loading...

ISOLASI SENYAWA BIOAKTIF TERHADAP BIOINDIKATOR

April 24, 2013
loading...
ISOLASI SENYAWA BIOAKTIF TERHADAP BIOINDIKATOR Artemia salina DARI EKSTRAK ETIL ASETAT TUMBUHAN
PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Luas hutan Indonesia kurang lebih masih 75% dari seluruh wilayah daratan dan belum dimanfaatkan secara optimal sebagai sumber obat. Potensi hutan dicirikan keanekaragaman vegetasi sebagai sumber daya paling dominan dari komponen hutan, yang memiliki beragam fungsi dan mudah digunakan. Secara filosofi potensi sumber daya bahan alam dalam kehidupan manusia tergantung pada jumlah dan jenis kandungan senyawa kimianya. Sumber daya hayati yang digunakan sebagai obat-obatan, agrokimia, dan material sains umumnya mengandung alkaloid, terpenoid, flavanoid, dan senyawa fenol lainnya. Variasi dan komposisi senyawa-senyawa tersebut menjadikan sumberdaya hayati bernilai ekonomi, tetapi nilai ekonomi itu pula yang memicu kerusakannya karena dimanfaatkan atau dieksploitasi secara berlebihan (Rijai dalam Mae, 2008 : 169).


Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack ) merupakan famili simaroubaceae, yaitu salah satu tumbuhan herba yang banyak terdapat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malasyia, Thailand, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Di Indonesia, tumbuhan pasak bumi hanya banyak terdapat di Sumatera dan Kalimantan (Julisasi, 2000 : 6). Pasak bumi di Indonesia dikenal sebagai tumbuhan obat yang berpotensi untuk mengobati berbagai penyakit. Hampir seluruh bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan seperti akar, kulit batang, daun, bunga, maupun buahnya. Masyarakat di beberapa daerah Sumatera dan Kalimantan banyak menggunakan ramuan tradisional akar pasak bumi untuk menurunkan suhu badan, obat disentri, sakit kepala, malaria, dan beberapa jenis penyakit lainnya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa penduduk Merlung, Merlung adalah salah satu dearah yang memiliki populasi pasak bumi. Tumbuhan pasak bumi di daerah Merlung belum dibudidayakan. Tumbuhan ini banyak tumbuh di hutan dan keberadaannya semakin berkurang akibat maraknya hutan tanaman industri (HTI) seperti sawit. Masyarakat di daerah Merlung umumnya menggunakan pasak bumi sebagai obat tradisional. Penduduk di daerah Merlung meyakini seduhan akar dan batang tumbuhan pasak bumi dapat mengobati penyakit diare, malaria, dan jenis penyakit lainnya.
Banyaknya khasiat akar pasak bumi membuat pasak bumi semakin populer. Akibatnya penggunaan pasak bumi sebagai obat tradisional cenderung meningkat. Tumbuhan pasak bumi yang sudah langka ini jelas mengandung sejumlah besar bahan kimia yang sangat berpotensial seperti yang telah dilaporkan beberapa jurnal ilmiah, bahwa senyawa yang terkandung pada tumbuhan pasak bumi yaitu eurycomalacton (Tada, 1991), eurucomanol (Nyunyen, 1982), laurycomalactone A dan B (Morita, 1990). Ang dan Sim (1998) melaporkan bahwa ekstrak metanol, kloroform, air dan butanol menunjukkan aktivitas afrodisiaka. Ang juga telah mengisolasi tiga jenis senyawa quasinoid dari akar pasak bumi, yaitu eurycolactone D, eurycolactone E, dan eurycolactone F (Hooi Hoon Ang dkk, 2001). Pasak Bumi memiliki kandungan senyawa golongan statin sebagai anti hiperlipidemia, gugus alkaloid dan lakton. Ekstrak etanol yang terkandung di dalamnya juga dapat meningkatkan jumlah hormon testoteron pada pria. Kandungan lainnya adalah senyawa eurycomanone yang terkenal ampuh untuk melawan malaria. Razak juga melaporkan sebanyak 8 alkaloid ditemukan dalam akar pasak bumi, salah satunya 9-methoxycanthin 6 yang berfungsi sebagai antikanker payudara.





Banyak senyawa yang telah diisolasi dari akar pasak bumi, namun senyawa bioaktif yang terkandung dalam akar dan batang pasak bumi dengan struktur kimia yang baru masih banyak belum diketahui. Untuk itu, penulis ingin mengisolasi senyawa bioaktif lainnya yang terdapat dalam ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi yang tumbuh di sekitar perkebunan kelapa sawit .................
Penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik dari ekstrak tumbuhan pasak bumi, dapat dilakukan dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST). BST merupakan metode yang menggunakan larva udang (Artemia salina) untuk uji toksisitas (Harmita, 2006). Prinsip uji bioaktivitas ini ialah pengukuran dari kematian bioindikator akibat keracunan yang dinnyatakan dalam toleransi limit median (tlm) atau LC50¬. Bila suatu senyawa organik bahan alam memberikan efek toksik pada LC50 dengan konsentrasi tinggi (>1000 ppm) berarti termasuk ke dalam kategori senyawa tidak toksik. Senyawa-senyawa bahan alam yang memberikan efek toksik pada LC50 dengan konsentrasi rendah (<1000 ppm) berarti termasuk kategori senyawa toksik. Pengembangan senyawa toksik ini diarahkan untuk bahan sediaan dalam pengobatan maupun insektisida. (Meyer, 1982).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Isolasi Senyawa Bioaktif Terhadap Bioindikator Artemia salina dari Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Pasak Bumi (Eurycoma longifolia Jack)”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana cara mengisolasi senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack)?
Berapa tingkat bioaktivitas senyawa dari ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi terhadap bioindikator larva udang (Artemia salina)?
Apakah jenis senyawa bioaktif yang diisolasi dari ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Mengisolasi senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi.
Menentukan tingkat bioaktivitas senyawa dari ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi terhadap bioindikator Artemia salina.
Mengetahui jenis senyawa bioaktif yang terdapat dalam ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi.
1.4 Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
Senyawa bioaktif yang diperoleh dari penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan bagi peneliti berikutnya dalam melakukan uji bioaktivitas yang lebih khusus pada tumbuhan pasak bumi.
Sebagai bahan pengajaran atau praktikum pada mata kuliah kimia organik, khususnya kimia organik bahan alam pada Program Studi Pendidikan Kimia.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Ruang lingkup penelitian ini adalah menggunakan sampel tumbuhan pasak bumi yang diperoleh dari ..................... dan dilaksanakan di Laboratorium.
2. Keterbatasan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Isolasi dan uji bioaktivitas ekstrak etil asetat terhadap larva udang (Artemia salina) menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).
Bagian tumbuhan yang diekstrak adalah akar dan batang pasak bumi dengan pelarut etil asetat.
Elusidasi senyawa bioaktif yang telah diisolasi menggunakan spektroskopi NMR dan spektroskopi massa.



1.6 Definisi Operasional
1. Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif adalah senyawa yang dapat memberikan efek hayati kepada makhluk hidup dengan melihat mortalitasnya yang dinyatakan dengan nilai LC50.
2. Eurycoma longifolia (Pasak bumi)
Eurycoma longifolia adalah tumbuhan yang lebih dikenal dengan nama pasak bumi yang banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dan sering dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
3. Artemia salina (larva udang)
Artemia salina adalah kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda, yang sering dijadikan bioindikator pada uji pendahuluan senyawa aktif atau dikenal dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST).


BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tumbuhan Pasak Bumi
2.1.1 Taksonomi Tumbuhan Pasak Bumi
Menurut Anonim (2009 : 1), klasifikasi ilmiah tumbuhan pasak bumi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Devisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Simaroubaceae
Genus : Eurycoma
Spesies : Eurycoma longifolia
Pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) merupakan tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, di Semenanjung Malaya, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam. Di Indonesia, jenis tumbuhan ini hanya tumbuh secara alami di Sumatera dan Kalimantan (Julisasi, 2000: 6). Pasak bumi di daerah-deerah di Indonesia tetap dikenal dengan nama pasak bumi, di Malaysia dikenal dengan nama tongkat ali. Di Thailand dengan phalai phuak. Di Indo Cina, pasak bumi yang sosoknya berupa pohon masuk menjadi tanaman resmi di buku FarmakopeVietnam. Di Indonesia, tumbuhan ini belum dibudidayakan dan pemanfaatannya langsung diambil dari hutan (Gunawan, 2005: 47-48).
Pasak bumi adalah tumbuhan yang tegak lurus dan tidak bercabang, tingginya mencapai 15 m. Pasak bumi memiliki tipe daun majemuk, di ujung cabang sangat lebat, berbentuk panjang dan ujung sedikit meruncing. Ketika daun jatuh maka akan meninggalkan bekas di pohon. Buah berbentuk ellipsoid atau bundar telur, 10-20 x 5-12 mm, berwarna hijau dan menjadi merah kehitaman ketika masak.






Gambar 2.1 : Tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia).
Berdasarkan karakteristik tempat tumbuhnya, pasak bumi menyukai tanah yang bersifat agak asam dan berpasir yang terletak pada ketinggian hingga 700 m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini biasanya tumbuh di hutan pantai dan hutan campuran. (Julisasi, 2000 : 6).
2.1.2 Kandungan Metabolit Sekunder Tumbuhan Pasak Bumi
Pasak bumi mengandung senyawa metabolit sekunder berupa : sitosterol, eurycomalakton, stigmasterol (Soenanto, 2009 : 51). Pada bagian akar mengandung β-Sitosterol, N-nonakosana, dan neoklovena yang terkandung dalam seluruh tanaman. Selain itu di dalam kayu dan kulit kayu pasak bumi juga terkandung berbagai jenis mineral seperti Fe, Co, Mn, dan Zn (Gunawan, 2005 : 48).
Menurut Hooi Hoon Ang, dkk (2001 : 1), ada tiga jenis senyawa quasinoid yang telah diisolasi dari akar pasak bumi, yaitu eurycolactone D, eurycolacton E, dan eurycolacton F. Hooi Hoon Ang dan Meng Kwoon Sim (1998) juga melaporkan bahwa ekstrak metanol, kloroform, air dan butanol menunjukkan aktivitas afrodisiaka. Dalam tumbuhan pasak bumi banyak mengandung senyawa quasinoid, dimana senyawa ini diperkirakan dapat berfungsi sebagai zat antimalaria. Struktur senyawa quasinoid seperti pada gambar di bawah ini:







Gambar 2.2 Struktur quasinoid




Gambar 2.3 Struktur kimia senyawa eurycolactone D, eurycolactone E dan eurycolactone F
Pasak Bumi memiliki kandungan senyawa golongan statin sebagai anti hiperlipidemia, gugus alkaloid dan lakton. Ekstrak etanol yang terkandung di dalamnya juga dapat meningkatkan jumlah hormon testoteron pada pria. Kandungan lainnya adalah senyawa eurycomanone yang terkenal ampuh untuk melawan malaria. Berdasarkan penelitian sebelumnya, tumbuhan pasak bumi juga mengandung 9-methoxycanthin 6 (Abdul Razak) golongan alkaloid yang berfungsi sebagai antikanker payudara, eurycomalacton (Tada, 1991), eurucomanol (Nyunyen, 1982), laurycomalactone A dan B (Morita, 1990).
2.1.3 Manfaat Pasak Bumi
Hampir semua bagian tumbuhan pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat. Di Semenanjung Malaya, kulit akar digunakan untuk menyembuhkan demam, sariawan, dan cacingan. Masyarakat di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan juga menggunakan akar pasak bumi sebagai obat untuk disentri dan menurunkan suhu badan. Ramuan kulit batang dan daun juga digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tulang dan menghilangkan gatal-gatal pada kulit. Di Vietnam, orang menggunakan bunga dan buahnya sebagai obat untuk mengobati disentri. Seluruh bagian tumbuhan digunakan untuk mengobati sakit kepala, sakit perut, dan nyeri tulang (Julisasi, 2000 : 6).
Di Indonesia, kulit akar pasak bumi juga digunakan sebagai obat anti demam dan tonikum bagi bayi atau anak kecil. Rasa pahit yang terkandung dalam akar dan kayu pasak bumi dipakai untuk merangsang nafsu makan bagi anak-anak. Bagi orang dewasa, akar atau kulit akar pasak bumi sering digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan, meningkatkan libido, merangsang gairah seksual, dan sebagai penyegar (Gunawan, 2005 : 48).

2.2 Bioindikator Larva Udang (Artemia salina)
Artemia merupakan kelompok udang-udangan dari phylum Arthopoda. Mereka berkerabat dekat dengan zooplankton lain seperti copepode dan daphnia (kutu air). Artemia hidup di danau-danau garam (berair asin).




(a) (b)
Gambar 2.4 (a) Kista Artemia; (b) Naupli
Klasifikasi ilmiah A.salina adalah:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Subphylum : Crustacea
Kelas : Branchiopoda
Ordo : Anostraca
Family : Artemidae
Genus : Artemia
Spesies : Artemia salina
(http://en.wikipedia.org/wiki/Artemia_salina)
Siklus hidup artemia bisa dari saat menetasnya kista atau telur. Kista artemia dapat ditetaskan secara optimal, apabila syarat-syarat yang diperlukannnya dapat dipenuhi.
Salinitas antara 20-30 ppt (part per thousand) atau 1-2 sendok teh garam per liter air tawar. Untuk buffer bisa ditambahkan magnesium sulfat (20% konsentrasi) atau ½ sendok teh per liter.
Suhu air 26-28oC.
Disarankan memberikan sinar selama penetasan untuk merangsang proses.
Aerasi yang cukup, untuk menjaga oksigen terlarut sekitar 3 ppm.
pH 8,0 atau lebih, apabila pH drop dibawah 7,0 dapat ditambahkan soda kue untuk menaikkan pH.
Kepadatan sekitar 2 gram per liter.
(http://www.o-fish.com/PakanIkan/artemia.php)
2.3 Uji Bioaktivitas terhadap Artemia salina
Metode yang menggunakan larva udang (Artemia salina) untuk uji bioaktivitas disebut Brine Shrimp Lethality Test (BST). BST merupakan salah satu metode uji bioaktivitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang bersifat toksik dari bahan alam. Toksisitas ditentukan dengan melihat harga LC50 yang dihitung berdasarkan analisis probit. Ekstrak ditentukan dengan melihat LC50-nya lebih kecil atau sama dengan 1000 µg/ml (LC50≤1000 µg/ml) (Harmita, 2006: 77-78).
Prinsip uji bioaktivitas ini ialah pengukuran dari kematian bioindikator akibat keracunan yang dinyatakan dalam toleransi limit median (tlm) atau LC50 (Lethal Concentration) didefenisikan sebagai konsentrasi tunggal suatu bahan yang secara statistik diharapkan dapat membunuh 50% organisme uji dalam waktu tertentu.
Bila suatu senyawa organik bahan alam memberikan efek toksik pada LC50 dengan konsentrasi tinggi berarti termasuk kedalam kategori senyawa tidak toksik. Kategori termasuk senyawa bioaktif apabila toksisitasnya kecil dari 1000 ppm dengan rincian sebagai berikut:
LC50 < 100 ppm sangat toksik
LC50 < 100 – 500 ppm toksik
LC50 < 500-1000 ppm kurang toksik
Telur udang Artemia salina disemaikan dalam air laut buatan dan dibiarkan selama 48 jam. Larutan uji disiapkan triplo dengan variasi konsentrasi. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan 7 – 15 ekor larva Artemia salina dan diamati setelah 24 jam (Meyer, 1982).
Analisa data untuk menentukan nilai LC50 digunakan metode The Reed-Muench. Prosedur dalam metode ini berasumsi bahwa organisme yang masih bertahan pada konsentrasi tertentu misalnya A, juga akan bertahan pada konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi A, begitu juga sebaliknya, organisme yang mati pada konsentrasi tertentu misalnya B, juga akan mati pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Data dari suatu kelompok dapat ditambahkan pada kelompok lainnya di dalam range konsentrasi yang diuji. Sebagai contoh, berdasarkan data (tabel 2.2) untuk goniothalamin (1), pada konsentrasi 1000 ppm, 15 organisme mati dari 30 organisme yang diuji. Pada konsentrasi yang lebih rendah (800 ppm), dari 30 organisme yang diuji ada 22 organisme yang hidup. Metode The Reed-Muench menyatakan bahwa organisme yang hidup pada 1000 ppm juga akan hidup pada konsentrasi 800 ppm, sehingga total organisme yang dapat hidup pada konsentrasi 800 ppm adalah 37 (setelah ditambahkan dengan organisme yang hidup pada konsentrasi 1000 ppm). Pada konsentrasi 600 ppm, 22 organisme yang hidup, jadi total organisme yang hidup sekarang (600 ppm) adalah 59 dan seterusnya. Dengan cara yang sama, kematian bergerak dari konsentrasi rendah. Jadi, 4 organisme yang mati pada konsentrasi 200 ppm, ditambahkan dengan 7 organisme yang mati pada konsentrasi 400 ppm, sehingga jumlah total yang mati pada konsentrasi 400 ppm adalah 11 organisme dan seterusnya. Akhirnya didapat jumlah keseluruhan organisme yang mati pada konsentrasi 1000 ppm adalah 42. Oleh karena itu, pada 1000 ppm terdapat 42 jumlah organisme yang mati dan 15 organisme yang hidup. Jadi rasio kematiannya adalah jumlah organisme yang mati / (jumlah organisme yang mati + jumlah organisme yang hidup) x 100% = 42 / (42 + 15) x 100% = 73,7%. Pada konsentrasi 200 ppm jumlah organisme yang mati 4 dan yang hidup 110, sehingga rasio kematiaannya adalah 4 / 114 atau 3,5% (Colegate, 1993).
Tabel 2.1 Kematian Larva Udang Setelah 6 Jam Perlakuan
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
1000 3,00 15 15 42 15 44/50 88
800 2,90 8 22 27 37 35/48 72,9
600 2,78 8 22 19 59 27/48 56,3
400 2,60 7 25 11 84 20/50 40
200 2,30 4 26 4 110 14/53 26,4

2.4 Ekstraksi
Menurut Anwar (1994 : 22), Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Alat yang biasa digunakan untuk melakukan ektraksi sederhana disebut corong pisah.
Terdapat sejumlah cara yang bisa digunakan untuk mengekstraksi suatu senyawa organik. Cara-cara tersebut tergantung dari sifat fisik dan kimia zat yang ingin diekstraksi. Jika senyawa yang diekstraksi berasal dari zat padat ke zat cair, maka disebut ekstraksi padat-cair. Sedangkan jika senyawa yang diekstraksi itu dipindahkan dari suatu fasa cair ke fasa cair lainnya yang tidak saling bercampur maka disebut ekstraksi cair-cair.
Teknik ekstraksi padat-cair yang digunakan dalam menarik senyawa organik diantaranya adalah maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Maserasi adalah teknik pengektraksian zat padat dengan merendam zat tersebut dalam suatu pelarut organik selama beberapa waktu. Perkolasi merupakan pengembangan dari maserasi, sampel disiram dengan pelarut, dan sekaligus hasil akan didapat sebagai filtrat. Sokletasi adalah teknik ekstraksi yang kontinue dengan menggunakan alat soklet, dimana pelarut dan zat padat yang ingin diekstraksi ditempatkan pada ruang yang berbeda. Pelarut yang digunakan untuk sokletasi adalah pelarut-pelarut yang titik didihnya rendah, agar tidak merusak senyawa yang akan ditarik (Ibrahim, 1998).
Menurut Anonim (2009), Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi pada umumnya dipengeruhi oleh beberapa faktor. Selektivitas, yaitu pelarut hanya boleh melarutkan ekstrak yang diinginkan, bukan komponen – komponen lain dari bahan ekstraksi. Kelarutan, yaitu pelarut sedapat mungkin memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar (kebutuhan pelarut lebih sedikit). Kemampuan tidak saling campur, Kerapatan, dan Reaktivitas, yaitu pelarut tidak boleh menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen – komponen bahan ekstraksi. Kriteria lain yaitu Murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak korosif, tidak menyebabkan terbentukya emulsi, memiliki viskositas yang rendah.
2.5 Kromatografi
2.5.1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Menurut Narlan ( _____ : 38), kromatografi lapis tipis adalah kromatografi yang fase stasionernya berupa lapisan tipis suatu adsorben misalnya gel silika, dilapiskan pada plat dan fase geraknya adalah suatu campuran pelarut. Sampel diaplikasikan pada plat, kemudian plat ditegakkan dengan ujung bawah pada pelarut. Ketika pelarut naik akibat aksi kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa dengan kecepatan yang berbeda dan dapat dilihat sebagai deretan titik-titik setelah platnya dikeringkan dan diwarnai atau dilihat dibawah cahaya ultraviolet.
Beberapa istilah digunakan dalam KLT. Titik tempat campuran ditotolkan pada ujung plat atau lembaran disebut titik awal dan cara menempatkan cuplikan itu di sana disebut penotolan. Garis depan pelarut ialah bagian atas fase gerak atau pelarut ketika ia bergerak melalui lapisan, dan setelah pengembangan selesai, merupakan tinggi maksimum yang dicapai oleh pelarut. Perilaku senyawa tertentu di dalam sistem kromatografi tertentu dinyatakan dengan harga Rf. Angka ini diperoleh dengan membagi jarak yang ditempuh oleh bercak linarut dengan jarak yang ditempuh oleh garis depat pelarut. Keduanya diukur dari titik awal, dan harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1 (Gritter, 1991 : 8).
Menurut Gritter (1991 : 108), KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif, atau prepatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi.
2.5.2 Kromatografi Kolom Gravitasi (KKG)
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang masih banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah yang banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasan adsorben yang sering digunakan adalah silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan Diaion. Cara pembuatannya ada dua macam : Cara kering yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi. Cara basah yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan pengelusi yang akan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit demi sedikit hingga masuk semua, dan kran dibuka dan diatur tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi (Meronda, 2009).
Menurut Underwood (2001 : 547), berbagai ukuran kolom dapat digunakan, dimana hal utama yang dipertimbangkan adalah kapasitas yang memadai untuk menerima sampel-sampel tanpa melampaui fasa diamnya. Panjang kolom harus sekurang-kurangnya sepuluh kali ukuran diameternya. Laju alir yang diinginkan diperoleh semata-mata dari gravitasi. Larutan eluen keluaran dikumpulkan dalam sederetan fraksi dengan sejumlah volume tertentu untuk tiap-tiap fraksi. Sekitar 5-10 ml.
2.5.3 Kromatografi Vakum Cair (KVC)
Untuk kolom gaya tarik bumi yang memakai penjerap berukuran 60-230 mesh (63-250 μm), umumnya laju aliran sekitar 10-20 mL/cm2 penampang kolom/jam. Untuk partikel yang lebih kecil dari 200 mesh diperlukan semacam pemompaan atau sistem bertekanan. Kemudian laju dapat ditingkatkan sampai 2 mL atau lebih setiap menitnya, atau sampai batas sistem tekanan (Gritter.1991).
Prinsip dasar KVC adalah Partisi dan adsorpsi yang pemisahannya dipercepat dengan bantuan pompa vakum dengan menggunakan kolom. Eluen ditampung pada vial sebagai fraksi-fraksi dan diamati pada lampu UV. Elusi dilakukan hingga tetesan terakhir tidak menampakkan noda lagi bila diidentifikasi dengan KLT.











Gambar 2.5 Kromatografi Vakum Cair (L.M.Harwood)
Kolom diperiksa dengan memasukkan pelarut keatas silica sambil vakum dihidupkan. Jika kolom sempurna, larutan tadi akan turun secara horizontal. Sampel ditimbang dan dihomogenkan dengan sedikit silica gel lalu dimasukkan dan diletakkan secara rata pada permukaan silica lalu diletakkan kertas saring di atasnya untuk menghindari percikan pada saat penambahan eluen. Penambahan eluen dimulai dari paling non polar kemudian ke eluen polar. Eluen ditambahkan melalui dinding kolom dan pompa vakum dinyalakan sehingga eluen turun mengelusi komponen kimia dan eluen yang keluar ditampung sebagai fraksi-fraksi pada wadah yang berbeda.
2.6 Spektroskopi
2.6.1 Spektroskopi Nuklear Magnetik Resonance (NMR)
Spekroskopi Resonansi Magnetik Nuklir (NMR) didasarkan pada penyerapan gelombang radio oleh inti-inti tertentu dalam molekul organik, apabila molekul ini berada dalam medan magnet yang kuat. Spekroskopi NMR ini memberikan gambaran mengenai atom-atom hidrogen dalam sebuah molekul. Gejala NMR bergantung pada dimilikinya suatu momen magnet oleh inti-inti atom-atom tertentu. Nukleon-nukleon dapat mempunyai salah satu dari dua orientasi yang mungkin dalam medan magnet; yakni, mereka berperilaku seolah-olah mempunyai spin yang searah dengan jarum jam atau berlawanan arah dengan jarum jam. Jika partikel-partikel nuklir dalam suatu inti spinnya tak berpasangan, maka inti itu sebagai keseluruhan akan mempunyai medan magnet resultante. Inti semacam itu cenderung berarah sejajar dalam suatu medan magnet luar yang dipaksakan. Inti isotop hidrogen yang melimpah, 1H, mempunyai suatu momen magnet karena inti itu terdiri dari sebuah proton tunggal. Inti-inti atom karbon-12, (_6^12)C, tidak mempunyai momen magnet, karena terdiri dari proton dan neutron yang genap, yang spin-spinnya telah berpasangan (Keenan, 1986).
NMR proton (1H) adalah bentuk NMR yang paling banyak digunakan karena kepekaannya dan banyaknya informasi struktur yang dihasilkan. Serapan atau frekuensi resonansi yang pasti pada suatu proton bergantung pada lingkungannya. Pergeseran kimia ditentukan oleh sejauh mana suatu proton dihilangkan pelindungnya oleh gugus-gugus tempatnya menempel. Semakin banyak proton dilindungioleh kerapatan elektron yang mengelilinginya, semakin rendah nilai δ-nya. Jika suatu proton ditempelkan pada suatu sistem yang menarik elektron-elektron dari lingkungannya, seperti gugus elektronegatif, atau pada suatu gugus yang mempengaruhi lingkungannya dengan menciptakan suatu medan yang digunakan, seperti yang terjadi pada proton-proton yang menempel pada suatu cincin aromatik, nilai δ-nya akan meningkat, yaitu akan beresonansi pada medan yang lebih rendah (frekuensi yang lebih rendah) (Watson, 2007:199).
Adapun pelarut yang biasa digunakan yaitu karbotetraklorida, deuterokloroform, deuteriumoksida, deuteroaseton, atau dimetilsulfoksida terdeuterasi.
Spektrun NMR tidak hanya dapat membedakan beberapa banyak proton yang berbeda dalam molekul, tetapi ia juga mengungkapkan berapa banyak setiap tipe proton berbeda yang terkandung dalam molekulnya.
Langkah-langkah menginterpretasikan spektra NMR:
Jumlah sinyal, yang menerangkan tentang adanya beberapa macam perbedaan dari proton-proton yang terdapat dalam molekul.
Kedudukan sinyal, yang menerangkan sesuatu tentang lingkungan elektronik dari setiap macam proton.
Intensitas sinyal, yang menerangkan tentang berapa banyak proton dari setiap macam proton yang ada.
Pemecahan (splinting) dari sebuah sinyal menjadi beberapa puncak, yang menerangkan tentang lingkungan dari sebuah proton dengan lainnya.
Pada spektrum 1H-NMR dalam elusidasi struktur perlu diperhatikan:
Luas di bawah puncak yang biasanya dinyatakan dengan integrasi untuk melihat perbandingan jumlah proton pada masing-masing puncak.
Terjadinya spin-spin splinting yang mengikuti segitiga pascal. Interaksi antara ikatan elektron yang mempunyai kecenderungan berpasangan spin dari elektron dengan elektron lainnya pada proton yang berdekatan.
Geseran kimia (chemical shift), yaitu kedudukan proton dalam spektrum tersebut.
Spektroskopi 13C-NMR mennghasilkan informasi struktur mengenai karbon-karbon dalam sebuah molekul organik. Dengan teknik biasa untuk menentukan spektra 13C, luas dibawah puncak tidak perlu sebanding terhadap jumlah atom-atom karbon yang ekivalen. (Hal ini disebabkan karena atom 13C dapat kehilangan energi yang diserapnya/relaxation). Akibatnya, spektra 13C tidak dapat diintegrasikan. Terdapat dua tipe utama spektra 13C: spektra yang menunjukkan pola pemisahan spin-spin 13C – 1H dan spektra yang tidak menunjukkan pola itu (Fessenden, 1986).
Pelarut yang biasa digunakan serupa dengan NMR proton, tetapi jangka resonansi C jauh lebih besar. Sehingga spektrum 13C-NMR jauh lebih teresolusi, umumnya setiap karbon dalam molekul dapat ditetapkan sinyalnya. Sama halnya seperti pada NMR proton, atom karbon penyulihannya berlainan akan menunjukkan geseran dalam jangka yang khas. Spektrum 13C-NMR pada hakikatnya merupakan pelengkap NMR proton.
Pada spektrum 13C-NMR dalam elusidasi struktur perlu diperhatikan:
Luas di bawah puncak yang biasanya dinyatakan dengan integrasi untuk melihat perbandingan jumlah karbon yang ekuivalen secara magnetik pada masing-masing puncak.
Terjadinya spin-spin splinting yang mengikuti segitiga pascal. Interaksi antara ikatan elektron yang mempunyai kecenderungan berpasangan spin dari elektron dengan elektron lainnya pada proton yang diikat.
Geseran kimia (chemical shift), yaitu kedudukan karbon dalam spektrum tersebut. Ini juga menggambarkan letak dan kedudukan karbon dalam molekul.
2.6.2 Spektroskopi Massa
Metode spektroskkopi massa didasarkan pada pengubahan komponen cuplikan menjadi ion-ion gas dan memisahkannya berdasarkan perbandingan massa terhadap muatan (m/e). Bila suatu molekul berbentuk gas disinari oleh elektron berenergi tinggi dalam sistem hampa maka terjadi ionisasi, ion molekul terbentuk dan ion molekul yang tak stabil pecah menjadi beberapa kemungkinan gas atau gugus radikal (Hendayana, 1994).
Spektroskopi massa berpeluang untuk memperjelas rahasia struktur molekul. Spektrum massa nampak sebagai garis hubungan antara ion dengan massanya. Tekhnik spektroskopi massa merusak bahan yang dianalisa namun jumlah yang diperlukan sangat kecil. Spektroskopi mendapatkan datanya dari senyawa induk yang terionisasi (parent molecular ion) dan pecahannya juga terionisasi (fragment ions). Bahan tadi semuanya bermuatan positif dan terpisah berdasarkan perbedaan nilai massa per muatan.
Penggunaan spektroskopi massa paling banyak adalah untuk menentukan struktur molekul dan identifikasi senyawa, misalnya analisa kuantitatif dalam jumlah sedikit dari molekul organik yang relatif kompleks. Jumlah kombinasi atom dalam molekul organik memiliki berat molekul tepat relatif dan dapat diperhitungkan dari tabel massa yang tepat untuk berbagai atom. Oleh sebab itu struktur ion molekul induk yang sederhana dapat disimpulkan dari massanya (Sudarmadji, 1996 : 284).


BAB III
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimen. Pelarut akhir yang digunakan untuk ekstraksi adalah etil asetat dengan dua kali pengujian bioaktivitas yaitu uji bioaktivitas terhadap ekstrak kasar etil asetat dan isolat etil asetat. Uji bioaktivitas ini mengunakan metode Brine Shrimp Lethality Test (BST) yaitu dengan menggunakan larva udang (Artemia salina) sebagai bioindikator. Pemisahan dan pemurnian dengan kromatografi vakum cair, kromatografi kolom gravitasi, dan kromatografi lapis tipis. Selanjutnya elusidasi isolat berdasarkan spektra 1H-NMR, 13C-NMR, dan Massa.
3.1.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas .................. Yang dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan Juni 2010.
Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah akar dan batang tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia) yang diperoleh dari sekitar perkebunan kelapa sawit.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat yang digunakan
Alat-alat yang digunakan untuk kromatografi seperti kromatografi vakum cair (KVC), kolom kromatografi gravitasi, alat-alat yang digunakan untuk KLT seperti hot plate, cuter, pipa kapiler, chamber. Alat-alat yang digunakan untuk ekstraksi seperti alat soklet, refluks, destilasi, evaporator, labu evaporator dengan berbagai ukuran, dan alat-alat gelas yang lazim digunakan dilaboratorium. Untuk pengukuran spektrum 1H-NMR, 13C-NMR dan Massa, isolat akan dikirimkan ke Universitas Osaka Jepang, karena instrumen ini tidak tersedia di Laboratorium Penelitian ...........
3.2.2 Bahan yang digunakan
Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dan kromatografi adalah pelarut-pelarut teknis yang sudah didestilasi yaitu n-heksan, etil asetat, aseton, metanol, etanol, kloroform, dan DMSO. Spot KLT dimonitor dibawah sinar UV (254 or 365 nm) dan spot tersebut divisualisasikan dengan penampak noda seperti 50 mg/ml asam fosfomolibdat dalam larutan etanol, diikuti dengan pemanasan plat kromatografi lapis tipis (KLT). Plat TLC precoated Kieselgel 60F254 plates (0,25 mm, Merck). Silika gel yang digunakan untuk pemisahan seperti Si gel Merck 60 (35-79 mesh) dan Si gel Merck 60 (230-400 mesh), sea salt, dan aquades.

3.3 Prosedur Kerja
3.3.1 Persiapan Sampel
Akar dan batang tumbuhan pasak bumi yang telah dicabut selanjutnya dicuci dengan bersih lalu dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, kemudian diparut secara manual sehingga diperoleh serbuk kering akar dan batang pasak bumi.
3.3.2 Ekstraksi
Serbuk kering akar dan batang tumbuhan pasak bumi, Eurycoma longifolia disokletasi dengan menggunakan metanol dan ampasnya direfluks dalam metanol. Eksrak metanol baik dari hasil sokletasi maupun refluks dievaporasi. Ekstrak kering metanol selanjutnya dipartisi dengan etil asetat:air (1:1), dan etanol berturut-turut. Selanjutnya masing-masing ekstrak dievaporasi dan penulis memilih ekstrak etil asetat untuk diuji ketoksitannya.
3.3.3 Uji Bioaktivitas terhadap Artemia salina
3.3.3.1 Menyemai benur (menetaskan telur udang)
Timbang 3,8 gram sea salt, larutkan dalam 100 ml aquades, lalu saring. Larutan ini dianggap sebagai ”air laut” tiruan.
Tempatkan air laut yang telah dibuat dalam wadah (tangki) khusus untuk menetaskan telur udang, dan tambahkan telur udang Artemia salina Leach pada sisi tangki yang tertutup. Atur pencahayaan (lampu) dari bagian atas yang akan menarik benur udang yang telah menetas melalui perforasi dalam tangki penetasan.
Biarkan selama 2x24 jam sampai menetas menjadi benur (naupli) yang matang dan siap untuk digunakan dalam percobaan. Naupli dipisahkan dari telurnya dengan memipetnya ke dalam beaker gelas kecil yang mengandung air laut.
3.3.3.2 Penyiapan sampel
Timbang 10 mg sampel dalam tabung ependorf, larutkan dalam 1000 μl etil asetat. Dengan demikian diperoleh larutan uji dengan konsentrasi 10000 ppm.
Encerkan 40 μl larutan uji yang telah diuapkan dengan 800 μl DMSO, sehingga konsentrasinya menjadi 500 ppm dengan volume total 800 μl.
Pengenceran dalam mikroplate. Dalam mikroplate baris A dan B diisi sampel masing-masing 100 μl.
Baris B sampai G ditambahkan 100 μl aquades.
Dari baris B dipipet 100 μl, masukkan ke baris C dan dari C dipipet 100 μl, masukkan ke D dan seterusnya.
Terakhir dari G dipipet 100 μl dan masukkan ke H (- aquades). Catt: kolom H tidak digunakan dalam pengukuran.
3.3.3.3 Untuk blanko
Dilakukan pekerjaan yang sama tanpa menggunakan sampel¬.
3.3.3.4 Memasukkan benur udang
Pipet 100 μl media udang yang sudah menetas (berisi 15 ekor). Masukkan masing-masing ke dalam lubang baris A-G pada mikroplate yang telah diisi sample melalui pengenceran yang telah dilakukan di atas, inkubasikan selama 24 jam.
Setelah 24 jam, dihitung jumlah udang yang mati dan hidup pada tiap lubang dalam mikroplate. Data yang diperoleh dimasukkan ke dalam lembar pengamatan.
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metoda The Reed-Muench untuk menentukan LC50.
Pengenceran tambahan mungkin diperlukan untuk bahan yang sangat aktif.
Catatan : Benur udang (nauplii) dapat digunakan dalam percobaan setelah 2 hari (48-72 jam) dari waktu mulai penetasan.
3.3.4 Isolasi dan Pemurnian Senyawa Toksik
3.3.4.1 Pencarian Eluen dengan KLT
Untuk mencari eluen yang tepat dan akan digunakan dalam kromatografi vakum cair (KVC), dilakukan analisis terhadap ekstrak kental etil asetat dengan kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan preceoated Kieselgel 60F254 plates (0.22 mm, Merck).
Ekstrak etil asetat ditotolkan pada plat dengan menggunakan pipa kapiler, dibiarkan beberapa saat hingga kering dan diulangi beberapa kali. Kemudia plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan uap eluen. Setelah eluen naik sampai batas plat dikeluarkan dari dalam chamber dan ditentukan jumlah noda dengan menggunakan sinar UV (254 or 365 nm) dan spot tersebut divisualisasikan dengan penampak noda yaitu asam fosfomolibdat. Setelah dihasilkan eluen yang memberikan pemisahan dengan baik, maka eluen tersebut akan digunakan untuk pemisahan pada kromatografi vakum cair (KVC).
3.3.4.2 Pemisahan dengan KVC
Eluen yang diperoleh dari KLT digunakan dalam KVC. Ekstrak kental etil asetat diimpregnasi dengan silika gel. Kemudian silika gel untuk fasa diam dimasukkan ke dalam kolom dengan ukuran tertentu yang sesuai dengan banyak sampel yang telah diimpregnasi, dipadatkan kemudian dielusi dengan pelarut non polar (heksan). Selanjutnya sampel yang sudah diimpregnasi dimasukkan ke dalam kolom dan dielusi dengan eluen yang telah ditentukan.
Eluat yang diperoleh dari proses KVC ditampung dalam beberapa botol vial (dibagi dalam beberapa fraksi), kemudian masing-masing di KLT untuk melihat pola noda. Dipilih pola noda yang tunggal atau mendekati kemudian dilakukan pemisahan atau pemurnian dengan KKG.
3.3.4.3 Pemisahan dengan KKG
Fraksi yang telah dipilih dikolom dengan KKG. Fraksi tersebut diimpregnasi dengan silika gel yang sama dengan fasa diamnya. Kolom yang digunakan disesuaikan dengan banyak sampel. Fasa cair yang digunakan juga eluen yang diperoleh dari hasil KLT fraksi. Kemudian dilanjutkan pemisahan dengan KKG.
Eluat yang diperoleh dari hasil KKG ditampul dalam beberapa botol vial. Masing-masing fraksi dianalisis KLT untuk melihat pola nodannya. Noda yang mirip digabungkan sehingga terbentuk isolat, isolat lalu di KLT untuk melihat kemurniannya, kemudian diuji toksisitasnya terhadap larva A. salina.
3.3.5 Elusidasi Isolat dengan Spektroskopi NMR dan Massa
Untuk mengetahui rumus bangun molekul, gugus fungsi serta berat molekul senyawa aktif yang telah diisolasi, dapat di amati dari spektra NMR yaitu NMR 1H dan 13C serta spektra massa.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Isolasi Senyawa Bioaktif dari Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Pasak Bumi
Sebanyak 400 gram serbuk akar dan batang pasak bumi disokletasi dengan menggunakan pelarut metanol. Kemudian residu yang diperoleh di refluks. Semua filtrat hasil sokletasi dan refluks dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kering metanol berwarna kuning kecoklatan (27,2 gram). Ekstrak kering metanol diambil sebanyak 26,2 gr dan dipartisi dengan menggunakan pelarut campuran etil asetat dan air (1:1) dengan 3 kali pengulangan. Pemisahan dilakukan dengan corong pisah sehingga didapat ekstrak etil asetat dan ekstrak air. Ekstrak etil asetat dievaporasi sehingga diperoleh 3,6 gram ekstrak kering etil asetat. Kemudian diuji toksisitasnya terhadap larva udang (Artemia salina).
Ekstrak etil asetat yang toksik selanjutnya dikromatografi vakum cair (KVC). Sebelum diKVC dilakukan kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mencari eluen yang cocok pada KVC. Eluen yang digunakan adalah heksan-etil asetat (3:1, 1:1) serta kloroform-metanol (4:1, 2:1) dan kloroform yang ditingkatkan kepolarannya. Hasil KLT dapat dilihat pada gambar berikut:

3:1 1:1 4:1 2:1 CHCl3





Gambar 4.1 Kromatogram penentuan eluen untuk KVC

Pemisahan ekstrak etil asetat dengan KVC digunakan eluen dengan teknik peningkatan kepolaran yaitu dimulai dari n-heksan, n-heksan : EtOAc dengan perbandingan (3:1) dan (1:1), kloroform, kloroform : metanol dangan perbandingan (4:1) dan (2:1), etanol, dan metanol. Dari KVC diperoleh 25 fraksi, dari hasil KLT, fraksinat yang pola nodanya paling sederhana dan mirip dengan crude adalah fraksinat no. 2. Pola kromatogram hasil dari analisis KLT dapat dilihat pada gambar berikut:






C 2 3 4 5 6 7 C 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 4.2 Kromatogram Pemisahan Ekstrak Etil Asetat dengan KVC Menggunakan Eluen Klororform : Metanol (3:1)

Pada fraksi 2 dilakukan KLT untuk mencari eluen yang cocok pada pemisahan berikutnya (KKG). Kondisi eluen yang digunakan untuk KLT adalah heksan : aseton (5:1, 3:1, 2:1) dan heksan : etil asetat (4:1, 10:1, 15:1). Pola kromatogram noda KLT dapat dilihat pada gambar berikut:
5:1 3:1 2:1 4:1 10:1 15:1










Gambar 4.3 Kromatogram Penentuan Eluen untuk KKG

Sebelum dilakukan pemisahan dengan KKG, fraksi 2 diKLT terlebih dahulu sehingga diperoleh eluen yang cocok. Pada pemisahan KKG fraksi 2, dilakukan dengan sistem peningkatan kepolaran dimulai dari n-heksan : etil asetat dengan perbandingan berturut-turut (20:1), (15:1), (10:1), (5:1), dari 0,71 gram fraksi 2 diperoleh 40 fraksi. Pola noda hasil KKG dapat dilihat pada kromatogram berikut dengan kondisi eluen n-heksan:etil asetat (10:1) :










C 3 6 9 12 14 16 18 20 C 22 24 26 28 30 32 34 C 36 38 40 7 8 9

Gambar 4.4 Kromatogram Hasil KKG

Dari hasil pola noda analisis KLT yang diperoleh dapat dilakukan penggabungan beberapa fraksi yaitu fraksi no 7,8,9 = FG1 (X1); no 12 dan 14 = FG2 (X2); no 16,18,20 = FG3 (X3); no 22,24,26 = FG4 (X4) dan no 28,30,32,34 = FG5 (X5). Fraksi gabungan tersebut di KLT kembali bersama fraksi 10, 11, 15, 21, dan 27 hasil KKG untuk lebih memperjelas pola noda. Masih menggunakan eluen yang sama yaitu n-Heksan-EtoAc 10:1 dan diperoleh hasil analisis KLT sebagai berikut:













C X1 10 11 X2 15 X3 21 X4 27 X5

Gambar 4.5 Kromatogram Beberapa Fraksi Gabungan dan Fraksi Hasil KKG

Dari kromatogram tersebut terlihat beberapa pola noda yang mirip. Fraksi gabungan dan fraksi hasil KKG yang mempunyai pola noda yang mirip digabungkan (FG4, FG5, F21, dan F27) sehingga terbentuk isolat padat berwarna kuning kecoklatan yang diberi label T-1. Isolat yang terbentuk tersebut kemudian diKLT dengan menggunakan eluen n-heksan:etil asetat (7:1) dan diuji toksisitas. Analisis KLT isolat sebagai berikut:








Gambar 4.6 Kromatogram Isolat (T-1)
Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh nilai Rf (Retardation Factor) isolat sebesar 0,35.
4.1.2 sBioaktivitas Senyawa dari Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Pasak Bumi terhadap Bioindikator Artemia salina

Sebagai blanko untuk uji bioaktivitas ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi terhadap larva udang (Artemia salina) dilakukan juga pengujian pada pelarutnya (DMSO) sebanyak 3x pengulangan tanpa ekstrak kasar etil asetat dengan variasi konsentrasi 500 ppm; 250 ppm; 125 ppm; 62,5 ppm; 31,5 ppm; 15,63 ppm; dan 7,87 ppm. Hasil uji bioaktivitas DMSO dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Uji Bioaktivitas Blanko DMSO terhadap Artemia salina.
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 0 15 0 15 0/10 0
250 2,4 0 15 0 15 0/10 0
125 2,1 0 15 0 15 0/10 0
62,5 1,8 0 15 0 15 0/10 0
31,5 1,5 0 15 0 15 0/10 0
15,63 1,2 0 15 0 15 0/10 0
7,87 0,9 0 15 0 15 0/10 0
Keterangan: Angka di atas merupakan nilai rata-rata dari tiga perlakuan
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak adanya efek fisiologis dari DMSO terhadap Artemia salina.
Kemudian dilakukan pula uji bioaktivitas dari ekstrak kasar etil asetat terhadap Artemia salina dengan perlakuan dan variasi konsentrasi yang sama. Diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 4.2 Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar Etil Asetat terhadap Artemia salina.
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 6 9 24 9 24/33 72,72
250 2,4 5 10 18 19 18/37 48,64
125 2,1 5 10 13 29 13/42 30,95
62,5 1,8 3 12 8 41 8/49 16,32
31,5 1,5 2 13 5 54 5/59 8,47
15,63 1,2 2 13 3 67 3/70 4,28
7,87 0,9 1 14 1 81 1/82 1,22
Keterangan: Angka di atas merupakan nilai rata-rata dari tiga perlakuan
Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh, menunjukkan bahwa hasil uji bioaktivitas ekstrak kasar etil asetat tumbuhan pasak bumi terhadap Artemia salina memberikan efek toksik dengan LC50 pada konsentrasi 260 ppm. Jadi, ekstrak kasar etil asetat mengandung senyawa yang termasuk dalam kategori bioaktif. Gambar uji bioaktivitas ekstrak etil asetat dan DMSO sebagai blanko dapat dilihat pada gambar berikut:







(a) (b)
Gambar 4.7 Uji Bioaktivitas (a) Ekstrak Etil Asetat; (b) DMSO



Selanjutnya uji bioaktivitas dilakukan pada isolat etil asetat tumbuhan akar pasak bumi terhadap bioindikator Artemia salina dengan perlakuan dan variasi konsentrasi yang sama. Berdasarkan hasil perhitungan data, menunjukkan bahwa isolat etil asetat tumbuhan pasak bumi mengandung senyawa bioaktif dengan LC50 pada konsentrasi 94,21 ppm.
Tabel 4.3 Uji Bioaktivitas Isolat Etil Asetat terhadap A.salina.
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 9 6 44 6 44/50 88
250 2,4 8 7 35 13 35/48 72,9
125 2,1 7 8 27 21 27/48 56,3
62,5 1,8 6 9 20 30 20/50 40
31,5 1,5 6 9 14 39 14/53 26,4
15,63 1,2 4 11 8 50 8/58 13,8
7,87 0,9 4 11 4 61 4/65 6,1
Keterangan: Angka di atas merupakan nilai rata-rata dari tiga perlakuan
4.1.3 Senyawa Bioaktif dalam Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Pasak Bumi
Berdasarkan pola spektrum 1H-NMR, 13C-NMR dan massa dari isolat yang diperoleh maka disarankan kerangka srtuktur senyawa ini adalah suatu turunan quasinoid yang mirip dengan eurycomanone.

Gambar 4.8 Kerangka struktur senyawa hasil isolasi
4.2 Pembahasan
4.2.1 Bioaktivitas Ekstrak Etil Asetat dan Isolat
Tabel 4.1 adalah data uji bioaktivitas blanko (pelarut DMSO) terlihat bahwa persentase mortalitas yang ditunjukkan oleh masing-masing konsentrasi tidak dapat membunuh 50 % larva udang (masing-masing konsentrasi adalah nol) dalam selang waktu 24 jam perlakuan, berarti tidak adanya efek fisiologis dari DMSO terhadap larva udang.
Dari data di tabel 4.2 (uji bioaktivitas ekstrak kasar etil asetat) dapat dilihat bahwa LC50 terletak antara konsentrasi 500 ppm sampai 250 ppm dengan batas atas (% mortalitas larva udang di atas 50%) adalah 72,72 dan batas bawah (% mortalitas larva udang di bawah 50%) adalah 48,64. Dari data tersebut dapat ditentukan nilai LC50 dengan menggunakan metode The Reed-Muech. Berikut perhitungan untuk menentukan nilai LC50 :
Jarak yang sepadan = (batas atas-50)/(batas atas-batas bawah) x log 2
= (72,72-50)/(72,72-48,64) x 0,3
= 22,72/24,08 x 0,3
Jarak yang sepadan = 0,2839
LC50 dapat ditentukan sebagai berikut:
-Log LC50 = (-log [batas atas]) + jarak yang sepadan
-Log LC50 = -log 500 + 0,2839
-Log LC50 = -2,6989 + 0,2839
-Log LC50 = -2,415
LC50 = 260 ppm
Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa hasil uji bioaktivitas ekstrak kasar etil asetat tumbuhan pasak bumi terhadap larva udang (Artemia salina) memberikan efek toksik dengan LC50 pada konsentrasi 260 ppm, berarti ekstrak etil asetat mengandung senyawa yang termasuk kedalam kategori toksik/bioaktif. Untuk itu, dapat diteruskan pada pengisolasian senyawa yang terdapat pada ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi.
Setelah diperoleh isolat murni, dilakukan kambali uji bioaktivitas terhadap isolat tersebut. Dari data yang diperoleh (tabel 4.3) dapat dilihat bahwa LC50 terletak antara konsentrasi 125 ppm sampai 62,5 ppm dengan batas atas (% mortalitas larva udang di atas 50%) adalah 56,3 dan batas bawah (% mortalitas larva udang di bawah 50%) adalah 40. Dari data tersebut dapat ditentukan nilai LC50 dengan menggunakan metode The Reed-Muech. Berikut perhitungan untuk menentukan nilai LC50:
Jarak yang sepadan = (batas atas-50)/(batas atas-batas bawah) x log 2
= (56,3-50)/(56,3-40) x 0,3
= 6,3/16,3 x 0,3
Jarak yang sepadan = 0,1159
LC50 dapat ditentukan sebagai berikut:
-Log LC50 = (-log [batas atas]) + jarak yang sepadan
-Log LC50 = -log 125 + 0,1159
-Log LC50 = -2,09 + 0,1159
-Log LC50 = -1,9741
LC50 = 94,21 ppm
Dari hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa hasil uji bioaktivitas isolat asetat tumbuhan pasak bumi terhadap larva udang (Artemia salina) memberikan efek toksik pada LC50 pada konsentrasi 94,21 ppm, berarti ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi mengandung senyawa yang termasuk kedalam kategori toksik/bioaktif.
4.2.2 Elusidasi Isolat
Satu senyawa yang telah berhasil diisolasi dari ekstrak etil asetat yaitu senyawa dengan bentuk padatan berwarna kuning kecoklatan. Spektrum 1H-NMR dan 13CNMR dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Struktur isolat yang diisolasi dari ekstrak etil asetat ditentukan berdasarkan data-data Spektra resonansi magnit inti dan spektra massa.
1H-NMR (pelarut CHCl3) memperlihatkan signal proton yang khas untuk senyawa eurycomanone (salah satu turunan quasinoid). Hal ini dapat dilihat dari spektra 1H-NMR isolat, dimana muncul 13 puncak yang menunjukkan ada 13 lingkungan atom H yang menempel pada atom C. Signal proton yang khas ditunjukkan oleh signal proton alifatik yang terlihat pada 5,02 (d, J = 7 Hz, H-3) dan 5,15 (d, J = 6Hz, H-4). Dari interpretasi 1H-NMR memberikan kesimpulan bahwa spektra isolat menunjukkan kemiripan dengan hasil identifikasi eurycomanone dari Nina Salamah et al. (2009). Kemudian dari hasil pengukuran 13C-NMR, data yang diperoleh adalah atom C yang terdeteksi ada sebanyak 20 buah atom C yang bila dibandingkan dengan referensi sama dengan jumlah atom C pada eurycomanone hasil identifikasi Nina Salamah et al. (2009). Signal khas karbonil terlihat pada 199,65 (C-2) dan 171,71 (C-16).
Pada spektrum massa isolat (Lampiran 5), terdapat puncak yang bermakna pada m/z 433 (M + Na) sehingga berat molekul senyawa hasil isolasi adalah 410 (433 - Na). Dari hasil ini bisa disimpulkan bahwa isolat yang telah diisolasi mirip dengan senyawa eurycomanone yang mempunyai berat molekul 408 (Nina Salamah et al: 2009).
Tabel 4.4 Perbandingan Spektrum 1H-NMR, 13C-NMR antara senyawa hasil isolasi dengan Eurycomanone
Posisi 1H-NMR 13C-NMR
Isolata) Eurycomanoneb) Isolatc) Eurycomanoned)
C-1 3,11 (1H, s) 5,43 (1H, s) 38,59 77,11
C-2 199,65 198,91
C-3 5,02 (1H, d, J = 7 Hz) 6,05 (1H, d, J = 1.5 Hz) 123,73 125,96
C-4 5,15 (1H, d, J = 6 Hz) 138,10 165,18
C-5 3,02 (1H, t, J = 7 Hz) 31,22 46,95
C-6 2,29 (1H, t, J = 7 Hz) 32,93 48,05
C-7 3,73 (1H, s) 4,71 (1H, t, J = 2 Hz) 33,97 53,12
C-8 35,59 68,03
C-9 1,53 (1H, d, J = 7 Hz) 3,75 (1H, s) 19,00 26,10
C-10 29,68 42,83
C-11 0,70 (1H, t, J = 5,7,7 Hz) 55,87 109,18
C-12 0,80 (1H, t, J = 5,7,7 Hz) 4,29 (1H, s) 53,82 84,34
C-13 2,36 (1H, p, J = 7, 7 Hz) 129,43 146,14
C-14 51,21 80,84
C-15 3,21 (1H, s) 3,68 (1H, s) 45,80 79,33
C-16 171.71 174,53
C-17 1,85 (1H, s) 2,06 (1H, s) 14,10 10,05
C-18 2,01 (1H, d, J = 7 Hz) 5,54 (1H, s) 60,00 121,52
C-19 1,01 (1H, s) 1,28 (1H, s) 17,36 22,88
C-20 1,40 (2H, s) 3,95 (2H, s) 40,45 71,74
a)1H-NMR (600 MHz), b)1H-NMR (500 MHz), c)13C-NMR (150 MHz), d)13C-NMR (100 MHz)
a),c) pelarut CHCl3, b),d) pelarut CH3OH

Gambar 4.9 Struktur Eurycomanone


BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil sperktroskopi 13C-NMR, 1H-NMR, dan massa, senyawa yang telah diisolasi dari ekstrak etil asetat tumbuhan pasak bumi (Eurycoma longifolia) merupakan salah satu kelompok quasinoid yang mirip dengan eurycomanone.
Hasil uji bioaktivitas terhadap Artemia salina mengindikasikan bahwa senyawa quasinoid memiliki sifat sangat toksik dengan LC50 = 94,21 ppm.
5.1 Saran
Penelitian ini hanya sebatas mengetahui bioaktivitas isolat tumbuhan pasak bumi secara umun (uji pendahuluan). Disarankan penelitian ini perlu dilanjutkan dengan uji bioaktivitas yang lebih khusus untuk melihat aktivitas senyawa sebagai insektisida.

DAFTAR RUJUKAN
Anwar. 1994. Tekhnik Laboratorium. Bogor: IPB

Colegate, S.M dan Molyneux, R. J. 1993. Bioactive Natural Products. Florida: CRC Press

Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 1. Jakarta: Erlangga

Gritter, R.J., Bobbitt, J.M., dan Schwarting, A.E. 1991. Pengantar Kromatografi. Bandung: ITB

Gunawan, D. 2005. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri

Harmita dan Radji, M. 2006. Buku Ajar Analisis Hayati. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hendayana, S. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: IKIP

Hooi Hoon Ang, Yukio Hitotsuyanagi, Haruhiko Fukaya and Koichi Takeya. 2001. Quassinoids from Eurycoma longifolia. Tokyo: Tokyo University of Pharmacy and Life Science.
http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6TH7-44R2MPJ-8

Ibrahim, S. 1998. Tekhnik Laboraratorium Kimia Organik. Padang: UNAND

Julisasi. 2000. Eurycoma longifolia Jack (Pasak Bumi). Published in Ekplorasi 2.4 pg.6. http://www.bogor.indo.net.id/kri/eurycoma.htm

Keenan, C.W., Kleinfelter, D.C., dan Wood, J.H. 1986. Ilmu Kimia untuk Universitas Jilid 2. Jakarta: Erlangga

Mae., Wahyuono, S., Santosa, D., Setiadi, J., Widiastuti, SM., Rakhmawati, R., dan Wahyuni, D.S.C. 2008. Eksplorasi Tumbuhan dari Hutan Kalimantan Tengah Sebagai Senyawa Bioaktif.
www.unsjournals.com/D/D0903/D090303.pdf

Meyer, B. N., N. R. Ferrigini, J. E., Putman, J. B., Jacobson, D. E., Nochols., and J. L. Mc. Laughlin. 1982. Brine Shrimp: A Convinient General Bioassay for Active Plant Constituent, Plant Med

Salamah, N., Sugianto., Mae., Hayati, F., dan Jumariyatno, P. 2009. Isolasi dan Identifikasi eurycomanone akar pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack) serta uji anti-angiogenik. Jakarta: Majalah Farmasi Indonesia.
Silvertein, R. M., Webster, F. X. 1998. Spectrometric Identification of Organic Compounds. New York. John Wiley & Sons, Inc.

Soenanto, H. 2009. Obat Tradisional untuk Pasangan Suami Istri. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Sudarmadji, S. 1996. Teknik Analisa Biokimiawi. Yogyakarta: Liberty

Sumawinata, N. ______. Senarai Istilah Kedokteran Gigi Inggris-Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Underwood. 2001. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta: Erlangga

Watson, D. 2007. Analisis Farmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Lampiran 1. Data Observasi dan Wawancara
Observasi
Tabel 1 Lembar observasi
No Instrumen Ya Tidak Ket
1 Terdapat tumbuhan pasak bumi 
2 Dimanfaatkan oleh warga setempat 
3 Diperjualbelikan 
4 Budidaya tumbuhan pasak bumi 
5 Apakah pemanfata tumbuhan pasak bumi memberika pengaruh yang signifikan bagi kesehatan 

Wawancara
Apakah di kecamatan Merlung banyak terdapat tumbuhan pasak bumi?
Banyak.
Apakah tumbuhan pasak bumi banyak dimanfaatkan warga setempat?
Rata-rata warga setempat memanfaatkan pasak bumi sebagai obat.
Bagian tumbuhan mana yang sering dimanfaatkan?
Akar dan batang.
Bagaimana cara pemanfaatan pasak bumi?
Hanya diseduh dengan air panas lalu diminum.
Warga setempat menggunakan pasak bumi sebagai obat apa saja?
Obat diare, malaria, dan demam.
Bagaimana sistem penanaman yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam upaya pembudidayaan tumbuhan pasak bumi?
Pasak bumi di Merlung tidak dibudidayakan, tumbuh sendiri secara berkelompok di sekitar perkebunan kelapa sawit.

Lampiran 2. Lembar Penuntun Praktikum Kimia Organik II
Isolasi Senyawa Quasinoid dari Ekstrak Etil Asetat Tumbuhan Pasak Bumi (Eurycoma longifolia jack)
Tujuan: - Menguasai teknik-teknik isolasi senyawa bahan alam khususnya
Senyawa triterpen.
Mengenal sifat-sifat kimia triterpen melalui reaksi-reaksi pengenalan yang spesifik.
Pendahuluan
Pasak Bumi (Eurycoma longifolia) merupakan tumbuhan yang sering banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional. Hampir semua bagian tumbuhan pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat. Kulit akar digunakan untuk menyembuhkan demam, sariawan, dan cacingan. Akar pasak bumi sebagai obat untuk disentri dan menurunkan suhu badan. Ramuan kulit batang dan daun juga digunakan untuk mengurangi rasa sakit pada tulang dan menghilangkan gatal-gatal pada kulit. Pasak bumi mengandung senyawa metabolit sekunder berupa sitosterol, eurycomalakton, stigmastrol. Pasak bumi juga banyak mengandung senyawa quasinoid, diantaranya eurycolacton D, eurycolacton E, dan eurycolacton F (Hooi Hoon Ang, 2001:1). Karena itu dengan mudah bisa diisolasi dari akar dan batangnya mengunakan pelarut seperti etil asetat.



Struktur kimia senyawa eurycolactone D, eurycolactone E dan eurycolactone F
Alat dan Bahan

Alat:
Alat sokletasi
Corong pisah
Alat KLT
Kolom kromatografi
Rotary evaporator
Labu evavorator




Bahan:
n-heksan
metanol
etil asetat
kloroform
si gel merck 60 (35-79 mesh)
si gel merck 60 (230-400 mesh)
kieselgel 60F254 plates (0,25 mm, Merck)
kertas saring
Asam Phosfomolibdic


Cara Kerja
Isolasi Senyawa Quasinoid
Dalam kertas saring yang telah berbentuk timbel masukkan 400 gram serbuk akar dan batang pasak bumi, kemudian sokletasi dengan pelarut metanol. Ambil residunya dan refluks dengan menggunkan pelaru yang sama. Filtrat yang diperoleh digabung kemudian dipekatkan dengan mengunakan evaporator. Ekstrak pekat metanol dipartisi dengan etil asetat : air (1:1) sebanyak 3x pengulangan. Pisahkan filtrat air dan filtrat etil asetat. Filtrat etil asetat dipekatkan dibawah tekanan rendah (evaporator).

Pemurnian
Tentukan jenis eluen dengan mengkromatografi lapis tipis (KLT) ekstrak kental etil asetat. Lakukan pemisahan dengan Kromatografi vakum cair (KVC) dan pilih fraksi yang pola nodanya paling sederhana. Kemudian lanjutkan pemisahan dengan Kromatografi kolom gravitasi (KKG). Pilih dan gabungkan fraksi yang pola nodanya sama. Uji kemurnian isolat dengan KLT.
Pemeriksaan kromatografi lapis tipis (KLT)
Isolat padat hasil isolasi dilarutkan dalam etil asetat, dengan menggunakan pipa kapiler totolkan pada plat KLT pada jarak 0,5 cm dari bawah, gunakan senyawa quasinoid standar sebagai pembanding. Masukkan dalam chamber yang telah dijenuhkan dengan eluen heksan:etil asetat. Pengamatan noda dilakukan dengan melihatnya di bawah lampu UV dan ditetesi dengan penampak noda asam phosfomolibdic. Hitung Rf-nya dan bandingkan dengan standar.
Pemeriksaan dengan NMR
Isolat yang dihasilkan dilarutkan dalam kloroform kemudian dibuat spektrum NMR-nya.


Lampiran 3. Spektrum 1H-NMR









































Lampiran 4. Spektrum 13C-NMR

Lampiran 5. Spektrum Massa

Lampiran 6. Skenario Penelitian











Disokletasi dengan Metanol



Direfluks dengan Me-OH




dievaporasi



dipartisi dengan EtoAc:air (1:1)




diuji bioaktivitas dgn menggunakan bioindikator larva udang (Artemia salina)


pencarian eluen dgn KLT
pemisahan dgn KVC











Melihat pola noda masing2 fraksi dgn KLT
dipilih fraksi yg pola nodanya paling sederhana (Fa)


pencarian eluen dgn KLT
pemisahan dan pemurnian dgn KKG



Melihat pola noda masing2 fraksi dgn KLT
Fraksi yg nodanya mirip digabung (isolat)



diuji bioaktivitas dengan menggunakan bioindikator larva udang (Artemia salina)


Karakterisasi dengan spektroskopi NMR




Tahap-tahap ekstraksi, pemisahan, dan pemurnian isolat




















Dilarutkan dalam 1000 μl etil asetat



Diambil 40 μl untuk diencerkan



Diuapkan sampai kering
Ditambahkan 800 μl DMSO



Pengenceran dalam mikroplate









Catt: kolom H tidak digunakan dalam pengukuran.



Diuapkan sampai pelarutnya habis


Ditambah 7-15 ekor larva Artemia salina dgn air laut tepat 100 μl
Dibiarkan selama 24 jam


Catt: Untuk blangko dilakukan pekerjaan yang sama tampa menggunakan sampel.


Lampiran 7. Uji Bioaktivitas Ekstrak kasar Etil Asetat terhadap Artemia salina (3 x pengulangan)

Tabel 1 Perlakuan 1
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 6 9 26 9 26/35 74,3
250 2,4 6 9 20 18 20/38 52,6
125 2,1 5 10 14 28 14/42 33,3
62,5 1,8 4 11 9 39 9/48 18,75
31,5 1,5 2 13 5 42 5/47 10,6
15,63 1,2 2 13 3 55 3/58 5,2
7,87 0,9 1 14 1 69 1/70 1,4



Tabel 2 Perlakuan 2
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 8 7 33 7 33/40 82,5
250 2,4 6 9 25 16 25/41 61
125 2,1 6 9 19 25 19/44 43,2
62,5 1,8 4 11 13 36 13/49 26,5
31,5 1,5 4 11 9 47 9/56 16
15,63 1,2 3 12 5 59 5/64 7,8
7,87 0,9 2 13 2 72 2/74 2,7



Tabel 3 Perlakuan 3
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 5 10 19 10 19/29 65,5
250 2,4 4 11 14 21 14/35 40
125 2,1 4 11 10 32 10/42 23,8
62,5 1,8 3 12 6 44 6/50 12
31,5 1,5 1 14 3 58 3/61 4,9
15,63 1,2 2 13 2 71 2/73 2,7
7,87 0,9 0 15 0 86 0/86 0


Lampiran 8. Uji Bioaktivitas Isolat Etil Asetat terhadap Artemia salina (3 x pengulangan)


Tabel 1 Perlakuan 1
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 8 7 55 7 55/62 88,7
250 2,4 10 5 47 12 47/59 79,6
125 2,1 9 6 37 18 37/55 67,3
62,5 1,8 8 7 28 25 28/53 52,8
31,5 1,5 9 6 20 31 20/51 39,2
15,63 1,2 6 9 11 40 11/51 21,5
7,87 0,9 5 10 5 50 5/55 9



Tabel 2 Perlakuan 2
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 12 3 53 3 53/56 94,6
250 2,4 7 8 31 11 31/42 73,8
125 2,1 7 8 24 19 24/43 55,8
62,5 1,8 6 9 17 28 17/45 37,7
31,5 1,5 4 11 11 39 11/50 22
15,63 1,2 3 12 7 51 7/58 12
7,87 0,9 4 11 4 62 4/66 6



Tabel 3 Perlakuan 3
Konsentrasi ppm Log Konsentrasi Mati Hidup Jumlah Total yang Mati Jumlah Total yang Hidup Rasio Mati/Total % Kematian M
500 2,7 6 9 32 9 32/41 78
250 2,4 7 8 26 17 26/43 60
125 2,1 6 9 19 26 19/45 42
62,5 1,8 5 10 13 36 13/49 26,5
31,5 1,5 4 11 8 47 8/55 14,5
15,63 1,2 2 13 4 60 4/64 6,25
7,87 0,9 2 13 2 73 2/75 2,6


Lampiran 9. Alat dan Bahan Penelitian
















Gambar 1. Serbuk Akar & Batang Pasak Bumi Gambar 2. Sonicator























Gambar 3. Sokletasi Gambar 4. KVC Gambar 5. KKG













Gambar 6. Rotary Evaporator
















Gambar 7. Wadah Penyemaian Benur Udang













Gambar 8. Hot Plate Gambar 9. UV-Betrachter
Lampiran 10. Surat Izin Penelitian
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929