktor fisik sekecil mungkin dan bahkan bisa membatasi akibat-akibat karena iklim tertentu. Dalam faktor moral ini, terhimpun antara lain: agama, adat-istiadat, kebiasaan, ekonomi dan perdagangan, cara berpikir, serta suasana yang tercipta di pengadilan .
Dalam tesis Montesquieu, faktor iklim dan lingkungan, tidak saja berpengaruh pada watak manusia/masyarakat, tetapi juga pada sifat dan bentuk kegiatan, cara hidup bermasyarakat, dan lembaga-lembaga sosial. Serentak dengan itu, iklim juga dapat mempengaruhi moral, ekonomi, agama, dan bentuk pemerintahan. Menurutnya, orang-orang yang berada dalam iklim yang dingin, menampilkan sifat yang lebih berani, lebih berorientasi pada industri, menyukai kebebasan, serta mampu menahan sakit. Meski demikian, orang-orang ini memiliki sisi minusnya, yaitu lebih suka melakukan bunuh diri, kurang erotis, dan kurang romantis. Sebaliknya, mereka yang tinggal di iklim panas, cenderung malas, tidak tekun, dan kurang menyukai kebebasan .
Montesquieu juga menghubungkan kondisi daratan dengan bentuk pemerintahan. Daratan yang luas, menurutnya cenderung menghasilkan pemerintahan yang despotik. Benua Eropa yang terdiri dari sungai, gunung-gunung, dan tanah yang subur cenderung pada sentralisasi kekuasaan, yaitu kekuasaan absolut. Sementara itu, penduduk yang berada di daerah kepulauan, lebih menginginkan kebebasan dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di daerah daratan. Montesquieu juga menyinggung soal agama. Menurutnya, agama Katolik cenderung kepada monarki, agama Protestan cenderung berbentuk Republik, sedangkan agama Islam lebih kondusif bagi berkembangnya despotik .
Karena adanya kekhasan iklim dan kondisi daratan, maka apa yang dikerjakan dalam suatu masyarakat tidak perlu dilakukan oleh masyarakat lainnya. Implikasinya, adalah adanya relativisme, termasuk di bidang moral. Tidak ada penilaian moral yang benar-benar independen dan netral yang dapat dibuat dalam masyarakat atau budaya yang berbeda . Setiap penilaian moral berkembang di luar suatu masyarakat atau budaya, tidak bisa diterapkan begitu saja pada masyarakat tersebut. Demikian pula suatu tatanan hukum dari luar, tidak bisa ditransfer dan dipakai begitu saja untuk suatu masyarakat.
Di samping teori yang bersifat sosiologis di atas, Montesquieu juga berbicara tentang hukum alam. Perdamaian, menurut Montesquieu, merupakan hukum kodrat yang pertama. Sedangkan hukum kodrat yang kedua adalah mencari nafkah. Daya tarik yang timbul dari perbedaan jenis kelamin, merupakan hukum kodrat yang ketiga. Meski manusia dan hewan sama-sama memiliki insting sosialitas, namun manusia memiliki kelebihan berupa pengetahuan dan moralitas. Kesadaran akali dan etis untuk hidup bersama, memunculkan hukum kodrat keempat, yakni motif hidup bermasyarakat yang dipagari oleh norma-norma sosial. Perlu pula diingat, dalam konsep Montesquieu, hukum yang memunculkan gagasan tentang Sang Pencipta pada pikiran manusia serta membuat manusia condong kepada-Nya, adalah hukum yang paling penting, kendati bukan yang pertama dalam tatanan hukum alam .
Di bidang politik atau pemerintahan, seperti disinggung sebelumnya, Montesquieu juga membangun teori tersendiri, yaitu klasifikasinya tentang republik, monarki dan despotis. Masing-masing dicirikan oleh dua hal, yakni hakekat dan prinsip. Hakikat pemerintahan adalah isi yang membentuk pemerintahan. Sedangkan prinsip adalah cara bertindaknya. Menurut hakikatnya, dalam suatu pemerintahan republik, kekuasaan tertinggi harus dimiliki oleh sekelompok orang atau keluarga-keluarga tertentu, bisa merupakan demokrasi jika lembaga rakyat memiliki kekuasaan tertinggi, atau aristokrasi jika hanya sebagian masyarakat yang memegang kekuasaan tertinggi. Dalam suatu pemerintahan monarki, kekuasaan tertinggi harus dimiliki penguasa, tetapi dalam pelaksanaannya, kekuasaan harus diatur oleh hukum yang sudah mapan. Sedangkan pemerintahan despotis, penguasa tunggal saja yang harus memerintah menurut kehendaknya serta pikirannya sendiri yang dapat berubah sesuai kebijakan pribadi sang penguasa .
Montesquieu sendiri menganggap republik sebagai bentuk negara terbaik, karena diperintah oleh rakyat banyak. Rakyat yang memegang kedaulatan dan memberikan mandat serta legitimasi kepada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah negara. Negara yang berbentuk republik memperlihatkan, rakyat memegang kekuasaan tertinggi, yang diatur oleh mekanisme pemilihan wakil-wakil rakyat atas nama rakyat banyak secara keseluruhan. Bagaimana dengan monarki? Meski diperintah beberapa orang aristokrat (bangsawan), monarki bisa saja tidak buruk asal saja penguasa-penguasa negara bersangkutan mematuhi hukum, menghormati rakyat yang dikuasai dan menghormati hak-hak istimewa kaum bangsawan: Sedangkan despotis merupakan bentuk negara terburuk. Negara despotis adalah negara yang diperintah oleh satu orang yang menentukan serta mengatur segala sesuatu berdasarkan kemauannya dan kehendaknya sendiri. Penguasa berkuasa mutlak dan tidak terbatas. Hukum berada di bawah kekuasaannya, sehingga ia dapat bertindak di luar hukum-hukum yang telah ditetapkan .
Teori lain dari Montesquieu tentang hukum adalah soal jenis-jenis hukum. Menurutnya, semua mahluk termasuk manusia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri. Pertama, hukum alam yang jelas tidak dapat diubah dan dipertentangkan. Kedua, hukum agama yang berasal dari Tuhan. Ketiga, hukum moral dari ahli fisafat dimana hukum ini dapat dibuat dan diubah. Keempat, hukum politik dan sipil. Hukum (hak-hak) politik berkaitan dengan struktur konstitusional, hubungan dari yang memerintah dengan yang diperintah, dan gabungan dari kekuatan, keunggulan, dan kekuasaan. Sedangkan hukum (hak) sipil merupakan hubungan keinginan-keinginan individu . Meski dua hukum tersebut merupakan aspek-aspek dari masyarakat yang sama, tapi tiap tipe merupakan produk dari negara dengan arah yang berbeda. `Hukum politik, merupakan produk political state yang bernuansa publik dan politik-konstitusional. Sedangkan `hukum sipil' adalah produk civil state yang bernuansa non-politikas .
Montesquieu juga membangun teorisasi tentang perbedaan antara hukum yang menetapkan kebebasan politik yang berkaitan dengan konstitusi, dan hukum yang menetapkan kebebasan politik yang berhubungan dengan warga negara. Kebebasan politik itu sendiri, menurut Montesquieu, tidak pernah absolut. Kebebasan politik yang terkait dengan konstitusi, adalah hak untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum. Sedangkan kebebasan politik yang berhubungan dengan warga negara, menunjuk pada ketenangan yang dinikmati warga negara karena keadaan yang aman. Untuk memiliki kebebasan ini, pemerintah harus diberi wewenang sedemikian rupa sehingga dapat memberi jaminan rasa aman pada setiap warga negara.
Tapi wewenang yang dimiliki pemerintah selalu berpeluang disalahgunakan. Untuk mencegah itu, kekuasaan negara tidak boleh tersentralisasi dan dimonopoli oleh seorang penguasa atau lembaga politik tertentu. Kekuasaan negara perlu dibagi-bagi. Inilah yang kemudian dikenal sebagai gagasan pemisahan kekuasaan negara. Gagasan pemisahan kekuasaan ini, semata-mata demi memperoleh kepastian bahwa kebebasan politik rakyat tidak diciderai. Sesuai dengan kosmologi Aufklarung, soal kebebasan memang merupakan hal penting dalam pemikiran Montesquieu. Gagasan tentang keharusan adanya jaminan kebebasan inilah yang mendorong Montesquieu memperjuangkan perlunya pembatasan kekuasaan lewat konsepnya yang amat terkenal, Trias Politica. Pengertian dasar Trias Politica adalah pengawasan (check and balances) dari suatu cabang pada cabang yang lain. Bagi Montesquieu, Trias Politica merupakan mekanisme yang dapat menjamin terwujudnya kehendak rakyat dalam sebuah masyarakat yang mempunyai pemerintah .
Seperti diketahui, perwujudan dari konsep TriasPoliticaMontesquieu, adalah adanya pembagian kekuasaan negara ke dalam fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. Montesquieu berpendapat, kekuasaan negara dipisahkan secara tegas menjadi tiga, kekuasaan perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif), dan kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang masing-masing kekuasaan itu dilaksanakan oleh suatu badan yang berdiri sendiri, maka hal ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari seorang penguasa . Pendeknya, Trias Politica mempersempit kemungkinan lahirnya pemerintahan yang absolutistis. Montesquieu menganggap pemisahan kekuasaan yang ketat di antara tiga kekuasaan itu, merupakan prasyarat kebebasan politik bagi warga negara. Meski gagasan trias politica sudah ada dalam pemikiran Locke dan Rousseau, namun Montesquieu menyempurnakannya dengan pemikiran-pemikirannya yang didasari atas pengamatannya selama ia hidup pada masa itu dan ketika la menjadi hakim kala itu.
Menurut Montesquieu, dengan adanya lembaga legislatif, kepentingan rakyat dapat terwakili secara baik. Dalam gagasan trias politica, rakyat diposisikan sebagai pemegang kekuasaan negara. Meski begitu, tidak berarti, Montesquieu menolak kekuasaan kaum aristokrat. la tetap mengakui hak-hak politik kaum bangsawan. Dengan demikian, tidak hanya rakyat yang memiliki wakil-wakilnya di parlemen, kaum bangsawan pun memiliki kamar sendiri dalam lembaga tersebut. Begitulah, dalam konsep Montesquieu, parlemen memiliki dua kamar, yaitu wakil-wakil rakyat dan kaum bangsawan.

Hukum itu Kehendak Etis Umum:
Teori Rousseau
Masih dengan tema `anti kekuasaan absolut', Jean Jacques Rousseau-seperti juga Locke-mengkonstruksi teorinya tentang hukum dalam konteks perlindungan individu . Sesuai semangat Aufklarung, Rousseau melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis. Kebebasan bagi si individu ini adalah dasar ontologi hidupnya. Itulah sebabnya, hukum sebagai tatanan publik hanya bisa dipahami dalam realitas dasar itu.
Rousseau dalam membangun teorinya tentang hukum beranjak dari sebuah pertanyaan dasar, mengapa manusia yang semula hidup dalam keadaan alamiah, bebas, dan merdeka itu, rela menjadi oknum yang `terbelenggu' oleh aturan? Karena hukum itu milik publik dan karena itu obyektif sifatnya, begitu kata Rousseau. Lalu mengapa hukum itu milik publik dan bersifat obyektif? Kata Rousseau, karena hakikat asasi dari hukum adalah wujud volonte generale! la bukan kemauan golongan tertentu (volonte de corps). Bukan pula kemauan dan kepentingan orang-orang yang hidup dalam segerombolan yang tidak teratur (volonte de tou.r). Dan yang pasti bukan kemauan dan kepentingan pribadi orang per orang (volonte particuliere). Hukum adalah wujud kemauan dan kepentingan umum (individu serentak kelompok) yang hidup teratur dalam sistem politik negara . Ya, hukum adalah wujud volonte generale.
Sebagai manifestasi volonte generale, hukum itu berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi, termasuk milik pribadi. Dalam hukum yang demikian itu, implisit hak dan kebebasan tiap orang tetap dihormati, sehingga tetap merasa bebas dan merdeka seperti sedia kala. Nah, hidup dalam tertib hukum tersebut dirasa jauh lebih baik ketimbang suasana kehidupan sebelumnya-di mana masing-masing orang berlomba untuk diri sendiri tanpa secara terencana membangun kepentingan bersama (volonte de tous). Pendeknya, hidup dalam tertib hukum niscaya membawa manusia pada keadilan dan kesusilaan . Dalam keadilan dan kesusilaan tersebut, kebebasan masih tetap ada, hanya saja bukan tanpa batas, melainkan dibatasi oleh kemauan umum (volonte generale). Bisa dimengeri jika Rousseau menempatkan hukum sebagai inti dari semua kehidupan sosial yang adil dan bermoral.
Untuk memastikan suatu aturan hukum benar-benar mencerminkan volunte generale, Rousseau mensyaratkan agar perlu adanya badan legislasi-yang merupakan representasi rakyat. Tapi badan itu tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol karena bagaimanapun bahaya volonte de corps dan volonte particuliere selalu menghantui setiap kekuasaan. Ada semacam kredo yang harus dipatuhi oleh badan legislasi, yakni `setia pada volonte generale'. Ketika suatu rancangan peraturan diajukan, yang menjadi isu utama, bukan badan itu setuju atau tidak setuju, melainkan apakah rancangan itu selaras dengan volonte generale atau tidak. Ini syarat mutlak, karena la akan mengikat individu-individu yang punya otonomi dan bebas.
Menurut Rousseau, suatu norma hukum memiliki nilai kewajiban dan secara absah mengikat, bukan melulu karena diciptakan dengan partisipasi bebas dari manusia yang tunduk padanya. Lebih dari itu, ia juga harus benar-benar mencerminkan kemauan bersama dari orang-orang yang bebas tersebut. Rakyatlah yang berdaulat, bukan badan legislasi itu sendiri. Jelaslah, bagi Rousseau, hukum merupakan suatu "pribadi publik" dan "pribadi moral" yang keberadaannya berasal dari kontrak sosial untuk membela dan melindungi kekuasaan bersama, di samping kekuasaan pribadi dan milik pribadi .

Hukum itu Kaidah Menggapai Simpati:
Teori David Hume
Seolah menjadi murid setia Hobbes, David Hume memandang manusia sebagai `oknum Barbar'. Bagi Hume, manusia itu tidak memiliki kecendikiaan untuk berbuat adil. Oknum Barbar itu--dari sananya-tidak memiliki kapasitas menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Tidak hanya itu, la juga tidak mempunyai kekuatan pikiran yang memadai untuk berpegang teguh pada kepentingan umum dan kepentingan yang lebih luas .
Oleh karena itu, kata Hume, kita butuh hukum. Untuk apa? Untuk apa lagi kalau bukan untuk mendorong pada preferensi akan keadilan. Keadilan model Hume bertumpu pada keterjaminan pemilikan yang wajar. Artinya: (i) Pemilikan barang tidak boleh berlebihan, (ii) Pemilikan tersebut harus diperoleh secara halal, dan (iii) Pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan. Unsur terakhir adalah tepati janji. Inilah moral hukum alam versi Hume .
Menurut Hume, tindakan manusia ditentukan oleh hasrat, bukan oleh rasio. Rasio-penilaian tentang yang benar-salah, tidaklah cukup menjadi motif bagi kehendak. la dapat berfungsi jika bersangkut paut dengan hasrat. Bagi Hume, hasrat yang perlu ditumbuhkan pada manusia agar tercipta keadilan adalah hasrat melembagakan kebahagiaan. Hukum harus berfungsi sebagai stimulus untuk menggugah orang pada kehendak membagi kebahagiaan itu. Hukum, demikian Hume, memperoleh sebagian besar nilai kewajibannya, justru dari manfaat yang dapat disumbangkannya bagi keadaban si manusia itu, yakni membagi kebahagiaan .
Sebab, menurut Hume segala sesuatu yang memberi kebahagiaan bagi masyarakat, akan dengan sendirinya disambut dengan aprobasi (penerimaan baik). Sesuatu yang berguna, akan memberi kebahagiaan, karena keadaan yang memberi kegunaan merupakan sumber pujian dan kemauan baik. Ia merupakan sumber tunggal penghargaan tinggi yang diberikan pada keadilan, ketaatan, penghormatan, kesetiaan, dan kesucian . Kebahagiaan tidak bisa dipisahkan dari semua kebajikan sosial, kemanusiaan, kemurahatian, kedarmawanan, kesantunan, toleransi, welas-asih, dan sikap tidak berlebihan.
Pendeknya, memberi kebahagiaan merupakan landasan utama moral yang mengacu pada umat manusia dan kepada sesama mahluk. Kebaikan bersama, kedamaian, keselarasan, dan ketenteraman dalam masyarakat; pendek kata, semua yang hendak diwujudkan dalam aturan hukum dalam menegakkan keadilan, sesungguhnya berporos pada satu hal, yakni memberi dan membagi kebahagiaan pada orang lain. Bisa dimengerti, jika bagi Hume, kaidah manusia yang simpati merupakan pilar dari aturan hukum.
Jadi dapat disimpulkan, hukum bagi Hume merupakan alat pencapaian cita-cita sosial. Hukum harus mampu menggugah si `barbar' untuk termotivasi mengamalkan kebahagiaan, lebih tepat membagi kebahagiaan pada sesamanya. Membagi kebahagiaan itu, bukan dengan cara ala Sinterklas. Toh manusia itu cinta diri. Cara yang dimaksud Hume adalah melalui prinsip-prinsip hukum alam tadi, yakni keterjaminan pemilikan, tidak menguasai barang secara berlebihan, perolehannya harus dilakukan secara halal, pemindahannya harus berdasarkan kesepakatan, dan berusaha setia pada janji. Di sinilah dimungkinkan hadirnya keadilan dalam hidup bersama.

Hukum itu Penyokong Kebahagiaan:
Teori Jeremy Bentham
Teori dari Jeremy Bentham ini adalah individualisme utilitarian. Katanya, alam telah menempatkan umat manusia di bawah pemerintahan dua penguasa, yakni suka dan duka. Untuk dua raja itu, manusia bergumul tentang apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang mesti dilakukan. Dua raja itu juga menentukan apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan, dan apa yang kita pikirkan .
Lalu `siapa' raja suka dan duka itu? Kekayaan, kekuasaan, nama baik, perbuatan baik, persahabatan, pengetahuan, dan persekutuan, itulah profil si `raja suka'. Kebalikan dari itu adalah `raja duka'. Tapi ditekankan oleh Bentham, kemungkinan ultim dari `si raja suka' adalah kebahagiaan. Seluruh tindak tanduk manusia, disadari ataupun tidak, sesungguhnya tertuju untuk meraih kebahagiaan itu . Menurut Bentham, apa yang cocok digunakan, atau cocok untuk kepentingan individu adalah apa yang cenderung untuk memperbanyak kebahagiaan. Demikian juga, apa yang cocok untuk kepentingan masyarakat adalah apa yang cenderung menambah kesenangan individu-individu yang merupakan anggota masyarakat itu. Inilah yang mesti menjadi titik tolak dalam menata hidup manusia, termasuk hukum .
Hukum sebagai tatanan hidup bersama harus diarahkan untuk menyokong si `raja suka', dan serentak mengekang si `raja duka'. Dengan kata lain, hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Tapi bagaimana agar hukum benar-benar fungsional menyokong kebahagiaan itu? Menciptakan kebebasan maksimum bagi individu agar dapat mengejar apa yang baik baginya, begitu kata Bentham. Cara yang paling efektif untuk itu adalah memelihara keamanan individu. Hanya dengan kebebasan dan keamanan yang cukup terjamin, si individu dapat maksimal meraih kebahagiaan .
Doktrin Bentham tentang manusia, sebenarnya sudah kita temukan pada pemikiran Hume sebelumnya bahwa semua tindakan manusia terkait dengan hasrat. Bahkan moral dan hukum sesungguhnya berbasis manfaat. Seperti halnya Hume, Bentham juga yakin, logika yang memandu ilmu hukum adalah logika kehendak. Bagi keduanya, ilmu hukum merupakan ilmu perilaku. Meski demikian, Bentham menolak asumsi Hume tentang kebajikan dan kemanusiaan yang dimotivasi oleh simpati. Menurut Bentham, tiap manusia sibuk dengan suka duka sendiri, atau dengan kepentingannya sendiri.
Lalu, kalau setiap orang sibuk dengan kepentingan sendiri, bagaimana bisa hidup bersama secara adil? Bukankah jebakan hedonisme melekat dalam diri si pemburu kenikmatan? Apalagi dalam banyak hal, yang paling nikmat dan menguntungkan untuk saya, tidak selalu berarti demikian bagi orang lain. Untuk yang lain, barangkali hal yang sama itu justru merugikan dan mencelakakan. Di sini terbuka muncul kekacauan moral dan ketidakadilan. Bentham sadar betul akan segala kemungkinan itu. Karenanya, ia memberi solusi lewat jalan: `ukuran umum kebahagiaan'. Dan itu harus dilakukan lewat hukum. Hukum harus mengusahakan kebahagiaan maksimum bagi tiap-tiap orang. Inilah standar etik dan yuridis dalam kehidupan sosial. Hak-hak individu harus dilindungi dalam kerangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya .
Bentham sadar betul, pengejaran yang tak terkekang akan kebahagiaan masing-masing individu, dapat berujung pada apa yang oleh Hobbes disebut homo homini lopus. Lagi pula, egoisme seseorang yang tak terkekang (dan cuek pada orang lain), akan membenarkan hal yang sama menimpa dirinya, dan dengan demikian akan mengurangi kebahagiaan diri si individu itu sendiri. Karena itu, Bentham mengintroduksi konsep `tahu diri'. Dan sinilah Bentham menghubungkan hak-hak individu (yang tahu diri) dengan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Ini memungkinkan terwujudnya kebahagiaan maksimum bagi orang-orang lain, sekaligus (secara tidak langsung) kebahagiaan bagi si individu secara pribadi. Dengan `tau diri', tiap-tiap orang saling toleran akan inisiatif dan kebebasan masing-masing dalam meraih kebahagiaan. Masing-masing individu tau mana titik toleransi yang harus dipertahankan dalam meraih kebahagiaan serta menghindari kesusahan. Titik dimaksud, adalah ini: keuka tiap orang menjaga dirinya sendiri, ketika tiap orang tau hak dan kewajibannya sebagai sesama individu-individu yang butuh kebahagiaan, dan ketika tiap orang sadar bahwa tidak seorang individu pun mau menderita, maka kepentingan umum pun (yang tidak lain adalah individu-individu dalam masyarakat) juga akan terjamin. Oleh karena itu, hukum harus mampu menyokong penghidupan materi yang cukup pada dap individu, mendorong persamaan, memelihara keamanan, dan meraih hak milik .
Harus diingat, kepercayaan Bentham adalah kepercayaan seorang individualis, bukan seorang sosialis. Sebagai seorang warga dari kelas menengah di Inggris yang sedang tumbuh saat itu, la percaya pada inisiatif individu dan semangat `persaingan fair' dalam perekonomian. Prinsip utamanya adalah `setiap orang mempunyai kebebasan yang penuh untuk mengejar kepentingannya, dan serentak memberi kebebasan kepada orang lain untuk mengejar kepentingan dirinya'. Seperti kita ketahui, empat kredo utama yang menopang semangat `persaingan fair' itu, adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak untuk memiliki, dan hak untuk mengejar kebahagiaan. Pertama, setiap orang mempunyai hak untuk hidup dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang diperlukan untuk dapat tetap bertahan hidup (suruive). Kedua, setiap orang mempunyai hak untuk dengan sebebas-bebasnya berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya terbaik untuk survive. Ketiga, setiap orang berhak untuk bekerja keras sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya sendiri dan memiliki serta menikmati hasil-hasilnya. Keempat, setiap orang berhak untuk hidup bagi kepentingan dirinya sendiri dan berupaya untuk mewujudkan cita-citanya sendiri.
Begitulah, bila setiap orang diberi kebebasan seluas-luasnya untuk melaksanakan prinsip itu, maka seluruh masyarakat akan berkembang semaksimal-maksimalnya (dan itulah kepentingan umum). Setiap orang mempunyai kesempatan untuk memperoleh apa yang diinginkan dan dibutuhkan. la tidak perlu menjadi beban dan parasit bagi orang lain. Egoistis, tidak buruk. Sebaliknya, ia (juga) memiliki nilai kebaikan yang tertinggi. `Tau diri yang ditawarkan Bentham, sebenarnya dalam kerangka kepentingan individu yang demikian itu, yaitu ketika tiap orang saling menghormati hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.
Teori egoistis Bentham, memang mengundang kritik. Orang pertama yang tampil menyerang adalah muridnya sendiri, yakni John Stuart Mill. Menurut Mill, terlalu naif asumsi Bentham yang menganggap seolah tidak ada pertentangan antara kegunaan individu dan kegunaan umum . Juga terlampau dangkal menganggap manusia hanya dikendalikan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis kesenangan diri melulu. Kalau memang begitulah manusia itu, sangat tidak bisa dimengerti sama sekali, mengapa individu mengekang usaha-usahanya mencapai kebahagiaan demi kepentingan orang lain.
Bagi Mill, gagasan Bentham tentang `tau diri’, sebenarnya bermakna setengah menutupi pengakuan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat eselon nilai-nilai, yaitu ada nilai-nilai yang lebih tinggi dan nilai-nilai yang lebih rendah. `Tau diri tersebut, di mata Mill, merupakan perwujudan nilai-nilai yang tinggi, yang berwujud rasa adil. Perasaan individu akan keadilan, membuat la mempertimbangkan kepentingan orang lain, bahkan menempatkannya sebagai yang utama. Karena rasa keadilan inilah, maka orang menyesalkan tindakannya yang tidak baik kepada orang lain. Di bawah rasa keadilan, perilaku kita akan sedemikian rupa sehingga semua mahluk berakal dapat menyesuaikan keuntungan dengan kepentingan orang lain .
Ini menunjukan bagaimana Mill menghubungkan keadilan dengan kegunaan umum, dan jelaslah pendekatan murid Bentham ini berbeda dengan pendekatan gurunya. Jika tekanan Bentham terletak pada kepentingan individu yang egois, maka Mill pada kepentingan umum. Maka bisa dipahami, jika Mill terkenal dengan ungkapannya yang semisal: the greatest good for thegreatest number.
Pertentangan antara kepentingan sendiri dengan kepentingan bersama, dilakukan Mill dengan mengadu domba naluri intelektual dan naluri non-intelektual dalam diri manusia. Keperdulian pada kepentingan umum, menunjuk pada naluri intelektual, sedangkan pengagungan kepentingan sendiri menunjuk pada naluri non-intelektual. Institusi sosial dikatakan adil, menurut Mill, jika kegunaan diabdikan untuk memaksimilasi keuntungan sebanyak mungkin orang (rata rata orang).
Utilitarianisme Mill sendiri mendapat kritik tajam dari John Rawls . Teori Mill tentang utilitarianisme "rata-rata" (average utilitarianism), sesungguhnya lebih berbahaya dari yang disangka orang. Menurut Rawls, dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme ala Mill itu, orang-orang akan kehilangan harga diri, dan lagi pula, pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Boleh saja orang diminta berkorban demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan tersebut pertama-tama diminta dari orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat .
Susunan dasar masyarakat di mana pun, kata Rawls, selalu ditandai oleh ketimpangan. Ada yang lebih diuntungkan, dan ada yang kurang diuntungkan. Situasi ini butuh penanganan yang adil. Dan keadilan itu bukan terletak pada ada tidaknya simpati seperti dikira Bentham, juga bukan dengan memaksimalkan kegunaan bagi sebanyak mungkin orang seperti diduga Mill. Sebaliknya, keadilan justru terletak pada `kepemihakan' yang proporsional terhadap mereka yang paling tidak beruntung. Tapi kepemihakan itu tidak boleh membuat orang lain menderita, dan juga tidak boleh membuat yang bersangkutan menjadi parasit.
Oleh karena itu, hukum sebagai salah satu unsur susunan dasar masyarakat, harus mengatur sedemikian rupa berdasarkan dua prinsip. Pertama, menetapkan kebebasan yang sama bagi tiap orang untuk mendapat akses pada kekayaan, pendapatan, makanan, perlindungan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, hak-hak, dan kebebasan. Kedua, prinsip perbedaan dan prinsip persamaan atas kesempatan (the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity ). Inti the difference principle adalah perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Sedang the principle of fair equality of opportunity menunjuk kesempatan yang sama bagi semua orang (termasuk mereka yang paling kurang beruntung) untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas .
Menurut Rawls, prinsip yang pertama harus berlaku terlebih dahulu sebelum prinsip yang kedua. Demikian juga, persamaan yang adil atas kesempatan secara leksikal harus berlaku lebih dahulu dari pada prinsip perbedaan. Hanya setelah kebebasan disediakan sepenuhnya, kita dapat bebas pula mengarahkan usaha mengejar tuntutan yang terdapat dalam prinsip berikutnya, yaitu persamaan yang adil atas kesempatan dan prinsip perbedaan. Dengan pengelolaan keadilan seperti ini, perkembangan bersama bisa berjalan terus tanpa distorsi, dan orang-orang yang kurang beruntung tidak akan kehilangan harga diri.

3.5. Teori Hukum Abad Ke-19

Situasi zaman abad ke-19 ditandai oleh beberapa kecenderungan utama. Pertama, terjadinya revolusi sosial ekonomi, terutama akibat revolusi industri. Revolusi ini selain membawa perkembangan ekonorni yang luar biasa, tetapi juga menimbulkan masalah baru di bidang sosial dan ekonomi. Ini ditandai munculnya kelas-kelas baru yang berbeda menurut kemampuan ekonominya, yakni kaum buruh dan kaum industrialis. Kaum industrialis berkuasa secara penuh atas kaurn buruh dan seringkali memerasnya. Situasi ini menjadi landasan teori `kritis Marx' dengan mengajukan pedoman untuk mengubah situasi masyarakat yang timpang ini menuju tatanan egalitarian.
Kedua, munculnya penolakan terhadap rasionalisme universal abad sebelumnya (yang masih dilanjutkan Hegel di abad ke-19) yang dianggap cenderung mengabaikan ciri khas suatu masyarakat atau bangsa. Padahal latar belakang kehidupan suatu bangsa merupakan sejarah di mana orang-orang membangun suatu kehidupan bersama bagi mereka sendiri. Mewakili kecenderungan ini, muncul historisme dengan tokoh utamanya yaitu Savigny. `Tertib hidup' manusia yang ditawarkan Savigny adalah setia pada hukum sejati yang berbasis volksgeist. Tapi ada juga sanggahan terhadap Savigny, yakni dari Jhering lewat teori `akomodasi dan manfaat'. Ketiga, hampir bersamaan dengan historisme, muncul pula pemikiran evolusionisme yang berusaha melacak perkembangan kebudayaan manusia dari tradisional ke modern. Pemikir utama arus ini adalah Sir Henry Maine dan Durkheim.
Keempat, menguatnya kosmologi positivisme. Semangat ilmiah dan rasionalitas yang tumbuh pada abad ke-18, kian kuat pada abad ke-19. Muncul kegairahan saintisme di segala bidang, termasuk di bidang hukum. Kosmologi positivisme ini berpengaruh terhadap hukum dalam tiga bentuk: (i)e ilmu hukum positif. (ii). Positivisme Sosiologis yang berusaha melihat hukum sebagai gejala sosial. (iii). Ajaran Hukum Umum yang berusaha menggunakan metode empiris dalam menemukan prinsip-prinsip hukum yang dianggap universal melalu studi perbandingan antar tata hukum positif.

Hukum itu Kepentingan Orang Berpunya:
Teori Karl Marx

Karl Marx dapat dikatakan orang pertama, dan dengan amat jelas serta terperinci menjelaskan betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia. la mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia. Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas. Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada di baliknya . Tidak ada satupun peristiwa sejarah di dunia ini yang tidak dapat dijelaskan dengan kategori-kategori kepentingan ekonomi. Perang, revolusi, pemberontakan, bahkan penjajahan selalu mempunyai motif-motif ekonomi.
Hukum pun tidak lepas dari ekonomi. Menurut Marx, hukum adalah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa peraturan di bidang perburuhan cenderung menggelisahkan buruh? Menurut Marx, karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum, menurut Marx, bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan `orang berpunya'. la tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka . Hukum merupakan salah satu unsur ideologi kelas, dan karenanya menjadi pemicu konflik. Bahkan merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya alienasi . Begitulah kira-kira inti teori Marx tentang hukum.
Kiranya bukan hanya isi teorinya saja yang mencengangkan. Kerangka analisisnya juga begitu menarik, lagi bernas. la meletakkan analisis tentang hukum dalam bingkai `infra-struktur-supra-struktur', atau `struktur bawah' dan `struktur atas'. Infra-struktur adalah fakta hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Hubungan-hubungan ekonomi itu mcnjadi faktor dctcrminan tcrhadap `supra-struktur' yaitu kelembagaan-kelembagaan sosial non-ekonomi, seperti hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, dan lain sebagainya.
Dalam masyarakat kapitalis (yang menjadi obyck kajian Marx), hubungan-hubungan ekonomi (dalam struktur bawah) ditandai oleh ketimpangan. Barisan pemilik modal memegang kendali ekonomi. Mereka tidak hanya menguasai alat-alat produksi, tetapi juga mendapat keuntungan lebih lewat eksploitasi tenaga para buruh. Bahkan mereka mengendalikan kchidupan buruh, misalnya lewat penentuan jam kerja dan upah. Tidak hanya itu, nilai barang yang diproduksi oleh buruh, tidak lagi berada di tangan buruh melainkan ditentukan sepenuhnya oleh pemilik modal.
Hubungan-hubungan ekonomi yang timpang seperti ini, justru menentukan warna lembaga-lembaga sosial dalam `struktur atas'. Semua unsur dalam struktur atas, entah agama, hukum, politik, maupun ideologi, justru meneguhkan dan menjadi cerminan belaka dari apa yang terjadi dalam struktur bawah. Aturan hukum hanya berisi muatan-muatan kepentingan pemilik modal. Demikian juga agama, politik, dan ideologi hanya menjadi alat legitimasi sang pemilik modal. Oleh karena itu, semua tatanan di `bangunan atas' membungkus ideologi kelas yang bias, yakni memihak pada kepentingan pemilik modal. Dan itu menjadi tugas negara. Itulah konteks `teori kritis' Marx tentang hukum.
Kritik Marx itu dilanjutkan oleh Marxian kontemporer. Dengan bertolak dari the class character of lam, barisan Marxian ini mengkritik ideologi umum yang memandang hukum sebagai bangvnan nilai yang diterima secara konsensus dan intersubyektif. Tidak benar, kata mereka. Hukum itu bukan lembaga yang obyektif. Ia bukan institusi netral yang bebas nilai.
Bahwa riil orang tunduk pada hukum, bukan karena nilai kemaslahatannya, tapi semata karena kesadaran palsu (false coraciorrsrless) yang berhasil ditanamkan oleh si kembar siam, pengusaha dan penguasa. Aslinya, hukum itu wujud aspirasi dan kepentingan kelas `orang berpunya'. la merupakan alat penindasan kelas borjuis. Oleh karenanya, la membungkus konflik kelas. Ya, membungkus disequality dan disequilibirium.
Karena hanya melayani maunya kelas tertentu, maka hukum benar-benar berfungsi sebagai alat kelas. Tekanan Marwan kontemporer pada soal ini, melahirkan teori instrumentalis tentang hukum. Hukum dilihat sebagai alat dominasi, alat penindasan, dan penyebab penderitaan. Di mana-mana dalam masyarakat yang dijalari ekonomi kapitalis, hukum hanya berwujud mekanisme dari penindasan dan dominasi ideologi, alat bagi kelas `orang berpunya' dan sebagai kontrol kepentingan politik serta ekonomi dari kelas tersebut. Di tangan penguasa yang berselingkuh dengan pemilik modal, hukum akhirnya tampil sebagai the iron boxing and the velvetglove (tinju besi berselubung kain beludru). Iron boxing merupakan realitas hukum, sementara kiasan velvet glove adalah selubung penutup kebohongan dari hukum .
Meski tidak sekeras kaum Marxian kontemporer, barisan kaum kritis Mazhab Frankfurt) uga memberi kritik pada hukum. Hukum sering tampil sebagai idiom belaka. Kata mereka, penggunaan hukum dalam masyarakat cenderung diarahkan pada dua penjuru yang menyesatkan. Di satu pihak, hukum dikampanyekan (oleh penguasa) sebagai piranti yang memainkan peranan penting dalam pros es stabilitas. Padahal agenda tersembunyi di balik itu adalah mempertahankan status quo. Pada sisi lain, hukum dimitoskan berposisi sebagai administrasi keadilan, sesuatu yang alamiah, dan tidak dapat diubah-ubah. la ibarat suatu kekuatan suci yang datang dari langit dengan daya dobrak yang serba misterius . Inipun sebenarnya menyembunyikan agenda tertentu, yaitu menjaga privilese kelas-kelas yang memetik keuntungan dari kemapanan yang ada. Eksponen Mazhab Frankfurt menyebut dua sindrom itu sebagai idiom syncration.
Menyatakan Marx sebagai filsuf kritis, bukan hanya penamaan untuk gagah-gagahan. Marx memang peletak aliran kritis dalam filsafat sosial. Pemikirannya menjadi ilham bagi barisan aliran kritis yang ada. `Kritik', menjadi term yang khas dalam pcmikiran ilmu sosial, justru karcna jasa Marx. )ika kita mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial (yang awalnya berkembang di Barat), tidak akan terkejut jika Marx secara intelektual memang beraliran kritis .
Marx menghasilkan sebuah analisis ilmiah yang mempertautkan kritik dengan krisis ekonomi yang objektif dalam era industrialisasi. Dalam analisisnya itu, menurut Habermas, Marx tidak membuat penilaian moral atas tingkah laku para pemilik modal individual, melainkan menunjukkan bagaimana eksploitasi bcrlangsung karena kedudukan mereka dalam proses produksi. Marx lalu menunjukkan bahwa krisis-krisis dalam sistcm kapitalis juga muncul dari proses akumulasi modal ini .
Demikianlah dalam kritik ekonomi politiknya, Karl Marx berupaya menganalisis proses-proses ekonomi dalam sistem kapitalis sebagai kompleks krisis yang akan menghancurkan sistem kapitalis itu sendiri yang kemudian akan melahirkan masyarakat sosialis. Marx melalui teori sosialnya, menghasilkan sebuah kritik yang ampuh pada zamannya, justru dengan memberi basis empiris pada filsafat yang mempertautkan kritik dan krisis .
Di lingkungan Frankfurter Schule, kritik dipakai sebagai nama teori mazhab ini. "Teori Kritis", demikian nama teori itu, membidik masalah positivisme ilmu-ilmu sosial sebagai sasaran kritik. Yaitu, anggapan bahwa ilmu-ilmu sosial bebas nilai (value free) terlepas dari praktek sosial dan moralitas, dapat dipakai untuk prediksi, bersifat objektif, dan sebagainya. Anggapan semacam itu mengental menjadi kepercayaan umum, bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan macam itu, hanya bisa diperoleh dengan metode ilmu-ilmu alam.
Dalam tulisannya yang berjudul Tradisionelle und Kritische Theorie, Horkheimer dengan mengkritik positivisme ini. la menyebutnya sebagai ideologi. Positivisme dengan dalil obyektivitasnya, tidak kurang dari saintisme yang menurut Horkheimer menyembunyikan dukungan terhadap stastus quo masyarakat di balik kedok objektivitas. Segala bentuk ilmu, demikian Hoekheimer dan Habermas, dijuruskan oleh kepentingan kognitif, dan karenanya tidak bebas nilai, termasuk teori kritis yang didorong oleh kepentingan emansipatoris. Teori Kritis, dijelaskan sebagai teori yang memihak praksis emansipatoris masyarakat.
Bagian penting esai Habermas: Between Philosophy and Science: Marxism as Critique, memusatkan perhatian pada ciri dasar kritik. Di situ dijelaskan bagaimana Habermas memahami kekuatan emansipatoris dari kritik, baik dalam hubungannya dengan metodologi maupun kondisi sejarah. Dijelaskan, metode kritik berdiri di antara ilmu dan filsafat, dan juga kritik berkaitan dengan kesadaran akan krisis sosial dalam kondisi historis tetentu.
Dalam filsafat sejarah, kritik pun dipahami dalam kaitan dengan krisis. Kritik mendapat sifat pragmatisnya dalam alam pikiran abad XIX, yaitu untuk mengatasi krisis menuju keadaan yang lebih baik. Dengan kata lain, menurut Habermas, kritik menjadi kemampuan rasional untuk mengatasi krisis. Dalam konteks ini, kritik bukan sekedar keputusan pilihan, melainkan lebih merupakan usaha untuk mengatasi krisis. Oleh karena itu, kritik adalah usaha-usaha rasional yang kesahihannya bukan hanya ditentukan oleh ketajaman pikiran (seseorang) dalam mengalisis situasi, melainkan juga oleh sukses mewujudkan kritik itu dalam praktik untuk mengatasi krisis.
Agenda gerakan merubah keadaan, menjadi salah satu unsur sangat penting dalam teori kritis. Teori kritis tidak hanya perduli pada `wacana yang kritis'. Lebih dari itu, dan inilah yang utama, adalah menyiapkan agenda untuk merubah keadaan dengan aksi nyata. Sejak Marx, teori kritis adalah `menggugat dan bertindak'. Tidak kebetulan jika Marx menyertakan revolusi sebagai komponen utama dalam kritiknya terhadap masyarakat kapitalis.
Kritik, bertolak dari sebuah kebutuhan untuk perubahan menuju yang lebih baik. Ada situasi negatif, dan ada kepentingan untuk mengatasi situasi itu. Dalam khasanah pemikiran para pemikir kritis, khususnya sejak Horkheimer, kritik selalu bersifat: memihak, historis, dan terkait dengan praksis . Memihak, artinya ada pemihakan terhadap yang lebih baik, ada preferensi nilai menuju yang lebih baik. Historis, bermakna sebuah kritik zaman/kritik sejarah. Artinya, mengoreksi keadaan zamannya. Sedangkan praksis, menunjuk pada keputusan etis dan politis untuk menciptakan situasi yang lebih baik lewat aksi nyata.
Lalu apa agenda aksi Marx? Realisasi sebuah masyarakat yang dianggap sebagai ujung terakhir dari proses sejarah, yaitu masyarakat egalitarian. Ya, masyarakat komunis. Menurut Marx, sejarah manusia merupakan sejarah dari pertentangan kelas. Di zaman feodal, tcrjadi pertentangan antara kelas bangsawan dengan kelas petani. Di zaman perbudakan, muncul pertentangan antara pemilik budak dengan budaknya. Sedangkan di zaman kapitalisme, kelas pemilik modal melawan buruhnya .
Pertentangan kelas itu baru berhenti, pada saat terciptanya masyarakat komunis, di mana kelas buruh berkuasa. Dalam masyarakat ini, tidak ada lag, eksploitasi, karena semua diatur secara bersama. Tidak ada lagi pemilikan modal (alat produksi) secara pribadi, baik olch individu maupun kelompok. Modal dimiliki secara kolektif oleh semua anggota masyarakat. Dengan demikian, tidak ada lagi perbedaan antara buruh dan majikan.
Semua orang adalah buruh sekaligus majikan. Hasilnya, tidak ada pertentangan kelas di masyarakat. Inilah akhir sejarah umat manusia. Hukum yang dikendalikan oleh diktatur proletariat dibutuhkan untuk membantu kaum buruh merealisasi sejarah, yakni masyarakat komunis yang sempurna. Hukum itu harus dipegang oleh diktator proletariat supaya bisa cepat dan efektif melaksanakan misi proletariat. Sisa-sisa musuh harus ditumpas habis. Dan itu menjadi tugas hukum dan negara. Setelah semua itu terealisir, maka hukum dan negara tidak dibutuhkan lagi. Kehidupan komunis bisa berjalan baik tanpa hukum dan tanpa negara.

Hukum itu Jiwa Rakyat:
Teori Savigny

Konsep Hegel tentang `ide semesta' (roh universal), rupanya mengusik para penulis Jerman yang beraliran romantik-historis. Bagi mereka, tidak ada yang namanya jiwa universal' itu. Yang ada justru jiwa bangsa'. Kalau pun toh `jiwa universal' itu ada, la tidak bisa menegasi `jiwa bangsa' di tingkat lokal. `Jiwa bangsa' itu merupakan satuan mandiri, dan tidak tunduk pada jiwa universal' ala Hegel. Keistimewaan `jiwa bangsa' inilah yang digagas oleh Gustav Hugo (1764-1861) yang dikembangkan secara penuh oleh Friedrich Carl von Savigny (1779-1861).
Di bawah term volkgeist , Savigny mengkonstruksi teorinya tentang hukum. Menurut Savigny, terdapat hubungan organik antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum hanyalah cerminan dari volkgeist. Oleh karena itu, `hukum adat' yang tumbuh dan berkembang dalam rahim volkgei.rt, harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu, tidak dibuat. la harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum sejati itu.
Jelaslah, tugas penting di bidang hukum bukan sibuk membuat aturan ini dan itu. Sebaliknya, yang perlu digiatkan adalah menggali mutiara nilai hukum dalam kandungan kehidupan rakyat . Begitu juga, persoalan utama dalam pengelolaan hukum, bukan membentuk asas dan doktrin sccara artitisial. Tapi mcnemukan asas dan doktrin dalatn nilai-nilai hukum yang hidup. hita harus mengenal, mcnemukan, dan memahami nilal'-nilai dari hukum sejati itu dalam kancah kehidupan bangsa pcmiliknya. Dan untuk memahami nilai-nilai hukum itu, tidak tersedia cara lain kecuali menyelami inti jiwa dari rakyat. Jiwa rakyat itu, bukanlah scsuatu yang dckadcn chin statis. la merupakan mosaik yang terkonstruksi dari proses sejarah, (Ian akan tcrus berproses sccara historis. Oleh karcna itu, perlu kclengkapan metode budaya dan historis.
Dalam catatan Huijbers, teori Savigny- ini secara khusus hendak melawan rencana pcmbentukan hukum nasional untuk semua negara Jerman (yang masih tcrpisah-pisah pada waktu itu). Rencana itu adalah membuat sebuah hodeks Hukum Jerman, karena ncgara-negara lain (di daratan I:ropa) telah memiliki hodeks hukumnya sendiri. Beberapa hodcks yang ada pada waktu itu adalah: hodcks Prussia tahun 1794 (atas pcngaruh Wolft), hodeks Prancis tahun 1804 (pengaruh Humanisme dan Rousseau), dan Itiodcks Austria tahun 1811 (pengaruh Kant) .
Seperti dikatakan di atas, bukan hanya alasan teoretis yang dikemukakan Savigny. Keberatan Savigny terhadap kodifikasi hukum Jerman juga didasarkan pertimbangan yang lebih realisus. Menurutnya, kodifikasi hukum selalu membawa serta suatu efek negatif, yakni menghambat perkembangan hukum. Apa sebab? Menurut Savigny, sejarah itu berjalan terus, dan berkembang setiap saat. Dengan adanya pembakuan kehidupan lewat kodeks hukum yang tidak mudah berubah, maka lambat laun dinamika kehidupan akan juga terhambat. Bahkan suatu saat, dapat menghentikan sejarah. Lagi pula, kata Savigny, untuk merumuskan hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa, bukanlah pekerjaan yang sekedar tekrus yuridis belaka. Perlu ada riset mendalam mengenai apa sebenarnya semangat jiwa bangsa itu, dan manakah keyakinan-keyakinan bangsa yang dapat menjadi dasar suatu tata hukum yang memadai. Jika ini dilalaikan, maka bahaya sudah di depan mata, yakni tercipta jurang antara jiwa bangsa dengan hukum yang diciptakan negara.
Memang dalam tesis Savigny, hukum itu sejak awal sejarah melekat ciri nasional. Seperti halnya bahasa, adat-istiadat, dan konstitusi, ia khas bagi rakyat. Fenomena hukum tidak berdiri sendiri. la disatukan dalam watak rakyat berkat adanya kesatuan pendirian dari rakyat itu sendiri. Hukum tidak muncul secara kebetulan, tapi lahir dari kesadaran batiniah rakyat. Itulah sebabnya, hukum berkembang seturut perkembangnya rakyat, dan akhirnya lenyap tatkala rakyat kehilangan kebangsaannya. Jadi sejatinya, hukum itu tidak dibuat secara artifisial, tetapi ditemukan dalam relung jiwa rakyatnya. Kalau para pembentuk UU hendak merumuskan hukum itu dalam prinsip-prinsip yuridis yang teknis, mereka harus tetap berposisi sebagai organ dari kesadaran umum . Mereka terikat pada tugas untuk memberi bentuk pada apa yang mereka temukan sebagai bahan mentah.
Roh dari hukum itu adalah volkgeist. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengikuti evolusi volkgei.rt melalui penelitian hukum sepanjang sejarah. Maka posisi ilmuwan hukum berada di depan pembuat UU. Perundang-undangan menyusul pada tingkat terakhir setelah ilmuwan hukum berhasil mengungkapkan roh volkgeistlewat risetnya. Pendek kata, para ilmuwan hukum menyediakan bahan mentah berupa fakta-fakta tentang volkgeist, sedangkan pembuat UU merumuskan secara teknis dalam wujud aturan formal. Jadi kerja ilmiah seorang ilmuwan hukum, pada dasarnya adalah melakukan riset tentang volkgei.rt itu. Persoalan bagaimana merumuskan sebagai rumusan hukum, merupakan pekerjaan para teknolog hukum (pembuat hukum). Bagi Savigny, pembuat hukum harus setia pada volkgeist. Karena unsur volkgei.rt inilah, maka suatu tatanan hukum (termasuk dalam wujud perundang-undangan) tidak bisa bersifat universal. Hukum selalu bersifat kontekstual bagi bangsa tertentu .
Diletakkan dalam konteks zamannya, teori Savigny ini dapat dilihat sebagai serangan terhadap dua kekuatan yang berkuasa pada zaman itu, yakni (i). Rasionalisme dari abad ke-18 dengan kepencayaannya pada kekuasaan akal dan prinsip-prinsip absolut yang uruversal-yang membuahkan teori-teori hukum rasionalistik tanpa memandang fakta historis lokal, ciri khas nasional, serta kondisi-kondisi sosial setempat. (ii). Kepercayaan dan semangat revolusi Prancis yang cenderung anti tradisi, serta terlampau mengandalkan kekuatan akal dan kehendak manusia dalam mengkonstruksi gejala-gejala hidup di bawah pesan-pesan kosmopolitannya.
Melalui penentangan terhadap dua kekuatan itu, Savigny serentak mencela pemujaan atas kodifikasi-kodifikasi hukum modern di Prusia, Austria, dan Prancis saat itu yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip abstrak dan deduksi rasional-logs belaka. Kata Savigny, tidak ada hukum yang lintas ruang dan waktu. Hukum selalu bersifat kontekstual dan historis. Oleh karena itu, langkah penting yang perlu dilakukan sebelum membuat kodifikasi adalah melakukan studi ilmiah mengenai sistem hukum dalam perkembangannya yang terus-menerus, dengan mana tiap generasi mengadaptasikan hukum itu dengan keperluannya. Tesis ini muncul dari pengalaman ilmiah Savigny sendiri berkat studinya yang mendalam atas hukum Romawi.
Menurut Savigny, perkembangan hukum Romawi merupakan con¬toh penuntun hukum yang bijaksana, karena pembentukannya dilaku¬kan melalui adaptasi bertahap seturut zaman-zaman sebelum corpus yuris membentuk kodifikasi yang final. Dalam proses pembentukan yang bertahap itu, peran ahli hukum begitu menentukan, utamanya dalam `membaca' semangat zaman dan konteks sosial kontemporer sebagai landasan adaptasi dari hukum itu sendiri. Maka tidak mengherankan jika Savigny memandang ilmu hukum sebagai panduan reformasi hukum, dan kesadaran umum merupakan sumber hukum yang utama .

Hukum itu Fusi Kepentingan:
Teori Jhering

Hukum itu-untuk sebagian-memang jiwa bangsa. Bagian yang lain adalah hasil adopsi dari unsur-unsur luar, baik akibat pergaulan dengan bangsa lain maupun karena bangsa itu memang punya kepentingan dengan unsur luar itu . Itulah teori Jhering yang sekaligus membantah Savigny. Hukum Jerman sendiri sudah tidak ash lagi. Resepsi hukum Romawi telah menyingkirkan hampir seluruh hukum Jerman yang lama sehingga hukum ash telah menjadi kabur dengan banyaknya pengaruh hukum Romawi itu .
Karena itu menurut Jhering, Savigny keliru besar kalau menyangka, hukum nasional sebuah bangsa seutuhnya timbul secara spontan begitu saja dari jiwa bangsa. Tidak, kata Jhering. Hukum Romawi yang dikagumi Savigny sebagai bangunan hukum yang mencerminkan jiwa bangsa, sebenarnya tidak lebih dari `bangunan hukum hasil fusi kepentingan' yang memanfaatkan unsur-unsur luar yang berguna baginya . Bahwa hukum Romawi patut dijadikan `model ideal' hukum nasional, bukan karena la merupakan hasil jiwa bangsa Romawi, sebagaimana disangka Savigny. Tidak sama sekali. la ideal justru karena hukum romawi berhasil secara disiplin mengintegrasikan dengan baik `mutiara' dari luar, dengan `berlian' yang ada di dalam, sehingga memperlihatkan dimensi universalnya yang dianggap wajar oleh semua bangsa.
Toh setiap bangsa itu punya ego-nya, kata Jhering. Demikian juga bangsa Romawi. Hukum Romawi yang hebat itu menjadi begitu, karena kepandaian yang bermetode dalam memanfaatkan kekayaan dari luar bagi kepentingan bangsa Romawi sendiri. Makanya, sistem hukum Romawi menampilkan karakter ystem des dsiczplinierten egoismus (sebuah sistem egoisme yang berdisiplin) . Di sini hukum berpadu dengan egoisme bangsa. Kata kunci mengapa Romawi yang begitu jaya rela menerima unsur luar karena manfaatnya. Praktis, hukum merupakan tatanan hidup bersama yang dianggap sesuai dengan kepentingan nasional. Ini fenomena umum untuk semua bangsa. Hanya apa yang dianggap berguna saja bagi bangsa itu, yang dapat dipertimbangkan dan diterima sebagai hukum .
Persis di titik inilah, ideologi utilitarisme Jhering menyeruak jelas. Teori hukum Jhering pun berbasis ide manfaat . Tesis Bentham tentang manusia `pemburu kebahagiaan', seolah muncul kembali dalam diri Jhering. Menurut Jhering, entah negara, masyarakat, maupun individu memiliki tujuan yang sama, yakni memburu manfaat. Dalam memburu manfaat itu, seorang individu menempatkan `cinta din' sebagai batu penjuru . la memang, sebagai mahluk sosial, senantiasa bekerjasama dengan orang lain. Tapi itu bukan tanpa pamrih. Kerjasama itu berjalan dalam logika resiprositas. Dan ini alamiah bagi semua manusia.
Tidak ada seorangpun, lcata Jhering, ketika berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa pada saat yang bersamaan ingin melakukan sesuatu bagi diri sendiri . Mungkin awalnya ingin menolong tanpa terbersit satupun pikiran untuk minta imbalan. Tapi ketika kita dalam kesulitan, dan orang itu cuek dengan penderitaan yang kita alami, maka muncullah pamrih. Kita akan mengumpat dan menggerutu, bahwa si A itu tidak tau diri, tidak tau balas jasa. Itulah naluri resiprositas dalam din manusia. Mengapa orang merasa hutang budi? Ya, karena naluri resiprositas itu. Dan Jhering justru menempatkan `kenormalan' manusia ini, sebagai titik tolak teorinya tentang hukum. "Saya", merupakan pusat seluruh teori hukum Jhering .
Menurut Jhering, posisi `saya' dalam dunia bersandar pada tiga proposisi: (i). Saya di sini untuk saya sendiri, (ii). Dunia ada untuk saya, dan (iii). Saya di sini untuk dunia tanpa merugikan saya. Semua tatanan hukum, menurut Jhering, mestinya bersandar pada tiga prinsip dasar ini , pertanyaan lalu muncul, bagaimana kehidupan sosial bisa eksis di tengah egoisme yang tidak sudi berkorban itu? Jhering mengintrodusir teori kesesuaian tujuan, sebagai jawaban. Kesesuaian tujuan, atau lebih tepat penyesuaian tujuan ini dapat diusahakan lewat hukum, perdagangan, masyarakat, dan negara . Semua itu, sesungguhnya merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama, yakni kemanfaatan. Dalam institusi-institusi itulah, seseorang menemukan realisasi pengaitan tujuan dirinya dengan kepentingan orang lain . Di sini, hukum harus berfungsi ganda. Di satu sisi bertugas menjamin kebebasan individu untuk meraih tujuan dirinya, yakni mengejar kemanfaatan dan menghindari kerugian. Di pihak lain, hukum memikul tugas untuk mengorganisir tujuan dan kepentingan individu agar terkait serasi dengan kepentingan orang lain.
Rupanya pengaruh Hegel, tidak terbatas pada Marx. Pada diri Jhering juga tampak pengaruh Hegel yang kuat. Ketika Jhering menempatkan perdagangan, masyarakat, dan negara sebagai instansi penyatu kepentingan yang dapat diandalkan membawa keadilan dan kedamaian, maka itu sebenarnya tesis Hegel tentang dialektika sosial . Seperti diketahui, dalam dialektika Hegel, konflik kepentingan antar individu (sebagai tesis), mendorong orang pada kehidupan berkeluarga (anti tesis). Dalam himpunan keluarga itulah individu disatukan kepentingannya, sehingga bisa hidup damai. Tapi ada puluhan bahkan jutaan keluarga-keluarga yang tentu memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda (tesis). Konflik antara keluarga-keluarga itu adalah sebuah keniscayaan. Maka untuk menyerasikan kepentingan kelompok-kelompok itu, orang butuh ikatan yang lebih luas dan netral. DI sinilah muncul kongsi perdagangan (anti tesis). Tapi dengan begitu, maka akan ada ribuan kongsi dagang yang juga niscaya memiliki perbedaan kepentingan (tesis). Dan itu berarti konflik tetap terbuka. Maka orang butuh negara (anti tesis). Negaralah yang merupakan instansi yang dapat mengakomodasi dan menyerasikan semua kepentingan, baik individu, keluarga, maupun kongsi dagang. Negara merupakan instansi final penyatuan kepentingan. Dengan demikian, negara sebagai anti tesis kongsi dagang, serentak menjadi tesis yang final sifatnya. Sifat final ini, sering disebut orang sebagai sintesa yang sebenarnya tidak pernah ditemukan dalam terminologi Hegel.
Tekanan Jhering pada kepentingan sebagai sesuatu yangmenentukan dalam hukum, khususnya kcpentingan masyarakat, menghantar dia pada interessenjurisprudenz. Kepentingan masyarakatlah yang menjadi inti hukum. Lalu apa yang menjadi kepentingan, masyarakat itu yang pada instansi terakhir menjadi sasaran dalam hukum? Menurut Jhering, ada empat kepentingan, baik yang egoistis maupun yang bersifat moral. Yang bersifat egoistis adalah pahala dan manfaat. Ini biasanya didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang moralistis adalah kewajiban dan cinta . Hukum bertugas menata secara imbang dan serasi antar kepentingan-kepentingan tersebut.
Kegagalan memperhatikan secara seimbang antara pahala dan kewajiban, antara manfaat dan cinta, menurut Jhering, bukan saja memunculkan ketidakadilan, tetapi juga menghasilkan kemungkaran. Dengan argumentasi itulah, Jhering sampai pada kesimpulan bahwa ahli hukum yang terpuji bukanlah mereka yang pintar dalam teknik hukum yang dulu dipuja Jhering ketika la menjadi penganut begriff juri.rpruden,-). Sebaliknya, yang harus dianggap ahli hukum sejati adalah mereka yang mengerti dan memahami apa yang merupakan kepentingan masyarakat . Dengan demikian, pengetahuan tentang kebutuhan masyarakat menjadi bagian integral dari apa yang disebut ilmu hukum. Tesis Jhering tentang balanczng of interest ini, dikemudian hari mengilhami Roscoe Pound dalam mengkonstruksi teori tentang `hukum sebagai media rekayasa sosial'.
Sampai derajat tertentu, tesis Jhering tentang kepentingan yang egois dan moral di atas, sejajar dengan temuan studi perbandingan dari post. Penelitian perbandingan yang komprehensif tentang lembaga-lembaga hukum dari banyak masyarakat dan dari periode yang berbeda, post menemukan adanya dua kekuatan yang bekerja dalam diri individu. Kekuatan pertama adalah kekuatan-kekuatan egoistis yang membuat seorang individu menuntut hak-hak. Sedangkan kekuatan kedua ialah kekuatan-kekuatan moral yang membuatnya merasa sebagai anggota dari kelompok sosial yang terikat pada berbagai kewajiban . Suatu penerapan khusus dari garis pemikiran ini adalah analisis perbandingan yang dilakukan oleh Fouillee tentang `profile hukum' dari beberapa bangsa di Eropa. Menurut Fouillee, hukum Jerman ditandai oleh keutamaan kekuatan egois tentang kekuasaan, hukum Inggris diwarnai kepentingan egois utilitarianisme, sedangkan hukum Prancis ditandai kekuatan moral demi prinsip-prinsip universal tentang kebebasan, persamaan, dan bersaudaraan .

Hukum itu Produk Adaptasi Sosial:
Teori Henry S. Maine

Maine dikenal dengan teorinya Movement from Status to Contract. Teori evolusi ini dihasilkan dari studi perbandingan yang dilakukannya pada masyarakat Asia (khususnya Cina dan India) dan masyarakat Eropa . Dan studi tersebut, la temukan dua tipe masyarakat, yakni: (i). Static Societies (Cina dan India), dan (ii). Progressive Societies (Eropa). Dalam masyarakat yang statis, hukum bertugas meneguhkan hubungan¬hubungan antar-status. Sebaliknya pada masyarakat yang progresif, hukum berfungsi sebagai media kontrak antar-prestasi .

Maine mcngungkapkan, dalam masyarakat-masyarakat tradisional , yang beranglingkup sempit dan lokal (static societies), anggota-anggotanya terstratifikasi dalam lapisan-lapisan sosial yang scrba berjenjang menurut status . Posisi orang dalam satu lapisan, melulu ditentukan olch bawaan status yang telah ditradisikan. Ada yang berstatus sebagai tuan, dan ada pula yang dari sananya ditctapkan sebagai hamba dan lain sebagainya. Karena posisi-posisi sosial itu sifatnya askriptif, maka hak dan kewajiban yang nanti akan dikukuhkan olch hukum pada dasarnya juga akan didistribusikan kepada masing-masing warga berdasarkan askripsi-askripsi itu. Di sini, hak dan kewajiban dibagi-bagi secara berbeda (diskriminatio menurut kriteria `status bawaan' masing-masing. Maka ada yang memiliki hak istimewa dan ada yang tidak. Tergantung status!
Kenyataan menjadi lain apabila struktur-struktur status yang bersifat feodal itu mulai luluh, berkaitan dengan kian meningkatnya interdependensi antara sel,nen-segmen sosial dalam kehidupan ekonomi (progressive societies). Bermulalah tatanan baru di mana berlaku adagium irr.r cannuGri ac conrerczi. Di tengah-tengah kenyataan yang telah amat berubah ini, hubungan-hubungan kepentingan antar pribadi menjadi kian menonjol. Muncul pula kebutuhan akan hukum yang lebih obyektif dan rasional demi memudahkan upaya memobilisasi sumber daya guna memenuhi berbagai kepentingan masing-masing individu warganya. Di sini hubungan-hubungan hukum yang merefleksikan distribusi hak dan kewajiban menurut kepentingan dan prestasi seseorang menjadi kian kokoh. Hukum, akhirnya tampil sebagai mekanisme penjamin hak dan kewajiban berdasarkan kontrak antar individu warga sebagai sosok manusia bebas yang berhendak bebas .
Di mata Maine, jelas kiranya, hukum hanyalah hasil ikutan dari kondisi struktural (sosial-ekonomi) masyarakat. Wajah hukum akan berubah seiring perubahan struktur sosial-ekonomi masyarakat itu. Hukum bukanlah alat perubahan sosial. la semata-mata alat peneguh kenyataan sosial. Manakala sebuah masyarakat masih dalam kondisi tradisional (di mana hubungan-hubungan sosial mengandalkan penghargaan `status bawaan' atau askripsi), maka hukum bertugas meneguhkan posisi-posisi sosial yang telah ada itu. Begitu juga, tatkala masyarakat itu telah berada dalam taraf modern (taraf kehidupan bernuansa kapital, di mana hubungan-hubungan sosial didasarkan pada prestasi ekonomi), maka hukum berfungsi sebagai pengabsah kontrak antar individu yang bersifat ekonomi itu.
Formula Maine tentang movement from status to contract, bukan seke¬dar gejala sosiologis an sich. la juga merupakan fenomena yang ber¬nuansa ekonomi. Maine, sedikit banyak bersentuhan dengan Marx, yang sulung empat tahun darinya. Sebelum karya Maine Ancient Laiv terbit tahun 1861, sudah ada tulisan Marx, Okononisch philosophiesche Manuskripte (`naskah-naskah ekonomi falsafi') yang membahas segi¬segi utama keterasingan manusia dalam pekerjaan. Hanya saja, Marx amat reaktif terhadap keadaan yang dialami dan diamatinya, sedang¬kan Maine tampaknya "cuma" hendak berusaha menggambarkan dan menjelaskan apa yang terjadi. Tambahan pula, Ancient Law-nya Maine, muncul hampir bersamaan dengan karya Morgan, Anczent Society yang membahas evolusi masyarakat dari sisi basis ekonominya. Oleh karena itu, tidak kebetulan jika dalam ranah teori Maine, muncul adagium ius cannubii ac comercii.
Sebagai penganut teori evolusi, Maine melihat proses-proses perubahan (dalam kehidupan masyarakat) sebagai sesuatu yang alami. Jalurnya jelas, melalui peningkatan (meningkatnya) kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Motor penggerak adaptasi itu adalah ekonomi. Arahnya pun pasti, selalu menuju ke situasi-situasi yang serba adaptif dan terdeferensiasi pada tingkat struktural. Manusia tidak lagi dilihat dari segi `bawaan'-nya, tapi dari prestasi yang dibuatnya. Prestasi harus dibalas kontra prestasi. Di sinilah terjadi kontrak antar prestasi dari para individu-individu yang menjinjing prestasinya masing-masing. Seiring dengan progresi seperti itu, hukum pun berubah dari fungsinya yang mengukuhkan hubungan-hubungan lama (yang bersifat antar-status) ke hubungan-hubungan baru yang bersifat kontraktual . Realitas perkembangan dari model hubungan-hubungan hukum lama yang berbasis status ke modelnya yang baru sebagai hubungan-hubungan kontraktual berdasarkan prestasi, dirumuskan oleh Maine sebagai movement from status to contract. Lembaga kontrak yang ditumbuhkan di atas konsep dan dunia baru itu, memungkinkan terjadinya elastisitas dan dinamika kegiatan ekonomi.
Seperti telah dikatakan, teori Maine itu, tidak lepas dari telaah studi perbandingan mengenai perkembangan sistem hukum yang bervariasi di berbagai belahan dunia. Dalam kondisi yang masih statis, hukum bersumber dari perintah pribadi yang dikeluarkan para penguasa yang konon berasal dari ilham Ilahi, serta keputusan-keputusan dari minoritas kaum bangsawan yang merumuskan adat-istiadat menurut hukum. Zaman hukum adat ini, kemudian disusul era kitab undang¬undang, tapi masih tetap didominasi oleh ketergantungan hubungan berdasarkan status. Tahap ini oleh Maine masih dianggap `tahap status'. Keluarga Romawi (yang bertopang pada pater(amilias), budak, kasta, merupakan contoh-contoh status yang khas .
Perkembangan ke arah kontrak, muncul bersamaan dengan kesadaran untuk meninggalkan secara bertahap ketergantungan berdasarkan status. Sebagai gantinya tumbuh kebebasan berkehendak dan bergerak. Kekuasaan paterfamilias berkurang, budak dari abad pertengahan, dapat menjadi bebas dan melarikan diri ke kota dan akhirnya perbudakan dan perhambaan dihapus. Semua itu memberi jalan untuk hubungan-hubungan kontraktual yang bebas. Jadi dapat dikatakan, teori Maine tentang perkembangan hukum dari status ke kontrak, merupakan teorisasi tentang perkembangan kondisi-kondisi sosial-ekonomi yang berujung pada kebebasan bekerja dan berkontrak yang dituntut masyarakat industri .

Hukum itu Moral Sosial:
Teori Emile Durkheim

Teori Durkheim mungkin agak mengagetkan karena ia menempatkan hukum sebagai moral sosial. Durkheim sendiri bukanlah tergolong jajaran filsuf klasik yang melulu berurusan dengan persoalan moral. Ia adalah sosiolog-positivistik yang berjejer di belakang Marx dan Maine yang melulu bergumul dengan fakta-fakta empiris. Tapi mengapa la memandang hukum sebagai `unit moral sosial'? Pertanyaan ini menjadi pintu masuk memahami teori Durkheim. la menempatkan hukum sebagai moral sosial, bukan karena ingin menjadi Socrates atau Aristoteles. Durkheim, tetaplah seorang positivis. Makanya ia membangun teori di bawah tema "pembagian kerja". Pembagian kerja itu, fakta empiris. Dan dalam fakta pembagian kerja itulah, struktur sosial terancang-bangun.
Menurut Durkheim, sistem pembagian kerja menentukan solidaritas sosial. Solidaritas sosial itu sendiri merupakan unit yang abstrak. Ia merupakan `roh' yang mengikat orang-orang pada `kerangka keyakinan' bersama dalam membangun hidup yang terintegrasi . Inilah dimensi moral yang dimaksudkan Durkheim. Tapi berhenti di sini, berarti mandeglah kerja sosiologi. Toh kerangka keyakinan, tetaplah sebuah unit yang abstrak. Kerangka keyakinan tidak merubah solidaritas sosial menjadi sesuatu yang empirik. Durkheim lalu mencari unit empiris dalam mosaik solidaritas sosial yang abstrak itu. DI situlah la menemukan hukum sebagai unit yang empiris dari solidaritas sosial .
Jelas kiranya, dalam konsep Durkheim, hukum sebagai moral sosial pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Hukum adalah cerminan soladaritas. Tak ada masyarakat di mana pun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya solidaritas itu. Sebagai tiang utama integrasi, solidaritas sosial begerak dan berubah seirama dengan perkembangan sosial dalam masyarakat. Perkembangan dari tahap tradisional ke tahap modern, selalu diikuti oleh pergeseran solidaritas dari yang mekanis ke organis. Perkembangan itu sejalan dan seiring dengan kian tcrdiferensiasinya pembagian kerja di dalam masyarakat itu. Dalam konsep Durkheim, diferensiasi pembagian kerja ini merupakan tema sentral yang akan menjelaskan terjadinya berbagai macam perubahan dalam ihwal struktur dan restrukturasi masyarakat, tipe solidaritasnya, dan pula fungsi hukumnya .
Tampaknya, haluan teori Marx dan Maine yang bernuansa evolu-sionisme dan ekonomi itu, tertular pula ke Durkheim yang lahir hampir empat dasa warsa kemudian. Ia membangun teorinya tentang hukum di bawah tema "pembagian kerja"-sebagaimana tercermin dalam judul karya utamanya De la division du Travaill. Seperti telah dikatakan, bagi Durkheim, sistem pembagian kerja dalam suatu masyarakat menentukan tipe solidaritas sosial yang terbangun dalam masyarakat tersebut. Dalam masyarakat yang belum mengenal pembagian kerja yang beragam, maka terbangun solidaritas yang mekanis. Sedangkan dalam masyarakat yang telah mengenal diferensiasi kerja (fungsi, tugas, dan keahlian), cenderung melahirkan solidaritas yang organis. Dua tipe solidaritas itu, menurut Durkheim, menentukan wajah hukum. Dalam solidaritas yang mekanis, bersemi hukum yang berkarakter menindak. Pada sisi yang lain, solidaritas organis membuahkam hukum yang berwatak memulihkan .
Baik `hukum yang menindak' maupun `hukum yang memulihkan', keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mempertahankan integrasi sosial. Beda jalan, tapi satu tujuan. `Hukum yang menindak', merupakan `jalan' (cara dan strategi) yang ditempuh masyarakat tradisional. Sedangkan masyarakat modern mengambil haluan yang berbeda, yakni lebih memanfaatkan `hukum yang memulihkan'. Perbedaan strategi tersebut, bukan dibuat-buat sekedar sebuah selera. Tidak sama sekali. Keduanya berbeda karena basis ideologi berbeda. Ideologi berbeda, karena basis materialnya berbeda. Ini secara tidak langsung sudah tercermin dalam judul buku Durkheim di atas. Pembagian kerja menunjuk pada dimensi kehidupan materil masyarakat. Dimensi materil inilah yang mengkondisikan bentuk-bentuk pengorganisasian sosio¬kultural yang khas yang pada instansi terakhir akan mewarnai sekalian dunia kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Mengikuti alur Durkheim, dalam masyarakat yang masih bersahaja, di mana pembagian kerja masih belum beragam, semua anggotanya memiliki kebutuhan yang sama. Kesamaan kebutuhan, menumbuhkan ikatan kolektivitas. Dalam emosi kolektivitas ini, terbangun kesadaran sosial yang sama dan menyatu dalam kepedulian yang sama. Ini menjadi landasan filosofi hidup dalam kolektivitas. Landasan filosofi itu, pada gilirannya menentukan nilai, tujuan, cara bertindak, dan warna hukum dalam masyarakat tersebut.
Sebagai masyarakat yang diikat oleh kesadaran sosial yang sama serta ikatan emosi yang sama (solidaritas mekanis), maka selain mengutamakan moral kolektif sebagai nilai utama, mereka juga disatukan dalam tujuan yang sama yaitu mempertahankan kohesi sosial. Tiap pelanggaran ditanggapi sebagai serangan terhadap masyarakat sebagai satu kesatuan. Pelanggaran dipahami sebagai penodaan terhadap nurani kolektif. Untuk mereaksi perbuatan yang mengancam itu, penindakan diperlukan. Karena hanya dengan reaksi pembalasan yang spontan demikian itu sajalah integrasi sosial akan dapat dilindungi dan dilestarikan. Sekalian situasi itulah yang mengkondisikan berseminya tipe `hukum yang menindak' dalam masyarakat sederhana .
Berbeda sekali dengan itu, masyarakat modern mempunyai strategi lain mempertahankan integrasi sosialnya. Dengan tingkat diferensiasi kerja yang sangat beragam dan cenderung terspesialisasi dalam fungsi yang berbeda, maka konfigurasi masyarakatnya bertopang pada individu. Milik pribadi menjadi nilai yang sangat dihormati. Tapi tidak ada masyarakat yang dapat bertahan hanya dengan diferensiasi yang segmental seperti itu. Masyarakat membutuhkan integrasi. Karena itu, meski kebebasan dan kemerdekaan individu menjadi ideologi utama, masyarakat modern membangun integrasi berasas kontrak. Hubungan-hubungan sosial berjalan dan tertata dalam alur kesepakatan dan kontrak yang dilakukan secara bebas oleh tiap individu .
Memang, perbedaan menjadi sangat menonjol. Tapi itu bukanlah malapetaka. Perbedaan, justru ditanggapi sebagai peluang kerjasama. Perbedaan kepentingan, perbedaan keahlian, perbedaan fungsi, dan perbedaan-perbedaan lain antar anggota, justru menjadi daya tarik mereka untuk menjalin kontrak atau kesepakatan. Kerjasama dalam perbedaan (lewat kontrak dan kesepakatan individual) menumbuhkan solidaritas organis. Lebih lanjut dikatakan oleh Durkheim, apa yang dinamakan solidaritas organik itu, sesungguhnya berfungsi sebagai fasilitas untuk melicinkan jalan berkembangnya koherensi dan kohesi antara berbagai bagian atau sektor kehidupan yang (mulai) tumbuh heterogen di masyarakat. Maka di sini hukum-dalam hakekat moralnya sebagai ekspresi solidaritas sosial-tak akan mungkin ditopang oleh kekuatan-kekuatan sanksi yang bersifat menindak (yang tujuan utamanya adalah untuk melampiaskan dendam pembalasan). Alih-alih begitu, hukum berikut sanksi-sanksinya akan kian dituntut untuk lebih bersifat restitutif. Dalam atmosfer seperti inilah hukum yang ber-roh transaksional, tumbuh dan berkembang. Dan karena kontrak antar individu secara umum sifatnya privat, maka tugas hukum juga bersifat restitutif untuk mengembalikan kerjasama yang positif . Ujung terakhir kerjasama yang positif itu, adalah integrasi sosial (dalam sabuk solidaritas organis).

Hukum itu Tata Hukum:
Teori Austin

Semua teori yang telah dibahas, mulai dari `teori kekuatan' versi para filsuf Ionia sampai teori solidaritas sosial-nya Durkheim yang baru saja dikemukakan, mengaitkan teorinya dengan dimensi mosaik (ke)-manusia(-an). Tapi tidak demikian dengan positivisme yuridis. Bagi aliran ini, hukum hanya ditangkap sebagai aturan yuridis, lebih khusus, bentuk yuridisnya. Mengenai isi atau materi hukum, bukan soal yang penting. la menjadi bidang kajian ilmu lain, bukan wilayah kajian hukum. Ilmu hukum hanya berurusan dengan fakta bahwa ada tata hukum yang dibuat negara, dan karenanya harus dipatuhi. Jika anda tidak patuhi, siaplah terima sanksi. Hukum, bukan persoalan adil-tidak adil, dan juga bukan soal relevan atau tidak dengan pergumulan dunia riil. Satu-satunya yang relevan jika berbicara tentang hukum, adalah la ada dan sah secara yuridis.
Aliran ini, memang punya latar pemikiran sendiri, yang secara agak gegabah menerapkan cara berpikir positivistis August Comte dan empirisme David Hume. Seolah konsisten dengan tesis Comte dan Hume, positivisme yuridis ingin menangkap tata hukum sebagai fakta sensual, sekedar sebuah fakta empiris. Akibatnya, la hanya peduli pada segi-segi yang dapat ditangkap oleh panca indra. Ya, hukum dipaksa untuk ditangkap oleh indra sensual. Karena yang dapat ditangkap secara sensual adalah kumpulan aturan, dan aturan itu secara faktual dibuat oleh penguasa yang sah, serta keberlakuannya dapat dipaksakan, maka menurut aliran ini, hukum tidak lebih sekedar onggokan aturan¬aturan formal dari negara.
Itulah sebabnya, bagi Austin, tata hukum itu nyata dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (kontra Comte dan Spencer), bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (kontra von Savigny), bukan pula karena cermin keadilan dan logos (kontra Socrates Cs), tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. Justifikasi hukum ada di segi formal-legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi Austin) maupun derivasi Grundnorm (versi Kelsen). Logis kiranya, jika
bagi aliran ini hal yang penting dalam mempelajari hukum adalah bentuk yuridisnya, bukan mutu isinya. Isi material hukum, merupakan bidang non-yuridis yang dipelajari oleh disiplin ilmu lain .
John Austin dengan analytical legal positivism-nya, menjadi penganut utama aliran positivisme yuridis. Austin bertolak dari kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah-perintah, dan ada orang yang pada umumnya mentaati perintah-perintah tersebut. Tidak penting mengapa orang mentaati perintah-perintah itu. Bahwa mereka mentaati karena takut, atau karena rasa hormat, atau karena merasa dipaksa? Sama saja. Yang penting, faktanya adalah ada orang yang menaati aturan itu. Kalau tidak, dijatuhkan sanksi. Maka untuk dapat disebut hukum menurut Austin diperlukan adanya unsur-unsur yang berikut: (1). Adanya seorang penguasa (souvereighnity), (2). suatu perintah (comman(j), (3). kewajiban untuk mentaati (duty), (4). sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction) .
Dengan demikian, Austin menggantikan ideal keadilan yang secara tradisional dipandang sebagai pokok utama segala hukum dengan perintah seorang yang berkuasa . Hukum sebagai keadilan diganti sekedar aturan formal. Dan hal-hal keutamaan (summum bonum) yang menjadi dasar normatif sebuah aturan hukum (misalnya adil, bermanfaat, aspiratif), diganti sekedar legalitas. Maka sebenarnya agak janggal jika terhadap eksistensi dan keberlakuan aturan seperti ini, digunakan terminologi normatif, jelasnya yuridis-normatif. Yuridis, ya. Tapi normatif, belum tentu! Karena (seperti telah dikatakan pada halaman-halaman awal karya ini) normativitas sebuah aturan terletak pada mutu isinya yang mengandung keutamaan, bukan pada bentuk lahiriahnya yang legal dan sah. Menurut penulis, hukum yang genuine adalah hukum yang mengandung keutamaan, serentak legal. Aturan yang tidak mengandung keutamaan, tidak layak disebut hukum. la lebih tepat disebut paksaan yang dilegalkan.
Memang Hans Kelsen berupaya memberi pendasaran normatif melalui Grundnorne. Suatu peraturan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi yang berpuncak pada Grundnorrrt. Tapi apa isi grundnorm itu, Kelsen tidak menjelaskannya. la hanya menyebut itu sebagai pengandaian¬pengandaian ultim. Menjadi persoalan, bagaimana dengan perintah (aturan hukum) Hitler yang memerintahkan genosida terhadap ras Yahudi yang didasarkan pada cita-cita kemurnian ras Aria sebagai grundnorm-nya? Apakah itu masih pantas disebut normatif? Akal sehat siapapun, tidak akan menyetujui hal itu.

Hukum itu Ide Umum Aturan Positif
Teori Ernst Bierling

Hukum itu, ide umum tata hukum positif, itulah inti teori dari Ajaran Hukum Umum-di mana Bierling menjadi salah satu penganut, di samping Adolf Merkl (1836-1896) dan Karl Bergbohm (1849-1927). Ajaran Hukum Umum mencari ide-ide hukum yang berlaku di mana¬mana dan karenanya dianggap universal dan tetap. Berbeda dengan ide-ide hukum dalam hukum alam yang bersumber dari tatanan alam, ide-ide hukum dalam Ajaran Hukum Umum melalu berbasis pada tata hukum positif .
Tapi ide-ide itu bukan diambil dari isi atau materi hukum positif, tatapi dan aspek formal yuridisnya. Alasannya sederhana. Materi hukum selain bersifat tidak tetap dan cenderung berubah-ubah, juga karena ia berasal dari sumber-sumber non-yuridis. Materi hukum biasanya bersumber dari masyarakat, sejarah, politik, etika, dan lain sebagainya dan oleh karena itu, tidak relevan dibicarakan dalam disiplin ilmu hukum. Sekalian itu menjadi wilayah kajian ilmu-ilmu lain .
Karena tendensi Ajaran Hukum Umum-karena pengaruh positivisme-adalah membangun pengetahuan berbasis empirik, maka Bierling menggunakan metode `induktif-empirik' juga. Tata hukum tertentu diambil sebagai sampel, untuk kemudian digali ide-ide-nya. Ide-ide tersebut lalu dibandingkan dengan ide-ide yang ada dalam tata hukum yang lain (tentu dengan mempertimbangkan representasi menurut ukuran yang obyektif), sehingga didapatilah ide-ide yang relatif universal. Letak sifat empiris dari riset ini adalah karena ide-ide itu diambil dari tata hukum yang berlaku. Begitulah inti teori hukum dalam Ajaran Hukum Umum.

3.6. Teori Hukum Abad Ke-20

Humanisasi hidup dan keadilan sosial tampil sebagai `kekuasaan' baru yang dihadapi manusia di abad ke-20. Persoalan sekitar dua hal itu, sangat beragam. Pertama, tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II, penindasan kejam oleh rezim politik yang totaliter di era Hitler dan Stalin, di samping tragedi-tragedi lain terhadap kemanusiaan. Kondisi-kondisi tragis itu memicu beragam teorisasi mengenai `tertib hidup' manusia. Semisal `tawaran' tentang ide keadilan sebagai recht.ridee dari seluruh tata hukum positif (sebagaimana dia)jukan Radbruch). Kedua, kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang meminggirkan dan menindas kelompok-kelompok periferi. Ini memicu teorisasi mengenai `tertib hidup' yang mengandalkan jalur `kritis dan perjuangan' (seperti dilakukan oleh Neo-Maridsme dan Critical legal theory).
Ketiga, bersamaan dengan kian kuatnya peran negara dan hukum (hukum negara) dalam segala aspek kehidupan sosial, juga memunculkan beragam sikap. Ada yang berusaha membangun teorisasi mengenai hukum dan masyarakat (yang tentu saja dapat dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan-persoalan negara, hukum, dan masyarakat). Di sini tampil para pemikir seperti Weber, dan lain sebagainya, termasuk beberapa eksponen Realisme Hukum Skandinavia. Ada pula yang berusaha menawarkan jalur yang lebih praktis untuk mengurangi ekses ketidakadilan akibat kekakuan aturan hukum negara itu (seperti yang dilakukan eksponen Realisme Hukum Amerika). Tapi ada juga yang berusaha meneguhkan otonomi hukum negara melalui jalur tertib yuridis (seperti dilakukan oleh Kelsen).
Di bawah ini, hendak dipaparkan teori tentang hukum yang berasal dari sejumlah sarjana dengan latarbelakang orientasi teoritis yang berbeda, baik dari kubu Neo-Kantian, maupun dari Neo-Positivisme, Neo-Marxis, kubu Fenomenologi, kubu Eksistensialisme, dan juga penerus teori Hukum Alam abad ke-20.

A. Teori Neo-Kantian
Di Mana Letak Sifat Normatif dari Hukum?
Ciri khas pemikir Neo-Kantian adalah, mencari suatu pengertian transedental tentang hukum, yaitu sifat normatifnya. Di manakah letak sifat normatif (dibaca, mewajibkan) dari hukum itu? Inilah pertanyaan pokok yang hendak dijawab oleh para eksponen Neo-Kantian.
Neo-Kantian merupakan reaksi terhadap positivisme. Neo-Kantian menolak kredo positivisme yang terlampau empiristis. Bagi Neo¬Kantian, manusia memiliki kapasitas untuk memperoleh pengertian tentang gejala-gejala hidup di luar hal-hal yang empirik-asumsi mana tidak diakui oleh positivisme. Karena merupakan modifikasi atas pemikiran Immanuel Kant, maka Neo-Kantian melakukan revisi di sana sini terhadap teori Kant. Teori Kant tentang perbedaan antara fakta dan gejala, atau pun dualisme antara pengertian dan pengamatan, tidak lagi sepenuhnya diterima oleh pemikir Neo-Kantian. Menurut mereka (Neo-Kantian), fakta dan gejala, pengertian dan pengamatan merupakan satu kesatuan. Kedua-duanya adalah satu bentuk pengetahuan, sebab pengamatan selalu merupakan pengertian juga .
Neo-Kantian sendiri, terbagi dalam dua varian. Pertama, aliran Marburg yang memberi perhatian pada penalaran logis (menurut logika ilmu alam) dalam teorisasinya. Kedua, aliran Baden yang cenderung memberi perhatian pada nilai-nilai, dan atas refleksi tentang ilmu-ilmu kultural. Pada bagian ini, hanya akan diturunkan teori dari Stammler dan Kelsen (dari aliran Marburg), serta teori Radbruch (dari aliran Baden).

Hukum itu Normatif, Karena Kehendak Yuridis:
Teori Rudolf Stammler

Stammler adalah penganut Neo-Kantian mazhab Marburg. Berbeda dengan Radbruch (mazhab Baden) yang menyandarkan diri pada nilai-nilai, maka Stammler justru memberi perhatian pada soal¬soal non-kesadaran. Itulah sebabnya, pembagian tentang `materi' dan `bentuk' yang dalam teori Kant hanya berlaku di bidang `kesadaran’ , dianalogkan oleh Stammler sebagai kategori yang dapat diterapkan juga pada bidang `kemauan'.
Mengenai teorinya tentang kemauan, Stammler beranjak dari asumsi `tindakan bertujuan'. Katanya: "orang mau berbuat sesuatu, pasti untuk mengejar suatu tujuan". Jadi tujuan menentukan perbuatan. Bagi Stammler, perbuatan merupakan `materi' dari kemauan, sedangkan tujuan adalah `bentuk'. Perbuatan sebagai `materi', diberi `bentuk'-nya oleh tujuan yang dikehendaki. Karena `materi' telah diberi `bentuk'-nya oleh tujuan, maka `materi' dan `bentuk' lebur menjadi satu kesatuan yang mewajibkan. `Materi' dan `bentuk', selalu merupakan bagian integral dari tujuan. Jadi tidak ada lagi pemisahan yang tegas antara `materi' dan `bentuk' seperti dalam teori Kant.
Lalu bagaimana teori Stammler tentang hukum? Kata Stammler, apa yang dikehendaki manusia dalam kehidupan sosial adalah hidup bersama yang teratur. Untuk menjamin hidup (bersama) yang teratur itu, dibutuhkan `perbuatan', yakni pengaturan segala hal yang terdapat dalam kehidupan bersama tersebut. Perbuatan mengatur itu, wujudnya adalah hukum. Jadi hukum merupakan `materi' yang diberi `bentuk'-nya oleh tujuan menciptakan hidup bersama yang teratur. Sesuai dengan teori Kant, "bentuk' menunjuk pada sifat mewajibkan. Di sini, hukum (sebagai materi) telah memperoleh sifat mewajibkan oleh kehendak untuk hidup teratur. Kehendak itu sendiri, menurut Stammler, terdiri dari unsur-unsur yang bersifat histon's -ekonomis karena menyangkut kebutuhan lahiriah manusia. Hukum bertugas mengatur unsur-unsur kehidupan bersama yang bersifat historis-ekonomis itu .
Dalam teori Stammler, jelas kiranya bahwa hidup bersama yang teratur, menghendaki adanya hukum sebagai penjamin keteraturan. Kehendak akan hukum itulah yang oleh Stammler disebut `kehendak yuridis'. Kehendak yuridis ini, harus menjadi dasar dan syarat seluruh aturan hukum positif . Tanpa kehendak yuridis (menjamin keteraturan dalam hidup bersama), suatu aturan hukum positif tidak memiliki arti normatif apa-apa. Jadi letak normatif sebuah aturan, terdapat pada kehendak yuridis. Tapi sebagai suatu `bentuk' (kemauan), maka kehendak yuridis bersifat formal belaka. Kehendak yuridis (dalam arti formal) inilah yang merupakan prinsip terakhir segala pengertian tentang hukum. la tidak berkaitan dengan isi kaidah hukum. Sebaliknya, ia merupakan bidang formal’ . Sifat mewajibkan (sifat normatio dari hukum harus bertolak dari segi formalnya (`bentuk’, bukan isinya (`materi').
Pendek kata, hukum merupakan sebuah kehendak yuridis manusia. Kehendak itu memicu kesadaran bersama (bukan orang per orang) suatu masyarakat manusia untuk membentuk peraturan-peraturan hukum. Kehendak yuridis, dengan demikian, bukan dalam makna psikologis, tetapi makna transedental. Ada komitmen bersama, ada kesepakan, dan karena itu, la bersifat obyektif yang melampaui soal batiniah orang per orang. la berada dalam dunia obyektivasi sebagai patokan obyektif bagi keteraturan hidup bersama. DI sinilah kemudian kehendak yuridis dari Stammler serentak bersifat transedental. Karena sifatnya mewajibkan, maka kehendak yuridis bersifat menuntut supaya orang-orang menaati aturan-aturan hukum. Ini yang membedakan kehendak yuridis dengan jenis kehendak lain, misalnya kehendak moral (yang bersifat personal dan batiniah). Lebih dari itu, kehendak dan jenis-jenis kehendak lainnya bersifat mengundang orang-orang untuk mengikuti tata cara yang ditentukan. Sedangkan hukum, seperti telah dikatakan, bersifat menuntut secara legal.
Itulah sebabnya kata Stammler, tanpa hubungan-hubungan yuridis yang mengikat tiap orang, maka kehidupan akan cenderung ditentukan mau dan caranya orang per orang. Kehidupan seperti ini, lambat laun akan mengarah kepada kekacauan sehingga menciderai cita-cita kehidupan bersama, yakni hidup damai dan teratur. Lalu bagaimana dengan isi aturan hukum? Isi hukum, pada dasarnya tergolong dalam wilayah ide hukum, bukan wilayah kehendak yuridis. Sebagai bagian dari ide hukum, dan karena kepentingan bersama menjadi penyebab adanya aturan-aturan hukum, maka isi aturan hukum haruslah adil. Mengingat bahwa Stammler menempatkan ekonomi sebagai unsur hidup manusia yang serentak merupakan modal kemauan manusia, maka kiranya dapat ditafsirkan, keadilan dimaksud adalah beri kepada tiap orang apa yang merupakan haknya.

Hukum itu Normatif Karena Grundnorm:
Teori Hans Kelsen

Seperti halnya Stammler sebagai eksponen Neo-Kantian mazhab Marburg, Kelsen juga bertolak dari dualisme Kant antara `bentuk' dan `materi'. Namun demikian, la berseberangan dengan Stammler. Kelsen tidak sependapat dengan Stammler yang menerapkan model Kant tersebut pada bidang kehendak. Sebaliknya, mengikuti Kant, Kelsen mengamini perbedaan antara bidang `ada' (Sein) dan bidang `harus' (Sollen) sebagai dua unsur dari pengetahuan manusia . Bidang Sein berhubungan dengan alam dan fakta (yang seluruhnya dikuasai oleh rumus sebab-akibat). Sedangkan bidang Sollen justru berkaitan dengan kehidupan manusia (yang dikuasai kebebasan dan tanggungjawab). Itulah sebabnya, dalam bidang Sollen, digumuli soal kebebasan dan tanggungjawab manusia itu. Tiap-tiap manusia memiliki kebebasan, tapi dalam hidup bersama la memikul tanggungjawab menciptakan hidup bersama yang tertib. Tapi untuk mewujudkan hidup bersama yang tertib itu, perlu pedoman-pedoman obyektif yang harus dipatuhi bersama pula. Pedoman inilah yang disebut hukum. Bidang Sollen, (di mana hukum terhisap di dalamnya), kata Kelsen, dikuasai oleh prinsip tanggungan (prin.Zip der 5,urechnung), yakni `bila hal ini terjadi, maka seharusnya hal itu terjadi pula . Dengan kata lain, jika hukum telah menentukan pola perilaku tertentu, maka tiap orang seharusnya berperilaku sesuai pola yang ditentukan itu. Singkatnya, "orang harus menyesuaikan din dengan apa yang telah ditentukan". Di sinilah letak sifat normatif dari hukum. Keharusan dan kewajiban menaati hukum, melulu karena telah ditentukan demikian (secara yuridis-formal), bukan karena nilai yang dikandung dalam materi hukum itu senclin. Dan' sinilah kita kenal term `yuridis-normatif'.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, dari mana sumber pedoman-pedoman obyektif itu? Kata Kelsen, sumber semua itu adalah dari grundnorm (norma dasar). Grundnorm menyerupai sebuah pengandaian tentang `tatanan' yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama (dalam hal ini, negara). Kelsen sendiri tidak menyebut isi dari grundnorm tersebut. Ia hanya katakan, grundnorm merupakan syarat transedental-logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Seluruh tata hukum positif harus berpedoman secara hirarki padagrundnorm. Dengan demikian, secara tidak langsung, Kelsen juga sebenarnya membuat teori tentang tertib yuridis.
Dengan menggunakan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eselon), la mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi ini, ditentukan jenjang-jenjang perundang-undangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai suatu struktur piramidal (mulai dari yang abstrak yakni grundnorrre sampai yang konkret seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya. Jadi menurut Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal dan ticlak legal adalah mengeceknya melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm menjadi batu uji utama.
Versi lain diajukan oleh penganut positivisme yuridis kontemporer, yakni H.L.A. Hart. la mengajukan kriteria untuk membedakan antara peraturan yuridis dan tidak yuridis. Menurut Hart, secara umum pengertian Austin tentang hukum tepat, sebab benarlah, bahwa perintah-perintah yang disebut hukum, dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa dan bahwa perintah-perintah itu biasanya ditaati. Tapi itu tidak cukup. Untuk mengetahui suatu peraturan bersifat legal, dan karenanya sungguh¬sungguh hukum, kata Hart, minimal kita harus insaf tentang dua jenis kaidah hukum. Ada kaidah hukum yang menentukan kelakuan orang (kaidah primer) dan ada kaidah hukum yang menentukan syarat bagi berlakunya kaidah primer tersebut (kaidah sekunder). Kaidah sekunder itu disebut petunjuk pengenal (rules of recognition), sebab kaidah itulah yang memberitahu kepada kita manakah hukum yang sah itu . Petunjuk pengenal itu berkaitan dengan kompetensi di bidang hukum. Karena adanya petunjuk itu, masyarakat menerima undang-undang dan peraturan-peraturan tertentu sebagai berlaku. Terdapat macam-macam petunjuk pengenal bagi berlakunya hukum, misalnya dekrit presiden, peraturan DPR, statuta, dan lain sebagainya. Petunjuk pengenal yang paling ultim (ultimate rule of recognition), biasanya ditentukan dalam konstitusi .


Hukum itu Normatif, Karena Nilai Keadilan:
Teori Gustav Radbruch

Seolah khawatir dengan ketidakjelasan is] grundnorm-nya Kelsen (yang memang membuka peluang masuknya selera mana suka penguasa dalam menetapkan grundnorm itu), serta trauma pada kekejian rezim Nazi yang memobilisasi tata hukum positif untuk melegalkan genosida (pembasmian ras Yahudi), Gustav Radbruch mematrikan kembali nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap tata hukum. Sebagai eksponen Neo-Kantian yang sangat terpengaruh oleh mazhab Baden, Radbruch berusaha mengatasi dualisme antara Sein dan Sollen, antara 'materi' dan `bentuk'. Jika Stammler dan Kelsen terperangkap dalam dualisme itu (sehingga yang dipentingkan dalam hukum hanyalah dimensi formal atau `bentuk'-nya), maka Radbruch tidak mau terjatuh dalam `kesesatan' Yang sama. Radbruch memandang Sein dan Sollen, `materi' dan `bentuk', sebagai dua sisi dari satu mata uang. `Materi' mengisi `bentuk', dan `bentuk' melindungi `materi'! Itulah kira-kira frase yang tepat untuk melukiskan teori Radbruch tentang hukum dan keadilan. Nilai keadilan adalah `materi' yang harus menjadi isi aturan hukum. Sedangkan aturan hukum adalah `bentuk' yang harus melindungi nilai keadilan.
Dalam mengkonstruksi teorinya, Radbruch bertolak dari tesis dasar mazhab Baden, yakni kebudayaan. E. Lask-lah yang mendeklarasi bahwa hukum merupakan Kulturwissenshchaft. Esensi hukum sebagai Kulturwissenschaft, bukanlah `tatanan formal dari norma-norma' seperti konsep Kelsen. `Kultur', bertujuan merealisasikan nilai-nilai. Jadi, jika ditempatkan dalam kerangka Kant, maka kultur bukanlah wilayah `akal murni', tetapi wilayah `akal praktis'. Bagi Radbruch, yang mengikuti Lask, kebudayaan itu adalah nilai-nilai manusia. Baik pengetahuan, seni, moralitas, maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan . Masing-masing mengemban nilai-nilai manusiawi. Hukum sendiri, menurut Radbruch, mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia. Ini intrinsik dalam hukum, karena memang itu hakikatnya sebagai salah satu unsur kebudayaan. Unsur-unsur lain punya tugas masing-masingi. Ilmu bertugas menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah laku susila untuk moralitas. Jadi masing-masing punya misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah manusia dengan kebutuhan riilnya.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan, menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum. la normatif, karena berfungsi sebagai prasyarat trasendental yang mendasari tiap hukum positif yang bermartabat. la menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilan-lah, hukum positif berpangkal. Sedangkan konstitutif, karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum sebagai hukum. Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum.
Menurut Radbruch, gagasan hukum sebagai gagasan kultural, tidak bisa formal. Sebaliknya, la terarah pada rechtsidee, yakni keadilan. Keadilan sebagai suatu cita, seperti ditunjukkan oleh Aristoteles, tidak dapat mengatakan lain kecuali: `yang sama diperlakukan sama, dan yang tidak sama diperlakukan tidak sama'. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret, kita harus menengok pada segi finalitasnya. Dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas itu, dibutuhkan kepastian. Jadi bagi Radbruch, hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian . Aspek keadilan menunjuk pada `kesamaan hak di depan hukum'. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum.
Tuntutan akan keadilan dan kepastian, menurut Radbruch, merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Sedangkan finalitas mengandung unsur raltivitas karena tujuan keadilan (sebagai isi hukum) antuk menumbuhkan nilai kebaikan bagi manusia, lebih sebagai suatu nilai etis dalam hukum. Nilai kebaikan bagi manusia dimaksud, dapat dihubungkan dengan tiga subyek (yang hendak dimajukan kebaikannya), yakni individu, kolektivitas, dan kebudayaan. Subyek pertama yang hendak dimajukan kebaikannya adalah manusia individu. Hukum yang disusun untuk tujuan ini bersifat individualistis. Dalam sistem ini, individu dan martabatnya tidak saja diagungkan tetapi juga diberi perliridungan khusus, seperti dalam Konstitusi Amerika. Kemungkinan lain adalah subyeknya negara.
Bila tujuan hukum adalah kemajuan negara, maka tujuan itu menghasilkan sistem hukum kolektif. Ini lebih tampak dalam negara-negara sosialis. Kemungkinan ketiga ialah, subyek yang dituju bukan manusia individu atau kolektif, tetapi kebudayaan. Bila demikian, maka sistem hukum yang diciptakan adalah sistem hukum transpersonal. Di sini, aspek kebudayaan atau hasil peradaban mendapat perhatian khusus, seperti isu tentang demokrasi, HAM, dan lingkungan hidup menjadi urusan seluruh umat manusia yang dijamin oleh hukum internasional .
Melihat aksentuasi dari masing-masing sistem hukum tersebut, Wolfgang Friedmann menyebut semboyan-semboyan yang dilekatkan dalam tiga subyek itu adalah: kemerdekaan, bangsa, dan peradaban. Sistem individualistis mengandalkan konsepsi hukum mengenai kontrak (teori-teori tentang kontrak sosial dan kebebasan berkontrak), sistem kolektif mengandalkan gagasan tentang negara organis dan kepribadian badan hukum, sedangkan sistem transpersonal mengandalkan gagasan sindikalis dan hubungan-hubungan internasional .
Radbruch mengakui selalu terjadi pertentangan antara tiga aspek tersebut. Dalam negara dengan sistem hukum kolektif (finalitasnya adalah perkembangan masyarakat), maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan keadilan (kalau seorang yang sangat-berguna bagi masyarakat harus menghadapi pengadilan). Menurut keadilan, orang ini harus dihukum, tetapi finalitas tidak mengizinkannya.
Dalam negara dengan sistem individual (finalitasnya adalah perkembangan individu), maka kemungkinan timbul pertentangan antara finalitas dan legalitas (kalau terdapat undang-undang yang karena alasan tertentu tidak cocok dengan perkembangan individual manusia). Menurut legalitas, undang-undang itu berlaku demi kepasuan hukum, tetapi finalitas menentang keberlakuan itu .
Dengan bertolak dari kekejian Nazi Jerman yang mementingkan kemajuan kolektif, membuat Radbruch lebih preferens pada sistem hukum yang individualistik. Ini menyebabkan Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi hukum positif, yaitu: (i). Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan di depan pengadilan, (ii). Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia yang tidak boleh dilanggar, (iii). Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan hukuman.
Berdasarkan tiga prinsip hukum alam tersebut, Radbruch sampai pada keyakinan bahwa keadilan terhadap manusia individual merupakan batu sendi bagi perwujudan keadilan dalam hukum. Dari sini pula tiga aspek hukum itu disusun dalam urutan struktural yang dimulai dari keadilan, kepastian, dan diakhiri finalitas. Maka bila perkembangan kolektif ditentukan sebagai finalitas hukum, maka la tetap tunduk pada keadilan dan kepastian hukum. Ini untuk menghindari kesewenang-wenangan.
Bagaimana jika terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian? Kita ketahui, kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Bagaimana jika la tidak sesuai dengan keadilan dan finalitas. Bila pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga ia benar-benar dirasakan tidak adil, maka demi keadilan tata hukum itu harus dilepaskan .

B. Teori Dad Kubu Neo-Positivisme
Hukum itu Cermin Rasionalitas dan Otoritas:
Teori Max Weber
Hidup di Eropa, di tengah-tengah suatu transisi peradaban di mana pemikiran-pemikiran evolusionisme belum kehilangan posisi dominasinya, Weber juga membuat diskripsi-diskripsi analitis tentang tahap-tahap perkembangan hukum. Namun berbeda dengan Marx, Maine, dan Durkheim yang cenderung bertolak dari basis material (ekonomi) sebagai dasar konstruksi teori, Weber justru menempuh arah lain. la menggunakan ukuran `tingkat rasionalitas' dan `model kekuasaan' untuk mengkonstruksi teorinya tentang hukum.
Dalam ranah `tingkat rasionalitas', teori Weber berbunyi demikian: "Tingkat rasionalitas sebuah masyarakat akan menentukan warna hukum dalam masyarakat itu". DI sini ia membagi tiga tingkat rasionalitas, yakni (i). Subs tantif-irasional, (ii). Substantif dengan sedikit kandungan rasional, (iii). Rasional penuh.
Tipe yang pertama, melekat pada masyarakat yang masih dikuasai alam pikiran mitis yang serba alamiah dan naluriah. Tipe kedua, dimiliki oleh masyarakat tradisi yang bertopang pada adat dan kebiasaan tradisional. Sedangkan tipe ketiga, menjadi ciri masyarakat maju dan modern sebagaimana di dunia Barat saat itu.
Masing-masing tingkat rasionalitas itu, memberi ciri pada hukum¬nya. Pada tipe rasionalitas yang substantif-irasional (tipe pertama), hukum tampil dalam wujud yang informal-irasional. Hukum hanya berupa intuisi, tanpa aturan. Pada tipe yang substantif dengan sedikit kandungan rasional (tipe kedua), hukum mewajah dalam bentuk informal-rasional (berupa aturan umum yang serba informal). Tapi pada tipe yang formal-rasional (tipe ketiga), hukum sudah mengambil sosok dalam bentuk aturan-aturan rinci, khusus, dan terkodofikasi .
Di samping tesis rasionalitas, Weber juga menggunakan tipe otoritas (model kekuasaan), sebagai basis teorinya mengenai hukum. la juga membagi tiga tipe otoritas yang niscaya terdapat dalam masyarakat manusia di belahan dunia ini.
Tipe pertama adalah tipe karismatik. Otoritas ini bertumpu pada kesetiaan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki keistimewaan spiritual dan transedental.
Tipe kedua, tipe tradisional yang bertumpu pada kepercayaan menurut tradisi terhadap orang yang diaiiggap layak memimpin masyarakat. Sedangkan tipe ketiga adalah otoritas yang rasional. Otoritas ini bertumpu pada kekuasaan formal untuk berkuasa berdasarkan kualitas dan kemampuan teknis yang dikukuhkan secara formal oleh negara .
Masing-masing tipe otoritas itu, menentukan model penyeleng¬garaan hukum (baik law-making, law-finding, maupun law-enforcemen6. Dalam rezim otoritas karismatik, tidak terdapat pembuatan hukum. Yang ada hanyalah `penemuan hukum'. Itu pun lewat intuisi dan `bisikan' supranatural. Akibatnya penerapan hukum hanya mengandal¬kan `kebijaksanaan' etis-moral yang unik dari tokoh karismatik. Karena sifatnya sangat individual dan penuh misteri, bisa jadi penerapan hukum didasarkan pada emosi, intuisi, dan rasa pribadi sang pengadili.
Dalam rezim tradisional, sedikit lebih maju. Meski belum ada pembuatan secara khusus, namun sudah ada aturan-aturan umum yang terbangun secara sosial dalam bentuk adat dan kebiasaan. Di sini penemuan hukum sudah lebih real dan masuk akal. Sudah ada pedoman¬pedoman umum yang slap dideduksi pada kasus-kasus konkret. Di samping itu, secara substantif tersedia pula prinsip-prinsip dari suatu sistem sosial seperti etika, agama, politik, dan lain sebagainya. Tinggal kecermatan dan kecerdikan para pengadili untuk mendaratkan secara tepat ketentuan-ketentuan umum itu pada kasus-kasus empirik yang khas. Keputusan-keputusan terdahulu yang serupa, dapat dijadikan dasar analogi bag, kasus aktual.
Sedangkan dalam rezim legal-formal, pembentukan hukum sudah dilakukan secara terencana dan sistematis sesuai kebutuhan. Penemuan hukum pun mudah dilakukan. Tinggal membuka kitab hukum, seorang aparat dapat menemukan hukum mengenai suatu kasus. Jika toh kurang jelas aturan dalam kitab hukum, dengan bantuan asas dan doktrin hukum, penegak hukum dapat melakukan interpretasi yang memungkin penerapan hukum secara tepat. Dalam rezim ini, penerapan hukum ditangani secara profesional oleh tenaga-tenaga terdidik yang terbina secara khusus untuk menjalankan hukum .
Rheinstein yang mengedit dan menerjemahkan karya Weber (dalam sosiologi hukum) menurunkan tipologi Weber secara ringkas, demikian:
1. Irasional, yaitu tanpa dipandu oleh aturan-aturan umum
a. Formal : dipandu oleh hal-hal yang berada di luar kontrol/kemampuan akal (seperti ramalan, dll)
b. Subatantif: dipandu oleh reaksi terhadap kasus individual
2. Rasional, yaitu dengan dipandu oleh aturan-aturan umum
1) Secara ekstrinsik, yaitu dengan menganggap bahwa suatu kepentingan itu berasal dari kejadian-kejadian eksternal yang dapat diamati oleh indera.
2) Secara logis, yaitu dengan mengekspresikan/mengungkapkan aturan-aturan dengan penggunaan konsep-konsep abstrak yang diciptakan oleh pemikiran hukum itu sendiri dan dipahami sebagaimana suatu sistem yang lengkap.

Menurut Weber, peradilan kadi adalah peradilan yang sangat arbiter dan karena itu juga dinilai sebagai peradilan yang paling tidak rasional. Keputusan-keputusan peradilan ini sepenuhnya dipercayakan kepada kearifan sang pengadil, tanpa dirasakan perlunya untuk dikontrol oleh niscayaan sistem. Tentang peradilan-peradilan tipe kedua, ialah peradilan empirik, Weber mengatakan, peradilan ini terbilang peradilan yang lebih rasional, sekalipun belum sepenuhnya. Dalam peradilan empirik ini, sang hakim memutusi perkara-perkara dengan cara beranologi; keputusan-keputusan terdahulu dalam perkara-perkara serupa dicoba dicari dan dirujuk, untuk kemudian ditafsir guna menemukan relevansinya dengan perkara-perkara yang tengah ditangani .
Dalam tipologi Weber, peradilan dalam hukum modern sebagaimana dapat disimak dalam pengalaman dan perkembangan di Dunia Barat adalah peradilan yang harus dinilai paling rasional. Dalam definisi Weber, peradilan rasional adalah peradilan yang bekerja atas dasar asas-asas kerja sebuah organisasi biokrasi, yang hasilnya pada galibnya memiliki daya berlaku yang universal; tidak seperti halnya peradilan kadi dan peradilan yang sifatnya lebih partikularistik-partikularistik.
Menurut Weber pula, hukum Barat yang berkembang sejauh ini adalah hukum yang paling rasional, ditangani oleh ahli-ahlinya yang profesional di bidang kehakiman dan kepengacaraan. Pengorganisasian dan penegakannya amat mengandalkan kesahihan analisis-analis yang log's (menurut silogisme deduktio guna menggali makna¬makna dan konsep-konsep dari aturan-aturan umum yang berlaku. Dalam perkembangannya, hukum Barat yang modern itu akan kian terlambangkan melalui proses-proses birokratisasi yang berlangsung di tubuh aparat-aparat negara, dan dengan begitu juga kian rasional sifatnya, dengan isi keputusan-keputusan yang boleh didugakan kelugasan dan kepastiannya .

Hukum itu Tatanan Karya Sosial:
Teori Leon Duguit

Seperti halnya Durkheim, Duguit juga menempatkan solidaritas sosial sebagai dasar konstruksi teori tentang hukum. Meski begitu, Duguit mengambil )alan lebih sempit. Solidaritas yang disorotnya, tipikal solidaritas dalam masyarakat industri. Masyarakat industri itu, di mata Duguit, adalah `masyarakat karya'. Dalam `masyarakat karya' ini, terdapat banyak kelas sosial, dan semua orang dari kelas sosial mana pun, terlibat dalam proses ekonomis, yakni proses produksi dan distribusi .
Keterlibatan dalam kancah produksi dan distribusi ini, memunculkan rasa solidaritas. Rasa solidaritas itu tidak hanya menghinggapi anggota-anggota dari satu kelas sosial tertentu. Rasa yang sama juga dinikmati oleh kelas-kelas sosial yang berbeda. Rasa solidaritas itu muncul, oleh karena dalam kancah produksi dan distribusi, terdapat pembagian kerja yang beragam dan sistemik. Akibatnya, layaknya sebuah sistem, terjadi hubungan interdependensi, baik antara orang maupun antar kelas. Praktis, dunia kehidupan `masyarakat karya' dihiasi dan dipenuhi solidaritas sosial.
Solidaritas sosial itu, membangkitkan dua rasa, yakni (i). Rasa keharusan sosial (sentiment de la socialite), dan (ii). Rasa keadilan (sentiment de la justice). Rasa keharusan sosial, tampil dalam wujud keyakinan akan perlunya pedoman-pedoman bersama yang sesuai dengan kebutuhan `masyarakat karya'. Sedangkan rasa keharusan keadilan, menunjuk pada kepekaan tentang cara membagi beban dan imbalan yang proporsional.
Dari dua rasa keharusan inilah, hukum itu lahir. Nama hukum itu, adalah `hukum karya sosial'. Hukum ini merupakan hukum fundamental masyarakat-hukum yang menguasai seluruh hidup bersama. la tidak dibuat. la muncul spontan dari pergulatan internal `masyarakat karya'. Isinya, berupa kaidah-kaidah yang bermuatan nilai-nilai ekonomis dan moral yang dipandang hakiki dalam `masyarakat karya' itu .
Di antara hukum yang timbul secara spontan itu, terdapat normes juridiques dan regles constructives. Normes juridiques merupakan `hukum karya sosial' yang dasar, berupa prinsip-prinsip hukum umum, seperti: )angan mengekang dan menjajah kebebasan orang lain, jangan mencuri, milikilah tanggungjawab, dan lain sebagainya.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip hukum umum ini, muncul peraturan-peraturan teknis (regles constructives) yang berasal dari adat dan kebiasaan. Jadi, tidak perlu ada kekuasaan khusus untuk membentuk hukum. Campur tangan negara pun, tidak terlalu dibutuhkan. Maka yang dominan adalah hukum privat (sipil), bukan hukum publik.
Menurut Duguit hukum sipil yang berlaku dalam `masyarakat karya' itu, merupakan pengolahan tiga prinsip hukum umum. Prinsip yang pertama: "Orang perlu memiliki kebebasan untuk berkumpul". Prinsip yang kedua: "Orang harus menghormati milik orang lain". Prinsip yang ketiga: "Setiap orang wajib memulihkan kerugian akibat kesalahannya .
Campur tangan negara, kalau pun perlu, tidak boleh menyentuh normesjuridiques. Negara hanya dimungkinkan terlibat dalam pembuatan peraturan-peraturan teknis (regles constructives). Tapi peraturan-peraturan teknis (buatan negara), itu harus tetap dianggap bukan norma-norma yang berasal dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, di antara norma-norma hukum dan peraturan-peraturan teknis hanya terdapat suatu hubungan ekstern saja.
Lalu mengapa campur tangan negara perlu dibatasi dalam urusan hukum? Menurut Duguit, kekuasaan dalam negara sebenarnya tidak lain daripada suatu alat yang diciptakan individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu untuk mempertahankan supremasinya atas orang lain. Oleh karena itu, jika negara terlalu banyak dilibatkan dalam urusan hukum, maka hanya akan melahirkan peraturan-peraturan teknis yang disusun sewenang-wenang untuk melayani kepentingan tertentu .
Tidak! `Hukum karya sosial' menurut Duguit, (harus) bersifat obyekti£ la berlaku secara sama bagi semua orang, baik bagi mereka yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat maupun bagi mereka yang harus tunduk pada orang-orang berkuasa itu. Oleh karena hukum juga berlaku bagi orang-orang yang berkuasa, maka mereka harus taat kepada hukum itu dalam segala tindakannya. Itu berarti, dalam pembentukan hukum dan dalam pelaksanaan hukum, mereka hanya bertindak secara sah, bila tindakan itu cocok dengan hukum sosial obyektif dan tujuan sosial masyarakat.
Sebagai ahli hukum, Duguit-di atas segala-galanya-mempunyai satu tujuan, yakni menetapkan suatu tatanan hukum yang `alamiah' obyektif yang bebas dari kesewenang-wenangan dan nafsu kekuasaan. Mudah diduga, ia menyerang dongeng tentang kedaulatan negara dan teori-teori yang memuja negara. Menurut Duguit, bukan campur tangan negara yang memberi ciri khas norma hukum pada suatu peraturan. Peraturan di bidang ekonomi maupun moral, menjadi norma hukum kalau kesadaran massa individu-individu sebagai kelompok sosial memahami dan membenarkan bahwa reaksi terhadap pelanggaran dapat diatur sendiri oleh masyarakat. Konsekuensinya adalah, pembuat UU tidak dalam posisi menciptakan hukum, tetapi hanya mengungkapkan norma hukum yang dibentuk oleh kesadaran dari kelompok-kelompok sosial yang ada .
Pemerintah tidak boleh menyisipkan agenda sendiri dalam hukum yang dibuatnya, sekalipun dengan selubung hukum publik. Itulah sebabnya, Duguit menolak secara radikal penggolongan hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat. Baginya, pembagian seperti itu memunculkan polarisasi antara kekuasaan pemerintah di satu pihak, dan masyarakat sebagai subyek privat di pihak lain. Kekuasaan yang diselimuti dengan status khusus dari hukum publik, kata Duguit, selalu mungkin berujung pada kesewenang-wenangan.
Tidak! Baik negara maupun masyarakat, kata Duguit, harus tunduk pada satu hukum, yakni `hukum karya sosial'. Meminjam istilah Dicey, hanya ada satu hukum bag', semua, yakni yang memerintah dan yang diperintah harus tunduk pada hukum yang sama. Dua-duanya, menurut Duguit, merupakan bagian dari badan sosial yang harus melakukan fungsi sosial, yaitu pelayanan umum.
Bahkan setiap individu, entah dalam melakukan fungsi publik atau tidak, sebagai bagian dari organisme sosial, pada dasarnya menjalankan fungsi membantu kesejahteraan orang lain dan serentak dirinya sendiri. Pemerintah pun merupakan `pelayan umum', demikian Duguit . Persis di titik ini, Duguit menggeser konsepsi tentang kedaulatan, dan mengganti dengan `pelayanan umum' sebagai dasar bagi hukum publik. Dengan demikian, praktis, pelayanan umum menjadi poros penyatu bag, hukum publik dan hukum privat.
Sekali lagi, keberatan Duguit terhadap polarisasi hukum publik dan privat, tidak lepas dari sikap skeptisnya terhadap kekuasaan negara. Bagi Duguit, negara tidak jauh berbeda dengan seorang manusia individu yang selalu punya hasrat berkuasa. Karena itu, salah satu teori penting dari Duguit di bidang politik adalah, perlunya pengawasan ketat terhadap kekuasaan negara dengan menetapkan prinsip-prinsip yang tegas mengenai tanggung jawab negara, seperti pengembangan hukum administrasi negara.
Ketidakpercayaan Duguit pada kekuasaan negara (yang konon sering berlagak sebagai pelindung kepentingan kolektio, serta keyakinannya pada kemampuan masyarakat menciptakan `orde hukum' dalam pembagian kerja, menyebabkan Duguit tidak saja menghendaki desentralisasi kekuasaan sebagai cara memerintah yang paling baik, tetapi juga perlunya pemerintahan sindikalisme dari kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Kelompok-kelompok itu bekerjasama satu sama lain, dan sekaligus melindungi milik individu-individu terhadap tuntutan yang berlebihan dari kelas-kelas lain dan tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah.
Tapi Duguit mengecam individualisme yang tampil dalam konsepsi tentang hak-hak individu yang tidak dapat dicabut. Dalam hal ini, ia sering mengulang frase khas Comte: `Satu-satunya hak yang dimiliki seseorang adalah hak untuk menunaikan kewajiban'. Ini memang cocok atau jumbuh dengan konsep Duguit tentang pelayanan umum.
Meski begitu, la juga tidak setuju dengan upaya memperkuat kekuasaan sentral dari negara. Sebagai gantinya, la mendukung pemerintahan kelompok dengan sistem desentralisas di satu sisi, dan di sisi yang lain menempatkan `orde' yang dihasilkan dari hubungan antar kelompok-kelompok yang berbeda (yang diikat semangat solidaritas karya) menjadi tatanan hukum yang obyektif.
Sifat imperatif tatanan hukum tersebut, di mata Duguit, menye.rupai categorical imperative dari Kant. Maka tidak kebetulan, jika Duguit merumuskan ketentuan tentang `solidaritas sosial'-nya dalam bentuk perintah-perintah. Perintah-perintah itu adalah:
1) Hormati tiap perbuatan kehendak individu yang ditentukan oleh tujuan solidaritas sosial, jangan berbuat sesuatu yang merintangi prestasinya untuk melayani kepentingan orang lain dan dirinya, serta hendaklah bekerjasama sebanyak mungkin supaya meraih prestasi yang bernilai umum.
2) Setiap individu harus menjauhkan diri dari tiap perbuatan yang tujuannya bertentangan dengan solidaritas sosial.
3) Jangan berbuat sesuatu untuk mengurangi solidaritas sosial (yang terbangun lewat pembagian kerja)
Karena perintah tentang solidaritas sosial begitu prinsip dalam teori Duguit, dan menjadi sumber dari semua hukum, kita dapat katakan bahwa prinsip solidaritas sosial-nya Duguit itu menyerupai apa yang oleh Kelsen disebut grundnorm. Tapi toh, solidaritas sosial Duguit bersifat kategoris, sedangkan grundnorm-nya Kelsen bersifat hipotetis.

Hukum itu Aturan yang Hidup:
Teori Eugen Ehrlich

Hukum, pertama-tama bukanlah sebuah konsep intelektual. Sebagaimana masyarakat-sebagai institusi interaksional manusia¬antara orang-orang-laki-laki dan perempuan yang saling berbagi dalam makna dan pengalaman hidup, maka hukum pun tidak kurang dari realitas hubungan antar manusia itu sendiri.
Hukum merupakan hubungan antar manusia. la bukan sesuatu yang formal. la merupakan sesuatu yang eksistensial. Karenanya, seperti Duguit, Ehrlich juga membangun teorinya tentang hukum dengan beranjak dari ide masyarakat. Menurut Ehrlich, masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk menandakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomis dunia, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini hubungan sosial berarti, orang-orang dikumpulkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, yang berwibawa atas mereka .
Norma-norma hukum berasal dan kenyataan sosial yang demikian itu. Kenyataan-kenyataan yang melahirkan hukum, menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial. Dalam hal ini, kenyataan sosial ditafsirkan Ehrlich secara ekonomis. Ekonomi merupakan basis seluruh kehidupan manusia. Maka ekonomi bersifat menentukan bagi aturan hukum itu. Dalam kehidupan yang berwarna ekonomik itu, manusia menjadi sadar akan kebutuhannya (opinio necessitatis). Kesadaran inilah yang menyebabkan timbulnya hukum secara langsung. Itulah "hukum yang hidup" (living law).
Mengapa dikatakan "hukum yang hidup"? Karena hukum itu bukan sesuatu yang ditambahkan dari luar secara a historis. la justru merupakan sesuatu yang eksistensial dalam sejarah hidup suatu masyarakat. Hukum diwujudkan dan diungkapkan dalam kelakuan mereka sendiri. Ehrlich menamakan hukum yang hidup itu sebagai Kechtsnorrreen (norma-norma hukum). Dimensi sosial dan historis dari norma-norma hukum, sudah tercermin dalam judul buku Ehrlich Grundlegung der Soziologie des Rechts (1913). Dalam buku ini Ehrlich berusaha mencari dasar bagi hukum Qerman), yang ditandai oleh “die soziale Idee”
Hukum adalah `hukum sosial'. Ia lahir dalam dunia pengalaman manusia yang bergumul dengan kehidupan sehari-hari. la terbentuk lewat kebiasaan. Kebiasaan itu lambat laun mengikat dan menjadi tatanan yang efekti£ Lalu kehidupan berjalan dalam tatanan itu. Kekuatan mengikat `hukum yang hidup' itu tidak ditentukan oleh kewibawaan negara. Ia tidak tergantung pada kompetensi penguasa dalam negara. Memang semua hukum dalam segi eksternnya dapat diatur oleh instansi-instansi negara, akan tetapi menurut segi internnya hubungan-hubungan dalam kelompok-kelompok sosial tergantung dari anggota-anggota kelompok itu. Inilah living law itu. Hukum sebagai `norma-norma hukum' (Rechtsnormen) .
DI samping `hukum yang hidup' (sebagai rechtsnormen), Ehrlich mengintroduksi jenis norma lain yang disebut Entscheidungsnormen (norma-norma keputusan) yang merupakan pedoman bagi pengadilan. Selain itu, Ehrlich menyebut jenis yang lain lagi, yakru Aechts atZe, yang menunjuk pada peraturan-peraturan hukum yang telah dirumuskan dalam bentuk peraturan perundangan. Peraturan-peraturan itu berasal dan karya ilmiah para hakim, sarjana, legislatif, pegawai negara, dan lain sebagainya.
Karena aturan yang ditambahkan `dari luar', maka sekalian itu tidak tergolong `hukum yang hidup'. Tapi jika peraturan-peraturan tersebut telah menjadi bagian internal dari kehidupan masyarakat, maka ia akan beralih status sebagai `hukum yang hidup' juga. Jadi, baik norma-norma hukum maupun norma-r.orma keputusan dapat menjadi peraturan-peraturan hukum.
Demikian juga sebaliknya, peraturan-peraturan hukum dapat menjadi norma-norma hukum . Karena alasan itu, Ehrlich tidak ikut¬ikutan terlalu membenci negara. Sebab selalu terbuka kemungkinan, negara membuat peraturan-peraturan hukum `yang membumi' sehingga sekali kelak berubah menjadi norma-norma hukum (hukum yang hidup) .

Hukum itu Gejala Sosial:
Teori Theodor Geiger

Hukum itu, bukan terutama, aturan formal dalam wujud undang-undang. Ia merupakan norma yanghidup dalam hati orang-orang. Karena itu, Geiger membedakan dua macam norma. Yang satu adalah `norma yang sebenarnya'. Dan yang lain, ialah norma `yang tidak sebenarnya'. Norma yang sebenarnya, menunjuk pada norma-norma yang belum masuk aturan perundangan negara. la merupakan norma yang habitual. Sedangkan norma yang tidak sebenarnya adalah normasatz norma yang sudah dirumuskan dalam aturan perundangan negara .
Menurut Geiger, realitas suatu norma (`norma yang sebenarnya terletak dalam kenyataan bahwa norma itu terjelma dalam tingkah laku anggota-anggota masyarakat, dan (pasti) tiap orang akan bereaksi bila norma itu dilanggar. Memang ada kemungkinan juga bahwa hal ini terjadi dengan norma-norma yang sudah menjadi peraturan formal. Tapi hal itu tidak selalu. Bisa saja suatu norma tetap dipertahankan sebagai peraturan walaupun norma itu sudah tidak diakui sungguh-sungguh dalam masyarakat itu. Norma itu kurang real kalau dibandingkan dengan norma yang nampak dalam kelakuan orang.
Bagi Geiger, hukum (sebagai norma yang sebenarnya) merupakan bagian dari masyarakat yang dinamis. Kata Geiger, masyarakat itu bukan benda. la merupakan `sebuah proses' (gesellschaft ist kein ding, sondern em proZess). Norma-norma hukum, dan berlakunya norma-norma itu, tidak luput dari proses ini. Hukum harus dipandang sebagai kenyataan¬kenyataan sosial yang dinamis juga.
Mulanya kata Geiger, dalam masyarakat yang masih sederhana, ke-hidupan manusia berada dalam kontrol nilai-nilai moral yang transedental. Tatanan hukum pun dan tanggapan orang terhadapnya juga serba bernuansa nilai. Tapi keadaan menjadi lain dalam masyarakat modern. Peran nilai-nilai kian berkurang dalam kehidupan sosial, tak terkecuali menyangkut hukum. Inilah ciri masyarakat modern, kata Geiger.
Sebagai kenyataan sosial belaka (dari masyarakat modern), maka hukum merupakan sesuatu yang a-normatif, seperti gejala-gejala masyarakat lainnya. Bukan hanya hukum yang a-normatif. Tingkah laku orang terhadap hukum, bersifat a-normatif pula. Orang menaati hukum, bukan karena motif nilai-nilai tertentu, tetapi karena adanya kekuasaan ekstern yang memaksa. Begitu kata Geiger. Faktual, terdapat kekuasaan ekstern yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk memaksakan anggota-anggotanya agar mereka bertingkah laku sesuai norma hukum. Kekuasaan itu real adanya. Ini tampak dalam kenyataan, bahwa orang-orang biasanya menuruti norma-norma itu.
Secara sosiologis, kiranya jelas, motif utama orang menuruti norma-norma hukum justru karena adanya tekanan dari masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan norma itu. Kewajiban yang bersifat moral atau ide-ide lain yang sering dipercaya sebagai motif untuk mentaati hukum, dianggap oleh Geiger sebagai khayalan belaka .
Kiranya jelas, cara mengenal `norma yang sebenarnya' bukan dengan membuka kitab hukum. Kita cukup dengan melihat fakta. Pertama, bahwa orang-orang bertindak menuruti norma itu. Kedua, fakta bahwa jika orang tidak menuruti norma-norma itu, mereka dikenai sanksi. Lewat dua fakta itulah, orang mengenal adanya norma hukum.
Kita juga dapat katakan, tes terhadap suatu normasatz apakah memiliki kualitas sebagai norma hukum, dapat dilakukan lewat dua cara. Cara pertama, lihatlah apakah masyarakat menerima peraturan itu. Dan cara kedua adalah, apakah masyarakat itu mau bereaksi terhadap orang yang melanggar peraturan tersebut.
Sebagai seorang positivis yang relatif radikal, Geiger cenderung menyangkal peran moral dalam hukum. Hidup bersama dalam masyarakat modern, menurut Geiger, makin kurang dilandasi pertim¬bangan-pertimbangan moral. Bahkan konsensus dalam bidang moral, sudah jarang ditemukan lagi. Oleh karena itu; peraturan-peraturan hidup bersama, tidak dapat dibebani pertimbangan-pertimbangan moral. Dengan kata lain, nilai-nilai tidak lag, memainkan peran dalam hukum.
Sikap negatif terhadap nilai-nilai itu, membawa Geiger kepada suatu praktischer wertnibilismus (ketiadaan nilai-nilai hidup). Apa itu berarti terjadi nihilisme? Menurutnya, orang tidak pernah sampai pada suatu nihilisme, karena selalu terdapat suatu kepastian di mana orang-orang dan masyarakat umum akan bertingkah laku menurut norma hukum yang ada. Hanya saja, motifnya bukan moral tetapi paksaan eksternal. Hukum itu fakta sosial, bukan fakta yuridis atau nilai, demikian Geiger.

Hukum itu Proses Penguatan:
Teori Maurice Hauriou

Teori Hauriou ini berporos pada peran institusi (khususnya negara) untuk meneguhkan niat orang menaati hukum. Hauriou memulai uraiannya dari gambaran tentang manusia. Manusia menurut Hauriou, diciptakan Alkhalik sebagai manusia bebas yang harus berkembang dalam hidup bersama. Sebagai bagian dari semesta alam, manusia itu terseret dan ikut pula dalam evolusi semesta alam ke arah kesempurnaannya. Mula-mula ia menyesuaikan diri begitu saja dengan perkembangan itu, tetapi sesudah menjadi sadar akan diri sendiri, ia ikut dalam perkembangan realitas itu secara sadar dan bebas.
Dalam kesadaran akan dirinya itu, pengalaman hidup, membuat orang insyaf bahwa selalu terdapat pertentangan antara kehendak untuk menaati aturan dan dorongan melawan aturan itu. Menurut Hauriou, dari sudut manusia individu, keinginan untuk mentaati aturan itu selalu lemah. Ia akan bertambah kuat jika ada dukungan dari orang lain. Dukungan orang lain itu terjamin berkat institusionalisasi hidup bersama dalam lembaga-lembaga yang ada, termasuk negara. Lembaga dalam wujud negara itulah yang pada akhirnya sangat menentukan dalam mengkondisikan orang untuk taat pada hukum.
Institusionalisasi dalam masyarakat manusia, terbentuk lewat proses. Menurut Hauriou, hidup bersama manusia dimulai dengan organisasi individu-individu bebas. Itu terjadi melalui seorang yang kuat yang merebut kekuasaan. Kekuasaan itu digunakannya untuk menciptakan damai dan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama. Dalam tahap yang kedua, orang-orang sampai pada keyakinan bahwa hidup bersama bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai lintas¬individual. Nilai-nilai lintas-individual itu berfungsi sebagai struktur¬tipe yang tetap dan normatif bagi hidup bersama. Struktur-tipe ini mempengaruhi kesadaran manusia sampai akhirnya struktur tipe tersebut dijelmakan dalam institusi-institusi sosial, ba.ik negara maupun institusi-institusi lain.
Proses penjelmaan itu berjalan menurut suatu skema tertentu. Pada mulanya ide-ide itu memiliki pengaruh atas pikiran orang-orang terkemuka, yang juga mempunyai kekuasaan untuk menjelmakan ide-ide itu dalam institusi sosial. Kekuasaan itu menyangkut dua hal, yakni:
1) Kecakapan untuk mengerti dan memahami ide-ide normatif itu dan merumuskannya,
2) Kewibawaan dan kehendak yang kuat. Akan tetapi di samping kekuasaan orang-orang terkemuka terdapat juga kekuasaan rakyat. Rakyat sering menghadapi hambatan dalam menerima ide-ide itu, sehingga hanya lewat proses penguatan terhadap rakyatlah, ide-ide itu dapat mempengaruhi seluruh masyarakat.
Akhirnya dalam tahap yang ketiga, melalui ide-ide itu, organisasi sosial berubah menjadi badan baru, yakni `lembaga moral' (negara). Ide-ide yang dijelmakan dalam negara hukum modern, demikianlah Hauriou, adalah ide-ide kebebasan, ide aturan, dan ide kesamaan. Dalam revolusi Prancis ide-ide itu sudah dideklarasi sebagai cita-cita rakyat. Dalam abad XIX dan XX ide-ide itu makin mempengaruhi pikiran orang sehingga negara hukum modern makin diteguhkan.
Bentuk negara baru itu dicerminkan dalam hukum. Hauriou menyebut dua macam hukum. Jenis pertama adalah hukum privat sipil. Ini merupakan hukum individual-yang karena negara-la didukung dan dipatuhi oleh semua orang. Jenis kedua adalah hukum publik. Ini menyangkut pertama-tama peraturan-peraturan reglementer (yang berasal dari kekuasaan yang kompeten), serta undang-undang yang dibentuk oleh wakil-wakil rakyat sebagai hukum positif. Setelah negara menjadi `person moral', dua tipe hukum itu dikuasai oleh tipe yang ketiga, yakni hukum konstitusional. Di bawah kekuasaan hukum konstitusional, semua orang dan lembaga-lembaga negara dikondisikan untuk menaati hukum. Orang dikuatkan untuk menaati hukum yang sifatnya lintas individual.

Hukum itu Kenyataan Normatif:
Teori George Gurvitch

Ide sentral dalam teori hukum Gurvitch, ialah kenyataan normatif (fait norniatif). Apa `kenyataan normatif' yang dimaksud Gurvitch? Keadilan. Hidup dalam masyarakat hanya dapat berjalan aman, damai, dan stabil berkat hubungannya dengan keadilan. Menurut Gurvitch, sejumlah orang baru menjadi kelompok yang riil, bila mereka mengalami kelompoknya sebagai suatu `kita'. `Aku' dan `engkau' menjadi bersatu sebagai `kita'. Ini bisa terwujud jika keadilan menjadi nilai hidup bersama yang utama. Juga dalam membentuk hukum positif, keadilan harus memegang peranan yang penting. Hukum itu mendapat arti hukum yang sesungguhnya, berkat nilai keadilan yang diwujudkanny '.
Jadi kenyataan normatif dalam hukum, dapat diartikan sebagai perwujudan nilai keadilan dalam realitas empiris hidup bersama. Dalam hidup bersama, realitas empiris digabungkan dengan nilai ideal normatif. Penggabungan ini hanya mungkin melalui nilai keadilan (oleh sebab nilai keadilan tinggal di tengah yang real dan yang ideal). Di satu fihak terdapatlah bidang moral yang mutlak dan sempurna yang hanya dapat ditinjau dalam ranah intuitif. Di lain fihak terdapatlah realitas empiris yang kita alami sebagai kurang sempurna, dan yang dapat diungkapkan dalam pengalaman riil. Nilai keadilan berdiri di tengah, sebab keadilan itu merupakan sesuatu yang ideal, tetapi sesuatu yang ideal juga memiliki segi pengalaman, logis, dan umum. Karena segi yang terakhir ini keadilan selalu menandakan dunia pengalaman .
Kenyataan normatif, yaitu perwujudan keadilan dalam realitas empiris, merupakan dasar material hubungan-hubungan sosial antara manusia. Artinya bahwa tiap-tiap hidup bersama sejumlah orang mendapat bentuknya sebagai hidup berkelompok berdasarkan kenyataan normatif itu. Inilah yang disebut `hukum sosial ash'. Hal ini nampak dalam kelompok yang belum menjadi organisasi. Kelompok itu dapat diartikan sebagai suatu kesatuan transpersonal, dengan hubungan timbal-balik antara keseluruhan dan anggota-anggotanya.
Dalam kesatuan semacam itu, hukum sosial ash dihayati secara kolektif oleh anggota-anggota kesatuan itu. DI situlah muncul kewibawaan yuridis yang transpersonal. la tidak tergantung pada seorang pribadi atau institusi tertentu. la berkaitan dengan kelompok sebagai ke-kita-an . Singkatnya, kewibawaan yuridis itu adalah sesuatu yang tidak pribadi. Kewibawaan itu seluruhnya berkaitan dengan nilai keadilan yang terwujud dalam hidup berkelompok.
Berkat kewibawaan yuridis yang terletak dalam kenyataan sosial yang tidak personal itu, `hukum sosial ash' dijadikan hukum positif yang berlaku. Hal ini menandaskan suatu peraturan ditentukan oleh suatu kekuasaan di luar peraturan itu sendiri, dan peraturan itu menjadi efektif dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Nampaklah di siru, kenyataan normatif berfungsi sebagai sumber hukum dan juga sebagai sumber berlakunya hukum.
Hubungan antara `hukum sosial ash' dan masyarakat, merupakan hubungan saling membangun. Di satu fihak, `hukum sosial ash' merupakan asal mula hidup bersama itu. Tanpa `hukum sosial ash', tidak mungkin terdapat hidup bersama dalam prinsip `ke-kita-an'. Di lain fihak, `hukum sosial ash' itu merupakan hasil hidup kelompok `kekita-an' dan dilahirkan di dalamnya, sebab memang hukum sosial ash mengandaikan hidup bersama dalam kelompok.
Dapat disimpulkan, hidup bersama dan `hukum sosial ash', saling melahirkan dan sating memenuhi. Keduanya tidak dapat dipisahkan, baik dalam berdirinya maupun dalam berlakunya. `Hukum sosial ash' yang ada dalam kelompok yang belum diorganisasi, merupakan perwujudan utama keadilan dalam realitas empiris hidup bersama. Dalam teori hukum Gurvitch, kiranya dapat digolongkan beberapa macam hukum sosial, mulai dari hukum sosial yang lepas sama sekali dari negara sampai hukum sosial masyarakat yang seluruhnya terikat pada negara. Hukum-hukum sosial itu adalah :
Pertama, hukum sosial yang murni dan berdaulat (drozt soczal pur et independant). Hukum itu sama sekali tidak mengalami pengaruh dari negara, dan karenanya disebut murni/asli. la dibentuk lepas dari pembentukan undang-undang negara, dan karenanya disebut berdaulat. Pada `hukum sosial ash' ini termaktub dua jenis hukum lagi: (a). Hukum dari kelompok-kelompok sosial yang supra-fungsional dan ticlak diorganisasi. Kelompok-kelompok itu adalah hidup bersama nasional sebagai bangsa (nation), yang menurut Gurvitch tidak boleh disamakan dengan hidup negara. Kelompok lain yang penting adalah hidup bersama antara bangsa, yang menciptakan masyarakat internasional (communaute internationale). Dua bentuk hidup bersama ini bersifat supra-fungsional, oleh sebab berfungsi demi kepentingan umum dalam segala seginya, bukan hanya dalam satu atau dua segi saja, seperti halnya pada hidup bersama ekonomis, hidup bersama dalam negara dan sebagainya.
Maka masyarakat supra-fungsional berarti, masyarakat itu memelihara segala fungsi hidup. Oleh karena hidup bersama supra¬fungsional itu menyangkut segala segi kehidupan manusia, maka dari itu hukum yang timbul di dalam hidup bersama itu dapat menjadi wasit dalam memecahkan segala masalah yang timbul di antara kelompok¬kelompok fungsional dan juga terhadap hukum yang berlaku di antara kelompok-kelompok fungsional itu. Karena peranan ini, Gurvitch dapat mengatakan, hukum sosial dari kelompok yang supra-fungsional dan tidak diorganisasi mempunyai fungsi integrasi terhadap kelompok fungsional dan hukum fungsional yang timbul di dalam kelompok itu. (b). Hukum dari hidup bersama internasional-fungsional yang tidak diorganisasi. Hukum ini adalah fungsional, artinya memelihara salah satu segi kehidupan manusia, tetapi bukan melalui organisasi. Hukum ini mendasari hukum yang dibuat melalui organisasi, apapun bentuknya.
Kedua, hukum sosial yang murni, tetapi di bawah pengawasan negara (droit social pur, mais soumis dla tutelle etatique). Hukum sosial ini adalah segala hukum yang timbul dalam hidup bersama yang bukan negara, dan karenanya disebut murni. Tetapi hukum itu hanya dapat berfungsi di dalam batas yang ditentukan negara, dan karenanya dikatakan, hukum itu berada di bawah pengawasan negara. Dua bentuk hukum sosial yang baru disebut itu, adalah hukumnya masyarakat (roczete), dan dengan ini berbeda dari hukum negara.
Ketiga, hukum sosial yang murni, yang diambil alih oleh negara, akan tetapi tetap bersifat otonom (droit social pur annexe par l'etat, mai.r autonome). Hukum sosial ini adalah hukum pemerintah lokal, hukum serikat-serikat ekonomis, hukum kelompok-kelompok sosial, dan lain sebagainya. Hukum itu berada seluruhnya di bawah kekuasaan negara dan berfungsi demi kepentingan negara. Dengan demikian, dalam bentuk hukum sosial ketiga ini sudah terdapat peralihan dari hukum masyarakat ke hukum negara.
Keempat, hukum sosial yang terjelma dalam aturan dan hukum negara (droit social condense en ordre du droit etatigue). Inilah hukum negara dalam arti yang penuh, sebab menyangkut aturan negara sendiri. Negara yang menjamin aturan hukum ini memiliki suatu keistimewaan, sebab dapat menggunakan kekerasan.
Negara yang ideal menurut Gurvitch, adalah negara yang mewujudkan kesatuan supra-personal dan keseluruhan dari anggota¬anggotanya sebaik-baiknya. Kesatuan ini hanya dapat diwujudkan dalam negara demokratis, oleh sebab di sini hukum dasar masyarakat yang belum terorganisasi mendapat tempat yang paling layak. Dalam semua bentuk negara yang non-demokratis, hukum sosial dasar itu tidak mendapat kesempatan untuk dinyatakan sungguh-sungguh. Pada negara tersebut, mayoritas hukum diciptakan dari atas, dan karena itu lebih bersifat memaksakan orang daripada mengungkapkan cita cita sosialnya.
Dengan konstatasi itu, Gurvitch handak mengatakan, prioritas hukum harus diberikan kepada hukum dari masyarakat yang bukan negara. Seharusnya hukum negara dibatasi oleh hukum masyarakat itu. Kedaulatan itu tidak berasal dari seorang yang berkuasa, atau dari suatu kekuasaan politik manapun juga, tetapi kedaulatan itu terkandung dalam hukum sosial masyarakat yang tidak terorganisasi, sebab hukum sosial itu berakar dalam kenyataan normatif segala hidup bersama, yakni keadilan yang terwujud dalam realitas empiris.
Memang kita boleh saja berbicara mengenai kedaulatan politik, lebih-lebih oleh sebab negara mempunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan. Namun kedaulatan itu tetap bersifat relatif sebab dibatasi oleh kedaulatan yang dimiliki oleh masyarakat-masyarakat yang bukan negara. Masyarakat-masyarakat itu juga berdaulat dalam membentuk hukum, dalam bidarignya masing-masing.

Hukum itu Mekanisme Integrasi:
Teori Talcott Parsons

Parsons menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih besar. Di samping hukum, terdapat sub¬sub sistem lain yang memiliki logika dan fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik, dan ekonomi . Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan oleh karena itu mesti dipertahankan. Sub sistem ini berfungsi mempertahankan pola-pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of the game). Fungsi utama sub-sistem ini mengkoordinir dan mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik bersangkut-paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya adalah pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan ekonomi menunjuk pada sumber daya materil yang dibutuhkan menopang hidup sistem. Tugas sub-sistem ekonomi adalah menjalankan fungsi adaptasi berupa kemampuan menguasai sarana-sarana dan fasilitas untuk kebutuhan sistem.
Empat sub-sistem itu, selain sebagai realitas yang melekat pada masyarakat, juga serentak merupakan tantangan yang harus dihadapi tiap unit kehidupan sosial. Hidup matinya sebuah masyarakat ditentukan oleh berfungsi tidaknya tiap sub-sistem sesuai tugas masing-masing. Untuk menjamin itu, hukumlah yang ditugaskan menata keserasian dan gerak sinergis dari tiga sub-sistem yang lain itu . Inilah yang disebut fungsi integrasi dari hukum dalam teori Parsons.
Posisi hukum begitu sentral di sini. la harus mampu `menjinakan' sub-sub sistem yang lain agar bisa berjalan sinergis tanpa saling bertabrakan. Sebab, seperti dikatakan di atas, setiap sub-sistem memiliki logika, mekanisme, dan tujuan yang berbeda. Di satu sisi, sub-sistem budaya cenderung konservatif dan setia mempertahankan pola-pola ideal. Pada sisi yang lain, sub-sistem ekonomi sangat dinamis dan cenderung melahirkan terobosan-terobosan baru yang bisa saja `asing' dan `liar' dari ukuran pola-pola ideal budaya. Sedangkan sub-sistem politik senantiasa mencari berbagai cara untuk mencapai tujuan-yang boleh jadi cara-cara yang dipakai tidak sesuai dengan pola budaya dan realitas sumberdaya materil itu. Keadaan yang rentan benturan itu, harus ditangani oleh hukum lewat fungsi pengintegrasiannya agar tiap sub-sistem berjalan serasi dan sinegis demi lestarinya sistem. Dapat dimengerti, Parsons menempatkan hukum sebagai unsur utama integrasi sistem. Steeman benar, apa yang secara formal membentuk sebuah masyarakat adalah penerimaan umum terhadap aturan main yang normatif. Pola normatif inilah yang mesti dipandang sebagai unsur paling teras dari sebuah sistem sebagai sebuah struktur yang terintegrasi.
Dalam kerangka Bredemeier, fungsi hukum adalah untukmenyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat. Kedudukannya sebagai suatu institusi yang melakukan pengintegrasian terhadap proses¬proses yang berlangsung dalam masyarakat, menyebabkan hukum harus terbuka menerima masukan-masukan dari bidang ekonomi, politik dan budaya untuk kemudian diolah menjadi keluaran-keluaran yang produktif dan berdaya guna. Dan' sub-sistem politik, hukum butuh dukungan personil, kebijakan, kewenangan, dan kekuasaan yang memadai. Dari sub-sistem ekonomi, hukum butuh sokongan modal, keahlian, sarana, dan prasarana. Sedangkan dan sub-sistem budaya, hukum membutuhkan input nilai, moral, dan kearifan. Masukan dari sub-sub sistem yang lain itu, harus dimanfaatkan dan diolah oleh sub¬sistem hukum untuk meningkatkan kemampuan menjalankan fungsi integrasi. Sumbangan personil dan kewenangan dari sub-sistem politik, harus dimanfaatkan untuk memperkokoh legitimasi. Sumbangan modal dan sarana dari sub-sistem ekonomi, harus didayagunakan untuk menciptakan organisasi yang efetif dan efisien. Sedangkan sumbangan nilai dan moral dari sub-sistem budaya, harus dimanfaatkan untuk melahirkan keputusan-keputusan yang adil dan obyektif.
Keluaran-keluaran yang dihasilkan oleh sub-sistem hukum itu, harus pula menyumbang manfaat bagi sub-sub sistem yang lain. Legitimasi yang diperoleh dari sub-sistem politik, harus dijadikan modal kewenangan untuk melahirkan putusan-putusan hukum yang membantu proses pencapaian tujuan. Sarana dan modal yang diperoleh dari subsistem ekonomi, harus dimanfaatkan untuk melahirkan putusan-putusan cepat dan tepat agar tidak menghambat dinamika adaptasi sumber-sumber produksi ekonomi. Sementara sumbangan moral dan nilai dari sub-sistem budaya, harus dimanfaatkan untuk memunculkan putusan-putusan yang adil sesuai pola-pola ideal yang dikandung dalam budaya. Hanya dengan cara itu, sub-sistem hukum dapat benar-benar berfungsi secara tepat-guna dalam menjamin integrasi sistem.

Hukum itu Keseimbangan Kepentingan:
Teori Roscoe Pound

Pragmatisme Amerika, merupakan basis ideologi teori Pound tentang keseimbangan kepentingan. Seturut pragmatisme di negerinya, Pound cenderung menghindari konsrtuksi-konstruksi teori yang terlampau abstrak seperti umumnya teori-teori yang muncul di Eropa. Bagi Pound, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau eksklusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.
Pada dasarnya, `kondisi awal' struktur suatu masyarakat selalu berada dalam kondisi yang kurang imbang. Ada yang terlalu dominan, dan ada pula yang terpinggirkan. Untuk menciptakan `dunia yang beradab', ketimpangan-ketimpangan struktural itu perlu ditata ulang dalam pola keseimbangan yang proporsional. Dalam konteks keperluan tersebut, hukum yang bersifat log's-analitis dan serba abstrak (hukum murni) atau pun yang berisi gambaran realitas apa adanya (sosiologis), tidak mungkin diandalkan. Hukum dengan tipe tersebut, paling-paling hanya mengukuhkan apa yang ada. la tidak merubah keadaan. Karena itu, perlu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang lay) as a tool of social engineering .
Pertanyaan lalu muncul, apa yang harus digarap oleh hukum dalam konteks social engineering itu? Jawabannya adalah "menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat". Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin menghindari benturan dan pemborosan . Lalu apa sajakah kepentingan-kepentingan dimaksud? Pound mengajukan tiga kategori kelompok kepentingan, yaitu kepentingan umum, sosial, dan kepentingan pribadi.
Kepentingan-kepentingan yang tergolong kepentingan umum, terdiri atas dua, yaitu: (i). Kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya, (ii). Kepentingan-kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial.
Sementara yang tergolong kepentingan pribadi/perorangan adalah:
a) Pribadi (integritas fisik, kebebasan berkehendak, kehormatan/nama baik, privacy, kebebasan kepercayaan, dan kebebasan berpendapat. Kepentingan-kepentingan ini biasanya menjadi bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang penganiayaan, fitnah, dan lain sebagainya.
b) Kepentingan-kepentingan dalam hubungan rumah tangga/ domestik (orang tua, anak, suami istri). Kepentingan-kepentingan ini meliputj soal-soal seperti perlindungan hukum atas perkawinan, hubungan suami-istri, hak orang tua untuk memberi mendidik anak, termasuk lewat hukuman fisik, serta pengawasan orang tua atas penghasilan anak, dan lain sebagainya.
c) Kepentingan substansi meliputi perlindungan hak milik, kebebasan menyelesaikan warisan, kebebasan berusaha dan mengadakan kontrak, hak untuk mendapatkan keuntungan yang sah, pekerjaan, dan hak untuk berhubungan dengan orang lain.
Sedangkan kepentingan sosial meliputi enam jenis kepentingan. Pertama, kepentingan sosial dalam soal keamanan umum. Ini meliputi kepentingan dalam melindungi ketenangan dan ketertiban, kesehatan dan keselamatan, keamanan atas transaksi-transaksi dan pendapatan.
Kedua, kepentingan sosial dalam hal keamanan institusi sosial meliputi:
a) Perlindungan hubungan-hubungan rumah tangga dan lembaga¬lembaga politik serta ekonomi yang sudah lama diakui dalam ketentuan-ketentuan hukum yang menjamin lembaga perkawinan atau melindungi keluarga sebagai lembaga sosial.
b) Keseimbangan antara kesucian perkawinan dan hak untuk bercerai. (c). Perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan antara suami dan istri terhadap hak bersama untuk menuntut ganti rug, karena perbuatan yang tidak patut,
c) Keseimbangan antara perlindungan lembaga-lembaga keagamaan dan tuntutan akan kemerdekaan beragama.
d) Menyangkut kepentingan keamanan lembaga-lembaga politik, maka perlu ada keseimbangan antara jaminan kebebasan berbicara dan kepentingan keselamatan negara.
Ketiga, kepentingan-kepentingan sosial menyangkut moral umum. Ini meliputi perlindungan masyarakat terhadap merosotnya moral seperti korupsi, judi, fitnah, transaksi-transaksi yang bertentangan dengan kesusilaan, serta ketentuan-ketentuan yang ketat mengenai tingkah laku wali.
Keempat, kepentingan sosial menyangkut pengamanan sumber daya sosial. Ini diuraikan oleh Pound sebagai tuntutan yang berkaitan dengan kehidupan sosial dalam masyarakat beradab agar orang jangan boros dengan apa yang ada.Penyalahgunaan hak atas barang yang dapat merugikan orang, termasuk dalam kategori ini.
Kelima, kepentingan sosial menyangkut kemajuan sosial. Ini berkaitan dengan keterjaminan hak manusia memanfaatkan alam untuk kebutuhannya, tuntutan agar rekayasa sosial bertambah banyak dan terus bertambah baik, dan lain sebagainya. Menurut pandangan Pound, kelompok ini terdiri dari empat kebijaksanaan pokok, yakni kebebasan memiliki, kebebasan perdagangan dan perlindungan terhadap monopoli, kebebasan perindustrian dan dorongan untuk melakukan penemuan. Pound memasukkan dalam kategori yang sama kepentingan dalam perkembangan politik melalui perlindungan atas kritik bebas, komentar yang jujur, kebebasan pendidikan, dan lain-lain.
Keenam, kepentingan sosial menyangkut kehidupan individual (pernyataan diri, kesempatan, kondisi kehidupan). Ini berkaitan dengan tuntutan agar tiap individu mampu menjalani kehidupannya sesuai dengan patokan-patokan masyarakat. Kepentingan inilah yang oleh Pound dilukiskan sebagai "hal yang paling penting dari semuanya:" Hal ini diakui dalam perlindungan hukum atas kebebasan berbicara, kebebasan bekerja, dan kebebasan berusaha sesuai patokan-patokan normal dalam masyarakat.
Seluruh daftar kepentingan yang dipaparkan Pound, tentu saja tidak absolut karena sangat tergantung pada sistem-sistem pobtik dan sosial suatu masyarakat/negara. Apa yang didata oleh Pound bersumber dari sistem liberal. Tidaklah mengherankan jika Pound menempatkan kepentingan dalam kehidupan individu sebagai yang paling penting dari semua kepentingan yang lain.
Kita boleh tidak sependapat mengenai detail kepentingan yang diurai Pound, berikut kepentingan-kepentingan yang diprioritaskannya. Dan memang kekuatan teori Pound tidak terletak di situ. Titik kekuatan Pound terletak pada kerangka pengelompokan yang dibangunnya serta pesan sentral dari pengelompokan semacam itu. Pertama, hukum perlu didayagunakan sebagai sarana menuju tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Kedua, pengelompokan semacam itu sangat membantu untuk memperjelas kategori kepentingan yang ada dalam masyarakat secara keseluruhan, berikut bagaimana menyeimbangkannya secara tepat sesuai dengan aspirasi dan tuntutan yang berkembang kini dan di sini.
Sudah tentu, kategori kepentingan seperti diajukan Pound, tidak saja bermanfaat bagi kepentingan legislasi, tetapi juga berguna bagi dunia praktik dengan mengaitkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dalam suatu kepentingan dengan kepentingan yang lainnya. Dalam dunia praktik, problema pokok yang lebih mendesak adalah problema metode yang memungkinkan para penegak hukum sampai pada keseimbangan dan penilaian keseimbangan-keseimbangan dimaksud.
Dari kalangan Anglo-Amerika, Cordozo-lah yang lewat penelitiannya mengenai sifat proses pengadilan, berusaha untuk menguraikan problem-problem yang bersangkutan. Pendirian Cardozo sangat searah dengan Jhering yang kemudian dilanjutkan oleh Geny dan sebagian besar eksponen-eksponen dari Interessenjurisprudenz di Jerman. Pendirian dimaksud adalah menekankan pada perlunya kesadaran pengadilan akan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan sosial yang dipertaruhkan dalam setiap kasus yang ditangani. Kepentingan sosial yang dilayani oleh kepastian harus diseimbangkan dengan kepentingan sosial yang dilayani oleh kepatutan dan kejujuran, atau unsur-unsur lain dari kesejahteraan sosial. Semua ini mewajibkan hakim untuk menarik garis pada tiap sudut kepentingan sehingga dicapai titik keseimbangan yang proporsional. Bagaimana hakim mengetahui bahwa suatu kepentingan lebih utama dari kepentingan lain? Ada beberapa sumber yang dapat dipakai, yaitu maksud dari pembuat UU, pengalaman, studi, dan dari kehidupan sendiri.
Seperti diketahui, Interessenjurisprudenz didasarkan atas kenyataan, bahwa hakim tidak dapat secara memuaskan menangani penyeimbangan berbagai kepentingan yang ada hanya dengan penguraian hukum secara logis. Pembuat undang-undang hukum perdata Jerman menghendaki agar berbagai kepentingan dilindungi dalam UU tersebut. Mereka menghendaki adanya keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan satu sama lain. Meski begitu, pembuat UU tidak mungkin secara lengkap dapat menangkap kehidupan yang bermacam¬macam dan mengaturnya begitu sempurna. Keinginan para pembuat undang-undang hanya dapat direalisasikan jika hakim tidak hanya merupakan mekanisme hukum yang berfungsi sesuai dengan hukum mekanisme logis.
Apa yangdibutuhkan oleh hukum dan kehidupan sosial, adalah hakim yang membantu pembuat undang-undang sebagai pemikir pembantu, dan yang tidak hanya menaruh perhatian pada kata-kata dan perintah-perintah. Para hakim harus mengerti keinginan-keinginan pembuat undang-undang dan mengungkapkan penilaian-penilaian hukum, juga untuk keadaan-keadaan yang tidak secara khusus diatur oleh pembuat undang-undang, seperti bagaimana menyeimbangkan kepentingan¬kepentingan yang dipertaruhkan dalam sebuah kasus. Persis di titik ini, para hakim butuh bantuan ilmu hukum yang menyediakan informasi yang cukup lewat riset hukum dan keadaan kehidupan yang relevan.
Realitas kehidupan harus diungkapkan secara terbuka, dan tidak menyelubunginya dengan fiksi-fiksi mengenai deduksi-deduksi hukum. Di sini, keutamaan pengertian-pengertian hukum (Begriffsjurisprudenz) diganti dengan keutamaan pengujian dan penilaian hidup (Lebensforschung und Lebenswertung).
Kiranya jelas bahwa Interessenjurisprudenz yang mengembangkan gagasan Jhering, menganggap keseimbangan berbagai kepentingan sebagai tugas hukum dan ilmu hukum yang sangat penting. Tidak hanya kepentingan-kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan-kepentingan umum, tidak hanya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material, tetapi juga kefiutuhan-kebutuhan akan cita-cita. Sebagaimana telah dinyatakan secara khusus oleh Heck, kata kepentingan harus diartikan dalam arti yang seluas-luasnya, dan meliputi gagasan-gagasan (pribadi, material dan idil).
Menurut catatan Friedmann, gerakan sosiologis dalam ilmu hukum sebagaimana diketengahkan, baik dalam ilmu hukum maupun dalam perkembangan penafsiran undang-undang oleh pengadilan Jerman, sangat berbeda dengan ilmu hukum analitis. Seperti gerakan-gerakan yang sejenis di Prancis, Amerika Serikat dan negara-negara lain, gerakan sosiologis itu tidak meremehkan kekuatan logika, adat kebiasaan, sejarah. Tetapi menentang pertimbangan eksekutif dari semua faktor ini dan terutama dari hukum yang murni. Gerakan sosiologis dengan tegas menyatakan bahwa tugasnya yang utama adalah menyeimbangkan pelbagai kepentingan.
Sebagai sebuah gerakan keilmuan, gerakan ini tidak bermaksud memberi kepada hakim suatu pemecahan yang khusus, tetapi memberi informasi ilmiah yang diperlukan bagi keputusannya. `Informasi' itu mencakup nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang berbeda yang ada dalam masyarakat-yang mungkin untuk sebagian tidak ditemukan secara eksplisit dalam ketentuan perundang-undangan yang dijadikan dasar keputusan hakim. Berkat informasi tersebut, hakim dapat menemukan keputusan yang lebih jelas dengan pengertian yang juga lebih jelas mengenai kepentingan-kepentingan manusia yang dipertaruhkan.
Selain teori tentang tugas hukum seperti tergambar di atas, Pound juga merumuskan postulat-postulat hukum (khususnya hukum perdata) dalam apa yang disebut Pound, masyarakat "beradab." Dalam masyarakat yang demikian, tiap orang harus berpegang pada asumsi bahwa:
a) Orang lain tidak akan melakukan penyerangan yang sewenang¬wenang terhadap dirinya.
b) Tiap orang bisa menguasai apa yang mereka peroleh dalam tata tertib sosial dan ekonomi yang ada, dan menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri.
c) Orang lain akan bertindak dengan itikad baik, sehingga akan:
1) Memenuhi apa yang diharapkan,
2) Melakukan usaha sesuai dengan harapan masyarakatnya.
d) Ada jaminan bahwa tiap orang akan mengembalikan secara sepadan apa yang mereka peroleh secara tidak wajar yang merugikan orang lain.
e) Tiap orang akan bertindak sangat hati-hati, agar tidak menimbulkan kerugian bagi orang-orang lain.
Menurut Pound, peradaban zaman sekarang menuntut lebih banyak lagi postulat-postulat hukum. Dan semua itu yang ia anggap penting adalah tuntutan pejabat agar mendapat kepastian dalam jabatannya, dan kewajiban perusahaan dalam masyarakat industri untuk memikul beban masyarakat. Hocking seorang filsuf terkemuka abad 20, memandang bahwa postulat-postulat Pound itu mempunyai nilai absolut dan meletakkan hubungan antara filsafat dan ilmu hukum.
Sebagai pemikir sociological juri.rprudence, Pound mengusulkan agar para ahli hukum beraliran sosiologis perlu lebih memperhitungkan fakta sosial dalam pekerjaannya, apakah pembuatan hukum, penafsiran, atau penerapan peraturan. Sebab bagi Pound, kehidupan hukum terletak pada pelaksanaannya. Pound menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan, melainkan keluar dari situ dan melihat efek dari hukum dan bekerjanya hukum. Tentang ini, dikatakan oleh Pound:
"...to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account, of the social fact upon which law must proceed and to which is to be applied” .

Fokus utama Pound dengan konsep social engineering adalah interest balancing, dan karenanya yang terpenting adalah tujuan akhir dari hukum yang diaplikasikan dan mengarahkan masyarakat ke arah yang lebih maju. Bag, Pound, antara hukum dan masyarakat terdapat hubungan yang fungsional. Dan karena kehidupan hukum terletak pada karya yang dihasilkannya bagi dunia sosial, maka tujuan utama dalarn social engineering adalah mengarahkan kehidupan sosial itu ke arah yang lebih maju. Menurutnya, hukum tidaklah menciptakan kepuasan, tetapi hanya memberi legitimasi atas kepentingan manusia untuk mencapai kepuasan tersebut dalam keseimbangan .
Hukum sebagai sarana social engineering, bermakna penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai tertib atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan, atau untuk melakukan perubahan yang diinginkan . Hukum, tidak lagi dilihat sekedar sebagai tatanan penjaga status quo, tetapi juga diyakini sebagai sistem pengaturan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara terencana.
Sudah tentu, mekanisme perubahan sosial dimaksud, merupakan suatu proses yang terencana dengan tujuan menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau bahkan memaksa anggota-anggota masyarakat agar mengikuti norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang ditetapkan sebagai norma baru . Dapat dikatakan, hukum dalam konsep social engeneering, sangatlah instrumental sifatnya. Kehidupan sosial, menurut konsep ini dapat dengan mudah dipengaruhi oleh hukum sebagai sistem pengaturan terkendali dan coersif.
Atas dasar keyakinan yang demikian itu, maka dapatlah dimengerti jika penggunaan hukum modern senantiasa diarahkan untuk menjadi sarana menyalurkan kebijakan-kebijakan demi menciptakan keadaan-keadaan yang baru , dan tidak lagi sekedar merekam kembali pola-pola tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat .
Keyakinan Pound tentang keefektivan hukum untuk melakukan perubahan sosial, didasarkan pada pemikiran, bahwa hukum sebagai suatu lembaga sosial yang by design sifatnya, sesungguhnyalah merupakan produk kecendikiaan yang terencana dan sistematis. Karena sifatnya sebagai produk by design intelektual-ilmiah, maka niscaya mudah disempurnakan setiap kali demi fungsional sebagai instrumen perubahan sosial.
Sifat hukum sebagai produk by design intelektual-ilmiah dalam konsep social engeneering, terlihat jelas dalam rincian persoalan yang menurut Pound wajib dilakukan oleh seorang ahli hukum sosiologis agar hukum dapat benar-benar efektif sebagai alat perubahan sosial. Secara sistematis Pound mengemukakan 6 (enam) langkah yang harus mewujudkan hukum sebagai sarana perubahan sosial , yaitu:
a) Mempelajari efek sosial yang nyata dari lembaga-lembaga serta ajaran-ajaran hukum;
b) Melakukan studi sosiologis dalam rangka mempersiapkan perundang-undangan untuk mempelajari pelaksanaannya dalam masyarakat serta efek yang ditimbulkan, untuk kemudian dijalankan;
c) Melakukan studi tentang bagaimana peraturan hukum menjadi efektif;
d) Memperhatikan sejarah hukum, artinya mempelajari efek sosial yang ditimbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa yang lalu dan bagaimana cara menimbulkannya. Studi itu dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana hukum pada masa yang lalu itu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis, dan bagaimana la menyesuaikan din' pada kesemuanya itu, dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu guna mencapai hasil yang kita inginkan;
e) Pentingnya melakukan penyelesaian individual berdasarkan nalar, bukan berdasarkan peraturan hukum semata. Artinya, hakim diberi keleluasaan untuk memutuskan perkara berdasarkan nalar yang umum untuk memenuhi tuntutan keadilan dari pihak-pihak yang bersengketa;
f) Mengusahakan secara lebih efektif agar tujuan-tujuan hukum dapat tercapai.

Jelas terlihat, bahwa enam persyaratan di atas merupakan rangkaian aktivitas yang sedikit banyak bersifat intelektual dan terencana dalam mendesain hukum sebagai alat perubahan sosial. Menurut Rahardjo, usaha yang sistematis tersebut tampak di antaranya dalam teknik-teknik pengundang-undangan yang dipakai, dan yang sangat mirip dengan cara-cara pemecahan masalah dalam managemen yang ilmiah . Itulah sebabnya, Podgorecki menyebut social engeneering sebagai ilmu sosial terapan yang berfungsi untuk memberitahu praktisi bagaimana menemukan cara yang efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan sosial yang dikehendaki, apabila diterima adanya seperangkat nilai-nilai tertentu serta diketahui adanya seperangkat proposisi yang sudah teruji yang menggambarkan tentang tingkah laku manusia .
Karakter ilmu sosial terapan dalam social engineering, tercermin dalam empat azas yang dikembangkan Podgorecki, sebagai berikut
1) Social engineering harus merupakan suatu penggambaran yang baik mengenai situasi yang dihadapi;
2) Membuat suatu analisis mengenai penilaian-penilaian yang ada dan menempatkannya dalam suatu urutan hirarki. Analisis dimaksud meliputi pula perkiraan mengenai apakah cara-cara yang akan dipakai tidak akan menimbulkan efek yang lebih memperburuk keadaan
3) Melakukan verifikasi hipotesa-hipotesa, seperti apakah suatu cara yang dipikirkan untuk dilakukan, pada akhirnya nanti memang akan membawa pada tujuan sebagaimana dikehendaki;
4) Pengukuran terhadap efek peraturan-peraturan yang ada.
Kegiatan menyiapkan hukum dalam rangka social engineering memang lebih merupakan suatu usaha ilmiah, dan karenanya, niscaya untuk dapat disempurnakan melalui usaha manusia yang dilakukan secara sistematis dan cendekia.
Dapatlah disimpulkan, permasalahan hukum sebagai alat perubahan sosial, berkaitan dengan fungsi hukum dalam pembangunan, dan bahkan merupakan hubungan antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat. Hubungan timbal balik antara keduanya berkaitan dengan masalah pada bidang kehidupan yang manakah peranan hukum lebih besar daripada bidang kehidupan lainnya, dan sebaliknya. Juga apakah hukum dipandang sebagai alat yang mendukung perubahan atau bahkan mungkin yang menghambatnya.
Ihwal hubungan antara hukum dan perubahan sosial, telah menjadi isu sentral dalam wacana hukum modern. Bahkan Hart, seorang ahli hukum penganut positivisme kontemporer mengakui hal tersebut. Dikatakan oleh Hart, fungsi melayani perubahan-perubahan yang ada, merupakan salah satu ciri dari adanya sistem hukum

C. Teori Dari Kubu Realisme Hukum

Teori-teori yang berada dalam payung realisme hukum, sesungguh¬nya berinduk pada empirisme yang oleh David Hume dipatrikan sebagai pengetahuan yang bertumpu pada kenyataan empiris. Empirisme menolak pengetahuan spekulatif yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad ke-18. Ide-ide rasional, menurut empirisme, bukanlah segala-galanya. la tidak bisa diandalkan sebagai sumber kebenaran tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dan situlah kebenaran sejati bisa diraih.
Realisme hukum sendiri bercabang dua, yakni realisme hukum Amerika dan realisme hukum Skandinavia. Realisme hukum Amerika menempatkan empirisme dalam sentuhan pragmatisme-sikap hidup yang menekankan aspek manfaat dan kegunaan berdasarkan pengalaman. Kehidupan nyata sehari-hari adalah dunia pengalaman. Dunia pengalaman tidak bisa dipotret lewat skema ideal-ideal yang spekulatif. la hanya bisa ditangkap keutuhannya lewat pengalaman. Itulah sikap yang realistis untuk memahami realitas.
Makarealisme Amerika beranjak dari sikap yang demikian itu. Holmes, Frank, dan Cardozo, misalnya tidak terlalu tergiur dengan gambaran-gambaran ideal tentang hukum, dan juga tidak terbius dengan lukisan-lukisan normatif yang a priori tentang hukum. Bagi mereka, hal yang lebih penting adalah kepeloporan para hakim dalam menjalankan hukum itu dalam kasus-kasus nyata. Bag, hakim dan pelaksana hukum (sebagai orang yang secara langsung berhadapan dengan dunia kenyataan), norma-norma hukum tidak lebih patokan umum saja. Bagaimana norma-norma itu `dipasangkan' secara tepat dengan kekayaan dan kebenaran realitas, merupakan wilayah kearifan para pelaksananya. Karena realitas tidak selalu hitam-putih seperti skema hitam-putih aturan hukum, maka dalam banyak hal justru kepeloporan para hakimlah yang sangat menentukan apa yang merupakan `hukum yang tepat', kini dan di sini.
Realisme hukum Skandinavia berbeda lagi. Aliran ini menempatkan empirismedalamsentuhanpsikologi.AliranyangberkembangdiUppsala. Swedia awal abad ke-20 ini, mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan menggunakan psikologi. Tidak seperti realisme hukum Amerika (yang memberi perhatian pada praktik hukum dari para pelaksana hukum), Realisme hukum skandinavia justru menaruh perhatian pada perilaku manusia ketika berada dalam `kontrol' hukum. Dengan memanfaatkan psikologi, para eksponen aliran ini mengkaji perilaku manusia (terhadap hukum) untuk menemukan arti hukum yang sebenarnya.

Hukum itu Perilaku Hakim:
Teori Oliver Holmes

Aturan hukum bukanlah poros sebuah keputusan yang berbobot. Aturan tidak bisa diandalkan menjawab dunia kehidupan yang begitu kompleks. Dan lagi pula, kebenaran yang riil, bukan terletak dalam undang-undang, tapi pada kenyataan hidup. Inilah titik tolak teori tentang kebebasan hakim yang diusung oleh Oliver Holmes dan Jerome Frank (eksponen realisme hukum Amerika). Hukum yang termuat dalam aturan-aturan, hanya suatu generalisasi mengenai dunia ideal . Tapi menurut Holmes, seorang pelaksana hukum (hakim), sesungguhnya menghadapi gejala-gejala hidup secara realistis.
Sering la menghadapi dua bahkan lebih `kebenaran' yang seolah meminta kepasr;an mana yang `lebih unggul' dalam konteks tertentu. Salah satu di antaranya, adalah kebenaran versi aturan hukum. Tidak jarang, bahkan amat sering, kebenaran-kebenaran lain lebih unggul dari yang disodorkan aturan formal. Mereka lebih relevan, lebih tepat, dan bahkan lebih bermanfaat untuk suatu konteks riil, ketimbang kebenaran yang ditawarkan aturan legal. Dalam hal inilah, seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. la harus `memenangkan' kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko mengalahkan aturan resmi.
Aturan-aturan hukum, di mata Holmes, hanya menjadi salah satu faktor yang patut dipertimbangkan dalam keputusan yang `berbobot' . Faktor moral, soal kemanfaatan, dan keutamaan kepentingan sosial, misalnya menjadi faktor yang tidak kalah penting dalam mengambil keputusan `yang berisi'. Jadi bukan sebuah pantangan, jika demi putusan yang fungsional dan kontekstual, aturan resmi terpaksa disingkirkan (lebih-lebih jika menggunakan aturan itu justru berakibat buruk). Holmes menjadi hakim yang monumental dan seminal, justru karena pendirian moralnya itu. la menjadi monumen dari a creative lalvyer: in accordance with ju.rtice and equity. Dengan kapasitas seperti ini, para hakim memiliki kompetensi merubah UU, bila hal itu perlu .
Mengikuti jejak Holmes, Jerome Frank memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, kebenaran tidak bisa disamakan dengan suatu aturan hukum. Boleh saja aturan mengandaikan putusan-putusan hakim dapat diturunkan secara otomatis sesuai aturan. Juga boleh saja mengandaikan bahwa isi aturan selalu benar dan baik, sehingga otomatis menjamin kepastian, keamanan, dan harmoni dalam hidup bersama. Tap itu tidak berlaku bagi seorang yang berpikiran modern. Boleh jadi, itu hanya ilusi. Karena faktanya, seorang hakim dapat mengambil keputusan lain di luar skenario aturan, yang dari sisi keutamaan, jauh lebih terpuji dari yang ada dalam aturan. Memang kaidah-kaidah hukum yang berlaku, mempengaruhi putusan seorang hakim. Tapi itu hanya salah satu unsur pertimbangan saja. Di samping itu, prasangka politik, ekonomi, dan moral ikut pula menentukan putusan para hakim. Bahkan pula simpati dan antipati pribadi berperan dalam putusan tersebut, demikian Frank .
Benjamin Cardozo, tampil memperingatkan bahaya subyektivisme dalam teori Frank. Benar bahwa ada ruang kebebasan bagi hakim dalam mengambil keputusan. Benar pula bahwa faktor sosial ekonomi serta aspek-aspek psikologis turut berpengaruh dalam putusan hakim. Tapi semua itu tidak boleh membuat seorang hakim lupa pada aspek normatif dari hukum, yakni melayani kepentingan umum akan keadilan. Kewibawaan seorang hakim menurut Cardozo, justru terletak pada kesetiaannya menjunjung tujuan hukum itu. Oleh karena itu, putusan hakim tidak boleh berkembang secara bebas tanpa batas. Kegiatan para hakim tetap terikat pada kepentingan umum sebagai inti keadilan .
Misi suci mewujudkan kepentingan umum sebagai tugas utama hakim, didukung oleh Roscoe Pound. Menurut Pound, hukum sebagai suatu unsur dalam hidup masyarakat, harus memajukan kepentingan umum. DI mata Pound, dalam rangka mewujudkan kepentingan umum itu, hukum harus difungsingkan sebagai `sebuah teknik sosial' (social engineering). Hukum itu, harus didayagunakan menggerakkan kemajuan untuk memajukan kepentingan umum dengan cara memadukan secara proporsional kebutuhan sosial dan kebutuhan individu. Untuk mengawal kemajuan dalam paduan yang harmoni itu, maka hukum harus dibekali dengan kekuatan paksa. Fungsi sosial kontrol dari hukum, terletak di sini. Jadi fungsi kontrol merupakan pendukung fungsi perubahan yang diemban oleh hukum.
Teori dari para pemikir realisme Amerika itu, bisa juga digolongkan sebagai salah satu versi teori di bidang penerapan hukum. Dari apa yang dikatakan oleh Holmes dan Frank di atas, tampak sekali teorisasi yang memperlihatkan bahwa pada saat diterapkan, hukum kembali memasuki wilayah das sein, dan tidak lagi kukuh berdiri dalam singgasana das sollen. Kendali, tidak lagi sepenuhnya dipegang oleh teks pasal-pasal, tetapi juga sudah berada di tangan aparat pelaksananya. Teks pasal-pasal harus ditransformasi ke alam living interpretation yang kaya nuansa. la harus menghadapi dunia "kenyataan yang utuh", dan itu berarti faktor aparat (hakim) menjadi sangat menentukan.
Peran inti yang diberikan pada aparat (dalam teori Holmes), secara langsung menohok inti doktrin legalisme. Legalisme adalah cara berpikir yang mendasarkan diri pada aturan, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Menaati aturan, berarti benar. Melanggar aturan, berarti salah. Tidak ada kompromi. Legalisme, karenanya berbicara tentang apa yang benar dan apa yang salah secara hitam-putih. Memang, cara berpikir seperti itu tentu banyak keuntunganya. la memberi pegangan keputusan yang tegas dan jelas. Orang tidak perlu bingung tentang apa yang benar dan apa yang salah, asal saja hukumnya jelas.
Tapi justru dalam hal yang terakhir itulah kita menghadapi kesulitan. Kehidupan manusia itu begitu kompleks dan begitu dinamisnya, sehingga hampir mustahil mempunyai hukum yang jelas bagi setiap kemungkinan. Perintah "Jangan membunuh", misalnya. Perintahnya sendiri, sangat jelas. Tapi bagaimana hukum yang jelas ini harus diterapkan, adalah sesuatu yang jauh dari sederhana. Mungkin akan sedikit terbantu, seandainya perintah itu diperinci lagi sedemikian rupa, sehingga la dapat menjawab semua kemungkinan. Solusi ini memang logis, dan mungkin sering dilakukan orang. Tapi akibatnya ialah, hukum lalu berubah menjadi kasuistri. Hukum berubah menjadi satu daftar panjang tentang apa yang boleh dan apa yang dilarang. Bukan saja ini tidak mungkin dapat dikerjakan dengan lengkap dan sempurna. Tetapi juga ada ekses yang mengancam, yaitu legalisme yang beku dan kaku. Hukum, tidak lagi melayani manusia, tapi sebaliknya manusia melayani hukum.
Alkisah, seorang ibu dan bayinya berada dalam satu rombongan dengan puluhan orang lain, melewati suatu daerah yang amat berbahaya oleh sebab ancaman orang-orang Indian Apache yang terkenal ganas. Persis di daerah yang rawan itu, si bayi-yang kebetulan sedang sakit mulai rewel dan mau menangis keras. Sang ibupun menghadapi dilema. Membiarkan si bayi menangis, berarti mengundang bahaya, dan seluruh rombangan terancam musnah. Tetapi membekap mulutnya, bayi itu akan mati pengab kehilangan nafas. Manakah yang harus dipilih si ibu? Menurut kisah, ibu itu memilih yang kedua. Dengan sangat berat hati, ibu itu merelakan nyawa anaknya, demi keselamatan seluruh rombongan.
Bagi penganut legalisme, tindakan ibu itu tergolong kejahatan berat. la telah membunuh secara sengaja. Salah adalah salah. Tidak mungkin si ibu dibenarkan hanya karena la membunuh demi orang lain, karena aturan tidak mengenal pengecualian dengan alasan altruisme. Persoalan seperti dilakukan sang ibu itu, adalah persoalan kenyataan hidup yang konkret. la tidak mungkin kita perdebatkan secara a priori dan normatif belaka sambil bersandar di kursi goyang. la hanya dapat dipahami melalui pengalaman, konteks, dan situasi unik yang dihadapi sang ibu itu.
Realitas hidup seperti itulah, salah satunya, yang dimaksud oleh Holmes dan Frank dalam teori mereka di atas. Solusi yang berbobot tidak bisa diharapkan dari legalisme yang mematrikan aturan sebagai tempat satu-satunya bagi hakim dalam mengadili. Dalam legalisme, hakim hanya menjadi corong wet. Hakim hanya boleh menerapkan UU secara mekanis. Legalisme, menyebabkan aturan jadi "berhala", kehidupan jadi kaku, kenyataan yang kaya nuansa dilihat pakai "kacamata kuda", kebenaran dan keadilan hanya menjadi persoalan legal-tidak legal, kearifan dan akal sehat terdorong ke belakang. Itulah legalisme. Sebuah semangat yang coute gue coute, mentuhan peraturan. Akibatnya, kepekaan, empati, serta dedikasi menghadirkan keadilan dan kebenaran menjadi kian redup dan sayup-sayup di pojok yang paling jauh. Prinsip epikeia Aristoteles, ataupun equity-nya Plato yang fungsinya menjembatani gap antara kepastian dan keadilan, dianggap haram dalam legalisme. Kebekuan inilah yang diterobos oleh Holmes dan Frank.

Hukum itu Rasa Wajib/Takut:
Teori Alf Ross
Sebagai eksponen realisme hukum mazhab Skandinavia, Ross menempatkan hukum dalam kerangka fisio-psikis. Menurut Ross, semua gejala yang muncul dalam pengalaman tentang hukum harus diselidiki sebagai gejala psiko-fisis. Bagi Ross dan eksponen mazhab Skandinavia lainnya, seperti Axel Hagerstrom, AN. Lundstedt, K. Olivecrona, ilmu hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum. Kenyataan-kenyataan itu, ditemukan dalam perasaan-perasaan psikologis. Perasaan-perasaan itu, tampak pada rasa wajib, rasa kuasa, ataupun rasa takut akan reaksi lingkungan.
Dalam kerangka pemikiran psikologi itulah, Ross menjelaskan ikhwal timbulnya hukum sebagai aturan masyarakat yang bersifat mewajibkan. Menurutnya, suatu aturan hukum dirasa mewajibkan karena ada hubungan antara perbuatan yuridis dan sanksinya. Bila saya berbuat sesuai aturan, maka bebas dari sanksi. Sebaliknya, jika berbuat tidak sesuai, maka pasti menerima sanksi. Pengalaman inilah yang membuat orang memandang hukum sebagai wajib. Berlakunya hukum tidak lain dari itu, yakni suatu relasi timbal-balik antara sanksi dengan rasa wajib/rasa takut. Maka keharusan yuridis seluruhnya bersangkut paut dengan realitas sosial .
Kiranya jelas, lewat teori tentang `rasa wajib' ini, Ross secara langsung maupun tidak, sudah menggugat Kelsen. Seperti diketahui, bag, Kelsen yang neo-kantian, keharusan yuridis adalah suatu ketegori yang sama sekali lepas dari realitas sosial. Dunia .collen (seharusnya), terpisah dari dunia .rein (realitas). Karena pemisahan ini, Kelsen mau tidak mau harus mencari suatu norma dasar (gruradnorm) untuk mendasari sifat wajib sebuah norma hukum. Ross menolak keterpilahan seperti itu. la menolak teori Kelsen tentang keterpilahan norma hukum dari realitas sosial. Sifat wajib dari hukum (sebagai dasar keberlakuannya), bukan bertahta di `dunia sana', di alam antah-berantah lorundnorm. Yang benar adalah, la berada dalam kancah realitas sosial, yakni pengalaman akan `rasa wajib'.
Menurut Ross, timbulnya hukum sebagai aturan yang bersifat wajib, dapat diterangkan menurut empat tahap:
a) Tahap pertama ialah, adanya paksaan aktual. Situasi masyarakat diatur melalui paksaan. Masyarakat semacam ini disebut oleh Ross sebagai suatu sistem aktual paksaan (an actual ystem of compulsion).
b) Tahap yang kedua dimulai, bila orang-orang mulai takut akan paksaan. Karena rasa takut ini, anggota-anggota komunitas mengembangkan suatu cara berlaku yang sesuai dengan tuntutan yang diwajibkan padanya.
c) Tahap yang ketiga adalah situasi di mana orang-orang sudah mulai menjadi biasa dengan cara hidup yang sedemikian, dan lama¬kelamaan mulai memandang cara hidup itu sebagai sesuatu yang seharusnya. Maka karena terpengaruh oleh kekuasaan sugestif sosial dan kebiasaan, orang sudah mulai berbicara tentang sescaatitiu: yang berlaku dan mewajibkan dalam arti yuridis (a desinterested behaviour attitude).
d) Tahap yang terakhir adalah situasi hidup bersama di mana norma¬norma kelakuan ditentukan oleh instansi-instansi yang berwibawa (the authoritative establishment of norms). Orang akhirnya terbiasa merasa wajib untuk menaati apa yang diputuskan oleh pihak yang berwibawa/berwenang .
Jadi, keharusan yuridis memang unsur realitas sosial dalam mana kita hidup. Keharusan yuridis sebagai realitas sosial, menyatakan diri sebagai suatu totalitas organis dalam mana perbuatan sosial dan psikofisis saling berjalin. Ross juga mengkonstatasi bahwa metode akal budi praktis seperti dianut dalam pendidikan hukum konvensional yang mengandalkan doktrin-legalistik, tidak compatible untuk menjelaskan sifat wajib dari hukum.
Dikatakan Ross, ilmu `akal praktis' tersebut, sebenarnya bukan ilmu dalam arti yang sebenarnya. Bagi suatu ilmu yang sungguh-sunguh, selalu ada lapangan penyelidikan, sehingga terdapat juga kenyataan-kenyataan yang dicari kebenarannya. Tetapi untuk ilmu-ilmu akal praktis seperti rechtsdogmatiek, tidak terdapat bahan penyelidikan, sebab norma-norma hukum ditentukan oleh para ilmuwan sendiri. Tidak dapat dipastikan dari mana kebenarannya. Ilmuwan-ilmuwan yang telah menyusun suatu sistem ilmiah berdasarkan akal praktis, hanya sampai pada bayang¬bayang spekulasi saja.
Jika gugatan Ross terhadap ilmu hukum tertuju pada ketiadaan lapangan penyelidikan, maka Julius Stone menggugat soal ketiadaan metode (ilmiah) dalam ilmu hukum. Menurut Stone, ilmu hukum tidak mempunyai metoda penyelidikan sendiri. Oleh karena itu, hukum yang berlaku, yang terdiri dari perintah-perintah, ideal-ideal, dan teknik-teknik tertentu, harus dipelajari dalam terang pengetahuan yang berasal dan ilmu-ilmu lain, yakni dari logika, ilmu sejarah, psikologi, sosiologi, dan sebagainya . Dalam ilmu-ilmu ini diselidiki semua hal yang ada hubungan dengan hukum. Hasil studi log's, historis, psikologis, dan sosiologis tentang hukum, misalnya diambil alih oleh para sarjana hukum untuk mengolahnya sesuai dengan tujuan mereka. Tujuan itu bersifat praktis semata-mata. Bahan dari ilmu-ilmu di atas, dikemas menjadi aturan sehingga menjadi terang bagi para mahasiswa fakultas hukum dan bagi kaum yuris pada umumnya.

D. Teori dari Kubu Neo-Marxis:
Hukum itu Kepentingan Orang Berkuasa:
Teori Ralf Dahrendorf

Mengapa mimbar pengadilan acapkali merupakan panggung di mana lapisan masyarakat yang satu mengadili lapisan yang lain? Karena adanya ketimpangan kekuasaan, demikian Dahrendorf. Hukum dikuasai oleh mereka yang memegang atau memiliki kuasa. Struktur sosial, sesungguhnya terkonfigurasi dalam relasi kekuasaan. DI situ, terdapat dikotomi antara mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Dengan kata lain, beberapa orang turut serta dalam struktur kekuasaan, sedangkan yang lain tidak. Beberapa orang memiliki kekuasaan, sedang yang lain tidak . Nah, karena yang memproduksi hukum adalah mereka yang ada dalam struktur kekuasaan, tidak mengherankan jika hukum cenderung memihak dan melayani kaum pemegang otoritas itu.
Teori Dahrendorf ini merupakan perluasan terhadap teori Marx. Jika teori Marx berbicara tentang motif ekonomi di balik sebuah aturan hukum, maka Dahrendorf mengajukan motif-motif kekuasaan. Menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan (authorzty) menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas . Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara mereka yang memiliki sedikit dan yang memiliki banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi itu, dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial, yaitu mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan di satu pihak, dan mereka yang berada di luar pada pihak lain. Di situlah terjadi penguasaan dan penundukan antar kelas .
Jelas kiranya pembentukan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi. Dalam masyarakat industri modern pemilik sarana produksi tidak sepenting mereka yang memiliki kekuasaan. Kekayaan, status ekonomi, dan status sosial, hanya mempengaruhi intensitas pertentangan kelas yang sumbernya adalah dominasi kekuasaan. Pemegang kekuasaan cenderung bersekutu dengan mereka yang berpunya secara ekonomi, dan yang terpandang secara sosial.
Atas dasar tesis itu, Dahrendorf mengetengahkan proposisi: Semakin rendah korelasi antara kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya, semakin rendah intensitas pertentangan kelas, dan demikian juga sebaliknya . Dengan perkataan lain, kelompok-kelompok yang menikmati status ekonomi relatif tinggi, memiliki kemungkinan yang rendah untuk terlibat dalam konflik yang keras dengan struktur kekuasaan, daripada mereka yang terbuang dari status sosial, ekonomi, dan kekuasaan.
Lalu mengapa pertentangan kelas itu mesti terjadi? Lagi-lagi kata Dahrendorf, itu terjadi karena adanya pertentangan soal legitimasi hubungan-hubungan kekuasaan antar kelas itu. Kepentingan kelompok penguasa merupakan nilai-nilai yang merupakan ideologi keabsahan kekuasaannya, sementara kepentingan-kepentingan kelompok bawah melahirkan ancaman bag, ideologi ini serta hubungan-hubungan sosial yang terkandung di dalamnya . Inilah yang menyebabkan hubungan kelas senantiasa berada dalam ketegangan yang relatif permanen. Dalam konteks ini, Pareto mengkonstatasi bahwa sejarah adalah perjuangan memperebutkan kekuasaan yang tidak berkesudahan. Kelompok-kelompok dominan berusaha memelihara dan mempertahankan kedudukannya, sedangkan kelompok bawah senantiasa menuntut perubahan .
Ditilik dari teori stratifikasi sosial, keutamaan ekonomi versi Marx ataupun keutamaan kekuasaan versi Dahrendorf itu, sebenarnya merupakan dua unsur penting dari terbentuknya pelapisan sosial, di samping unsur prestise. Seperti diketahui, terdapat tiga unsur utama yang menentukan strata sosial dalam suatu masyarakat, yakni dimensi prestise, privilese, dan dimensi kekuasaan . Dari sejumlah teori tentang ini, ada yang menekankan pentingnya dimensi privilese ekonomi dalam menentukan dinamika hubungan ketiga dimensi stratifikasi sosial seperti yang dikemukakan oleh Max Weber. Ada pula teori yang menekankan pentingnya dimensi kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh Gerhard E. Lenskiz . dan C. Wright Mills. Sedang E.A. Ross menekankan pentingnya dimensi prestise.
Menurut Weber , privilese dalam bidang ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi seseorang dalam memperoleh akses atas sumberdaya dalam masyarakat. Tapi itu dibantah oleh Mills. Menurut Mills, dibandingkan dengan dimensi privilese dan prestise, maka kekuasaan-lah yang sangat menentukan pelapisan sosial . Mobilitas horisontal yang terjadi dalam lapisan yang sama di antara bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, juga terjadi di kalangan elite sehingga mereka merupakan kekuatan yang benar-benar menonjol dan terpisah dari kalangan bawah.
Tesis Mills itu, diamini Lenski . Bukan privilese, tapi kekuasaan yang dominan dalam hubungan antar tiga dimensi itu. Sebagian besar privilese itu, demikian Lenski, merupakan fungsi kekuasaan, dan sangat sedikit merupakan fungsi altruisme. Itu berarti, untuk menjelaskan sebagian besar persebaran privilese dalam suatu masyarakat, kita harus menentukan persebaran kekuasaan. Dengan kata lain, kalau kita sudah dapat menentukan pola persebaran kekuasaan dalam suatu masyarakat, untuk sebagian besarnya kita sudah menentukan pola persebaran privilese, dan kalau kita sudah menemukan sebab-sebab terjadinya suatu persebaran tertentu dalam dimensi kekuasaan, kita sudah menemukan pula sebab-sebab terjadinya persebaran privilese yang berkaitan dengannya.
Untuk memahami tesis Lenski itu, memang harus dibaca dalam keseluruhan pendekatannya yang menginginkan ada suatu sintesa antara perspektif yang menekankan individu dan perspektif yang menekankan masyarakat. Dalam mengidentifikasi hakikat individu Linski mengemukakan, walaupun pada hakikatnya individu itu merupakan makluk sosial, tidak sama dengan mengatakan, individu dalam kehidupan sosial sama se kali mengabaikan kepentingan dirinya sendiri.
Dengan basis moralitas pragmatisnya, Linski mengajukan teori demikian:"....Apabila orang dikonfrontasikan dengan keputusan-keputusan yang memaksanya untuk harus memilih antara yang berhubungan dengan kepentingannya sendiri atau kelompoknya dan kepentingan orang lain, dia hampir selalu memilih kepentingan sendiri" . Mengapa mesti demikian? Karena menurut Lanski, sebagian besar penawaran itu, bersifat langka, dan setiap orang tidak sama dalam kemampuannya yang diperlukan untuk merebut kesempatan¬kesempatan itu . Inilah yang menjadi penjelasan mendasar mengapa kecenderungan untuk memperhatikan kepentingan sendiri, merupakan fenomena umum dalam masyarakat. Menurut Lenski, pada masyarakat yang sudah memiliki surplus lebih, dimensi prestise untuk sebagian besarnya dipengaruhi oleh dimensi kekuasaan dan privilese . Dan sepanjang dimensi privilese dipengaruhi oleh dimensi kekuasaan, maka pengaruh didominasi dimensi kekuasaan.
Berbeda dengan Weber maupun Lenski, E.A Ross dalam studinya mengenai kontrol sosial mengemukakan, dimensi prestise itu mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Mereka yang memiliki prestise yang tinggi, akan mempunyai kekuasaan yang tinggi pula. Bahkan mendukung Ross, Robert Bierstedt menambahkan, prestise yang merupakan sumber kekuasaan sosial itu sangat penting dalam kehidupan sosial modern. Tetapi kedua dimensi itu harus dilihat sebagai variabel yang berdiri sendiri. Sering prestise itu tidak dibarengi kekuasaan dan apabila keduanya muncul bersamaan, maka dimensi kekuasaan biasanya merupakan dasar bagi dimensi prestise, lebih dari pada sebaliknya.
Studi tentang stratifikasi sosial yang dikembangkan Vincent Jeffries dan H. Edward Ransford memperlihatkan kecenderungan agak lain yang bertalian dengan ketiga dimensi stratifikasi sosial itu. Mereka melihat dimensi stratifikasi sosial itu dalam kaitannya dengan teori konflik dan fungsional. Para ahli teori fungsional sering menonjolkan dimensi privilese, dan dimensi kekuasaan sangat kurang diperhatikan dan malah cenderung untuk diabaikan. Sebaliknya, para ahli teori konflik memberi perhatian utama pada dimensi kekuasaan. Sesudah itu baru memperhatikan dimensi privilese, dan yang terakhir adalah prestise.
Tekanan yang diberikan oleh teori fungsional dan konflik mengenai stratifikasi sosial memperlihatkan perbedaan yang cukup mencolok. Pokok pikiran teori fungsional mengenai stratifikasi sosial:
1) Stratifikasi adalah struktur sosial yang memiliki nilai-nilai dan tradisi bersama yang digunakan sebagai dasar untuk integrasi dan stabilitas sosial.
2) Penyebaran kekuasaan, privilese dan prestise dalam masyarakat pada dasarnya bersifat adil merupakan keharusan dan berguna bagi kesejahteraan individu di satu pihak dan bagi masyarakat di lain pihak.
3) Penggunaan kekuasaan untuk mempertahankan sistem privilese yang ada dalam masyarakat bersifat minimal.
4) Institusi-Institusi yang ada dalam masyarakat mengandung nilai¬nilai konsensus dan melaksanakan kebijaksanaan yang mendukung kebaikan bersama.
5) Penghargaan yang tidak merata untuk posisi-posisi sosial dalam masyarakat membantu kepentingan lapisan atas.
6) Posisi-posisi individu dalam masyarakat pada memberikan kesempatan yang sama dalam mencapai latihan dan saluran-saluran perkembangan bagi mereka.
Dari sejumlah teori di atas, nampaknya G.E Lenski memberikan garis hubungan antara ketiga dimensi stratifikasi sosial yang cukup tegas. Walaupun tekanan yang diberikan pada dimensi kekuasaan sejalan dengan apa yang diberikan C.W Mills, R. Bierstedt dan teori konflik pada umumnya, generalisasi yang diberikan G.E. Lenski itu terlalu berani dan kurang memberi tempat pada kemungkinan perubahan sosial yang terjadi dalam perkembangan sejarah. Juga generalisasi seperti itu terlampau mengabaikan ciri khas masyarakat tertentu dalam dinamika distributifnya.
C.W Mills dan R. Bierstedt memperlihatkan cara pandang yang lebih terbuka daripada G.E Lenski. C.W Mills memberikan tekanan pada pentingnya dimensi kekuasaan, tetapi tidak mengkonstruksikan suatu sekuensial tertentu seperti yang dibuat G.E. Lenski. R. Bierstedt memberikan tekanan pada pentingnya dimensi kekuasaan, tetapi tetap melihat dimensi-dimensi itu secara terpisah. Kecenderungan R. Bierstedt yang terakhir ini sejalan dengan pandangan dasar Weber, walaupun dia mengakui dalam dinamika sistem distributif itu, dominasi dimensi privilese ekonomi pada gilirannya akan memperlihatkan pengaruhnya.

Hukum itu Kepentingan Kaum Lelald:
Teori Feminist legal theory
Mengapa tata hukum cenderung tidak berpihak pada perempuan? Karena hukum bersifat phallocentris Inilah jawaban femini legal theory (FLT). Bagi FLT, hukum merupakan tatanannya kaum adam yang meminggirkan kaum hawa. Faktual, hukum dibangun dan dikonstruksi dalam logika laki-laki. Implikasinya, la memperkokoh hubungan-hubungan sosio yuridis yang patriarkis . Ya, hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki-laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang kcpada penindasan terhadap perempuan .
Sifat hukum yang bias itu, berdimensi struktural. la bukan unit yang berdiri sendiri. Juga tidak muncul dalam ruang kosong. la lahir dan berkembang dalam konteks kultural, ideologi, sosial, politik, serta ekonomi yang juga bias jender. Dalam kosmologi tersebut, laki-laki dan perempuan, tidak dilihat sekedar perbedaan atribut biologis, tetapi diklasifikasi secara simbolik sebagai dua oknum yang berlawanan dalam esensi (nature), eksistensi, psikis, peran, dan kemampuan-tentu saja menurut ukuran laki-laki. Laki-laki berposisi superior, berlawanan dengan perempuan yang inferior.
Pada awalnya, kata Hesiodus, hanya ada laki-laki. Perempuan, adalah hasil kutukan Zeus-yang marah pada para titan (yang laki-laki) karena mencuri api milik para dewa. Lewat tokoh simbolik Pandora (perempuan pertama di dunia), kaum hawa digambarkan sebagai sebuah "kejahatan", "kutukan terburuk", "jebakan tak berpengaharapan", dan sesuatu yang "mematikan' bagi laki-laki. Zeus membalas dendam kepada laki-laki, sehingga perempuan dibuatnya menjadi keruntuhan manusia . Itulah asal-usul kejahatan di dunia .
Paralel dengan Hesiodus, Plato dalam Timaeus-nya juga mencitrakan perempuan sebagai sesuatu yang buruk. Seperti Hesiodus, pada awalnya, demikian Plato, hanya ada laki-laki. Perempuan merupakan jelmaan laki-laki yang hidupnya jahat. Menurut Plato, jika laki-laki hidup dengan baik, maka setelah meninggal ia akan berdiam dalam bintang tempatnya berasal-sebuah tempat yang melimpah berkat dan kesukaan. Sebaliknya, jika hidupnya jahat, maka la akan berubah menjadi perempuan. Perempuan, merupakan laki-laki jahat yang telah meninggal .
Teori nature, merupakan versi lain lagi tentang mitos sub-ordinasi perempuan, Teori ini, beranggapan, sudah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi lebih lemah, dan karena itu tergantung pada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya . Teori ini sudah muncul sejak permulaan lahirnya filsafat di Yunani. Maka tidak heran jika Aristoteles mendalilkan perempuan merupakan laki-laki yang tidak lengkap. Karena itu menurutnya, adalah wajar laki-laki dewasa menguasai budak-budak, anak-anak, dan perempuan. Laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna . Istilah family dalam bahasa Inggris, kenyataannya berasal dari kata famulu.r yang berarti "budak domestik", dan familia berarti sejumlah budak yang dimiliki oleh seorang laki-laki dewasa, termasuk di dalamnya istri dan anak-anaknya .
Gagasan tentang perempuan yang lemah, terus dipertahankan dan disebarkan oleh hampir semua ahli filsafat, termasuk para tokoh agama terkemuka. Sebut saja misalnya Krisostomus. Uskup termasyur Konstatinopel ini, memiliki pandangan yang sama kasarnya terhadap perempuan. Katanya: apakah perempuan selain musuh bagi persahabatan, hukuman kekal, kejahatan mutlak, malapetaka yang diinginkan, bahaya bagi keluarga, dan hakikat kejahatan?
Immanuel Kant dan Rousseau, bernada sama. Menurut Kant, sulit dipercaya bahwa perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Sedangkan Rousseau percaya bahwa "hukum alam menyuruh perempuan untuk mematuhi laki-laki . Senada dengan itu, Fichte mengatakan demikian, fakta bahwa perempuan dikuasai, memang karena itulah yang ia inginkan. Keinginan yang lahir dari moral perempuan itu sendiri untuk dikuasai . Demikian juga Scopenhauer. la mengkonstatasi, perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak memiliki kemampuan untuk berpil:ir dan berefleksi. Posisi perempuan, sesungguhnya, berada di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak yang belum dewasa. Dengan kata lain, Scopenhauer tidak menyukai kehadiran perempuan. Nietzsche bahkan lebih kasar. Dalam Thus .Spoke Zarathu.rtra-nya, ia mengatakan: "Jika kamu mengunjungi perernpuan, jangan lupakan cambukmu".
Konstruksi bahwa perempuan lebih lemah dari laki-laki, disebarkan juga oleh agama-agama besar yang kita kenal, misalnya dalam ungkapan "perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki", "laki-laki lebih berkuasa dari perempuan", "pada masa dewasa seorang perempuan harus selalu ada di bawah kekuasaan laki-laki". Bahkan tulisan-tulisan Khonghucu memaparkan lima kelemahan perempuan yang membuat mereka kesulitan: tidak disiplin, selalu tidak puas, suka memfitnah, suka cemburu, dan bodoh .
Pengandaian-pengandaian seperti itu, meski muncul di zaman klasik, masih juga menjadi fenomena nyata di zaman sekarang. Sebut saja misalnya: "Perang" melawan perempuan dengan mudah ditemukan di seantero dunia. Pemasungan perempuan di Cina, suttee Hindu, pembunuhan bayi perempuan di Asia, pembakaran istri di India, perusakan alat genital di beberapa bagian Afrika dan Timur Dekat, larangan mengenai hak-hak wanita di beberapa negara Arab, kejahatan-kejahatan hasrat demi kehormatan laki-laki di Brasil, serta ginaekologi dan kekerasan fisik melawan perempuan di Eropa, Amerika Utara dan tempat-tempat lainnya.
Menurut FLT, mayoritas tatanan hukum dibangun atas pandangan dunia yang bias itu. FLT berupaya melawan realitas yang tidak adil ini. Perlawanan FLT menempuh jalur yang ditunjuk Gramsci, yakni `peningkatan kesadaran ideologi'. Penggunaan jalur ini penting, oleh karena perempuan sudah terpenjara dalam ideologi keutamaan laki-laki. Mereka berada dalam kesadaran palsu (false consciousness) tentang realitas dunia (yang mengunggulkan laki-laki-seolah realitas itu memang normal adanya, alamiah, dan tidak dapat dirubah). Selama kaum hawa masih terkurung dalam kesadaran palsu, dan belum memiliki kesadaran kritis terhadap dunia tempat mereka berada, maka peminggiran dan diskriminasi gender akan terus terpelihara .
Itulah sebabnya, dalam proses peningkatan kesadaran ideologi kaum hawa, FLT melakukan gerakan pada tiga aras sekaligus, yakni bidang teori, pengajaran, dan praktek . Di aras teori, FLT melakukan eksplorasi dan kritik teoretik terhadap doktrin, asas, konsep, dan aturan hukum yang merugikan perempuan. Eksplorasi ini berupaya untuk menunjukkan (kepada perempuan) bahwa mayoritas teorisasi hukum bukan hanya tidak netral dalam arti yang umum, tetapi juga bersifat kelaki-lakian dalam arti khusus.
Pada aras pengajaran, FLT memperkenalkan `pendekatan hukum berperspektif perempuan'. Melalui pendekatan ini dapatdideteksi apakah keberadaan perempuan sebagai perempuan dengan pengalamannya dan nilai-nilai yang tipikal perempuan telah diperhitungkan dalam hukum. Secara metodologis, digunakan kasus-kasus pengalaman perempuan sebagai unit analisis untuk melihat hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki . Untuk merekam bukti-bukti riil mengenai hal itu, maka diperlukan penerapan analisis dan perspektif feminis (perempuan) terhadap lapangan hukum yang konkret seperti: keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana, pornografi, kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual . Sedangkan pada aras praktek, FLT `mengkomunikasikan' hasil telaahnya dalam upaya mengoreksi keadaan dan menemukan cara terbaik untuk melakukan reformasi bangunan hukum secara keseluruhan.
Ditelusuri ke belakang, tcrdapat sejumlah kondisi yang memberi sumbangan kcpada lahirnya kelompok tcori FLT itu. Untuk menyebut bebcrapa di antaranya adalah: (i). Akibat munculnya gerakan perempuan dua dekadc yang lalu yang menghasilkan tulisan-tulisan di berbagai lapangan studi yang kemudian mempengaruhi para sarjana hukum; (2). Banyaknya percmpuan yang mcmasuki sekolah hukum menjelang tahun 1960-an; (3). Akibat dari rcaksi para fcmiius yang bcrpekara di pcngaclilan dan mcngadakan tuntutan tcrhadap masalah-masalah hukum yang khas, sebagai akibat dari pengaruh pemikiran critical legal studies .
Sifat `penolakan' (rgection) dalam FLT (seperti tampak dalam deskripsi di atas), persis mencerminkan wataknya sebagai bagian dari criticalle,gal theory (CLT). Seperti diketahui, ciri utama CLT adalah rgection terhadap realitas, struktur, atau pun `tertib' penguasaan yang sclama ini secara tidak benar diyakini sebagai kebenaran dan kewajaran. Bagi CLT, keyakinan palsu itu terbentuk karena adanya hegemoni dan proses reifikasi dalam kehidupan sosial. Melalui hegemoni, kesadaran sosial kaum lemah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga realitas, struktur, dan tertib sosial (yang melayani kepenungan elite), diterima sebagai suatu yang wajar, harus, dan patut. Padahal, sejatinya, sistem tersebut hanyalah bangunan kepentingan dari para elite yang menduduki strata atas.
Apa yang disebut realitas sosial maupun tertib sosial (yang diamankan dalam hukum), sebenarnya `barang buatan' pemilik kepentingan dominan untuk mengendalikan dan menguasai mereka yang tersubordinasi. Realitas dan tertib palsu itu, dikemas sedemikian rupa dengan suatu sistem keyakinan (beliej) yang mengesankan seolah¬olah merupakan suatu sistem yang wajar dan patut diterima tanpa reserve. Sistem penguasaan tersebut kemudian mengalami reifikasi. Meski penuh `tipu-daya', sistem palsu itu dilembagakan seolah menjadi kebutuhan yang esensial, sangat diperlukan, dan riil serta obyektif sifatnya. DI mata CLT, apa yang dikatakan riil', `alamiah', dan `wajar' itu, hanyalah bersifat historis virtual, dan oleh karena itu, mestinya dapat dirubah.
Secara lebih spesifik, penolakan CLT terhadap `realitas palsu' tersebut, tampak dalam empat cabang teori yang dipayunginya, yakni feminist legal theory (FLT), critical race theory (CR"I~, postmodern juri.,~rudence (I'J), d an criticalle,gal studies (CLS).
Melalui feminist legal theory, dilancarkan kritik terhadap dominasi dan hegemoni pandangan dunia patriarki dalam hukum yang berakibat pada peminggiran dan penindasan terhadap perempuan. Lewat criticalrace theory (CRT), dilakukan penolakan terhadap realitas, struktur, atau `tertib sosial' yang membungkus rasisme. CRT melakukan perlawanan terhadap segala perlakukan diskriminatif yang rasistis. Lewat po.rtmodern jurz.rprudence (PJ), terjadi perlawanan terhadap dominasi teori modern atau metanaratif yang cenderung memaksakan satu kebenaran tunggal dan menafikan kebenaran-kebenaran lain di luarnya. Semenatara dengan criticallegal.rtudie.r (CLS), dibangun kritik terhadap ideologi hukum liberal, yang megandaikan adanya netralitas dan obyektivitas dalam hukum.
Induk dari CLT itu sendiri adalah critical theory sebagai derivasi dari `filsafat kritis' yang berawal dari Marx. Marx dianggap sebagai filsuf kritis, karena ia tidak seperti filsuf-filsuf lain yang hanya memberi interpretasi tentang dunia. Marx tidak hanya berhenti pada penggambaran tentang dunia. Lebih dari itu, Marx justru ingin `mengubah dunia'. `Program merubah dunia' itulah yang memberi ciri `kritis' pada filsafat Marx. Kritis itu, bukan sekedar `mempersoalkan' suatu keadaan. Bukan pula sekedar ketajaman pikiran dalam `memilih keputusan'. Kritis adalah soal usaha `mengatasi krisis'. Oleh karena itu, seperti telah dikatakan sebelumnya, kritis dalam filsafat Marx, lebih sebagai usaha rasional yang kesahihannya bukan hanya ditentukan oleh ketajaman pikiran (seseorang) dalam mengalisis situasi, melainkan juga oleh sukses mewujudkan kritik itu dalam praktik untuk mengatasi krisis.

E. Teori dari Kubu Eksistensialis
Eksistensialisme bertolak dari eksistensi manusia sebagai kenyataan dasar dari semua pikiran. Munculnya eksistensialisme merupakan reaksi terhadap rasionalisme Aufklarung. Dalam kaca mata rasionalisme, segala hal termasuk manusia, dipandang dalam terang ide-ide umum yang obyektif. Aspek individualitas manusia cenderung diabaikan. Cara seperti ini ditolak oleh eksistensialisme.
Eksistensi manusia individu, menurut eksistensialisme, harus mendapat perhatian utama. Eksistensi itu tampil dalam kebebasan individual tiap-tiap manusia, dan dalam relasi tiap-tiap orang dengan dunia sekitarnya. Kenyataan eksistensial bersifat pribadi, yaitu pengalaman yang bersifat pribadi. Tap karena pengalaman (yang pribadi itu) juga diperoleh melalui `sejarah' relasi dengan orang lain dan dunia sekitarnya, maka ia serentak bersifat historis. Jadi kebenaran pengalaman dalam eksistensialisme, pada dasarnya bersifat historis dan relatif, karena tergantung dari situasi eksistensi manusia yang mengalaminya. Tidak ada pengalaman yang obyektif dan netral sebagaimana diyakiru rasionalisme abad ke-18.
Cara untuk merekam pengalaman yang historis dan relatif itu, adalah lewat fenomenologi. Di sinilah keterkaitan eksistenslafisme dan fenomenologi. Fenomenologi merupakan reaksi terhadap kecenderungan menggunakan metode empiris dalam psikologi. Empirisme, dan juga positivisme, tidak bisa digunakan sebagai metode monopoli untuk semua pengetahuan, termasuk terhadap soal-soal psikologis. Menurut Husserl, mustahillah segala pengetahuan diterangkan melalui metode kausal ala empirisme dan positivisme. Seperti diketahui, dalam empiris¬me maupun positivisme, suatu kenyataan diterangkan dengan meneli¬ti hubungan kenyataan itu dengan kenyataan lain di luarnya. Menurut kaum fenomenolog, cara seperti itu tidak benar. Suatu kenyataan ha¬rus dikaji dalam esensinya, yakni berpusat pada fenomena itu sendiri. Pemikir ekistensialis yang teorinya akan dibahas di sini, adalah Mainhofer.

Hukum itu Wujud Eksistensi dan Sosialitas:
Tori Werner Maihofer

Teori Maihofer tentang hukum, bertitik-tolak dari kegandaan ontologi manusia, yakni sebagai individu eksistensial dan sebagai pribadi warga sosial. Keberadaan manusia sebagai pribadi eksistensial, menghasilkan hukum alam eksistensial. Melalui hukum alam eksistensial, manusia mempunyai hak milik kebendaan (Zakenrecht), dan hak person dalam hubungan dengan orang lain (per.coon.rrech6. Konsekuensinya, peraturan yang dibuat dalam negara bertujuan melindungi dua hak tersebut .
Pada sisi yang lain, keberadaan (dibaca, kebutuhan) manusia akan hidup sosial dalam masyarakat, menghasilkan hukum alam institusional yang meliputi semua peraturan tentang fungsi orang dalam masyarakat, seperti fungsi ayah, ibu, pembeli, pedagang, dokter, tani, buruh, dan lain sebagainya. Melalui peraturan semacam ini, fungsi orang ditetapkan sedemikian rupa sehingga mereka dapat hidup bersama secara adil. Pertama-tama ditentukan manakah hubungan yang adil antara orang yang sama fungsinya. Kemudian juga ditentukan manakah hubungan yang adil antara orang yang berbeda menurut fungsinya, seperti antara buruh dan majikan, pedagang dan pembeli, dan seterusnya. Ontologi hukum ditentukan oleh ontologi manusia . Itulah inti teori hukum dari Maihofer.
Dalam bukunya Recht und Sein, Prolegomena Zu einer Kechtrontologie (1954), Maihofer mengaku sebagai seorang penganut eksistensialisme Heidegger. Bagi Heidegger, manusia merupakan Dasein . Manusia selalu merupakan "ada" yang menemukan dirinya terjebak dalam ruang dan waktu tertentu. Keber-ada-an Da.rein adalah "ada-dalam-dunia" sebagai satu kesatuan. Dunia Da.rein adalah suatu "dunia-bersama" (mitlvel~, dan berada di dalamnya berarti selalu berada bersama dengan orang lain. Karenanya, struktur eksistensi "ada-dalam-dunia" selalu terkait dengan struktur eksistensi "ada-bersama" (Mitsein) . "Ada bersama" dan "dunia-bersama" membuat Dasein bertindak, berpikir, atau berbicara seperti orang lain. Dasein sebagai mitsein lebih sering berkiprah bukan sebagai dirinya sendiri melainkan sebagai orang rata-rata. Dengan pernyataannya ini, Heidegger hendak meruntuhkan klaim total self awareness yang didengung-dengungkan modernisme .
Heidegger lebih lanjut menjelaskan, keberadaan Dasein, tidaklah seperti keberadaan benda-benda, melainkan apa yang disebut Heidegger sebagai faktisitas. Faktisitas merujuk pada keberadaan dalam dunia sedemikian rupa ketika Dasein memahami dirinya terikat dengan lingkungan eksistensialnya. Keberadaan seseorang dalam dunia kerjanya memungkinkan dia "akrab" dengan lingkungan tersebut (baik fisik maupun non fisik). Seorang individu sebagai suatu kenyataan ontologis terbuka pada dirinya sendiri dan lingkungan eksistensialnya yang mana keduanya saling berkaitan erat. Keseluruhan situasi tersebut, membentuk dunia eksistensil, dunia tempat la hidup dan beraktivitas .
Karena Dasein berada dalam "dunia-bersama" (mitwel6, maka dalam kesehariannya selalu merupakan apa yang disebut Heidegger "manusia massa" (das man). Dalam hal ini, Dasein berada dalam modus eksistensi in-otentik, yaitu modus eksistensi ketika la bertindak, berpikir, dan berbicara seperti layaknya orang lain. Oleh karenanya, Dasein tidaklah berada dalam eksistensi otentik, suatu eksistensi isolatif yang hanya mengandalkan kesadaran diri sendiri (kesadaran bahwa akulah yang harus menentukan pilihan sendiri).
Faktor in-otentisitas tersebutlah yang membentuk karakter yang cukup dominan bagi seorang individu. Salah satunya adalah faktisitas (state of mina) yaitu seorang individu sejak dini mendapati dirinya berada pada dunia yang sudah menentukan kebermaknaan segala sesuatu bagi dirinya. Karakteristik faktisitas tersebut menurut Heidegger, menampilkan struktur "sudah-berada-dalam-dunia" (being-already-in the 2vorl(~. Seorang individu berada dalam durua dimana segala yang ada bermakna sebagai "hasil warisan". Individu menemukan dirinya telah berada di dunia yang bukan dunianya sendiri, melainkan dunia bersama penuh makna yang terwariskan secara historis . Singkatnya, individu berada dalam apa yang disebut Heidegger suatu "keterlibatan" (rorge).
Keterlibatan (rorge) sebagai karakteristik pokok seorang individu dalam kehidupan sosialnya, ditandai oleh keaktifannya bergaul dengan lingkungan eksistensialnya, yaitu benda dan orang lain. Keterlibatan ini bersifat ganda, yakni "keterlibatan demi" (be.rorgen) dan "keterlibatan tentang" (fur.rorgen). "Keterlibatan demi" terarah pada benda-benda (memakainya demi keperluan-keperluannya). Sedangkan "keterlibatan tentang" terarah pada sesama individu lain dengan memperlakukan mereka sebagai sesama yang senasib dan sepenanggungan.
Memang,dalambeberapaaliraneksistensialisme,manusiadilukiskan sebagai suatu subyek individual yang harus memperkembangkan diri secara otentik, yakni sesuai dengan kepribadiannya. Berhubung hukum bersifat abstrak dan umum, maka ia kurang dihargai untuk perkembangan pribadi manusia. Bahkan ada orang yang berpandangan bahwa dalam perkembangan pribadi tidak ada tempat bagi suatu hukum, justru karena hukum itu selalu abstrak dan umum. Hanya orang yang hidup secara in-otentik dapat mentaati hukum. Maka hukum ditanggapi sebagai penghambat kebebasan individual. Orang-orang yang ingin hidup pada tingkat kemanusiaan otentik harus membebaskan diri dari beban hukum untuk menempuh jalannya sendiri, masing-masing dalam jurusan yang cocok baginya. Inilah yang antara lain diajarkan oleh eksistensialis Prancis, Jean Paul Sartre.
Menurut Maihofer, la dapat menyetujui jalan pikiran ini seandainya tidak terdapat faktor lain dalam ker.idupan manusia daripada kebebasan individualnya. Dalam hidup bersama, manusia tidak mungkin hanya bertolak dari kebebasan individualnya. Seandainya semua manusia memilih jalannya masing-masing tanpa menghiraukan nilai-nilai umum, maka kehidupan bersama manusia akan menjurus situasi anarki (kekacauan) dan autarki (kedaulatan individual). Oleh sebab konsekuensi ini tidak dapat diterima, maka harus dicari unsur lain dalam kehidupan manusia yang membuka jalan bagi suatu pandangan positif terhadap hukum. Unsur itu kata Maihofer, adalah segi sosialnya. Ini merupakan unsur yang tidak boleh dilalaikan bila eksistensi manusia dilukiskan secara benar. Manusia selalu hidup bersama orang lain. Ini bukan suatu hal yang kebetulan, melainkan suatu keharusan. Tanpa adanya orang lain kepribadian sendiri tidak dapat berkembang, tidak sampai pada kedewasaan .
Pada dasarnya, demikian Maihofer, tiap orang selalu insyaf bahwa orang lain berada sebagai pribadi, sebagai orang-orang yang memiliki pusat hidup sendiri. Karenanya muncul pula kesadaran bahwa sebagai sesama pribadi, maka orang lain tidak boleh diperalat menurut kemauan egoistis pribadi kita. Sebaliknya orang lain harus dihargai dan dihormati sebagai eksistensi yang sama derajat dengan kita. Keinsyafan ini menyebabkan orang merasa wajib ikut membangun suatu hidup bersama. Bahkan kadang-kadang la merasa wajib untuk menyangkal diri guna memungkinkan terbangunnya suatu hidup bersama yang baik. Pengembangan hidup bersama itu, merupakan syarat mutlak bagi perkembangan eksistensi tiap-tiap pribadi . Persis di titik ini, hukum sebagai tatanan hidup bersama yang adil, merupakan media yang fungsional untuk mengembangkan kehidupan dan eksistensi individu secara otentik, yakni eksistensi serentak ko-eksistensi.
Mengenai hukum sebagai produk ko-eksistensi, dijelaskan pula oleh Ulrich Hommes. Sebagai pengikut Jaspers, Hommes memandang manusia sebagai eksistensi dalam arti bahwa manusia secara alamiah mengatasi diri sendiri untuk menuju ke arah sesuatu yang lain di luar dirinya. Hal iru diungkapkan oleh Jaspers dengan istilah transendensi. Eksistensi manusia adalah sekaligus transendensi. Dalam bukunya Die Exzsten~erhellung und das Recht (keterangan eksistensi dan hukum), Hommes menegaskan bahwa gejala hukum harus diartika.n sebagai salah satu pernyataan manusia sebagai transendensi. Sebagai mahluk yang bertransendensi, tiap-tiap manusia hidup bersama dengan manusia lain. Dalam hidup bersama itulah (di mana eksistensi yang satu saling menyapa dengan eksistensi yang lain), timbulnya hukum . Jadi hukum merupakan hasil manusia dalam kehidupan inter-subyektifnya dengan orang lain.
Dengan kata lain, sebagai eksistensi yang hidup bersama orang lain, manusia memerlukan negara dan hukum. Itu berarti, negara dan hukum hanyalah konsekuensi dari kebutuhan eksistensi manusia. Oleh karena itu, negara dan hukum tidak pernah boleh dipandang lepas dari kebebasan manusia dan pergaulannya dengan dunia. Walaupun Hommes menganggap hukum positif sebagai satu-satunya hukum yang berlaku, namun ia menentang tafsiran positivisme tentang hukum. Hukum tidak pernah menjadi suatu kenyataan obyektif melulu, tetapi selalu tinggal di bawah eksistensi manusia yang bersifat transendensi itu . Artinya, tiap pribadi tetap harus diakui eksistensinya. Pribadi manusia tidak boleh dileburkan menjadi keseluruhan (baik dalam wujud kolektivitas maupun negara). la tidak boleh menjadi suatu obyek yang dikuasai oleh negara, apalagi ditundukkan di bawah kekuasaan sewenang-wenang. Demi eksistensinya, tiap-tiap orang pribadi boleh menentang hukum yang berlaku bila tidak adil, walaupun la mungkin dihukum oleh pengadilan karena pelanggaran.

F. Teori dari Kubu Aliran Hukum Alam Abad ke-20
Di tengah trauma terhadap kekejian Perang Dunia II dan kekejarnan Nazi, perhatian terhadap hukum alam kembali bangkit. Ada kehendak agar kekejian tersebut tidak terulang lagi di masa datang. Karena itulah, norma-norma hukum harus dijaga sedemikan rupa agar tetap mencerminkan prinsip-prinsip etika, humanisasi hidup, dan keadilan. Pada umumnya eksponen hukum alam abad ke-20 ini, tidak hanya menerima prinsip-prinsip umum sebagai dasar hukum. Mereka juga mengakui suatu hukum alam yang konkret. Hukum yang konkret itu adalah hukum yang sesuai dengan situasi hidup yang sebenarnya, entah relasi antara orang entah situasi konkret individual warganegara.

Hukum itu Keinsyafan Keadilan:
Teori W.A.M. Luypen

Pembentukan hukum perlu dipandu keadilan. Keadilan merupakan dasar dan norma kritis dalam hukum. Ini mutlak perlu, karena kalau tidak, hidup bersama yang adil tidak mungkin terjamin. Jadi hukum tidak sekedar sebuah aturan sebagai aturan seperti dipahami kaum legalis. Tidak juga sekedar suatu kenyataan yang bebas nilai seperti konsepsi kaum reine rechtslehre. Sebaliknya, dalam hukum sebagai hukum, terdapat segi lain yang merupakan makna segala hukum, yakni keadilan. Dari keadilan itulah, muncul hukum yang mewajibkan. Dengan lain perkataan, adanya kandungan keadilan dalam suatu aturan, menyebabkan muncul sifat mewajibkan dari peratur,an tersebut. Tanpa sifat mewajibkan ini, maka tidak ada suatu aturan pun yang pantas disebut hukum . Inilah inti teori luypen.
Karenanya, menurut Luypen, apa yang disebut tatahukum belum tentu dapat disebut hukum. Sebab bisa terjadi, terdapat tatahukum yang tidak mewajibkan, yakni kalau tatahukum itu tidak menurut norma-norma keadilan. Hanya hukum yang menurut norma-norma keadilan sajalah yang sungguh-sungguh mewajibhan. Maka salah besar para penganut positivisme yuridis yang menganggap hukum hanya sekedar `kenyataan legal' belaka. Mereka telah melalaikan sesuatu yang hakiki dalam hukum, yakni keinsyafan keadilan yang hidup dalam had manusia. Luypen menuntut supaya norma-norma keadilan dundahkan dalam pembentukan hukum. Bila tidak, maka hukum yang sebenarnya tidak ada.
Lalu apa keadilan yang dimaksud Luypen itu? Keadilan dalam konsepsi Luypen lebih sebagai sebuah sikap, yaitu sikap keadilan. Karena itu, la merumuskan keadilan sebagai sikap memperhatikan tugas dan kewajiban untuk mempertahankan dan memperkembangkan perikemanusiaan. Tanpa sikap ini, hidup bersama antar manusia tidak mungkin terbangun dengan baik. Apa yang memajukan perikemanusiaan adalah adil, dan apa yang menentangnya adalah tidak adil. Namun harus diingat, isi perikemanusiaan itu sendiri tidak pernah dapat ditetapkan sebagai sesuatu yang kekal. Sebab kebenaran tentang hidup bersama dalam ko-eksistensi tidak pernah lengkap, tetapi berkembang dalam sejarah. Maka tidak terdapat norma-norma hukum alam yang tetap. Bagi Luypen, yang penting adalah adanya sikap keadilan. Hanya dengan adanya sikap keadilan dalam hidup bersama, maka dimungkinkan terciptanya perikemanusiaan .
Teori Luypen itu, harus dipahami dalam konteks posisi Luypen sebagai seorang fenomenolog eksistensial sekaligus mengalami pengaruh dari tradisi skolastik yang hidup terus dalam Neo-Thomisme. Karena pengaruh ini, Luypen terhindar dari posisi ekstrim seperti terjadi pada beberapa filsuf besar eksistensialisme, antara lain Sartre, Soren Kierkegaard, Nietzsche, dan lain-lain. Mereka ini terlalu menekankan segi kebebasan mutlak manusia, sehingga cenderung menolak segala hal yang `membelenggu' kebebasan manusia, termasuk aturan hukum. Tidak hanya hukum yang ditolak, campur tangan Tuhan-pun diingkari. Bahkan merekelah yang menjadi inspirator kemunculan teologi kematian Tuhan (the death of God theology).
Sambil tidak terlalu fanatik pada eksistensialisme, Luypen bergerak lebih leluasa dalam fenomenologi dan neo-Thomisme. Akibatnya, ia lebih menonjolkan aspek pengalaman (fenomenologi) dan keinsyafan akan yang luhur (neo-Thomisme) dalam teorinya. Tidak kebetulan jika dua bukunya tentang hukum bertitel Fenomenologie van het natuurrecht, 1966 (fenomenologi hukum alam) dan Kechtvaardigheid, 1975 (keadilan).
Menurut Luypen, apa yang menggelisahkan hati manusia pada zaman sekarang, terutama sesudah perang dunia kedua, ialah kekurangan akan suatu dasar dan norma kritis bagi pengaturan hidup bersama. Memang ada tatahukum tetapi adanya tatahukum tidak mencukupi untuk menjamin suatu aturan hidup bersama yang baik. Hal ini dijelaskan oleh Luypen dengan menunjuk pada pengalaman di bawah resim Nazi. Segala penyelewengan dibenarkan oleh rezim itu, oleh karena suatu dasar dan norma kritis bagi tatahukum negara tidak diterima. Seluruh tatahukum dianggap sah, tanpa diindahkan isinya apakah adil atau tidak.
Padahal menurut Luypen, sudah sejak dahulu kala norma keadilan diakui sebagai bagian inheren dalam hukum. Hukum alam yang ditemukan pada filsuf-filsuf zaman Yunani, abad pertengahan, dan zaman modern, tidak lain daripada suatu ide yang menyatakan bahwa manusia dalam tindakannya harus memperhatikan norma-norma keadilan. Hukum alam mengakui adanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari tiap individu manusia yang tidak dapat ditiadakan atau diubah. Bila hukum yang disusun tidak sesuai dengan hukum dasar ini, maka hukum itu tidak adil dan tidak berlaku sebagai hukum .
Seperti diketahui, di bawah pengaruh fenomenologi, Luypen mendukung teori hukum alam menurut maknanya. Meski begitu, ia tidak mau kembali kepada teori hukum alam zaman dahulu. Sebab menurutnya, filsafat yang mendasari teori hukum alam zaman dulu tidak dapat diterima lag'. Misalnya saja tentang manusia, filsafat zaman dahulu memahami manusia secara abstrak. Manusia dilihat sebagai suatu hakekat yang lepas dari dunia, dan karenanya lepas dari dunia pengalaman dan dari perkembangan sejarah. Akibat pandangan abstrak terhadap manusia dalam aliran-aliran hukum alam zaman dahulu, maka pandangan terhadap hukum cenderung terlalu obyektivistis, dan serentak juga terlalu subyektivistis.
Dalam pandangan yang terlampau obyektivistis, hukum itu diartikan sebagai suatu gejala yang mempunyai kedudukan sendiri, lepas dari manusia-subyek. Hukum alam semacam ini asing sama sekali dari aspirasi dan cita-cita subyektif manusia. Hukum alam menjadi begitu esoteris yang terpisah samasekali dari pengalaman manusia (yaitu pengalaman hidup bersama dengan orang lain dan dari perkembangannya dalam sejarah). Hukum alam yang obyektivistis ini, menurut Luypen, ditemui dalam pemikiran Thomas Aquinas. Dalam filsafat Thomas Aquinas, manusia dipandang sebagai suatu hakekat yang abstrak dan statis. Dengan begitu, hukum juga ditanggapi sebagai suatu gejala obyektif di luar manusia yang abstrak itu. Hukum itu dianggap statis dan kekal, sesuai dengan pandangan statis terhadap manusia.
Sebaliknya, dalam pandangan yang subyektivistis, hukum itu diartikan sebagai suatu, gejala yang berasal dari individu-individu manusia an sich. Hukum alam semacam ini tentu tidak terkait dengan realitas masyarakat manusia. la hanya bertahta dalam dunia rasio individu. Hukum alam tipe ini menjadi ciri teori hukum alam dari zaman rasionalisme (Aufklarung). Filsuf-filsuf zaman itu menerima beberapa prinsip rasional sebagai dasar segala kebenaran: Dari prinsip¬prinsip utama ini prinsip-prinsip lain diduksikan secara a priori oleh akal dan nalar manusia. Untuk bidang hukum, itu berarti peraturan hidup bersama dapat diduksikan secara a priori dari kaidah-kaidah hukum yang sejak semula sudah berada pada akal manusia.
Bagi Luypen yang menganut fenomenologi eksistensial, kedua pan-dangan ekstrim itu ditolak. Dan' perspektif fenomenologi eksistensial seperti dianut Luypen, manusia dipandang sebagai subyek yang memiliki sosialitas dan sejarah. Tidak terdapat sesuatu yang bersifat obyektif per se, tidak juga sesuatu yang bersifat subyektif an sich. Dalam segala gejala yang ada hubungan dengan manusia, selalu terdapat baik yang obyektif maupun yang subyektif. Dalam `dunia yang utuh' itulah, manusia membangun pengalaman fenomenologisnya sebagai manusia sejarah.
Menggunakan terminologi filsafat eksistensial, dapat dikatakan bahwa eksistensi manusia selalu sudah menjadi ko-eksistensi: Manusia menurut hakekatnya merupakan suatu mahluk yang hidup bersama orang lain. Lagi pula dapat dipastikan, manusia menurut hakekatnya selalu berada dalam waktu, dan karenanya senantiasa menjadi mahluk sejarah. Bagi hukum itu berarti, hukum timbul dalam pengalaman manusia yang hidup bersama, dan hukum ikut berkembang dalam sejarah pengalaman itu. Konsekuensinya, hukum itu tidak selalu sama isinya dalam semua masyarakat, dan juga tidak sama isinya dalam perkembangan zaman. Tidak ada hukum yang universal dan absolut, dilihat dari isinya.
Meski norma-norma perikemanusiaan menjadi patokan dasar setiap tata hukum, namun menurut Luypen, isi norma-norma itu sendiri bersifat kontekstual menurut ruang dan waktu. Wujudnya adalah rasa keadilan, ya rasa perikemanusiaan. Karena berupa rasa yang sifatnya substantif, maka untuk berlaku sebagai norma positif, ia perlu diintegrasikan dalam tata hukum. Pendeknya, tanpa diakomodasi dalam tata hukum, maka norma-norma perikemanusiaan tidak akan efektif, dan karenanya tidak berlaku sebagai hukum. Sebaliknya juga, suatu tatahukum yang tidak menurut norma keadilan (norma-norma kemanusiaan), juga tidak berlaku sebagai hukum, sebab kekurangan unsur yang esensial, yakni unsur keadilan. Baik tata hukum maupun sifat keadilan, dibutuhkan supaya tercipta hukum yang sebenarnya.
Tesis Luypen tentang kontekstualitas isi hukum, didukung oleh Luis Recasens-Siches, seorang ahli hukum keturunan Spanyol-Mexico. Recasens-Siches menghubungkan relativitas isi hukum dengan apa yang la sebut `lima sumber sejarah', yakin (i). Kenyataan bahwa realitas sosial bermacam-macam dan berubah-ubah, (ii). Adanya aneka ragam rintangan yang dalam tiap situasi harus diatasi untuk memenuhi syarat¬syarat nilai dalam situasi demikian, (iii). Pelajaran yang diperoleh dari pengalaman praktis mengenai pemenuhan sarana untuk mewujudkan suatu nilai dalam suatu situasi konkrit, (iv). Adanya penentuan prioritas¬prioritas terkait dengan tingkatan urgensi dari kebutuhan sosial yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa historis kontemporer, dan (v). Keanekaragaman nilai yang beberapa di antaranya berhubungan dengan kebutuhan manusia universal, sedangkan bagian yang lain melekat pada kondisi-kondisi sejarah yang khas yang menimbulkan norma-norma khusus bagi tiap masyarakat dan tiap situasi .
Sementara itu, Kohler mengaitkan kontekstualitas isi hukum dengan perkembangan peradaban. Arti peradaban adalah perkembangan sosial dan pencapaian-pencapaian manusia dalam bidang kebudayaan. Tugas hukum adalah menyokong peradaban, baik dalam fungsi mempertahankan nilai-nilai yang ada, maupun menciptakan nilai-ilai baru untuk perkembangan lebih lanjut dan membuka jalan bagi realisasi potensi-potensi manusia sebagai pelaku peradaban. Penyesuaian dua fungsi itu, ditentukan sesuai ruang dan waktu. Lebih lanjut dikatakan Kohler, setiap peradaban mempunyai dalil-dalil hukum tertentu, yaitu gagasan-gagasan mengenai apa yang benar untuk dibuat efektif oleh lembaga-lembaga hukum. Materi-materi hukum harus dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat memberi pengaruh pada dalil-dalil dimaksud. Masyarakat industri dan masyarakat non-industri pasti memiliki cita peradaban yang berbeda. Oleh karena itu, isi hubungan antara hukum dan peradaban dari dua masyarakat tersebut, pasti pula berbeda sesuai kondisi-kondisi perkembangan manusianya .
Sedangkan Eduardo Garcia-Meynez, seraya menerima kebenaran yang obyektif mengenai nilai-nilai hukum, dia juga serentak mengatakan bahwa nilai-nilai hukum itu mempunyai bermacam-macam bentuk relativitas yang ia golongkan dalam tiga kelompok, yakni: (i). Relativitas pada orang, (ii). Relativitas pada situasi-situasi konkrit, dan (iii). Relativitas pada ruang dan waktu .
Adolf Reinach (penganut fenomenologi Husserl), juga mendukung tesis Luypen tentang kontekstualitas isi hukum. Memang benar, kata Reinach, isi hukum positif dalam tiap masyarakat bisa berbeda¬beda. Juga benar, isi hukum zaman sekarang lain daripada isi hukum zaman dulu. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan itu, antara lain pandangan etis manusia dan situasi ekonomis suatu masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Dua faktor inilah yang menentukan warna dan logika isi hukum suatu negara atau masyarakat. Itu berarti, hukum merupakan jawaban strategis sebuah masyarakat atas realitas pandangan etis dan realitas ekonomis masyarakat tersebut, kini dan di sini. Karenanya, perbedaan isi hukum pada tiap masyarakat tidak bisa dinilai menurut ukuran benar-salah. Tidak ada hukum yang lebih benar. Yang ada ialah hukum yang tepat, dalam arti, hukum itu cocok untuk sistem situasi kontemporer sebuah masyarakat .
Apakah itu berarti Reinach mengijinkan selera `mana suka' dalam menentukan isi hukum? Sama sekali tidak. Hukum, kata Reinach, bukan suatu khayalan subyektif belaka. Hukum memiliki suatu realitas obyektif. Dari segi empiris, la harus dibentuk berdasarkan pandangan etis dan situasi ekonomis suatu masyarakat, kini dan di sini. Sedangkan dari sisi tujuan, hukum dibangun untuk menjamin rasa aman dan keadilan. Dua segi itulah yang harus menjadi pedoman perumusan hukum dalam bentuk undang-undang.
Lebih lanjut dikatakan Reainach, meski bidang hukum begitu dekat dengan bidang etis, namun keduanya tetap berbeda dalam beberapa aspek: (i). Norma-norma hukum berasal dari suatu perjanjian, sedangkan norma-norma etis melekat pada manusia sebagai pribadi. (ii). Hak-hak yuridis dapat diserahkan kepada orang lain, sedangkan hak-hak etis tidak dapat berpindah. (iii). Hak-hak yuridis dapat hilang kalau tidak digunakan, sedangkan hak-hak etis tidak pernah dapat dihilangkan karena melekat pada pribadi manusia. (iv). Bidang hukum itu hanya meliputi bidang kehidupan ekstern, sedangkan bidang etis meliputi juga kehidupan batin manusia .
Walau memiliki perbedaan, bidang yuridis dan etis saling berhubungan juga, sebab hukum harus dibuat menurut prinsip-prinsip yang diambil dari etika. Kalau suatu aturan hukum ditentukan yang melawan prinsip-prinsip etis, aturan tersebut dapat saja dinilai sebagai sesuatu yang jahat. Umpamanya undang-undang yang mengesahkan pembasmian ras tertentu, harus dianggap jahat oleh karena bertentangan dengan asumsi dasar positif dalam etika, yakni hidup dan martabat manusia sebagai ciptaan ilahi, adalah mulia dan suci. Menurut Reinach,
norma-norma etika yang sifatnya imperatif berlaku sebagai norma¬norma pembimbing dalam pembentukan hukum yang adil .

Hukum itu Perlu Tafsiran Kontekstual:
Teori Frangois Geny
Di tengah kejayaan ilmu hukum analitis (termasuk di Prancis) yang cenderungberkutat pada teks literal aturan, Fran~ois Geny tampil dengan terobosan yang mengusik. Dunia praktik (pengadilan) yang dalam hukum analitis dianggap sebagai corong aturan belaka, ditampilkan sebagai dunia penuh kreativitas oleh Geny. Dalam pengamatan Geny, penafsiran Code Civil oleh pengadilan di Prancis, ternyata merupakan rangkaian aksi kreatif. Para hakim tidak hanya mengandalkan UU tetapi juga adat kebiasaan, keputusan dan doktrin, serta penelitian ilmiah yang bebas . Melalui aksi kreatif tersebut, maka sampai derajat tertentu, pengadilan telah mengubah prinsip-prinsip yang ada dalam UU. Modus yang dipakai oleh pengadilan dalam aksi kreatif itu, menurut Geny, adalah libre recherche scientifique yang bertopang pada tiga prinsip: (i). Otonomi kemauan, (ii). Kepentingan umum, (iii). Keseimbangan kepentingan .
Dari kenyataan itulah, Geny lalu membangun teori tentang metode penafsiran hukum. Lewat karya utamanya: `Metode Tafsir dan Sumber Hukum Privat' (Methode d interpretatzon et sources en droit prive positi~, ia mengkritik cara penafsiran rasionalisme abad ke-18 dan 19 yang terlampau deduktif dan formal. Metode rasionalisme tersebut, menurut Geny, beranjak dari pengandaian yang keliru. Penganut metode ini yakin bahwa `UU itu sempurna adanya'. Tidak! Kata Geny. UU tidak pernah sempurna. Sebuah UU tidak pernah mampu dengan sempurna mempresentasikan keutuhan realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial.
Karena itu, sangat tidak logis untuk menarik garis lurus begitu saja antara konsep-konsep umum yang abstrak dalam UU dengan kasus¬kasus riil dalam dunia empiris. Banyak faktor dan variabel yang ikut mewarnai profil sebuah kasus. Makanya, sebuah kasus tidak boleh hanya dilihat dari konstruksi literal-yuridis UU. la juga harus diteropong dalam terang konteks yang utuh dan komprehensif (baik roh UU maupun konteks kasus itu sendiri). Roh UU dan konteks kasus, adalah dua hal yang harus dipadukan dalam penerapan dan penafsiran hukum. Dalam menafsir hukum, tidak cukup hanya bermodal keahlian utak¬atik makna literal UU seperti ditawarkan be rzff jurz.rprudenZ. Juga tidak harus terlampau `bebas' mengikuti alur realitas atau konteks seperti dianjurkan frei rechtslehre. Penafsiran hukum yang benar adalah paduan yang proporsional antara roh hukum dan konteks kasus.
Itulah sebabnya, Geny mengusulkan agar langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperhatikan maksud pembentuk UU waktu UU itu dibuat. Penafsir undang-undang harus selalu mengindahkan maksud ini. Kemudian perlu diberi perhatian akan situasi masyarakat waktu UU itu dibentuk, yakni kebutuhan dan susunan sosial zaman itu. Pada saat yang bersamaan, perlu pula diperhatikan logika internal dan sistematika undang-undang itu sendiri. Sampai di sini menurut Geny, cara tafsir dari sisi undang-undang, dianggap tepat .
Tapi bagaimana bila isi dan roh UU tidak lagi cocok dengan perubahan zaman? Kata Geny, kekosongan itu harus diisi dengan hukum adat. Mengapa? Oleh karena adat merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang telah melembaga dan menyatu dengan masyarakat pemiliknya. Karena itu, la harus dianggap sebagai salah satu sumber hukum. Lag, pula, suatu kasus sudah pasti muncul dan berada dalam konteks sistem situasi kehidupan masyarakat itu sendiri (yaitu adat). Lalu bagaimana jika UU maupun adat tidak mencukupi untuk menghadapi masalah-masalah kekinian?. Dalam hal ini sumber-sumber lain harus digali, yakni teori dari para sarjana dan putusan-putusan hukum yang berwibawa. Jika toh dua sumber ini juga tidak mencukupi, maka harus diberikan keleluasaan melakukan penyelidikan ilmiah secara bebas. Penyelidikan ini harus dijalankan secara obyektif. Kekayaan sosial dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat digali secara sungguh-sungguh untuk menemukan prinsip-prinsip fundamental keadilan dan kepantasan .
Teori lain yang searah dengan teori penafsiran hukum Geny ini, datang dari Carlos Cossio. la berhasil mengkombinasikan pemikiran Neo-Kantian dari Kelsen dengan fenomenologi dan eksistensialisme Heidegger. Melalui `teori hukum ekologis'-nya, Cossio melihat hukum sebagai obyek ekologis, yakni perilaku manusia dalam campur tangan intersubyektif. Menurut Cossio, pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari tiga unsur utama, yakni (i). Struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka aturan, (ii). Kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu keadaan khusus, (iii). Penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsur ini dalam suatu situasi tertentu.
Karenanya, demikian Cossio, dalam menghadapi suatu aturan hukum, seorang hakim tidak bertindak sebagai robot, tetapi sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai manusia, menurut Cossio, ia dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal tiada norma yang spesifik, para hakim wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip hukum atau norma-norma dasar yang dianggap adil untuk sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsepsi keadilan .
Kembali ke Geny, kiranya jelas, Geny menempatkan penafsiran hukum dalam kerangka pandangan yang menyeluruh tentang hukum. la tidak hanya berhenti pada teks-teks hukum, tetapi juga menjangkau nilai-nilai hukum yang dimiliki masyarakat. Nilai-nilai hukum itu, mencerminkan kesadaran umum manusia, dan serentak mencerminkan realitas masyarakat itu sendiri. Persis di titik ini, Geny menghubungkan diri dengan Socrates-Plato-Aristoteles, dan juga Thomas Aquinas, khususnya tentang hukum alam. Karena Geny menghubungkan diri dengan deretan pemikir itu, maka yang la maksudkan dengan (prinsip-prinsip) hukum alam adalah norma-norma primer hukum alam, seperti honeste vivere, unicuique suum tribuere, dan neminem laedere. Termasuk juga di sini adalah prinsip-prinsip hukum alam sekunder, seperti semua hak fundamental manusia. Prinsip-prinsip ini, karena berasal dari kenyataan alam-rasional, maka harus menjadi dasar semua aturan hukum positif.
Prinsip-prinsip hukum alam (yang sebagian telah terserap dalam sens commun) itu, menurut Geny, harus menjadi dasar hukum positif. Prinsip-prinsip ini harus diterapkan kepada kehidupan sosial manusia melalui pembentukan teknis hukum. Tugas menemukan dan menggali prinsip-prinsip dimaksud (sebagai bahan material hukum), merupakan tugas para ilmuwan hukum. Sedangkan pembentukan teknis hukum diserahkan pada kaum birokrat. Menurut Geny, ilmu hukum tertuju kepada masyarakat sebagaimana adanya (donne) danberusahamenemukan prinsip-prinsip material hukum di dalamnya. Ilmu itu bukanlah suatu cara berpikir abstrak dan spekulatif seperti dalam Ideenjurisprudenf, melainkan suatu penyelidikan empiris yang dibimbing oleh suatu intuisi teoretis, simpati intelektual, dan ketajaman rasional .
Investigasi empiris perlu dilakukan oleh karena obyek yang diteliti adalah kenyataan sosial. Dan menurut Geny, kenyataan sosial dimaksud mencakup paling sedikit empat eselon . Pertama, kenyataan (donne) `alamiah' yakni fakta real menyangkut lingkungan aktual kehidupan manusia (misalnya fakta bahwa manusia terdiri dari laki dan perempuan). Kedua, kenyataan historis yaitu bahwa dalam perkembangan sejarah tertentu, laki-laki dan perempuan yang telah dewasa dukat dalam tali perkawinan.
Ketiga, kenyataan akal sehat manusia, yakni prinsip-prinsip atau konvensi yang dibangun manusia atas realitas yang ia alarm'. Dalam contoh tentang perkawinan, karena (dalam perjalanan sejarah) ikatan suami-istri itu bersifat eksklusif dan sakral, maka perlu dipagari nilai¬nilai dan kewajiban-kewajiban moral, misalnya prinsip `fidelitas'. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa nafsu manusia harus dikendalikan dan pendidikan anak-anak harus terjamin. Keempat, kenyataan ideal, yakni cita-cita yang berasal dari kepercayaan dan perasaan hidup orang¬orang dalam suatu tahap kebudayaan tertentu. Dalam kebudayaan yang sudah berkembang ditemukan cita-cita yang luhur tentang perkawinan, seperti monogami dan keyakinan bahwa suami istri tidak bisa cerai.
Menurut Geny, tiga kenyataan yang disebut pertama, bersifat kons¬titutif, sehingga harus diperhatikan oleh setiap pembentuk undang¬undang supaya undang-undang itu legitimate. Sedangkan prinsip-prinsip yang berhubungan dengan kenyataan historis, digolongkan oleh Geny sebagai hukum bangsa-bangsa. Hukum ini bersifat variabelistik, karena disesua.ikan dengan situasi masyarakat. Prinsip-prinsip yang berasal dari kenyataan ideal, tidak digolongkan sebagai hukum alam oleh Geny.
Prinsip-prinsip hukum alam yang menjadi garapan ilmuwan hukum itu, memang hanya berfungsi sebagai pedoman bagi (materi/isi) undang¬undang. Soal pengolahan secara teknis menjadi UU, bukanlah menjadi tugas para ilmuwan tetapi merupakan pekerjaan para `teknisi' hukum. Di sini, ilmu hukum berhenti, dan dialihkan kepada teknik hukum. Teknik ini berhubungan dengan aksi (action) dan dengan kekuasaan (pouvoir). Untuk itu metoda-metoda teknik digunakan, seperti reduksi unsur-unsur hukum, penetapan kategori-kategori formal, membuat klasifikasi yuridis, memberi batasan pengertian dan konstruksi yuridis. Inilah yang dikenal dengan begriff juri.rpruden.Z seperti diperkenalkan oleh Jhering sebelum la beralih ke interresanjuri.r~ruden.Z.
Jadi sangat keliru, jika para `teknisi hukum' memusuhi mereka yang tergolong para ilmuwan hukum seperti yang terjadi di beberapa fakultas hukum di Indonesia. Bahkan menurut hemat kami, sangatlah lucu jika ada sementara kalangan yang menamakan diri guru besar ilmu hukum, namun begitu bangga dan fanatik menjadi pejuang `keterampilan hukum'. Ironisnya lag', seolah tanpa dosa, mereka mengklaim `keterampilan teknik hukum' itu sebagai ilmu hukum sejati. Para ilmuwan yang berusaha mendudukkan ilmu hukum pada jalurnya yang benar sebagaimana dimaksudkan Geny, malah dituduh sebagai `pelacur ilmu hukum'. Mudah dibayangkan, Geny pasti akan sangat sedih, seandainya ia berkesempatan menyaksikan ulah yang menggelikan itu.


3.7. Teori Hukum di Masa Transisi
Hukum Responsif
Teori Nonet-Selznick
Hukum responsif adalah model atau teori yang digagas NonetSelznick di tengah kritik pedas Neo-Marxis terhadap liberal legalism. Seperti diketahui, legalisme liberal mengandaikan hukum sebagai institusi mandiri dengan sistem peraturan dan prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan benar-benar otonom. Ikon legalisme liberal adalah otonomi hukum. Wujud paling nyata dari otonomi itu adalah rezim rule of law. Dengan karakternya yang otonom itu, diyakini bahwa hukum dapat mengendalikan represi dan menjaga integritasnya sendiri.
Dilihat dari kepentingan internal sistem hukum itu sendiri, dalil integritas itu memang dapat dipahami. Tapi hukum bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Hukum adalah alat bagi manusia. la merupakan instrumen untuk melayani kebutuhan manusia. Dalam makna ini, isolasi sistem hukum dari berbagai institusi sosial di sekitarnya, justru berdampak buruk dari sisi kebutuhan manusia itu sendiri. Hukum, dengan mudah berubah menjadi institusi yang melayani diri sendiri, bukan lagi melayani manusia. Hukum tidak lag, bisa diandalkan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif. Akibatnya jelas, legitimasi sosial dari hukum itu melorot tajam . Tanda bahaya tentang terkikisnya otoritas tersebut dan macetnya keadilan substantif, telah menjadi fokus kritik terhadap hukum .
Sebenarnya, di balik doktrin otonomi hukum, tersembunyi ideologi status quo. Dan status quo sendiri merupakan canopy (benteng perlindungan) orang-orang mapan, orang-orang berpunya. Ini poin pertama kritik Neo-Marxis. Keberpihakan hukum sangat jelas. Ia menguntungkan golongan kaya dan merugikan serta menipu golongan miskin. Dengan begitu, secara tersembunyi institusi-institusi hukum telah tercemar dan ikut menyebabkan ketiadaan ketertiban sosial secara keseluruhan. la bekerja sebagai alat kekuasaan. Poin kedua yang dikritik Neo-Marxis adalah legalisme liberal (liberal legalism), khususnya mengenai gagasan bahwa tujuan keadilan dapat dicapai melalui sistem peraturan dan prosedur yang obyektif, tidak memihak, dan otonom. Menurut Neo-Marxis, faktual, the rule of law tidak mampu mengatasi isu-isu mendasar mengenai keadilan sosial. Lebih buruk lagi, rule of law merupakan "musuh tersembunyi" bagi keadilan sosial itu sendiri . Bukan keadilan sosial yang diraih dalam rule of law, tapi kemenangan orang-orang yang mapan dan kaya. Pengadilan, bukan tempat orang¬orang kelas bawah mendapatkan keadilan sosial, tapi menjadi mimbar dari kelas atas mengadili kelas bawah.
Di tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otoritas hukum itulah, Nonet-Selznick mengajukan model hukum responsif . Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. Kebutuhan ini, sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), seperti halnya Roscoe Pound, para penganut paham realisme hukum, dan kritikus-kritikus kontemporer. The model of rules yang diajukan oleh Dworkin, tidak bisa lagi diandalkan menangani dinamika kebutuhan-kebutuhan sosial di tengah perubahan yang tiada bertepi dewasa ini.
Nonet dan Selznick lewat hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik . Kepedulian pada akomodasi aspirasi sosial, menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sociological jurisprudence, . Bahkan menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan program dari sociological jurisjrzrdence dan realist juri.rprudence . Dua aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum .
Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the soatvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu . Lebih lanjut Nonet dan Selznick mengatakan,
`...Thus a distinctive feature of responsive law is the search of implicit values in rules and policies...a more flexible interpretation that sees rules as bound to specific problems and contexts, and undertakes to identify the values at stake in procedural protection' .

Apa yang dikatakan Nonet dan Selznick itu, sebetulnya ingin mengritik model analytical juri.rprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya berkutat di dalam sistem aturan hukum positif, model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif, sebaliknya, pemahaman mengenai hukum melampaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu . Itulah sebabnya, hukum responsif mengandalkan dua "doktrin" utama. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik, bertujuan, dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum.
Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi sebagai norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan: (i). Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum, (ii). Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan, (iii). Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat, (iv). Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan, (v). Memupuk sistem kewajiban sebagai ganti sistem paksaan, (vi). Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum, (vii). Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat, (viii). Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum, (ix). Akses patisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial.
Hukum responsif, oleh Nonet dan Selznick dikontraskan dengan dua model yang lain, yaitu hukum represif dan hukum otonom . Hukum represif lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan dan menafikan aspirasi publik. Ini jelas terlihat dalam ciri utamanya: (i). Kekuasaan politik mengatasi institusi hukum, sehingga kekuasaan negara menjadi dasar legitimasi hukum, (ii). Penyelenggaraan hukum dijalankan menurut perspektif penguasa dan pejabat (menempatkan ketertiban men) adi tujuan utama hukum serta mementingkan kemudahan administratio. (iii). Peraturan-peraturan yang diskriminatif (bersifat keras/represif mengikat rakyat, tapi lunak terhadap penguasa). (iv). Alasan pembuatannya bersifat ad-hoc sesuai keinginan arbitrer penguasa. (v). Kesempatan bertindak bersifat serba meresap sesuai kesempatan; (vi). Pemaksaan serba mencakupi tanpa batas yang jelas. (vii). Moralitas yang dituntut dari masyarakat adalah pengendalian diri. (vii). Kepatuhan masyarakat harus tanpa syarat, dan ketidakpatuhan dihukum sebagai kejahatan. (ix). Partisipasi masyarakat diijinkan lewat penundukkan diri, sedangkan kritik dipahami sebagai pembangkangan.
Dari konstelasi hubungan antarvariabel itu, jelaslah bahwa hukum represif merupakan sistem hukum kekuasaan represif yang bertujuan mempertahankan kepentingan penguasa yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban. Karena hukum merupakan alat penguasa, maka dalam geraknya aturan-aturan hukum tidak mengikat penguasa sebagai pembuatnya. Sebaliknya, la berfungsi mengendalikan seluruh aspek kehidupan rakyat untuk menciptakan, melaksanakan, serta memperkuat kontrol terhadap segenap kegiatan masyarakat.
Konfigurasi sistem hukum yang demikian, tak pelak lagi memunculkan wajah hukum yang memihak pada elite penguasa. Persis di titik ini, hukum represif sejalan dengan apa yang oleh Podgorecki disebut hukum otoriterian. Yakni suatu sistem hukum dengan ciri: Pertama, substansi hukumnya berisi peraturan yang mengikat sepihak dan materinya berubah-ubah sesuai keinginan yang bersifat arbitrer sang penguasa. Kedua, aturan hukum dipakai sebagai kedok dengan cara yang "lihai" untuk menutupi intervensi kekuasaan yang berlebihan. Ketiga, "penerimaan" masyarakat terhadap hukum berjalan dalam kesadaran palsu. Keempat, sanksi-sanksi hukum, potensil menimbulkan keberantakan sosial (social disintegration), dan nihilisme sosial menyebar tak terkendali. Kelima, tujuan akhir hukum adalah legitimasi institusional yang lepas dari persoalan diterima tidaknya oleh masyarakat.
Hukum responsif juga kontras dengan model hukum otonom (autonomous law), karena model yang disebut terakhir secara radikal menutup diri terhadap dunia di luarnya. Tatanan hukum ini berintikan supremasi peraturan dan prosedur, sehingga masalah keadilan hanya dimaknai sebatas keadilan prosedural. Secara lebih rinci, tipe tatanan hukum otonom ini memperlihatkan ciri: (i). Hukum terpisah dan kekuasaan (politik) yang mengimplikasikan penolakan terhadap kekuasaan, (ii). Tata hukum mengacu pada "model aturan". Dalam kerangka ini, maka aturan menjadi satu-satunya dasar penilaian dan tanggung-jawaban hukum. Selain itu, aturan membatasi kreativitas institusi-institusi hukum dan peresapan hukum ke dalam wilayah politik. (iii). Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian tujuan pertama dan kompetensi utama tatahukum adalah regularitas. (iv) Loyalitas pada hukum bermakna sama dengan kepatuhan pada aturan hukum positif. (v). Diskresi sangat dibatasi karena dapat merongrong integritas proses hukum, (vi). Formalisme dan legalisme menjadi landasan pertimbangan utama, (vii). Kritik terhadap aturan hukum positif harus dilaksanakan melalui proses legislasi.
Dalam tatanan hukum otonom, penyelenggaraan hukum diorientasi¬kan pada keutamaan sistemik-logik. Artinya, peraturan-peraturan hu¬kum dijadikan sebagai pedoman yang semesta, dan dijabarkan secara logis menurut metode formal-dogmatis oleh para pelaksana hukum dalam bentuk keputusan-keputusan hukum . Karena sifatnya yang demikian, maka pendekatan yang ditonjolkan adalah pendekatan top¬down dan deduktif .
Dari sekilas perbandingan di atas, kiranya jelas bahwa hukum responsif merupakan sebuah tatanan atau sistem yang inklusif, dalam arti mengaitkan diri dengan sub-sistem sosial non-hukum, tak terkecuali dengan kekuasaan. Hukum, dalam tatanan hukum responsif memandang dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan dunia sosial yang mengitarinya. Tidak hanya itu, agar benar-benar fungsional dan bermanfaat dalam melayani masyarakat, maka tatanan hukum responsif berkehendak merangkul semua kekuatan sosial yang dapat menopang vitalisasinya dalam merespons aspirasi dan kebutuhan sosial yang hendak dilayani.
Pendek kata, bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat lebih dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya . Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M.Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula . Menurut catatan Nonet-Selznick, masa dua puluh tahun terakhir, merupakan masa bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi¬institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaruan .
Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet-Selznick, merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentangpengalaman hukum menemukan kembali persambungannya dengan ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekadar bidang akademik yang dipahami oleh hanya segelintir orang . Jadi, teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika la secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan dan perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet-Selznick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial . Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu .


Hukum Progresif
Teori Satjipto Rahardjo
Teori hukum progresif, tidak lepas dari gagasan Profesor Satjipto Rahardjo yang galau dengan cara penyelenggaraan hukum di Indonesia. Meski setiap kali persoalan-persoalan hukum muncul dalam nuansa transisi, namun penyelenggaraan hukum terus saja dijalankan layaknya kondisi normal. Hampir tidak ada terobosan yang cerdas menghadapi kemelut transisi pasca orde baru. Yang lebih memprihatinkan, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka (business as usual), tetapi juga dipermainkan sebagai `barang dagangan' (business-like). Akibatnya, hukum terdorong ke jalur lambat dan mengalami kemacetan yang cukup serius. Dari sinilah Profesor Satjipto menyuarakan perlunya hukum progresif.
Menurut Rahardjo, pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu hukum untuk manusia . Dengan filosofi tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum, ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut `ideologi': hukum yang pro-keadilan dan hukum yang pro-rakyat . Dengan ideologi ini, dedikasi para pelaku hukum mendapat tempat yang utama untuk melakukan pemulihan. Para pelaku hukum dituntut mengedepankan kejujuran dan ketulusan dalam penegakan hukum. Mereka harus memiliki empati dan kepedulian pada penderitaan yang dialami rakyat dan bangsa ini. Kepentingan rakyat (kesejahteraan dan kebahagiaannya), harus menjadi titik orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum.
Dalam logika itulah revitalisasi hukum dilakukan setiap kali. Bagi hukum progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan, tapi pada kreativitas pelaku hukum mengaktualisasi hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Para pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk, tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan.
Ini menyebabkan hukum progresif lebih dekat ke interessenjurisprudenz. Searah dengan hukum progresif, aliran interessenjurisprudenz ini berangkat dari keraguan tentang kesempurnaan logika yuridis dalam merespons kebutuhan atau kepentingan sosial dalam masyarakat. Agar hukum dirasakan manfaatnya, maka dibutuhkan jasa pelaku hukum yang kreatif menerjemahkan hukum itu dalam fora kepentingan-kepentingan sosial yang memang harus dilayaninya.
Aliran yang muncul di Jerman sekitar dekade-dekade awal sAbad XX itu, memang mengandalkan pemeriksaan yang cermat dan serius atas kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan, dalam suatu kasus konkret berikut konteksnya yang relevan. Kemudian dengan menimbang bobot kepentingan yang dianggap lebih utama, diambillah keputusan yang berbobot . tegas-tegas menolak pertimbangan yuridis yang legalistik yang dilakukan secara pasang-jarak dan in abstracto. la tidak memulai pemeriksaan dari bangunan peraturan secara hitam-putih, melainkan dari konteks dan kasus khusus di luar narasi tekstual aturan itu sendiri. Sebab keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat intuisi. Karenanya, argumen-argumen logis-formal "dicari" sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis formal keputusan yang diyakini adil tersebut .
Hukum progresif, Seperti juga Interessenjurisprudenz, tidak sekali-kali menafikan peraturan yang ada sebagaimana dimungkinkan dalam aliran freirechtslehre. Meski begitu, ia tidak seperti legalisme yang mematok peraturan sebagai harga mati atau analytical jurispruudence yang hanya berkutat pada proses logis-formal. Hukum progresif merangkul, baik peraturan maupun kenyataan/kebutuhan sosial sebagai dua hal yang harus dipertimbangkan dalam tiap keputusan.
Seperti dikatakan Rahardjo, bagi konsep hukum yang progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya . Oleh karena itu, hukum progresif meninggalkan tradis analytical jurispruudence atau rechtsdogmatiek yang cenderung menepis dunia di luar dirinya, seperti manusia, masyarakat, kesejahteraannya . Meminjam istilah Nonet-Selznick, hukum progresif memiliki sifat responsif. Dalam tipe yang demikian itu, regulasi hukum akan selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan sosial yang melampaui narasi tekstual aturan.
Menurut Rahardjo, antara hukum progresif dengan legal realism juga memiliki kemiripan logika, yaitu dalam hal hukum tidak dilihat dari kacamata logika internal hukum itu sendiri. Baik hukum progresif maupun legal realism, melihat dan menilai hukum dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Perhatian hukum progresif dan legal realism pada tujuan dan akibat dari hukum, memperlihatkan suatu cara pandang etis yang dalam etika disebut etika teleologis. Cara berpikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum. Aturan penting, tapi itu bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan dan akibat. Sebab itu pertanyaan sentral dalam etika teleologis, ialah "apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik, dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik. Kiranya jelas, baik hukum progresif maupu Interessenjurisprudenz dan legal realism, memiliki semangat dan tujuan yang sama, yaitu semangat menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia sebagai tujuan utama dari hukum.
Karena hukum progresif menempatkan kepentingan dan kebutuhan manusia/rakyat sebagai titik orientasinya, maka ia harus memiliki kepekaan pada persoalan-persoalan yang timbul dalam hubungan-hubungan manusia. Salah satu persoalan krusial dalam hubungan-hubungan sosial adalah keterbelengguan manusia dalam struktur-struktur yang menindas, baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Dalam konteks keterbelengguan dimaksud, hukum progresif harus tampil sebagai institusi yang emansipatoris (membebaskan).
Karakter hukum progresif yang menghendaki kehadiran hukum dikaitkan dengan pemberdayaan sebagai tujuan sosialnya, menyebabkan hukum progresif juga dekat dengan social engineering dari Roscoe Pound. Oleh para penganutnya, usaha social engineering ini dianggap sebagai kewajiban untuk menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan atau mengarahkan masyarakat .
Secara historis, dimensi kewajiban (moral) itu, bersumber pada tonggak monumental putusan hukum yang dikeluarkan Mahkamah Agung Amerika tahun 1954, yang menjadi bukti paling awal tentang penggunaan hukum sebagai alat perubahan sosial. Keputusan Mahkamah Agung Amerika itu merupakan sebuah usaha untuk merubah perilaku orang kulit putih Amerika yang sebelumnya menaruh sikap prasangka pada orang-orang negro. Untuk menghilangkan sikap tersebut, Mahkamah Agung mendeklarasi lewat putusannya bahwa pemisahan ras di sekolah-sekolah negeri, bertentangan dengan konstitusi Amerika. Edwin M. Schur, melihat putusan tersebut sebagai upaya pengangkatan suatu moralitas ke dalam bentuk perundang-undangan Amerika .
Sebagaimana ditulis Rahardjo, keputusan Mahkamah Agung Amerika itu telah memperluas implementasi hak-hak perorangan di Amerika. Keputusan itu juga yang menjadi dasar bagi penerapan hak-hak untuk memilih, memperoleh pekerjaan, menikmati fasilitas-fasilitas umum, dan lain sebagainya. Dilihat dari peran yang demikian, maka social engineering dapat dilihat sebagai salah satu strategi pencapaian yang cukup efektif. Hukum, sesungguhnya memiliki potensi yang cukup besar untuk melakukan perubahan sosial secara terencana. Selain memiliki legalitas formal, hukum juga mempunyai kewenangan pemaksa yang dalam bekerjanya didukung aktivitas birokrasi.
Selain dekat dengan aliran-aliran tersebut di atas, hukum progresif juga memiliki kedekatan ide dengan Teori-Teori Hukum Alam, yaitu kepedulian pada apa yang oleh Hans Kelsen disebut meta-yuridical. Teori-teori Hukum Alam sejak Socrates hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan the search for justice .
Hal terakhir yang perlu disinggung, adalah kedudukan diskresi dalam hukum progresif. Karena hukum progresif, seperti sudah dikatakan, lebih mengutamakan tujuan dan konteks ketimbang teks-teks aturan semata, maka sudah tentu soal diskresi menjadi sangat urgen dalam penyelenggaraan hukum. Thomas Aaron merumuskan diskresi sebagai: ". . . power authority conferred by law to action on the basic of judgement or concience, and it use is more an idea of moral than law" .
Dalam konteks diskresi, para penyelenggara hukum dituntut untuk memilih dengan bijaksana bagaimana ia harus bertindak. Otoritas yang ada pada mereka berdasarkan aturan-aturan resmi, dipakai sebagai dasar untuk menempuh cara yang bijksana dalam menghampiri kenyataan tugasnya berdasarkan pendekatan moral daripada ketentuan-ketentuan formal. Weston mengatakan demikian, "decision making has been termed the selection of the best, the most practical or satisfactory course of action".
Kiranya jelas, diskresi bagi penyelenggara hukum merupakan faktor wewenang hukum yang dijalankan secara bertanggung jawab dengan mengutamakan pertimbangan moral daripada peraturan abstrak. Diskresi yang dilakukan seorang penyelenggara hukum, semata-mata atas dasar pertimbangan tentang kegunaan dan kefungsian tindakan itu dalam mencapai tujuan yang lebih besar demi menjaga kewibawaan hukum itu sendiri. Dalam kata-kata Louis A. Redelet ditegaskan, “Law is not an end in itself. Properly understood, it is a means to higher ends in human affair, much as good order, justice.....”
Pada dasarnya, diskresi ditempuh karena dirasakan sarana hukum kurang efektif dan terbatas sifatnya dalam mencapai tujuan hukum dan sosial . Menurut Doorn, tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam ketentuan hukum seringkali begitu kabur, sehingga memberi kesempatan kepada pelaksananya untuk menambahkan/menafsirkan sendiri dalam konteks situasi yang ia hadapi. Tujuan-tujuan seperti keadilan, kepastian, keserasian, misalnya itu terlalu umum sehingga para pelaksana berpeluang mengembangkan penafsiran mengenai sekalian tujuan itu. Persis di titik ini, diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.
Menghadapi kondisi transisional di mana persoalan saling berhimpitan, serba darurat, dan penuh komplikasi, maka aparat penegak hukum dituntut melakukan langkah-langkah terobosan dalam menjalankan hukum, tidak sekedar menerapkan peraturan secara hitam-putih. Ini penting dilakukan karena banyak peraturan yang sudah ketinggalan zaman, terhampar begitu banyak kenyataan dan persoalan kekinian yang secara redaksional sulit ditemukan dalam teks-teks aturan yang ada. Jika pun ada aturannya, banyak yang tidak mutu karena saling kontradiktif dan tumpang-tindih di sana-sini. Karena itu, kehadiran pelaku hukum yang arif, visioner, dan kreatif mutlak perlu untuk “memandu" pemaknaan yang kreatif terhadap aturan-aturan tersebut. Aparat penegakan hukum, entah polisi, jaksa, maupun hakim dituntut mencari dan menemukan keadilan-kebenaran dalam batas dan di tengah keterbatasan kaidah-kaidah hukum yang ada. Inilah inti terobosan dalam hukum progresif.






BAB 4
HUKUM ITU MULTI LOGIKA


4.1. Makna Hukum Tidak Tunggal
B
entangan teori dalam bab-3 memberitahukan satu hal bahwa sejak awal hingga kini ini, konsepsi tentang hukum memang tidak tunggal. Tiap ruang dan generasi memaknai hukum secara berbeda sesuai `sistem situasi' ruang dan generasi itu. Anaximander mengaitkan hukum dengan kekuatan. Kemudian Herakleitos (eksponen lain filsuf pra-Socrates) melihat hukum sebagai bagian dari logos, semacam roh ilahi yang memandu manusia pada hidup yang patut. Esensi hukum sebenarnya, soal kepatutan. Ya, kepatutan yang dapat diterima akal sehat orang waras. Protagoras (wakil kaum Sofis, sekitar tahun 500-an Seb. M), juga menyatakan yang sama. Meski terjatuh pada relativisme nilai, kaum Sofis masih tetap mengidealkan hukum itu sebagai `buah' logos (bukan produk nafsu).
Trio filsuf Athena (Socrates, Plato, dan Aristoteles), menekankan aspek keadilan. Hakikat hukum adalah keadilan. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita tentang hidup bersama, yakni keadilan. Isi kaidah hukum, harusnya adil. Tanpa keadilan, hukum hanya merupakan kekerasan yang diformalkan. Hukum dirasakan penting ketika kita dihadapkan pada ketidakadilan. Orang menuntut ke pengadilan, sebenarnya untuk meminta keadilan. Jadi pengadilan, sebenarnya untuk keadilan.
Maka lus, sebenarnya tidak sama dengan lege atau lex. Lege menunjuk pada aturan-aturan hukum yang faktual ditetapkan, tanpa mempersoalkan mutunya. Sedangkan Ius menunjuk pada cita hukum yang harus tercermin dalam hukum sebagai hukum, yakni keadilan. Karena itu, Ius tidak selalu bisa ditemukan dalam segala aturan hukum (lege/lex). "Das Volk des Rechts ist nicht das volk des Gesetzes" (Bangsa hukum, bukan bangsa UU), demikian salah satu adagium Romawi.
Bagi Socrates, keadilan merupakan inti hukum . Cara mengetahui keadilan adalah lewat theoria (pengetahuan intuitif), berupa logos yang sudah ada dalam diri manusia yang dianugerahkan oleh Alkhalik. Karena itu, supaya adil, orang perlu refleksi diri. Kata Socrates, Gnooti Seauton! Kenalilah dirimu. Dengan mengenal diri (sebagai pemilik logos) manusia dapat meraih kearifan untuk membedakan mana yang luhur dan mana yang fana. Plato juga begitu. Bagi Plato, hakikat asasi dari hukum adalah dikaiosune (keadilan: keutamaan rasa tentang yang `benar', `baik', dan `pantas’). Aristoteles menghubungkan keadilan (sebagai hakikat hukum) dengan kebahagiaan manusia (eudaimonia). Mutu hukum ditentukan oleh kapasitasnya menghadirkan kebahagiaan bagi manusia (materi dan jiwa).
Immanuel Kant di era Aufklarung mengaitkan hukum dengan imperatif kategoris. Untuk dapat digolongkan dalam imperatif kategoris, suatu aturan harus sedemikian baiknya, sehingga siapapun tidak merasa terusik, karena selain rasional, juga dirasa wajar atau patut oleh semua orang normal. Bahkan bukan masalah, seandainya aturan itu diterapkan pada diri kita sendiri.
Baru pada abad ke-19 (khususnya lewat positivisme yuridis), hukum ditangkap sebagai unit formal-legalistik. Austin dan Bierling tampil sebagai juru bicaranya. Inilah era positivisme yuridis yang bertopang pada doktrin: (i). Satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum, adalah tatahukum positif. (ii). Tatahukum itu nyata dan berlaku, bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (contra Comte dan Spencer), bukan pula karena hukum itu bersumber pada jiwa bangsa (contra von Savigny), bukan pula karena cermin keadilan dan logos (contra Socrates Cs), tetapi karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari institusi yang berwenang. (iii). Yang penting dalam mempelajari hukum adalah bentuk yuridisnya, bukan mutu isinya. (iv). Isi material hukum, merupakan bidang non-yuridis yang dipelajari oleh disiplin ilmu lain, dan hanya bermanfaat dalam law making process. (v). Justifikasi hukum ada di segi formal-legalistiknya, baik sebagai wujud perintah penguasa (versi Austin) maupun derivasi Grundnorm (versi Kelsen).
Selepas abad ke-19, hukum kembali dikaitkan lagi dengan mosaik sosial dan kemanusiaan. Melalui Radbruch, hukum kembali dikaitkan dengan keadilan. Melalui Marx, Holmes, Rawls dan yang lainnya, hukum dikaitkan dengan upaya mewujudkan keadilan sosial. Hukum merupakan bagian dari perjuangan mewujudkan keadilan sosial. Oleh karena itu, muncul kehendak meninggalkan tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek yang hanya melihat ke dalam hukum dan menyibukkan diri dengan membicarakan dan melakukan analisis ke dalam, khususnya hukum sebagai suatu bangunan peraturan yang dinilai sebagai sistematis dan logis. Dunia di luar, seperti manusia, masyarakat, dan kesejahteraan (yang ditepis oleh analytical jurisprudence atau rechtsdogmatiek), dirangkul kembali dalam pemikiran hukum. Di sinilah muncul gagasan Frei Kechtslehre, sociological jurisprudence, realistic jurisprudence, critical legal theory, hukum responsif, dan juga hukum progresif. Kiranya jelas, rechtsdogmatiek yang masih dianut kuat dalam dunia hukum di Indonesia, merupakan salah satu tipe saja dari sekian ragam pemikiran tentang hukum sepanjang peradaban manusia.

4.2. Hukum itu Multi Faset
Konsepsi tentang teori hukum sebatas rechtsdogmatiek , harus diakui telah mengerdilkan pemikiran hukum. Dan celakanya, ini menjadi anutan umum pendidikan hukum kita. Tidak! Aturan hukum dalam wujud UU atau wujud peraturan lainnya, hanyalah produk dari rangkaian proses yang lebih besar. Sejak dibuat hingga diterapkan dalam kasus riil, hukum itu berurusan dengan banyak aspek (numeris, spasial, fisis, biotik, psikik, dan sosial budaya).
Dengan sedikit menelusuri momen atau tahapan keberadaan hukum, mudah kita temukan betapa dunia hukum itu, dalam dirinya, memang berhakikat "multi-faset" dan "multi-logika". Keinginan akan sebuah aturan, selalu berangkat dari kebutuhan, pergumulan, ide, harapan, keinginan, dan kepentingan tertentu. Pada saat dibuat, terjadi pertarungan berbagai ide dan kepentingan yang langsung maupun tidak langsung diperjuangkan oleh para pembuatnya. Untuk menjadi peraturan yang terartikulasi, ia harus dirumuskan dalam warna bahasa tertentu.
Kompleksitas kian terasa, tatkala sebuah peraturan dijalankan. Pertama-tama, ia harus dibaca dan dimaknai oleh para penegak hukum dalam konteks situasi masing-masing. Aparat, dalam dirinya, selalu melekat segi personalitasnya, sosialitasnya, dan kepentingannya. Proses penerapan sebuah aturan membutuhkan sokongan dana, sarana/ prasarana, managemen, policy lembaga, dan tentu saja mutu personal aparatnya. Tidak hanya itu, respons sosial dari masyarakat dengan beragam cara pandang, harapan, kepentingan, dan tujuan-tujuannya sendiri, merupakan faktor lain yang begitu menentukan pelaksanaan hukum. Pendeknya, mengutip Rahardjo, dunia hukum merupakan dunia "kenyataan yang utuh". Suatu dunia dengan sekalian dimensinya, yang tidak sekedar teks, tetapi juga punya konteks, baik yang bersifat numerik maupun spasial, bio-fisis, dan sosial-budaya.

4.3. Butuh Legal Studies
Hukum yang berhakikat multi dimensi dan logika itu, tidak bisa dikaji oleh satu disiplin, tak terkecuali disiplin rechtsdogmatiek. Ia membutuhkan pengkajian interdisipliner. Karena itu, program kajian hukum lebih tepat berada di bawah payung legal studies, bukan legal science! Dua argumentasi pokok, dapat diajukan.
Pertama, sifat multivikasi dan interkoneksitas dengan bidang-bidang lain, merupakan hakikat asasi dari hukum. Dimensi numeris, spasial, fisis, biotik, psikik, dan sosial-budaya dalam hukum, bukanlah sekedar lampiran tambahan, sekedar untuk tujuan-tujuan tertentu. Semua itu merupakan sesuatu yang inheren pada hakikat hukum itu sendiri.
Hukum memiliki muatan numeris, karena dia berbicara soal kalkulasi angka-angka, misalnya soal lama hukuman dan jumlah ganti rugi dan lain sebagainya. Muatan spasial, tampak pada kebutuhan akan ruang, seperti lokasi penahanan, ukuran dan daya tampung tempat tahanan, kelayakan ruangan pemeriksaan, persidangan, dan ruang penahanan yang dianggap kondusif. Soal kesehatan (jasmani-rohani), usia, mental, komitmen, integritas, dan kesejahteraan dari manusia-manusia yang bersentuhan dengan hukum entah para pembuat hukum, pelaksana hukum, birokrat hukum, ataupun pencari keadilan-merupakan muatan fisis-biotik-psikis dalam hukum. Dimensi sosial-budaya, berupa sosialitas, managemen, policy, nilai-nilai, kebiasaan, tingkah-laku dan sebagainya adalah bagian yang tak terpisahkan dalam semua faset keberadaan hukum.
Sulit dibayangkan, jika semua dimensi itu dicakup sebagai lahan garapan satu disiplin tertentu (termasuk ilmu hukum). Bukan saja karena masing-masing dimensi sudah menjadi obyek kajian berbagai ilmu, tetapi juga tidak tersedia metodologi yang sedemikian komprehensif dalam sebuah ilmu untuk menggarap bidang yang begitu bervariasi. Satu-satunya kemungkinan adalah studi interdisipliner.
Hemat penulis, kita sependapat, ilmu hukum-sebagaimana dikenal saat ini-sebagai ilmu praktis yang berpusat pada logika aturan (rules), sangat jauh dari memadai untuk mengkaji hukum yang berhakikat kompleks itu. Bahkan dapat dikatakan, merupakan sebuah bentuk reduksi yang sangat fatal. Sengaja konstatasi ini tegaskan, semata-mata ingin "mengusik" kalangan penstudi hukum dari keasyikan utak-atik logika internal dan formalitas aturan dalam aktivitas akademiknya.
Hanya terpaku pada cara penggarapan seperti itu, disadari ataupun tidak, komunitas penstudi hukum telah menempatkan kajian hukum tidak lebih hanya sebagai aktivitas keterampilan perundang-undangan, dan bukan sebagai sebuah ilmu yang mendeskripsi dan menjelaskan fenomena hukum sebagai realitas yang utuh. Orang tidak akan mampu menjelaskan secara ilmiah esensi dan eksistensi suatu aturan UU tanpa mengetahui proses besar yang terjadi di belakang, di tengah, dan di depan aturan tersebut.
Ketidakmampuan menjelaskan legal profile sebuah aturan, sama halnya dengan seorang tukang yang hanya menuruti saja desain seorang arsitek, tanpa mengerti nilai, aspek budaya, sosial, iklim, karakter tanah, kosmologi dan lain sebagainya yang menjadi basis ideal dan basis material dari desain tersebut. Pengetahuan tentang semua itu bagi seorang arsitek, bukanlah sekedar lampiran tambahan, tetapi merupakan bagian integral dari ilmu arsitek itu sendiri.
Seharusnya, logika yang sama berlaku pula bagi komunitas penstudi hukum. Seorang ilmuwan hukum sejati, tidak cukup hanya mengerti rumusan aturan per se. la juga-dan ini sangat menentukan harus mengetahui berbagai aspek yang menjadi `konteks situasi' dari peraturan itu, baik yang bersifat numerik maupun spasial, bio-fisis, dan sosial budaya.












BAB 5
MENGGUGAT SEBUAH TRADISI


H
arus diakui, komunitas penstudi hukum sudah lama terbelenggu pola pikir legalis sempit: "Hukum, tidak lebih dan tidak kurang, hanya aturan formal". Studi hukum pun seolah identik dengan studi legal-formal. Maka tidak heran, muncul konstruk pikir yang agak aneh menyangkut konsep ilmu hukum. Ilmu hukum, sekedar dipahami sebagai ilmu peraturan, lengkap dengan metodenya: "Metode Penelitian Aturan".
Tidak terlalu jelas dasar episteme dari konsep itu, dan mengapa orang begitu terpikat padanya sampai-sampai metode tersebut dianggap harga mati bagi studi hukum. Ada sejumlah persoalan krusial yang segera tampil menggugat tatkala studi hukum/ilmu hukum dipahami dalam konsepsi dangkal ini.

5.1. Mengenai Kajian Aturan (sentris)
Kritik mengenai soal ini sudah dilakukan pada halaman-halaman sebelumnya. Di sini hanya ingin menegaskan kembali, bahwa kajian yang aturan (-sentris), langsung maupun tidak langsung, ternyata berimplikasi pada pengingkaran terhadap sub-sistem lain dari hukum itu sendiri, yakni struktur hukum dan budaya hukum. Ini fenomena yang terbilang umum dalam pendidikan hukum di negeri ini.
Sebenarnya tidak perlu kecerdasan khusus menangkap keanehan ini. Akal sehat sederhana sekali pun dapat menggugat, mengapa dua hal itu (yang memiliki atribut hukum) justru tidak menjadi materi kajian ilmu hukum. Dan kubu konservatif, sering diajukan apologia ala Sofis bahwa struktur dan budaya hukum merupakan ciptaan Lawrence Friedman yang bukan ahli hukum. Itu benar! Tapi siapa yang bisa membantah bahwa para hakim, polisi, jaksa adalah aparat-aparat hukum? Siapakah yang bisa menyangkal bahwa pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian merupakan lembaga penegak hukum? Lalu nalar siapakah yang bisa menerima bahwa aparat dan lembaga itu (berikut perilakunya) mesti dipisahkan dari lingkup kajian hukum? Apakah memang ada perbedaan kualitas antara term hukum yang melekat pada unit "aturan hukum" (legal substance) dengan yang melekat pada unit "struktur hukum" (legal structure) dan unit "budaya hukum" (legal culture)? Kalau ya, di mana letak perbedaannya? Lalu apa gunanya kata hukum yang melekat pada dua sub-sistem itu? Ataukah pengabaian itu hanya lantaran karena dua sub-sistem yang disebut terakhir terbilang obyek yang tidak berwujud aturan-yang coute que coute-tidak mendapat tempat dalam teori dan metode rechtsdogmatiek?
Betapa mengenaskan jika itu jadi alasan. Terjadi kekeliruan logika yang sangat fatal! Perlu diingat, bukan fakta untuk teori. Bukan pula fakta untuk metode. Sebaliknya, dalam logika ilmiah, yang benar adalah: baik teori maupun metode-keduanya-untuk fakta. Teori, bertolak dan tunduk pada fakta. Demikian juga metode, ditentukan oleh masalah. Bukan sebaliknya. Persis di titik ini, secara ilmiah, tidak ada cara lain bagi ilmuwan hukum untuk mengakomodasi dua sub-sistem itu sebagai bagian dari obyek kajian ilmu hukum, kecuali melepas fanatisme terhadap metode idamannya: metode rechtsdogmatiek tersebut.
Ngotot pada kredo: "metode rechtsdogmatiek sebagai metode khas ilmu hukum", yang menyebabkan teringkarinya dimensi struktur dan budaya hukum sebagai wilayah garapan ilmu hukum, tidak saja melestarikan salah kaprah yang memilukan. Ia juga mempertontonkan komedi yang tidak lucu. Ibarat orang yang hanya sibuk mengelus-eluskan bagian tubuh tertentu, dan menyepelekan bahkan mengingkari bagian tubuh yang lain. Bagian tubuh yang lain dilempar begitu saja, ditelantarkan, seolah bukan miliknya lantaran tidak sama dengan bagian yang dielus-eluskan. Tentu saja yang terjadi adalah sebuah tragedi. Sebuah "tragedi mutilasi diri" yang sangat memilukan!

5.2. Mengenai Terminologi Normatif
Dalam tradisi dominan pendidikan hukum di Indonesia, sudah teramat lazim orang menggunakan terminologi yuridis-normatif sebagai metode khas studi hukum. Tak perduli apa yang dikaji, setiap studi terhadap aturan hukum (meskipun yang dimaksud hanyalah segi legalistik per se), wajib menggunakan metode `yuridis-normatif'. Cara gebya-uyah seperti ini, sungguh menyesatkan! Metode `yuridis¬normatif' boleh dipakai, jika yang hendak dikaji adalah segi yuridis dan serentak muatan nilai dari sebuah aturan hukum. Studi aturan yang hanya menyelidiki segi yuridis atau segi legalistiknya saja, lebih tepat menggunakan terminologi legal-formal ketimbang yuridis-normatif.
Normatif adalah sebuah konsep filsafat tentang nilai. la menunjuk pada `keutamaan nilai' (summum bonum) tertentu, misalnya dua prinsip dalam imperatif kategoris-nya Kant yang wajib dihormati karena keluhuran nilai yang dikandungnya. Karenanya, jika harus digunakan sebagai terminologi hukum, maka kata normatif harus menunjuk pada hakikat hukum sebagai kaidah (nilai-nilai), bukan sekedar aturan formal. Dengan kata lain, normatif tidaknya suatu aturan, bukan terutama ditentukan oleh sah tidaknya aturan tersebut. Suatu aturan dikatakan bersifat normatif, jika dalam dirinya terdapat summum bonum yang secara akal sehat diterima sebagai sesuatu yang mulia-baik-benar-patut, dan oleh karena itu, setiap manusia yang waras merasa memiliki kewajiban untuk menghormatinya.
Aturan dari seorang tiran Hider yang mengijinkan pembasmian ras Yahudi, misalnya tidak memiliki nilai normatif apapun, meski ia sah dan legal secara yuridis. Meski perintah Hitler merupakan kewenangan tertinggi bagi Nazi Jerman, dan cita-cita Hitler itu menyerupai Grundnorm ala Kelsen, namun ia tidak memiliki nilai normatif. Penolakan ini bukan lantaran karena Hitler seorang yang kejam dan membenci orang Yahudi, tetapi semata-mata karena aturan yang demikian tidak memiliki summum bonum yang dapat diterima akal sehat orang waras. la tidak memiliki muatan normatif, karena menciderai the sanctity of human life-yang justru harus menjadi kaidah pokok dalam hukum. “The traitor to humanity is the traitor most accursed. Man is more than Constitutions,” demikian JR Lowell dalam salah satu sajaknya. Hukum harus mengabdi pada kemanusiaan dan kemaslahatan manusia, bukan sebaliknya!
Jelaslah, `mutu' atau `nilai', yang menentukan sifat normatif suatu aturan, bukan bentuknya. Juga bukan karena ia berasal dari perintah pihak yang berwenang dan berkuasa seperti dipahami Protagoras dan Austin. Bukan pula ditentukan oleh sah tidaknya aturan itu seperti dipahami kaum legalis. la normatif, semata-mata karena keutamaan nilai yang dikandungnya. Ini sudah dikatakan oleh Herakleitos (yang filsuf zaman antik) hingga Putusan MA Amerika tahun 1954 (yang yuridis zaman modern).
Seperti telah dikatakan sebelumnya, Herakleitos menghubungkan sifat normatif suatu aturan dengan keharusan alam dan logos (akal ilahi), Socrates dengan kebajikan, Plato dengan dikaiosune (keadilan: keutamaan rasa tentang yang baik dan yang jahat), Aristoteles dengan kebahagiaan manusia (eudaimonia), Immanuel Kant dengan imperatif kategoris, sedangkan Putusan MA Amerika tahun 1954 mengaitkan hukum dengan moral kesetaraan. Menurut Edwin M. Schur, putusan tersebut merupakan upaya mengangkat suatu moralitas ke dalam wilayah hukum Amerika dengan menempatkan warga negro dan kulit putih sederajat.
Oleh karena itu, kajian hukum secara normatif mestinya diarahkan pada dimensi-dimensi normatif dalam aturan tersebut, bukan melulu pada segi sah tidaknya aturan itu. Dengan mengarahkan pada segi normatif di atas, kita bisa mengkaji suatu aturan dengan melihat aspek normatif yang terkait dengan nomos (keharusan alam), kebajikan, prinsip-prinsip keadilan (berikut varian-variannya), dengan agama/ religi, dengan moral, dengan etika, dengan demokrasi, pengembangan pribadi individu, kepentingan umum (rasionalisme Wolff, realisme Amerika: Cardozo dan Pound), dengan hak-hak dasar manusia (tradisi Inggris), dengan penciptaan tatanan masyarakat yang baik sehingga hak-hak dasar manusia terjamin (Marx), usaha menjamin keadilan (Kant, Stammler, Radbruch), menjaga keamanan (Hobbes), tingkat evolusi kehidupan sosial (Comte dan Spencer), jiwa bangsa (von Savigny), hukum alam (Pufendorf), dan lain sebagainya.

5.3. Mengenai `Ilmu Aturan' dalam Pohon Ilmu
Soal rujukan "ilmu aturan" itu dalam ranah percabangan pohon ilmu, merupakan soal lain lagi. Sebagaimana diketahui, dari sisi substansi, keluarga ilmu berpangkal pada dua cabang utama, yakni (i). Ilmu Formal, dan (ii). Ilmu Empirik. Ilmu Formal memunculkan dua cabang: matematika dan logika. Sedangkan Ilmu Empirik terbagi dalam: ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu manusia (geisteswissenachaften). Hukum sendiri terhisap dalam wilayah domain keluarga ilmu yang disebut terakhir.
Sebagai bagian ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), studi hukum, sudah tentu, harus tunduk pada "sistem pemikiran" ilmu humaniora: berporos pada manusia sebagai subyek budaya-pencipta sekaligus pasien kebudayaan ciptaannya. Itu berarti, hukum, selain harus dilihat sebagai wujud maksud-maksud manusiawi-yang hanya bisa dipahami dalam kerangka motif, ideal, dan keprihatinan pencipta dan penggunanya. la juga-kalau bukan yang terutama-harus dilihat dalam keutuhan konteks yang holistik kebudayaan manusia , bukan unit tersendiri yang terisolisasi dari konteksnya. Singkatnya, sebagai bagian dari ilmu humaniora, maka kajian hukum harus berangkat dari ihwal pergulatan manusia tentang hukum, bukan peraturan hukum itu sendiri.
Karena porosnya adalah manusia, maka studi hukum seharusnya merupakan studi tentang "pergulatan" manusia sebagai mahluk pencari ketertiban, keamanan, dan keadilan. Dalam proses pencarian itu, dimensi-dimensi numeris, spasial, fisis, biotik, psikik, dan sosial-budaya kait-mengait sebagai sistem situasi yang tidak bisa dielakkan. Inilah yang semestinya menjadi titik berangkat kajian hukum. Dalam mencapai ketertiban, keamanan, dan keadilan itu, berbagai jalur bisa ditempuh. Dan jawaban manusia terhadap masalah ketertiban, keamanan, dan keadilan dimaksud sangat ditentukan oleh sistem situasi dan realitas yang mengelilinginya. Jawaban manusia yang masih berada


dalam `dunia tradisional' akan sangat berbeda dengan mereka yang sudah berada dalam `dunia prismatik' dan `dunia modern'. Oleh karena itu, mengkaji hukum hanya dengan modal keterampilan pemahaman teks UU, menjadi tidak berarti sama sekali untuk mendeskripsi dan menjelaskan fenomena hukum dalam masyarakat tradisional yang lebih bermuatan religi, mitis, dan keharusan alam.
Dengan mengatakan demikian, tidak berarti studi hukum harus lepas dari studi terhadap aturan. Yang ingin dikatakan, dalam studi hukum, aturan (hanya) diposisikan sebagai obyek kajian, bukan sebagai perspektif. Perspektifnya, tetaplah manusia yang bergulat dengan pencarian ketertiban, keamanan, dan keadilan. Teori hukum, dengan demikian, harus merupakan teori tentang pergulatan manusia merancang-bangun hukum dalam pencarian ketertiban, keamanan, dan keadilan itu. Sama serperti sosiologi yang mengkaji pergulatan manusia dalam membangun hidup bermasyarakat, atau ilmu politik yang mengkaji hal ihwal usaha manusia sebagai pencari kekuasaan, maka ilmu hukum pun mestinya bertolak dari manusia, bukannya melompat ke peraturan sebagai unit esoteris yang lepas dari penciptanya, atau lepas dari unit-unit sosio-kultural lainnya.
Kalau memang komunitas hukum hendak mempertahankan ilmu hukum sebagai ilmu, maka yang pertama-tama harus dikedepankan adalah kualifikasinya sebagai bagian dari ilmu empiris, khususnya ilmu humaniora. la tidak harus unik. Ia bukan semacam binatang langka yang aneh dan ajaib. la mestinya sama seperti ilmu-ilmu lain dalam rumpunnya. Harus ada persamaan-persamaan hakiki antara apa yang disebut ilmu hukum itu dengan ilmu-ilmu serumpun, humaniora!. Sama seperti soto. Ada soto bandung, soto madura, soto makassar. Satu dengan yang lain, ada bedanya, tentu. Tapi jauh lebih banyak persamaannya. Sebab, bila terlalu berbeda, la tidak dapat disebut soto. Itulah sebabnya, sebagai rumpun ilmu humaniora, studi hukum tetap berada dalam sistem pemikiran humaniora, yakni bertolak dari manusia.
Dengan posisi yang demikian, maka dalam melihat sebuah aturan hukum, misalnya perhatian kita bukan pertama-tama pada segi formal dari aturan itu, melainkan pada "logika" mengapa la mesti diberi status hukum yang dilegalkan. Yang ditekankan di sini, bukan pada produk/hasil akhir sebagai aturan hukum, melainkan rasionalitas mengapa ia harus menjadi suatu aturan hukum. Tentu saja rasionalitas dimaksud, tetap menurut "logika" manusia dalam mencari keadilan, ketertiban, dan keamanan. Dengan begitu, persoalannya bukan pada aspek legalitas karena statusnya sebagai aturan formal, melainkan pada imperatif sosio-kultural yang dikandungnya sehingga ia mesti memperoleh status sebagai aturan hukum.
Oleh karena itu, suatu aturan hukum tidak hanya menjadi masalah tentang apa yang ditentukan secara formal. la juga-kalau bukan yang terutama-merupakan masalah tentang mengapa ia mesti diformalkan. Artinya, suatu aturan yang hendak dikaji tidak mesti diperlakukan sebagai entitas formal yang esoterik dengan sekalian perintah-perintah yuridisnya, melainkan juga dapat dikaji sebagai suatu sub-unit yang terintegrasi dengan nilai-nilai, makna-makna, dan tingkah-laku manusia yang terkonstruksi dalam ranah struktur sosial dan jawaban terhadap tantangan lingkungan sosio-bio-fisis manusia itu sendiri. Jadi, penjelasan ilmiah dalam teori hukum, mestinya harus berangkat dari sudut manusia-nya, bukan dari sudut peraturan seperti dipahami selama ini. Meski aturan terdiri dari rumusan-rumusan norma, namun tidak berhenti di situ. la masih harus dilihat sebagai hasil ekspresi manusia dalam pergulatan mencari keadilan, ketertiban, dan keamanan.
Dalam alur pikir seperti inilah, menurut penulis, aturan hukum sebagai salah satu obyek telaah ilmu hukum, tidak lebih dan tidak kurang, harus dipandang sebagai "dokumen antropologi". Dokumen antropologi? Ya, oleh karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia (antroposentris). la berembrio dari kehendak, motif, ideal, dan keprihatinan manusia. Ia dibuat oleh manusia, dan dirumuskan dalam bahasa manusia-yang hanya bisa dipahami oleh manusia. la dijalankan oleh manusia dan untuk melayani kepentingan manusia. Tidak lebih dan tidak kurang, itulah hukum. Hukum adalah sistem kenyataan "pergulatan manusia" sebagai pembutuh keadilan, ketertiban, dan keamanan. Bisa dimengerti, gelar Strata-2 dalam pendidikan hukum menggunakan titel Magister Humaniora (M.Hum)-yang memang menunjuk pada ihwal pergulatan manusiawi itu.
Dengan memahami hakikat ontologi hukum sebagai pergulatan manusia yang multi faset-dimensi-logika ini, maka mestinya perbantahan yang tidak produktif di kalangan penstudi hukum, bisa diakhiri. Seperti diketahui, komunitas hukum telah lama terdikotomi dalam model penelitian normatif vs empirik . Dalam kepustakaan Indonesia, polarisasi demikian dapat ditemukan dalam karya Soerjono Soekanto (SS) dan Soetandyo Wignjosoebroto (SW). Menurut SS, penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka, tergolong penelitian hukum normatif. Sedangkan penelitian hukum empiris, terfokus pada data primer. Ruang lingkup penelitian hukum normatif versi SS adalah: penelitian terhadap asas-asas hukum, sistemik hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
Berbeda dengan SS, SW mengelompokkan jenis penelitian hukum menjadi penelitian hukum doktrinal dan non-doktrinal. Doktrinal, adalah penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai tata aturan yuridis. Ancangan pendekatan yang digunakan adalah metode doktrinal yang normatif-normologik dengan silogisme deduktif. Ruang lingkupnya: penelitian terhadap asas-asas hukum untuk menemukan ius constituendum, penelitian terhadap tata hukum positif untuk memahami ius constitutum, dan penelitian terhadap putusan-putusan hukum untuk menemukan implementasi hukum. Sedangkan non-doktrinal ialah, penelitian yang mengkonsepsikan hukum sebagai perilaku dan aksi, sehingga tergolong penelitian empirik. Pendekatan untuk jenis penelitian ini adalah metode non-doktrinal yang empirik-nomologik dengan silogisme induktif. Ruang lingkup penelitian hukum empiris meliputi: kajian untuk menemukan hukum dalam perilaku masyarakat, dan kajian untuk menemukan hukum sebagai fenomena simbolik dalam aksi dan interaksi masyarakat.
Meski kategorisasi seperti itu ada benarnya, namun tidak seluruhnya memuaskan. Sebagai kategori umum tentang wilayah kajian, maka dua model itu bisa diterima. Hukum memang bisa dikaji dalam wilayah doktrinal dan wilayah empirik. Meski demikian, tidak berarti materi kajian, perspektif, dan metode yang akan digunakan hanya terbatas pada soal-soal yang dikemukakan dua ahli tersebut. Apa yang menjadi materi cakupan dalam dua metode versi Soekanto maupun Wignjosoebroto tersebut, belumlah mencakup multivikasi ontologis dari hukum itu sendiri.
Hukum, sekali lagi, tidak sekedar gugusan aturan/doktin. Tidak sekedar nomos dalam tingkah laku. Juga tidak sekedar fenomena makna dalam interaksi. Hukum, tidak sekedar ketiga-tiganya. Lebih dari itu, hukum mencakup juga "kenyataan keras" lainnya seperti lembaga hukum-yang di dalamnya terlibat berbagai faktor dan logika (numeris, spasial, bio-fisis, psikis, sosial-budaya). Perspektif dan metode untuk melihat hukum pun tidak sebatas apa yang dikemukakan dua ahli itu-yang cenderung membuat pengkotakan secara eksklusif. Berikut beberapa catatan keberatan atas dua pendapat tersebut.
Pertama, dengan mengatakan bahwa penelitian normatif merupakan penelitian terhadap asas-asas hukum, sistemik hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum melalui jenis riset kepustakaan yang mengandalkan data sekunder (versi SS), seolah-olah hendak mengatakan bahwa (1). Sekalian masalah itu hanya bisa didekati secara normatif, (2). Pemahaman terhadap semua itu sudah cukup memadai dengan mengandalkan data kepustakaan. Hemat penulis, logika seperti ini kurang tepat. Kita dapat mengkaji sekalian itu dari sisi yang berbeda, misalnya basis sosialnya, imperatif filosofisnya, kepentingan yang melatarinya, ataupun implikasinya (baik dalam ranah numeris, spasial, bio-fisis, psikis, maupun sosial-budaya).Dan masih ada kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa dipakai untuk mendekati semua itu, yang tentu tidak sekedar normatif.
Kedua, dengan mengatakan bahwa penelitian hukum doktrinal sebatas mengkaji hukum sebagai norma bersaranakan silogisme deduktif (versi SW), seolah-olah tertutup kemungkinan mengkaji aturan-aturan hukum berkaitan dengan tujuan, maksud, dan kepentingan yang melatarinya-yang justru lebih bersifat kontekstual, bukan sekedar tekstual. Suatu aturan hukum tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. la membutuhkan penjelasan konteks, yang sudah tentu tidak melulu deduktif.
Ketiga, dengan mematok penelitian kepustakaan sebagai metode untuk mengkaji sejarah hukum (versi SS), memberi kesan menafikan manfaat metode sejarah yang justru lebih menekankan sumber data primer. Keempat, dengan mematok metode doktrinal yang normatif¬normologik bersaranakan silogisme deduktif sebagai metode untuk mengkaji iu.r con.rtituendum (versi SV/), justru memberi kesan melakukan pengingkaran terhadap hakikat iu.r con.rtituendum sebagai hukum idaman yang mesti digali dan ditemukan dari perikehidupan masyarakat. lur constituendum, bukanlah derivasi sebuah doktrin yuridis, tetapi lebih sebagai kristalisasi aspirasi sosial.
Dipahami dalam konteks ontologi hukum yang multi-faset, perbedaan pendekatan dan metode merupakan hal yang normal. Tidak perlu dipertentangkan, apalagi harus terlibat dalam pertengkaran permanen. Studi hukum adalah studi interdisipliner-yang tidak bisa dikemas begitu saja dalam satu atau dua metode khusus. Akan lebih produktif, jika para penstudi hukum membuka diri terhadap berbagai metode yang compatible dengan masalah yang diteliti. Sebab seperti telah dikatakan, bukan metode yang menentukan masalah, tapi sebaliknya, masalah-lah yang menentukan metode!
Ini sering dilupakan orang. Acapkali orang serta-merta mematok satu metode, tanpa memperhatikan dan memahami hakikat masalah yang hendak dikaji. Kesan kami, komunitas hukum sering terjebak dalam kesalahan ini. Metode normatif, diyakini tipikal bagi studi hukum. Maka, tatkala berbicara tentang penelitian hukum (PH), orang serta-merta dipaksa menggunakan metode itu. Metode adalah strategi, cara, prosedur untuk mengungkapkan keadaan suatu masalah. Jadi, masalah menentukan metode.
Mengkaji suatu norma hukum, misalnya tidak otomatis menggu¬nakan metode normatif. Seperti telah dikatakan berkali-kali, norma hukum merupakan norma yang berkenaan dengan realitas manusia yang berhakikat sosial. Ia tidak satu dimensi, tapi multi dimensi. Hakikat keberadaan (ontologi) aturan/norma tersebut, bisa diteropong dari berbagai aspek. la bisa dilihat sebagai gugus ketentuan-asas-ajaran-doktrin dalam hukum positi£ Suatu aturan/norma, juga bisa dilihat sebagai konsep-konsep filsafat tentang manusia dan tertib sosial. Bisa juga dilihat sebagai bagian dari religi atau budaya. Bisa pula dikaji bagaimana kedudukannya dalam sistem relasi manusia, daya ikatnya, efektivitasnya, dampaknya, serta respons sosial terhadapnya, dan lain sebagainya.
Semua itu, masing-masing membutuhkan metode yang berbeda. Tidak satu metode! Mengkaji susunan logis antara asas, doktrin, dan aturan, atau pun hubungan logis antar-peraturan (vertikal-horizontal), misalnya harus menggunakan metode yang berbeda dengan riset yang mengkaji ide, makna, asal-usul, tujuan, kepentingan, fungsi, efektivitas, respons sosial, dan dampak dari asas-doktrin-aturan tersebut. Suatu penelitian (termasuk penelitian hukum), yang hakikatnya mencari kebenaran, tidak bisa berhenti pada persoalan "apa", apalagi "bagaimana seharusnya". la juga, mau tidak mau, harus menyentuh persoalan "mengapa", "siapa", "kapan", "di mana" dan lain sebagainya.
Singkatnya, penelitian terhadap hukum dapat dilakukan dengan beragam pendekatan dan metode, tidak melulu normatif. Pendekatan dan metode yang interdisipliner, bukanlah pilihan melainkan kebutuhan dalam penelitian hukum. Katakanlah dalam mengkaji hukum sebagai sistem-seperti diajukan Friedman, maka jangkauannya meliputi legal substance, legal structure, dan legal culture. Tiga hal itu, mencakup beragam dimensi, tidak normatif belaka dan juga tidak empirik belaka.

5.4. Mengenai Metode `Penghakiman'
Kubu konservatif (penstudi aturan-sentris), memiliki keyakinan yang nyaris mutlak bahwa ilmu hukum berposisi unik, sui generi.r Keunikan tersebut mencakup pula cara menanggapi realitas, yakni `menghakimi' realitas oleh aturan formal. Ketentuan-ketentuan hukum dipakai sebagai ukuran benar-salahnya realitas. Kebenaran bukan terletak pada kenyataan, tapi pada aturan hukum yang berlaku.
Sudah tentu `metode penghakiman' seperti ini, sulit ditemukan pijakannya dalam aliran-aliran utama epistemologi yang dikenal, seperti positivisme Comte, logico positivisme Wiener Kreis, rasionalisme kritis Popper, atau pun aliran hermeneutik yang lebih dekat dengan ilmu humaniora. Kecuali hermeneutik, semua aliran itu mensyaratkan satu hal, bahwa: "pengetahuan ilmiah (ilmu), harus berbasis fakta empiris". Ukuran kebenaran ilmu, harus bertolak dari kebenaran korespondensial: "asumsi logikal harus diuji kebenarannya pada dunia empiris". Tidak cukup hanya a priori, tetapi harus merupakan pengetahuan a posteriori.
Kehadiran positivisme, yang berembrio dari pemikiran H. Saint¬Simon (1760-1825), yang kemudian dikembangkan oleh Auguste Comte (1789-1857), misalnya telah "mengistrahatkan" filsafat dari kerja spekulatifnya. la "membunuh" metafisika yang dianggap bersibuk ria di kursi goyangnya untuk mereka-reka substansi sesuatu. Comte dengan positivismenya, meyakini bahwa yang layak dijadikan obyek ilmu adalah apa yang empiris-yang tertangkap oleh panca indera. Positivisme berkosentrasi pada observasi dunia, baik sosial maupun fisik. Ilmu harus merupakan pengetahuan obyektif, menggunakan metode verifikasi-empirik, analitik, bisa diperiksa secara empirik, dan bersifat eksplanasi terhadap fakta.
Untuk diketahui, mendahului tahap positivis yang menjadi puncak otonomi Emu, terdapat dua tahap lain, yakni tahap teologis dan tahap metafisika. Dalam meraih otonominya, pada tahap pertama, ilmu ingin lepas dari kungkungan agama/teologis. DI sini, ilmu tidak saja membedakan din' dari agama, tetapi juga menutup din terhadap segala yang bersifat mitis. Pada tahap berikutnya, ilmu semakin mencari otonominya dengan melepaskan diri dari kungkungan metafisika yang bersifat abstrak.
Hingga pada tahap positivis, ilmu menemukan otonominya, sehingga metode ilmiah kemudian membatasi din' hanya pada obyek¬obyek yang dapat terobservasi secara empiris. Dengan demikan, pengertian teori dalam tahap terakhir ini (positivis) selalu merupakan korespondensi antara asumsi dan fakta, tidak spekulatif seperti dalam teologis dan metafiska . Dilihat dalam konteks ini, kepedulian ilmuwan hukum yang sibuk merancang-bangun teorisasi berbasis ajaran, doktrin, asas, dan aturan secara spekulatif, merupakan sebuah kemunduran.
Belum lagi kalau kita menengok Logico Positivisme Wiener Kreis. Aliran yang digagas kelompok intelektual dari berbagai disiplin ini, juga tidak kalah ketat dalam menekankan aspek empiris dalam ilmu, yang harus menjadi batu uji suatu proposisi/hipotesa. Suatu proposisi, selain harus koheren (konsistensi internal), juga harus dapat dijustifikasi secara empirik. Tidak diijinkan pernyataan yang tautologis, juga yang normatif. Logico Positivisme berkeyakinan bahwa pengetahuan kita tentang dunia, hanya mungkin lewat pengalaman dan impresi inderawi kita. Ilmu harus berangkat dari observasi, bukan dari pengandaian a priori.
Aliran rasionalisme kritis dari Karl Popper, juga menekankan pentingannya pembuktian empiris dalam ilmu. Aliran ini mensyaratkan bahwa pengetahuan ilmiah harus obyektif dan teoretikal, dan pada analisis terakhir merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Dengan demikian, aliran ini juga tidak mengakui spekulasia priori, tetapi menganut asas korespondensi tentang kebenaran. Sedikit berbeda dengan logico positivisme yang bertitik tolak dari observasi kenyataan dalam putusan ilmiahnya, maka rasionalisme kritis justru bertitik tolak dari proposisi ilmiah untuk kemudian dibuktikan kesalahannya dalam tataran empiris. Inilah makna falsifikasi ala Karl Popper. Aliran ini pun tetap mengakui kenyataan sebagai data-data yang teramati, namun menolak metode induksi (yang khas logico positivisme), dan mengakui metode deduksi. Metodologi yang dianut adalah Hipotetiko-Dedukto¬Validatif.
Meski hermeneutik berbeda dengan tiga aliran terdahulu, khususnya dalam memandang realitas, namun hermeneutik tetap bertolak dari realitas. Hanya saja ia tidak berhenti pada realitas yang teramati, tetapi melangkah lebih jauh pada "logika" di balik fakta yang teramati itu. Asumsinya adalah antara fakta yang terlihat dengan makna yang terkandung di dalamnya mungkin sekali berbeda.
Sebagai aliran yang relatif khas bagi ilmu-ilmu humaniora, maka hermeneutik bertolak dari manusia sebagai mahluk budaya. Mahluk yang memiliki idealisme, keinginan, dan kebutuhan. Mahluk yang senantiasa memberi jawaban pada diri dan lingkungannya lewat tindakannya, baik yang eksplisit maupun implisit. Singkatnya, aliran ini menempatkan manusia sebagai subjek untuk dijadikan perspektifnya. Oleh karena itu, sekalipun hermeneutik pada awalnya merupakan "disiplin" memahami teks, namun tetap dalam kerangka pemahaman tentang tindakan manusia. Teks yang dikaji, selalu dipahami dalam konteks "sistem situasi" manusia, seperti: latar belakang kemunculan teks itu, "identitas si pembuat teks", aksara dan bahasa yang digunakan, bahan yang digunakan untuk media teks tersebut, maksud/tujuan teks itu, dan lain sebagainya. Jadi, perhatian utama bukan pada teks itu sendiri sebagai teks, tetapi pada mosaik maknawi manusia di balik teks itu.
Andai saja para ilmuwan hukum mengikuti metode seperti ini, maka studi hukum menjadi lebih kaya karena melibatkan berbagai disiplin ilmu. Tidak lagi sekedar mengkaji sebuah aturan hanya dari sisi aturan itu sendiri, tapi bisa diteropong dari berbagai perspektif. Dengan begitu, penjelasan ilmiah/teori tentang hukum, terbuka luas. Tidak hanya terpaku pada ajaran, doktrin, asas yang serba tertutup yang cenderung mengadili realitas/fakta. Secara demikian, hendak dikatakan bahwa studi terhadap hukum tidak bisa hanya ditangani oleh satu ilmu (ilmu hukum) saja. Sekali lagi, la harus digarap secara interdisipliner di bawah payung legal studies. Studi hukum merupakan milik semua!

5.5 Mengenai Ilmu Hukum sebagai Ilmu Normologis
Penempatam ilmu hukum sebagai ilmu yang normologis, acapkali dijadikan justifikasi bahwa ilmu hukum hanya berurusan dengan norma-norma, dan karena itu kehilangan sifat/kandungan empirisnya sehingga memiliki metode yang eksklusif, yakni `metode normatif'. Taruhlah itu benar, sebagai disiplin normologis, ilmu hukum berbicara soal norma. Tapi tidak berarti ia harus menjadi ilmu yang non-empiris, dan hanya bisa mengandalkan `metode normatif'. Sejak Max Weber, dan kemudian Talcott Parsons lewat The Structure of Social Action-nya, penelitian terhadap nilai-nilai/norma telah mendapat tempat penting dalam ilmu-ilmu sosial yang berwatak empiris. Soal kajian terhadap nilai/ norma, Weber seperti dikutip Kleden , menegaskan dengan tegasnya demikian: "bila sesuatu yang berlaku secara normatif dijadikan obyek suatu penelitian empiris, maka sebagai obyek, la kehilangan sifatnya sebagai norma. la akan diperlakukan sebagai kenyataan, dan bukan sebagai nilai".
Implikasi pernyataan Weber itu jelas. Dalam melihat suatu norma atau nilai, seorang peneliti tidak harus bertindak sebagai penganut nilai dan norma itu. la tidak harus menjadi "pasien" dari nilai dan norma tersebut. Kita dapat menggambarkan secara ilmiah keharusan atau imperatif sebuah nilai atau norma, baik dari sudut penggagasnya, tujuannya, keberlakuannya, manfaatnya dan lain sebagainya-tanpa harus menjadi pelopor dan agen yang harus mati-matian memperjuangkan nilai/norma itu menjadi kredo yang mesti diamini oleh semua orang. Seorang peneliti profesional hanya berusaha menghasilkan pengetahuan teoretis yang niscaya dapat dimanfaatkan atau diterapkan. Pemanfaatan pengetahuan teoretis itu dalam suatu aplikasi teknis, merupakan suatu tahap lain yang berbeda sama sekali dengan tahap pertama. Itu pekerjaan para birokrat hukum, atau urusan para konsultan yang dipakai jasanya oleh birokrat hukum.
Seorang ilmuwan dalam menghasilkan dan menyusun suatu pengetahuan ilmiah, dituntut untuk sejauh mungkin bersikap teoretis, dan tidak terpengaruh oleh teknis aplikasi dari pengetahuan itu. Terlalu kental sikap praktis dalam kerja teoretis, tidak saja akan mendistorsi mutu teori yang dihasilkan dengan muatan kepentingan dan keinginan tertentu, tetapi juga membuat peneliti berubah peran menjadi partisipan.
Bahaya yang menghantui kegiatan observasi dari seorang yang menempatkan diri sebagai "pasien" suatu nilai/norma, adalah sang peneliti terlibat secara emosional pada obyek yang ditelitinya. Sudah tentu keadaan ini menyebabkan sang peneliti akan "hilang" dalam arus nilai dan norma yang ia teliti, dan oleh karena itu, tak bermakna pula secara keilmuan. Walaupun secara metodis peneliti dituntut menjadi bagian dari objek, namun secara substansial ia tetap merupakan "orang asing" yang sedang memahami obyek yang dia pelajari. Identifikasi yang terlalu jauh sebagai bagian dari obyek, tidak jarang membawa seorang peneliti terseret sikap empati-simpati-advokasi yang merupakan wilayah orang lain. Situasi ini tentu membuat peneliti terjerat emosi, sehingga ia tidak bisa mengobjektifkan posisinya, dan pada instansi terakhir, ia terjebak pada pertentangan di antara bersikap netral di satu pihak, dan keberpihakan di sisi lain.

5.6 Mengenai Keutarnaan Pendekatan Legalistik
Sekalipun ilmu hukum dianggap sebagai ilmu praktis normologis yang obyek telaahnya berkenaan dengan norma yang menjadi tuntunan perilaku, namun tidak berarti bahwa ia melulu bersifat normatif-legalistik. Kita dapat bandingkan dengan "Etika" yang sama-sama merupakan ilmu praktis yang normologis. Cara pandang sempit yang normatif-legalistik seperti umum dianut ilmuwan hukum, hanya merupakan salah satu perspektif dalam etika, yaitu perspektif deontologis. Di luar itu, terdapat perspektif lain yang diakui sama-sama sah oleh penstudi etika, yakni perspektif teleologis dan kontekstual. Tiga pendekatan itu tidak pernah saling mengingkari, justru saling melengkapi secara produktif.
Deontologis adalah cara berpikir etis yang mendasarkan diri pada hukum, prinsip, atau norma obyektif yang dianggap harus berlaku dalam situasi dan kondisi apapun. Karena titik tolaknya adalah hukum atau konvensi, maka kategorinya adalah "benar-salah" menurut teks aturan.
Teleologis. Cara berpikir teleologis ini bukan tidak mengacuhkan hukum. la tetap mengakui hukum-hukum. Tapi, itu bukan ukuran terakhir. Yang lebih penting ialah tujuan, berikut akibatnya. Sebab itu, pertanyaan sentral dalam etika teleologis, ialah: "apakah suatu tindakan itu bertolak dari tujuan yang baik~ Dan apakah tindakan yang tujuannya baik itu, juga berakibat baik? Cara berpikir teleologis, oleh karenanya tidak berpikir menurut kategori "benar" dan "salah", tapi menurut kategori "baik" dan "jahat" .
Betapapun "benar"-nya, kalau dilakukan dengan tujuan "jahat", apalagi berakibat "buruk", maka la jahat. Apa ukuran yang "baik" itu? John Stuart Mill, filsuf Inggris beraliran utilitarianisme, mengusulkan sebuah dalil: Thegreatestgood for thegreatest number. Menurut Mill, sebuah tindakan dapat dikatakan "baik", apabila la bertujuan dan berakibat "membawa kebaikan yang paling besar bagi sebanyak mungkin orang". Filsuf Yunani klasik, Aristoteles, mengusulkan ukuran yang lain. Dalam buku Nicomachean Ethics, la menulis antara lain: "Kebahagiaan adalah sesuatu yang final, serba cukup pada dirinya, dan tujuan dari segala tindakan...". Jadi, semua tindakan yang bertujuan dan berakibat pada kebahagiaan manusia, adalah "baik".
Kontekstual. Richard H. Niebuhr, dalam bukunya The Responsible Self , memberi nama lain untuk etika ini, yaitu "Etika Tanggung-jawab. Sedangkan Joseph Fletcher , mengajukan nama: Etika Situasi. Di sini yang paling penting untuk ditanyakan sebelum melakukan sesuatu, bukanlah apa yang secara universal "benar", bukan pula apa yang secara umum "baik", tetapi apa yang secara kontekstual paling pantas dan pa¬ling dapat dipertanggung-jawabkan.
Oleh karena itu, bukan yang "benar" atau "baik", tetapi apa yang paling "tepat" untuk la lakukan saat itu. Etika ini, meletakkan situasi dan kondisi sebagai pertimbangan pokok dalam melakukan keputusan etis. Anggapan dasar dari Etika Situasi, adalah: bahwa kualitas etis sebuah tindakan, tergantung dari situasi. Apakah suatu tindakan wajib dilakukan atau tidak, tidak dapat dipastikan kecuali dengan memperhatikan situasi konkret. Tidak ada tindakan ataupun keadaan yang dalam dirinya baik atau jahat. Baik atau jahat tergantung pada konteks situasi. Misalnya, larangan berbohong. Bagaimana bila bohong adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang tak bersalah dari amukan sekelompok orang yang salah duga? Mengajak sobat akrab bersantai di pinggir jalan sambil minum kopi, bisa merupakan suatu kesalahan besar, karena pada malam itu la sedang belajar untuk ujian besok pagi.
Setiap situasi itu, unik dan individual! Demikian Fletcher. Oleh karena itu, tidak ada hukum atau pedoman yang sudah slap pakai. Kita harus kreatif dan bijaksana menentukan langkah yang paling tepat untuk tiap situasi dan peristiwa. Struktur tindakan yang secara etis dapat dipertanggung-jawabkan, menurut Fletcher, harus meliputi tiga hal. Pertama, harus betitik-tolak dari agape-cinta kasih kepada manusia yang penuh tepo .raliro dan tanpa pamrih. Kedua, dilakukan dengan bijaksana/.rophia-menurut prinsip-prinsip kebaikan yang dapat diandalkan. Ketiga, membaca waktu/kairo.r-secara cerdik dan tulus menentukan timing yang tepat untuk memutuskan dalam situasi konkret apakah ,rophia tadi mengabdi pada agape/cinta kasih atau tidak. Jadi, pusat etika adalah: "cinta kasih pada sesama".
Tiga jenis etika itu, bukanlah untuk dipilih. Tapi untuk dimanfaatkan ketiga-tiganya. Tindakan yang terbaik adalah tindakan yang sekaligus "benar", "baik", dan "tepat". Ilmuwan hukum, perlu banyak bercermin pada studi etika yang senantiasa membuka diri pada kehadiran berbagai pendekatan tanpa saling menghujat dan bermusuhan.

BAB G
TEORI HUKUM:
Dokumen Manusia Historis (Sebuah Catatan Penutup)


D
eskripsi `peta teori' pada bab 3 menginformasikan satu hal bahwa teori hukum merupakan `kisah tertib manusia' dalam sejarahnya. Teori hukum, tidak kurang dari sebuah `dokumen manusia' yang mencerminkan jejak pergulatan `manusia historis' menata dirinya dalam tiap episode zaman (dengan tantangan khasnya masing-masing). Perbedaan roh zaman, melahirkan dialog antara generasi teori.
Karena itu, teori hukum sejak awal, tidak tumbuh dalam ruang kosong. Ia pun tidak lahir acak. Selain mencerminkan kosmologi zamannya, tiap teori hukum lahir dalam proses dialektika. Teori yang satu memicu teori yang lain yang terkonfigurasi dalam bentangan tesis-antitesis. Seolah, semuanya terurai dalam satu rangkaian gerak dari teologis-metafisika-positivis model Comte. Pergeseran tahap satu ke yang lain, bukan terutama mencerminkan kualitas teori. Tiap teori memperlihatkan strategi budaya dari manusia penghuni zamannya. Ya, sebuah jawaban manusia (wi) atas diri dan lingkungannya, kini dan di sini. Sebuah jawaban khas manusia kebudayaan. Teori hukum, dengan demikian, adalah teori tentang manusia. Lebih jelas, teori tentang `manajemen hidup manusia' sebagai pembutuh tertib hidup.
Pandangan dunia yang teologis (dewa-dewi religi kuno), tercatat menjiwai pemikiran awal tentang hukum. Kemunculan hukum yang berawal di Babilonia (2000 tahun seb. Masehi) dan di Yunani (600 seb.Masehi), memperlihatkan realitas itu. Dalam cakrawala religius zaman dulu, hukum yang dibentuk oleh seorang raja dianggap langsung berasal dari `yang ilahi'. Dalam kosmologi Yunani kuno, `yang ilahi' itu ada dalam alam. Logika alam adalah logika ilahi. Dewa-dewilah yang menjadi causa remota dari apa yang terjadi dalam alam, baik tatanannya maupun kehidupan penghuninya, termasuk manusia. Di sinilah muncul gagasan tentang hukum alam yang kemudian mendapat makna yang berbeda-beda dari zaman ke zaman.
Dengan kian menipisnya cakrawala mitis-religius itu, kosmologi alam berganti dengan akal. Ini melahirkan era metafisika. Hukum pun menjadi obyek kajian metafisika. Meski begitu, nuansa teologis tidak sirna sama sekali. Hanya tidak dominan saja. Para filsuf klasik Athena, misalnya masih percaya bahwa akal manusia tidak lepas dari logos ilahi. Hukum pun harus mencerminkan logos itu dalam wujud keadilan. Inilah satunya-satunya prinsip hukum. Dengan demikian, campur tangan ilahi itu bisa tampil, entah melalui logika alam, melalui ajaran religi, atau melalui aturan-aturan yang adil yang ditentukan oleh yang berkuasa, dan lain sebagainya.
Memasuki abad pertengahan, hukum mendapat warna baru bernuansa agama-agama samawi dengan tetap melekat cara pandang metafisika. Pengaruh helenisme, tidak lalu hilang. Sampai derajat tertentu, justru mewarnai teologi agama samawi, terutama filsafat Plato, Aristoteles, dan Stoicisme. Pengaruh itu juga berdampak pada teori hukum di era ini. Teori dari pemikir paling teras abad pertengahan, Agustinus dan Thomas Aquinas tentang hukum, memperlihatkan warna kosmologi zamannya. Hukum dihubungkan dengan tatanan Allah.
Pada zaman modern yang diawali Renaissance, sentrum teori hukum beringsut (bergeser) dari alam dan agama, kepada otonomi manusia. Manusia duniawi, menjadi pokok perhatian dalam pemikiran hukum. Ini dipelopori tokoh-tokoh utama humanisme seperti Petrarca, Desiderius Erasmus, dan Thomas More. Melalui ilmu-ilmu empiris (utamanya fisika), dunia ditemukan kembali dengan cara khas. Dampak ilmu-ilmu terhadap pandangan dunia manusia kian terasa pada abad ke-15, yang kemudian kian kokoh pada abad-abad berikutnya. Pada zaman modern, orang makin mencari kebenaran dalam fakta-fakta yang nyata di dunia pengalaman. Dunia ditemukan juga dalam suatu tata politik baru akibat timbulnya negara-negara bangsa di bawah pemerintahan raja-raja yang kuat. Rasa nasionalisme pun mewarnai pembentukan negara-bangsa tersebut. Pada kurun waktu itu, kesadaran politik berubah juga karena diperluasnya daerah kekuasaan raja-raja (Eropa) lewat kolonialisme .
Bagi para pemikir tentang hukum, perubahan-perubahan tersebut besar artinya. Sesuai mentalitas baru, pembentukan hukum dianggap sebagai bagian kebijakan manusia di dunia. Organisasi negara nasional disertai pemikiran tentang peraturan hukum, baik untuk dalam negeri, maupun untuk hubungan dengan luar negeri (hukum internasional). Oleh sebab peraturan yang berlaku bagi negara dibuat atas perintah-perintah raja-raja, maka raja dipandang sebagai pencipta hukum. Dapat disimpulkan, sejak zaman baru, tekanan tidak terletak lagi atas hukum alam yang berada di luar kebijakan manusia, melainkan atas hukum positif. Namun pada umumnya filsuf-filsuf zaman itu masih juga menerima adanya suatu hukum alam, yang nampak dalam akal manusia, umpamanya saja tentang perlunya hukuman apabila ditemukan adanya pelanggaran .
Pada abad ke-17 dan ke-18 kepercayaan kepada kekuatan akal makin bertambah. Sebab itu disebut zaman rasionalisme atau Aufklarung (zaman pencerahan). Rene Descartes tampil sebagai perintis filsafat rasionalisme itu. Menurut Descartes, terdapat ide-ide yang terang pada manusia yang mutlak dapat dipercaya. Ide-ide itu berakar dalam kesadaran tiap-tiap manusia tentang dirinya sebagai pribadi yang berakal dan bebas. Dengan demikian, manusia sebagai subyek dijadikan titik tolak seluruh pandangan hidup, dan juga teori hukum. Sesudah Descartes, filsafat zaman ini menjurus ke dua arah. Arah yang satu adalah rasionalisme, yang mengunggulkan ide-ide akal murni, seperti Montesqieu, Voltaire, Rousseau, dan Immanuel Kant. Sedang arah yang kedua ialah empirisme, yang menekankan perlunya basis empiris bagi semua pengertian Qohn Locke dan David Hume). Sebenarnya empirisme itu, yang berkembang di lnggris sejak abad ke¬17, merupakan suatu berpikir secara rasionalisme juga. Akan tetapi di sini metode empiris diutamakan, yakni apa yang tidak dapat dialami, tidak dapat diakui kebenarannya.
Teori hukum zaman itu adalah suatu usaha untuk mengerti hukum sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap yang bersifat rasional belaka. Dalam usaha tersebut, para filsuf bertolak dari arti hukum sebagai yang berlaku dalam negara, lalu menyelidiki manakah prinsip¬prinsip umum hukum yang berlaku di mana-mana karena berazaskan pada akal tiap-tiap manusia. Di sini hukum positif merupakan objek pemikiran yang utama. Namun pada umumnya diakui juga adanya suatu hukum kodrat yang berasal dari rasio manusia juga, dan berfungsi sebagai dasar hukum positif.
Menurut Huijbers, ide-ide baru tentang hukum yang muncul pada zaman ini berkaitan dengan perubahan pandangan atas pemerintahan masyarakat dalam negara, yakni idealisme negara hukum . Locke membela hak-hak warga negara terhadap pemerintah yang berkuasa. Montesqieu terkenal karena perumusannya tentang Tria.r Politica. Sedangkan Rousseau mewartakan keunggulan manusia sebagai subjek hukum. Bila hukum menjadi bagian suatu kehidupan bersama yang demokratis, maka raja sehagai pencipta hukum perlu diganti dengan rakyat. Rakyat menjadi pencipta serentak subyek hukum. Seperti dikatakan Immanuel Kant, pembentukan tatahukum merupakan inisiatif manusia guna mengembangkan suatu kehidupan bersama yang bermoral.
Pada akhir abad ke-18, suatu era baru dalam kehidupan politik mulai diwujudkan di Amerika (1776) dan di Prancis (1789). Revolusi Prancis itu berdasarkan semboyan: liberte, egalite, fraternite. Dituntut suatu tata hukum baru atas dasar kedaulatan rakyat. Tata hukum itu dibentuk oleh para sarjana Prancis, atas perintah Kaisar Napoleon. Code czvil atau Code Napoleon itu (1804) menjadi sumber kodeks banyak negara modern, antara lain Belanda dan akhirnya jua Indonesia.
Pada abad ke-19, ide-ide itu makin berkembang, dan semua gejala hidup dikelola secara rasional-ilmilah. Pada abad ini, empirisme mendapat bentuk baru dalam positivisme. Nuansa metafisika yang melekat pada empirisme lama, diganti menjadi pengolahan ilmiah dalam positivisme. Dasar bagi positivisme ini diletakkan oleh August Comte. Kosmologi positivisme berpengaruh atas hukum dalam dua bentuk .
Pertama, memunculkan positivisme yuridis. Di sini, hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara tertentu pula. Tujuan positivisme yuridis adalah pembentukan struktur-struktur rasional, berupa sistem-sistem yuridis (aturan dan doktrin) yang hendak diterapkan sebagai hukum positif. Dengan begitu, hukum menjadi ciptaan para ahli di bidang hukum. Dalam positivisme yuridis, terdapat konsepsi kuat bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang. Implikasinya, peraturan yang berlaku dalam lembaga yang non-negara, perlu pengakuan negara supaya berlaku sungguh-sungguh secara yuridis. Juga hukum adat hanya dipandang sebagai hukum yang berlaku secara efektif, bila disahkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan.
Memang realitas berbagai aturan di luar lembaga negara, tetap diakui. Ini tampak dari penggolongan Austin tentang hukum. Ada hukum Tuhan dan ada hukum manusia. Hukum Tuhan menurut Austin, lebih sebagai moral hidup bagi manusia daripada hukum dalam arti yang sejati. Sedangkan hukum manusia (yang merupakan peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri), masih dapat dibedakan dalam dua bentuk, yakni (i). Hukum yang sungguh-sungguh (properly so callec), yaitu peraturan perundangan yang berasal dari negara. (ii). Hukum yang bukan hukum sejati (improperly so callec), yaitu peraturan-peraturan yang berasal dari lembaga-lembaga non-negara yang diijinkan oleh pemerintah. Peraturan-peraturan ini tidak tergolong hukum dalam arti sejati, sebab tidak berkaitan dengan pemerintah sebagai pembentuk hukum.
Dapat disimpulkan, bidang yuridis di mata positivisme yuridis mendapat suatu tempat yang terbatas, yakni menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain tetap dapat disebut hukum, tetapi tidak mempunyai arti yuridis yang sesungguhnya. Itulah sebabnya, positivisme yuridis bertopang pada beberapa prinsip berikut ini: (i). Hukum sama dengan undang-undang. Dasarnya ialah hukum muncul sebagai berkaitan dengan negara: hukum yang benar adalah hukum yang berlaku dalam suatu negara. (ii). Tidak terdapat suatu hubungan mutlak antara bidang yuridis dan moral. (iii). Hukum itu tidak lain daripada hasil karya para ahli di bidang hukum. (iv). Hukum merupakan suatu close logical ystem. Peraturan-peraturan dapat dideduksikan (disimpulkan secara logis) dalam undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimbingan dari norma-norma sosial, politik, dan moral.
Kedua, memunculkan positivisme sosiologis. Di sini, hukum dipandang sebagai bagian dari kehidupan masyarakat. Hukum bersifat terbuka bagi kehidupan sosial di luarnya. Dalam positivisme sosiologis, hukum ditanggapi secara lebih konkret sebagai bagian dari realitas sosial. Dan' sini pula muncul kajian-kajian yang memberi tekanan pada aspek manusia dan masyarakat. Melalui Comte dan Spencer, penglihatan terhadap hukum ditempatkan dalam kerangka evolusi sosial dan budaya manusia. Sayangnya, di kalangan penstudi hukum lebih ditonjolkan positivisme yuridis ketimbang positivisme sosiologis. Padahal, meski terdapat kekurangan di sana-sini, pendekatan-pendekatan evolusionisme lebih mampu mengangkat dimensi pergulatan manusia dalam teori hukum ketimbang pendekatan legal-yuridis.
Memasuki abad 20, muncul kosmologi baru yang memberi penekanan pada humanisasi hidup manusia. Berbagai pendekatan pun tampil berdesakan, mulai dari pendekatan yang neo-kantianisme, neo¬hegelian, neo-marxisme, sampai pada pendekatan sosio-antropologis. Bahkan di penghujung abad 20, muncul kembali teori hukum alam. Tidak hanya itu, di era ini tampil juga pendekatan realisme (baik versi Amerika maupun versi Skandinavia) dan pendekatan kritis di bidang hukum. Jika neo-kantianisme, neo-hegelian, dan neo-marxismebergerak di aras filsafat, maka pendekatan sosio-antropologi bergerak di areal yang lebih empiris. Hukum dilihat bagian integral dari sistem sosial budaya yang lebih besar. Dengan pemahaman ini, tertib hidup manusia dikelola dalam sistem yang utuh yang tidak melulu diserahkan pada aturan hukum positif. Aturan hukum positif (yang hanya merupakan salah satu satu dari tatanan hidup manusia), tidak dijadikan sebagai fenomena sui generis (unik dan tersendiri). la merupakan unit yang kait mengait dengan sub-sub sistem lain dari tatanan tertib manusia yang lebih besar, seperti religi, adat, politik, ekonomi, dan institusi-institusi sosial lainnya. Tertib hidup manusia dikelola secara bersama-sama dan sinergis oleh semua tatanan tersebut.
Pendekatan realisme pun, pada dasarnya, menolak kredo suigeneris dari hukum. Realisme hukum Amerika, selain mengakui eksistensi tatanan-tatanan lain di luar hukum yang turut menentukan tertib hidup seorang manusia, juga menyodorkan kepeloporan para hakim (yang arif dalam menghadirkan keadilan. Teks-teks aturan tidak bisa diandalkan sebagai alat satu-satunya menghadirkan keadilan. Kebijaksanaan para hakim, justru jauh lebih realistis untuk menciptakan keadilan. Sementara realisme hukum Skandinavia memberi penekanan yang berbeda. Aliran ini menempatkan keberlakuan hukum dalam konteks psikis manusia. Keberlakuan hukum hanya dapat dipahami dalam konteks dan dalarn kaitan dengan `perasaan wajib' dari individu.
Bagaimana dengan pendekatan kritis? Pendekatan ini bersifat emansipatoris (pembebasan). Manusia perlu dibebaskan dari segala ikatan-ikatan struktural yang membelenggu hidupnya sebagai individu yang otonom dan bebas. Jadi di sini, isunya adalah isu pembebasan. Karena hukum positif (sampai derajat tertentu) merupakan bagian struktur yang membelengu individu itu, maka la menjadi salah satu sub-struktur yang perlu dibongkar kepalsuannya. Ideologi-ideologi palsu yang terbungkus dalam tatahukum (entah ideologi bias jender, bias kepentingan, bias rasisme, dan bias-bias lainnya), harus dibongkar untuk membangun tatanan baru yang equal dan adil.


DAFTAR PUSTAKA


Abel, Richard L., (ed.)., The Lam and Society, New York: New York University Press, 1995.
Adorno, T. W (ed.), The Positivist Dispute in Germany Sociology, New York: Herper & Row Publisher, 1976.
Altman, Andrew, Critical Legal Studies, A Liberal Critique, New Jersey: Princeton University Press, 1990.
Adian, Donny Gahral., Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hal. 35-37.
Arendt, Hannah., Between Past and Future, N.Y: Penguin Books. 1978.
Aubert, Vilhelm, Sociology Of Law, Selected Readings, England: Penguin Books Ltd, 1969.
______,The Rule of Law and the Promotional Fungsional of Law in the Welfare State",dalam Teubner C, d. Dilemmas of Law in the Wlelfare State, New York, Berlin: Walter de Gruyter, 1986.
Barlett Katharine dan R. Kennedy, Feminist Legal Theory: Readings in Law and Gender, USA: Westview Press, Inc, 1991
Benda-Beckmann, F Von, I-Ylhy law does not behave critical and constructive reflection on the social scientificperception of the social significance of law, XI th International Congress of Antrophological Sciences, Canada, for Symposium 1, August, 20, 1993.
Berger, Peter & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, Peregrin Books, 1981.
______, Langit Suci: Agama Sebagai Aealitas Sosial, LP3ES, Jakarta, 1991.
______, The Invitation to Sociology, Garden City N. Y: Doubleday Anchor, 1963
Berman, Harold J., The Origins of lYlestern Legal Science, Harvard Law review, Vol. 90. No. 5, 1977
Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Yoyakarta: Kanisius, 1999.
______, Etika, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Bierstedt, R, An Anlysis of Social Power, dalam Marivne E. Olsen, Power in Societies, New York: The Macmillan Company, 1970.
Black, Donald, Sociological Justice, Oxford: Oxford University Press, 1989.
Borgatta, E.F, & Marie L. Borgatta, Encyclopedia of Sociology, vol. III, Macmillan Publisihing Company, 1992.
Bredemeier, H.C. & Biklen, S. K., Law as An Integrative Mechanism dalam Albert, V, Ed. Sociology of Law, Baltimore, Maryland: Pinguin Books, 1976.
Bruggink, J J.H., Refleksi Tentang Hukum Pen gertian-Pengertian DasarDalam Teori Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
Budiman, Arief., Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, 1996.
Burn, Peter J, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
Campbell, T, Justice, New York: Humanities Press International, Inc. Atlantic Highlands, 1988.
Carpalletti, Manro, Acces To Justice And The Wlelfare State, Italy: Badia Fiesolana, Firenze, 1981.
Chambliss, WJ dan Robert B. Seidman, Law, Order And Power, Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company, 1971.
Coleman, J.S. Social Capital in the Creation of Human Capital, American Journal of Sociology, vol. 94, 1998.
Crombie, I. M., An Examinaton of Plato s Doctrines, Vol. 2, London, 1963.
Deane, Herbert A., The Political and Social Ideas of St. Augustine, 1963.
Dahrendorf, Ralf, Class and Class Conflict in Industrial Society, Stanford University Press, 1954.
_______, Lam and Order, London: Stevens, 1985.
Darmaputera, Eka, Pancasila : Ideretitas dan Modernitas : Tinjauan Etis dan Bardaya, Gunung Mulia, Jakarta, 1987.
_______, Etika Sederhana Untuk Semua, BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
Douglas, Mary, Natural Symbols: E.%plorations in Cismology, 1970
Durkheim, E, The Division of Labour in Society, New York: The Free Press, 1964.
Dworkin, Ronald, Law'.r Empire, London: Fontana Press, 1986.
Falk-Moore, S., "Politics, Procedures And Norms In Changing Changga Law", Africa, 40 (4): 321-344, 1970.
Feyerabend, Paul, Science in Free Society, Norfolk: Lowe and Brydone Ltd., 1978.
Firth, Raymond, Malay Fisherman : Their Peassant Economy, Routledge & Kegan Paul Ltd, London, 1996.
Fletcher, J, Situation Ethics: The New Morality, Philadelphia: The Westminster Press, 1966.
Friedman, Lawrence M, The Legal System : A Social Science Perrpektzf, Russel Sage Foundation, New York, 1975.
Friedrick, Carl J., The philosophy of Law in Historical Perpective, The University of Chicago Press, 1969
______, Filsafat Hukum Persbeletzf Historis, Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2004.
Friedmann, W Legal Theory, London: Stevens & Son Limited, 1953.
______, Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, (I'erj.), PTRaja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
Freidman, L, American Law an Introduction, Second Edition, (ter).) Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Cetakan Pertama, PT. Tata Nusa, Jakarta,2001.
Fukuyama, Francis, Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, Harmondsworth: Penguin Books, 1996.
Fukuyama, Francis, The Great Disruption, HakekatManusia dan Kekonstitusi Tatanan Sosial, Qalam, Yogyakarta, 2002.
Fukuyama, Francis, The End Of History and The Last Man : Kemenangan Kapitalisme Dan Demokrasi Is'beral, Qalam, Yogyakarta, 2003.
Gahral, Donny., Martin Heidegger, Jakarta : Teraju, 2003.
Galanter, Marc, "The Modernization Of Law", Dalam ModerniZatioan: The Dynamics Of Growth, Voice Of America Forum Lectures, Myron Weiner (Ed), 1966
Geertz, Clifford, Involusi Pertanian, Bharatara Karya Aksara, Jakarata,1933.
_______, Clifford Geertz, The Interpretation of Culture, 1973.
Giddens, Anthony., New Rules of Sociological Method: A Positive Critique of Interpretative Soczologies, New York: Basic Books, Inc Publisher, 1971.
_______, The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, Los Angeles: University of California Press, 1984.
_______, Runaway I-Ylorld Dunia Yang Lepas Kendali, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, Beacon Press: Boston, 1971.
_______, Legitimation Crisis, London: Deacon Press, 1973.
Hamilton, VLee & Joseph Sanders, Everyday Justice: Responsibility and the Individual in fapan and the United States, New Haven and London: Yale University Press, 1992.
Hardiman, F Budi., Menuju Mayarakat Komunikatif, Jogjakarta: Kanisius, 1993
_______, Mengatasi Paradoks Modernisasi, dalam Diskursus Kema yarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: Gramedia, 1993.
Hart, H.L.A., The Concept Of Law, Oxford University Press, London, 1972.
Hartono, Sunaryati, Apakah The Rule of law Itu ?, Alumni, Bandung, 1976.
Hegel, GWF, "Philosophical Manuscripts", dalam Commins & Linscott (eds), Man and the State, 1966
Henderson, Dan Fenno , Conciliation and Japanese Law-Tokugarva and Modern, Seattle: University of Washington Press, 1965.
Held, David., Political Theory and The Modern State, 1984
Hooker, Legal Pluralism And The Ethnography Of Law, Dalam Legal Pluralism: An Introduction To Colonial And Neo-Colonial Laws, Oxford: Clarendon Press, 1975.
Horton, Paul B, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1991.
Huijbers, Theo, FilsafatHukum Dalana Lintasan S jarah, Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1984.
Hunt, Alan, dalam Adam Podgorecky dan Christoper J.Welan, Pendekatan Siosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta , 1987.
Hunt, Alan & Gary Wicham, Foucault and Law, London: Pluto Press, 1994.
Ihromi, TO, Antrophologi Hukum : Sebuah Bun ga Ramp ai, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993.
_______, Kajian Terhadap Hukum Dengan Pendekatan Antropologi: Catatan-Catatan Untuk Peningkatan Pemahaman Beke janya Hukum Dalam Masyarakat, Orasi Motion Diri, Pada FH-UI, 2000.
_______, (ed), Antropologi dan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000.
Irianto, Sulistyowati, S jarah dan Perkembangan Pluralisme Hukum dan Konsekuensi Metodologisnya, Makalah, Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, 2002.
Jeffries, V, & H. Edward Randsford, Social Stratification : A Multiple Herarchy Approach, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1980.
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern gilid III), PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.
Kairys, David, The Politics of Law, a Progressive Critique, New York: Pantheon Books, 1982.
Kana, Nico L., "Tantangan Gereja Di Bidang Kebudayaan Nasional", dalam Akademi Leimena No. 4 Tahun I, Januari 1989Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni, Rimdi Press, Jakarta, 1995.
Keraf, A.Sony & Dua, Mikhael, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofs, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Keraf, Gorys, Komposisi, Nusa Indah, Ende Flores, 1989.
Kieffer, C.H, `The Emergence of Empotverment: The Development of Paticipatory Competnece Among Individuals in Citi.Zen Organi~Zation'; unpublished PhD dissertation, University of Michigan, Ann Arbor, 1981.
Kleden, Ignas, Sikap Ilmiah Dan Kritik Kebudayaan, LP3ES, Jakarta, 1987.
Kluckhon FR, & EL. Strodtbeck, Variations in Velue Orientation, Evanston: Row Peterson and Company, 1961. Koentjaraningrat, S jarah Teori Antropologi II, UI Press, Jakarta, 1990.
________,Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002.
Kohlberg, L., Moral, Education: Interdisciplinary Approaches, 1971. Kusumaatmadja, Mohchtar, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.
Lauer, Robert H., Perrpektif Tentang Perubahan Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Lawang, Robert P .Z. Stratifikasi Sosial Di Cancar-Manggarai Flores Barat, Disertasi Pada FISIP UI, 1989.
Lavine, TS., From Socrates to Sartre: The Philosophic ~uest, New York: Bantam Books, Inc, 1984
________,Plato: Kebajikan adalah Pengetahuan, (ter)) Andi Iswanto & D.A. Utomo, Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2003.
Lenski, G.E, Poaver and Privileged : A Theory of Social Stratifzcatzon, New York: McGraw-Hill, 1966.
Lauer, Robert H., Per.rpective on Social Change, yang telah terjemahkan menjadi 1'errpektif tentang I'erubahan Sosial, Jakarta: Bina Aksara, 1989
Lev, Daniel S., Hukum Dan 1'olitik DI Indonesia: Kesinambungan Dan Perubahan, LP3S, Yogyakarta, 1990.
Lloyd, Dennis., The Idea of Law, Penguin Books, Harmondworth, 1976.
Lubman, Stanley, 1967, "Mao and Mediation: Politics and Dispute Resolution in Communist China", California Law Review No. 55, 1967
Luhmann, Niklas, A Sociological Theory of Lalv, London: Rouledge & Kegan Paul, 1985.
Magnis-Suseno, Franz., Etika fatva : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebjaksanaan Hzdup Iama, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Malinowsky, Brosnilaw, Magic, Science, Religion, Garden City NY Doubleday Anchor Books, 1954.
Marx, Karl, Capital- A Critique of Political Economy (I>oI.II), Moscow: Foreign Languages Publishing House, 1961.
Meisel, James H., (er) Pareto and Mosca, New York: Prentice, 1965
Mills, C.W ThepotverElite, New York: Oxford University Press, 1956
Milovanovic, D, A Premiere in the Sociology of Law, New York: Harrow and Heston Publisher, 1994.
Montesquieu, The Spirit of Law, translated by Thomas Nugent, 1949
Nader, L., (ed), Lam in Culture and Society, Chicago: Aldine Publishing Compani, 1969.
Nathaniel & Barbara Branden, IYIho isAyn Rand?, New York: Paperback Library, 1962.
Neumann, FL, The Rule of Law.- Political Theory and The Legal System in Modern Society, USA: Berg Publisher, 1986.
Niebuhr, HR, Christian Ethics: Sources of The Tradition, New York: The Roland Press Company, 1973.
Nonet, Philippe & Selznick, Philip, Law and Society in Transition : Toward Rerponsive Law, London: Harper and Row Publisher, 1978.
Ogburn, W F, Social Change, New York: Viking, 1932.
Paloma, Margareth M, Teori Sosiologi Kontemporer, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
Parsons, T, Structure and Process in Modern Societies, NY: Glenoe Free Press, 1960.
_______, T, Toward A General Theory of Action, Cambridge: Harvard University Press, 1976.
Peter, A.A.G. & Siswosoebroto, Koesriani, Hukum dan Perkembangan Sosial : Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1990.
Petterson, Charles H. Western Philosophy, Nabraska: Cliff's Notes, Vol. 1, 1970
Peursen, C. van, Strategi Kebudayaan, (terj), Dick Hartoko, BPK. Gunung Mulia-Kanisius, Jakarta-Yogyakarta, 1985.
Podgorecki, Adam & Welan, Christoper J, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
Podgorecki, A, "Totalitarian Law.- Basic Consepts and Issues'; dalam Totalitarian and Post-Totalitarian Law, Pogorecki & Oligiati (eds.1996).
Poggi, G, The Development of the Modern State, A Sociological Introduction, London: Hurchinson & Co. Ltd., 1978.
Popper, Karl R., Masyarakat terbuka dan Musuh Musuhnya, terjemahan (Uzair Faisal), Yagyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Posner, Richard A., Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Cambridge, Massasuchetts, London, England, 2001.
Priyono, H, Teori Keadilan John Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Gramedia, Jakarta; 1993.
Putnam, The prosperous community: social capital andpublic life, The American Prospect, Spring, 1993a; Thestrange disappearanceof civicAmerica', Policy, Autumn, 1996
Rahardjo, Satjipto, Hukum, Maryarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1980.
_______,Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tit~auan Teoritis Serta Pengalarrean-Pengalarrran di Indonesia, Alumni, Bandung, 1983.
_______, Ilnru Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
_______, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatar Gagasan), Makalah, disampaikan pada acara Jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semarang, tanggal 4 September 2004.
Rawls, John, A Tbeory of Justice, London: Oxford University Press, 1973.
Rawls, John, (ed.by Erin Kelly), Justice As Fairness A Restatement, The Belknap Press Of harvard University Press, 2001.
Raz, Joseph, Ethics in the Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics, Oxford: Clarendon Press, 1996.
Rheinstein, Max, Max IYleber on Lam in Economy and Society, New York: A Clarion Book, 1954.
Robinson, Dave., Niet,-,che an Postmodernism, 1999.
Riggs, E W, Administration in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society Boston: Indiana University, 1964.
Sampford, Charles, The Disorder Of Law: Critical Legal Theory, New York: Basill Blackwell Inc, 1989.
Schubert, Glendon, Human Jurisprudence: Public Law as Political Science, USA: The University Press of Hawaii, 1975.
Schuller, Tom. "The Complementary Roles of Human and Social Capital", Paper, http://wwwl.oecd.org/els/pdfs/ edsceridca017.pdf., disadur 22 Mei 2004.
Sidharta, Bernard Arief, Refleksi TentangStrukturllmu Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 1999.
Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Kasional, PT Gramedia, Jakarta, 1983.
Sinha, Surya Prakash, Juri.cprudence Legal Philosophy in A Nutshell, Minessota: West Publishing Co., 1993.
Smith, K, "Social Capital'; dalam http://wwwinfed.org/biblio/social_ capital, disadur 25 Mei 2004.
Soekanto, Soerjono, Soekanto, Soejono et al., Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali; 1985.
Spence, Gerry, The Deadth of Justice, New York: Saint Martin's Press, 1997.
Strauss, Leo., The Political Philosophy of Thomas Hobbes, 1936
Suseno, Frans Magnis, Ksrasa dan Moral, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
________,Pemikiran Karl Marx Dan Sosialisme Utopis Ke Arab Perselisiban Revisionisme, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
________,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial, Surabaya: Srikandi, 2006.
________, Hukum, Politik, dan KKN, Surabaya: Srikandi, 2006
Tanaka, Hideo , (ed), 1988, The Japanese Legal System, Tokyo: University of Tokyo Press, 1988, hal. 492-500.
Teubner, Gunter (ed.), Dillemas of Law in the IYlelfare State, New York: Walter de Gryter, 1986.
Trubek, D.M., Studying Courts in Context, Law & Society Review : The Journal of The Law and Society Association 3-4,1981.
Unger, Roberto Mangabeira, Law In Modern Society : Toward Cristism of Social Theory, London: Collier Macmillan Publisers, 1976.
Uphoff N, Learning From Gal Oya, Ithaca: Cornell University, 1992.
Von Schmid, JJ., Ahli Ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, 1954
Weber, Max, The Theory of Social and Economic Or ganiZation, New York: Oxford University Press, 1977.
______, Economy and Society, 2 volumes, edited and translated in part by Guenther Torh and Claus Wittch, New York: Bedminister 1978, hal. 926-940.
Weisenberg, D.K, Feminist Legal Theory, Philadelphia: Temple University Press, 1997.
Wiarda,G.J., Die Typer~ van Rechtsvinding, Zwolle, WE J. Tjeenk Wnk 2de Herziene Druk, 1980
Wignjosoebroto, Soetandyo, "Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian & Metode Penelitiannya", Bahan Penataran Metode Penelitiaii Hukum di UI Jakarta,1993.
_______, Hukum: Paradigma, Metode, Dan Dinamika Masalahnya, ELSAM, Jakarta, 2002.
Wilardjo, Liek, Kealita dan Desiderata, Duta Wacana University Press, 1990.
Winter, I, "Towards a Theorised Understanding of family Life and Social Capital", Working Paper, Australian Institute of Family Studies, 2000, http://wvvaifs.orV.au/institutc/pubs/Wp21. pd£, disadur 25 Mei 2004.


loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929