loading...

Hakikat Teori Belajar Behavioristik | Teori Belajar dan Pembelajaran

April 24, 2013
loading...
Hakikat Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik lahir sebagai upaya untuk menyempurnakan dua perspektif yang telah berlaku di awal abad 20, yaitu perspektif strukturalis dari Wundt dan psikologi fungsionalis dari Dewey.
Perspektif strukturalis percaya akan perlunya penelitian dasar yang mempelajari tentang otak manusia. Oleh karenanya, kaum strukturalis tidak percaya pada penelitian-penelitian aplikatif yang menggunakan binatang untuk dirampatkan kepada manusia, terutama tentang cara kerja otak manusia. Para strukturalis kemudian menggunakan alat "instrospeksi" laporan diri (self-report) tentang proses berpikir sebagai cara untuk mempelajari kerja otak manusia. Namun alat tersebut dikritik oleh banyak kalangan karena menghasilkan data dan informasi yang sama sekali tidak konsisten sehingga tidak dapat dipercaya.
Jika perspektif strukturalis cenderung berwawasan sangat sempit (mikro) maka psikologi fungsionalis sebaliknya berwawasan sangat luas (makro). Dalam keluasannya ini, para ahli psikologi fungsionalis menyatakan perlu adanya kajian tentang perilaku, selain kajian tentang fungsi proses mental, dan hubungan antara proses mental dan tubuh manusia. Namun demikian, justru dengan keluasannya ini, psikologi fungsionalis dirasakan menjadi kurang fokus dan tidak terorganisasi dengan baik.
Berangkat dari keterbatasan perspektif strukturalis dan psikologi fungsionalis, John B. Watson memulai upayanya untuk mengkaji perilaku, terlepas dari proses mental dan lain-lain. Watson percaya bahwa, semua makhluk hidup menyesuaikan diri terhadap lingkungannya melalui respons. Asumsi inilah yang menjadi landasan dasar dari teori belajar behaviorisme selanjutnya.
Sebenarnya, sebelum Watson, Ivan Pavlov (ahli psikologi dari Rusia) sudah memulai usaha untuk mengkaji perilaku, walaupun tidak secara eksplisit. Teori Pavlov dikenal dengan nama Classical Conditioning. Classical Conditioning kemudian digunakan oleh Watson dalam kajiannya terhadap perilaku bayi manusia. Tokoh lain yang juga memulai kajian perilaku sebelum Watson adalah Thorndike, dengan teoririya yang dikenal sebagai teori Coruiectionism.
Pavlov meneliti proses anjing yang menjadi berliur ketika diiming¬imingi daging. Dari hasil penelitiannya, Pavlov membuktikan bahwa perilaku atau respons dapat dimanipulasi melalui variasi stimulus atau rangsangan. Sementara itu, Thorndike meneliti perilaku "trial and error" atau coba-coba. Menurut Thorndike, respons akan diberikan berdasarkan asas coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus yang muncul. Oleh karena itu, Thorndike percaya adanya "reward and punishment" (penghargaan dan hukuman) serta "successes and failures" (keberhasilan dan kegagalan). Berdasarkan semua itu, Watson menyimpulkan bahwa teori perilaku memberikan mekanisme yang menjadi landasan dasar terjadinya berbagai dalam kehidupan. Pentingnya teori perilaku ini tidak hanya dinyatakan oleh Watson, tetapi juga dibuktikan oleh Skinner melalui teori Operant Conditioning, dan para ahli teori perilaku lainnya beberapa puluh tahun kemudian.
Aliran perilaku tentang belajar kemudian menjadi sangat populer di awal abad ke-20, karena dianggap sederhana dan terpercaya (selalu dapat diuji ulang). Melalui serangkaian penelitian, para ahli yang menganut aliran perilaku menghasilkan sejumlah teori belajar behavioristik. Setiap teori belajar behavioristik mempunyai kekhususan masing-masing, yang sesungguhnya saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, secara umum, semua teori-teori tersebut memiliki premis dasar yang sama. Teori belajar behavioristik mende6nisikan bahwa belajar merupakan perubahan perilaku, khususnya perubahan kapasitas siswa untuk berperilaku (yang baru) sebagai hasil belajar, bukan sebagai hasil proses pematangan (atau pendewasaan) semata. Menurut teori belajar behavioristik, perubahan perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan yang akan memberikan beragam pengalaman kepada seseorang. Lingkungan merupakan stimulus yang dapat mempengaruhi dan atau mengubah kapasitas untuk merespons.

A. PREMIS DASAR TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan perubahan tingkah laku hasil interaksi aritara stimulus dan respons, yaitu proses manusia untuk memberikan respons tertentu berdasarkan stimulus yang datang dari luar.




Gambar 2.2
Orang Memberi Stimulus Pertanyaan, yang lain Merespons dengan Jawaban

Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu dorongan atau "drive", stimulus atau rangsangan, respons, dan penguatan atau "reinforcemertt". Unsur dorongan diperlihatkan jika seseorang merasakan adanya kebutuhan akan sesuatu dan terdorong untuk memenuhi kebutuhan ini. Dalam upaya memenuhi kebutuhannya tersebut seseorang kemudian berinteraksi dengan lingkungannya yang menyediakan beragam stimulus yang menyebabkan timbulnya respons dari orang tersebut. Respons atau reaksi diberikan terhadap stimulus yang diterima seseorang dengan jalan melakukan suatu tindakan yang dapat terlihat. Unsur penguatan akan memberi tanda kepada seseorang tentang kualitas respons yang diberikan, dan mendorong orang tersebut untuk memberikan respons lagi.(respons yang sama ataupun respons yang berbeda).
Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar (outcome), yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat, dan tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di dalam otak manusia karena hal tersebut tidak dapat dilihat. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia mampu menunjukkan perubahan tingkah laku.

Gambar 2.3.
Perubahan Tingkah Laku "Tidak Bisa Menjadi Bisa"

Namun demikian, tidak kalah penting adalah masukanlinput yang berupa stimulus. Stimulus dapat dimanipulasi untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkar:. Stimulus meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dicium, dirasakan, dan diraba oleh seseorang.
Untuk memperoleh hasil belajar yang diinginkan, selain manipulasi stimulus, ada faktor penting lain yang sangat berpengaruh, yaitu faktor penguatan ("reinforcement") yang mulai diperkenalkan oleh Pavlov maupun Thorndike. Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respons. Penguatan dapat ditambahkan dan dikurangi untuk memperoleh respons yang semakin kuat ataupun semakin lemah.





Gambar 2.4
Stimulus Berdasarkan Pancaindra "la Ingin Dilihat, Didengar, Dicium, Dirasakan, dan Diraba oleh Orang"

Gambar 2.5
Stimulus-Respons Reinforcement "Memberi Hadiah - Memberi Pujian"

Dengan premis dasar tersebut, mari kita kaji lebih jauh tiga teori belajar behavioristik dari Pavlov, Thorndike dan Watson.

B. CLASSICAL CONDITIONING - PAVLOV

Percobaan yang dilakukan oleh Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936) merupakan upaya untuk meneliti "conditioned reflexes" atau reflex terkondisi. Dalam percobaan Pavlov, seekor anjing akan berliur jika mencium bau daging. Bau, daging merupakan stimulus yang tak terkondisi, sementara liur merupakan respons (refleks) yang juga tak terkondisi. Kemudian daging. ditambah dengan cahaya lampu dan digunakan sebagai stimulus. Setelah pengulangar. heberapa kali, diperoleh hasil bahwa anjing sudah akan berliur hariya oleh cahaya lampu, tanpa ada daging (proses asosiasi). Dengan demikian cahaya lampu menjadi stimulus yang terkondisi, dan liur menjadi respons yang terkondisi.
Teori Pavlov didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang, reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom, serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar.
Ada tiga parameter yang diperkenalkan Pavlov, melalui teori Classical Conditioning, yaitu reinforcement, extinction, and spontaneous recovery (penguatan, pengtlilangan, pengembalian spontan). Menurut Pavlov, respons terkondisi yang paling sederhana diperoleh melalui serangkaian penguatan - yaitu tindak lanjut atau penguatan yang terus berulang dari suatu stimulus terkondisi yang diikuti stimulus tak terkondisi dan respons tak terkondisi pada interval waktu tertentu. Denga,n demikian, pembentukan respons terkondisi pada umumnya bersifat bertahap (gradual). Makin banyak stimulus terkondisi diberikan bersama-sama stimulus tak terkondisi, makin mantaplah respons terkondisi yang terbentuk, sampai pada suatu ketika respons terkondisi akan muncul walaupun tanpa ada stimulus tak terkondisi.
Jika penguatan dihentikan dan stimulus terkondisi dimunculkan sendirian tanpa stimulus tak terkondisi, ada kemungkinan frekuensi respons terkondisi akan kemudian menurun dan hilang sama sekali. Proses ini disebut penghilangan atau "extinction". Misalnya cahaya dan daging untuk membuat anjing berliur. Jika hanya cahaya yang dimunculkan tanpa daging, lama kelamaan dapat terjadi anjing menjadi tidak berliur lagi. Namun demikian, bukan tidak mungkin pada suatu waktu anjing akan kembali berliur lagi (respons terkondisi muncul kembali "spontaneous recovery") walaupun hanya cahaya yang dimunculkan (tanpa daging).
Di samping i:u, dalam teori Classical Conditioning dikenal juga perampatan stimulus, yaitu kecenderungan untuk memberikan respons terkondisi terhadap stimulus yang serupa dengan stimulus terkondisi, meskipun stimulus tersebut belum pernah diberikan bersama-sama dengan stimulus tak terkondisi. Makin banyak persamaan stimulus baru dengan stimulus terkondisi yang pertama, makin besar pula perampatan yang dapat terjadi.
Selain perampatan stimulus, teori Cassical Conditioning juga mengenal konsep diskriminasi stimulus, yaitu suatu proses belajar untuk memberikan respons terhadap suatu stimulus tertentu atau tidak memberikan respons sama sekali terhadap stimulus yang lain. Hal ini dapat diperoleh dengan jalan memberikan suatu stimulus tak terkondisi yang lain (Morgan, et.al., 1986) sehingga seseorang akan melakukan "selective association" - asosiasi terseleksi terhadap stimulus untuk memunculkan respons.


C. CONNECTIONISM - THORNDIKE.

Dasar-dasar teori Connectionism dari Edward L. Thorndike (1874-1949) diperoleh juga dari sejumlah penelitian yang dilakukan terhadap perilaku binatang. Penelitian-penelitian Thorndike pada dasarnya dirancang untuk mengetahui apakah binatang mampu memecahkan masalah dengan menggunakan "reasoning" atau akal, dan atau dengan mengkombinasikan beberapa proses berpikir dasar.
Dalam penelitiannya, Thorndike menggunakan beberapa jenis binatang, yaitu anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan kera. Percobaan yang dilakukan mengharuskan binatang-binatang tersebut keluar dari kandang untuk memperoleh makanan. Untuk keluar dari kandang, binatang-binatang tersebut harus membuka pintu, menumpahkan beban, dan mekanisme lolos lainnya yang sengaja dirancang. Pada saat dikurung, binatang-binatang tersebut menunjukkan sikap mencakar, menggigit, menggapai, dan bahkan memegang/mengais dinding kandang. Cepat atau lambat, setiap binatang akan membuka pintu atau menumpahkan beban untuk dapat keluar dari kandang dan memperoleh makanan. Pengurungan yang dilakukan berulang¬ulang menunjukkan penurunan frekuensi binatang tersebut untuk melakukan pencakaran, penggigitan, penggapaian, atau pengaisan dinding kandang, dan tentu saja waktu yang dibutuhkan untuk keluar kandang cenderung menjadi lebih singkat.
Dari hasil penelitiannya, Thorndike menyimpulkan bahwa respons untuk keluar kandang secara bertahap diasosiasikan dengan suatu situasi yang menampilkan stimulus dalam suatu proses coba-coba ("trial and error"). Respons yang benar secara bertahap diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar melemah atau menghilang. Teori Connectionism Thorndike ini juga dikenal dengan nama "Instrumental Conditioning", karena respons tertentu akan dipilih sebagai instrumen dalam memperoleh "reward' atau hasil yang memuaskan.
Thorndike mengemukakan tiga dalil tentang belajar, yaitu "law of effect" (dalil sebab akibat), "law of exercise" ('dali( latihan/pembiasaan), dan "law of readiness" (dalil kesiapan). Dalil sebab akibat menyatakan bahwa situasi atau hasil yang menyenangkan yang diperoleh dari suatu respons akan memperkuat hubungan antara stimulus dan respons atau perilaku yang dimunculkan. Sementara itu, situasi atau hasil yang tidak menyenangkan akan memperlemah hubungan tersebut Dali1 latihan/pembiasaan menyatakan bahwa latihun akan menyernpurnakan respons. Pengulangan situasi atau pengalaman akan meningkatkan kemungkinan munculnya respons yang benar. Walaupun demikian, pengulangan situasi yang tidak menyenangkan tidak akan membantu proses belajar. Dalil kesiapan menyatakan kondisi¬kondisi yang dianggap mendukung dan tidak mendukung pemunculan respons. Jika siswa sudah siap (sudah belajar sebeluronya) maka ia akan siap untuk memunculkan suatu respons atas dasar stirnulus/kebutuhan yang diberikan. Hat ini merupakan kondisi yang menyenaagkan bagi siswa dan akan menyempurnakan pemunculan respons. Sebaliknya, j:ka siswa tidak siap untuk memunculkan respons atas stimulus yang diberikan atau siswa merasa terpaksa memberi respons maka sisvla mengalami kondisi yang tidak menyenangkan yang dapat memper(emah pemunculan respons.
Dari sekian banyak penelitian yang dilakukannya, Thorndike lalu menyimpulkan tentang pen;garuh proses belajar tertentu terhadap proses belajar berikutnya, yang dikenal dengan proses "tran.sfer of learning" atau perampatan proses belajar. Thorndike mengemukakan bahwa latihan yang dilakukan dan proses belajar yang terjadi dalam mempelajari suatu konsep akan membantu penguasaan atau proses belajar seseorang terhadap konsep lain yang sejenis atau mirip (associative shifting). Teori Comnectionisna dari Thorndike ini dikenal sebagai teori belajar yang pertama.

D. BEHAVIORISM - WATSON
Walaupun John B. Watson (IS73-1955) bukanlah ahli pertama yang melakukan kajian terhadap perilaku manusia dalam proses belajar, namuri Wa~;on I'ih yang melaicukan penyimpulan atas teori Classical Conditiollilig dari Pavlov dan teori Carrrectionism dari Thorndike. Teori Behaviorism atau teori perilaku dari Watson sangat dipengaruhi oleh teori Pavlov maupun horndike yang menjadi landasan utamanya.
Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar ;:dalam teori perilaku pada umumnya, haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observable). Dengan demikian, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar, karena dianggap terlalu kompleks untuk diketahui Watson menyatakan bahwa semua :.,perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan apakah perubahan tersebut terjadi karena proses belajar atau proses pematangan semata. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati (observable) maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan.
Interaksi antara stimulus dan respons terhadap berbagai situasi - proses pengkondisian - menurut Watson merupakan proses pengembangan kepribadian seseorang. Pernyataan Watson tersebut dilandaskan kepada penelitian yang dilakukannya terhadap sejumlah bayi. Watson mengemukakan bahwa pada dasarnya bayi yang baru dilahirkan hanya memiliki tiga jenis respons emosional, yaitu takut, marah, dan sayang. Kehidupan emosi manusia dewasa yang sangat kompleks, menurut Watson, merupakan hasil pengkondisian dari tiga jenis respons emosional dasar tersebut terhadap situasi yang bervariasi. Walaupun cukup kompleks, namun hasil proses pengkondisian tersebut tetap dapat diukur sehingga, sekali lagi hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam hal interaksi antara stimulus dan respons, Watson menggunakan teori Classical Conditioning Pavlov yang dilengkapi dengan komponen penguatan dari Thorndike. Namun dalam hal perampatan hasil proses pengkondisian tiga emosi dasar bayi terhadap orang dewasa, Watson lebih menggunakan tiga dalil belajar dan konsep perampatan hasil belajar dari Thorndike.


E. PENERAPAN TEORI BELAJAR PAVLOV, THORNDIKE, DAN WATSON DALAM PROSES PEMBELAJARAN

Teori Belajar Classical Conditioning dari Pavlov, Connectionism dari Thorndike, dan Behaviorism dari Watson merupakan teori-teori dasar dari aliran perilaku dengan premis dasar yang relatif sama. Teori-teori ini di kemudian hari dikembangkan dan atau dimodifikasi oleh berbagai ahli menjadi beragam teori-teori baru dalam aliran perilaku, yang kemudian disebut aliran perilaku baru (neo-belraviorisnr). Sebelum kita membicarakan teori-teori belajar yang tergabung dalam aliran neo-behaviorisme, marilah kita simak kemungkinan penerapan teori-teori belajar Pavlov, Thornclike, dan Watson dalam proses pembelajaran.
Konsep stimulus (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam proses pembelajaran dalam bentuk penjelasan tentang tujuan, ruang lingkup. dan relevansi pembelajaran, dan dalam bentuk penyajian materi. Sementara itu, konsep respons (Pavlov, Thorndike, Watson) diterapkan dalam bentuk jawaban siswa terhadap soal-soal tes dan atau ujian setelah materi disajikan, atau hasil karya siswa setelah prosedur pembuatan karya disampaikan. Proses pengkondisian atau interaksi antara stimulus dan respons (Pavlov) diterapkan dalam bentuk pemunculan stimulus yang bervariasi, blik stimulus tunggal, ganda, maupun kombinasi stimulus (perampatan dan atau diskriminasi stimulus - Pavlov). Misalnya, penyajian mated melalui uraian (ceramah) dan contoh, diskusi, penemuan kembali, kerja laboratorium, permainan dengan menggunakan media tunggal maupun beragam media (papan tulis, OHT, video, komputer, dan lain-lain). Hasil penelitian di dunia pembelajaran menyatakan bahwa penggunaan media yang beragam (dua atau lebih) secara variatif menghasilkan dampak positif yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran daripada media tunggal secara terus-menerus (Chisholm & Ely, 1976). Selain itu, proses pengkondisian juga melibatkan konsep penguatan (Thorndike) yang diterapkan dalam bentuk pujian dan atau hukuman guru terhadap siswa serta penilaian guru terhadap hasil kerja siswa. Kreativitas guru dalam memanipulasi (Watson) proses pengkondisian ini membantu siswa secara positif dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pengkondisian, berlaku tiga dalil tentang belajar, yaitu dalil sebab akibat, dalil latihan/pembiasaan, dan dalil kesiapan (Thorndike). Jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan guru (materi, contoh, gambar, dan lain-lain) menghasilkan rasa yang menyenangkan (dipuji, diminta membantu teman, nilai bagus, jawaban benar, dan lain-lain) bagi si.;wa maka siswa cenderung untuk mengulang melakukan hal yang sama. Namun, jika respons siswa terhadap stimulus yang diberikan menghasilkan rasa tidak senang bagi siswa (nilai jelek, dimarahi, ditertawakan, dan lain-lain). maka siswa cenderung untuk tidak mengulang kelakuan yang sama. Di samping itu, respons yang benar akan semakin banyak dimunculkan jika siswa memperoleh latihan yang berulang-ulang (drill & practice). Dengan demikian, dalam setiap proses pembelajaran, latihan menjadi komponen utama yang harus dirancang dan dilaksanakan. Penyajian materi saja (dengan contoh, gambar, media, melalui beragam metode) sama sekali tidak menjamin pemunculan respons yang diharapkan jika tidak ada komponen latihannya dalam suatu proses pembelajaran. Hal ini tentunya mengingatkan kita bahwa latihan bagi siswa menjadi penting nilainya dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, guru tidak diharapkan terlalu banyak menggunakan waktu untuk berceramah menyajikan materi, namun lebih baik banyak menggunakan waktunya untuk siswa berlatih. Proses pembelajaran akan dapat berjalan dan respons yang benar akan dapat diharapkan kemunculannya jika terjadi dalam situasi belajar yang menyenangkan bagi siswa. Situasi belajar yang menyenangkan dalam hal ini diterjemahkan sebagai situasi yang tidak menyakitkan siswa secara fisik maupun mental, situasi di mana perhatian siswa terfokus pada pembelajaran yang akan berlangsung dan situasi ketika siswa merasa siap untuk mengikuti pembelajaran. Sebaliknya, proses pembelajaran tidak akan'dapat berjalan dan respons yang benar tidak akan dapat dimunculkan dalam situasi belajar yang tidak menyenangkan siswa, misalnya pada saat perhatian siswa terbagi (tidak fokus), dalam kelas yang panas, pada saat siswa baru saja sakit atau dimarahi orang tuanya, atau pada saat siswa tidak merasa siap untuk belajar.
Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik jika ada dorongan atau kebutuhan yang jelas dari pihak guru maupun siswa. Hal ini dioperasionalkan dalam bentuk tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran (umum maupun khusus), yang harus dapat diukur sehingga perubahan perilaku siswa dapat jelas terlihat sebagai akibat dari proses pembelajaran (Watson). Dalam perencanaan pembelajaran, guru menuliskan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang umum maupun yang khusus. Agar dapat diukur dan bersifat operasional, penulisan tujuan pembelajaran selalu menggunakan kata kerja operasional yang dapat diukur. Hal ini merupakan bentuk penerapan konsep "observable behaviour" (Watson). Respons yang diharapkan dimunculkan siswa sebagai hasil belajar haruslah sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan demikian, jelaslah dapat terlihat apa-apa yang akan dicapai dari suatu proses pembelajaran, atau dengan kata lain, respons siswa sudah dapat diramalkan hanya dengan membaca atau melihat tujuan pembelajaran yang ditetapkan. Perbedaan antara hasil belajar yang dicapai siswa dengan tujuan yang telah ditetapkan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu proses pembelajaran.

LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut !
1) .


Dalam kondisi siswa lupa, parameter teori classical conditioning apa yang berlaku? Jelaskan terjadinya proses siswa lupa berdasarkan teori classical conditioning! Bagaimana caranya mengatasi masalah siswa lupa?
2) Guru menugaskan siswa untuk membaca bahan bacaan tertentu pertemuan berikutnya. Menurut teori connectionism, dalil belajar yang diterapkan oleh guru tersebut? Jelaskan!
3) Hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang dapat diukur.
Teori siapa yang melandasi pernyataan tersebut? Jelaskan!



Petunjuk Jawaban Latihan

1) Lupa merupakan peristiwa yang umum terjadi dalam kehidupan manusia. Bagi siswa yang sedang mempelajari hal-hal baru maka lupa merupakan proses extinction berdasarkan parameter teori classical conditioning. Peristiwa lupa dapat terjadi apabila tidak ada stimulus yang mengkondisikan terjadinya respons yang benar sehingga sisa tidak dapat memunculkan respons (yang benar maupun yang salah). Peristiwa ini dapat diatasi melalui bantuan guru yang mau bersabar menuntun siswa. Proses penuntunan ini dapat dilakukan guru melalui kegiatan tanya jawab yang menggunakan pertanyaan bertahap mulai dari yang paling rendah sampai yang paling kompleks di mana respons yang benar diharapkan muncul, atau melalui kegiatan pemicu (triggering) untuk membantu siswa mengingat kembali kondisi untuk memunculkan respons yang benar. Pertanyaan bertahap maupun kegiatan pemicu merupakan stimulus yang dapat mengkondisikan pemunculan respons yang benar (lihat halaman 1).
2) Dalam menugaskan siswa merribaca bahan bacaan di rumah, guru menerapkan dalil kesiapan dari teori connectionisnr. Dalam hal ini guru mempersiapkan siswa agar siap menerima pelajaran. Dengan membaca bahan bacaan terlebih dahulu, siswa akan merasa lebih siap dalam menghadapi pelajaran. Kesiapan ini juga diperlukan dalam rangka penciptaan suasana/kondisi yang menyenangkan dan kondusif untuk belajar. Bagi siswa, mematuhi perintah guru dan merasa siap secara mental pada saat-pelajaran berlangsung merupakan suasana yang menyenangkan karena siswa dapat terhindar dari hukuman guru (bila ia sudah membaca di rumah) dan dari olok-olok teman jika ia tidak siap dalam menerima pelajaran.
3) Teori yang dilandasi pernyataan tersebut adalah teori Behaviorism dari Watson. Menurut Watson, stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku haruslah berbentuk tingkah laku yang dapat diamati. Hanya dengan tingkah laku yang dapat diamati maka perubahan yang bakal terjadi pada seseorang sebagai hasil proses belajar dapat diramalkan. Dalam kasus ini, anak perempuan ingin belajar memanjat pohon. Perilaku awal anak perempuan tersebut menyatakan bahwa ia tidak dapat memanjat pohon. Setelah belajar pada kakaknya, ia kemudian dapat memanjat pohon. Ada perubahan tingkah laku dari anak perempuan tersebut, dari tidak dapat menjadi dapat memanjat pohon. Perubahan tingkah lakunya sangat dapat diukur, karena dapat dilihat bahwa ia dapat memanjat pohon sekarang (seperti tampak dalam gambar).


RANGKUMAN

Belajar merupakan suatu proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, keterampilan, dan sikap. Teori belajar behavioristik lahir sebagai upaya penyempurnaan terhadap perspektif tentang cara manusia belajar. Menurut teori belajar behavioristik belajar merupakan perubahan perilaku manusia yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan.
Premis dasar teori belajar behavioristik menyatakan bahwa interaksi antara stimulus respons dan penguatan terjadi dalam suatu proses belajar. Teori belajar behavioristik sangat menekankan pada hasil belajar, yaitu perubahan tingkah laku yang dapat dilihat. Hasil belajar diperoleh dari proses penguatan atas respons yang muncul terhadap stimulus yang bervariasi.
Salah satu teori belajar behavioristik adalah teori, classical conditioning dari Pavlov yang didasarkan pada reaksi sistem tak terkondisi dalam diri seseorang serta gerak refleks setelah menerima stimulus. Menurut Pavlov, penguatan berperan penting dalam mengkondisikan munculnya respons yang diharapkan. Jika penguatan tidak dimunculkan, dan stimulus hanya ditampilkan sendiri, maka respons terkondisi akan menurun dan atau menghilang. Namun, suatu saat respons tersebut dapat muncul kembali.
Sementara itu, conizectionism dari Thorndike menyatakan bahwa belajar merupakan proses coba-coba sebagai reaksi terhadap stimulus. Respons yang benar akan semakin diperkuat melalui serangkaian proses coba-coba, sementara respons yang tidak benar akan menghilang. Akibat menyenangkan dari suatu respons akan memperkuat kemungkinan munculnya respons. Respons yang benar diperoleh dari proses yang berulang kali yang dapat terjadi hanya jika siswa dalam keadaan siap.
Teori behaviorism dari Watson menyatakan bahwa stimulus dan respons yang menjadi konsep dasar dalam teori perilaku haruslah tierbentuk tingkah laku yang dapat diamati. Interaksi stimulus dan respons merupakan proses pengkondisian yang akan terjadi berulang-ulang untuk mencapai hasil yang cuk.up kompleks.



TES FORMATIF 1
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Menurut teori behavioristik, apa yang disebut belajar? Belajar adalah ....
A. proses bagi manusia untuk menguasai berbagai kompetensi, keterampilan, dan sikap
B. perubahan perilaku, dari tidak tahu menjadi tahu
C. proses panjang yang dimulai sejak manusia masih bayi sampai sepanjang hayatnya
D. perubahan kapasitas manusia yang dipengaruhi lingkungannya

2) Premis dasar teori belajar behavioristik adalah interaksi antara ....
A. stimulus dan respons
B. drive dan penguatan
C. stimulus dan penguatan
D. respons dan drive

3) Teori classical conditioning dari Pavlov didasarkan pada ....
A. proses asosiasi antara cahaya, berkas, dan daging yang terjadi berulang kali
B. reaksi sistem tak terkondisi, reaksi emosional, dan gerak refleks seseorang ketika menerima stimulus
C. proses asosiasi antara respons dengan stimulus secara terkondisi
D. adanya spontanitas recovery dari respons terkondisi ketika stimulus terkondisi dimunculkan

4) Teori connectionism dari Thorndike memperkenalkan adanya 3 dalil tentang belajar, salah satunya, yaitu ....
A. jika siswa memperoleh pujian, ia akan merasa senang dan respons yang muncul seiring dengan pujian tersebut akan diperkuat (dalil sebab akibat)
B. pekerjaan rumah dan latihan di kelas memperpanjang waktu belajar siswa (dalil pembiasaan)
C. pengulangan situasi yang tidak menyenangkan akan membantu proses belajar siswa (dalil persiapan)
D. tugas membaca membantu sisa untuk tidak banyak bertanya sehingga waktu belajar di kelas tidak terbuang (dalil kesiapan)

5) Perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa adalah penting, namun hal itu tidak dapat menjelaskan hasil dari proses belajar karena tidak dapat diamati. Pendapat ini dinyatakan oleh ....
A. Pavlov
B. Thorndike
C. Watson
D. Hull

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.



Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.
loading...
Previous
Next Post »

1 comment

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929