loading...

prinsip komunikasi dalam al-quran

December 26, 2016
loading...
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peradaban masyarakat Medinah pada masa awal adalah bukti konkret keberhasilan dakwah Rasulullah Muhammad s.a.w.. Digam¬barkan, hubungan sosial masyarakatnya sangat hangat dan indah, saling menghargai dan menghormati di tengah-tengah perbedaan, tidak saling memaksakan kehendak dan pendapat sendiri. Keberhasilan ini tidak lepas dari ke¬mam-puan Rasulullah s.a.w. dalam mengomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi dengan baik yang ditopang dengan keluhuran budi pekerti.
Manusia, di samping sebagai makhluk beragama, adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu hidup bermasyarakat dan senan¬tiasa membu¬tuh¬kan peran-serta pihak lain. Artinya, berinteraksi sosial atau hidup bermasya¬rakat merupakan sesuatu yang tumbuh sesuai dengan fitrah dan kebutuhan kemanusiaan.
Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip komunikasi dalam al-quran ?
2. Bagaimana membangun prinsip komunikasi ?
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui prinsip komunikasi dalam Al-qur’an.
2. Mengetahui cara membangun prinsip komunikasi.
Manfaat Penulisan
1. Sebagai referensi mahasiswa dalam perkuliahan.
2. Berguna bagi mahasiswa dalam memahami cara membangun prinsip komunikasi yang sesuai dengan ajaran Al-qur’an.
Kegunaan Penulisan
Makalah ini ditulis sebagai tugas terstruktur, sebagai bahan ajar dan diskusi.


BAB II
PEMBAHASAN
Prinsip komunikasi dalam Al-qur’an
Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rah¬mat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengan¬dung dua aspek, yaitu (1) aspek isi dan (2) aspek kandungan, di mana yang kedua mengkla¬si¬fikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metako¬muni¬kasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyam-paikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara dua pihak yang berkomunikasi.
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antaranggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab, yang digambarkan oleh Jalaludin Rahmat, yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana ‘sang komunikator’ akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memu¬lia¬kan kemanusiaannya. Adapun gambaran kebalikannya yaitu apa¬bila sang komunikator menjadikan pihak lain sebagai objek; ia hanya menuntut agar orang lain bisa memahami pendapatnya; semen¬tara itu, ia sendiri tidak bisa menghormati pendapat orang lain. Dalam komunikasi bentuk kedua ini, bukan saja ia telah mendehuma¬ni¬sasikan (melecehkan nilai kemanusian) mereka, tetapi juga dirinya sendiri.
Ada hal penting yang lebih dulu dijelaskan terkait dengan tema bahasan di atas. Pertama, al-Qur’an tidak memberikan uraian secara spesifik tentang komunikasi. Kata ‘komunikasi’ berasal dari bahasa Latin, communicatio, dan bersumber dari kata cummunis yang ber¬arti sama, maksudnya sama makna. Artinya, suatu komunikasi dika¬takan komunikatif jika antara masing-masing pihak mengerti bahasa yang digunakan, dan paham terhadap apa yang diper¬cakapkan.
Dalam proses komunikasi, paling tidak, terdapat tiga unsur, yaitu komunikator, media dan komunikan. Para pakar komunikasi juga menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya bersifat informatif, yakni agar orang lain mengerti dan paham, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain mau menerima ajaran atau informasi yang disampaikan, melakukan kegiatan atau perbuatan, dan lain-lain. Bahkan menurut Hovland, seperti yang dikutip oleh Onong, bahwa berkomunikasi bukan hanya terkait dengan penyampaian informasi, akan tetapi juga bertujuan pemben¬tukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik (public attitude).
Kedua, meskipun al-Qur’an secara spesifik tidak membi¬ca¬rakan masalah komunikasi, namun, jika diteliti (ada) banyak ayat yang memberikan gambaran umum prinsip-prinsip komunikasi. Dalam hal ini, penulis akan merujuk kepada term-term khusus yang diasum¬sikan sebagai penjelasan dari prinsip-prinsip komunikasi tersebut. Antara lain, term qaulan balîghan, qaulan maisûran, qaulan karî¬man, qaulan ma’rûfan, qaulan layyinan, qaulan sadîdan, juga ter¬ma¬suk qaul al-zûr, dan lain-lain.
Prinsip Qaul Balîgh
Di dalam al-Qur’an term qaul balîgh hanya disebutkan sekali, yaitu pada QS an-Nisâ’/4: 62-63:
“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. an-Nisâ’/4: 62-63)
Ayat ini menginformasikan tentang kebusukan hati kaum munafik, bahwa mereka tidak akan pernah bertahkim (berdamai) kepada Rasu¬lullah s.a.w, meski mereka bersumpah atas nama Allah, kalau apa yang mereka lakukan semata-mata hanya menghendaki kebaikan. Walapun begitu, beliau dilarang menghukum mereka secara fisik (makna dari “berpalinglah dari mereka”), akan tetapi, cukup mem¬beri nasihat sekaligus ancaman bahwa perbuatan buruknya akan mengakibatkan turunnya siksa Allah, dan berkata kepada mereka dengan perkataan yang balîgh.
Secara rinci, para pakar sastra, seperti yang dikutip oleh M. Quraish Shihab, membuat kriteria-kriteria khusus tentang suatu pesan dianggap balîgh, antara lain:
1. Tertampungnya seluruh pesan dalam kalimat yang disam¬pai¬kan
2. Kalimatnya tidak bertele-tele, juga tidak terlalu pendek sehingga pengertiannya menjadi kabur
3. Pilihan kosa katanya tidak dirasakan asing bagi si pendengar
4. Kesesuaian kandungan dan gaya bahasa dengan lawan bicara
5. Kesesuaian dengan tata bahasa
Prinsip Qaul Karîm
Term ini ditemukan di dalam al-Qur’an hanya sekali, yaitu pada QS al-Isrâ’/17: 23,
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
Ayat di atas menginformasikan bahwa ada dua ketetapan Allah yang menjadi kewajiban setiap manusia, yaitu menyembah Allah dan berbakti kepada kedua orang tua. Ajaran ini sebenarnya ajaran kema¬nusiaan yang bersifat umum, karena setiap manusia pasti menyan¬dang dua predikat ini sekaligus, yakni sebagai makhluk ciptaan Allah, yang oleh karenanya harus menghamba kepada-Nya semata; dan anak dari kedua orang tuanya. Sebab, kedua orang tuanyalah yang menjadi perantara kehadirannya di muka bumi ini. Bukan hanya itu, struktur ayat ini, di mana dua pernyataan tersebut dirangkai dengan huruf wawu ‘athaf, yang salah satu fungsinya adalah menggabung¬kan dua pernyataan yang tidak bisa saling dipisahkan, menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua menjadi parameter bagi kualitas penghambaan manusia kepada Allah.
Di sinilah Sayyid Quthb menyatakan bahwa perkataan yang karīm, dalam konteks hubungan dengan kedua orang tua, pada hakikatnya adalah tingkatan yang tertinggi yang harus dilakukan oleh seorang anak. Yakni, bagaimana ia berkata kepadanya, namun keduanya tetap merasa dimuliakan dan dihormati. Ibn ‘Asyur menyatakan bahwa qaul karīm adalah perkataan yang tidak memojokkan pihak lain yang membuat dirinya merasa seakan terhina. Contoh yang paling jelas adalah ketika seorang anak ingin menasihati orang tuanya yang salah, yakni dengan tetap menjaga sopan santun dan tidak bermak¬sud menggurui, apalagi sampai menyinggung perasaan¬nya. Yang pasti qaul karîm, adalah setiap perkataan yang dikenal lembut, baik, yang mengandung unsur pemuliaan dan penghormatan.
Prinsip Qaul Maisūr
Di dalam al-Qur’an hanya ditemukan sekali saja, yaitu surah al-Isra’/17: 28:
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas (lemah-lembut).”
Ibn Zaid berkata, “Ayat ini turun berkenaan dengan kasus suatu kaum yang minta sesuatu kepada Rasulullah s.a.w.. Namun beliau tidak mengabulkan permintaannya, sebab beliau tahu kalau mereka seringkali membelanjakan harta kepada hal-hal yang tidak berman-faat. Sehingga berpalingnya beliau adalah semata-mata karena berharap pahala. Sebab, dengan begitu beliau tidak mendukung kebiasaan buruknya dalam menghambur-hamburkan harta. Namun begitu, harus tetap berkata dengan perkataan yang menyenangkan atau melegakan.”
Ayat ini juga mengajarkan, apabila kita tidak bisa memberi atau mengabulkan permintaan karena memang tidak ada, maka harus disertai dengan perkataan yang baik dan alasan-alasan yang rasional. Pada prinsipnya, qaul maisūr adalah segala bentuk perka¬taan yang baik, lembut, dan melegakan. Ada juga yang menje¬laskan, qaul maisūr adalah menjawab dengan cara yang sangat baik, perkataan yang lembut dan tidak mengada-ada. Ada juga yang mengidentikkan qaul maisūr dengan qaul ma’rūf. Artinya, perkata¬an yang maisūr adalah ucapan yang wajar dan sudah dikenal sebagai perkataan yang baik bagi masyarakat setempat.
Prinsip Qaul Ma’ruf
Di dalam al-Qur’an term ini disebutkan sebanyak empat kali, yaitu QS. al-Baqarah/2: 235, an-Nisâ’/4: 5 dan 8, al-Ahzâb/33: 32. Di dalam QS. al-Baqarah/2: 235, qaul ma’rûf disebutkan dalam konteks meminang wanita yang telah ditinggal mati suaminya. Sementara di dalam QS. an-Nisa’/4: 5 dan 8, qaul ma’rûf dinyatakan dalam konteks tanggung jawab atas harta seorang anak yang belum me¬man¬faatkannya secara benar (safîh). Sedangkan di QS. al-Ahzâb/33: 32, qaul ma’rûf disebutkan dalam konteks isteri-isteri Nabi s.a.w. Kata ma’rûf disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 38 kali, yang bisa diperinci sebagai berikut:
a. Terkait dengan tebusan dalam masalah pembunuhan setelah mendapatkan pemaafan terkait dengan wasiyat
b. Terkait dengan persoalan thalaq, nafkah, mahar, ‘iddah, pergaulan suami-isteri
c. Terkait dengan dakwah
d. Terkait dengan pengelolaan harta anak yatim
e. Terkait dengan pembicaraan atau ucapan
f. Terkait dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dalam beberapa konteks al-Razi menjelaskan, bahwa qaul ma’rûf adalah perkataan yang baik, yang menancap ke dalam jiwa, sehingga yang diajak bicara tidak merasa dianggap bodoh (safîh); perkataan yang mengandung penyesalan ketika tidak bisa memberi atau membantu; Perkataan yang tidak menyakitkan dan yang sudah dikenal sebagai perkataan yang baik.
Prinsip Qaul Layyin
Di dalam al-Qur’an hanya ditemukan sekali saja, QS. Thâhâ/ 20: 43-44:
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya Dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau takut”.
Ayat ini memaparkan kisah Nabi Musa a.s. dan Harun a.s. ketika diperin¬tah¬kan untuk menghadapi Fir’aun, yaitu agar keduanya ber¬ka¬ta kepada Fir’aun dengan perkataan yang layyin. Asal makna layyin adalah lembut atau gemulai, yang pada mulanya digunakan untuk menunjuk gerakan tubuh. Kemudian kata ini dipinjam (isti’ârah) untuk menunjukkan perkataan yang lembut. Semen¬tara yang dimaksud dengan qaul layyin adalah perkataan yang mengan¬dung anjuran, ajakan, pemberian contoh, di mana si pembi¬cara berusaha meyakinkan pihak lain bahwa apa yang disampaikan adalah benar dan rasional, dengan tidak bermaksud merendahkan pendapat atau pandangan orang yang diajak bicara tersebut. Dengan demikian, qaul layyin adalah salah satu metode dakwah, karena tujuan utama dakwah adalah mengajak orang lain kepada kebenaran, bukan untuk memaksa dan unjuk kekuatan.
Ada hal yang menarik untuk dikritisi, misalnya, kenapa Musa a.s. harus berkata lembut padahal Fir’aun adalah tokoh yang sangat jahat. Menurut al-Razi, ada dua alasan, pertama, sebab Musa a.s. pernah dididik dan ditanggung kehidupannya semasa bayi sampai dewasa. Hal ini, merupakan pendidikan bagi setiap orang, yakni bagaimana seha¬rus¬nya bersikap kepada orang yang telah berjasa besar dalam hidupnya; kedua, biasanya seorang penguasa yang zalim itu cenderung bersikap lebih kasar dan kejam jika diperlakukan secara kasar dan dirasa tidak menghormatinya.
Prinsip Qaul Sadîd
Di dalam al-Qur’an qaul sadîd disebutkan dua kali, pertama, QS an-Nisa’/4: 9:
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat ini turun dalam kasus seseorang yang mau meninggal ber¬maksud mewasiyatkan seluruh kekayaan kepada orang lain, padahal anak-anaknya masih membutuhkan harta tersebut. Dalam kasus ini, perkataan yang harus disampaikan kepadanya harus tepat dan argumentatif. Inilah makna qaul sadīd. Misalnya, dengan perkatan, “bahwa anak-anakmu adalah yang paling berhak atas hartamu ini. Jika seluruhnya kamu wasiyatkan, bagaimana dengan nasib anak-anakmu kelak.” Melalui ayat ini juga, Allah ingin mengingatkan kepa¬da setiap orang tua hendaknya mempersiapkan masa depan anak-anaknya dengan sebaik-baiknya agar tidak hidup terlantar yang justeru akan menjadi beban orang lain.
Prinsip Qaul Zûr
Di dalam al-Qur’an, qaul zûr hanya ditemukan sekali, pada QS. al-Hajj/22: 30,
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah. Maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
Ayat ini dapat dipahami, bahwa ketika seseorang menga¬gung¬kan masyâ’ir harâm dan memakan binatang yang dihalalkan, akan tetapi tidak menjauhi syirik dan perkataan dusta (zûr), maka pengagungan tersebut tidak memiliki dampak spiritual apapun bagi dirinya. Atau juga bisa dipahami bahwa perkataan dusta (zur) hakikatnya sama dengan menyembah berhala, dalam hal sama-sama mengikuti hawa nafsu. Atau lebih konkretnya, sama-sama “menuhan¬kan hawa nafsu”.
Asal makna kata zūr adalah menyimpang/melenceng (mā`il). Perkataan zūr dimaknai kizb (dusta), karena menyimpang/melen¬ceng dari yang semestinya atau yang dituju. Qaul zūr juga ditafsirkan mengharamkan yang halal atau sebaliknya; serta saksi palsu. Rasulullah s.a.w., sebagaimana dikutip oleh al-Razi, bersabda: “saksi palsu itu sebanding syirik. Menurut al-Qurthubi, ayat ini mengandung ancaman bagi yang memberikan saksi dan sumpah palsu. Ia termasuk salah satu dosa besar, bahkan termasuk tindak pidana.

Membangun prinsip komunikasi
Unsur yang terpenting di dalam komunikasi adalah komuni¬kator, komunike, dan komunikan. Namun, ada hal di luar dari ketiga unsur ini ini, yaitu teknik atau cara. Bahkan, dalam beberapa kasus, seringkali cara lebih penting dari pada isi, sebagaimana dalam ungkapan Arab: الطَّرِيْقَةُ أَهَمُّ مِنَ الْمَادَّةِ (cara lebih penting dari pada isi) Tentu saja, pernyataan ini masih bisa diperdebatkan; namun, yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa cara penyampaian (berkomu¬nikasi) terkadang, atau bahkan, seringkali lebih penting dari isi. Dalam hal ini, bisa digambarkan melalui sebuah kasus. Ada seorang anak muda yang baru belajar agama. Di antara materi yang pernah didengar atau diterima adalah bahwa “setiap muslim harus berani berkata benar meskipun pahit”. Setelah mendengar nasihat ini, yang tergambar pertama kali di benaknya adalah orang tuanya yang seringkali meninggalkan shalat atau bahkan tidak pernah shalat.
Secara umum, upaya pembangunan prinsip komunikasi bisa diklasifikasikan sebagai berikut:
Pertama, Komunikasi dan Pendidikan. Dalam konteks komunikasi beradab, pendidikan dalam hal lebih ditekankan kepada pendidikan berbasis karakter atau akhlaq. Sebuah pembangunan karakter (character building) tidak identik dengan transfer ilmu. Sehingga di dalam Islam diperkenalkan dengan isitilah tarbiyah yang berasal dari rabbā-yurabbī-tarbiiyatan yang didefinisikan oleh al-Ishfahani, yaitu: “mendorong dan mengawal pihak lain menuju kepada kesempur¬na¬annya”.
Di sini proses komunikasi pendidikan tidak hanya dipahami sebagai proses transfer pengetahuan yang bersifat satu arah; akan tetapi, harus ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pendidik/ gu¬ru, sebagai komunikator, untuk mampu memberikan keteladan yang baik, sebagai upaya bermetakomunikasi. Juga kedua orang tuanya sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bahkan, secara naluriah, seorang anak sangat senang dan bangga jika bisa meneladani kedua orang tuanya. Ketidak sempurnaan proses komunikasi pendidikan terjadi, misalnya hanya mengajarkan pelaja¬ran-pelajaran yang berbasis kompetensi tetapi tidak menanamkan nilai-nilai berbasis karakter atau akhlaq. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk kriminalitas pendidikan. Faktor kegagalan guru/orang tua dalam proses pendidikan, antara lain, disebabkan kegagalan membangun prinsip komunikasi tersebut.
Kedua, Komunikasi dan Masyarakat. Masyarakat adalah orang kebanyakan, yang secara sosial dan pendidikan biasanya rendah dan lemah. Sehingga, masyarakat meru¬pakan suatu kelompok manusia yang paling mudah untuk dipenga¬ruhi dan diprovokasi. Oleh karena itu, dalam konteks mem¬ba¬ngun hubungan masyarakat ini, seharusnya menerapkan prinsip-prinsip qaul balīgh, yaitu bahasanya tepat, sesuai dengan yang dikehen¬daki,dan isi perkataan adalah suatu kebenaran, bukan sema¬ta-mata bersifat profokatif dan manipulatif. Di sinilah, kelu¬huran akhlak si komunikator menjadi sangat penting, dalam konteks mem¬bangun hubungan sosial maupun politik. Sebab, pengeta¬hu¬an¬nya tentang khalayak tidak dimaksudkan untuk menipu dan mem¬provokasi. Akan tetapi untuk memahami, bernegosiasi, serta bersa¬ma-sama saling memuliakan kemanusiaannya.Tidak bisa dibayangkan, bagaimana seandainya jiwa dan ka¬rak¬ter sang komunikator itu tidak baik, seperti ambisius, serakah, dan lain-lain, maka kemampuan retorika dan logikanya justeru akan dijadikan sebagai alat untuk mempengaruhi bahkan mencuci otak masyarakatnya demi memenuhi ambisinya, melanggengkan penga¬ruh dan kekuasaanya.
Dalam hal ini, bisa dilihat pada kasus Fir’aun: “Dan Fir’aun berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetaui tuhan bagimu selain aku…”Melalui kata-katanya ini Fir’aun ingin mempengarui pikiran dan jiwa mereka, bahwa ia memang layak diposisikan sebagai tuhan, karena pada kenyataannya hanya dialah yang bias menjamin tingkat kelayakan hidup rakyat Mesir saat itu. Fir’aun paham betul dengan apa yang diinginkan oleh rakyat Mesir, yaitu hidup sejahtera, layak, terpenuhinya seluruh kebutuhan hidup¬nya. Ia berusaha untuk memperoleh dukungan seluas-luasnya, bukan sekedar untuk memantapkan posisinya sebagai penguasa tanpa tanding, sekaligus utuk menjatuhkan lawan politiknya, Musa a.s.
Ketiga, Komunikasi dan Dakwah. Inti dakwah adalah mengajak orang lain untuk mengikuti apa yang diserukannya. Oleh karenanya, kemampuan berkomunikasi dan bermetakomunikasi dengan baik adalah menduduki posisi yang cukup strategis. Demikian itu, karena Islam memandang bahwa setiap muslim adalah da’i. Sebagai da’i, ia senantiasa dituntut untuk mau dan mampu mengomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi secara baik. Sebab, kesalahan dalam mengomunikasikan ajaran Islam, justeru akan membawa akibat yang cukup serius dalam perkembangan dakwah Islam itu sendiri.
Dengan demikian, tegaknya nilai-nilai hubungan sosial yang luhur adalah sebagai kelanjutan dari tegaknya nilai-nilai keadaban itu. Artinya, masing-masing pribadi atau kelompok, dalam suatu lingkungan sosial yang lebih luas, memiliki kesediaan memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri. Masyarakat semacam ini pernah dibangun oleh Rasulullah s.a.w. sewaktu berada di Medinah; dan ini merupakan bukti konkret dari keberhasilan dakwah beliau. Keberhasilan ini tentu saja suatu prestasi yang luar biasa yang tidak bisa begitu saja dipandang dari sisi kebenaran Islam dan keagungan al-Qur’an semata. Akan tetapi, ada faktor lain yang dianggap cukup dominan dalam konteks dakwah dan pembangunan masyarakat Medinah ini, yaitu kemampuan beliau dalam mengomunikasikan ajaran-ajaran Ilahi tersebut dengan baik dan persuasif, yang ditopang oleh keluhuran budi pekerti beliau sendiri. Jika kita telusuri sirah (sejarah) Nabi s.a.w., maka akan dijumpai betapa beliau telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip komunikasi dalam al-Qur’an, sebagaimana diuraikan, secara konsisten.


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Para pakar komunikasi, sebagaimana yang dikutip oleh Jalaluddin Rah¬mat, berpendapat bahwa setiap komunikasi mengan¬dung dua aspek, yaitu (1) aspek isi dan (2) aspek kandungan, di mana yang kedua mengkla¬si¬fikasikan yang pertama dan karena itu merupakan metako¬muni¬kasi (di luar komunikasi). Komunikasi memang bukan hanya menyam-paikan informasi tetapi yang terpenting adalah mengatur hubungan sosial di antara dua pihak yang berkomunikasi.
Untuk itu, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis antaranggota masyarakat, maka harus dikembangkan bentuk-bentuk prinsip komunikasi yaitu sebuah bentuk komunikasi di mana ‘sang komunikator’ akan menghargai apa yang mereka hargai; ia berempati dan berusaha memahami realitas dari perspektif mereka. Pengetahuannya tentang khalayak bukanlah untuk menipu, tetapi untuk memahami mereka, dan bernegosiasi dengan mereka, serta bersama-sama saling memu¬lia¬kan kemanusiaannya
Saran
Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan maka dari itu kami sangat membutuhkan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini agar tidak mengurangi nilai-nilai dalam mempelajari prinsip komunikasi dalam Al-qur’an ini.














DAFTAR PUSTAKA
Amir, Mafri, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Al-Ashfahani, Abu al-Qasim Abu al-Husain bin Muhammad al-Raghib, al-Mufradât fî al-Gharîb al-Qur`ân, Mesir: Mushthofa al-Bab al-halabi, 1961.
Baqi, Muhammad Fuad Abd., al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur`ân al-Karîm, Beirut: Dar al-Fikr. Cet. IV. 1994.
Al-Bukhari, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirat bin Bardizbat, Shahîh al-Bukhâriy, Mesir: Dar al-Mathabi’ al-Sya’b, t. th.
Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya), cet XII, 1999.
Al-Fairuzzabadi, Majd al-Din Muhammad bin Ya’qub, al-Qâmûs al-Muhîth, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.
Al-Manzhur, Abu al-Fadhl Jamal al-Din Muhammad bin Mukram ibn, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Al-Maraghi, Mushthofa, Tafsîr al-Maraghîy, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
Muslim, Imam, Shahîh Muslim, Kairo: al-Masyad al-Husaini, t. th.
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, penerjemah Tjun Surjaman, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. II, 2000.
Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t. th.
Rahmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. X, 1996.
———-, Retorika Modern: Pendekatan Praktis, Bandung: Remaja Ros¬da¬karya, cet. V. 2000.
Al-Razi, Fakhr al-Din, al-Tafsîr al-Kabîr, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929