loading...

Pembangunan Sosio Ekonomi

April 19, 2013
loading...
Pembangunan Sosio Ekonomi
PENDAHULUAN
Salah satu persoalan paling mendasar dalam bidang studi ekono¬mi politik adalah masalah prioritas penempatan posisi faktor¬-faktor ekonomi dan politik dalam kerangka hubungan kausalitas (sebab-akibat) di antara keduanya. Pada periode awal, yang sering dijadikan atau dianggap sebagai penyebab adalah vari¬abel-variabel ekonomi; menurut sejumlah hipotesis, variabel-va¬riabel ekonomilah yang menyebabkan, menentukan atau melatar¬belakangi sekaligus menjelaskan fenomena-fenomena politik (jadi, variabel-variabel politik disini dianggap sebagai akibat). Pemikir¬an semacam inilah yang dikenal sebagai determinisme ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran ini ditentang oleh hipotesis-hipotesis yang menyatakan hal sebaliknya; yakni bah¬wasanya faktor-faktor politiklah yang menentukan atau mempe¬ngaruhi fenomena ekonomi. Dalam bab-bab mendatang kita akan selalu menemui pertentangan tersebut. Disini kita akan meninjau perbedaan-perbedaan kondisi sosio ekonomi di berbagai negara, serta membedah atau mengulasnya melalui teori pembangunan yang poputer (Lal, 1983; Jones dan Kenen, 1984; Chenery dan Srinivasan, 1988, 1989).
Apa yang disebut sebagai teori kesenjangan (gap theory) ternyata sangat mewarnai penafsiran terhadap segenap data yang ada mengenai pembangunan (Thirlwall,1986). Didalamnya terkandung hipotesis yang menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan antara kelompok negara kaya dan kelompok negara miskin sangat parah, dan cenderung makin mencolok dari waktu kewaktu. Hipotesis tersebut sangat pesimis mengenai manfaat pembangunan, khususnya bagi negara-negara terbelakang; ia meramalkan bahwa kesenjangan pendapatan dan kemakmuran antara negara maju dan berkembang akan terus meningkat dan kecenderungan negatif tersebut sangat sulit dicegah. Pernya¬taan ini sangat kontroversial dan memerlukan penelaahan lebih jauh. Untuk itu kita akan menjajagi kebenaran pernyataan itu dengan menganalisis data pembangunan dari sebanyak mungkin negara.
Sering dikemukakan bahwa kesenjangan pendapatan antara negara-negara kaya dan miskin terus meningkat sehingga akhir¬nya terbentuk suatu polarisasi utara (kelompok kaya) dan selatan (miskin) yang tersembunyi dalam sistem internasional (Laporan Komisi Brandt, 1980). Kecenderungan ini, seandainya benar, jelas perlu diperhatikan karena hal itu bisa mematikan ambisi pembangunan negara-negara berkembang dan terbelakang yang dipelopori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Proses pemba¬ngunan terlanjur diyakini oleh negara-negara Dunia Ketiga seba¬gai satu-satunya cara untuk memperbaiki nasib, dan OBB sendiri bahkan sudah mencanangkan dekade-dekade pembangunan dan menghimbau bagi diciptakannya suatu tata ekonomi internasional baru yang lebih baik dan lebih adil. Pendapat yang menolak atau melecehkan manfaat pembangunan itu jelas membuat negara¬negara Dunia Ketiga merasa sangat gundah.
Tapi seperti teori mana pun, teori ini belum tentu benar dan harus diuji secara mendalam. Untuk itulah kita akan menguji sejauh mana validitas teori tersebut, khususnya pernyataannya yang menegaskan bahwa proses pembangunan bukannya membuat negara-negara berkembang makin dekat dengan nega¬ra-negara maju, melainkan justru makin tertinggal. Perlu diingat¬kan sejak awal bahwa kelompok negara Dunia Ketiga itu bukan kesatuan yang homogen. Kita harus cermat menangkap fakta bahwa tingkat kemajuan ekonomi dan laju pertumbuhan ekonomi dari masing-masing negara "berkembang" itu berbeda, bahkan terkadang perbedaannya tidak kalah tajamnya dari perbedaan antara sebuah negara kaya dan sebuah negara miskin (Syrquin, 1988). Selain itu, variasi internal (perbedaan antara unit-unit yang menjadi anggota kelompok yang sama) juga ada pada kelompok negara kaya. Banyak negara, termasuk semua negara komunis kecuali Republik Rakyat Cina, yang sering digolongkan begitu saja ke dalam kelompok negara kaya; padahal sebenarnya secara ekonomis negara-negara tersebut lebih tepat dikategorikan seba¬gai negara berkembang. Tingkat kemajuan ekonomi mereka bahkan lebih rendah dari Negara-negara tertentu yang secara tradisional dianggap sebagai negara miskin atau negara berkembang (misalnya Malaysia). Pemilahan negara kaya-miskin sema¬kin tidak relevan dengan munculnya fenomena negara-negara industri baru (NICs: Newly Industrializing Countries) yang laju pertumbuhan ekonominya luar biasa cepat, bahkan lebih cepat dari pada negara-negara paling maju sekalipun. Agar kita bisa membicarakan persoalan sesuai dengan proporsinya, terlebih dahulu kita harus mempertimbangkan bagaimana konsep pembangunan itu diukur atau didefinisikan.

DATA DAN INDIKATOR-INDIKATOR
Dalam kepustakaan ilmu sosial tidak ada satu definisi tunggal yang baku untuk istilah pembangunan; setiap pengamat atau bidang studi sosial memiliki definisi sendiri yang berbeda satu sama lain dan sulit dikompromikan (Todaro, 1985; Thirlwall, 1986; Sen, 1988). Lagipula indikator yang dikaitkan dengan konsep pembangunan tersebut ternyata bukan hanya statistic pendapat¬an nasional dari suatu negara. Gunnar Myrdal mengulas konsep pembangunan sebagai sesuatu yang multidimensional; ia menga¬itkannya dengan produksi output dan pendapatan, kondisi atau syarat-syarat yang menunjang produksi, standar hidup, sikap-¬sikap umum dan perorangan terhadap kehidupan dan pekerjaan, serta berbagai macam institusi dan kebijakan (Myrda1,1968, hlm. 1860). Meskipun Myrdal mengaitkan pembangunan dengan seti¬ap aspek itu secara terpisah, ia juga mengatakan bahwa antara aspek-aspek itu terdapat keterkaitan dan satu sama lain saling memperkuat melalui suatu proses sebab akibat yang berbentuk siklus (Myrdal,1968, hlm. 1859-1866). Tidak diragukan lagi bahwa pendapatan (khususnya GDP per kapita) memang merupakan salah satu indikator terbaik untuk mengukur kemajuan pemba¬ngunan (Gersovitz, et.al., 1982). Konsep GDP menghitung total output final segenap barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian (negara), khususnya oleh penduduk (bisa diartikan perusahaan atau individu), baik yang menjadi warga negara maupun yang bukan warga negara (jadi output perusahaan atau orang asing, asalkan bermukim di negara itu, juga turut dihitung). Perhitungannya tidak melibatkan pengurangan depresiasi. Mari kita mulai analisis dengan indikator yang sederhana namun ber¬manfaat ini, sebelum nanti kita terlibat dengan berbagai indikator kemakmuran dan kemajuan pembangunan lainnya yang jauh lebih kompleks.
Perangkat statistik ini - GDP per kapita - bisa diterapkan untuk mengukur tingkat kelimpahan atau kemakmuran ekonomi. Ada yang menyarankan disertakannya indikator-indikator lain untuk mendampingi GDP per kapita; namun kebanyakan penga¬mat menganggapnya kurang perlu. Untuk sementara kita pakai indikator itu saja tanpa pendamping. Sebenarnya, dan ini merupa¬kan alasan pokok mengapa ada yang menyarankan pemakaian indikator pendamping, indikator GDP per kapita tidak bebas dari kelemahan, baik yang menyangkut validitas maupun kehandalan¬nya (reliability). Kelemahan validitasnya adalah, indikator GDP per kapita ini terlalu peka dengan angka-angka moneter, tingkat -tingkat harga, dan kurs mata uang. Sedangkan kelemahan kehan¬dalannya bersumber dari perbedaan cara penghitungan penda¬patan ditiap negara, sehingga hasilnya sulit diperbandingkan satu sama lain (Kuznets, 1965, 1966, 1968; Streeten, 1972; Little, 1982).
Data mentah produk domestik bruto (GDP: gross domestic product) berbagai negara masih harus diolah dan dikaji kembali untuk menghilangkan aneka kekeliruan dan agar data dari suatu negara bisa diperbandingkan dengan data dari negara-negara lain. Bila pembuatan indeks GDP per kapita sudah dilakukan dengan secermat-cermatnya, barulah kita bisa memakainya un¬tuk memperoleh gambaran informatif garis besar mengenai perbedaan tingkat kemajuan ekonomi berbagai negara. Dalam bab ini kita akan menggunakan serangkaian data standar-GDP riil per kapita dalam satuan nilai internasional US$ yang berlaku pada tahun 1980 - yang dirumuskan oleh Summers dan Heston (1988). Rangkaian data ini muncul setiap tahun, disertai dengan data mengenai populasi, kurs, output produk riil, tingkat harga yang dihitung berdasarkan empat konsep pendapatan nasional yang berlainan, dari sekitar 130 negara, meliputi periode antara tahun 1950 hingga 1985.
Berdasarkan rangkaian data yang dirumuskan oleh Summers dan Heston itu, tanpa mengabaikan kemungkinan kelemahan validitas dan kehandalannya, kami telah memilih 120 negara yang kami bagi menjadi beberapa kelompok. Yaitu (a) kelompok nega¬ra-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development), yakni kelompok khas negara-negara industri kapi¬talis maju, terdiri dari 24 negara; (b) kelompok negara Amerika Latin, 23 negara; (c) negara-negara Afrika, 36 negara; (d) negara¬negara Asia, 21 negara; serta (e) negara-negara komunis, terdiri dari 13 (untuk memudahkan pembahasan, sisihkan dahulu gelom¬bang liberalisasi yang berlangsung di Eropa Timur sejak tahun 1989). Daftar selengkapnya bisa anda temukan pada Lampiran 5.1. Klasifikasinya dibuat sedemikian rupa agar kita dapat seka¬ligus mengevaluasi keberlakuan teori kesenjangan (gap theory) yang berusaha menjelaskan variasi internal dan eksternal berke¬naan dengan tingkat kemajuan pembangunan sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Kita juga akan menghitung tingkat pertum¬buhan rata-rata dari berbagai negara selama periode-periode yang berbeda.
Dalam kelompok negara kaya, kita masukkan semua negara OECD dan negara-negara komunis (kecuali RRC). RRC lebih sering dikategorikan sebagai negara berkembang Asia daripada negara komunis, lagipula RRC tidak menjadi anggota Blok Come¬con (Persemakmuran Negara-negara Komunis). Karena analisis ini hanya berlaku sampai tahun 1985, maka kita bisa mengabaikan gelombang revolusi yang melanda negara-negara komunis Eropa Timur dan Uni Soviet pada tahun 1989 dan 1990. Dalam mengevaluasi teori kesenjangan kali ini, kita tidak melibatkan beberapa negara kaya (misalnya Hong Kong, Afrika Selatan dan Israel) karena selain kemunculan mereka sebagai negara industri baru pada saat itu tidak sehebat sekarang, peranan mereka dari sudut pandang evaluasi juga tidak terlalu penting. Kita bahkan tidak melibatkan negara-negara Timur Tengah pengekspor minyak yang super kaya (Arab Saudi, Oman, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan lain-lain), karena nasib pembangunan dan keberuntungan ekonomi yang mereka alami tidak bisa diharapkan akan dialami pula oleh negara-negara lain. Tingkat GDP riil per kapita yang akan diuraikan berasal dari periode 1950,1960,1970,1980, dan 1985; angkanya disesuaikan dengan tingkat harga standar dan tingkat pertumbuhan rata-rata antara tahun 1950 hingga 1985. Data yang memadai dari ke-120 negara untuk periode 1950 dan 1960 memang sangat sulit diperoleh; ini memaksa kita mengu¬rangi jumlah negara yang diliput dalam evaluasi untuk periode 1950 dan 1960 tersebut.
Kelemahan fatal berikutnya yang terkandung dalam penggu¬naan indikator standar GDP atau GDP per kapita sebagai peng¬ukur tingkat kelimpahan atau kemakmuran atau kemajuan ekono¬mi adalah terabaikannya soal pemerataan pendapatan dan aspek¬-aspek keadilan sosial lainnya. Kelemahan ini dikatakan fatal karena pertumbuhan ekonomi atau kenaikan pendapatan nasio¬nal suatu negara belum tentu sama dengan teratasinya kemiskinan yang diderita oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Pertum¬buhan ekonomi di negara-negara miskin memang melegakan karena itu berarti bertambah besarnya kue ekonomi nasional; tapi siapa yang kebagian kue, tidak dipersoalkan oleh indikator GDP. Jelas ini merupakan kelemahan yang harus diatasi. Jika tidak, analisis yang dilakukan akan hambar karena tidak disertai dengan perangkat yang mampu menangkap esensi permasalahan yang dihadapi manusia.
Indikator GDP perkapita harus dilengkapi dengan suatu indeks yang mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan. Da¬lam kepustakaan ilmu sosial sebenarnya terdapat beberapa in¬deks yang mengukur variasi pendapatan antar rumah tangga atau antar kawasan; yaitu Indeks Gini, Kurva Lorenzs dan sebuah koefisien variasi yang mengukur distribusi pendapatan atau out¬put di tingkat regional. Namun kita tidak bisa menggunakan indeks-indeks itu begitu saja untuk menganalisis ketimpangan distribusi pendapatan antarnegara. Selain masalah teknis statistik, sebagian negara yang kita liput tidak memiliki data yang memadai; bahkan definisi pendapatan atau kemakmuran ekonomi saja berlainan di tiap negara, dan ini jelas menyulitkan komparasi atau perbandingan data. Tanpa mengabaikan kesulitan-kesulitan itu, kita akan memakai Indeks Gini berdasarkan data tahun 1970-an; meskipun diliputi banyak kelemahan, ini masih lebih baik dari pada tidak ada sama sekali.

TOERI KESENJANGAN
Teori ini menarik banyak perhatian karena pernyataan-pernyata¬an yang serba kontroversial dan mengejutkan. Pertama-tama secara implisit teori kesenjangan mengisyaratkan adanya jurang ketimpangan kelimpahan atau kemakmuran ekonomi antara ke-lompok negara kaya dan miskin yang semakin memburuk sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Yang kedua, teori ini menegas¬kan bahwa melebarnya jurang ketimpangan itu berlangsung di se¬panjang periode paska perang, jadi tidak hanya pada dekade 1950-an dan 1960-an tapi juga terjadi selama periode 1970-an dan bahkan 1980-an. Yang ketiga, teori kesenjangan menyatakan bahwa ketimpangan pendapatan antar kawasan di dunia itu ku¬rang lebih identik dengan pemisahan geografis bola dunia menjadi dua bagian, utara dan selatan. Keempat, teori ini memprediksikan lebih besarnya variasi eksternal (perbedaan pendapatan antara kawasan yang satu dibandingkan dengan kawasan yang lain) daripada variasi internal (perbedaan pendapatan antar negara yang berada atau termasuk dalam satu kawasan yang sama).
Rangkaian data Summers dan Heston memungkinkan kita mengevaluasi implikasi-implikasi yang dikemukakan oleh teori kesenjangan tersebut melalui tinjauan secara langsung atas vari¬asi tingkat kemakmuran ekonomi secara keseluruhan, baik variasi internal maupun eksternal, dari tahun 1950 hingga tahun 1985. Kita juga akan menyertakan analisis variasi pertumbuhan GDP per kapita untuk melengkapi kajian atas variasi GDP per kapita antara berbagai negara. Koefisien variasi (angka CV = Coefficient Variation) akan dimanfaatkan sesuai dengan kapasitasnya untuk menunjukkan variasi internal bila angka CV-nya sama dengan atau lebih dari 0,25, maka variasi internal yang ada memang cukup besar dan signifikan (penting).

TINGKAT-TINGKAT KELIMPAHAN
Tanpa mengabaikan kelemahan-kelemahan pemakaian indikator GDP per kapita sebagai tolok ukur tingkat kemakmuran atau kelimpahan rata-rata di suatu,negara, kita tetap bisa mengguna¬kannya untuk mengungkap variasi-variasi internal dan eksternal atas pendapatan per kapita nasional. Kita mulai saja dengan menelaah data variasi pendapatan per kapita eksternal dan inter¬nal untuk tahun 1950 (lihat Tabel 3.1).
TABEL 3.1. GDP per kapita Lima Kelompok Negara, 1950 (Dalam Satuan Nilai Internasional US$ tahun 1980)
Kelompok negara Mean Max Min CV
Negara-negara OECD (N=24) 3.235 6.401 822 0,48
Negara-negara komunis (N= 8) 1.883 3.124 1.069 0,37
Negara-negara Amerika Latin (N=17) 1.461 3.800 720 0,48
Negara-negara Asia (N= 8) 580 1.262 212 0,52
Negara-negara Afrika (N= 7) 374 524 223 0,31
Sumber. Summers dan Heston (1988).
Angka rata-rata (mean) pendapatan per kapita negara-negara OECD berjumlah $3.235, sedangkan angka rata-rata untuk negara¬-negara komunis adalah $1.883. Ini menunjukkan bahwa setelah sama-sama porak poranda akibat perang, negara-negara OECD lebih cepat bangkit sehingga mereka mampu mencetak pendapat¬an per kapita dua kali lebih besar dari pada negara-negara komu¬nis. Namun kita harus cermat untuk mengungkap variasi pendapatan antar negara ditiap kelompok negara. Dengan cara itu kita akan memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan dapat memperoleh pemahaman yang lebih jelas mengenai keadaan atau fakta yang sebenarnya. Angka pendapatan OECD begitu tinggi karena ada Amerika Serikat, negara paling kuat ekonominya sejak berakhirnya perang. Pendapatan per kapitanya jauh me¬ninggalkan semua negara lain; angkanya delapan kali lipat lebih besar daripada negara OECD lainnya seperti Turki ($822) atau Jepang ($1.129). Di kelompok negara komunis juga ada variasi pendapatan, namun tidak setajam yang terdapat di kelompok OECD. Yang tertinggi dicatat oleh Cekoslowakia, yakni $3.124, sedangkan yang terendah adalah Yugoslavia, yakni $1.101.
Sekitar tahun 1950,tingkat kelimpahan dinegara-negara OECD maupun negara-negara komunis (kecuali Republik Rakyat Chi¬na), secara umum atau rata-rata, sudah jauh meninggalkan ting¬kat kelimpahan rata-rata di negara-negara Asia ($580) maupun Afrika ($580). Sedangkan pendapatan per kapita Amerika Latin cukup tinggi, yakni $1.883. Namun ketimpangan ini mudah dipa¬hami karena negara-negara Afrika dan Asia merupakan korban perang dan kebanyakan baru merdeka, sedangkan negara-nega¬ra Amerika Latin relatif bebas dari sengsaranya Perang Dunia Kedua, serta sudah cukup lama mengenyam kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan ekonomi.
Meskipun angka rata-rata pendapatan per kapita di Amerika Latin hampir sama dengan yang ada di negara-negara komunis (sekali lagi, tidak termasuk RRC), angka pendapatan per kapita maksimum di Amerika Latin lebih tinggi, yakni $3.800 yang dicatat oleh Venezuela, dan angka tersebut bahkan lebih tinggi daripada angka rata-rata (mean) pendapatan per kapita negara-negara OECD. Bila kita menyimak data tahun 1950 ini, mungkin masih sulit menggambarkan adanya ketimpangan pendapatan yang parah, karena selisih angkanya memang tidak terlalu mencolok, dan ada penjelasan-penjelasan yang sangat masuk akal untuk itu. Meskipun kita tidak memiliki data GDP per kapita yang memadai dari Brazil dan Argentina, kita masih bisa mengatakan dengan aman bahwa kondisi Amerika Latin pada waktu itu belum memun¬culkan gambaran seram mengenai dikotomi Utara (kaya) dan Selatan (miskin). Negara-negara di kawasan tersebut, saat itu, masih jauh dari bayangan kemiskinan; mereka masih cukup sejahtera.
Dibandingkan dengan angka rata-rata pendapatan per kapita Asia dan Afrika, angka rata-rata OECD lima kali lipat lebih besar, dan dua kali lipat dibandingkan angka rata-rata. Amerika Latin maupun kelompok Negara komunis. Sekarang kita perlu meninjau variasi pendapatan per kapita antar negara dari masing-masing kelompok negara guna memperoleh gambaran yang lebih rinci mengenai kondisi pendapatan di awal periode pertumbuhan ekonomi dan ekspansi perdagangan dunia.
Teori kesenjangan didasarkan pada hipotesis pembagian dunia menjadi dua bagian, yakni Utara yang kaya dan Selatan yang miskin. Namun dari tabel di atas kita mengetahui bahwa pemilah¬an itu tidak sepenuhnya tepat. Sebagai contoh, Australia dan Selandia berada di Belahan Bumi Selatan, padahal keduanya adalah negara kaya pada tahun 1950, bahkan terkaya keempat dan kelima (yang lebih kaya dari mereka hanya Amerika Serikat, Kanada dan Swiss). Lebih jauh, beberapa negara Eropa seperti Spanyol, Turki, Yunani, dan Portugal bahkan lebih rendah penda¬patan per kapitanya dibandingkan dengan Uruguay, Venezuela dan Trinidad yang jelas-jelas berada di Belahan Bumi bagian Selatan. Angka pendapatan per kapita sejumlah negara OECD, misalnya Spanyol dan Irlandia, tidak terpaut jauh dari angka rata¬-rata pendapatan per kapita negara-negara komunis.
Variasi pendapatan antarnegara yang sangat mencolok relatif mudah ditemui di kelompok negara-negara berkembang, baik itu di Asia, Afrika maupun Amerika Latin; hal ini tidak mengejutkan, karena nasib dan jalur pembangunan yang mereka tempuh sejak tahun 1850 sangat berbeda (Reynolds, 1985). Tabel 3.1 telah menunjukkan bahwa variasi internal pada kelompok negara Asia, Afrika dan Amerika Latin itu lebih besar dibandingkan dengan variasi internal yang terdapat di kelompok negara komunis maupun OECD. Kira-kira penemuan apa lagi yang akan kita peroleh setelah menyimak data variasi itu secara lebih rinci.
Meskipun tidak banyak negara dari ketiga kawasan tersebut yang bisa diperbandingkan akibat kelangkaan data pada saat itu (1950), kita berhasil memperoleh beberapa penemuan yang mengejut¬kan selain dari terungkapnya variasi kemiskinan Dunia Ketiga yang begitu parah. Yang pertama, pendapatan per kapita di Amerika Latin ternyata jauh meninggalkan kawasan-kawasan Dunia Ketiga lainnya pada waktu itu, dan ini tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh teori kesenjangan bahwa semua kawas¬an negara berkembang, termasuk Amerika Latin, harus meneri¬ma takdir menjadi negara melarat seumur-umur. Meskipun data¬nya tidak lengkap, gambaran yang dimunculkan oleh tabel di atas sudah cukup representatif; kalau pun data Brazil dan Argentina saat itu tersedia, gambaran yang muncul takkan banyak berbeda. Adalah suatu kekeliruan yang sangat fatal untuk menyamarata¬kan Meksiko ($1.652), India ($416) dan Ethiopia ($261) ke dalam kelompok negara terbelakang; kekeliruan inilah yang dialami oleh teori kesenjangan.
Perbedaan angka pendapatan per kapita antarnegara di Asia dan Afrika pada tahun 1950 relatif kecil, bahkan terkesan agak merata. Sebagai contoh China memiliki pendapatan per kapita sebesar $429, sedangkan Indonesia $416. Sementara itu Nigeria $478, dan ini tidak berbeda jauh dari pendapatan per kapita Mesir yang mencapai $427. Jumlah negara yang apesnya kelewatan juga sedikit, mungkin hanya Uganda ($299) dan Zaire ($223). Gambaran mengenai Afrika relatif paling kabur, karena data¬-datanya paling sulit diperoleh. Kolom Afrika pada tabel di atas, seperti anda lihat, banyak sekali yang kosong. Untuk mengetahui apakah variasi pendapatan per kapita berbagai negara tersebut stabil atau berubah-ubah sebagaimana diprediksikan oleh teori kesenjangan, kita perlu membandingkan data tahun 1950 ini dengan data lain dari periode yang berbeda. Data yang dimaksud sudah tersedia pada Tabel 3.4, yakni data dari tahun 1960.
Perkembangan yang berlangsung selama periode 1950-an ternyata mendukung teori kesenjangan karena selama dasawarsa 1950-an kesenjangan antara dua kelompok negara kaya (OECD dan Blok Komunis) dengan tiga kelompok negara miskin (Asia, Afrika dan Amerika Latin) semakin lebar. Melebarnya perbedaan atau selisih pendapatan per kapita itu makin mencolok jika kita membandingkan pendapatan per kapita negara-negara OECD yang meningkat sangat pesat dengan pendapatan per kapita negara-negara Amerika Latin dan Afrika yang nyaris mengalami stagnasi (kemacetan). Ketika antara tahun 1950 hingga 1960 perekonomian dunia mengalami pertumbuhan sangat pesat ber¬kat ekspansi luar biasa dalam output produksi dan transaksi perdagangan internasional, pendapatan per kapita negara-nega-ra Afrika tidak banyak berubah, sedangkan Amerika Latin hanya mengalami sedikit peningkatan. Selisih antara data tahun 1950 dan 1960 nampaknya juga dapat mencerminkan kenyataan se¬derhana bahwa jumlah negara yang diliput sudah bertambah banyak. Meskipun tadi dikatakan bahwa data dari Tabel 3.4 mendukung teori kesenjangan, bukan berarti lantas teori kesen¬jangan itu harus diterima, karena tidak semua fakta yang terung¬kap mendukungnya, bahkan ada yang bertentangan dengannya.
Selama periode 1950-an, semua negara yang digolongkan seba¬gai negara kaya mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi (kecuali Australia dan Selandia Baru yang pertumbuhan ekonomi¬nya sedang-sedang saja). Lonjakan GDP per kapita (hingga 100%) terjadi di Jepang. Mayoritas negara Eropa juga mengalami peningkatan pendapatan per kapita secara pesat (meskipun tidak sefantastis Jepang), terutama Jerman Barat, spanyol, Portugal, Italia dan Jerman Timur.
Sejumlah negara Asia sangat sulit meningkatkan pendapatan per kapitanya, terutama disebabkan oleh pesatnya pertambahan penduduk selama dasawarsa 1950-an. Banyak pula negara Asia yang masih berkutat dengan masalah kemiskinan absolut, meskipun garis atau batas kemiskinan yang mereka tetapkan berlainan satu sama lain. Sebagai contoh, Burma (Myanmar) menyatakan sebagai orang miskin mereka yang pendapatannya kurang dari $306 pertahun; sementara itu Indonesia menetapkan batas $480, sedangkan Pakistan $558. Ada satu kesamaan di antara ketiga negara ini, yakni mereka menghadapi masalah ledakan penduduk yang serius. Meskipun demikian, ada beberapa negara Asia yang mengalami kemajuan pesat sehingga pendapatan per kapitanya melebihi angka pendapatan per kapita minimum negara OECD. Sebagai contoh, Iran mencapai$1.839, Singapura $1.528, Suriah $1.234, dan Malaysia $1.103.
Sejak tahun 1960, Afrika sudah tidak bisa disejajarkan lagi dengan Asia maupun Amerika Latin karena kawasan itu makin tertinggal. Negara-negara Afrika benar-benar memenuhi citra negara Dunia Ketiga yang rata-rata pendapatan per kapitanya tidak pernah melampaui rata-rata pendapatan perkapita kawasan lainnya. Banyak negara Afrika yang tidak kunjung berhasil me¬ningkatkan pendapatan per kapita dari angka minimum. Malawi, misalnya, hanya $237. Demikian pula dengan Rwanda ($244), Sierra Leone ($281), Zaire ($314), dan Kenya ($470). Tingkat pendapatan yang lumayan tinggi hanya dapat dijumpai di negara¬-negara Afrika Utara (Aljazair, $1.302; Tunisia, $852) dan bebera¬pa negara bekas koloni Portugis (Angola $880; Mozambique, $798).
Berdasarkan perbandingan data tahun 1950 dan 1960, ternya¬ta teori kesenjangan gagal memprediksikan besarnya selisih pendapatan perkapita antara Afrika dan Amerika Latir. Beberapa negara Amerika Latin mampu bersaing tidak hanya dengan nega¬ra-negara komunis, tapi juga dengan negara-negara OECD. Angka tertinggi di kawasan itu dicatat oleh Venezuela ($5.308), Uruguay ($3.271), Argentina ($3.091) dan Chili ($2.932).
Dasawarsa 1960-an juga ditandai dengan pesatnya pertum¬buhan perekonomian dunia, dan beberapa negara berhasil meng¬gapai laju pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan. Tingkat pertumbuhan ekonomi hingga 3-4% bukanlah sesuatu hal yang luar biasa pada waktu itu; bahkan banyak negara yang pertum¬buhan ekonominya lebih tinggi lagi. Lantas apa pengaruh kema¬juan perekonomian dunia ini terhadap distribusi pendapatan antar negara? Apakah prediksi teori kesenjangan (selisih penda¬patan antara negara kaya dan miskin terus meningkat) terbukti untuk periode itu?
Sebagian data tersebut membuktikan prediksi teori kesenjangan. Ternyata perkembangan pesat perekonomian dunia berhasil dimanfaatkan hanya oleh sebagian negara saja. Pendapatan per kapita OECD dan Blok Komunis (kecuali RRC yang digolongkan sebagai negara Asia) semakin jauh meninggalkan pendapatan per kapita Amerika Latin, apalagi Afrika. Afrika, kecuali Afrika Utara, semakin tertinggal dari kawasan-kawasan lain.
Sebagian data lainnya menyanggah prediksi teori kesenjang¬an, khususnya data pembangunan yang sangat mengesankan dari beberapa negara Asia yang kemudian sering disebut sebagai macan atau naga kecil Asia seperti Singapura, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan, dan Malaysia (kemudian disusul oleh Thailand dan Indonesia). Negara-negara itu sejak tahun 1950-an berhasil memasuki apa yang oleh Rostow disebut sebagai tahap¬an tinggal landas (take-off stage), yakni suatu tahapan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi sehing¬ga memungkinkan negara-negara yang bersangkutan mengejar ketertinggalannya dari negara-negara paling maju (Rostow,1960). Naga-naga kecil itu mengulang sukses luar biasa di bidang eko¬nomi. (meskipun dalam kadar yang sedikit lebih rendah) yang pernah dialami Jepang. Jepang sendiri terus mengalami kemajuan pesat; jika di tahun 1960 pendapatan per kapitanya $2.239, maka pada tahun 1970 jumlahnya sudah mencapai $5.496! Seka¬rang gambaran apa yang muncul jika kita bandingkan data tahun 1970 dengan data tahun 1980? Apa yang akan "dikatakannya" mengenai prediksi teori kesenjangan? Perbandingan ini sangat menarik, karena tidak seperti periode-periode sebelumnya, pada dekade 1980-an perekonomian dunia mengalami kemerosotan, bahkan sempat terjerembab ke dalam resesi yang berkepanjang¬an.
Resesi perekonomian dunia, yang antara lain diakibatkan oleh serangkaian krisis minyak, tidak banyak mengubah pola distribusi pendapatan per kapita antar kawasan yang berkembang sejak tahun 1950-an. Kenaikan angka rata-rata pendapatan per kapita kelompok negara OECD dan Blok Komunis terus berlanjut sela¬ma periode 1970-an. Yang perlu dicatat mungkin adalah menge¬cilnya variasi internal dalam kedua kelompok negara tersebut. Artinya, variasi atau selisih pendapatan per kapita antarnegara dalam kedua kelompok negara itu makin kecil. Ini ditunjukkan dengan terus berkurangnya angka CV-nya sejak tahun 1950 hingga tahun 1980.
Sementara itu angka CV ketiga kelompok negara berkembang sebaliknya justru terus meningkat sejak tahun 1950 hingga 1980. Itu berarti variasi internal dalam masing-masing kelompok terus membesar dari waktu ke waktu. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan dari adanya dua kecenderungan yang berlawanan ini adalah, kita harus semakin hati-hati dalam membandingkan tingkat kemakmuran "Dunia Ketiga" dengan "Dunia Kaya". Klasi-fikasi ini mungkin sudah waktunya disesuaikan. Banyak negara Asia yang semula merupakan negara berkembang sudah tumbuh demikian pesatnya, jauh meninggalkan rekan-rekannya di Afrika dan Amerika Latin, dan mereka makin berani dan mampu menya¬ingi negara-negara termaju.
Kecenderungan yang berlangsung pada awal 1980-an mengisya¬ratkan adanya perombakan pola perkembangan yang telah ber¬langsung sejak tahun 1950 hingga 1980. Pendapatan per kapita beberapa negara mengalami kemerosotan (penurunan riil dan absolut), dan umumnya negara yang mengalami peristiwa me¬nyedihkan itu adalah negara-negara Amerika Latin dan Afrika. Variasi atau selisih pendapatan per kapita antar kelompok negara menjadi semakin tajam; dan hal ini menandakan bahwa dampak kelesuan perekonomian dunia terhadap suatu negara ternyata berbeda dengan yang diterima atau dialami oleh negara-negara lain (dampaknya tidak merata).
Berdasarkan data tahun 1985, kita bisa membuat evaluasi yang lebih definitif atau pasti terhadap teori kesenjangan. Implikasi pokok yang dikemukakannya adalah bahwasanya jurang perbe¬daan atau selisih pendapatan per kapita antara kelompok negara Utara yang kaya dan kelompok Selatan yang terdiri dari Negara-¬negara berkembang akan terus melebar dari waktu ke waktu. Bila yang dikatakan kelompok kaya itu adalah negara-negara komunis dan OECD, serta yang menjadi kelompok miskin adalah negara¬-negara Afrika dan Amerika Latin, maka pernyataan teori kesen¬jangan tersebut memang benar. Tapi jika yang disebut kelompok miskin adalah semua negara berkembang, maka, teori itu salah, karena banyak negara berkembang yang mampu mengejar keter¬tinggalannya dalam soal pendapatan per kapita dari negara¬-negara maju.
Hingga tahun 1980, negara-negara komunis masih mampu mengelola perekonomian mereka yang serba terencana secara terpusat itu untuk mempertahankan jarak ketertinggalannya dari perekonomian kapitalis milik negara-negara OECD. Seandainya saja kita sudah memiliki data-data terbaru hingga akhir 1980-an dan awal 1990-an, kita akan memiliki landasan empiris yang kokoh untuk memprediksikan bahwa jarak antara kelompok OECD dan komunis itu semakin melebar; dalam kalimat lain, meskipun kelompok negara komunis itu masih mampu mengembangkan perekonomiannya, semakin terbukti mereka tidak sanggup atau mampu menyaingi kemajuan ekonomi kelompok negara OECD. Kemerosotan pendapatan per kapita yang dialami Polandia dari $5.006 di tahun 1980 menjadi $4.913 pada tahun 1985 mewakili kecenderungan umum yang tengah bergulir di kalangan negara¬-negara Eropa Timur. Perekonomian mereka semakin tertekan akibat terjadinya gelombang pemogokan dan kerusuhan politik yang silih berganti selama pertengahan 1980-an.
Sebenarnya di kalangan negara-negara OECD juga terdapat semacam pemisahan utara-selatan; bagian utara umumnya lebih makmur daripada bagian selatan, kecuali Inggris dan Irlandia. Jepang ($9.447) sejak tahun 1985 telah melampaui Australia ($8.850) dan Selandia Baru ($8.000); bandingkan angka ini de¬ngan angka tahun 1950. Saat itu pendapatan per kapita Jepang hanya $1.129, sedangkan Australia mencapai $4.331 dan Selan¬dia Baru $4.531. Seandainya Jepang tetap dikategorikan sebagai negara berkembang, maka teori kesenjangan mendapat tambah an satu ujian berat yang mungkin tak bisa dilaluinya. Pada tahun 1985, angka rata-rata pendapatan per kapita kelompok Negara OECD sudah tiga kali lipat lebih besar dibandingkan angka rata¬-rata Amerika Latin, dan sebelas kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata Afrika.
Sejak 1970, banyak negara Afrika mengalami pertumbuhan ekonomi negatif (secara riil, perekonomiannya mengalami keme¬rosotan di berbagai bidang). Angka rata-rata pendapatan per kapitanya antara tahun 1980 hingga 1985 juga turun, yakni dari $722 menjadi $709. Secara umum perekonomian dari negara¬-negara Afrika mengalami kesulitan yang berkepanjangan, kecuali negara-negara Afrika Bagian Utara. Pendapatan per kapita nega¬ra-negara itu relatif paling tinggi (kecuali bila dibandingkan dengan Afrika Selatan yang sangat kaya dengan tambang mineral berhar¬ga itu). Sebagai contoh, Aljazairdi tahun 1980 memiliki pendapatan per kapita sebesar $1.998, Tunisia $1.845, serta Mesir $995. Kecenderungan umum yang sama buruknya dialami oleh negara-negara Amerika Latin. Rata-rata pendapatan per kapitanya turun dari $2.882 di tahun 1980 menjadi $2.616 pada tahun 1985. Negara-negara Amerika Latin dan Afrika inilah yang agaknya merupakan negara-negara berkembang yang paling terpukul oleh resesi perekonomian dunia di awal 1980-an. Sedemikian kuatnya pukulan itu sehingga sampai sekarang pun mereka masih tertatih¬-tatih dan belum mampu memulihkan kinerja ekonominya secara optimal.
Kecenderungan selanjutnya atas pendapatan per kapita di negara-negara Asia semakin menyudutkan teori kesenjangan. Meskipun perekonomian dunia merosot, angka rata-rata penda¬patan per kapita negara-negara Asia terus menujukkan pening¬katan. Bila pada tahun 1970 angkanya $1.418, maka pada tahun 1980 telah menjadi $2.164, dan di tahun 1985 meningkat lagi menjadi $2.581. Jika pada tahun 1950-an angka mereka hanya seperenam dari angka OECD, maka di pertengahan 1980-an nilainya sudah sepertiga. Namun peningkatan pendapatan per kapita yang pesat ini tidak berlangsung merata di antara segenap negara Asia (ingat, Jepang tidak termasuk kategori negara Asia, melainkan OECD), dan variasi internal ini terus meningkat sejak tahun 1970 hingga 1985.
Yang menjadi lokomotif adalah negara-negara industri baru Asia seperti Singapura, Taiwan, Malaysia dan Korea Selatan. Tidak relevannya lagi pengelompokkan Dunia Ketiga nampak sangat jelas bila kita bandingkan negara-negara industri baru yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dengan beberapa negara Asia lainnya yang pertumbuhan ekonominya relatif lambat karena digayuti oleh jumlah penduduk yang sangat besar seperti India, Pakistan dan Bangladesh. Setelah melaksa¬nakan pembangunan ekonomi selama tiga puluh lima tahun, Negara-¬negara ini belum berhasil menaikkan standar hidup rakyatnya secara keseluruhan, karena aspek pemerataan kesejahteraan sering terpaksa mereka korbankan demi memacu pertumbuhan ekonomi. Tapi yang jelas teori kesenjangan telah gagal mempre¬diksikan terjadinya ketimpangan pendapatan yang begitu besar antara negara-negara berkembang di Asia. Bila Singapura berha¬sil mencapai pendapatan per kapita sebesar $9.834, Taiwan $2.581, dan Iran $ 3.922, sementara India hanya $750, dan Birma $557.
Perkembangan di Afrika dan Amerika Latin, meskipun berla¬wanan arah dengan kecenderungan di Asia, juga turut menyudut¬kan teori kesenjangan. Antara tahun 1960 hingga 1985 memang ada sedikit peningkatan pendapatan per kapita di beberapa nega¬ra seperti Nigeria (dari $552 menjadi $581), Argentina (dari $3.091 menjadi $3.486) dan Uruguay (dari $3.271 menjadi $3.486). Namun gambaran umum yang ada adalah stagnasi atau bahkan kemerosotan, termasuk negara-negara yang semula sudah memiliki pendapatan per kapita yang relatif tinggi seperti Vene¬zuela (dari $5.308 menjadi $3.548). Yang semula miskin banyak yang bertambah miskin, seperti Zaire (dari $314 menjadi 210) atau Zambia (dari $740 menjadi $584). Sedangkan yang mengalami kemajuan pesat juga ada, tapi jumlahnya bias dihitung dengan jari; misalnya Tunisia (dari $852 menjadi $2.050), Aljazair (dari $1.302 menjadi $ $2.142), Mesir (dari $496 menjadi $1.188), Brazil (dari $991 menjadi $ $3.282), dan Ekuador (dari $1.143 menjadi $2.387). Selisih yang paling mencolok di kalangan negara Dunia Ketiga tidak terjadi pada peningkatan pendapatan per kapita, melainkan laju (kecepatan) pertumbuhan atau pembangunan ekonomi. Polanya sendiri sangat kompleks dan cenderung berfluktuasi sehingga ungkapan yang kaya makin subur makmur dan yang kere makin jadi gembel bukannya memperjelas permasalahan, malahan makin mengeruhkannya. Demikian pula halnya dengan aneka dikotomi seperti Utara lawan Selatan, OECD-Komunis (Dunia Pertama dan Dunia Kedua) lawan negara-negara berkem¬bang (Dunia Ketiga), dan sebagainya. Mungkin sebaiknya kita tanggalkan saja aneka klasifikasi atau diktum yang tidak relevan dan tidak jelas itu. Barangkali dengan demikian persoalannya menjadi lebih jernih dan lebih mudah dipelajari.
TINGKAT RATA-RATA PERTUMBUHAN EKONOMI
Analisis tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi perlu kita tambah¬kan untuk menyempurnakan fokus kita di atas mengenai selisih tingkat kelimpahan atau kemakmuran di berbagai negara. Cepat¬ lambatnya laju pertumbuhan atau kemajuan pembangunan ekonomi bisa diukur melalui beberapa indikator. Disini kita akan menerapkan tolok ukur GDP riil per kapita yang disusun oleh Summers dan Heston serta data-data GNP yang dikumpulkan oleh Bank Dunia sebagai acuan penghitungan tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Perlu dikemukakan sebe¬lumnya bahwa pemakaian data GDP per kapita untuk mengukur pertumbuhan ekonomi mengharuskan kita memperhitungkan perubahan jumlah penduduk. Logikanya sederhana saja. Suatu negara yang total produksinya meningkat pesat belum tentu memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, karena kenaikan produksinya itu terkikis oleh lonjakan jumlah penduduknya.
Teori kesenjangan secara implisit juga telah mereka-reka pola pertumbuhan ekonomi yang khas untuk setiap kelompok negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan dari suatu negara bisa dipengaruhi oleh faktar-faktor jangka pendek, atau hal-hal yang sifatnya mendadak (misalnya perubahan kebijakan pemerintah secara tiba-tiba). Namun di sini kita akan berfokus pada pola atau kecenderungan pertumbuhan berjangka panjang. Seandainya selisih pendapatan keseluruhan antara negara-negara OECD dan komunis di satu pihak dengan negara-negara berkembang di lain pihak terus meningkat, tentunya tingkat pertumbuhan ekonomi OECD-komunis selalu lebih tinggi. Apakah kenyataannya memang demikian? Simaklah data GNP perkapita dalam Tabel3.12. Konsep GNP mengukur segenap total output di dalam dan di luar negeri yang faktor-faktor produksinya dimiliki oleh warga negara (perusahaan atau perorangan). Atau, GNP itu juga sama dengan GDP plus pendapatan faktorial neto (pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan faktor-faktor produksi) dari luar negeri.
Pertumbuhan ekonomi tahunan mencerminkan berbagai faktor temporer yang menaikkan atau menurunkan laju pembangunan ekonomi. Kita sengaja berfokus pada tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi jangka panjang untuk melihat kecepatan fluktuasi tahunannya.Tingkat pertumbuhan ekonomi sangat bervarasi, dari suatu negara ke Negara-negara lainnya. Namun apakah variasi itu sesuai dengan apa yang diprediksikan oleh teori kesenjangan?
Angka rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi dari semua kelompok negara pada periode 1965-1985 nampak amat bervariasi. Tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara OECD dan Komunis (Dunia Pertama dan Dunia Kedua) memang Iebeh tinggi dari pada tingkat pertumbuhan negara-negara Amerika Latin dan Afrika (Dunia Ketiga), sebagaimana ditegaskan oleh teori kesen¬jangan. Namun ini tidak berarti teori itu lantas berlaku sepenuhnya, karena teori tersebut diliputi kelemahan fatal, yakni kegagal¬annya memprediksikan kenyataan bahwa tingkat pertumbuhan negara-negara Asia (oleh teori itu juga dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga) masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi kelompok negara mana pun, terma¬suk OECD.
Kelompok negara berkembang itu sama sekali bukan kesatuan yang homogen, apalagi berkenaan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Tingkat pertumbuhan ekonomi antarnegara berkem¬bang (yang diklasifikasi menjadi tiga bagian berdasarkan kawas¬an, yakni Asia, Afrika dan Amerika Latin) berbeda-beda satu sama lain. Sekarang mari kita simak dahulu variasi tingkat pertumbuhan di antara negara-negara berkembang dari tahun 1970 hingga tahum 1985 (periode di mana perekonomian dunia tidak tumbuh sebaik periode-periode sebelumnya).
Angka rata-rata (mean) tingkat pertumbuhan negara-negara OECD pada periode 1970-1985 mencapai 2,7%.Itu berarti mereka kalah dibandingkan dengan beberapa negara berkembang di Asia. Memang, jumlah negara berkembang yang tingkat pertumbuhan GNP per kapitanya lebih rendah dari OECD tidak kalah banyak¬nya, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa teori kesenjangan kembali mengalami kegagalan. Oleh karena itu, kita memerlukan teori lain yang mampu menjelaskan fenomena negara-negara industri baru (NICs) dan memiliki pola argumentasi yang berbeda dari teori kesenjangan. Untuk periode berikutnya (dasawarsa 1990-an dan selanjuinya), anda harus cermat mengamati kemunculan naga-naga baru, khususnya Indonesia dan Thailand.
KUALITAS KEHIDUPAN
Pembangunan ekonomi atau sosio ekonomi selalu diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan yang positif seperti peningkatan riil atau berbagai macam output (berupa barang atau jasa), yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kemakmuran atau kesejahteraan materiil segenap penduduk negara yang bersangkutan. Muatan nilai yang terkandung dalam konsep pembangunan cukup eksplisit dan gamblang. Jadi istilah negara membangun atau negara berkembang (developing country) sebe¬narnya berarti sebuah negara yang kondisinya terus membaik secara bertahap. Namun sampai disitu saja kesepakatan para ahli mengenai pembangunan. Selebihnya, apalagi menyangkut konsep-konsep rinciannya, yang ada adalah perdebatan yang berkepanjangan sehingga makin mengaburkan esensi yang hendak digali. Bagaimana cara mengukur keberadaan serta tinggi ren¬dahnya kesejahteraan di suatu negara, atau faktor-faktor apa saja yang paling mempengaruhi proses pembangunan, merupakan topik perdebatan seru yang nyaris tidak berujung. Disini kita akan membicarakan dua argumen pokok yang saling bertentangan.
Kadang-kadang, indikator ekonomi yang sederhana, seperti tingkat atau laju pertumbuhan GDP, digunakan untuk mengana¬lisis tingkat kesejahteraan di suatu masyarakat. Pada dasarnya ada dua macam argumen yang saling bertentangan. Argumen pertama menyatakan bahwa sebuah indikator sederhana seperti GDP per kapita tidak memadai untuk digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan individu. Karena apa yang dinamakan kese-jahteraan itu juga termasuk faktor-faktor lain seperti kesehatan, tersedianya lapangan pekerjaan, kebutuhan perumahan, dan sebagainya yang tidak tercakup oleh konsep GDP per kapita. Dengan demikian argumen ini menyarankan diperhatikannya indikator-indikator sosial dalam pengertian yang luas. Sementara itu argumen yang kedua menyatakan bahwa yang paling penting bukanlah keseluruhan volume atau tingkat pertumbuhan GDP, melainkan distribusinya di antara segenap kelompok sosial di masyarakat; itu berarti argumen ini lebih mementingkan peme¬rataan pendapatan daripada pertumbuhan ekonomi semata. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk merumuskan indeks-in¬deks kompleks yang lebih mampu mengukur kesejahteraan sosial secara lebih lengkap. Sebagai contohnya adalah Indeks Kualitas Hidup secara Fisik (Physical Quality of Life Index) dan Tingkat Pengurangan Ketimpangan Pendapatan (Disparity Reduction Rate) yang mencoba mengukur perubahan (kemajuan atau penurunan) kualitas hidup secara fisik (materiil) dari waktu ke waktu (Morris, 1979; Pourgerami, 1989). Pertumbuhan pendapatan nasional juga bisa digunakan sebagai tolok ukur, namun ia tidak cocok dipakai untuk mengukur tingkat kemakmuran di negara-negara miskin (karena menimbulkan kerancuan yang bersumber dari ter¬abaikannya aspek pemerataan oleh konsep tersebut). Untuk mengetahui kondisi kesejahteraan di negara-negara miskin, serta untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatannya, indeks yang paling lazim diterapkan adalah Indeks Gini.
Kita tidak perlu terpaku pada salah satu argumen, karena pembangunan sosio ekonomi itu sendiri memang bisa dipelajari melalui berbagai sudut pandang dan pendekatan. Yang menjadi masalah adalah sejauh mana indeks-indeks atau tolok ukur yang ada itu baik yang berdimensi sosial maupun ekonomi mampu mencerna data yang ada dari sekitar tujuh puluh lima negara? Sebenarnya apa hubungan pokok antara tingkat kelimpahan secara agregat (secara keseluruhan atau secara nasional) de¬ngan distribusi pendapatan? Dalam rangka menjawab pertanya¬an-pertanyaan ini kita akan menggunakan serangkaian indikator yang diuraikan pada Lampiran 3.1.
Kesulitan yang kita hadapi dalam membandingkan kondisi kemakmuran dan tingkat perubahannya di berbagai negara biasa¬nya itu-itu juga; hampir semua analis pasti pernah menghadapinya (Kuznets,1966). Kesulitan yang pertama adalah sukarnya mem¬peroleh data yang memadai dari setiap negara. Data dari sejumlah negara yang paling "baru" biasanya sudah kadaluwarsa; kita sudah cukup beruntung bila memperoleh data lengkap mengenai kondisi yang ada sepuluh tahun yang lampau. Biasanya, seri data longitudinal lebih sulit diperoleh dan diolah daripada data-data silang (croos sectional). Kesulitan interpretasi dan komparasi merupakan kesulitan kedua (Meier,1984; Thirlwall,1986). Bagai¬mana kita bisa tahu bahwa indikator-indikator itu mengukur feno¬mena yang sama? Sementara itu kelemahan validitas dan kehan¬dalan indikator-indikator tersebut acapkali diperberat dengan berbagai hambatan kultural. Artinya indicator tertentu yang meng¬ukur suatu dimensi dalam suatu konteks tidak bisa ditransfer begitu saja ke konteks lain dengan intepretasi yang sama. Masa-lah-masalah yang menyangkut data ini sangat menyulitkan upaya perbandingan kondisi antarnegara. Untunglah kita masih bisa melakukan analisis tingkat pertumbuhan atau tingkat kemajuan pembangunan ekonomi.
Sebenarnya kita masih bisa mempertanyakan kesahihan data kemakmuran berbagai negara berikut perbandingannya, meng¬ingat indikator-indikator yang diterapkan bermacam-macam. Bi¬sakah kita berkesimpulan bahwa selisih pendapatan per kapita (yang diukur berdasarkan angka-angka GDP) identik dengan selisih standar hidup? Konsep kemakmuran materiil atau kesejah¬teraan sosial itu sendiri sesungguhnya merupakan konsep yang agak abstrak sehingga sulit diukur secara kuantitatif dengan memakai indikator apa pun. Namun sedapat mungkin kita harus mencari indikator-indikator sosial yang sedikit banyak relevan untuk mengukur tingkat kesejahteraan, meskipun mungkin diser¬tai dengan banyak penyederhanaan. Ada pun indikator-indikator yang akan kita gunakan adalah: tingkat kematian bayi, jumlah dokter dibandingkan dengan jumlah penduduk, konsumsi energi, panjang usia atau harapan hidup rata-rata penduduk, tingkat melek huruf, tingkat pendidikan, jumlah kepemilikan telepon, TV, GDP per kapita (1980), serta kecukupan gizi atau kalori per kapita.
Pernyataan bahwa keterbelakangan merupakan sasaran uta¬ma yang hendak dienyahkan oleh setiap negara mengisyaratkan bahwa terdapat keterkaitan yang cukup kuat antara indikator¬-indikator tersebut (satu sama lain saling mendukung). Teori pem¬bangunan juga mengatakan bahwa indikator pendapatan per kapita sangat erat hubungannya dengan berbagai indikator sosial. Penemuan-penemuan yang dimunculkan oleh analisis faktor tersebut membuktikan adanya elemen-elemen baku yang mengaki¬batkan keterbelakangan, dan hal itu diperlihatkan oleh kuatnya keterkaitan antara segenap indikator diatas. Negara-negara yang tingkat kelimpahannya rendah (diukur berdasarkan angka GDP per kapitanya), kondisi kesejahteraannya yang diukur berdasar¬kan indikator-indikator tersebut biasanya semuanya juga rendah. Namun ada juga beberapa indikator yang tidak sejalan dengan gambaran umum yang ditampilkan oleh keseluruhan indikator. Indikator kepemilikan TV, radio dan telepon acapkali menyimpang dari gambaran umumnya (misalnya, angka kepemilikan TV atau telepon di suatu negara miskin cukup tinggi, padahal "seharusnya" rendah). Tapi kenyataan ini tidaklah lantas harus diartikan bahwa semua negara bisa dibagi menjadi dua kelompok yang homogen, yakni kelompok negara miskin dan kelompok negara kaya seperti diungkapkan oleh teori kesenjangan.
KURVA KUZNETS
Rakyat suatu negara yang memiliki GDP per kapita lebih tinggi daripada negara-negara lain belum tentu menikmati tingkat kese¬jahteraan sosial yang juga lebih tinggi secara merata. Indikator tingkat kelimpahan atau kemakmuran ekonomi (GDP per kapita) tidak bisa mengungkapkan kondisi distribusi pendapatan. Teori Kuznets yang muncul pada tahun 1955 sangat mengejutkan karena isinya yang kontroversial: peningkatan kelimpahan ekono¬mi menimbulkan dampak kontradiktif terhadap distribusi penda¬patan (Kuznets,1955). Artinya, semakin tinggi tingkat pertumbuh¬an ekonomi di suatu negara, akan semakin terabaikan pemerata¬an kesejahteraannya. Namun Kuznets kemudian melengkapi uraiannya dengan penjelasan yang melegakan. Menurut Kuznets, begitu suatu negara mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi, maka selisih pendapatan di kalangan warganya akan menajam (distribusi pendapatan semakin timpang); tapi itu hanya pada awalnya saja. Lambat laun selisih pendapatan akan mengecil sehingga pada akhirnya pemerataan kesejahteraan pun tercipta. Perkembangan distribusi pendapatan ini bisa digambarkan sebagai huruf U (selanjutnya lazim disebut sebagai Kurva Kuznets). Hipotesis serupa juga dikemukakan oleh Gunnar Myrdal (1957), Albert Hirschman (1958), serta Taylor dan Arida (1988).
Berbagai penelitian sudah dilangsungkan untuk membuktikan teori Kuznets, namun sampai sekian jauh belum memberi hasil yang konklusif (McCormick, 1988). Kesulitan pengujian atas teori ini antara lain bersumber dari kurangnya data yang memadai dari sebagian negara sehingga tidak memungkinkan dilakukannya telaah komparatif mengenai distribusi pendapatan. Banyak indi¬kator yang telah dicoba, namun data silang dan longitudinal yang tersedia kurang mencukupi. Kekaburan juga menyelimuti interaksi antara kedua entitas tersebut (pertumbuhan ekonomi dan peme¬rataan pendapatan). Nampaknya, tingkat pertumbuhan ekonomi, baik itu yang tinggi maupun yang rendah, memberi dampak yang sama saja terhadap distribusi pendapatan; sedangkan kondisi distribusi pendapatan yang berbeda (merata atau tidak merata) memberi dampak yang berlainan terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. Kita juga masih harus memperhatikan pengaruh faktor¬-faktor lain, misalnya kebijakan pemerintah, terhadap keduanya. Kita sebenarnya juga belum tahu secara pasti data apa yang sesuai untuk menguji teori Kuznets, data silang atau longitudinal (Bigsten, 1987).
Rangkaian data yang akan kita gunakan di sini tidak memung¬kinkan penerapan teori Kuznets secara ketat; tapi teori ini tetap akan kita terapkan guna mengungkap aspek-aspek tertentu dari hubungan antara tingkat kelimpahan dan pemerataan pendapat¬an. Pengaitan kedua entitas tersebut menunda saat bagi kita untuk menarik suatu kesimpulan mengenai arah atau karakter interaksinya. Dalam analisis, pemerataan pendapatan (atau ting¬kat ketimpangan pendapatan) diukur dengan Indeks Gini, sedang¬kan tingkat kelimpahan, seperti biasanya, diukur berdasarkan angka GDP riil per kapita. Data untuk Indeks Gini berasal dari tahun 1970-an (apa boleh buat, karena data terbaru mengenai pemerataan pendapatan di semua negara yang kita liput sangat sulit diperoleh), sedangkan data GDP riil per kapita sudah dikum¬pulkan dan diolah oteh Summers dan Heston (1984). Semakin basar angka Indeks Gini, berarti semakin buruk ketimpangan pemerataan pendapatan di suatu negara atau masyarakat.
Berdasarkan kajian yang sudah dilakukan terhadap hubungan antara angka rata-rata GDP riil per kapita dengan tingkat ketim¬pangan pendapatan, terungkap adanya hubungan negatif di anta¬ra keduanya (ini ditunjukkan dengan r = 0,66); seandainya me¬mungkinkan, kita perlu mengadakan pengujian nonlinier yang bisa memunculkan hasil yang lebih jelas dan rinci (Ahluwalia, 1976; Weede,1980). Dalam kalimat lain, hasil analisis di atas menunjuk¬kan bahwa semakin besar pendapatan per kapita suatu negara, akan semakin merata pendapatan masyarakatnya (tingkat ketim¬pangannya makin rendah). Sejauh mana keterkaitan antara hasil analisis dengan Kurva U Kuznets, masih harus ditelaah melalui serangkaian penelitian yang lebih mendalam (Adelman dan Robinson, 1989).
Meskipun tingkat ketimpangan pendapatan antara Negara-negara berkembang, misalnya antara Brazil dan Pakistan, sangat bervariasi, kita masih berpegang kepada hipotesis yang mene¬gaskan bahwa semakin tinggi pendapatan per kapita suatu nega¬ra, tingkat ketimpangan pendapatannya semakin rendah (jadi pendapatan masyarakatnya semakin merata). Kebenaran kesim¬pulan ini bisa kita pastikan kalau kita mengamati kondisi pemera-taan pendapatan di negara-negara miskin dan kaya. Secara sekilas, pemerataan pendapatan di negara-negara miskin lebih baik daripada yang ada di negara-negara agak kaya atau yang tengah mengalami pembangunan pesat (tentu saja, karena mayoritas penduduk negara miskin, ya miskin semua!). Tapi jika kita beranjak ke negara-negara yang makmur, terlihat bahwa kondisi pemerataan lebih baik daripada yang ada di kedua jenis negara sebelumnya. Secara umum, pemerataan pendapatan cenderung membaik jika tingkat kesejahteraan di negara semakin tinggi. Pada tahun 1950-an Kuznets sudah melontarkan adanya kenyataan semacam itu; ternyata data tahun 1970-an mendukung kebenaran Kurva Kuznets (lihat Gambar 3.1).
Pengujian silang (cross-sectional test) terhadap teori Kuznets akan lebih baik jika disertai dengan pengujian longitudinal. Sering dikatakan bahwa ketimpangan pendapatan di sejumlah negara tertentu, seperti Brazil dan India, terus saja memburuk meskipun tingkat kemakmurannya secara nasional meningkat (Mathur,1983; de Carvalho dan Wood, 1980). Karena dalam waktu bersamaan negara-negara itu juga melangsungkan pembangunan ekonomi, kita tetap bisa menegaskan bahwa Kurva Kuznets tetap sesuai dengan data-data mengenai keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Gambar 3.2 mencoba memperlihatkan tingkat ketimpangan pendapatan dengan angka rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode antara 1960 hingga 1980.
Meskipun cukup sahih, Kurva Kuznets juga mengandung kelemahan dan validasinya (keberlakuannya) juga terbatas. Ternyata sampai batas tertentu, perkembangan ketimpangan pendapatan tidak dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kita tidak bisa memprediksikan secara pasti variasi ketimpangan pendapatan antarnegara atau antarperiode hanya dengan mengandalkan data tingkat pertumbuhan ekonomi sema¬ta. Pada Gambar 3.2 secara implisit diperlihatkan bahwa data pertumbuhan ekonomi 1960-80 befum cukup untuk menjelaskan perkembangan ketimpangan pendapatan dalam periode yang sama. Di berbagai negara kita sering menemui kasus-kasus ekstrim. Sebagai contoh, Zambia, tingkat pertumbuhan ekonomi¬nya rendah dan kondisi pemerataan pendapatannya buruk. Sementara itu di Peru, pemerataan pendapatannya cukup baik meskipun tingkat pertumbuhan ekonominya juga rendah. Se¬dangkan Brazil, meskipun tingkat pertumbuhan ekonominya ting-gi, pemerataan pendapatannya menyedihkan. Di Jepang, tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi, dan pemerataan pendapatan¬nya juga baik.
Adalah menarik untuk menjajagi kemungkinan terbaliknya Kurva Kuznetz; memungkinkan keterkaitan antara ketimpangan penda¬patan dan tingkat kelimpahan ekonomi itu menyerupai huruf U terbalik, jadi pertama-tama meningkat sampai titik tertentu lalu terus merosot? Bila kita menyimak data-data yang relatif paling baru, nampaknya ada kemungkinan bahwa ketimpangan penda¬patan memburuk begitu tingkat pendapatan nasional meningkat; namun secara keseluruhan, hubungan antara kedua entitas terse¬but tetap negatif (berbanding terbalik) semakin tinggi tingkat kemakmuran atau kelimpahan nasional suatu negara, akan se-makin baik pemerataan pendapatan masyarakatnya. Oleh karena itu, terpeliharanya optimisme terhadap pembangunan ekonomi memang beralasan. Proses pembangunan ekonomi di berbagai kelompok negara (OECD, Blok Komunis, Kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin) memunculkan hasil yang sangat bervariasi dan menggoyahkan pemilahan tradisional antara Utara yang kaya dan Selatan yang miskin. Seperti telah disinggung pada paragraf-paragraf di atas, dikotomi Utara-Selatan itu lebih cenderung mengaburkan dari¬pada menjelaskan persoalan.
POLA-POLA PERDAGANGAN
Salah satu hipotesis yang terkandung dalam teori pembangunan menyatakan bahwa perdagangan internasional atau perdagang¬an antarnegara merupakan salah satu karakteristik utama atau salah satu unsur yang dapat membedakan negara maju dari negara berkembang. Teori Perdagangan Internasional secara implisit juga mengemukakan bahwa semakin banyak suatu nega¬ra terlibat dalam perdagangan dengan negara-negara lain, akan semakin terbuka perekonomiannya dan akan semakin besar peluang yang dimilikinya untuk mencapai kemajuan sosio ekono¬mi. Teori dasar Keuntungan Komparatif (Comparative Advantage Theory) yang dirumuskan oleh David Richardo sangat menekan¬kan penting dan perlunya perdagangan internasional. Melalui perdagangan internasional, setiap negara terdorong untuk me¬lakukan spesialisasi produktif sehingga efisiensi secara keselu¬ruhan akan meningkat (Yarbrough dan Yarbrough, 1988). Meski¬pun dewasa ini perdebatan mengenai potensi keuntungan dan ke¬rugian perdagangan internasional sudah melampaui model Richardo yang relatif sederhana (Lal, 1983; Bank Dunia, 1987), salah satu gagasannya yang fundamental tetap bertahan; yaitu, perdagangan internasional atau keterbukaan ekonomi merupa¬kan ciri utama negara yang memiliki tingkat kelimpahan atau angka rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Bhagwati dan Ruggie, 1984; Caves dan Jones, 1985; Choksi dan Papageorgiou, 1986; Chacholiades,1985; Pack, 1988; Bliss, 1989; Evans,1989). Benarkah bahwa aksentuasi pada institusi perdagangan interna¬sional merupakan ciri khas negara maju, sedangkan aksentuasi pada perekonomian dalam negeri merupakan ciri khas negara miskin? Mari kita uji gagasan sederhana ini dengan sebuah indikator yang khusus mengukur porsi perdagangan internasio¬nal dalam perekonomian suatu negara; yakni Indeks Impex, yakni proporsi impordan ekspor secara relatif terhadap GNP.
Ternyata tingkat keterbukaan ekonomi sangat bervariasi baik di kalangan negara kaya maupun miskin. Artinya, ada negara kaya yang tingkat keterbukaan ekonominya kecil (ia tidak banyak me¬lakukan perdagangan internasional, dan sebaliknya ada pula negara miskin yang perekonomiannya sangat terbuka (ia sangat aktif dalam kegiatan perdagangan internasional. Banyak negara kecil (tidak bisa dikategorikan sebagai negara kaya)di Eropa Barat yang perekonomiannya sangat terbuka, bahkan lebih terbuka dari pada Amerika Serikat maupunJepang. Kedua negaraterkaya di dunia saat ini, Jepang dan Amerika Serikat, justru sangat mengandalkan perekonomian dalam negeri. Pernyataan bahwa keterbukaan ekonomi (aksentuasi pada perdagangan internasi¬onal) merupakan ciri khas negara kaya agaknya hanya berlaku untuk Belanda, Belgia, dan, dalam kadar yang lebih rendah, Irlandia.
Sementara itu variasi di negara-negara berkembang bahkan lebih banyak lagi. Yang jelas, sulit untuk menerapkan pembedaan negara kaya-miskin berdasarkan tingkat keterbukaan ekonomi.
Pada kelompok negara berkembang, banyak negara yang tergolong kecil dan miskin tapi perekonomiannya sangat terbuka (sangat aktif dalam perdagangan antarnegara). Bahkan, caferis paribus, semakin kecil suatu negara (ingat, kecil tidak identik dengan miskin), ia akan semakin aktif dalam perdagangan inter¬nasional (Katzenstein,1985). Ini sangat masuk akal, karena suatu negara yang besar biasanya kaya dengan berbagai sumber daya ekonomi sehingga ia bisa relatif mandiri dan tidak terlalu tergan¬tung kepada perdagangan dengan negara-negara lain. Aktivitas luar biasa Singapura dalam perdagangan antar bangsa perlu mendapat catatan khusus, karena negara ini mampu membuktikan dogma kapitalisme bahwa perdagangan internasional dalam memacu pertumbuhan ekonomi negara yang, bersangkutan. Namun tidak semua negara memiliki prestasi sebaik Singapura. Meskipun perdagangan internasional memang membantu per¬tumbuhan ekonomi negara manapun. Akan tetapi, suatu negara tidak bisa berharap akan kaya mendadak hanya dengan aktif dalam perdagangan internasional. Dalam kalimat lain, perda¬gangan internasional itu memang penting tapi tidak mutlak me¬nentukan nasib suatu negara. Angka rata-rata Indeks Impex dari semua negara yang kita liput terus meningkat; bila di tahun 1960 angkanya adalah 53,0, maka pada tahun 1985 sudah naik menjadi 63,7. Turunnya angka Indeks Impex dari suatu negara menanda¬kan bahwa peran negara yang bersangkutan dalam perdagangan dunia mengalami penurunan. Tapi kasus ini jarang terjadi. Hampir semua negara, sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, semakin aktif dalam kegiatan-kegiatan perdagangan internasional.
Bila kita lakukan analisis varians, akan terungkap kenyataan bahwa pola-pola Indeks Impex sulit dikaitkan dengan pemilahan geografis. Artinya, kita sulit menyatakan bahwa kawasan tertentu selalu lebih aktif dalam perdagangan internasional dibandingkan kawasan-kawasan lain. Hal ini dikarenakan variasi aktivitas antar¬negara di tiap kawasan cukup tinggi (lihat Tabel 3.17). Angka rata¬rata Indeks Impex untuk kelompok negara OECD memang lebih tinggi daripada angka untuk kawasan lain, tapi kita tidak bisa menyimpulkan bahwa negara OECD cenderung lebih aktif dalam perdagangan internasional daripada negara-negara lain.
Adakah hubungan yang nyata antara tingkat keterbukaan ekono¬mi dengan indikator-indikator pokok pertumbuhan ekonomi dan angka rata-rata tingkat kelimpahan ekonomi? Di satu pihak, Bela Balasa sangat meyakini adanya hubungan kausalitas antara per¬tumbuhan ekonomi dan perdagangan internasional. Hal itu secara tegas dikatakan dalam bukunya yang berjudul Comparative Ad¬vantage Trade Policy and Economic Development (1989). Ada suatu teori yang disebut teori perdagangan tentang pertumbuhan ekonomi (trade theory of economic growth) yang menegaskan betapa pentingnya pola-pola perdagangan terhadap dinamika perekonomian suatu negara (Nurkse, 1961; Little, Scitovsky dan Scott, 1970; Kreuger,1978). Di lain pihak, terdapat argumen yang sebaliknya. Argumen ini menegaskan bahwa pertumbuhan eko¬nomilah yang menentukan pola-pola perdagangan (Johnson, 1958,1975; Sodersten, 1964; Ros, 1987).
Tabel 3.18 menyajikan kilasan korelasi data mengenai hu¬bungan antara pembangunan sosio ekonomi dan perdagangan. Pengujian ketat atas berbagai teori mengenai hubungan kausali¬tas (sebab akibat) dan resiprositas (timbal balik) antara perdagangan dan pertumbuhan ekonomi memerlukan analisis ekono¬metrik yang lebih canggih. Jika kita mempercayai pengukuran sederhana atas hubungan antara indeks-indeks yang menghitung perdagangan dan tingkat kelimpahan, maka kita tidak mendapati petunjuk mengenai adanya hubungan itu sama sekali. Tapi jika menggunakan analisis regresi dengan melibatkan lebih banyak faktor, maka gambaran yang muncul akan sangat berbeda. Hal itulah yang ingin kita cari dalam pembahasan ini.
PROSES PEMBANGUNAN
Teori-teori pembangunan sering membuat penggolongan negara maju dan berkembang. Negara-negara maju dikatakan telah melewati proses perubahan sosial, sehingga mereka beranjak dari masyarakat agraris yang miskin menjadi masyarakat industri yang makmur, hingga akhirnya menjadi negara kesejahteraan (welfare state). Menurut teori dan praktek dari tema modernisasi, pola perubahan sosial seperti itulah yang dianggap sebagai tujuan utama negara-negara miskin dalam menjalankan proses pemba¬ngunannya. Masalah kebijakan mendasar yang terkandung da¬lam strategi modernisasi adalah: bagaimana cara menciptakan atau merangsang perubahan yang diinginkan? Pengalaman his¬toris dari negara-negara ekonomi pasar serta pelajaran dari Uni Soviet dan Republik Rakyat China mengisyaratkan adanya dua macam tipe perubahan ideal yang dalam prakteknya bisa diga¬bung-gabungkan. Pembangunan Jepang dikategorikan sebagai pembangunan yang sangat ditentukan oleh pemerintah, sedang¬kan pembangunan yang dilaksanakan oleh China dewasa ini, paling tidak sampai sebelum terjadinya Tragedi Lapangan Tianan¬men (Pembantaian para mahasiswa demonstran penuntut demo¬krasi oleh tentara China) di tahun 1989 sering disebut-sebut sebagai sosialisme pasar.
Meskipun belum ada kesepakatan mengenai wahana dan tujuan utama pembangunan, yang jelas topik modernisasi cukup berhasil, dalam arti mendapat banyak perhatian dan berbagai negara tergerak untuk mencobanya. Namun perlu diingat bahwa kondisi dasar negara-negara berkembang itu tidaklah sama, sehingga keberhasilan mereka dalam melakukan modernisasi atau pun pembangunan juga bervariasi. Beberapa negara me¬mang berhasil melangsungkan perubahan sosial besar-besaran secara cepat, tapi banyak pula negara berkembang yang sangat sulit memperoleh kemajuan dari proses modernisasi yang dirintis¬nya. Namun sekalipun secara umum kesenjangan antara negara maju dan berkembang belum terjembatani secara memadai, kemungkinan hal itu akan terjadi tetap terbuka mengingat sejum¬lah negara berkembang berhasil menggapai tingkat pertumbuhan yang demikian tinggi dan menyusul negara-negara maju.
Pembangunan mengandung konotasi atau pengertian dina¬mis. Konsep ini melambangkan upaya banyak negara untuk mengubah nasib dari negara miskin menjadi negara makmur. Negara-negara pelaku pembangunan adalah negara-negara yang tengah bergerak, dalam kecepatan yang berbeda-beda, dari masyarakat dengan kesejahteraan sosial rendah menuju ke masyarakat yang tingkat kesejahteraan sosialnya lebih tinggi. Ambisi mereka terkadang begitu menggebu; mereka menjadikan prestasi negara-negara maju sebagai model dari tujuan pemba¬ngunan yang tengah mereka laksanakan. Tentu saja hal itu belum tentu berhasil, tapi paling tidak pembangunan akan membawa mereka keluar dari lingkaran setan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi dari setiap kelompok negara itu sangat bervariasi, dan ini mencerminkan pengaruh berbagai faktor yang tidak berkaitan dengan pembangunan. Hal terpenting dari angka rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi bagi semua negara ada¬lah angka itu menunjukkan kecepatan proses pembangunan, di tengah-tengah berbagai hambatan dan fluktuasi ekonomi, dari tahun ke tahun. Dari tabel di atas terlihat bahwa pada periode antara tahun 1960 hingga 1980, tingkat pertumbuhan setiap kelompok negara (serta setiap negara dalam masing-masing kelompok) sangat berbeda-beda.
Secara umum, pertumbuhan ekonomi negara berkembang kalah dari yang ada di negara maju. Perkecualian harus diberikan kepada negara-negara berkembang di Asia, karena rata-rata tingkat pertumbuhan mereka mencapai 4%, dan itu lebih tinggi dari rata-rata tingkat pertumbuhan negara-negara OECD yang "hanya" mencapai 3,5%. Tingkat pertumbuhan paling rendah dialami oleh negara-negara Afrika-rata-ratanya kurang dari 2%; sedangkan di Amerika Latin, angka agak lebih baik, yakni sekitar 3%. Sementara itu, angka rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara komunis ternyata sangat tinggi, yakni mencapai 5%; tapi kemungkinan besar angka itu melebihi kenyataan yang sebenarnya karena data-data negara komunis terus terang saja sulit dipercaya dan sulit diperiksa ke-benarannya. Seandainya data yang memadai dari negara-negara itu untuk tahun 1980-an sudah tersedia, gambarannya takkan sehebat itu. Masalah kependudukan yang begitu rumit di negara-negara Eropa Timur tidak tertangkap oleh indikator GNP per kapita, dan ini sekaligus membuktikan bahwa konsep itu sebagai indikator pembangunan tidak sempurna dan jelas-jelas mengandung kelemahan.
Ada dua kemungkinan penjelasan bagi pola pertumbuhan GDP per kapita: output atau populasi (penduduk). Pertumbuhan GDP per kapita nampak rendah bisa dikarenakan produksi output negara yang bersangkutan memang benar-benar kurang pesat peningkatannya, tapi bisa juga karena negara itu mengalami lonjakan jumlah penduduk sehingga mengikis kenaikan output¬nya. Untuk memastikan kondisi setiap kelompok Negara.
Ternyata kondisi pertumbuhan ekonomi tidak seburuk yang diba¬yangkan semula. Sebenarnya output negara-negara tersebut meningkat cukup pesat, dan tidak kalah baiknya dari yang dialami oleh negara-negara kaya. Khusus di negara-negara Asia, pertum¬buhannya bahkan paling tinggi. Jadi, pertumbuhan mereka nam¬pak rendah dikarenakan ledakan jumlah penduduknya (Bairoch, 1977). Tabel 3.21 mengungkapkan kenyataan itu; pertambahan penduduk ternyata sama besarnya dengan peningkatan output, dan itu berarti bahwa perubahan secara keseluruhan atas tingkat kelimpahan per kapita, kecuali dibeberapa Negara berkembang di Asia, tidak cukup besar untuk menjembatani jurang kesenjangan antara negara kaya dan miskin. Pembangunan ekonomi di Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia dan Indonesia, yang secara konsisten ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menandakan terjadinya peningkatan tingkat kelimpahan secara pesat di negara-negara berkembang antara tahun 1960 hingga 1980. GDP per kapita dari sebagian negara berkembang bahkan sudah mampu menandingi GDP per kapita negara-negara OECD. Tingkat kelimpahan (GDP per kapita) Singapura dan Jepang sama tingginya dengan yang dimiliki Finlandia atau Belanda. Sedangkan GDP per kapita Malaysia, Taiwan dan Korea Selatan sebanding dengan tingkat kelimpahan Portugal dan Yunani. GDP per kapita Iran dan AIjazair mampu menyaingi tingkat kelimpahan Turki. Dua puluh tahun yang lalu Kuznets sudah menyatakan:
Selisih GDP per kapita internasional, khususnya antara Negara-¬negara maju dan berkembang (perbandingannya berkisar antara 15 atau bahkan 20 banding 1) nampak memprihatinkan; penda¬patan perkapita di banyak nagara berkembang kurang dari $100. Tapi hal sebenarnya merupakan hal yang tidak aneh, mengingat kondisi awal dan tingkat pertumbuhan ekonomi kedua kelompok negara ini memang sangat berbeda. Negara-negara maju bisa memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi modern yang begitu tinggi karena kondisi awalnya memang sudah baik dan unggul. Nam¬paknya, jika tidak ada perkembangan luar biasa, kesenjangan pendapatan ini akan terus bertahan, bahkan semakin melebar sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Sulit untuk mengganti arah perubahan ini. (Kuznets, 1966: hlm. 304-5).
Ternyata, pendapat Kuznets ini keliru. Sekarang ini, seperti telah disebutkan di atas, banyak negara berkembang yang berhasil mempersempit jurang kesenjangan pendapatan per kapitanya dengan negara-negara maju. Bahkan sejak tahun 1960, pemilah¬an negara kaya-miskin secara tajam sudah tidak berlaku lagi. Teori kesenjangan tentang pembangunan secara implisit sangat pesimis mengenai masa depan dan potensi pembangunan bagi negara-negara berkembang. Senada dengan Kuznets, teori ke¬senjangan ini memprediksikan semakin melebarnya ketimpangan pendapatan antara negara-negara kaya dan miskin sejak ber¬akhirnya Perang Dunia Kedua. Dan, seperti halnya pernyataan Kuznets, prediksi teori kesenjangan ini ternyata tidak terwujud.
Pemilahan antara negara kaya dan miskin itu sering di ejawan¬tahkan sebagai negara-negara OECD dan Blok Komunis (kecuali RRC) di satu pihak sebagai negara kaya, serta negara-negara berkembang (baik itu yang berada di Asia, Afrika maupun Amerika Latin) di lain pihak sebagai kelompok negara miskin. Pemilahan ini pula yang sering dikemukakan sebagai perwujudan dikotomi Utara-Selatan. Namun data GDP per kapita yang tersedia sama sekali tidak membenarkan teori kesenjangan yang menyatakan bahwa dikotomi atau pemilahan itu sudah ada sejak tahun 1950 serta akan semakin mencolok di waktu-waktu selanjutnya. Agar anda dapat lebih memahami kenyataan yang sebenarnya, simak¬lah Gambar 3.3 yang memperlihatkan hubungan antara tingkat kelimpahan di tahun 1970 dengan angka rata-rata tingkat pertum¬buhan ekonomi pada periode 1970-1985.
Ternyata tidak ada suatu hubungan khusus antara tingkat kelimpahan dengan angka rata-rata tingkat pertumbuhan ekono¬mi seperti yang dinyatakan oleh teori kesenjangan. Jelas bahwa ada sejumlah negara berkembang yang mampu mendobrak teori kesenjangan; mereka berhasil memacu diri sehingga memper¬pendek jarak ketertinggalan mereka dari negara-negara OECD sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua. Banyak negara berkem¬bang yang telah berhasil melepaskan diri dari belitan kemiskinan. Kita bisa menyimpulkan bahwa tingkat kelimpahan di suatu nega¬ra tidak menentukan angka rata-rata tingkat pertumbuhan ekono-minya; seandainya saja hubungan kausalitas yang dikemukakan oleh teori kesenjangan itu benar, maka konsep pembangunan akan kehilangan sebagian besar atau bahkan seluruh maknan ya sebagai suatu cara yang dapat ditempuh suatu negara untuk mengubah nasibnya.
loading...
Previous
Next Post »
https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929