loading...

Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

December 26, 2016
loading...
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa “amar makruf” adalah menghalalkan semua yang baik, sedangkan “nahi mungkar” adalah mengharamkan segala bentuk kekejian.
M. Quraish Shihab menyatakan dalam tafsirnya, yaitu ketika menafsiri QS. Luqman [30]: 17, bahwa menyuruh mengerjakan ma’ruf mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga ketika melarang kemungkaran juga menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya.
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma’ruf adalah yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas, dengan catatan selama masih sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu nilai-nilai Ilahi. Sedangkan yang dimaksud dengan mungkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Jadi, sangatlah wajar jika ma’ruf itu diperintahkan, karena merupakan kesepakatan umum masyarakat. Sedangkan mungkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia perlu dicegah demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya. Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dengan masyarakat muslim yang lain dalam satu wilyah/ masyarakat tertentu. Menurut Sa’id bin Jubair seperti yang dikutip Imam al-Qurthubi, amar Ma’ruf nahi mungkar ini berjalan bersama kaum muslimin yang melakukan kemaksiatan.




B.    Mengajak Berbuat Baik dan Mencegah Berbuat Kejahatan
Para Ulama islam sepakat bahwa mengajak berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan atau “al-Amr bi al-makruf wa al-nahyi ‘an al-mungkar” adalah keharusan setiap muslim. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaanya. Berikut ini uraian amar makruf nahi mungkar menurut al-Qur’an dan hadist nabi.

1.         Qur’an surah Ali Imran ayat 104 dan ayat 110:
وَلْتكُنِ مِنْكُمْ اُمَّةُ يَدْعُوْنَ اِلَى الخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِهُوْنَ.
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itu lah orang-orang yang beruntung (Ali Imran :104)
كُنْتُمْ خَيْرُ أُمُّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وتُأْمِنُوْنَ بِاللَهِ وَلَوْ اَمَنَ اَهْلُ الْكِتَابَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمْ الْمُؤْمِنُوْنَ وَاَكْثَرُهُمْ الْفَاسِقُوْنَ
Kamu umat islam adalah umat terbaik yang di lahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh berbuat yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang pasik.(QS. Ali Imran : 110)
Dalam ayat 104 di atas, Allah menganjurkan kepada orang-orang islam, hendaklah diantara mereka ada orang-orang yang aktif berdakwah di jalan Allah, yaitu memberikan penjelasan-pnjelasan tentang ajaran-ajaran agama yang harus di laksanakan dan di berikan penerangan tentang larangan-larangan Allah bagi orang-orang islam. Tumbuhnya amar makruf nahi mungkar di kalangan umat islam akan menjamin kebahagiaan hidup mereka baik di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan ayat 110, Allah menegaskan bahwa umat islam adalah memang diciptakan untuk menjadi umat teladan bagi umat-umat yang lain karena mereka membawa misi dakwah, yaitu mengajak kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, serta mencegah segala perbuatan yang keji dan mungkar.
2.         Hadist tentang perintah melakukan amal ma’ruf nahi mugkar
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ دَعَا اِلَى هُدًي كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئا وَمَنْ دَعَا اِلَى ضَلَالَةَ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثلُ آثَامِ مَنْ تَبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئا (روه مسلم(
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “siapa saja yang mengajak kepada kepada kebenaran, maka ia memperoleh pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan siapa saja yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tanpa dikurangi sedikitpun” (HR Muslim)

D.      Perintah Mencegah Kemungkaran
Nabi Muhammad saw menyuruh kita untuk mengubah kemungkaran yang kita saksikan, kemungkaran tersebut harus di ubah agar berganti menjadi kebaikan sesuai dengan kadar kemampuan kita.
Mencegah kemungkaran adalah bagian dari cabang iman sedang iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam melaksanakan perintah syariat. Semakin banyak melakukan kebijakan maka iman pun semakin kuat, sebaliknya semakin banyak melakukan maksiat maka iman pun semakin rapuh. Oleh sebab itu manusia di haruskan selalu menyuruh kepada kebaikan dan mencegah yang mungkar agar dapat mempertebal keimanannya. Seperti sabda Rasulullah.
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإيْمَانِ (روه المسلم(
Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, ia berkata saya telah mendengar Rasulullah saw berabda: Barang siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran maka ubahlahkemungkaran tersebut dengan tangannya jika tidak mampu maka dengan lisanni, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah selamahnya iman. (HR.muslim).
Rasulullah bersabda “siapa yang menyaksikan”, yang di maksud oleh nabi adalah siapa saja yang mengetahuinya, meskipun belum melihat dengan mata kepalanya. Jadi mencakup orang yang melihat dengan matanya langsung atau mendengar dengan telinganya, atau mendapat kabar yang meyakinkan dari orang lain. Maksud menyaksikan disini bukan dengan mata kepala saja,. Meskipun zhahir hadist menunjukkan hal itu hanya penglihatan dengan mata kepala saja, namun selama lafazhnya mencakup makna yang lebih umum maka bisa dimaknai dengan umum.
Al-Qur’an dan as-Sunnah menyelarasi wajibnya menyuruh yang ma’ruf dengan mencegah yang mungkar.
Adapun yang dimaksud dengan مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَللْيُغَيِّرْهُ menurut Imam Ibnu Daqiq yang dikutip Al-Imam Al-Muhyiddin adalah perintah wajib berdasarkan ijma’ umat. Kewajiban yang dibebankan terhadap seorang muslim hanyalah menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Jadi, ketika ia melakukannya, dan yang diajak tidak menaatinya, maka ia tiada dicela setelah itu. Karena memang ia hanyalah diwajibkan menyuruh dan melarang, bukan diterima (atau tidak diterima).
Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 105.
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (Al-Maidah: 105)
Firman Allah ini merupakan dalil yang mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar). Menurut Al-Qurthubi, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar adalah sebuah kewajiban jika ada harapan untuk diterima (oleh orang-orang yang diperintahkan), atau diharapkan orang yang zhalim bisa dikembalikan (dari perbuatan zhalimnya) meski dengan dengan kekerasan, selama tidak ada kekhawatiran timbulnya bahaya pada diri pelakunya atau terjadinya fitnah di tengah-tengah kaum muslimin.
Kemudian, Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Arbain Nawawi mengutip pendapat Imam an-Nawawi, bahwa sabda Nabi SAW:
وذلك أضعف الإيمان bukan berarti bahwa orang yang dengan hatinya memiliki iman yang lebih lemah daripada keimanan lainnya. Akan tetapi, yang dimaksud adalah serendah-rendah iman. Ini dikarenakan karena amal adalah buah keimanan, dan buah keimanan terbesar dalam masalah mencegah kemungkaran adalah mencegah dengan tangannya. Jika ia terbunuh, maka ia mati syahid.
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Selain dari itu, maka tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.”
Hampir senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas, Imam an-Nawawi pun menyatakan demikian, bahwa sabda فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ (jika tidak sanggup, maka dengan lisannya; dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya), menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu tidak boleh melakukan perubahan selain dengan hatinya. Memang, pengingkaran dengan hati tidak akan merubah kemungkaran. Tapi, yang dimaksud dengan pengingkaran hati adalah ia mengingkari hal itu dan tidak meridlainya serta sibuk dengan berdzikir kepada Allah SWT.
Berdasarkan keterangan di atas, timbul pertanyaan apakah memang amar ma’ruf nahi mungkar hanya boleh dilakukan bagi yang mampu saja? Imam ibnu Daqiq menyatakan bahwa menurut para ulama, tidak disyariatkan dalam amar ma’ruf nahi mungkar pelakunya harus sempuurna ikhwalnya, mengerjakan apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Tetapi ia wajib memerintahkan meskipun melakukan apa yang menyelisihi hal itu, karena ia berkewajiban dua hal: memerintahkan terhadap dirinya dan mencegahnya, serta menyuruh orang lain dan mencegahnya.
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tingkatan melarang dari kemungkaran, yaitu:
1.    Mengingkari dengan tangan.
2.    Mengingkari dengan lisan.
3.    Mengingkari dengan hati.
Dalam hadits lain nabi meriwayatkan perumpamaan orang-orang yang enggan menyuruh kepada amar makruf nahi mungkar.
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِ ص م قَالَ "مَثَلُ الْقَائِمِ فِي حُدُوْدِ اللهِ وَاْلوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا عَلَى سَفِيْنَةٍ فَصَارَ بَعْضُهُمْ اَعْلاَهَا وَ بَعْضُهُمْ اَسْفَلَهَا، وَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوْا: لَوْاَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَاِنْ تَرَكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعًا وَاِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَ نَجَوْا جَمِيْعًا (روه البخاري(
Dari An-Nu’man Ibn Basyir ra, dari nabi saw beliau bersabda perumpamaan orang yang teguh menjalanankan hukum Allah dan orang-orang yang terjerumus di dalam adalah bagaikan satu kaum yang terbagi tempat dalam satu kapal sebagian mereka ada di bagian atas kapal dan sebagian lagi ada di bagian bawah. Sedang orang di bagian bawah jika memerlukan air mereka harus naik ke atas melewati orang-orang yang di atas. Maka mereka berkata “seandainya jika kita melobangi di bagian bawah, kita tidak lagi menunggu orang-orang yang di atas kita”. Maka jika mereka yang di atas membiarkan maksud mereka (yang dibawah) pasti mereka semua binasa. Tetapi jika mereka mencegah tangan mereka, tentu mereka selamat dan semuanya selamat. (HR.Bukhari).
Allah juga berfirman dalam surat Al-A’raf : 165
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذَكِّرُوْا بِهِ أَنجَيْنَا الَّذِيْنَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوْءِ وَأَخَذْنَا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا بِعَذَابِ بَئِيْسِ بِمَا كَانُوْا يَفْسُقُوْنَ
Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingati kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orng-orang yang zhalim siksaan yang keras, di sebabkan mereka selalu berbuat fasik. (Al-A’raf : 165)

E.       Larangan Melakukan Kemungkaran
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ ابْنَ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ نَبِيٍ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي اِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ اُمَّتِهِ حَوَارِيُّوْنَ وَاَصْحَابِ يَأُخُذُوْنَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِهِ، ثُمَّ اِنَّمَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوْفٌ يَقُوْلُوْنَ مَا لَا يَفْعَلُوْنَ، وَ يَفْعَلُوْنَ مَا لاَ يُؤْمَرُوْنَ، فَمَنْ جَاهَدُهُمْ بِيَدِهِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدُهُمْ بِلِسَانِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدُهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنُ لَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْذَلٍ (روه مسلم(
Dari Ibnu mas’ud ra. Ia berkata: rasulullah saw bersabda : nabi-nabi yang diutus sebulumku pasti didampingi sahabat-sahabat yang setia. Mereka mengikuti sunahnya dan mengerjakan apa yang diperintahkan sesudah mereka, muncullah orang-orang yang suka berbicara dan tidak suka beramal, mereka membuat sesuatu yang tidak diperintahkan. Siapa saja yang memerangi mereka dengan tangannya (kekuasaannya), maka ia adalah orang yang beriman, siapa saja yang memerangi mereka dengan lisan maka ia adalah orang yang beriman, dan barang siapa yang memerangi dengan hatinya, maka ia juga orang yang beriman, Selain itu, maka tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi (HR muslim)
Firman-Firman Allah swt tentang larangan berbuat zhalim.
QS. Ash-Shuraa[42]:39
وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَابَهُمُ ٱلْبَغْىُ هُمْ يَنتَصِرُونَ ﴿٣٩﴾وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ ﴿٤٠﴾وَلَمَنِ ٱنتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَا عَلَيْهِم مِّن سَبِيلٍ ﴿٤١﴾إِنَّمَا ٱلسَّبِيلُ عَلَى ٱلَّذِينَ يَظْلِمُونَ ٱلنَّاسَ وَيَبْغُونَ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ أُو۟لَٰٓئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٤٢﴾وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ ﴿٤٣﴾
Artinya: dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. Tetapi orang-orang yang membela diri setelah dizalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka. Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih. Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.
C. Tafsiran ayat
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim”. Yakni diperlakukan dzalim oleh orang-orang musyrik. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa “ Hal itu karena kaum musyrikin menzhalimi, menyakiti dan dan mengusir Rasulallah saw bersama para sahabatnya dari kota Makkah. Allah kemudian mengijinkan mereka intuk melawan, mengukuhkan mereka di muka bumi, dan memenangkan mereka atas orang-orang yang menzhalimi mereka.
Menurut pendapat lain, Firman Allah itu berlaku umum untuk setiap kezhaliman. Baik yang dilakukan oleh orang kafir maupun yang lainnya. Yakni apabila mereka ditimpa kezhaliman, mereka tidak pasrah atas kezdaliman tersebut. Ini isyarat yang ditujukan kepada amar ma’ruf nahi munkar serta menjatuhkan hukuman. Menurut Al-Qurthubi sendiri, “Firman tersebut menunjukkan bahwa membela diri dalam posisi ini lebih baik.”
Adapun keadaan dimana orang yang dizhalimi diperintahkan untuk memberikan maaf, jika orang yang menzhaliminya itu merasa menyesal dan meninggalkan perbuatan zhalimnya tersebut. sedangkan firman Allah وَلَمَنِ ٱنتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَا عَلَيْهِم مِّن سَبِيلٍ ” Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka.”Hal ini menunjukkan bahwa membela diri merupakan suatu hal yang diperbolehkan, bukan diperintahkan.
Firman Allah swt وَجَزَٰٓؤُا۟ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” Para ulama berpendapat bahwa Allah swt membagi orang-orang yang beriman kedalam dua golongan:
1. Golongan yang memaafkan orang-orang yang dzalim. QS. Asy-Syura (42) : 37
2. Golongan orang yang membela diri atas orang yang menzhalimi mereka.
Asy-Syafi’i menakwilakn ayat ini bahwa, “seseorang boleh mengambil harta orang yang menghianatinya, sebanding dengan harta yang disembunyikannya, tanpa sepengetahuannya.” Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini berdasarkan sabda Nabi saw yang ditujukan kepada Hindun, Istri Abu sufyan. “Ambillah dari hartanya apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.”dalam hal ini Nabi saw membolehkan Hindun untuk mengambil harta tersebut tanpa sepengetahuan suaminya.
Firman Allah ta’ala فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ  “ maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik” Ibnu Abbas berkata, “ Barang siapa yang meninggalkan qishash dan memaafkan (sesuatu) yang ada diantara dia dan orang yang menzhaliminya dengan pemberian maaf, فَأَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ “maka pahalanya atas (tanggungan) Allah, yakni Allah akan memberikan pahala kepadanya akan hal itu.”
Firman Allah ta’ala وَلَمَنِ ٱنتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِۦ “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya,” yani (apabila) Muslim membela diri dari orang kafir, maka tidak ada alasan untuk mencelanya. Sebaliknya dia harus dipuji karena melakukan hal itu terhadap orang kafir. Dengan demikian, membela diri dari orang kafir adalah sebuah kewajiban, dan membela diri dari dari seorang muslim adalah hal yang dibolehkan, tetapi memberikan maaf adalah hal yang disunnahkan.
Firman Allah ta’ala وَلَمَنِ ٱنتَصَرَ بَعْدَ ظُلْمِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ مَا عَلَيْهِم مِّن سَبِيلٍ “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya tidak ada satu dosapu terhadap mereka,”. Firman Allah ini merupakkan dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh melakukan pembelaan diri dengan dirinya (secara langsung). Hal ini terbagi kedalam tiga bagian.
1. Hal tersebut adalah Qishash yng terletak pada tubuh manusia, yang dimiliki oleh seseorang. Jika hal ini terjadi, maka tidak ada dosa bagi orang yang teraniaya untuk melakukan qishash (terhadap orang yang menganiayanya), namun ada catatan khusus mengenai hak ini.
2. Hal tersebut adalah hadd bagi Allah dan tidak ada hal bagi manusia didalamnya, seperti hadd zina, dan pemotongan tangan dalam kasus pencurian.
3. Hal tersebut adalah hak atas harta.
Firman Allah ta’ala إِنَّمَا ٱلسَّبِيلُ عَلَى ٱلَّذِينَ يَظْلِمُونَ “Sesungguhnya dosa itu terhadap orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia.” Yakni karena pelanggaran yang merea lakukanterhadap manusia. Pendapat ini adalah pendapat mayritas kaum ulama. Ibnu Jarir mengatakan,”mereka menjalimi manusia dengan kemusyrikan yang bertentangan dengan agama mereka.”
وَيَبْغُونَ فِى ٱلْأَرْضِ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ “dan melampaui batas dimuka bumi tanpa hak,” yakni terhadap jiwa dan harta. Ini menurut pendap mayorutas ulama. Muqatil berkata,”melampaui batas yang mereka lakukan adalah mereka melakukan kemaksiatan.” (ada pula pendapat yang mengtakan bahwa ayat ini sudah di nasakh dg ayat yang memerintahkan untuk berjihad).
Sebagian ulama berpendapat,” Sesungguhnya orang yang dizhalimi dan hartanya diambil itu akan mendapatkan pahala karena hartanya yang diambil sampai dia meninggal dunia. Setelah itu pahalanya kan diberikan epada ahli warisnya. Setelah itu pahalanya diberikan epada generasi terakhir dari mereka, sebab harta itu akan diberikan kepada ahli waris setelah dia meninggal dunia.”
Firman Allah ta’ala وَلَمَن صَبَرَ وَغَفَرَ “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan,” yakni bersabar atas gangguan dan memaafkan, yakni tida membela diri karena Allah. Ini bagi orang yang dizhalimi oleh orang muslim. Memberi maaf adalah hal yang anjurkan. Namun adaalanya kondisi berbalik, dimana tidak memberi maaf merupakan suatu hal yang dianjurkan.
إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ ٱلْأُمُورِ “Sesungguhnya (perbutan) perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan,” yakni terasuk keutamaan dari Allah yang diperintahkan-Nya. Menurut satu pendapat, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk keutamaan kebenaran yang telah disetujui.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulann
Ma’ruf adalah yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas, dengan catatan selama masih sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu nilai-nilai Ilahi. Sedangkan yang dimaksud dengan mungkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Jadi, sangatlah wajar jika ma’ruf itu diperintahkan, karena merupakan kesepakatan umum masyarakat. Sedangkan mungkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia perlu dicegah demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya.
Para Ulama islam sepakat bahwa mengajak berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan atau “al-Amr bi al-makruf wa al-nahyi ‘an al-mungkar” adalah keharusan setiap muslim. Perbedaannya hanya terletak pada pelaksanaanya.
Nabi Muhammad saw menyuruh kita untuk mengubah kemungkaran yang kita saksikan, kemungkaran tersebut harus di ubah agar berganti menjadi kebaikan sesuai dengan kadar kemampuan kita. Mencegah kemungkaran adalah bagian dari cabang iman sedang iman bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan kondisi seseorang dalam melaksanakan perintah syariat. Semakin banyak melakukan kebijakan maka iman pun semakin kuat, sebaliknya semakin banyak melakukan maksiat maka iman pun semakin rapuh.
Apabila keburukan meraja lela, maka semua anggota masyarakat wajib bergerak untuk memperbaikinya dan menyingkirkan kerusakan, jika tidak melakukannya, maka mereka berhak mendapat balasan dan siksa dari Allah, dan Allah telah menurunkan bencana dan kerusakan kepada orang-orang yang melakukan kemungkaran dan yang mendiamkannya.



DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin Mujtaba. 1992. 73 Golongan Sesat dan Selamat, Surabaya: Pustaka Proggresif.
Syeih Imam Al-Qurthubi. 2008. Tafsir Al-Qurthubi Jilid 16 DKI Jakarta:Pustaka Azzam Software Al-Quran Hadi
Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, 1999. Riyadhus Shalihin, jilid 1,  terj. Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani
Al-Qurthubi, Syeikh Imam, 2008. Tafsir Al-Qurthubi, jilid 6, terj. Ahmad Khotib, cet. VI. Jakarta: Pustaka Azzam
http://sunniysalafiy.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Mei 2012.
Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. 2006. Musnad Imam Ahmad, terj. Fathurrahman, dkk., cet. I. Jakarta: Pustaka Azzam
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929