loading...

Membentuk Karakter Anak-Anak Bermasalah

December 29, 2016
loading...
Membentuk Karakter Anak-Anak Bermasalah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan karakter menjadi isu penting untuk keselamatan bangsa saat ini, di tengah carut marutnya bebagai pelanggaran hampir di semua lapisan masyarakat. Korupsi, permainan hukum, pembunuhan, pemerkosaan, bunuh diri, hingga perkelahian remaja dan anak-anak, mewarnai kehidupan kita sehari-hari.
Oleh karena itu, perlu dirintis upaya pembentukan karakter sejak sedini mungkin, bahkan sejak seorang anak tersebut belum lahir. Pembentukan karakter ini dimulai olah orang tua dalam lingkungan keluarga, dilanjutkan dan disinergikan dengan upaya para guru saat anak tersebut sudah masuk lembaga pengasuhan anak usia dini seperti di Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau TK (Taman Kanak-kanak).
Pembentukan karakter sejak dini sangat penting agar kelak setelah anak dewasa, karakter yang dia miliki benar-benar kuat terinternalisasi dalam dirinya, tidak sebatas pengetahuan dan pemahaman saja. Karena Anak adalah pilar bangsa. Masa depan negara ini sangat ditentukan oleh masa depan anak-anak kita, yang pada 10-20 tahun lagi akan menjadi pemimpin di negeri ini. Jika anak-anak tersebut berkembang dengan baik, maka mereka akan tumbuh dengan tingkah laku dan karakter yang baik. Tetapi jika dalam perkembangan anak tersebut banyak hambatan, berbagai masalah tingkah laku dan karakter akan muncul pada anak.
Pembentukan tingkah laku dan karakter seseorang dimulai sejak ia lahir, berjalan seiring dengan perkembangan dan penyesuaiannya terhadap lingkungan sosial. Namun, tidak setiap anak dapat melewati masa pembentukan karakter dengan baik, sehingga muncullah berbagai masalah tingkah laku dan karakter pada anak. Menurut Achenbach & Edelbrock (dalam Huaqing Qi, & Kaiser, AP 2003), prevalensi anak-anak yang bermasalah dalam perilaku saat ini sekitar 3-6%. Celakanya, masalah perilaku dan karakter ini akan terus terbawa sampai si anak beranjak remaja, dengan taraf permasalahan yang semakin meningkat. Jika dibiarkan, maka masalah ini akan menjadi masalah yang serius bagi pengembangan karakter bangsa.





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Memotivasi Siswa
Memotivasi merupakan inti perhatian paling penting guru. mengapa siswa tidak memperhatikan?’’anak-anak sekarang tampaknya tidak begitu peduli dengan sekolah’’.’’masalahnya anak-anak ini tidak memiliki motivasi!’’jika anda menggunakan sebagian waktu di sekolah, anda mendengarkan keluhan-keluhan ini sebelumnya.
Atribusi dan Motivasi Siswa. Di kelas, masalah terbesar motivasi biasanya muncul ketika siswa menyandarkan kegagalan pada karakter internal, stabil, dan tidak terkontrol seperti kemampuan. Mereka akan tampak apatis, ‘pasrah’ dengan kegagalan, terdepresi, tidak tertolong, atau “tidak termotivasi” (Weiner, Russel, dan Lerman, 1978). Apatis merupakan reaksi logis atas kegagalan ketika siswa percaya bahwa sebabnya adalah perilaku mereka sendiri (internal), tidak biasa dengan perubahan (kestabilan), dan di luar kendali (kontrol) mereka. Siswa yang memandang kegagalan mereka dengan cara ini biasanya tidak berusaha mencari bantuan (Ames dan Lau, 1982). Siswa seperti itu perlu dorongan untuk melihat bagaimana situasi berubah.Mereka juga perlu memiliki pengalaman keberhasilan realistik.
Salah satu pendekatan yang menjanjikan adalah menekankan koneksi (hubungan) antara usaha masa lalu dan keberhasilan masa lalu. Dengan mengatakan kepada siswa bahwa “usaha lebih giat” akan menghasilkan keberhasilan pada masa depan dalam hal tertentu tidaklah efektif. Mereka memerlukan fakta nyata bahwa usaha akan menghasilkan (hal yang setimpal) (Schunk, 1982).

2.2 Pendekatan Humanisik untuk Motivasi
Interpretasi humanisik tentang motivasi menekankan kebebasan personal, pilihan, determinasi diri, dan berusaha keras untuk perkembangan personal. Dengan penekanan ini, psikolog humanisik cenderung membuat harmoni dengan banyak pendekatan kognitif. Mungkin yang paling penting adalah fakta bahwa kedua pandangan menekankan motivasi intrinsik.
Sebagai tambahan, banyak teori humanisik mendeskripsikan peran kebutuhan. Menurut kolesnik (1978), kebutuhan dapat didefinisikan sebagai “semua tipe kekurangan dalam organisme manusia atau ketiadaan segala sesuatu yang seseorang perlukan, atau pikiran yang ia perlukan, untuk keutuhan kemanusiaannya”. Manusia dipandang sebagai jarang ketika kebutuhan mereka terpenuhi secara utuh dan sempurna. Kemajuan selalu mungkin. Oleh karena itu orang termotivasi oleh kebutuhan, atau ketegangan, yang diciptakan oleh kebutuhan, untuk bergerak menuju tujuan yang diyakini akan membantu memenuhi kebutuhan.

2.3 Pandangan Kognitif tentang Motivasi
Salah satu asumsi utama dalam pandangan kognitif tentang motivasi adalah bahwa orang tidak secara otomatis memberikan respon kepada peristiwa eksternal atau kondisi fisik seperti lapar; mereka merespon persepsi mengenai peristiwa – peristiwa ini. Anda mungkin memiliki pengalaman begitu tertarik atau tenggelam dalam proyek sehingga Anda lupa makan. Anda tidak menyadari bahwa Anda lapar, sehingga melihat waktu. Berbeda dengan pandangan behavioral, pandangan kognitif menekankan pada sumber motivasi intrinsik (internal), seperti kepuasan belajar atau pencapaian (tujuan).
Beberapa teori kognitif mengasumsikan bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar untuk memahami lingkungan mereka dan untuk menjadi ahli, aktif dan efktif untuk mengkopi dunia (R.W. White, 1959). Ide mirip dengan ide keseimbangan Piaget, kebutuhan untuk mengasimilasi informasi baru dan membuatnya sesuai dengan skema kognitif-dengan kata lain, kebutuhan untuk memahami. Orang dilihat sebagai yang aktif dan penuh rasa ingin tahu, mencari inforamasi untuk memecahkan problem yang relevan secara pribadi, mengabaikan bahkan lapar atau ketidak-nyamanan yang ada untuk memfokuskan pada tujuan yang dipilih. Orang bekerja keras karena mereka menikmati kerja dan karena meraka ingin paham.

2.4 Pandangan Behavioral tentang Motivasi
Psikolog behavioral mengembangkan konsep seperti kontiguitas, penguatan, hukuman, dan pemberian model untuk menjelaskan mengapa manusia bertindak seperti yang mereka lakukan. Menurut pandangan ini, perilaku diawali oleh stimulan internal atau eksternal, seperti rasa lapar atau melihat makanan di televisi. Lalu pembelajaran atau kebiasaan sebelumnya menentukan arah mana yang akan perilaku ambil. Contoh, orang lapar akan membuka lemari es yang terakhir kali (dibuka) menyediakan makanan. Perilaku bertahan hingga stimulus yang mendorongnya (rasa lapar atau semangkuk es krim) hilang. Dengan kata lain, motivasi dapat dijelaskan dengan peristiwa lingkungan yang menstimulasi tindakan atau dengan kondisi fisik seperti lapar (Weiner, 1972). Motivasi yang disebabkan peristiwa eksternal atau penghargaan dari luar yang secara umum tidak bekaitan sama sekali dengan situasi pembelajaran disebut motivasi ekstrinsik. Nilai, poin, dan penghargaan lain atas (prestasi) belajar merupakan usaha untuk menciptakan motivasi ekstrinsik.

2.5 Petunjuk Mengembangkan Perilaku Baru
2.5.1 Jika siswa sudah mampu melaksanakan tindakan tersebut namun jarang atau tidak pernah melakukan, Anda hendaknya memberikan satu isyarat untuk mengingatkan mereka mengenai perilaku yang tepat.
Contoh :
 Gunakan tanda – tanda seperti arah petunjuk untuk mengingatkan siswa agar membereskan materi (benda – benda) jika ruang itu sendiri bukan merupakan isyarat (cue) untuk kerapian
 Berikan isyarat (cue) verbal dalam instruksi anda sebelum siswa menangani sesuatu yang mereka biasanya salah.
2.5.2 Jika siswa tidak pernah melakukan satu perilaku yang diharapkan, anda hendaknya memberi satu model perilaku ini.
Contoh :
 Gunakan film yang memperlihatkan perilaku yang diharapkan agar terjadi penguatan
 Berikan tanggapan balik dan penguatan ketika siswa mempraktekkan perilaku yang mereka lihat pada model
2.5.3 Jika perilaku akhir jauh dari kemampuan yang dimiliki siswa, anda hendaknya mencoba membuat perkiraan terus menerus, atau melakukan pembentukan
Contoh :
 Mulai dengan memberikan nilai persial kepada siswa yang memiliki kesulitan dengan tugas tertentu; kemudian secara perlahan ubah kriteria tersebut
 Beri siswa yang takut bicara di depan kelas satu kesempatan untuk menanyakan pertanyaan yang menuntut jawaban satu – dua kata dan secara perlahan ubah kriteria.

2.6 Bimbingan dan Konseling dalam Pendidikan
Perlunya usaha pelayanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor perkembangan pendidikan itu sendiri, faktor sosio – kultural dan faktor psikologis. Pembahasan berikut ini akan mengemukakan dinamika faktor tersebut, sehingga pelayanan bimbingan dan konseling dirasa perlu untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan yang diharapkan.
2.6.1 Faktor Perkembangan Pendidikan
Faktor perkembangan pendidikan ditemukan pada kenyataan – kenyataan yang menunjukan perlunya layanan bimbingan dan konseling dalam pendidikan, di antaranya sebagai berikut.
2.6.1.1 Demokratisasi Pendidikan
Azaz demokratisasi yang dianut dan berkembang sebagai falsafah hidup bangsa di hampir segenap penjuru dunia dewasa ini, telah menyebabkan munculnya demokrasi dalam segala aspek kehidupan, termasuk di dalam aspek pendidikan, sering juga dikenal dengan istilah demokratisasi pendidikan, mengandung pengertian “pemberian kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun badan – badan swasta.” Terbuka kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada setiap individu, menyebabkan berkumpulnya peserta didik dari berbagai latar belakang kondisi sosial, ekonomi, budaya, suku bangsa dan agama yang berbeda di suatu lembaga pendidikan. Kondisi lingkungan yang heterogen tersebut sedikit banyaknnya akan menimbulkan permasalahan didalam penyesuaian diri para peserta didik. Hal ini termanifestasi pada kenyataan di mana pada suatu lembaga pendidikan, ada peserta didik atau sekelompok peserta didik yang dominan di samping terisolir dan tertekan, ada kelompok mayoritas dan ada kelompok minoritas dan kesulitan – kesulitan lainnya. Hal ini tentu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, karena akan mengganggu jalannya proses pendidikan. oleh karena itu di sini terlihat perlunya layanan bimbingan dan konseling untuk membantu para peserta didik dalam penyesuaian diri dengan lingkungan tersebut.
2.6.1.2 Perubahan Sistem Pendidikan
Pada faktor perubahan sistem pendidikan ditemui kenyataan bahwa banyak para peserta didik yang tidak mampu menyesuiakan diri terhadap perkembangan dan perubahan dan sistem pendidikan. Pada hal, sebagai suatu proses yang dinamis, pendidikan akan senantiasa berubah dari saat ke saat, sesuai dengan perkembangan yang terjadi pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya salah satu ciri perkembangan pendidikan adalah adanya perubahan – perubahan dalam berbagai komponen sistem pendidikan seperti kurikulum, strategi belajar mengajar, media pengajaran, sumber – sumber referensi dan lain sebagainya. Para siswa dituntut untuk mampu menyesuaikan diri, membuat pilihan dan mengambil keputusan sehingga mereka bisa mencapai sukses dalam keseluruhan proses belajarnya, banyak di antara mereka yang tidak mampu menyesuaikan diri.
Pada sisi lain, tidak sedikit pula yang memiliki problem dalam bidang pendidikan seperti ada di antara mereka yang prestasi belajarnya rendah, mengalami kesukaran dalam belajar dan lain sebagainya.
Kesulitan dalam penyesuaian diri serta masalah – masalah yang dihadapi para peserta didik dalam belajar, jelas tidak mungkin dapat diselesaikan oleh para tenaga edukatif (guru dan dosen). Karena waktu mereka lebih banyak tersita dalam kegiatan pembelajaran (instruksonal). Oleh karena itu, pada suatu lembaga pendidikan diperlukan bantuan melalui pelayanan bimbingan dan konseling yang dikelola oleh tenaga – tenaga yang berkompeten.
2.6.1.3 Perluasan Program Pendidikan
Sebagai dampak dari penerapan demokratisasi pendidikan dan perkembangan teknologi, maka program pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang dinamis. Sehubungan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat yang dinamis itu, maka perluasan program pendidikan terlihat mengarah pada tiga dimensi, yakni dimensi meninggi, mendatar dan mendalam.
Perluasan program pendidikan ke arah dimensi yang meninggi termasifestasi dalam bertambahnya kesempatan dan kemudahan bagi peserta didik untuk mencapai tingkat pendidikan setinggi mungkin, sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Perluasan program pendidikan ke arah dimensi yang meninggi ini akan menimbulkan kebutuhan terhadap bimbingan dan konseling yakni dalam hal memilih sekolah / jurusan yang paling tepat dan menilai kemampuan peserta didik yang bersangkutan serta memprediksi kemungkinan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Sedangkan perluasan program pendidikan ke arah dimensi yang mendatar terliha dalam pembagian jenis sekolah dalam berbagai jurusan khusus dan sekolah kejuruan. Dengan bertambahnya jenis sekolah dengan berbagai macam jurusan ini akan menimbulkan kebingungan dari para peserta didik untuk memilih sekolah atau jurusan manakah yang paling tepat untuk dirinya sesuia dengan potensi yang dimilikinya dan dukungan moral dan kondisi ekonomi keluarganya. Hal ini menimbulkan kebutuhan akan layanan bimbingan dan konseling untuk membantu peserta didik memilih sekolah dan jurusan tertentu yang tepat bagi setiap peserta didik.
Adapun perluasan program pendidikan ke arah dimensi yang mendalam termanifestasi dalam meningkatnya kesukaran hidup yang menuntut seseorang untuk menguasai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang matang untuk menghadapi segala tantangan dalam hidupnya. Hal ini merupakan keharusan bagi setiap peserta didik untuk lebih mendalami setiap bidang studi secara tekun. Perluasan program pendidikan ke dimensi mendalam ini berhubungan secara langsung dengan kemampuan, sikap dan minat peserta didik terhadap bidang studi tertentu, sehingga timbul berbagai spesialisasi dalam kehidupan dan dalam bidang keilmuan.

2.7 Diagnosis Kesulitan Belajar di Sekolah
Masalah kesulitan belajar yang sering dialami oleh para peserta didik di sekolah, merupakan masalah penting yang perlu mendapat perhatian yang serius di kalangan para pendidik. Dikatakan demikian, karena kesulitan belajar yang dialami oleh para peserta didik di sekolah akan membawa dampak negatif, baik terhadap diri siswa itu sendiri, maupun terhadap lingkungannya. Hal ini termanifestasi dalam bentuk timbulnya kecemasan, frustasi, mogok sekolah, drop out, keinginan untuk berpindah – pindah sekolah karena malu telah tinggal kelas beberapa kali, dan lain sebagainya.
Untuk mencegah dampak negatif yang lebih jelek, yang mungkin timbul karena kesulitan belajar yang dialami para peserta didik, maka para pendidik (orang tua dan guru, dan guru pembimbing) harus waspada terhadap gejala – gejala kesulitan belajar yang mungkin di alami oleh para peserta didiknya.

2.8 Mengidentifikasi Kompetensi Dasar Siswa
Kemampuan setiap siswa antara satu dengan lainnya di dalam kelas sangatlah hetrogen. Sebagian siswa sudah banyak tahu, sebagian lagi belum tahu sama sekali tentang materi yang akan diajarkan di dalam kelas. Bila guru mengikuti kelompok siswa yang pertama, kelompok yang kedua merasa ketinggalan kereta, yaitu tidak dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Sebaliknya, bila guru mengikuti kelompok siswa kedua, yaitu mulai dari materi dari bawah, kelompok pertama akan merasakan tidak belajar apa – apa dan bosan.
2.9 Mengidentifikasi Perilaku Awal Siswa
Penjajakan perilaku awal tatkala akan melakukan proses pembelajaran merupakan sistem pembelajaran, guru / guru harus mengetahui sistem yang mempengaruhi proses kegiatannya, siapa kelompok sasaran, populasi, atau sasaran pembelajaran itu? Istilah ini tidak dapat dkesampingkan manakala guru ingin sukses melakukan kegiatan pembelajarannya. Pertama, tentukan siapa orang yang akan kita belajarkan atau darimana asal sekolahnya? Kedua, tentukan sejauh mana pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki sehingga dapat mengikuti proses pembelajaran yang dilkukan.

2.10 Mengenali Karakteristik Awal Siswa
Di samping menentukan perilaku awal siswa, guru sebagai pengembang pembelajaran harus pula mengenali karakteristik siswa yang berhubungan dengan keperluan pengembangan pembelajaran. Miant, bakat dan bahasa siswa harus menjadi acuan dalam menyampaikan materi pelajaran, tatkala guru menyampaikan materi ia harus tahu, apa minat dan bakat siswa? Guru dapat menjadi bahan dalam memberi contoh dalam rangka penjelasan materi, bahasa yang pergunakan adalah bahasa gaul, guru dapat juga menggunakan dengan pendekatan bahasa gaul yang dipakai oleh siswa dalam pergaulan antara sesama mereka sehari hari. Demikian juga siswa yang kurang dalam membaca bahasa Inggris merupakan masukan pula bagi pengembang pembelajaran untuk memilih bahan – bahan pelajaran yang tidak berbahasa Inggris atau menterjemahkannya terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia.
Selanjutnya, jika kita menyimak perkembangan bimbingan di sekolah (di Indonesia) dewasa ini menunjukan beberapa kemajuan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan pendidikan di Indonesia yang semakin maju, sehingga sangat dirasakan penampilan bimbingan dan penyuluhan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi.
Tidak dapat dipungkiri,”karena masih sangat mudanya profesi ini, maka kebanyakan bimbingan sekolah dilakukan secara ‘Trial and Error’,yang kadang – kadang merugikan profesi dan juga yang melakukan bukan orang yang berwenang.”(H.Koester Parttowisastro S. Psy.,1982)
Berdasarkan asumsi di atas, bahwa kebanyakan bimbingan di sekolah dilakukan secara “Trial and Error”, dan dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan membimbing, ini merupakan salah satu penghambat dalam perkembangan bimbingan di Indonesia. Keadaan demikian terutama sekali disebabkan oleh faktor – faktor sebagai berikut :
a. Kekurangan tenaga Bimbingan di Sekolah.
b. Kemampuan Teknis Bimbingan di Sekolah
c. Sarana dan Prasarana
d. Organisme dan Administrasi Bimbingan
e. Supervisi Bimbingan di Sekolah

Meskipun demikian keadaannya, perkembangan bimbingan di sekolah untuk masa mendatang di Indonesia, menunjukan adanya kemajuan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor penunjang, diantaranya :
a. Secara formal lembaga – lembaga pendidikan di Indonesia sudah melaksanakan bimbingan, meskipun belum terlaksana secara efektif dan profesional.
b. Telah ada Pedoman Pelaksanaan Kurikulum Buku III C, Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan untuk SMP/SMA tahun 1975.
c. Terdapat lembaga pendidikan/Pendidikan Tinggi, seperti FIPIKIP dan FKIP dengan Jurusan/Program Bimbingan Konseling Sekolah, yang memproduksi tenaga – tenaga profesional bimbingan sekolah.
d. Telah diselenggarakan berbagai bentuk penataran Bimbingan dan Konseling untuk petugas Bimbingan di sekolah.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan berkarakter adalah sistem penamaan nilai – nilai karakter kepada siswa sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran bangsa ini sangat berpengaruh pada prestasi siswa dan akhlak setiap individu.
Perilaku siswa tergantung dari didikan orang tua dan guru.
Pendidikan berkarakter akan membentuk siswa berbudi luhur.

DAFTAR PUSTAKA


• Anita E. Woolfolk dan Lorrance McCune-Nicolich diterjemahkan M. khairul Anam 2004, Mendidik Anak-anak Bermasalah, inisiasi press jakarta.
• Dra.Hallen A.M.pd.2002, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, ciputat pers jakarta.
• Drs.H.Martinis Yamin, M,pd 2007, Kiat Membelajarkan Siswa, Gaung persada press jakarta.
• Joan Beck 1992, Asih Asah Asuh, Dahara prize Semarang.
• Andi Mappiare AT 1992, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, PT Raja Grafindo persada jakarta.
• Prof.Dr. Jusuf Enoch. M.A.1992, Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan, Bumi Aksara Jakarta.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929