loading...

Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah

December 26, 2016
loading...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Shabuni adalah Kalam Allah yang bernilai Mu’jizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan perantara Malaikat Jibril yang tertulis dalam Mashahif. Dan membacanya bernilai Ibadah. Yang diawali dengan Surat al-Fatihah dan diakhiri dengan Surat an-Nas.
Mengacu pada definisi tersbut agaknya kita akan memahami bahwa al-Qur’an memang berupa satuan buku yang tertulis. kendati al-Qur’an diwahyukan secara lisan, Al-Qur’an sendiri secara konsisten menyebut dirinya sebagai kitab tertulis. Penulisan Wahyu memang telah dilakukan sejak Zaman Rasulullah, bahkan Nabi sendiri yang memerintahkan hal tersebut.
Namun untuk pembukuannya bukanlah nabi yang memerintahkan, al-Qur’an dibukukan setalah Nabi Wafat. Terlebih jika kita membaca al-Qur’an yang saat ini biasa kita baca, maka kita akan dikejutkan dengan fakta bahwa ayat yang pertama kali turun justru diletakan dibagian akhir dari al-Qur’an, bukan di awal. Seharusnya itu menjadi pertanyaan tersendiri bagi kita, lantas siapa yang yang menyusun al-Qur’an hingga akhirnya bisa menjadi seperti yang kita baca saat ini?.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengumpulan al-Qur’an dilakukan?
2. Bagaimana Penerbitan Al-Quraan dilakukan ?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Rasulullah
Pengertian pengumpulan Al-Qur’an menurut para ‘ulama terbagi menjadi 2 macam yaitu: Pertama, pengumpulan dalam arti hifzhuhu (menghafalnya dalam hati). Kedua, pengumpulan dalam arti Kitabatuhu kulluhu (penulisan qur’an semuanya) baik dengan memisahkan ayat-ayat dan surat-suratnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surat ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun semua surat sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.

1. Pengumpulan Alquran melalui hapalan
Al-Quraan Karim turun kepada Nabi yang ummi. Karena itu, perhatian Nabi hanyalah untuk sekedar menghapal dan menghayatinya, agar beliau dapat menguasai Alquran persis sebagaimana halnya Alquran yang diturunkan. Setelah itu, beliau membacakannya kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghapal dan memantapkannya. Hal ini karena Nabi pun diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummi pula. Biasanya orang-orang yang ummi itu mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya. Pada masa diturunkannya Alquran bangsa Arab berada dalam martabat yang begitu tinggi dan sempurna daya ingatnya. Mereka sangat kuat dalam hafalannya serta daya pikirannya begitu terbuka. Mereka bahkan banyak yang menghapal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab (keturunannya). Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepala dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali di antara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut, tidak hafal “Almuallaqatul Asyār” yang begitu banyak syairnya lagipula sulit dalam menghapalnya.
Rasulullah sangat menyukai wahyu, ia senantiasa menungu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghapal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah dalam QS.Al-Qiyamah (75): 17: yang artinya Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
Oleh sebab itu, ia adalah hāfidz (penghapal) Alquran pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Alquran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat.

2. Pengumpulan Alquran dalam bentuk tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Alquran ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah saw. Mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Alquran, beliau memerintahkan kepada mereka untuk menulisnya dalam rangka memeperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tersebut dapat memudahkan penghapalan dan memperkuat daya ingat.
Upaya pelestarian Alquran pada masa Nabi Muhammad saw. dilakukan oleh Rasulullah sendiri, setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah beliau secara langsung mengingat dan menghapalnya, beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya, lalu sahabat menyampaikannya secara berantai kepada sahabat lainnya. Demikanlah seterusnya. Sebagian sahabat itu selain langsung menghapalnya, juga mencatatnya dalam berbagai benda yang ditemuinya, seperti pelapah korma atau tulang belulang binatang. Catatan tersebut bukan untuk orang lain tetapi untuk koleksi pribadi.
Para penulis wahyu adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan sahabat yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar dapat mengemban tugas yang mulia ini. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin, dan sahabat-sahabat lain.
Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga Alquran yang terhimpun dalam dada mereka menjadi kenyataan tertulis. Di samping itu sebagian sahabat pun menulis Alquran yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah korma, lempengan batu, kulit atau daun kayu , pelana, potongan tulang-tulang binatang dan sebagainya. Hal itu karena belum ada pabrik kertas di kalangan orang Arab. Pada saat itu pabrik kertas hanya terdapat di Parsi dan Romawi. Itu pun masih sangat kurang dan tidak disebarkan. Itulah sebabnya, orang-orang Arab menulisnya sesuai dengan perlengkapan yang dimiliki dan dapat dipergunakan untuk menulis. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata, “Kami menulis Alquran di hadapan Nabi pada kulit ternak”. Maksudnya adalah mengumpulkannya agar sesuai dengan petunjuk Nabi saw. dan menurut perintah dari Allah swt. Para ulama sepakat bahwa pengumpulan Alquran adalah tauqifi (menurut ketentuan) artinya susunannya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Telah disebutkan bahwa Jibril a.s. bila membawakan sebuah atau beberapa ayat kepada Nabi, ia mengatakan, “Hai Muhammad! Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menempatkannya pada urutan kesekian surat anu…” Demikian pula halnya Rasul memerintahkan kepada para sahabat, “Letakkanlah pada urutan ini.” Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Alquran. Alat–alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, namun demikian penulisan Al-quran ini semakin menambah hapalan mereka.

B. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Ketika Rasulullah telah Wafat, al-Qur’an memang telah terkumpul di dada para sahabat berupa hafalan serta telah dituliskan dalam lembaran-lembaran. Namun al-Qur’an yang ditulis para sahabat tersebut masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer ditangan para sahabat atau dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu masih belum sepenuhnya terbukukan. Sehingga ketia terjadi perang Yamamah yang terjadi setahun setelah wafatnya Nabi yang menewaskan 70 Qari’ menimbulkan kegelisahan dihati ‘Umar bin Khattab hingga kemudian mendesak Abu Bakar untuk segera membukukan al-Qur’an mengingat para Qari’ telah banyak yang meninggal sedangkan al-Qur’an yang tertulis masih berupa lembaran-lembaran yang tercecer.
Atas desakan ‘Umar tersebut kemudian Abu Bakar berkenan untuk memerintahkan pengumpulan tersebut walaupun pada awalnya beliau menolaknya dengan alasan bahwa hal tersebut bukanlah perbuatan yang dilakukan oleh Nabi, namun ‘Umar meyakinkannya dengan alasan bahwa pembukuan tersebut adalah hal yang baik dan sangat penting. Setelah Abu Bakar merasa yakin dengan keputusannya tersebut, maka diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mulai mengumpulkan al-Qur’an.
Pemilihan Zaid sebagai orang yang ditugasi untuk mengumpulkan al-Qur’an menurut beberapa Ahli Ilmu Qur’an didasarkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah Zaid adalah seorang yang cerdas, masih muda, dan tidak memiliki sifat tercela, selain itu peranannya sebagai penulis wahyu dimasa Rasulullah menjadi alasan yang mendsari pemilihannya.
Dalam mengumpulkan al-Qur’an Zaid menggunakan metode yang sangat teliti berdasarkan arahan yang diberikan oleh abu Bakar dan ‘Umar. Selama pengumpulan tersebut, Zaid tidak serta-merta mengandalkan hafalan yang dimilikinya, tidak juga dengan apa yang telah ditulisnya maupun yang telah didengarkannya. Dalam pengumpulan tersebut, zaid menggunakan dua rujukan utama, yaitu
1. Berdasarkan ayat yang telah ditulis dihadapan Rasulullah dan telah disaksikan langsung oleh beliau.
2. Ayat yang dihafal dan ditulis dalam lembaran dengan menyertakan dua saksi yang adil yang menyaksikan bahwa ayat tersebut telah benar-benar ditulis dihadapan Rasulullah.

Adapun yang dimaksud dimaksud dengan disaksikan oleh dua orang adalah, bahwa hal itu merupakan sesuatu yang ditulis sebagaimana bentuk yang dengannya al-Qur’an telah diturunkan, atau bahwa yang ditulis itu memang telah ditulis di depan Rasulullah saw. Tujuan dari penyertaan syarat tersebut adalah agar al-Qur’an tersebut tidak ditulis dengan tulisan yang sama dengan yang ditulis di depan Rasulullah saw.

Karena itu, kesaksian tersebut bukan kesaksian atas al-Qur’an, karena hal itu tidak perlu diragukan. Mengingat jumlah para penghafal dan pembacanya sangat banyak. Namun, kesaksian yang dimaksud di sini adalah kesaksian atas tulisan yang ditulis di depan Nabi saw. Dengan cara itulah, penulisan tersebut telah selesai dengan sempurna sehingga terkumpul dalam lembaran yang diikat dengan benang, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebagian riwayat. Inilah peranan yang dimainkan oleh Zayd bin Tsâbit.

C. Pengumpulan al-Qur’an Pada Masa ‘Ustsman bin ‘Affan
Pengumpulan al-Qur’an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan punya motif berbeda dengan pengumpulan al-Qur’an dimasa Abu Bakar, Jika motif Abû Bakar mengumpulkan al-Qur’an karena khawatir akan hilangnya materi yang tertulis tadi sebagai akibat dari banyaknya para penghafal dan pembaca yang telah meninggal dunia, maka motif ‘Utsmân adalah karena takut akan terjadinya perbedaan yang meruncing mengenai ragam bacaan.
Pada masa ‘Utsman ini Islam telah tersebar luas dan kaum Muslimin telah hidup berpencar ke berbagai pelosok. Di berbagai daerah telah terkenal Qira’at sahabat yang mengajarkan al-Qur’an kepada penduduk setempat. Penduduk Syam memakai Qira’at Ubay bin Kaab, penduduk Kuffah memakai Qira’at Abullah bin Mas’ud, penduduk di wilayah lainnya menggunakan Qira’at Abu Musa al-Asy’ary. Tidak jarang terjadi pertentangan mengenai masalah bacaan dikalangan pengikut sahabat-sahabat tersebut, hingga kemudian pertentangan tersebut memuncak menjadi perpecahan dikalangan Muslimin sendiri.

Kondisi semacam ini kemudian didengar oleh Hudaifah bin Yaman. Ketika Hudaifah mengetaui hal tersebut, maka dengan sesegera mungkin beliau melaporkannya kepada Khalifah ‘Utsman agas segera ditindak lanjuti. Setelah mendapatkan laporan tersebut, ‘Utsman segerah mengirim surat kepada Hafshah yang berisikan perintah untuk memberikan al-Qur’an yang telah dibukukan Zaid sebelumnya untuk kemudian diperbanyak dan disebarluaskan ke seluruh penjuru. Untuk membukukan al-Qur’an tersebut, ‘Ustman mengutus empat orang sahabat untuk membukukan al-Qur’an, dari keempat orang tersebut tiga diantaranya adalah muhajirin dan satu orang lainnya adalah kaum anshar, empat orang tersebut adalah : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.
Dalam melakukan pembukuan tersebut, keempat orang tersebut berpegang pada arahan dari ‘Utsman, yaitu
1. Menjadikan Mushaf Abu Bakar yang telah dibukukan oleh Zaid bin Tsabit sebagai acuan pokok dan dumber utama dalam penulisan al-Qur’an.
2. Mengacu pada Mushaf Abu Bakar tersebu dalam hal penulisan dan urutannya, dan apabila terdapat perbedaan pendapat dikalangan para anggota panitia, maka mengacu berdasarkan dialek Quraisy karena al-Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.
3. Dan al-Qur’an tidak ditulis kecuali berdasarkan persetujuan antara para panitia, dan para sahabat bersepakat bahwa al-Qur’an yang telah dibukukan tersebut sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan kepada Rasulullah.

Usaha yang dilakukan oleh ‘Ustman tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat dikalangan sahabat, sehingga hasil dari usaha tersebut mendapat pengakuan dari kalangan sahabat dan mereka meyakini bahwa al-Qur’an yang dikumpulkan oleh ‘Utsman tersebut telah sesuai dan sama persis dengan al-Qur’an yang ada pada masa Nabi Muhammad. Baik dari segi urutan ayat (Tartibul Ayat), maupun urutan Surat (Tartibus suwar), maupun Qira’atnya. Mushaf ‘Utsman yang telah mendapatkan pengakuan dari para sahabat tersebut kemudian disebarkan dan menjadi pegangan dalam penulisan al-Qur’an hingga saat ini yang dikenal dengan Mushaf atau Rasm ‘Ustmany.

D. Penerbitan Al-Qur’an•
1. Al Qur’an Pasca Usman bin ‘Affan
Setelah Al Qur’an ditulis ulang menjadi satu mushaf penuh, mushaf-mushaf awal tersebut dikirim ke berbagai kota yang menjadi pusat perselisihan umat Islam bersama dengan qari’nya yang membimbing mereka dalam membaca Al Qur’an tersebut.
Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.Pitersburg) dan umat Islam dilarang untuk melihatnya.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada parlemen Rusia agar mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand (Uzbekistan, negara di bagian asia tengah).
Mushaf kedua terdapat di Museum al Husainy di kota Kairo, Mesir dan mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota Istambul, Turki. Umat Islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli apa adanya.
Adapun orang yang pertama kali membuat tanda baca dalam Al Qur’an adalah Abu al Aswad ad Du’aly. Beliau menulis atas izin dan perintah khalifah Umar bin Khattab yang menginginkan agar Al Qur’an bisa dibaca oleh orang-orang non Arab sesuai dengan bacaannya yang berlafazkan bahasa Arab yang fasih. Beliau memberikan tanda titik berupa titik merah pada akhir huruf di setiap kata. Kemudian usaha beliau dilanjutkan oleh generasi selanjutnya yang salah satunya bernama Nashr bin ‘Asim al Laithi, beliau membuat tanda baca yaitu berupa titik untuk membedakan huruf yang memiliki karakter yang sama.
Pada masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, berkembang berbagai jenis ilmu-ilmu Al Qur’an, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini disiplin ilmu membaca Al Qur’an telah diterapkan, antara lain : ilmu tajwid, ilmu Qira’ah dan ilmu-ilmu Tafsir untuk memahami Al Qur’an sesuai dengan keadaan pada masa itu.

2. Pencetakan dan Penerbitan Al Qur’an
Pada masa Dinasti-dinasti Islam hingga sebelum abad ke 16 M, Al Qur’an diperbanyak dengan cara ditulis oleh para juru tulis yang dipercaya dengan menyandarkan tulisan mereka kepada Mushaf Imam yang ada di Madinah. Karena semakin lama umat Islm semakin banyak dan daerah kekuasaan Dinasti Islam juga sudah menyentuh daerah-daerah diluar Arab, maka semakin banyak mushaf yang diperlukan untuk diajarkan kepada orang-orang non Arab. Sehingga dibutuhkan banyak penulis dan alat-alat tulis. Pada masa ini Al Qur’an mulai didistribusikan dengan menggunakan bayaran untuk membalas jasa juru tulis dan sebagai ganti atas alat-alat tulis yang terpakai untuk menyalin Al Qur’an tersebut.
Ketika di Inggris terjadi revolusi industri pada abad ke 16 M dan mesin cetak ditemukan dan telah dimodifikasi serta diperbanyak, maka Al Qur’an mulai diterbitkan secara massal. Al Qur’an pertama kali dicetak pada tahun 1964 di Hamburg, Jerman. Naskah tersebut dilengkapi dengan tanda baca. Kemudian umat Islam mulai menggunakan mesin cetak untuk menerbitkan Al Qur’an yang pertama kali diterbitkan di St. Pitersburg, Rusia pada tahun 1787 M dan dikenal dengan Mushaf Malay Usman.
Hal serupa juga diikuti oleh penerbit lainnya, yaitu di Kazan pada tahun 1828, di Persia pada tahun 1838 dan Turki pada tahun 1877 M. Kemudian seorang orientalis Jerman yang bernama Fluegel, menerbitkan Al Qur’an yang lengkap dengan pedoman bacaan. Akan tetapi, terbitan Jerman yang disebut dengan edisi Fluegel ini mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoan ayat tidak sesuai dengan sistem penomoran yang ada pada mushaf standar. Oleh karena itu, pada abad ke 20, umat Islam mulai mencetak Al Qur’an dengan menggunakan penerbit sendiri yang mendapat pengawasan dri para ulama agar tidak terjadi kesalahan cetak.
Cetakan Al Qur’an yang banyak digunakan oleh umat Islam pada masa sekarang adalah cetakan Mesir yang dikenal dengan edisi Raja Fuad, selaku pelopor dan pencetus ide penerbitan Al Qur’an secara massal dan dikirim ke seluruh dunia. Edisi ini ditulis berdasarkan qira’at ‘Ashim riwayat Hafsah yang dicetak pertama kali pada tahun 1344 H/1925 M.Pada tahun 1947 M, Al Qur’an pertama kali dicetak dengan menggunakan teknik desain huruf-huruf yang indah dan teknik cetak offset yang canggih atas usulan seorang ahli kaligrafi terkemuka di Turki yang bernama Syaikh Badiuz Zaman Said An-Nursi.

3. Al Qur’an Pasca Pencetakan
Setelah Al Qur’an dicetak secara massal dibawah pengawasan ulama-ulama Al Qur’an dan disebarkan ke seluruh dunia, maka umat Islam tidak mendapatkan kesulitan lagi di dalam membaca Al Qur’an. Seiring dengan hal itu, perbedaan bahasa yang digunakan oleh umat Islam non Arab menjadi kendala tersendiri didalam memahami Al Qur’an. Oleh karena itu, usaha untuk menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa ‘ajam (non Arab) mulai dilakukan.
Al Qur’an pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh orang-orang Barat untuk keperluan biara Clugni sekitar tahun 1145 M dan diterbitkan pada tahun 1543 di Bastle oleh penerbit Bibliander. Kemudian Al Qur’an diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Schiweigger pada tahun 1616 M di Nurenberg. Al Qur’an juga diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh Du Ryer diterbitkan pada tahun 1647 M di Paris dan oleh Savari yang diterbitkan pada tahun 1783, ke dalam bahasa Rusia yang diterbitkan di St. Petersburg pada tahun 1776. Dan menyusullah tokoh-tokoh jerman lainnya yang menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa mereka, yaitu Boysen pada tahun 1773, Wahl pada tahun 1828 dan Ullman pada tahun 1940 M. Adapun terjemahan ke dalam bahasa Inggris yang dianggap paling lengkap dan digunakan hingga sekarang adalah The Holy Qur’an yang dilakukan oleh Abdullah Yusuf Ali pada tahun 1934.
Sedangkan terjemahan ke dalam bahasa Indonesia untuk pertama kalinya dilakukan oleh Abdul Ra’uf al Fansuri, seorang ulama yang berasal dari Aceh dengan menggunakan bahasa Melayu pada pertengahan abad ke 17 M. Selanjutnya Al Qur’an mulai banyak diterjemahkan oleh ulama-ulama Indonesia, diantaranya adalah Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus pada tahun 1935, Al Furqan dan Tafsir Qur’an oleh A. Hasan dari Bandung pada tahun 1928, Tafsir Al Qur’an oleh K.H. Hamidi cs. pada tahun 1959, Al Ibris oleh K.H. Bisyri Mushthafa pada tahun 1960, Tafsir Al Qur’an al Hakim oleh H.M. Kasin Bakry cs. pada tahun 1960, dan Tafsir al Azhar oleh Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah pada tahun 1973. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan terjemahan edisi Depag sejak zaman pemerintahan Soeharto dengan Pelitanya dan terus mengalami revisi hingga sekarang oleh Lembaga Studi Al Qur’an dibawah naungan Departemen Agama Indonesia.









BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Upaya yang dilakukan Rasulullah untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan dengan cara yang sederhana yaitu Nabi Menghafal Ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.
2. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan oleh Abu Bakar didasari oleh kekhawatiran al-Qur’an akan hilang jika tidak dikumpulkan karena telah banyak para Qari’ yang meninggal dan Mushaf al-Qur’an masih tercecer. Atas desakan ‘Umar akhirnya Abu Bakar berkenan untuk membukukannya dengan memerintahkan Zaid untuk membukukan al-Qur’an.
3. Pembukuan al-Qur’an yang dilakukan pada masa ‘Ustman didasari oleh perpecahan dikalngan sahabat akibat perbedaan bacaan yang mereka gunakan sehingga ‘Utsman memerintahkan untuk membukukan ulang Mushaf yang sudah ada dimasa Abu Bakar dan menyebar luaskan diseluruh penjuru. Untuk melakukan tugas tersebut ‘Utsman memerintahkan empat orang sahabat yaitu : Zaid bin Tsabit, ‘Abdullâh bin Zubayr, Sa’id bin al-‘Ash, ‘Abdurrahmân bin al-Harits bin Hisyam.
4. Jumhur ‘Ulama sepakat bahwa urutan Ayat al-Qur’an adalah Tauqifi berdasarkan perintah dari Allah yang disampaikan oleh Rasulullah. Sedangkan untuk urutan Surat, ‘Ulama terbagi atas dua pendapat yaitu : Pertama, urutan Surat sebagian adalah Tauqifi, sebagian lain berdasarkan Qia’at sahabat. Kedua, urutan surat dalam al-Qur’an sepenuhnya Tauqifi dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Adnal Amal,Taufik, Rekonstruksi Sejarah Al Quran, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005
Ali Ash-Shabuni, Syekh Muhammad, Muhammad Qodirun Nur (penerj), Ikhtisar Ulumul Quran Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001
As Shalih, Subhi, Membahasa Ilmu-Ilmu Al Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929