loading...

OBJEK DAN METODE PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

December 03, 2013
loading...
OBJEK DAN METODE PSIKOLOGI PERKEMBANGAN


1.1 Pengertian perkembangan
Objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Para ahli psikologi juga tertarik akan masalah seberapa jauhkah perkembangan manusia tadi dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya (Van den Berg 1986; Muchow, 1962). Mengenai hal yang terakhir ini akan sering kita jumpai kembali dalam tulisan ini, namun perhatian psikologi perkembangan yang utama tertuju pada perkembangan manusianya sebagai person. Masyarakat merupakan tempat berkembangnya person tadi.
Tetapi apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan perkembangan pribadi itu? Apakah artinya bila dikatakan bahwa perkembanga itu sedang berlangsung? Pertanyaan yang kedua ini akan mendapat tinjauan lebih lanjut nanti.
Pengertian perkembangan menunjuk pada suatu proses kea rah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Wenner, 1969). Dalam “pertumbuhan” ada sementara ahli psikologi yang tidak membedakan antara perkembangan dan pertumbuhan, bahkan ada yang lebih mengutamakan pertumbuhan. Hal ini mungkin untuk menunjukan bahwa orang yang berkembang tadi bertambah kemampuannya dalam berbagai hal. Lebih mengalami diferensiasi dan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih mengalami integrasi. Dalam tulisan ini, maka istilah pertumbuhan khusu dimaksudkan untuk menunjukan bertambah besarnya ukuran badan dan fungsi fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi dan para penulis sendiri, maka istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologi yang muncul.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikis, misalnya bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Mampu untuk berfungsi dalam suatu nivo yang lebih tinggi karena pengaruh pertumbuhan, disebut pemasakan. Misalnya sebelum pendidikan kebersihan dapat dimulai, maka urat daging pembuangan harus selesai pertumbuhannya, harus sudah masak lebih dahulu. Meskipun dapat dikatakan mengenai belajar berjalan, namun harus ada pemasakan beberapa fungsi lebih dahulu, sebelum belajarnya tadi mungkin dilaksanakan.
Perkembangan juga berkaitan dengan belajar khususnya mengenai isi proses perkembangan; apa yang berkembang berkaitan dengan perilaku belajar. Disamping itu juga bagaimana hal sesuatu dipelajari, misalnya apakah melalui memorisasi (menghafalkan) atau mengerti hubungan, ikut menentukan perkembanagan (Knoers, 1985). Denagan demikian perkembangan dapat diartikan sebagai proses yang kekal dan tetap yang menuju kearah suatu organisasi pada tingkat integrasi yang lebih tinggi, berdasarkan pertumbuhan, pemasakan dan belajar. Terjadilah suatu organisasi atau struktur tingkah laku yang lebih tinggi. Pengertian lebih tinggi berarti bahwa tingkah laku tadi mempunyai lebih banyak diferensiasi, yaitu bahwa tingkah laku tersebut tidak hanya lebih luas, melainkan mengandung kemungkinan yang lebih banyak. Pengertian organisasi atau struktur berarti bahwa diantara tingkah laku tadi ada saling hubungan yang bersifat khas dan menunjukan kekhusussan seseorang pada suatu tingkat umur tertentu. Suatu definisi yang relevan dikemukakan oleh Monks sebagai berikut: “Perkembangan psikologis merupakan suatu proses yang dinamis. Dalam proses tersebut sifat individu dan sifat lingkungan menentukan tingkah laku apa yang akan menjadi actual dan terwujud. Umur kalender disini bukan merupakan suatu variable yang bebas, melainkan merupakan suatu dimensi waktu untuk mengatur bahan-bahan (data yang ada).


1.2 Psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan
Dalam pasal yang sebelumnya telah sering ditunjukan adanya hubungan antara perkembangan dengan pribadi atau kepribadian. Pribadi atau kepribadian disini dipandang sebagai kesatuan sifat yang khas yang menandai pribadi tertentu itu. Pemakaian istilah kepribadian menimbulkan permasalahan baru, yaitu karena teori mengenai kepribadian ada bermacam-macam. Hal ini menunjukan bahwa kepribadian tersebut merupakan suatu pengertian yang dapat diartikan bermacam-macam pula. Herman (1969) berpendapat bahwa pengertian kepribadian merupakan suatu konstruk teoritis yang sengat kabur definisinya. Oleh karena itu menurut Hermann lebih baik definisinya diberikan sesudah dilakukan penelitian lebih lanjut daripada diberikan sekarang.
Walupun terdapat banyak perbedaan pendapat antara para ahli teori kepribadian, namun menurut Thomae (1986) ada suatu persamaan pendapat, yaitu bahwa setiap pribadi mempunyai ciri-cirinya yang khas. Tidak ada satu orangpun yang mempunyai ciri seratus persen yang sama dengan orang lain, setiap orang adalah pribadi yang khusus. Disamping itu juga ada suatu stabilitas dalam kepribadian seseorang hingga dapat dikatakan ada suatu identitas pribadi. Meskipun ada perubahan yang dialami seseorang, pada dasarnya orang tadi tetap mewujudkan pribadinya sendiri.
Psikologi kepribadian lebih menitikberatkan pada sifat kepribadian yang umum, maupun yang khusus (yang membedakan seseorang dari yang lain) sertta kombinasi sifat-sifat tersebut sehingga mewujudkan totalitas kepribadian tertentu. Psikologi perkembangan lebih mempersoalkan faktor-faktor yang umum yang mempengaruhi proses perkembangan yang terjadi di dalam diri pribadi yang khas itu.
Titik berat yang diberikan oleh para ahli psikologi perkembangan adalah pada raksi antara kepribadian dan perkembangan. Hal itu disebabkan oleh pendapat bahwa keseluruhan kepribadian itulah yang berkembang, meskipun beberapa aspek lebih menonjol pada masa-masa perkembangan tertentu, misalnya perkembangan fungsi indera dan fungsi motorik lebih menonjol pada tahun-tahun pertama. Ahli psikologi perkembangan lebih tertarik pada struktur yang berbeda-beda pad apribadi yang sedang berkembang, pada urut-urutan perkembangannya maupun pada hubungannya satu sama lain. Sehubungan dengan itulah dipakai istilah stadium yang berurutan bila berkisar pada suatu komponen tertentu, misalnya stadium perkembangan intelegensi. Dengan demikian orang bicara mengenai masa-masa penghidupan yang jelas dapat dibedakan antara yang satu dengan yang lain, misalnya masa kanak-kanak, masa kanak-kanak maupun dengan masa dewasa awal, meskipun ada cirri yang khas masa remaja yang jelas berbeda dengan masa kanak-kanak dan yang kurang jelas berbeda dengan masa dewasa awal. Berhubungan sifat orang adalah khas serta jalan perkembangannya juga khas maka psikologi perkembangan juga dapat dipandang sebagai psikologi jalan hidup seseorang. Charlotte Buhler (1963) sudah bekerja secara sistematis kearah itu, khusunya Thomae (1986) telah menyempurnakan psikologi jalan hidup tadi dengan data empiris.
Thomae adalah pelopor biografik psikologi, yaitu memperoleh data mengenai seseorang seobjektif mungkin. Dalam kenyataan, maka cara ini adalah suatu kombinasi pendekatan nomotorik (mencari hokum) dan yang idiografis (mencari kekhususan individual). Yang pertama adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan empiris, yang kedua adalah cara pendekatan ilmu pengetahuan kerohanian ( De Groot, 1996).
1.3 Teori-teori perkembangan
Suatu teori akan memperoleh arti yang penting bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala-gejala yang ada. Marx (1963) membedakan adanya tiga macam teori yaitu:
a. Teori yang deduktif: memberikan keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pikiran spekulatif tertentu kea rah data yang akan diterangkan.
b. Teori yang induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim titik pandang yang positivistis ini dijumpai pada kaum behaviorist.
c. Teori yang fungsional: disini Nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.

Berdasarkan tiga pembagian ini dapatlah disimpulkan bahwa teori dapat dipandang sebagai berikut:
1. Teori menunjuk pada sekelompok hokum yang tersusun secara logis. Hokum-hukum ini biasanya mempunyai sifat hubungan yang deduktif. Suatu hokum menunjukan suatu hubungan antara variabel-variabel empiris yang bersifat ajeg dan dapat diramal sebelumnya.
2. Suatu teori juga dapat merupakan suatu rangkuman tertulis mengenai suatu kelompok hokum yang diperoleh secara empiris dalam suatu bidang tertentu. Disini orang mulai dari data yang diperoleh dan dari data yang diperoleh itu dating pada suatu konsep yang teoritis.
3. Suatu teori juga dapat menunjuk pada suatu cara menerangkan yang menggeneralisasi. Disini biasanya terdapat hubungan yang fungsional antara data dan pendapat yang teoritis.

Berdasarkan data tersebut diatas secara sangat umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konsepsualisasi yang umum. Konsepsualisasi atau system pengertian ini diperoleh melalui jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak dia bukan suatu teori.
Didalam ilmu pengetahuan sering digunakan apa yang disebut model, maka perlulah disini untuk membedakan antara teori dan model. Bila suatu gejala kita pandang sebagai suatu kesatuan yang terdiri daripada bagian-bagian yang saling berhubungan, maka gejala tadi disebut suatu system yang konkrit.
Seringkali model digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih banyak mengenai gejala. Hal ini disebut fungsi model yang heuristis atau yang bersifat mencari. Hal tersebut menghasilkan suatu hipotesis kerja yang dapat membantu pembentukan teori lebih lanjut. Seringkali suatu model mempunyai fungsi melukiskan atau menerangkan belaka. Melukiskan atau menerangkannya tidak akan bias sempurna, tetapi mempunyai hubungan denganaspek gejala yang dianggap penting.
Suatu model tidak boleh diuji kebenarannya, seperti halnya suatu teori. Model sedikit banyak dapat digunakan untuk melukiskan atau menerangkan gejala-gejala tertentu. Untuk menerangkan model deficit, baiklah kita tinjau model deficit Charlotte Buhler yang berorientasi biologis.

Menurut Buhler (1893-1974) ada lima perkembangan pisikis seseorang
a. Permulaan
b. Penenjakan
c. Puncak masa hidup: 25-50 tahun
d. Penurunan
e. Akhir kehidupan

Menurut Buhler, maka dalam perkembangan fisik ada empat titik balik yang menentukan:
a. Permulaan kemasakan seksual: pada anak laki-laki ± 15 tahun. Pada anak wanita ± 13 tahun.
b. Penghentian pertumbuhan jasmani: wanita ± 18 tahun. Laki-laki ± 25 tahun
c. Akhir masa subur: wanita ± 40-46 tahun. Laki-laki masuh tanda Tanya.
d. Permulaan kemunduran biologis: ± 50 tahun.

Penanjakan kehidupan manusia menurut Buhler berlangsung sampai tahun ke-25, sesudah itu dating masa yang relative stabil, yaitu puncak masa hidup, dan akhirnya dating masa kemunduran biologis. Meskipun kemunduran biologis merupakan suatu fakta yang nyata, tetapi masih belum dapat ditentukan apakah juga ada suatu kemunduran dalam fungsi psikis.


1.3.1 Teori yang berorientasi biologis
Teori ini menitikberatkan pada apa yang disebut bakat. Jadi faktor keturunan dan konstitusi yang dibawa sejak lahir. Perkembangan anak dilihat sebagai pertumbuhan dan pemasakan organisme. Perkembangan bersifat endogen, artinya perkembangan tidak hanya berlangsung spontan saja, melainkan juga harus dimengerti sebagai pemekaran pre-disposisi yang telah ditentukan secara biologis dan tidak dapat berubah lagi (genotype). Dalam hal ini maka perkembangan merupakan suatu proses yang spontan, yang oleh Piaget (1971) disebut sebagai kelanjutan ganesa-embryo. Pengaruh lingkungan yang menguntungkan dan tidak menguntungkan ikut menentukan sifat apa yang akan terwujud yang dimilki organisme dalam periode tertentu (fenotype).
Kelemahan teori ini Nampak dalam penelitian anak-anak kembar. Anak kembar yang identik ( satu telur) yang dibesarkan dalam milieu (lingkungan) yang berbeda, mengalami proses perkembangan yang berbeda pula. Perbedaan dalam perkembangan dua anak tadi tidak dapat diterangkan melulu sebagai reaksi mereka terhadap banyak sedikitnya kehangatan yang diterima, atau melulu karena banyak sedikitnya pendidikan formal yang dialami.
Kelemahan teori yang berorientasi biologis itu juga kita jumpai pada waktu anak dalam suatu kondisi tertentu mampu melaksanakan tingkah laku operasi. Yaitu melakukan tingkah laku intelektual pada waktu yang lebih awal daripada stadium perkembangannya, misalnya dapat membaca pada waktu yang sangat awal. Anak-anak dengan informasi bawaan yang sam mungkin akan menggunakan informasinya itu dengan cara yang berbeda-beda.

1.3.2 Teori Lingkungan
Dalam kelompopk teori lingkungan (atau teori milieu) termasuk teori belajar dan teori sosialisasi yang bersifat sosiologis. Kedua macam teori itu sebetulnya sama karena prionsip sosialisasi itu merupakan suatu bentuk belajar social. Hal ini juga berlaku bagi enkulturasi, yaitu memperolehnya tingkah laku kebudayaan sendiri, yang banyak ditulis oleh ahli antropologi budaya, seperti Benedict (1934), Kardiner (1945), Mead (1953).
Teori-teori belajar mempunyai sifat yang berlainan (Knoers, 1973). Persamaan yang ada diantara berbagai teori belajar itu adalah bahwa mereka semua memandang belajar sebagai suatu bentuk perubahan dalam disposisi seseorang yang bersifat relative tetap, disposisi disini diartikan sebgai potensi untuk bertingkah laku, untuk bersikap. Menurut teori ini maka perkembangan adalah bertambahnya potensi untuk bertingkah laku. Berjalan harus dipelajari, bergaul dengan orang lain juga harus dipelajari, begitu juga berpikir logis.
Teori ini beranggapan bahwa sesudah tahun pertama, potensi untuk melakukan tingkah laku nivo yang lebih tinggi tidak tergantung daripada perubahan spontan pada struktur diri organisme, melainkan tergantung pada apa yang kita pelajari dengan teknik-teknik yang tepat. Jadi bila anak hidup dalam suatu lingkungan tertentu, maka anak tadi akan memeperlihatkan pola tingkah laku yang khas lingkungannya tadi.
Para ahli sosiologi mengemukakan bahwa kemungkinan besar ada semaca watak social (Rolff, 1970). Watak social ini menurut Fromn (1941) adalah inti struktur watak yang dimiliki oleh semua anggota suatu budaya atau sub-budaya tertentu. Watak social berlainan dengan watak individual yang menunjuk pada perbedaan yang diantara orang-orang dari suatu budaya yang sama.

1.3.3 Teori psikodinamika
Teori ini mempunyai kesamaan dengan teori belajar dalam hal pandangan akan pentingnya pengaruh lingkungan, termasuk lingkungan (milieu) primer terhadap perkembangan. Perbedaan ialah bahwa teori psikodinamika memang komponen yang bersifat sosio-afektif sangat fundamental dalam kepribadian dan perkembangan seseorang. Menurut toeri ini, maka komponen yang bersifat sosio-afektif, yaitu keteganagn yang ada dalam diri seseorang, sebagai penentu dinamikanya.
Menurut salah satu teori psikodinamika terkenal, yaitu teori Freud, maka seorang anakdilahirkan dengan dua macam kekuatan (energi) biologis, yaiutu libido dan nafsu mati. Kekuatan atau energi ini “mengusasai” semua orang atau semua benda yang berarti bagi anak, melalui proses yang oleh Freud disebut kathexis. Kathexis berarti konsentrasi psikis terhadap suatu objek atau suatu ide yang spesifik atau terhadap suatu person yang spesifik.
Struktur anak pada waktu dialhirkan adalah apa yang disebut “DasEs” “DasEs” ini mendorong anak untuk memuaskan nafsu-nafsunya (prinsip kenikmatan). Tetapi didalam perkembanganya anak tertumbuk pada realita keliling hingga repaksa harus mengadakan suatu kompromi (prinsip realitas). Dari kenyataan ini timbulah di dalam struktur “Das Es” suatu komponen lain yaitu “Das loh” (aku) yang berfungsi sebagai penentu diri, baik terhadap dunia luar maupun terhadap “Das Es”. Denagn demikian pemuasan nafsu ditunda hingga saat-saat yang sesuia denagn realitas. Kadang-kadang pemusaan nafsu tersebut diubah bentuknya hingga dapat diterima oleh norma realitas.
Kemudian karena pengaruh lingkunagn social pada masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang tua, terbentuklah “Das Ueber-ich” di dalam “Des Ioh” seseorang. “Uber-ich” tadi mengatur laku “Ioh” dan mengatur tuntunan yang datangdari “Es”. Kalau “Ioh” tidak berhasil mengkompromikan tuntutan “ Es” dan tuntutan “Ueer-ich”, maka nafsu-nafsu yang berasal dari “Es” ditekan secara tidak sadar. Hal ini berarti bahwa nafsu-nafsu tadi tidak manifest, tetapi penagaruhnya masih ada secara laten. Seseorang lalu dapat melakukan hal-hal tertentu yang tidak diketahui sendiri alasannya.
Teori perkembangan yang berorientasi kepada psikodinamika tidak lagi mengakui pendapat yang dulu dianut secara umum, bahwa perkembangan fungsi seksual baru dimulai bersamman dengan pertumbuhan organ kelamin pada masa remaja. Libido yang juga disaebut seksualitas sesuai dengan tujuan dan arahnya, sudah mulai berfungsi sejak anak dilahirkan.
Kehidupan seksual mempunyai fungsi memberi kenikmatan pada bagian-bagian badan tertentu; baru kemudian sesudah mencapai tingkatan tertentu dalam perkembangan, maka seksualitas dimaksudkan untuk kepentingan reproduksi (pengembangbiakan). Dalam proses perkembangan ada tiga daerah badan tertentu yang dapat memberikan kenikmatan (daerah orogen), yaitu mulut, anus, dan organ-organ genital. Mulut adalah sumber kenikmatan utama, tidak hanya karena melalui mulut bayi memperoleh makanan atau karena dalam menyusu ia dapat merasakan kehangatan ibu melalui mulutnya melainkankarena gerakan menghisap yang ritmis itulah memberikan kenikmatan tersendiri. Berhubungan dengan itulah maka mulut dalam fase oral ini merupakan alat pertama bagi anak untuk memperoleh kesan kesan. Semuanya dibawa ke mulut untuk dihisapnya. Bila nanti tumbuh gigi-giginya, maka sudah dalam fase inilah timbul implus agresif (sadistis) yang akan berkembang penuh pada fase berikutnya, yaitu fase anal yang sadistis. Dalam fase ini kenikmatan dialami pada fungsi pembuangan yaitu pada waktu menahan dan bermain-main dengan faces (kotoran) juga senag bermain dengan lumpur dan senang melukis dengan jari (“fingerpainting”) yaitu mengecat langsung dengan jari yang mempunyai tujuan psikoterapi, yaitu penyaluran kecemasan dan agresi.
Dalam fase ini nampak jelas hambatan yang dtang dari lingkunagan dalam bentuk pendidikan akan kebersihan, larangan terhadap kecendrungan destruktif dan hambatan terhadap kemauan yang secara agresif ingin dipaksakannya. Sesudah fase ini datanglah lambat laut fase fallis, sesuia dengan nama organ genital laki-laki (phallus) yang kemudian merupakan daerah kenikmatan seksual anak laki-laki. Sebaliknya anak wanita merasakan kekurangan akan penis karena hanya mempunyai klitoris. Terjadilah jalan simpang bagi anak wanita dan anak laki-laki. Anak laki-laki pada masa ini mengalami konflik Oedipus sesuai dengan nama raja Yunani Oedipus yang tanpa diketahuinya telah kawian dengan ibunya sendiri setelah membunuh ayuah yang tidak dikenalnya. Anak laki-laki ingin bermain-main dengan penisnya ( masturbasi) dan dengan penis tersebut juga ingin merasak kenikmatan pada ibu. Tetapi keinginannya ini menimnbulkan ketakutan yang mendalam terhadap ayah. Anak mengira ayah akan melakukan pembalasan terhadap dirinya dengan memotong penis (kastrasi). Dengan demikian terjadi masa latensi. Dalam masa latensi ini seksualitas seakan mengendap, tidak aktif, dalam keadaan laten. Tetapi dalam keadaan laten ini dimungkinkan juga suatu pengolahan seksualitas dari dalam yang menimbulkan rasa mesra dalam diri anak (Cluckers, 1977).
Iri hati akan penis ini juga dapat mengakibatkan penolakan seksualitas yang dapat mempengaruhi perkembangan erotik serta menghambat kemungkinan mencapai kebahagiaan dalam hubungan seks dengan orang lain nanti. Dengan pertumbuhan organ-organ kelamin pada masa remaja, timbullah fase yang terakhir yaitu fase genital. Dalam fase ini, organ-organ genital menjadi sumber kenikmatan sedangkan kecendrungan lain ditekan. Bila dalam hubungan ini norma “Uber-ich” anak terlalu tinggi, misalnya karena tekanan orang tua, maka munculnya kebutuhan seks dapat menyebabkan gangguan batin yang serius.
Teori perkembangan yang berorientasi psikodinamika mempunyai kelemahan, yaitu tidak dapat diuji secara empiris (Eysenck, 1959; De Waele, 1961). Teori tersebut menitikberatkan akan perkembangan sosio-sfektif. Bila dalam teori ini seksualitas menduduki tempat yang utama, perlu diketahui juga bahwa libido dan agresi selalu berjalan bersama-sama. Jadi kalau misalnya seksualitas ditekan karena norma pendidikan orang tua, maka agresi ikut ditekan juga.
Erikson (1964) meluaskan teori freud yang agak menyebelah ini dengan mencoba meletakkan hubungan antara gejala psikis dan edukatif di suatu pihak dan gejala masyarakat-budaya di pihak yang lain. Suatu kehidupan bersama ditandai oleh cara anak diasuh dalam lingkungan hidup mereka yang wajar. Misalnya sebagai contoh Erikson mencoba mengartikan cara pendidikan orang Amerika dan pentingnya peranan ibu dalam menciptakan “home” di rumah, khusunya dalam waktu banyak pionir sedang pergi jauh keluar dari lingkungannya sendiri. Disini dapat dilihat bahwa Erikson kurang mengindahkan pengaruh kelembagaan modem dalam masyarakat.
Walaupun begitu, cara pendekatan Erikson yang bersifat normopsikologis ditinjau dari pendekatan Psikologi sepanjang hidup cukup relevan untuk ditinjau sejenak. Erikson membagi hidup manusia menjadi beberapa fase atas dasar proses-proses tertentu berdasarkan akibat-akibatnya. Dari segi pandangan psikologi perkembangan, maka pada setiap fase seseorang mempunyai “tugas” yang harus diselesaikan dengan baik.
Sebagai suatu contoh dapat dilihat perkembangan seorang bayi dalam masa oral. Ia dapat memperoleh atau tidak memperoleh kepercayaan dasar terhadap dunia luar tergantung daripada sikap milieu primernya, terutama ibu, pada waktu anak mencari pengalaman melalui mulut. Hal ini dapat ikut membentuk timbulnya berbagai bentuk gangguan dan tingkah laku kejahatan.
Bila anak dapat menyelesaikan fase pertama dengan baik, maka kemungkinan telah terbentuk dasar perkembangan yang utama, meskipun dalam setiap fase individu dapat macet lagi meski dalam nivo yang tidak terlalu dalam. Karena gangguan tidak terjadi terlalu dalam maka dengan keberanian fase-fase yang sebelumnya, gangguan tadi lebih mudah diatasi.

1.3.4 Teori ilmu kerohanian
Tokoh yang paling utama dalam teori ini adalah Eduard Spranger (1882-1962). Titik berat pandangannya adalah pada kekhususan psikis individu. Sesuai dengan pendapat Dithley (1833-1911) Spranger mengemukakan bahwa gejala psikis seseorang sulit diterangkan seperti halnya menerangkan gejala fisik
Gejala dimengerti dari keseluruhan strukturnya, begitu pula gejala perkembangan dimengerti dengancara seperti itu. Misalnya pemasakan seksual adalah suatu gejala fisiologis, tetapi remaja memberikan arti dalam keseluruhan struktur psikologinya, penundaan pemuasan seks hingga sesudah masa remaja, menurut Spranger adalah suatu hal yang berarti, karena baru pada usia dewasa “Sexus” (nafsu seks) dan “Eros” (rasa kasih yang mempunyai hakekat etis) dapat bersatu.
Meskipun pendapat Spranger masih tergolong spekulatif, mungkin bertitik tolak dari perhatian antropologis, namun ide-idenya banyak dianut oleh penulis yang kemudian. Di negeri Belanda maka Langeveld (1959), Calon (1953) dan Beets (1954) dipandang sebagai wakil aliran ilmu kerohaniaan yang bersifat antropologis. Seprti halnya pada setiap teori, maka teori ini juga mempunyai beberapa variasinya.


1.3.5 Teori interaksionisme
Beberapa teori yang dibicarakan sebelumnya agak bersifat menyebelah, dari sebab itu membutuhkan suatu sintesa. Sintesa tersebut didapat di dalam teori interaksionisme yang sekarang banyak dianut oleh kebanyakan ahli psikologi perkembangan di Barat. William Stern dapat dipandang sebagai pelopor teori konvergensi yang beranggapan bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil pertemuan (konvergensi) antara faktor pribadi dan faktor lingkungan.
Dalam Negara blok Timur lebih dianut teori lingkungan. Hal ini dapat dimengerti karena mereka menganut ideology Marxis yang menganggap perkembangan sebgai cermin masyarakat lingkungan. Dalam tingkah laku seseorang Nampak ada dialektik dengan lingkungan (Kossakowski, 1969; Davidow, 1961). Menurut Vygotsky perkembangan kognitif bukan merupakan perkembangan yang “wajar”, melainkan ditentukan oleh kebudayaan (Van Parreren, 1979; 1983).
Teoretikus terkenal dalam interaksionisme adalah Piaget (1947). Pendapatnya agak menyebelah karena Piaget hanya mementingkan perkembangan intelektual dan perkembangan moral yang berhubungan dengan itu. Disini moral dipandang sebagai berhubungan dengan intelektual anak.
Inti pengertian teori Piaget adalah bahwa perkembangan harus dipandang sebagai kelanjutan ganesa-embrio. Perkembangan tersebut berjalan melalui berbagai stadium dan membawa anak ke dalam tingkatan berfungsi dan tingkatan struktur yang lebih tinggi. Terlaksananya perkembangan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, pertama dapat disebut faktor pemasakan yang memungkinkan dilakukannya aktivitas seseorang. Anak tidak dapat melakukan tindakan (operasi) tertentu, sebelum ia mencapai suatu tingkatan kemasakan tertentu. Pengaruh lain dating dari pengalaman dan transmisi sosial. Transmisi sosial berarti penanaman nilai-nilai melalui pendidikan, tetapi juga melalui bahasa yang karena strukturnya yang khas, dapat membuka kemungkinan-kemingkinan baru. Tetapi yang paling penting adalah aktivitas sosial individu yang dapat belajar menyesuaikan diri pada tuntutan realitas melalui pengalaman dan transmisi sosial. Bentuk penyesuaian ini oleh Piaget disebut asimilasi, yaitu memperoleh kesan dan pengertian baru atas dasar pola pengertian yang sudah ada. Istilah asimilasi diambil dari istilah biologi seperti juga halnya istilah adaptasi. Dengan istilah akomodasi Piaget mengartikan penyesuaian diri untuk dapat bertindak yang cocok dengan situasi baru dalam lingkungannya. Maka dari itulah suatu akomodasi lebih lanjut yang dibutuhkan untuk bertindak yang sesuai akan memecahkan keseimbangan tadi. Ekuilibrasi berarti mendapatkan keseimbangan baru secara aktif.
Istilah interaksionisme menunjuk pada pengertian interaksi, yaitu pengaruh timbale balik. Di sini dimaksudkan tidak hanya pengaruh mempengaruhi antara bakat dan milieu, antaqra pemasukan dan belajar, melainkan juga interaksi antara pribadi dan dunia luar. Interaksi tadi mengandung arti bahwa orang dengan mengadakan reaksi dan aksi ikut memberikan bentuk pada dunia luar )keluarga, teman, tetangga, kelas sosial, kelompok kerja, bangsa).
Di samping interaksi ada kovariansi faktor keturunan dan faktor lingkungan, artinya kedua faktor berjalan bersama-sama. Misalnya orang tua merupakan pengaruh keturunan dan pengaruh lingkungan sekaligus bagi anak. Dengan begitu dapat dilihat nanti, bahwa pengertian adaptasi Piaget dalam arti biologis harus dilengkapi dengan arti sosiologis. Dalam halini mungkin istilah emansipasi lebih tepat untuk melukiskan keadaan tersebut. Dalam pedagogic dan psikologi pengertian emansipasi digunakan untuk menunjukan usaha anak dan pemuda untuk membebaskan diri dan menemukan kepribadian sendiri, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok.

1.3.6 Teori perkembangan dan pendidikan: teori mengenai tugas-tugas perkembangan
Perkembangan dilukiskan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Pandangan ini mempunyai akibat yang luas bagi teori psikologi perkembangan yang dikaji oleh Havigurst bagi perkembangan orang Amerika. Havigurst mengemukakan bahwa perjalan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Hvigurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (development task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan.
Tugas perkembangan tersebut menunjukan adanya hubungan dengan pendidikan, yaitu pendidikan dan pelajaran formal yang diterima seseorang. Pendidikan menentukan tugas apakah yang dapat dilaksanakan seseorang pada masa-masa hidup tertentu. Bila dalam masa dewasa muda seseorang tidak berhasil untuk menemukan jodoh, orang tadi akan tidak merasa bahagia, namun sebetulnya hal ini sangat tergantung pada filsafat hidup orang itu. Beberapa catatan yang masih dapat dikemukakan di sini ialah pertama bahwa pengertian masa dewasa muda menurut Havigurst mengandung pengertian lebih luas daripada yang biasanya diberikan. Daiantara apa yang oleh Havigurst dimaksudkan dengan masa dewasa awal dan masa dewasa remaja, terseliplah masa dewasa muda dalam artin yang sempit. Catatan kedua adalah bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hanya sebagian saja dipengaruhi oleh berhasil atau tidaknya melakukan tugas perkembangan. Catatan ketiga ialah bahwa pendidikan banyak ditentukan oleh kebudayaan suatu bangsa. Catatan keempat berhubungan dengan pasal yang akan dating. Havigurst terlalu menitik beratkan pada pengaruh kebudayaan dan masyarakat terhadap beberapa tugas perkembangan tertentu meskipun pengaruh dan tekanan masyarakat maupun kebudayaan merupakan hal yang penting.namun perlu ditonjolkan bahwa pribadi yang sedang berkembang itu, khusunya mulai masa remaja, menentukan sendiri tugas mana yang diterima dan mana yang ditolak. Dalam ketegangan antara keinginan untuk tergantung dan dorongan untuk bebas dari otorita orang tua, remaja berpeluan untuk memperoleh tanggung jawab sendiri dalam menentukan pola hidupnya.


1.3.7 Psikologi perkembangan dan pengertian emansipasi
Lavengeld (1964) memandang pengertian emansipasi sebagai satu aspek pembentukan identitas atau indivisualisme, yakni pembentukan kesadaran diri. Meskipun pengertian emansipasi di sini memperoleh arti yang lebih aktif daripada semula, namun belum terlalu jelas ditunjukan bahwa emansipasi makin lama makin dimengerti sebagai suatu proses aksi sosial atau aksi masyarakat yang berwujud perjuangan kelompok sosial atau kelompok sub-kultural untuk memperoleh perlakuan hokum yang sama.
Ada yang beranggapan bahwa emansipasi dapat menimbulkan masalah, yaitu bila tidak ada control intern yang cukup, misalnya yang dapat terjadi pada kelompok yang mengalami diskriminasi. Dari pandangan psikologi perkembangan, maka pengertian emansipasi mempunyai arti yang penting. Proses perkembangan seseorang akan lain bila ia emndapat kesempatan untuk mengembangkan dorongan eksplorasi, yang oleh Langeveld dihubungkan dengan emansipasi, bersama dengan teman-teman sebaya.
Sebagai rangkuman dapat dikemukakan bahwa emansipasi merupakan suatu proses dalam perkembangan, yaitu untuk belajar mengaktualisasikan diri bersama-sama dengan orang-orang lain yang ada dalam situasi yang sama. Aktualisasi diri tersebut mengandung arti menunjukan diri sebagai suatu kelompok yang memiliki hak yang sama dengan orang-orang lain serta menunjukan diri sebgai pribadi-pribadi yang khas. Hal ini dilakukan dengan melepaskan diri dari ikatan yang membuat mereka menjadi kelompok yang mengalami diskriminasi.
Pendidikan dapat membantu anak dan remaja dalam proses tersebut, bila mereka senantiasa ditantang untuk mengadakan refleksi dir yang kritis.


1.3.8 Pandangan dalam tulisan ini
Teori mengenai emansipasi adalah yang paling tepat untuk menerangkan dan mengerti perkembangan seseorang. Faham interaksionisme dapat mempersatukan kedua faktor yaitu bakat dan lingkungan. Keterikatan inisiatif pribadi dengan masyarakat ini merupakan tema teori tugas perkembangan maupun teori emansipasi karena keduanya menitikberatkan akan pengaruh kebudayaan dan pengaruh kelompok dalam keadaan situasi sosial yang sama.
Pendapat Hill (1973) dan Thomae (1968) dan dengan model isomorfisme Oerter (1978, 1981). Menurut Hill, maka teori perkembangan harus memenuhi emapat persyaratan, yaitu bahwa:
1. Kontinuitas dan diskontinuitas dalam perkembangan hanya dapat dimengerti dalam rangka perjalanan hidup sebagai keseluruhan.
2. Pengertian-pengertian dapat diterapkan baik terhadap perubahan pada pribadi maupun pada lingkungan.
3. Teorinya bersifat interaksionistis
4. Tingkah laku selalu dinilai sebagai fungsi faktor pribadi, maupun faktor situasional.

Di samping teori makro yang berhubungan dengan keseluruhan proses perkembangan, juga ada banyak teori mikro atau teori tingkatan lebih rendah yang terutama ingin menerangkan gejala perkembangan tertentu saja.
Untuk menguji suatu teori makro, maka yang paling penting adalah memakai kombinasi metode, hal semacam itu akan dilakukan dalam uraian berikutnya.


1.4 Metode psikologi perekembangan
Beberapa metode dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak pengertian akan gejala perekmbangan, beberapa metode lain lagi memberikan pengertian bagaimana caranya mengatasi hambatan dalam proses perekembangan. Dapat pula dibedakan antara pendekatan yang lebih umum dan metode yang lebih spesifik. Pendekatan yang lebih umum memberikan pengertian akan keseluruhan proses perkembangan atau beberapa aspek lainnya, misalnya perkembangan intelektual, atau pengertian akan arti faktor endogen dan eksogen bagi perekembangan seseorang.

1.4.1 Pendekatan yang umum
Dalam uraian diatas telah disebutkan bahwa pendekatan yang umum ini dibedakan antara dua kelompok, kelompok yang satu memberikan lebih banyak data mengenai keseluruhan perkembangan atau beberapa aspeknya, kelompok yang lainnya meninjau apa ynag dipengaruhi oleh faktor bawaan atau apa yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya faktor kebudayaan.

1.4.1.1 Metode longitudinal vs transversal
Yang di sebut metode longitudinal adalah cara menyelidiki anak dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengikuti perkembangan seseorang dari lahir sampai mati, atau mengikuti perkembangan seseorang dalam sebagian waktu hidup yaitu misalnya selama masa kanak-kanak atau selama masa remaja. Dengan metode ini biasanya diteliti beberapa aspek tingkah laku pada satu atau dua orang yang sama dalam waktu beberapa tahun. Dengan begitu akan diperoleh gambaran aspek perkembangan secara menyeluruh. Keuntungan metode longitudinal ini ialah bahwa suatu proses perkembangan dapat didikuti dengan teliti. Tetapi kerugiannya ialah bahwa penyelidik sangat tergantung pada orang yang diselidiki tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama. Hala ini sering kali menimbulkan kesulitan, misalnya bila orang yang diselidiki tadi tiba-tiba pindah atau meninggal.
Sebaliknya dengan metode transversal atau metode krosseksional deselidiki orang-orang atau kelompok atau kelompok orang dari tingkatan usia yang berbeda-beda. Dengan mengambil kelompok orang dari tingkatan umur yang berurutan akhirnya dapat juga diketemukan gambaran mengenai proses perkembangan satu atau beberapa aspek kepribadian sesorang. Mungkin gambaran yang akan diperoleh nanti agak kurang dipercaya atau kurang jelas karena tidak mengenai orang yang sama seperti halnya pada metode longitudinal. Tetapi sebaliknya dengan metode transversal itu dapat diperoleh pengertian yang lebih baik akan faktor yang khas atau kurang khas bagi kelompok-kelompok tertentu, karena dengan metode ini dapat diambil kelompok-kelompok yang dapat diperbandingkan, misalnya meneliti seseorang dari status masyarakat yang berbeda-beda.
Metode lain yang disebut tiem-lag membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi dari kohort yang berbeda-beda. (kohort = kelompok orang yang ahir pada tahun yang sama). Wheeler (1942) menemukan bahwa anak-anak dari usia dan daerah yang sama lebih tinggi sekor tingkah lakun kecerdasannya pada tahun 1940 daripad tahun 1930.
Juga dapt diadakan kombinasi metode longitudinal dan kroseksional denagn meneliti beberapa kelompok selama beberapa tahun, misalnya selama tiga tahun, tetapi diusahakan sedemikian rupa hingga usia kelompok yang satu dengan yang lain saling menutupi. Misalnya kelompok yang satu terdiri daripada anak umur 12,13, dan 14 tahun; kelompok yang lain berumur 14,15,dan 16 tahun. Sifat longitudinalnya ada dalam mengikuti kelompok tadi selama 3 tahun berturut-turut, sedangakan krosseksionalnya dapat dilakukan dengan membandingkan usia 14tahun yang saling menutupi tadi mengenal beberapa tingkah laku tertentu. Di Nijmegen, Nederland pernah diadkan penelitian mengenai perkembangan anak dengan memakai metode kombinasi itu (lihat Wels van dan Munckhof, 1974; Pahl-Andersen B. dkk. 1979 ).

1.4.1.2 Pendekatan lintas budaya
Antropologi budaya telah berjas dengan menunjukkan bahwa faktor-faktor yang dulu dianggap sebagai faktor kemasakn ternyata merupakan hasil pengaruh lingkungan atau kebudayaan sekitar.
Benedict (1934), kardher (1945) dan mead (1958) dapat menunjukkanbahwa enghayatan kemasakan seksual dalam masa remaja sangat dipengaruhi oleh perlakuan dan norma yang berlaku pada suatu kebudayaan tertentu. Diskrepansi antara kemasakan seksual dan tingkah laku seksual sangat tergantung pada norma yang berlaku pada kebudayaan tadi. Hal tersebut menyebabkan tibulnya berbagai penelitian untuk membandingkan orang-orang dari usia yang sama tetapi hidup dalam alam adat yang berbda-beda. Denagn demikian dapat diperoleh pengertian yang lebih baik mengenai berbagai macam aspek dalam perkembangan kepribadian seseorang. Misalnya Piaget (1937) beranggapan bahwa perkembangan inteligasi dimulai dengan suatu “stadium egosentris”; dalam stadium tersebut belum dapat membedakan anatar dirinya dan dunia luar. Perkembangan inteligens akan menyebabkan datangnya pengertian akan perbedaan itu. Brunei (1972) dapat menunjukkan bahwa anak Senegal tidak mengalami perkembangan semacam itu. Begitu pula Reich mengemukakan bahwa pada ornag Eskimo sama sekali tidak ada perbedaan antara individu dan dunia luar. Bila penemuan Bruner dan reich itu benar, maka ada kemungkinan perkembanagn cara berfikir yang egosentirs ke cara berfikir yang objektif lebih menonjol atau lebih cepat terjadi pada anak di barat.
Pendekatan lintas budya (kroskultural) ini memberikan pengertian yang lebih mendalam akan proses perkembangan seseorang. Juga di barat banyak diadakan penelitian banding antara anak-anak yang berasal dari suku bangsa yang berbeda-beda tetapi hidup dalam masyrakat yang sama, misalnya membandingkan anak kulit putih dengan anak negro di Amerika. Perbedaan alam budaya atau perbedaan kulutral semacam itu kadang-kadang dimengerti sebagai perbedaaan subkulural, yaitu perbedaan yang terdapat dalam kelompok yang berbeda-beda yang hidup dalam masyarakat yang sama. Di Amerika, orang negro tergolong kelas sosial ekonomi yang rendah. Ciri perkembangan orang yang tidak berpendidikan, atau ciri anak yang hidup di bagian kota yang miskin (slums) diketemukan pada anak negro. Namun penemuan ini masih terbuka untuk di kaji lebih lanjut. Jensen (1969) dapat menunjukkan bahwa ornag negro memperoleh sekor beberap angka lebih rendah daripada ornag kulit putih dalam beberapa tes intelegensi. Secara dangakal hal ini dapat disimpulkan bahwa ornag negro lebih kurang cerdas daripada orang kulit putih. Penelitian tersebut dilakukan terhadap kelompok orang negro dan kelmpok orang kulit putih yang kurang lebih sama latar belakang pendidikan dan sosial ekonominya. Tes intelegensi yang dikenakan bersifat bebas budaya (culuture free) terdiri dari beberapa tes yang non verbal sehingga bebas dari hambatan bahasa. Hal ini cukup penting karena banyak pendapat mengatakan bahwa perkembngan bahasa di tentukan oleh subbudaya seseorang (Bernstein 1967; oevermann.1971). Masih dapat dipermasalahkan yaitu pakah motif prestasi, watak sosial dan sebagainya di sini tidak mengambil peranan yang penting. Misalnya tes Raven yang dianggap “culture free” masih juga dipengaruhi oleh latar belakang kulutural orang yang dites (Drenth, 1973). Pedekatan lintas budaya ini dengan jelas membuktikan bahwa motif prestasi banyak ditentukan oleh faktor cultural atau subkultural, dengan demikian pendekatan lintas budaya memeberikan sumbangan besar pada penelitian psikologi perkembangan.

1.4.2 Metode spesifik
Dalam rangka pendekatan yang telah diuraikan di atas masih ada beberapa metode yang khusus dalam psikologi perkembangan. Secra kasar dapat dibedakan antara metode eksperimental dan non eksperimental. Kebanyakan ada diantara kedua metode tersebut. Dengan penegertian ini dapatlah dibicarakan secara singkat mengenai dua macam metode ini.

1.4.2.1 Metode eksperimental
Metode eksperimental dapat dibedakan antara eksperimen murni dan eksperimen lapangan. Perbedaan antara keduanya tersebut ada dalam tingkat kemungkinannya dalam mengerti hubungan antara faktor-faktor tertentu dengan gejala-gejala perkembangan. Pada eksperimen murni maka control terhadap situasi lebih dpat dilakukan dengan baik dengan demikian hubungan antara suatu variable dengan suatu gejala perkembangan lebih dapat di tentukan. Eksperimen lapangan bertitik tolak dari suatu kehidupan nyata. Dalam hal ini seringkali hubunga antara suatu variabel dengan suatu gejala perkembangan kurang dapat dilihat dengan pasti
Dalam suatu eksperimen maka semua variabel kecuali satu dibuat konstan, kemudian dengan memanipulasi variabel yang satu tersebut (yaitu variabel bebas) dapatlah diketahui pengaruhnya terhadap efek yang ditimbulkannya (variabel tergantung)
Dalam eksperimen ada yang disebut kelompok eksperimen yang dikenal variabel bebas tadi. Misalnya dua kelompok anak yang sama dalam hal usia, intelegensi, status sosial ekonomi, pendidikan, dan sebagainya masing-masing dikenakan perlakuan yang berbeda misalnya dalam membuat suatu tugas (tes) maka kelompok yang satu diberi tahu bahwa tes tersebut hanya latihan saja, sedangkan kelompok yang lain diberi tahu bahwa siapa yang dapat mencapai angka 8 atau lebih akan memperoleh suatu hadiah. Eksperiman ini menguji suatu hipotesis bahawa kelompok yang diberi pengharapan akan hadiah tadi akan melakukan tesnya dengan lebih baik.

Bila perbedaan hasil antara kedua kelompok tadi signifikan dapatlah ditarik kesimpulan akan adanya hubungan “kausal” antara pengharapan akan hadiah (variabel bebas) dan hasil tes. (variabel tergantung). Artinya bahwa dalam keadaan tertentu itu pengharapan akan hadiah mempengaruhi hasil tes kelompok tersebut. Meskipun begitu kita harus berhati-hati sekali dalam mengadakan suatu generalisasi umum bahwa hadiah memacu prestasi yang lebih baik. Disarankan untuk cukup berhati-hati dengan menggunakan hasil eksperimen karena terbatasnya metode tersebut untuk penelitian psikologis dalam situasi sosial.
Seringkali eksperimen dilakukan dalam situasi yang lebih bebas. Misalnya membandingkan anak dari berbagai kelas sekolah. Penelitian semacam ini lebih dapat disebut eksperimen lapangan karena sangat sulit untuk membuat kelas-kelas tersebut sama dalam semua hal. Mungkin persamaan dapat dicapai dalam umur atau lokasi sekolah, misalnya kota atau desa, lingkungan buruh atau cendekiawan, tetapi mungkin masih ada satu hal yang berbeda, yaitu mutu sekolah tersebut atau buku pelajaran yang dipakai. Hasil eksperimen lapangan yang dilakukan dalam keadaan semacam itu kurang sesuai untuk pengajuan suatu hipotesis. Sifat penelitian seperti itu tetap eksploratif bukan menguji. Artinya banyak merupakan suatu kecenderungan saja yang masih harus diuji dalam penelitian lebih lanjut.
1.4.2.2. Metode non-eksperimental
Suatu eksperimen dimaksudkan untuk membuat setinggi mungkin nilai objektif data yang diperoleh. Seorang peneliti tidak selalu berhasil untuk mengontrol situasinya. Meskipun begitu ia mampu untuk melakukan pengamatan yang dipandang dari segi teoritis maupun praktis cukup berarti. Caranya mengadakan observasi dapat berbeda-beda, ia dapat menggunakan alat dan teknik yang bermacam-macam. Salah satu cara adalah yang disebut “Event-sampling” yaitu mencatat tingkah laku yang khas yang timbul dalam jangka waktu itu.
Metode klinis berbeda daripada metode eksperimental tidak hanya dalam hal kecermatan cara mengadakan registrasi, yaitu dalam hal pengumpulan dan pencatatan data, melainkan terutama dalam hal representativitas sampel. Pemilihan kelompok “orang coba”nya tidak perlu berdasarkan persamaan sifat yang dimiliki oleh keseluruhan populasi, melainkan cukup dilakukan penelitian terhadap beberapa kasus saja, misalnya terhadap anak-anak dan tingkatan umur tertentu yang secara berturut-turut atau bersamaan waktu diobservasi oleh beberapa orang pengamat. Alat yang dipakai adalah berbagai macam tes atau pemberian tugas-tugas tertentu. Misalnya Piaget (1947) menyuruh anak-anak dari berbagai tingkatan usia membuat cacing-cacingan daripada bola-bola was. Anak umur 4 tahun akan mengira baha cacing-cacingan tadi mengandung was yang lebih banyak daripada bola-bola was yang semula. Anak umur 8 tahun tidak akan membuat kesalahan itu lagi. Mereka sudah mengerti bahwa perubahan bentuk tidak mengubah banyaknya barang sesuatu, mereka sudah mengerti hukum konservasi mengenai banyaknya barang sesuatu, yaitu bahwa banyaknya barang sesuatu itu tetap sama meskipun ada perubahan bentuk.
Berhubung dalam hal tersebut diatas tidak ada hipotesis yang dapat diuji berdasarkan manipulasi variabel tertentu, maka cara ini dapat disebut penelitian ex post facto, yaitu adanya hubunga nditentukan sesudah penelitian dilakukan (Albinski, 1967). Metode angket ini makin berarti bagi penelitian ilmu-ilmu sosial. Disini masih dibedakan, seperti halnya pada metode observasi yang lain, antara observasi orang lain. Misalnya data mengenai tingkah laku sosial anak dan remaja dapat ditanyakan pada yang bersangkutan sendiri atau pada orang lain, misalnya pada orang tua atau tetangga-tetangga.
Suatu daftar pertanyaan berisi suatu kumpulan pertanyaan mengenai suatu persoalan yang konkrit. Pertanyaan dapat bersifat bebas, atau bersifat tertutup, misalnya dengan mengggunakan apa yang disebut skala (scale). Dalam hal yang terakhir ini pertanyaan sering dibuat dalam bentuk pernyataan. Jawaban berujud setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan itu. Seringkali ada tingkatan (gradasi) dalam menjawab setuju atau tidak setuju.
Contoh :
Acara TV yang menggambarkan tingkah laku seks tidak baik untuk dilihat oleh anak dibawah umur 12 tahun.
Setuju sekali
Setuju
Tidak tahu
Tidak setuju
Tidak setuju sekali
Responden (orang yang diberi pertanyaan) memberikan tanda pada tempat segi empat di belakang pernyataan yang dipilih. Sejumlah aitem semacam itu merupakan skala sikap orang tua dalam pendidikan seks terhadap anak mereka. Dalam daftar pertanyaan tadi dapat juga ditanyakan mengenal data pribadi orang tua seperti status sosial ekonomi, agama, pendidikan, tempat tinggal, umur dan sebagainya. Dalam hubungan itu banyak data psikologi perkembangan dapat diperoleh sehubungan dengan keadaan dan sikap orang tua pada berbagai tingkatan usia, misalnya mengenai toleransi mereka terhadap tingkah laku seksual anak. Disamping itu banyak juga data yang diperoleh mengenai perkembangan seksual anak. Hal ini mengingat bahwa perkembangan seks banyak dipengaruhi oleh pendidikan orang tua.
Metode angket dapat pula dipakai untuk menguji suatu hipotesis. Misalnya ada hipotesis bahwa orang usia antara 15-25 tahun lebih bersikap toleran terhadap kenakalan anak dibanding dengan orang usia antara 35-45 tahun. Hal ini dapat disebut teori yang mendasari hipotesis tersebut. Melalui angket maka hipotesis tadi dapat diuji kebenarannya. Dapat pula diketemukan adanya hubungan dengan perbedaan pandangan agama dan sebagainya.
Berbagai metode yang dikemukakan diatas sebetulnya bukan metode yang khusus untuk psikologi perkembangan, namun sering dipakai dalam cabang ilmu tersebut. Karena arti perkembangan berhubungan dengan perjalanan hidup seseorang, maka semua data yang diperoleh dari pencatatan perjalanan hidup orang itu dapat dipandang sebagai materi penelitian dalam psikologi perkembangan. Pendekatan yang penting disini adalah metode longitudinal. Metode longitudinal ini dapat dikombinasi dengan data pencatatan dokumen, karangan, atau pencatatan tingkah laku yang khusus. Dalam hal ini metode tadi disebut metode biografis yang dapat menggunakan buku harian, surat, sajak, karangan dan sebagainya, yang akhirnya juga dapat bersifat autobiografis (observasi diri, laporan diri).

Paradigma Multitrait-Multimethod
Secara singkat telah dibicarakan mengenai beberapa metode dan teknik pakai dalam psikologi perkembangan. Metode-metode ini masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahannya sendiri. Untuk memperoleh data penelitian yang secermat mungkin dan paling dapat dipercaya, maka dalam psikologi makin sering dipakai suatu strategi penelitian yang disebut paradigma multitrait-multimethod.
Perlu diketahui suhu unsur-unsur apakah yang membentuk suatu hasil pengukuran psikologis. Ada tiga macam unsur yang dapat dicatat.
1. Variasi, yaitu perbedaan yang timbul dalam faktor yang diukura sendiri (misalnya variasi pada prestasi orang coba disebabkan oleh kelelahan, penurunan konsentrasi, penurunan motivasi dan sebagainya pada waktu pengambilan tes).
2. Variasi pada hasil pengukuran disebabkan oleh kesalahan pada cara pengukurannya.
3. Variasi yang timbul karena kesalahan yang tak terduga dalam pengukuran (Runkei dan McGrath, 1972, p. 163).
Dengan menggunakan paradigma multitrait-multimethod maka beberapa faktor psikologis (multitrait) diukur dengan satu metode, misalnya suatu test tertentu. Hal ini untuk menentukan apakah alat pengukur tadi betul-betul mengukur sifat-sifat spesifik yang akan dikur itu ataukah bekerja secara global, artinya mengukur secara keseluruhan. Sebaliknya satu sifat yang sama diukur dengan lebih dari satu alat pengukur multimethod, misalnya dengan tes, angket dan observasi. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat penyesuaian antara berbagai macam definisi operasional satu sifat tertentu.
Korelasi yang diketemukan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain mempunyai artinya sebagai berikut (bandingkan Ferguson, 1966) :
1. Korelasi antara pengukuran yang berulang dengan alat pengukur yang sama terhadap salah satu variabel yang sama : bila korelasinya tinggi dapat disimpulkan bahwa alat pengukurnya dapat dipercaya
2. Korelasi antara hasil pengukuran dengan alat pengukur yang berbeda terhadap salah satu variabel yang sama, memberikan gambaran akan persesuaian antara dua definisi operasional mengenal satu variabel yang sama
3. Korelasi antara pengukuran dua variabel yang berbeda, diukur dengan alat pengukur yang sama menunjukkan sampai seberapa jauh persamaan yang ada antara dua variabel tersebut.
4. Korelasi yang terakhir adalah korelasi antara satu variabel diukur dengan satu alat pengukur tertentu dan variabel lain diukur dengan alat pengukur lain. Dugaan yang ada adalah bahwa tidak akan diketemukan korelasi yang tinggi bila masing-masing alat pengukur dan masing-masing variabel tidak tergantung satu sama lain.

1.5. Rangkuman
Dalam bab ini telah dikemukakan secara singkat pengertian dan berbagai macam teori mengenai perkembangan, yaitu teori yang berorientasi biologis, berorientasi biologis, berorientasi lingkungan, psikodinamis dan teori kerohanian. Akhirnya telah ditunjukkan keunggulan sintesa interaksionitis yang mencakup teori tugas perkembangan dan teori emansipasi.
Selanjutnya telah dikemukakan sedikit mengenai berbagai macam metode dalam psikologi perkembangan. Telah ditunjukkan bahwa metode yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penelitiannya. Untuk penelitian yang eksak pada daerah yang terbatas maka metode eksperimental yang paling sesuai. Bila ingin mengerti jalannya proses mengerti jalannya pross perkembangan dalam salah satu aspek perkembangan tertentu atau ingin mengerti keseluruhan perkembangan pribadi seseorang maka akan lebih sesuai untuk menggunakan metode pencatatan bigrafis. Dalam bab ini juga telah ditunjukkan adanya berbagai alat dan teknik yang dapat mempertinggi objektivitas pengumpulan data. Berbagai macam teknik observasi dalam kehidupan bebas makin banyak dilakukan dalam psikologi perkembangan.
Pemakaian metode yang terpadu menambah kemungkinan untuk memperoleh pengertian mengenai hubungan gejala perkembangan yang satu dengan yang lain, baik mengenai tingkah laku, pendapat maupun kondisi tertentu dalam proses perkembangan seseorang.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929