loading...

ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH1

December 03, 2013
loading...
ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH

4.1 Perkembangan jasmani dan psiko-motorik
Sampai dengan Gestaltwandel pertama (Zeller, 1952; Hetzer, 1961) sekitar 6 tahun terlihat bahwa badan anak bagian atas lebih lamban berkembangannya daripada badan bagian bawah. Anggota-anggota badan masih relative pendek, kepalarelatif besar, perutnya makin besar dan ada gigi susu.
Sesudah Gestalwandel pertama bila anak sudah mencapai bentuk anak sekolah maka ia lebih menyerupai bentuk orang dewasa daripada misalnya anak umur 2 tahun. Bertambahnya berat badan sebagian besar merupakan akibat bertambahnya jaringan urat daging. Dalam keseluruhannya maka keadaan anak menjadi lebih stabil dan lebih kuat.
Sebagai akibat bertambahnya diferensiasi dan myelinisasi (myeline= suatu zat seperti lemak dalam sumsum tulang belakang dan urat syaraf) dalam susunan urat syaraf maka kecakapan-kecakapan motorik bertambah banyak. Pada umur 5 tahun keseimbangan badan anak sudah berkembang cukup baik, anak sudah pandai berjalan, dapat naik tangga, meloncat dari tanah dengan kuda kakinya bersama-sama dan sering juga sudah dapat bersepeda.
Sesudah Gestaltwandel pertama, jadi sesudah usia 6 tahun, pertumbuhan badan menjadi agak lambat, daripada waktu-waktu sebelumnya. Sampai umur 12 tahunanak bertambah panjang 5-6 cm tiap tahunnya. Sampai umur 10 tahun dapat di lihat sesudah itumaka wanita lebih unggul dalam panjang badan, tetapi sesudah + kurang 15 tahun anak laki-laki mengejarnya dan tetap unggul daripada anak wanita.
Berat badan anak wanita bertambah lebih banyak daripada panjang badannya. Pada akhir periode ini diketemukan lebih banyak perbedaan individual diantara anak-anak: sekarang Nampak lebih banyak perbedaan fisik yang khas daripada dulu.
Seperti telah diketemukan di muka maka pada permulaan masa sekolah, jadi sekitar 6 tahun, kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul makin besar. Dalam hal ini hamper tidak ada perbedaan-perbedaan karena jenis seks. Pada umunya ada relasi yang tetap dalam perkembangan tulang dan jaringan. Dengan terus bertambahnya berat dan kekuatan badan dapat diharapkan bahwa kemapuan seperti lari, meloncat dan melempar akan bertambah dalam masa ini. Dari itu juga dapat nampak anak makin bertambah cepat larinya. Juga mereka makin pandai meloncat dengan bertambah usia. Dalam hal ini sekali lagi ada perbedaan pada masing-masing anak.
Pada umur 6 tahun keseimbangan badannya relative berkembang baik, anak makin dapat menjaga keseimbangan badannya (paling senang berjalan di atas dinding, pagar dan sebagainya). Penguasaan badan seperti membongkok, melakukan macam-macam latihan senam serta aktivitas olah raga berkembang dalam masa anak sekolah. Juga berkembang koordinasi antara mata dan tangan (visio-motorik) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar dan menagkap.
Kekuatan badan dan kekuatan tangan pada anak laki-laki bertambah dengan pesat antara usia 6 dan 12 tahun. Dalam masa ini juga ada perubahan dalam sifat dan frekuensi motorik kasar dan halus. Ternyata bahwa kecakapan motorik ini makin disesuaikan dengan “kelulusan” lingkungan. Gerakan motoriksekarang makin tergantung daripada aturan formal dan aturan yang telah ditentukandan bersifat kurang spontan. Gerakan yang sangat banyakdilakukan oleh anak makin berkurang pada akhir masa ini.
Ha yang perlu dibicarakan adalah gejala untuk badan yang mempunyai hubungan yang langsung dengan beberapa sifat kepribadian tertentu. Sheldon mempunyai pembagian kedalam 3 macam tipe, yaitu tipe endomorph (pendek dan gemuk), ektomorf (panjang dan kurus) dan mesomorf (urat-urat daging kuat dengan proporsi yang baik). Verdonck (1972) berusaha untuk membenarkan tipologi konstitusi tubuh Sheildon tersebut dengan penelitian yang mendalam terhadap anak-anak yang ada dalam yayasan-yayasan.
Verdonck menemukan adanya hubungan antara tipe konstitusi tubuh tadi dengan tingkah laku tertentu. Ia menunjukkan adanya hubungan sebab akibat langsung antara bentuk tubuh dan tingkah laku tangan. Dia dapat menunjukkan bahwa tipe-tipe tersebut mempunyai pre-disposisi untuk belajar tingkah laku-tingkah laku tertentu. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa suatu tipe tertentu tadi tidak langsung berhubungan dengan suatu tingkah laku, melainkan mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mengembangkan beberapa bentuk tingkah lakutertentu. Hal tersebut dianggap tidak hanya dapat terjadi pada orang dewasa, melainkan sudah memegang peranan penting dalam masa kanak-kanak.


4.2 Emansipasi karena pendidikan formal
Sejak lama criteria bagi anak untuk dapat diterima di sekolah dasar adalah “kemasakan”. Bagi Indonesia criteria umur memegang peranan penting. Anak baru bisa diterima bila ia sudah mencapai umur 7 tahun. Criteria umur ini sebetulnya mencakup criteria lain yang juga berhubungan dengan kemasakan, yaitu:
1. Anak harus dapat kerjasama dalam kelompok dengan anak-anak lain, yaitu anak tidak boleh masih tergantung pada ibunya, melainkan harus dapat menyesuaikan diri dengan kelompok teman-teman sebaya.
2. Anak harusa dapat mengamati secara analitis. Ia harus sudah dapat mengenal bagian-bagian dari keseluruhan dan dapat menyatukan kembali bagian-bagian tersebut. Jadi di sini anak harus sudah mempunyai kemampuan memisah-misahkan (lihat Kern, 1954).
3. Anak secara jasmaniah harus sudah mencapai bentuk anak sekolah. Petunjuk untuk ini adalah kalau sudah dapat memegang telinga kirinya dengan tangan kanan melaui atas kepala, atau anak kidal maka tangan kiri harus dapat mencapai telinga kanan melalui kepala. Inilah yang disebut ukuran Filipino (di Nederland hal ini sampai sekarang masih merupakan ukuran apakah anak sudah “masak sekolah” atau belum).
Kriteria apapun yang akan dipilih namun selalu ada sesuatu yang bersifat “sembarangan”. Kalau dilihat kepandaian saja, sebetulnya sangat mungkin kalau anak-anak umur 3 tahun masuk sekolah asal kriterianya diubah dan didaktiknya disesuaikan. Misalnya teknik membaca sudah dapat diajarkan pada anak-anak umur 3 tahun asal dipakai cara-cara yang tepat. Moore (lihat Pines. 1969) menciptakan mesintulis yang dapat bicara dan mempelajari anak membaca pada umur 3 tahun. Di Nederland juga diusahakan pelajaran membaca untuk anak-anak pra-sekolah. Namun mempelajarianak membaca dan menulis sebelum waktunya juga mempunyai segi-segi negatifnya. Di samping belum berkembangnya motorik halus dengan baik (lihat pasal 3.3.9. mengenai “Gmanbaran Anak”) mempelajari sesuatu pada anak sebelum waktunya, menandung kelemahan karena:
1. Seringkali anak diberi pelajaran membaca pada waktu sangat muda melulu untuk memuaskan kebanggan orang tuanya, jadi tidak demi keprntingan anaknya.
2. Kalau anak mengerti bahwa ia sudah menguasai apa yang akan dipelajari di kelas satu hal itu akan bisa menurunkan motivasi belajarnya dan menyebabkan sikap yang negative terhadap tugas-tugas yang harus dilakukan.
Suatu masalah yang khusus dalam hubungan ini adalah mengenai anak-anak yang sangat pandai. Keinginan belajar mereka pada usia yang sangat muda menyebabkan mereka “secara main-main” sudah belajar membaca sebelum mereka pergi ke sekolah. Sangat disayangkan bahwa penampungan yang sesuai bagi mereka baik di Indonesia maupun dikebanyakan Negara eropa masih belum ada. Mengenai anak-anak yang sangat pandai ini akan dibicarakan pada pasal 4. 7.
Dalam memberikan bimbingan yang lebih baik pada anak dapat dianjurkan untuk memilih istilah “kemampuan sekolah” daripada “kemasakn sekolah”. Kemasakan menunjukkan pada proses yang terjadi dari dalam secara spontan, sedangkan mampu sekolah ditentukan oleh factor-faktor dari luar seperti lingkungan dan keluarga (lihat Kemmler & Heckhausen, 1962).
Kriteria “kemasakan sekolah” tersebut ternyata belum dapat menjamin keberhasilan anak dikelas, karena “masak sekolah” belum menjamin mampu bersekolah.
Tes yang dikembangkan di Nijmegen yaitu NST (Nijmeegse Schoolbekwaamheids Test) yang merupakan pengolahan tes Gopinger dari jerman mengungkap kemampuan sekolah anak (lihat Monks, Rost dan Coffle, 1972). Tes ini dilengkapi dengan sebuah daftar pertanyaanuntuk orang tua dan daftar pertanyaan untuk guru TK. Daftar pertanyaan ini berhubungan dengan 3 aspek tingkah laku, yaitu penyesuaian social (S), kemampuan kerja (W) dan sikap mandiri (Z). masing-masing aspek diungkap dengan 7 buah pertanyaan.
Darihasil tes yang dapat diberikan dalam kelompok-kelompok kecil dan dari hasil daftar pertanyaan, diusahakan untuk, dengan pembicaraan dengan guru taman kanak-kanak dan guru kelas 1 sekolah dasar, menilai setepat-tepatnya tiap anak sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat dimungkinkan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan, kekurangan-kekurangan maupun kemampuan-kemampuannya dan dapat memberikan start yang seoptimal mungkin. Jadi penting disini bukan menseleksi, melainkan menetukan (diagnosis) akan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada setiap anak.
Dalam publikasi baru NST (Monks, dkk.. 1978) sekali lagi ditandaskan akan fungsisignalemen NST.. dalam waktu-waktu sebelumnya maka tes selalu dipakai sebagai alat yang menentukan (mampu sekolah versus tidak mampu sekolah). Dalam edisi yang baru juga ditinjau lebih mendalam mengenai proses-proses psikologis perkembangan dalam bidang kognitif, social dan motivasional. Motif kompetensi yang dikemukakan White (1959) menjadi intinya. Bila pelajaran dalam sekolah dasar dapat memenuhi kebutuhan anak akan manipulasi dan eksplorasi, maka peralihan dari Taman Kanak-kanak ke Sekolah Dasar akan berjalan dengan mudah dan lancer.
Arti signelemen yang ada pad NST telah dikaji secara empirisdan dibandingkan dengan beberapa tes yang serupa (Van Alphen de Veer, dkk.. 1978). Ternyata bahwa NST dalam kombinasi dengan daftar pertanyaan dan pendapat dari pihak guru memiliki nilai signalemen yang tinggi. Karena penggunaanya yang mudah dan menyenagkan bagi anak, maka NST sangat cocok untuk mengukur nivo tingkah laku serta nivo kognitif anak secara global. Untuk penganalisiaan lebih cermat mengenai fungsi kognitif dan tingkah laku NST dirasa kurang memenuhi persyaratan.
Di Indonesia telah ada laporan mengenai penggunaan NST dibandung dan menghasilkan sebagai berikut: bahwa pada tiga criteria yang pokok, yaitu (1) penyesuaian social, (2) kemampuan kerja, (3) sikap mandiri, diketemukan bahwa sikap mandiri memperoleh skor yang paling rendah.
Akhirnya hal yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa pendidikan harus berusaha untuk menolong anak sesuai dengan kemampuan masing-masing supaya akhirnya ia berhasil dalam pelajarannya. Bila ini dipakai sebagai patokan, maka sekaligus ada jaminan bahwa tiap anak dapat melanjutkan emansipasinya. Emansipasi sebagai penemuan identitas membutuhkan system pelajaran yang memperhatikan anak-anak secara individual, yang berusaha untuk tidak merugikan perkembangan anak masing-masing. Bila “individualisasi” ini tidak ada, maka akan sukar bagi anak untuk menemukan identitas diri, untuk mendaptakn konsep diri. Hal ini dibutuhkan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam hubungan dengan lingkungannya.

4.3. Perkembangan sosial dan kepribadian
Perkembangan social dan kepribadian mulai dari usia pra sekolah sampai akhir masa sekolah ditandai oleh meluasnya lingkungan social.anak-anak melepaskan diri dari keluarga, ia makin mendekatkan diri pada orang-orang lain disamping anggota keluarga. Meluasnya lingkungan social bagi anak menyebabkan anak menjumpai pengaruh-pengaruh yang ada diluar pengawasan orang tua. Ia bergaul dengan teman-teman, ia mempunyai guru-guru yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses emansipasi. Dalam proses emansipasi dan individu maka teman-teman sebaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Di samping itu maka perkembangan motif prestasi dan identitas kelamin sangat penting, tetapi juga perkembangan pengertian norma atau seperti apa yang disebut Piaget moralitas, justru dalam periode ini mendapatkan kemajuan yang essensial. Aspek-aspek tersebut akan dibicarakan berikut ini.

4.3.1 nteraksi dengan anak-anak sebaya
Dalam TK dan SD mempunyai kontak yang intensif dengan teman-teman sebaya. Di muka telah dikemukakan bahwa anak-anak saling mempengaruhi satu sama lain (3.3. Tingkah laku lekat). Mengenai pertanyaan apa yang sampai sekarang telah diketahui mengenai pengaruh timbal balik tadi, maka Hartup (1970) telah mengumpulkan hasil-hasil penelitian mengenai hal tersebut. Sesudah itu datanglah beberapa studi yang lain yang dalam garis besarnya menyokong apa yang telah diketemukan Hartup tadi. Misalnya Younis dan Smollar (1985) dan Mueller & Cooper (1986) menunjukkan betapa perlunya hubungan dengan Peerdan teman-teman bagi perkembangan anak (Peer = teman setingkat dalam perkembangan, tetapi tidak perlu sama usianya).
Anak biasanya berusah untuk menjadi anggota suatu kelompok, kelompok semacam ini terdapat dalam Taman Kanak-Kanan dan Sekolag Dasar.
Pada mulanya anak tidak mengerti tingkah laku apa yang dipuji atau dihargai dan tingkah laku apa yang tidak dipuji atau dihargai, dia belum tahu apa yang harus dilakukan untuk dapat diterma dalam kelompok sering dapat dilihat bahwa anak menirukan anggota kelompok yang paling aktif dan paling berkuasa. Kelompok-kelompok anak dalam Taman Kanak-Kanak dan kelas-kelas permulaan Sekolah Dasar belum mempunyai aturan-aturan, kelompok-kelompok tadi baru merupakan kelompok informal tanpa struktur dan tanpa aturan. Baru di anatara usia 10 dan 14 tahun timbullah kelompok yang ada organisasinya dengan aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian.
Hartup menemukan bahwa kebanyakan penelitian mengenai pengaruh timbal balik dilakukan pada anak Taman Kanak-Kanak, misalnya mengenai tingkah laku agresif dan altruistik ternyata bahwa belajar model menempati tempat yang penting. Nampak bahwa melihat suatu model yang altruistic menimbulkan reaksi pada anak Taman Kanak-Kanak yang mirip dengan model yang dilihat tadi. Juga nampak bahwa anak laki-laki lebih mempengaruhi anak laki-laki yang lain dari pada anak wanita dan sebaliknya. Juga dapat dilihat bahwa anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka anak yang lebih tua lebih cepat dipengaruhi oleh teman mereka sebaya daripada oleh anak yang lebih muda.
Penelitian mengenai konformidme juga merupakan studi yang penting. Secara teoritis dapat sebagian dihubungkan dengan pendapat Piaget yang mengemukakan mengenai beberapa stadiumdalam keasadran peraturan. Piaget menemukan adanya permulaan kerjasama serta konformisme sosial yang bertambah pada usia antara 7 dan 10 tahun dan sehubungan dengan itu adanya suatu perhatian yang lebih besar pada interaksi yang mengandung peraturan-peraturan. Masa usia yang sebelumnya yaitu kurang lebih antara usia 2 dan 6 tahun disebutnya fase pra-sosial egosentris. Piaget mengemukakan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur, artinya konformisme makin bertambah dengan bertambahnya usia sampai permulaan masa remaja, sesudah itu menurun. Puncak kurve ada di antara 9 dan 15 tahun. Penyebaran 6 tahun menunjukkan bahwa sukar untuk menentukan batas umur yang tepat. Beberapa penelitian menyokong pendapat Piaget akan adanya hubungan yang kurvelinier antara konformisme dan umur meski dengan penyebaran yang cukup lebar. Dapat diduga bahwa sebetulnya bukan faktr umur yang penting, melainkan lebih penting adalah keadaan keliling, jenis kelamin dan sifat tingkah laku yang dilihat hubungannya dengan konformisme itu.\hubungan lain yang diduga ada adalah antara urutan kelahiran dalam keluarga dan besar kecilnya kepekaan pengaruh oleh teman-teman sebaya. Ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang tertua lebih mudah terpengaruh oleh norma-norma kelompok dan oleh orang-orang lain dibanding dengan adik-adiknya. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut:
5. Anak sulung diduga menerima pendidikan yang lebih berubah-ubah dibanding dengan adik-adiknya.
6. Anak sulung lebih menerima perlindungan, disampping itu maka tingkah laku yang konformistis dan tergantung mendapat pujian.
7. Anak yang lahir kemudian banyak mendapat pengarahan dari kakak-kakaknya yang diduga mengurangi hubungan dengan teman-teman. Hal ini diduga meningkatkan tingkah laku yang non-konformistis.
Namun begitu, sukar untuk menemukan hubungan yang berarti antara urutan kelahiran dengan tingkah laku yang konformistis. Memang dapat ditarik kesimpulan bahwa pada umumnya anak-anak sulung lebih mudah kena pengaruh teman-teman sebaya; tetapi hal ini tergantung pula pada jenis kelamin anak serta situasinya. Juga pendapat bahwa anak wanita lebih peka terhadap tekanan kelompok daripada anak laki-laki tidak dapat begitu saja diberikan. Juga diketemukan dalam penelitian bahwa anak yang ekstrovet lebih konformistis daripada anak yang introvet. Mengenai hal ini belum banyak diadakan peneltiian di Indonesia yang mempunyai sifat hubungan sosial yang berbeda.
Sebagai ringkasan dapat dikemukakan bahwa konformisme pada TK dari permulaan SD tadi lebih ditentukan oleh faktor-faktor situasional daripada oleh sifat-sifat kepribadian anak. Pertama kali yang di cari anak adalah kontak yang menyenangkan. Bila konformisme merubahkan syarat untuk memperoleh kontak, maka anak akan mudah untuk menyesuaikan dirinya. Pada masa-masa berikutnya nampak bahwa pribadi dan faktor-faktor situasi memgang peran penting dalam persoalan tingkah laku konformistis ini.
Suatu hubungan lain yang telah diteliti adalah antara besar kelompok dan pengaruh kelompok terhadap individu. Juga di sini nampak adanya hubungan yang kurvelinier, dalam arti bahwa pengaruh kelompok menjadi makin besar bila besar kelompok bertambah dari 1 sampai 5 atau 7 orang; pengaruhnya kemudian berkurang jika kelompok mencari ±12 orang.
Suatu tinjauan yang penting mengenai tingkah laku agresif telah dilakukan oleh Patterson (1967). Dalam penelitian ini dilihat sampai berapa jauh anak-anak pra-sekolah saling mempengaruhi tingkah laku agresif. Ternyata bahwa beberapa tingkah laku berikut ini dapat memperkuat tingkah laku agresif dan dominan pada anak.
Seorang anak merebut alat permainan anak lain. Bila anak yang direbut permainannya tadi diam saja hal itu dianggap sebagai hadiah bagi anak yang merebut tadi. Pada kesempatan berikutnya ia akan merebut lagi, dan dengan begitu makin lama makin terbentuk tingkah laku agresif. Karena tingkah laku tadi mendapat hadiah. Tingkah laku agresif tadi menurut penelitian ini huga dapat berkembang dari arah yang berlawanan, yaitu bila anak yang direbut permainannya tadi lalu membalas. Anak ini lalu mengerti bahwa membalas tadi merupakan efek dan hal ini dirasanya sebagai hadiah sebagai rainforsemen. Dengan beberapa kali membalas, anak merasa bahwa bersifat agresif itu dapat membawa sukses. Hal yang sama diteliti oleh Hartup (1974) dalam hubungan dan tingkah alturistik atau yang seperti disebutkan tingkah laku pro-sosial.
Jelaslah disini bahwa sejumlah besar tingkah laku timbul dengan cara menirukan, belajar-model, dan oleh reinforsemen dari pihak teman-teman sebaya. Disisni sudah awal dapak nampak pemilihan (preferences) yang khas menurut jenis kelamin serta cara memberi pengaruh. Sampai dengan umur 5 atau 6 tahun masih sedikit ada pengaruh dari anak wanita terhadap anak laki-laki dan sebaliknya tetapi makin lama anak laki-laki makin dipengaruhi oleh anak laki-laki dan anal wanita oleh anak wanita.
Faktor sosialisasi yang memajukan tingkah laku sesuai jenis kelaminmemegang peranan penting disini. Hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada pasal 4.3. 3.
Interaksi dengan teman sebaya merupakan permulaan hubungan dengan peer. Sudah sejak awal berkembanglah preferensi tertentu dalam hubungan dengan anak-anak lain. Persahabatan pada anak sekolah pada umumnya terjadi atas dasar interes dan aktivitas bersama. Hubungan persahabatan dan hubungan peer bersifat timbal balik dan memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (a) ada saling pengertian, (b) saling membantu, (c) saling percaya, dan (d) saling menghargai dan menerima.
Menurut La Galpa (1979) maka ketiga sifat berikut ini merupakan inti persahabatan, yaitu: (a) loyalitas (jujur dan setia), (b) rasa simpati (tidak ada distansi), dan (c) tulus (tidak ada rasa segan, malu atau kompetensi). Sifat inti persahabatan ini diketemukan pada masa remaja, namun juga sudah tampak pada masa kanak-kanak.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Lutte dkk. (1969) di eropa terhadap remaja laki-laki dan wanita usia 10-18 tahun mengenai sifat ideal pertemanan dikemukakn jawaban-jawaban sebagai berikut: 1) aktivitas dan interes bersama, 2) saling terbuka (segalanya dibicarakan bersama), 3) saling percaya (dapat menyimpan rahasia), 4) empati (ikut merasakan) serta jujur, 5) mengisi kekurangan yang lain (sahabat mempunyai sifat yang di inginkan) dan akhirnya 6) relasi yang dekat: kelekatan yang satu dengan yang lain berdasarkan keterbukaan, kehalusan rasa dan saling membantu.
Hubungan sosial dengan peer adalah sangat penting bagi perkembangan anak. Persahabatan yang semula terjadi karena “melakukan sesuatu bersama” beralih menjadi persahabatan yang mendalam dalam masa remaja dan berpengaruh besar pada perkembangan pribadi individu yang sedang berkembang.

4.3.1.1 Spontanitas versus sikap terkontrol
Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Haditono (1974) menemukan bahwa sikap spontan atau tidak spontan anak-anak pra-sekolah mungkin dipengaruhi oleh sifat suatu kebudayaan tertentu. Pada penelitian terhadap anak-anak Taman Kanak-kanak di jawa diketemukan bahwa kelompok anak-anak tersebut mempunyai sikap yang cukup terkontrol pada usia yang mereka seharusnya masih spontan. Peninjauan yang dangkal mengenai sikap yang tidak wajar pada anak-anak pra-sekolah tersebut adalah adanya hambatan-hambatan yang psikis yang menganggu penyesuaian yang cukup baik. Ditinjau dari kultur jawa hal tersebut bukan merupakan sesuatu yang dirasa umum dan meraka, namun karena hal itu merupakan sesuatu yang dirasa umum dan mereka melihat semua anak juga harus melakukan begitu, maka batasan yang diberikan dalam tingkah laku tadi sama sekali tidak menimbulkan tekanan batin apapun hingga tidak menganggu penyesuaian sosial anak-anak tersebut. Di sini sebetulnya persepsi anak terhadap perintah dan larangan itu yang mungkin lebih penting daripada perintah atau larangannya sendiri.

4.3.2 Perkembangan motivasi prestasi
Setiap tingkah laku tentu mempunyai motif. Setiap perbuatan dan tindakan mempunyai dasar, mempunyai motif. Salah satu aspek kepribadian seseorang yang paling banyak diteliti adalah mengenai motivasi prestasi (lihat McClelland, 1953; Heckhausen, 1962, 1980; Hermans. 1971, dan Haditono, 1979). Harus dibedakan antara kebutuhan dan motif. Kebutahan merupakan dasar timbulnya motif. Misalnya seorang anak yang lapar mencari makanan. Akan mempunyai motif banyak untuk mendapatkan makanan yang diinginkan tadi. Atau anak yang suka jajan akan timbul motif untuk dapat memenuhi kesukaannya itu. Kebutuhan dasar manusia adalah makan, minum dan tidur.
Dalam psikologi banyak disiskusikan mengenai pertanyaan apkah tingkah laku manusia dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar. Misalnya Freud berpendapat bahwa tingkah laku akhirnya harus dijabarkan dari nafsu seksual beserta motif-motifnya yang timbul dari nafsu seksual tersebut. Kemudian ia menambahkan nafsu mati serta motif-moyifnya yang timbul dari nafsu tersebut yaitu agresi dan destruksi. Adler berpendapat bahwa semua tingkah laku manusia timbul dari nafsu ingin menguasai. Keinginan untuk menguasai menurut Adler menetukan segala tingkah laku dan perbuatan seseorang. Sedangkan Allport (1966) menunjukkan bahwa banyaknya motif itu sama dengan banyaknya usaha yang ada. Ia mempunyai keyakinan bahwa tingkah laku manusia itu dapat dikembalikan pada beberapa motif dasar saja. Memang ada kebutuhan dasar tetapi motif yang timbul selama hidup ada sangat banyak.
Pada umunya dibedakan antara motivasi yang intrinsik dan yang ekstrinsik. Motivasi yang intrinsik berarti bahwa sesuatu perbuatan memang diinginkan karena sesorang senang melakukannya. Di sini motivasi datang dari dalam diri orang itu sendiri. Orang tersebut senang melakukan perbuatan itu demi perbuatan itu sendiri. Sebaliknya motivasi ekstrensik berarti bahwa sesuatu perbuatan dilakukan atas dasr dorongan atau paksaan dari luar. Orang melakukan perbuatan itu karena ia didorong atau dipaksa dari luar. Misalnya seorang pemuda belajar psikologi karena orang tuanya menginginkan itu atau karena pacarnya ingin kawin dengan seorang psikolog. Pemuda tersebut kemudian masuk fakultas psikologi dan sesudah belajar beberapa lama ia menyenagi pelajaran psikologi. Maka sekarang ia belajar psikologi tidak atas dasar permintaan orang lain, melainkan karena ia sendirimenyenaginya. Motivasi yang ekstrinsik berubah menjadi motivasi yang intrinsik. Bila motivasi sudah menjadi begitu bermotivasi sehingga tiada rintangan yang akan menghambatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.
Suatu motif mempunyai 3 macam unsur:
1. Motif mendorong terus, memberikan energi pada suatu tingkah laku (merupakan dasar energetik).
2. Motif menyelaksi tingkah laku, menetukan arah apa yang akan dan tidak akan dilakukan.
3. Motif mengatur tingkah laku artinya bila sudah memilih salah satu arah perbuatan maka arah itu akan tetap dipertahankan.
Dalam setiap motif dapat diketemukankembali dua struktur dasar. Pada satu pihak pengharapan akan sukses dan pada lain pihak ketakutan akan gagl.
Pengharapan akan sukses berarti bahwa bila ada sesuatu yang baik, yang menyenagkan atau bernialai maka orang tua ingin mendapatkan atau mencapainya. Ketakutan akan gagal berarti bahwa bila ada sesuatu yang tidak enak, tidak menyenagkan akan sukar, maka orang akan berusaha untuk menghindarinya. Dua kecendrungan dasar ini, ingin mencapai yang menyenagkan dan ingin menghindari yang tidak enak, diketemukan dalam sema tingkah laku orang, artinya dalam semua tingkah lakun manusia ada dua kecendrungan pokok ini.
Suatu pertanyyaan yang penting ialah, bagaimana timbulnya motif prestasi yang nampaknya sudah ada pada anak pada usia yang sangat awal dan sudah nampak pada bebrapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan tertentu. Tinjauan yang mendalam mengenai timbulnya motif prestasi telah dilakukan oleh Heckhausen dkk, (1962). Dalam filmnya “Anfange der Leistungsmotivation im Wetteifer des Kleinkindes” Heckhausen dapat menunjukkan dengan jelas adanya komponen-komponen tertentu dalam timbulnya motivasi prestasi. Misalnya nampak pada anak yang masih muda adanya keinginan untu dapat berdiri sendiri, ia ingin makan sendiri, ia ingin membuka bajunya sendiri, ingin naik kursi sendiri dan sebagainya. Dorongan untuk melakukan hal-hal sendiri ini harus dipandang sebagai pelopor motif prestasi yang sesungguhnya.
Diantara 3 dan 4 tahun nampak jelas adanya tingkah laku yang mengarah pretasi. Penelitian Heckhausen dan Roelofsen (1962) menemukan bahwa anak-anak yang sehat pada usia 31/2 tahun menunjukkan semua ciri-ciri tingkah laku kompetensi. Mereka meneliti hal ini dengan menyuruh anak-anak membantu sebuah menara. Anak dimasukkan dalam suatu situasi bertanding dengan peneliti. Menara harus dibuat tiap kali, memasukkan suatu gelangan melalui suatu tongkat dan anak harus berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugasnya ini. Ternyata bahwa anak-anak mulai 31/2 tahun sudah mampu untuk membandingkan prestasi mereka dengan prestasi penelitiannya. Penafsiran mengenai prestasi orang lain ini menyebabkan anak mencoba untuk melakukannya lebih cepat dan lebih baik, dibanding dengan standar keunggulan.
Standar keunggulan tadi dapat berhubungan dengan (a) prestasi orang lain, (b) prestasi diri sendiri yang lampau dan dengan (c) tugas yang harus dilakukannya.
(a) Dalam hubungan dengan prestasi orang lain artinya bahwa anak ingin berbuat lebih baik daripada apa yang telah diperbuat oleh orang lain.
(b) Dalam hubungan dengan prestasi sendiri yang lampau, berarti bahwa anak ingin berbuat melebihi prestasinya yang lalu, ingin menghasilkan lebih baik daripada apa yang telah dihasilkannya semula.
(c) Dan dalam hubungan dengan tugas berarti bahwa ia ingin menyelesaikan tugas sebaik mungkin. Jadi tugasnya sendiri merupakan tantangan bagi anak.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Haditono di indonesia diketemukan bahwa cara orang tua mendidik anak menyumbang pembentukan motif prestasi anak dalam hubungan denga tiga standar keunggulan tersebut. Ia menemukan bahwa stimulasi dari ibulah (kurang dari pihak ayah) yang diduga lebih berperan dalam pembentukan motif prestasi ini (lihat selanjutnya Haditono, 1979).
Anak-anak sekolah dari usia 31/2 tahun juga lebih mampu untuk menghubungkan berhasi atau tidaknya sesuatu perbuatan dengan dirinya sendiri. Sebelumnya anak belum mampu untuk melihat kegagalan sebagai akibat tingkah lakunya sendiri, dengan lain perkataan mereka belum mengerti akan kemampuan diri sendiri ( uraian yang lengkap mengenai motif prestasi ini diketemukan dalam buku pegangan Heckhausen, Motivation and Handeln (1980) yang menonjol dalam lengkapnya, aksentuasi kritis dan terutama juga oleh rangkumannya yang baik mengenai berbagai macam arah penelitian serta pendapat yang berbeda-beda ) (lihat juga Bergen, 1981).
Uraian singkat mengenai hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan akan pentingnya memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan sikap dapat berdiri sendiri. Bila anak tidak pernah diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu yang ia sebetulnya sudah mampu melakukannya, maka hal itu akan merugikan perkembangan yang sehat. Anak membutuhkan keyakinan terutama dalam hal apa yang dilakukan, apa yang dihasilkan. Apakah disini ada masalah mendorong usaha prestasi (ambisi) yang sering dipandang kurang baik dalam masyarakat kita, tidaklah jelas. Kenyataannya ialah bahwa anak ingin manipulasi, ingin bergaul dengan benda-benda, ingin menyelidiki lingkungan; dari keinginan dan usaha dalam hal-hal ini lambat laun timbullah keinginan untuk menghasilkan sesuatu untuk dapat berpretasi.
Dipandang dari segi psikologi perkembangan dapat ditentukan bahwa kecenderungan berprestasi ini harus diberi stimulasi bila kita akan menyambut dorongan manipulasi dan eksplorasi anak.

4.3.3 Perkembangan identitas jenis kelamin atau tingkah laku sesuai jenis kelamin
Mengenal perkembangan tingkah laku sesuai dengan jenis kelin ada cukup banyak literatur. Jans (1973) membicarakan mengenai arti seksualitas dan tingkah laku tersebut, yaitu (1) faktor biologis, (2) faktor sosial, dan (3) faktor kognitif.
Jans menunjukkan bahwa ada beberapa studi mengenai tingkah laku yang sdapat menerima adanya pendapat, yaitu “bahwa sejak permulaan ada perbedaan pada dua jenis kelamin mengenai apa yang mungkin dapat disebut sebagai matriks kondisioning yang permulaan” (h. 31 ). Mengenai hal ini mugkin dapat di anggap adanya suatu dasar biologis yang memungkinkan dua jenis kelamin tadi mengembangkan tingkah laku yang berbeda-beda. Dari sudut pandangan biologis. nampaknya dapat diterima bahwa ada perbedaan disposisional yang menyebabkan pelajaran tingkah laku yang berbeda antara anak laki-laki dan anak wanita.
Kohlberg dalam tahun 1966 sudah membicarakan mengenai tiga kemungkinan cara menerangkan mengenai tingkah laku spesifik jenis kelamin menurut tinjauan tiga teori yang berbeda: (1) teori psikoanalisis, (2) teori belajar sosial, dan (3) teori perkembangan yang kognitif.
Pendapat psikoanalisa mengatakan bahwa identitas jenis kelamin timbul karena proses-proses yang terjadi selama periode oedipus antara 2 ½ - 6 tahun; antara 3 dan 4 tahun anak laki-laki ada dalam situasi ini (menurut Freud hal ini merupakan suatu gejala universal). Anak laki-laki mempunyai keinginan seksual terhadap ibu tetapi ia juga mempunyai ketakutan terhadap ayah. Untuk menghindari kesukaran dengan ayahnya, anak sekarang mengadakan identifikasi dengan perintah dan larangan ayah. Sebagai akibatnya timbullah tingkah laku yang spesifik jenis kelamin. Pada anak wanita akan juga terjadi proses yang semacam, yaitu anak wanita yang mempunyai keinginan seksual terhadap ayah akan mengadakan identifikasi dengan ibu untuk menghindari kesukaran-kesukaran.
Menurut pendapat teori belajar maka tingkah laku yang spesifik jenis kelamin timbul karena pengaruh lingkungan sosial. Misalnya dalam setiap masyarakat ada pendapat-pendapat mengenai norma tingkah laku yang sesuai dengan jenis kelamin anak (Belotti, 1973). Anak laki-laki misalnya boleh berbuat kasar, boleh lebih aktif, lebih ribut daripada anak wanita, sedangkan anak wanita diharapkan lebih berperasaan halus, bersikap tidak kasar dan sebagainya. Tingkah laku yang diharapkan dari anak laki-laki atau anak wanita tadi dapat dipuji atau tidak dipuji oleh lingkungannya.
Pujian (memberi hadiah) terhadap sesuatu tingkah laku menambah kemungkinan tingkah laku tersebut dilakukan lagi di kemudian hari. Bila suatu tingkah laku tidak dipuji, jadi tidak mendapat reinforsemen, tingkah laku tersebut akan makin kurang dilakukan dan kemungkinan akan hilang sama sekali. Bila misalnya seorang anak laki-laki umur 8 tahun menangis, kebanyakan orang tua mengatakan : “Jangan menangis seperti anak perempuan saja. Laki-laki kan tidak nangis!". Tingkah laku menangis di sini dianggap tidak pantas bagi anak laki-laki umur 8 tahun. Begitulah kejadian-kejadian tiap hari dalam kehidupan biasa menentukan tingkah laku apa yang akan selalu dilakukan dan tingkah laku apa yang ditinggalkan (lihat lebih lanjut Hendrik dan Monks, 1981)
Teori perkembangan yang kognitif dengan Kohlberg (1966) sebagai tokohnya mengemukakan, bahwa dalam timbulnya tingkah laku spesifik jenis kelamin maka proses kognitif sebagai faktor perantara mempunyai tempat yang penting, artinya seseorang lebih dulu menjalani kategorisasi diri sendiri yang kognitif, yaitu mengenai diri sendiri sebagai laki-laki atau wanita. Baru sesudahnya pengaruh lingkungan mulai berpengaruh. Permulaan identitas jenis kelamin menurut pendapat ini datang dari individu sendiri. Anak mengadakan identifikasi diri dulu baru kemudian datang proses belajar sosial sebagai faktor yang ikut mempengaruhi.
Sesuatu gambaran yang menyeluruh mengenai proses per¬kembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin yang telah dikemukakan teori-teori tersebut di muka dapat dilihat pada Gambar 23, pada halaman 193.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa menurut pandangan para penulis, faktor-faktor biologis merupakan dasar bagi perkembangan tingkah laku spesifik jenis kelamin; proses belajar sosial sejak awal telah menyumbang pada kenyataan bahwa identitas kelamin terjadi melalui norma-norma sosial yaitu melalui penilaian apa yang baik atau tidak baik bagi anak laki-laki atau anak wanita.
Meskipun adanya keterbatasan dalam mengadakan generalisasi, tidak dapatnya menginterpretasi secara merata mengenai hasil-hasil yang didapat serta adanya faktor situasi yang menentukan tingkah laku spesifik jenis kelamin, namun dapat ditentukan atas dasar beberapa penelitian pada tahun-tahun terakhir, bahwa:
- agresi (mulai tahun ke-2) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki.
- aktivitas (mulai tahun ke-3) lebih banyak terdapat pada anak laki-laki,
- dominasi (mulai tahun ke-4) lebih banyak dijumpai pada anak laki- laki.
- impulsivitas (mulai usia pra sekolah) lebih banyak dijumpai pada anak laki-laki.
- kecemasan (mulai 8 atau 9 tahun) lebih banyak terdapat pada anak wanita.
- kecakapan verbal (pada suatu kelompok kecil anak wanita mulai 4 tahun, tetapi pada umunya 11 atau 12 tahun) terdapat pada anak wanita lebih banyak daripada anak laki-laki.
- kecakapan pengamatan ruang (mulai 11 atau 12 tahun) lebih kuat pada anak laki-laki.
- kecakapan kuantitatif (mulai 10 tahun) lebih baik pada anak laki-laki.

(lihat untuk yang terakhir ini juga tulisan yang kontroversial Benbow & Stanley Sex differences in mathematical ability; fact or artifact, 1980).
Mengenai batasan-batasan umur yang dikemukakan di atas perlu dikemukakan bahwa di Indonesia penelitian mengenai hal-hal tersebut masih perlu dilakukan. Tetapi perlu ditunjukkan di sini bahwa dengan bertambahnya usia sampai pada masa remaja ada perbedaan yang makin nampak antara anak wanita dan anak laki-laki (lihat Monks, 1981). Untuk bacaan lebih lanjut harap baca Degenhardt dkk. (1979) dan Merz (1979).

4.3.4 Perkembangan Pengertian Norma
Juga perkembangan pengertian norma atau moralitas merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Tinjauan mengenai perkembangan moralitas secara sistematik dapat dikatakan masih baru dalam psikologi. Lama orang mengira bahwa moralitas termasuk bidang etika, tetapi dalam permulaan abad ini, sekitar 1930, maka di Amerika dan di Eropa
diadakan penelitian mengenai fenomena moralitas. Perhatian bertambah lagi pada sekitar tahun 1950. Sesudah itu maka terutama pengertian-pengertian teoretis Piaget yang mendorong diadakannya sejumlah bahwa penelitian dalam hal ini.





















Seperti halnya pada tingkah laku spesifik jenis kelamin dapatlah di sini disebutkan pendapat beberapa teori mengenai moralitas yaitu teori psikoanalisa, teori kognitif dan teori belajar. Masih dapat ditambahkan di sini teori yang personalistis, tetapi teori ini akan diterangkan lebih banyak pada bagian yang lain (lihat Monks, 1971).
Meninjau kembali pada bab 1 dapat diadakan ringkasan di sini bahwa menurut pendapat psikoanalisa ada 3 bagian dalam diri seseorang yang akan berkembang menurut urutan sebagai berikut: das Es, das Ich dan das Ueber Ich. Pada permulaan hanya ada das Es, yaitu impuls nafsu. Das Ich lalu menjaga supaya hubungan dengan realitas dapat dikoordinasi dan akhirnya das Ueber Ich merupakan bagian yang membawakan norma-norma, perintah-perintah dan larangan-larangan yang diberikan oleh dunia keliling.
Juga pada timbulnya Ueber-Ich maka situasi oedipus mempunyai arti yang pokok Dl muka telah dikatakan bahwa situasi ini terdapat pada anak antara 3 dan 4 tahun. Menurut pendapat Freud maka anak akan mempunyai keinginan seksual terhadap ibu, tetapi anak tidak dapat merealisasi hal tersebut sebab ayahnya tidak akan memperbolehkannya. Dalam hal itu anak lalu terpaksa untuk mengambil alih norma-norma ayah untuk tidak mengalami konflik dengan ayahnya tadi.
Dengan demikian maka anak lalu mengadakan identifikasi dengan ayah dan bersedia untuk mengadakan introyeksi dengan norma keliling yaitu norma ayah. Kesediaan anak ini datangnya juga dari perasaan berdosa, yaitu anak merasa berdosa akan perasaannya dalam hubungan dengan ibu, ia merasa berdosa terhadap ayah dan karena perasaan berdosa ini ia bersedia untuk mengadakan Identifikasi dengan ayah.
Ueber-lch harus dipandang sebagai suatu instansi dengan norma-norma yang telah diinternalisasi atau diintroyeksi. Ncrma-norma yang add pada Ueber-Ich bukan hanya norma-norma yang berasal dari ayah saja, melainkan Juga norma-norma yang datang dari orang-orang lain. Freud menganggap kesediaan anak untuk merasa berdosa sebagai faktor pokok bagi tumbuhnya kata hati, karena kesediaan tersebut menimbulkan keinginan untuk menyesuaikan diri dan memenuhi tuntutan yang diletakkan padanya.
Brown (1973) masih menunjukkan bahwa karena anak laki-laki lebih langsung mengalami periode oedipus dengan konfrontasi yang lebih keras dengan ayah, maka anak laki-laki pada umumnya mempunyai moralitas lebih keras daripada anak wanita.
Masalah besar yang timbul dari dugaan ini ialah adanya kesukaran untuk membuktikan secara empiris. Mungkin perasaan-perasaan sebagai dilukiskan oleh teori psikoanalisa tadi juga ada, tetapi diragukan apakah keadaan itu bersifat universal dan apakah pada semua orang timbul dalam bentuk yang sama dan pada umur yang sama. Tidak ada bukti-bukti empiris yang dapat membenarkan hipotesis ini. Teori mengenai tingkah laku lekat bahkan membantah pendapat oedipus ini.
Pendekatan yang kognitif menitikberatkan akan faktor pengertian dan pemahaman. Sudah dalam tahun tiga puluhan Piaget mengadakan penelitian yang sistematis mengenai fenomena kata hati. Berturut-turut diselidikinya kesadaran akan aturan realisme moral serta pengertian akan keadilan. Menurut Piaget harus dimulai dengan aturan-aturan, misalnya aturan permainan. karena aturan mengandung arti manghormat, normal terhadap orang lain.
Penemuan Piaget yang penting di sini ialah bahwa anak mempunyai pendapat yang absolut dan penilaian yang absolut. Anak kecil tidak bersedia untuk mengalah dalam ia menilai sesuatu. Hal sesuatu adalah benar atau salah tidak ada pertimbangan faktor situasional. Setelah umur 8 tahun anak menjadi Jebih fleksibel dalam pernilaiannya dan lebih mampu untuk memperhatikan faktor situasional dalam menilai sesuatu. Perkembangan dari yang disebut tanggung jawab objektif ke arah tanggung jawab subjektif, maju pesat sesudah umur 8 tahun. Apa yang disebut tanggung jawab objektif dan tanggung Jawab subjektif dapat diterangkan dengan contoh berikut.
Piaget mempunyai metode apa yang disebut cerita-cerita fiktif. Dalam cerita-cerita ini selalu nampak suatu akibat sesuatu maksud yang baik dan maksud yang tidak baik. Dalam hal yang pertama maka terjadi kerugian besar, dalam hal yang kedua kerugiannya kecil.
Contoh : Seorang anak laki-laki datang dengan rapor yang baik dan dengan tergopoh-gopoh masuk dalam dapur untuk menunjukkan rapor yang baik itu kepada ibunya. Dia tidak tahu bahwa di belakang. pintu dapur ada kursi dengan baki dan gelas-gelas di atasnya. Dia buka pintu dengan kelas, pintu menumbuk kursi dan dengan suara gemuruh baki tumpah dan gelas-gelas jatuh hingga pecah semua. Anak yang kedua pada waktu mengerti kalau ibunya tidak ada di rumah ingin mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil kue di atas almari dapur yang diperuntukkan tamu. Dia ambil kursi, naik dan karena tangannya belum sampai, dia raba-raba menyentuh satu gelas hingga jatuh dan pecah. Piaget bertanya sekarang: Mana yang lebih jelek, yang pertama atau yang kedua? Selanjutnya dari dua anak tadi mana yang lebih nakal, yang pertama yang dengan tergopoh-gopoh ingin masuk dapur atau yang kedua yang secara diam-diam ingin mengambil kue. Ditanyakan juga: Siapa yang harus mendapatkan hukuman yang paling banyak
Ternyata bahwa anak sampai umur + 8 tahun terutama melihat akibat-akibat materiilnya, jadi kerugiannya yang ditimbulkan, hal-hal itu yang paling menentukan. Motif atau iktikatnya tidak diperhatikan. Sesudah usia ini nampak bahwa motif dan maksud orang ikut diperhitungkan.
Teori yang dikembangkan Piaget ini dikembangkan dan diberikan dasar teoretis yang lebih baik oleh Kohlberg (1963). Menurut Kohlberg perkembangan insan kamil melalui 6 stadium dan stadium ini akan selalu dilalui oleh setiap anak, jadi merupakan hal yang universal, yang ada di mana-mana; mungkin tidak pada urutan usia yang sama namun perkembangannya selalu melalui urutan itu.
Kohlberg (dalam Lerner dan Spanier, 1980) membagi per¬kembangan moralitas ke dalam 3 tingkatan yang masing-masing dibagi menjadi 2 stadium hingga keseluruhannya menjadi 6 stadium sebagai berikut:

Tingkatan I. Penalaran moral yang pra-konuensional
Mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran 'benar atau salah.
Stadium 1. Orientasi patuh dan takut hukuman
Suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus patuh pada otoritas karena otoritas tersebut berkuasa.
Stadium 2. Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental
Masih mendasarkan pada orang atau kejadian di luar diri individu, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri dinilai salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenangi. Ada yang menamakan stadium ini sebagai stadium hedonistik instrumental.
Tingkatan II. Penalaran moral yang konuensionci
Mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat.
Stadium 3. Orientasi anak atau person yang baik.
Anak menilai suatu perbuatan itu baik bila ia dapat menyenangkan orang lain, bila ia dapat dipandang sebagai anak wanita atau anak laki-laki yang baik, yaitu bila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat.
Stadium 4. Crientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial.
Anak melihat aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan. Seorang dipandang bermoral bila ia "melakukan tugasnya" dan dengan demikian dapat melestarikan aturan dan sistem sosial.
Tingkatan III. Penalaran moral yang post-konuensional
Memandang aturan-aturan yang ada dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif; dapat diganti oleh yang lain.
Stadium 5. Orientasi kontrol legalistis.
Memahami bahwa peraturan yang ada dalam masyarakat merupakan kontrol (perjanjian) antara diri orang dan masyarakat. Individu harus mamenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya masyarakat, juga harus menjamin kesejahteraan individu. Peraturan dalam masyarakat adalah subjektif.
Stadium 6. Orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan konsiensia sendiri.
Peraturan dan norma adalah subjektif, begitu pula batasan-batasannya adalah subjektif dan tidak pasti. Dengan demikian maka ukuran penilaian tingkah laku moral adalah konsiensia orang sendiri, prinsipnya sendiri lepas daripada segala norma yang ada. Kohlberg menyebut prinsip ini sebagai prinsip moral yang universal, suatu norma moral yang dasarnya ada dalam konsiensia orangnya sendiri.
Dalam hal tingkah laku konformistis stadium tersebut adalah sebagai berikut:
Stadium 1. Anak menurut untuk menghindari hukuman.
Stadium 2. Anak bersikap konformistis untuk memperoleh hadiah. untuk dipandang baik.
Stadium 3. Anak bersikap konformistis untuk menghindari celaan dan untuk disenangi orang lain.
Stadium 4. Anak bersikap konformistis untuk mempertahankan sistem peraturan sosial yang ada dalam kehidupan bersama.
Stadium 5. Konformitas sekarang dilakukan karena memenuhi perjanjian bersama yang ada dalam peraturan sosial.
Sfadium 6. Melakukan konformitas tidak karena perintah atau norma dari luar, melainkan karena keyakinan sendiri ingin melakukannya.
Suatu ikhtisar yang diberikan Kohlberg (Gambar 24) menun¬jukkan bagaimana kira-kira pembagian umumya. Kohlberg menemukan pembagian ini berdasarkan penelitian mengenai apa yang disebut dilema moral. Dilema moral berhubungan dengan nilai-nilai pokok dalam kehidupan bersama, misalnya keadilan dan hak untuk hidup. Contoh di bawah menunjukkan cara pengujian Kohlberg:
"Di Berlin ada seorang wanita yang hampir mati disebabkan oleh suatu bentuk kanker yang jarang dijumpai. Para dokter mengatakan bahwa hanya ada satu macam obat untuk menyembuhkannya, yaitu semacam radium yang diketemukan oleh seorang apoteker yang berumah di kota itu. Tetapi harganya sangat mahal. Si apoteker sendiri membayarnya sebanyak Rp2.000,00 tetapi menjualnya dengan harga Rp20.000,00 untuk satu dos kecil. Suami wanita yang sakit tadi telah berusaha untuk memperoleh pinjaman uang kepada siapa saja, tetapi hanya memperoleh Rp10.000,00. Dia datang lagi pada apotekernya untuk mengatakan kalau isterinya hampir mati dan memohon untuk mau menjual obatnya tadi dengan harga yang lebih murah atau untuk membayar sisanya kemudian. Namun apoteker tadi tidak mau memberikan obatnya dengah harga yang lebih murah karena memang sukar memperolehnya. Laki-laki tersebut menjadi penasaran dan akhirnya mencuri obat tadi".

















Gambar 24. Enam stadium perkembangan moral (pernilaian moral) dihubungkan dengan empat tingkatan umur (lihat Kohlberg, 1963).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berkisar pada': bolehkah laki-laki tadi melakukan hal itu atau: haruskah laki-laki tadi melakukan hal itu, atau: haruskah ia membiarkan isterinya mati?. Pada cerita di atas masih ada sambungannya yaitu obat tadi ternyata tidak manjur dan wanita yang sakit itu menderita sakit yang tak tertahankan. Berhubung dengan ini datang pertanyaan: apakah dokter boleh menolongnya untuk lebih lekas mati? Wanita tadi meminta pada dokternya untuk memberinya suatu obat pemati syaraf supaya lebih ringan menghadapi kematian.
Dapat dimengerti bahwa cerita-cerita semacam ini tidak dapat diberikan kepada siapa saja karena membutuhkan suatu kemampuan refleksi yang besar.
Kohlberg memasalahkan apakah suatu stadium yang telah dicapai akan dapat dipertahankan. Ia menemukan suatu penemuan yang tak terduga, yaitu para mahasiswa yang sebelum masuk Perguruan Tinggi telah mencapai stadium ke 4 atau ke 5, segera kembali lagi pada stadium 2. Hal ini diterangkannya sebagai berikut: karena para mahasiswa ini ada dalam situasi baru, maka. secara fungsional mereka jatuh kembali pada tingkat yang lebih rendah, meskipun secara struktural tingkat yang lebih tinggi tetap ada. Hal ini diterangkan dari kenyataan bahwa sesudah para mahasiswa tadi meninggalkan (lulus dari) Perguruan Tinggi atau juga sudah sebelumnya, kembali lagi dapat berfungsi dengan baik pada tingkat stadium yang telah dicapainya dulu. Masih ada satu faktor lagi yang ditunjukkannya, yaitu mengenai hubungan antara perkembangan tingkah laku moral dan pola peranan yang diharapkan dari seseorang. Kohlbern menemukan bahwa para ibu rumah tangga pada umumnya ada pada stadium 3; menurut Kohlberg hal itu disebabkan karena mereka tidak banyak dituntut untuk mengambil keputusan-keputusan yang berhubungan dengan moral dan insan kamil. Mereka nampaknya ditempatkan pada peranan sosial yang membutuhkan berfungsi pada stadium 3 atau 4 saja.
Kritik yang dapat diajukan di sini adalah terhadap kemutlakan perkiraan itu. Pertanyaan yang telah diajukan terhadap psikoanalisa dapat diulangi di sini. Apakah gejala ini universal dan apakah tingkatan-tingkatan itu harus dilalui menurut urutan yang sudah ditentukan tersebut. Suatu tinjauan kritis mengenai teori Kohlberg dan pendekatan yang mendasarkan pada teorinya itu dapat dibaca dalam penelitian Heymans (1979).
Akhirnya pendapat teori belajar mengemukakan bahwa semua tingkah laku adalah tingkah laku yang dipelajari. Teori ini menolak dengan tegas bahwa manusia mempunyai suatu sifat bawaan, baik itu sifat yang baik maupun yang tidak baik. Alasan yang dikemukakan adalah apa yang baik untuk suatu masyarakat tertentu, dianggap tidak baik oleh masyarakat lain, apa yang dianggap penyesuaian baik oleh masyarakat yang satu, bahkan dianggap tingkah laku menyimpang oleh masyarakat yang lain.
Menurut pendapat ini maka kata hati merupakan suatu sistem norma yang telah diintemalisasi (merasuk menjadi milik pribadi seseorang). Hal ini berarti bahwa seseorang akan tetap melakukan norma-norma tadi meskipun tidak ada kontrol dari luar. Apa yang dulu dilakukan atas dasar hadiah, reinforsemen atau hukuman dari luar, sekarang dialihkan ke dalam. Norrna-norma yang sudah diinternalisasi tadi membuat anak makin dapat bertingkah laku sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.
Peneliti yang menganut pendapat ini berusaha untuk menyelidiki fenomena kata hati melalui pertanyaan-pertanyaan mengenai:
a. reaksi terhadap pelanggaran
b. pertahanan terhadap godaan
Dalam hal ini ternyata bahwa cara orang tua mengasuh anak merupakan hal yang pokok. Mempunyai ayah dan ibu yang kasih sayang, yang menerima anak dalam keadaan apa pun merupakan syarat yang paling utama untuk perkembangan kata hati yang baik. Selanjutnya diketemukan bahwa kata hati tergantung pada situasi. Hoffman (1970) mengemukakan mengenai konsistensi yang dinamis. Tingkah laku moral sebagian tergantung daripada situasinya, tetapi orang makin bersikap konsisten, artinya tidak tergantung situasi. Dari studi perbandingan ternyata bahwa moralitas merupakan pernyataan daripada kebutuhan akan keteraturan dan keseimbangan, juga suatu usaha ke arah pemberian arti, meskipun adanya perubahan historis, sosial, dan individual (Monks, 1986).
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa proses belajar dalam tingkah laku moral memegang peranan yang penting; tetapi Juga proses perkembangan kognitif memberikan pengaruh yang besar akan sifat perkembangan tingkah laku moral. Dalam pasal 6.5 akan ditinjau kembali perkembangan tingkah laku moral. Di situ akan nampak bagaimana pentingnya sifat kepribadian seseorang dalam aspek tersebut bagi perkembangan kepribadiannya.
4.4 Perkembangan Kognitif
Beberapa pertanyaan yang pokok dalam teori perkembangan kognitif adalah: dengan alat dan cara apa orang memperoleh pengertian, menyimpan dan menggunakannya? Pada prinsipnya hal ini berhubungan dengan alat-alat pengenalan dan bentuk-benluk pengenalan. Kognisi adalah pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, jadi tingkah laku yang mengakibatkan orang memperoleh pengertian atau yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian.
Psikolog Swiss yang sering disebut dalam buku ini yaitu Piaget telah banyak mempengaruhi psikologi perkembangan dalam hal perkembangan kognisi. Dia telah memberikan banyak pendapat serta dorongan dalam hal ini (bandingkan untuk berikutnya Ginsburg dan Opper, 1969).

4.4.1 Pengertian-pengertian Pokok dalam Teori Perkem¬bangan Piaget
Teori Piaget banyak dipengaruhi oleh biologi dan episfemologi ajaran mengenai pengenalan. Biologi dalam teorinya Piaget banyak menggunakan pengertian yang langsung diambil dari biologi. Misalnya dalam definisi mengenai inteligensi dipakainya pengertian-pengertian seperti adaptasi, organisasi, stadium, pertumbuhan dan sebagainya. Banyak dari pengertian-pengertian ini akan diterangkan lebih lanjut nanti.
Epistemologi: perhatian terhadap cabang ilmu pengetahuan ini antara lain nampak dalam penelitian empiris terhadap timbulnya pengertian atau konsep mengenai waktu, ruang, kausalitas, dan kasadaran akan aturan.
Piaget beranggapan bahwa setiap organisme hidup dilahirkan dengan dua kecenderungan fundamental, yaitu kecenderungan untuk :
a) adaptasi dan kecenderungan untuk (b) organisasi.
b) Adaptasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap-organisme untuk rnenyesuaikan diri dengan lingkungan. Kecen¬derungan adaptasi ini mempunyai dua komponen atau dua proses yang komplementer, yaitu (a.l) asimilasi dan (a.2) akomodasi.
(a.1) Asimilasi, yaitu kecenderungan organisme untuk mengubah ling¬kungan guna menyesuaikan dengan dirinya sendiri. Suatu contoh yang sederhana dalam bidang biologis adalah maka. Bila orang makan sesuatu maka pencernaan makanannya tidak perlu berubah. Apa yang berubah adalah makanannya yaitu faktor lingkungannya.
Jaga dalam lapangan psikologi maka prinsip asimilasi meme¬gang. peranan besar. Pada suatu saat seorang bayi memperoleh suatu kebiasaan pola tingkah laku terhadap lingkungannya apa yang dijumpai oleh bayi itu dipegangnya. Dunia bagi anak merupakan "dunia raih". Nilai fungsional objek dari sudut pandangan orang dewasa diturunkan menjadi "kemungkinan dapat diraih".
Juga bagi situasi pelajaran maka prinsip asimilasi meru¬pakan hal yang sangat penting. Menurut Piaget maka setiap anak selalu ada dalam salah satu stadium perkembangan. Stadium ini sebagian besar menentukan untuk sebagian besar cara ariak menginterpretasi suatu tugas verbal misalnya: Anak umur 4 tahun dan umur 10 tahun dapat diberikan suatu tugas verbal yang identik, tetapi harus disadari bahwa anak hanya akan mengerti tugas tadi sepanjang struktur kognitif, yaitu Radium perkembangan kognitifnya memungkinkan untuk hal itu. Anak mengasimilasi tugas tadi dengan struktur kognitifnya: Ia mengerti tugasnya sepanjang ia mampu untuk mengertinya.
Akomodasi, yaitu kecenderungan organisme untuk merubah dirinya sendiri guna menyesuaikan diri dengan keliling.
Suatu contoh dalam bidang Biologi dapat dikemukakan jadi mengenai makanan. Bila organisme terpaksa untuk makan makanan yang asing, maka sistem fisiologisnya seringkali ha¬rus menyesuaikan diri dengan faktor lingkungan yang berubah itu.
Dalam lapangan psikologi dapat diambil contoh yaitu bila anak bayi hendak meraih sesuatu, bayi tadi harus menyesuaikan pengamatannya dengan objek tersebut untuk dapat melihatnya dengan baik. Dia harus menyesuaikan pola gerakannya sedemikian rupa, hingga ia dapat mencapai objek tadi dengan tangannya. Dan akhirnya ia harus menyesuaikan raihannya pada misalnya bentuk dan bakat objeknya.
Juga dalam situasi sekolah akomodasi memegang peranan penting; anak harus bersedia untuk selalu memperoleh pengetehuan baru guna dapat mengatasi masalah-masalah yang baru.
Hubungan antara asimilasi dan akomodasi. Kedua proses tersebut seperti telah dikemukakan, adalah komplementer. Dalam setiap tingkah laku organisme dapat diketemukan aspek asimilasi dan akomodasi. Hal ini dapat dilihat pada tingkah laku meraih pada anak bayi

(b) Kecenderungan organisasi. Hal ini dapat dilukiskan sebagai kecenderungan bawaan setiap organisme untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren.

Juga kecenderungan ini dapat ditemukan dalam bidang biologis dan psikologis. Contoh yang paling mudah dalam bidang biologis adalah berfungsinya sistem fislologis sendiri sebagai kesatuan yang terintegrasi. Bila ada gangguan dalam integrasinya hal itu berarti "penyakit".
Dalam bidang psikologis dapat dilihat bahwa bayi pada mulanya mempunyai dua struktur tingkah laku yang terpisah: Ia dapat meraih dan ia dapat mengamati sesuatu. Semula anak tidak mampu untuk mengintegrasi dua struktur tingkah laku ini. Baru kemudian maka dua struktur ini dikoordinasi menjadi satu struktur dalam tingkatan yang lebih tinggi, yaitu dalam apa yang disebut koordinasi mata dan tangan atau koordinasi visio-motorik.
Hubungan antara adaptasi dan organisasi. Juga dua proses ini bersifat komplementer. Bila suatu organisme mengadakan organisasi aktivitasnya, maka ia mengasimilasi kejadian baru pada Struktur yang sudah ada dan mengakomodasi struktur yang sudah ada pada situasi baru. Piaget menamakan kedua proses tadi sebagai faktor biologis. Alasannya ialah bahwa dua kecenderungan tadi selalu ada pada semua organisme hidup, Kedua kecenderungan ini merupakan sifat ketuhanan. Bagaimana bekerjanya kedua proses ini dalam diri suatu organisme tertentu, tergantung pada keliling serta pengalaman belajar organisme tersebut.
Ekuilibrium. Pengertian "ekuilibrium" atau "keseimbangan" Juga menduduki tempat yang penting dalam teori Piaget. Prinsip ekuilibrium yang bersifat bilogis ini menjaga agar perkembangan tidak merupakan hal yang tidak keruan, melainkan suatu proses yang teratur. Proses asimilasi dan akomodasi yang komplementer menyebabkan seseorang selalu berusaha mencapai keadaan yang seimbang lagi. Di sini ada kesamaan dengan pendapat seorang teoretikus terkenal lain dalam psikologi perkembangan, yaitu Wemer (1959). Werner bertolak dari prinsip orrogenetis. Dia ingin menunjukkan bahwa perkembangan, genesa suatu individu, berlangsung melalui proses yang teratur. Perkembangan akhirnya mencapai suatu diferensiasi yang semakin tinggi motorik yang semula kasar menjadi makin halus; hal ini juga berlaku bagi bahasa. Di samping itu perkembangan juga akhirnya mencapai suatu aturan yang hierarkis (fungsi yang berbeda-beda makin sesuai satu sama lain dan makin baik integrasinya). Baik Werner maupun Piaget berpandangan bahwa perkembangan itu berlangsung melalui rencana yang sudah ada sejak lahir yang akhirnya mencapai suatu bentuk akhir yang baik. Prinsip ini pada Werner dan Piaget merupakan suatu fakta fundamental dalam perkembangan yang merupakan ciri pokok dalam
kehidupan manusia.
Proses adaptasi tidak lepas dari proses organisasi. Juga di sini terdapat proses interaksi yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan. Pengertian. "keseimbangan" menunjuk. pada relasi antara individu dan keliling dan terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur keliling. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam keliling untuk mengadakan. asimilasi dan juga tidak lagi harus mengubah dirinya sendiri untuk mengadakan akom'odasi dengan hal-hal yang baru. Sudah barang tentu keadaan ini adalah suatu keadaan ideal. Piaget memang hanya ingin menunjukkan bahwa menurut pendapatnya dalam perkembangan berpikir manusia ada suatu arah menuju ke harmoni dan keteraturan.
Struktur psikologis atau skema: Telah dibicarakan adanya dua macam proses, yaitu adantasi dan organisasi. Pertanyaan timbul sekarang hal-hal apa yang dikenai proses adaptasi dan organisasi itu. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mengemukakan apa yang disebut Piaget dengan struktur psikologis atau skema.
Dalam biologi ada dibicarakan mengenai struktur-struktur yang berubah. Piaget mencoba untuk menemukan suatu analogi dalam bidang tingkah laku. Analogi ini ditunjukkannya dengan pengertian "struktur psikologis" atau "skema". Ia membedakan antara skema-skema sensori motoris atau disebut juga skema-skema tingkah laku dan skema-skama operasional atau disebut juga skema-skema kognitif.
Suatu skema adalah ciptaan seorang psikolog (Piaget), skema adalah suatu abstraksi dari aktivitas manusia; bukan sesuatu yang dapat ditunjukkan secara konkrit dengan salah satu cara pada salah satu tempat tertentu. Bila seseorang melakukan suatu aktivitas tertentu, maka dia tidak akan melakukan hal ini dua kali berturut-turut dengan dua cara yang persis sama. Tetapi meskipun begitu adalah mungkin untuk menemukan suatu struktur dasar, suatu esensi yang stima dalam variasi tingkah laku yang serupa. Struktur dasar inilah yang dimaksudkan oleh Piaget dengan pengertian skema.
Menurut Piaget skema-skema ini pada mulanya bersifat sensori motoris dan merupakan struktur psikologis anak umur sampai + 2 tahun, belum nampak adanya mediasi dalam arti "aktivitas pikir yang intern". Semua tingkah laku anak masih harus dipandang sebagai hal yang diterima secara sensorik dan suatu reaksi yang motorik saja. Contoh-contoh skema sensori motorik adalah skema raih, skema hisap dan skema merangkak.
Mulai umur + 2 tahun di samping skema sensori motorik anak juga memiliki skema kognitif atau operasional. Skema ini dapat dilukiskan sebagai struktur dasar proses berpikir. Suatu contoh skema tersebut adalah apa yang disebut skema klasifikasi. Bila anak umur 7-11 tahun dihadapkan dengan sekumpulan gambar bunga merah dan bunga putih, maka dapat nampak dengan jelas bahwa anak mengerti adanya klasifikasi kelompck bunga merah dan kelompok bunga putih. Jadi anak ternyata sudah memiliki sejumlah struktur dasar dengan integrasi yang baik seperti misalnya mengumpulkan berbagai objek dalam klasifikasi tertentu serta mengatur secara hierargik berbagai kelompok dalam klasifikasi tersebut. Atas dasar tingkah laku ini dapat ditarik kesimpulan bahwa anak telah memiliki skema kiasifikasi.
Jadi pengertian skema atau struktur psikologis adalah sedikit banyak kompleks. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan pola tingkah laku yang teratur, melainkan juga berhubungan dengan pola berpikir yang telah diintemalisasi. Piaget menamakan kedua hal tadi skema karena menurut konsep teoretisnya maka skema operasional Itu datang dari skema sensori motorik melalui proses intemalisasi (bandingkan pendapat bahwa anak memperoleh pengertian melalui berbuat aktif dengan dunia luar). Jadi ada kontinuitas di antara kedua skema.
Hal ini berhubungan dengan suatu postulat lain yang penting dalam teori Piaget, yaitu adanya beberapa stadium yang berbeda-beda dalam perkembangan kognisi anak. Hal ini mengandung. arti bahwa struktur kognitif anak pada tingkatan umur yang berbeda dapat mempunyai bentuk yang berlain-lainan.
Suatu skema memungkinkan anak untuk mempelajari respons-respons baru. Hal ini disebabkan oleh proses akomodasi.
Suatu contoh : Bayi memegang bola atas dasar refleks raihnya. Kemudian mau dihisapnya sesuai dengan skema dalam bergaul dengan benda-benda: dunia terdiri dari benda raih dan benda. hisap, jadi ia menghisapnya. Pada waktu ini terjadilah asimilasi, yaitu penyesuaian atas dasar pengertian yang telah ada. Pada waktu ini anak mengerti bahwa bola tidak sesuai untuk dihisap. Mungkin enakkan menjatuhkan bolanya (misalnya anak ada dalam boks) dan mengerti sifat khas bola tadi, kemudian anak mengambil kembali bola tersebut dan menjatuhkannya lagi. Pada waktu ini terjadilah suatu skema baru karena anak menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat bola tadi. Hal ini adalah akomodasi (sebagai ilustrasi lihat Gambar 25).
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa skema-skema tertentu yang ada serta bergaul dengan lingkungan memberikan sumbangan yang besar dalam menambah luasnya pengertian anak. Di sini menjadi jelaslah bahwa anak lebih banyak mengerti daripada yang dapat dinyatakan dan dikatakan. Di sini juga letaknya salah satu titik tolak Furth yang pokok, yaitu bahwa jelas sampai usia 7 atau 8 tahun berpikir anak harus dipandang lepas dari bahasanya (Furth, 1966).




























4.4.2 Representasi dunia dan stadium-stadium dalam per¬kembangan kognitif
Dunia orang dewasa adalah teratur. Hal-hal yang ada dalam diri manusia seperti perasaan, pikiran, impian, keinginan dan hal-hal yang ada di luar diri manusia seperti rumah, pohon, objek-objek tertentu, serta dunia sosial manusia dapat diatur. Hal-hal itu dapat diperlakukan oleh orang dewasa secara objektif karena mereka dapat dipandang sebagai hal sesuatu yang lepas dari diri kita sendiri. Hubungan satu sama lain (kategori, relasi, hubungan-hubungan kausal), yang sudah wajar bagi kita belum merupakan hal yang wajar bagi anak. Anak belum mengalami distansi yang jelas dengan dunia luar. Baru sesudah kurang lebih 12 bulan maka anak, menurut Piaget, baru mampu untuk mengerti bahwa suatu benda tetap ada meskipun tidak lagi nampak (lihat tabel 4). Permanensi objek atau formasi objek ini merupakan suatu langkah yang penting dalam pengertian dunia luar. Hal ini juga merupakan persyaratan yang mutlak untuk dapat memperlakukan objek dalam keliling secara simbolis. Formasi simbol ini mulai berkembang pada umur kurang lebih 18 bulan memungkinkan anak untuk melihat benda sebagai penunjuk hal sesuatu yang lain, sebagai sesuatu yang lain daripada yang sesungguhnya. Scherik-Danziger (1972) dalam hubungan ini mengemukakan bahwa pengertian akan simbol serta timbulnya tanggapan-tanggapan terjadi bersama-sama dengan perkembangan bahasa serta permainan peranan. Ia juga mengemukakan bahwa permainan peranan mempunyai ciri-ciri yang juga harus ada pada pemakaian bahasa dan bekerja dengan simbol, yaitu :
• sikap memperlakukan hal-hal dengan "pura-pura"
• adanya formasi simbol atau pembentukan pengertian yang sembarang (metamorfosa benda)
• mengenakan sifat manusia pada benda atau hewan (antro-pomorfisme);
• merubah peranan manusia secara fiktif
• imitasi tingkah laku atau rangkaian tingkah laku.

Berbagai kemampuan baru anak ini memungkinkan anak untuk mengalami dunia keliling secara "lain" dan mengenalinya dengan cara yang lain.
Kognisi, perkembangan pikir dan pengenalan, membuat setiap orang mengatur dunia keliling dengan caranya sendiri-sendiri. Seorang Eskimo akan mengatur dunianya dengan cara yang lain daripada orang Indonesia atau orang Jepang. Kognisi mengandung proses berpikir dan proses mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan dan memproduksi pengetahuan.
Representasi dunia luar di dalam diri sendiri dan dengan demikian berpikir mengenai dunia luar berjalan sebagai berikut:
1. Bayangan (image): hal ini dijumpai pada anak-anak umur 4 tahun. Ini merupakan representasi pertama suatu kejadian tertentu dan tidak merupakan pencerminan fotografis yang eksak. Hanya me¬rupakan kesan-kesan tertentu yang lepas yang kebetulan melekat pada ingatan. Misalnya setiap orang mempunyai Ingatan akan pengalaman-pengalaman tertentu waktu masih kecil: pada satu saat kita diingatkan nenek. Hal ini juga bisa terjadi dengan melihat sesuatu atau mendengar sesuatu. Apa yang kita ingat tadi adalah kesan-kesan tertentu yang melekat pada ingatan kita.
2. Simbol : Simbol adalah suatu bentuk representasi lain. Di sini tidak hanya berkisar pada bunyi yang khas atau bau yang khas dengan artinya yang khas. Simbol justru melebihi kejadian yang khas dan menunjuk pada sesuatu yang lain daripada hal yang sesungguhnya (Knoers, 1976). Misalnya seorang anak kecil bermain dengan dos korek api seakan itu sebuah mobil. Kelak anak akan mengerti bahwa simbol, seperti halnya tanda lalu lintas, merupakan penunjuk bagi hal sesuatu yang lain.
3. Konsep (pengertian): Mulai usia prasekolah timbullah pada anak suatu kebutuhan untuk mengatur kesan-kesan dan kejadian-kejadian, menemukan hubungan-hubungan dan relasi-relasi kausal. Hal ini merupakan langkah (pertama) yang penting ke arah kesadaran akan aturan. Bertambah banyaknya cara berpikir dalam pengertian nampak misalnya dalam anak menemukan bahwa ciri suatu kendaraan roda dua adalah selalu adanya dua roda, bahwa bila di sini hari Minggu di mana-manapun hari Minggu. Anak makin mengerti bahwa pengertian merupakan suatu kumpulan sifat yang umum.
4. Aturan: Suatu aturan adalah suatu hubungan antara dimensi dua pengertian atau lebih. Ada aturan yang formal dan yang tidak formal, yang formal misalnya "air adalah basah", "api adalah panas", aturan tidak formal misalnya "kue-kue adalah manis". Aturan formal berdasarkan hukum alam, sedangkan aturan tidak formal berdasarkan perjanjian atau pengalaman.
Perkembangan representasi dunia keliling berjalan melalui urutan tersebut di atas. Penting dikemukakan di sini bahwa Piaget tidak menghubungkan fase-fase tadi pada umur-umur tertentu. Ia hanya mengatakan bahwa representasi menunjukkan urutan tersebut dan bahwa makin lama makin tercapai bentuk representasi yang lebih tinggi. Menurut Piaget perkembangan kognisi dapat dibagi menjadi beberapa stadium, artinya fungsi kognitif pada umur yang berlain-lainan dapat jelas dibedakan satu sama lain. Jadi stadium yang berurutan tadi menunjukkan kemungkinan kognitif baru yang sebelumnya belum ada.
Dalam keseluruhan Piaget membedakan adanya 10 stadium sebagai titik mula yang jelas mengenal timbulnya kemungkinan-kemungkinan baru. Pembagian yang paling banyak ada pada stadium pokok yang pertama, yaitu stadium sensori motorik. Stadium ini mencakup 6 buah sub stadium (lihat tabel 4). Stadium pra-operasional, stadium pokok yang kedua biasanya dibagi menjadi dua stadium: dari 2-5 tahun dan dari 5-7 tahun. Dalam sub stadium yang pertama lebih banyak menonjol perkembangan fungsi-fungsi simbolis serta berpikir intuitif. Pada sub stadium yang kedua lebih menonjol perkembangan konservasi. Dalam periode ini tumbuhlah pengertian akan invariansi, sifat kelanggengan benda, artinya banyaknya atau beratnya barang sesuatu akan tetap sama, tetap tidak berubah dengan berubahnya bentuk barang itu. Stadium operasional konkrit (kurang lebih 7-11 tahun) dan stadium operasional formal (mulai kurang lebih 12 tahun) masing-masing merupakan stadium pokok ketiga dan keempat.

4.4.2.1 Stadium sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Anak yang masih kecil, si bayi menunjukkan tindakan-tindakan yang inteligen. Dalam tindakan-tindakan nampak inteligensinya. Gerakan-gerakan refleks yang pertama membawa ke arah penguasaan pengetahuan mengenal dunia luar.
Anak sejak lahir, seperti yang telah kita ketahui, mempunyai sejumlah skema tingkah laku seperti menghisap, meraih (memegang), menggoyang-goyangkan badan dan memukul sesuatu.
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, Inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja. Piaget masih membagi periode ini ke dalam sejumlah sub stadium (lihat Tabel 6 dan selanjutnya Dumont, 1966). Dalam stadium ini nampak perkembangan anak sebagai berikut:

Tabel 6. Gambaran mengenai enam sub stadium sensori motorik (0-18, atau 24 bulan) dalam hubungan dengan perkembangan permanensi objek; di samping itu dilukiskan unsur-unsur yang penting yang ada dalam stadium yang berlainan (bandingkan Flavell, 1977, hal 36 dan 58).

Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 1 (+ 0 - 1 bulan)
Skema refleks bawaan (berujud tingkah , laku refleks)

Stadium 2 (1 - 4 bulan)
Modifikasi skema stadium 1 atas dasar pengaruh pengalaman; mengakibatkan koordinasi, antara lain koordinasi mata-tangan (reaksi sirkuler yang primer) tertuju pada badan sendiri, misal mulai 3 bulan: monolong meraban, bemain-main dengan jari-jari kakinya sendiri). Stadium 1 dan 2 (+ 0—4 bulan)
Bayi mengikuti objek yang bergerak dengan mata sampai objek menghilang, perhatian segera hilang dan memandang sebentar pada tempat objek menghilang.
Stadium 3 (± 4 — 8 bulan)
Perkembangan skema yang menyebabkan akibat yang menarik dalam lingkungan. orientasi ekstern, (reaksi sirkuler yang sekunder ditujukan pada lingkungan. misal membuka pintu atau tas).
• Reaksi sirkuler yang sekunder (Piaget, 1936)
• Functionlust (K. Buhler, 1919)
• Motivasi efektif (effectance: motivati¬on) = bergaul secara efektif dengan lingkungan (White, 1959).
Tiga macam nama untuk satu gejala yang sama: tingkah laku yang satu mengundang tingkah laku yang berikutnya = sirkuler.
Stadium 3 (+.4 - 8 bulan)
Mengikuti objek dengan mata, fiksasi bila gerakan objek berhenti, tahu sebelumnya posisi yang akan datang berdasarkan proses gerakan. Mengikuti secara visual sampai melampaui tempat menghilangnya objek (misal, membungkuk dari kursi untuk melihat objek yang jatuh). Dapat mengenal objek yang hanya nampak sebagian. Tidak mencoba untuk memegang bila menghilang meskipun mampu. Tidak heran bila objek menghilang.
Stadium 4 (+ 8 -12 bulan)
Koordinasi respons stadium 3 mengakibatkan tingkah laku intensional, nampak seperti "inteligen" (koordinosi reaksi-reaksi sekunder) Stadium (+ 8 – 12 bulan)
Mencoba memegang dengan tangan objek yang menghilang dari pandangan mata. Mencari terus ditempat menemukan sebelumnya meskipun melihat kalau dipindah. Kebiasaan motorik: "Carilah di tempat yang sebelumnya kau menemukannya"; penting di sini pola aksi sensoris.

Perkembangan kognitif Permanensi Objek
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Stadium 5 (+ 12 - 18 bulan)
Mencari objek di tempat yang untuk terakhir dilihatnya menghilang, misal di tangan, bukan di bawah lap atau layar tempat objek ditinggalkan


Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Penemuan, skema alat tujuan yang baru melalui kombinasi mental internal dari skema-skema yang direpresentasi secara simbolis. Perpindahan dari fungsi sensori metoris ke fungsi simbolis lognitif (permulaan berpikir) Stadium 6 (±. 18 — 24 bulan)
Anak menggunakan kecakapan simbolis yang baru berkembang untuk membayangkan kemungkinan berbagai perpindahan yang tidak nampak dari-pada objek yang tersembunyi; tidak khusus terikat pada perpindahan yang nampak.


pada mulanya anak bergerak melului atas dasar tingkah laku refleksi murni. Sama sekali belum ada differensiasi antara anak dan keliling. Baru pada akhir periode ini nampak differensiasi yang jelas antara subjek dan objek. Contoh yang paling jelas mengenai arah perkembangan ini adalah gejala permanensi objek (untuk maksud ini lihat juga pasal 3.1.1.).
Pada mulanya maka suatu objek hanya merupakan suatu perpanjangan tindakan tersendiri. Bagi anak umur ±. 8 bulan objek tidak ada eksistensinya lagi bila misalnya disembunyikan di belakang layar. Baru sekitar 9—12 bulan anak mampu untuk menemukan kembali objek-objek yang disembunyikan. Anak pada usia ini hanya mencarinya di tempat objek tadi disembunyikan pertama kali, Dengan lain perkataan bila suatu objek untuk pertama kalinya disembunyikan di bawah bantal A dan kemudian di bawah bantal B, maka anak umur 12 bulan pertama-tama mencarinya di bawah bantal A.
Baru pada bagian kedua tahun kedua, anak mencari objek tadi di tempat yang terakhir kali ia melihatnya menghilang atau disembunyikan (di bawah bantal B). Tetapi pada usia ini anak masih harus melihat juga apa yang terjadi. Bila kita mengambil suatu objek dan memasukkannya ke dalam dos, kemudian meletakkan dos itu di belakang layar lalu objek dikeluarkan. maka baru pada akhir periode ini-jadi sekitar 18 bulan timbul pengertian pada anak untuk juga melihatnya di belakang layar waktu itulah anak baru mampu untuk membayangkan hal-hal baru.
Dari observasi-observasi ini ternyata bahwa selama stadium sensori motoris ini anak berkembang kearah suatu proses. Piaget menanamkan proses ini proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua entitas yang berbeda.

4.4.2.2 Stadium pra-operasional (± 18 bulan —7 tahun)
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis. imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal.
Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (irnitasi/dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda). Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya ia sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit. Tetapi meskipun adanya banyak aspek-aspek yang positif dalam cara berpikir pra-operasional ini, namun masih banyak kekurangan juga.
Berpikir pra-uperasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konsepsual) untuk mengambil perspektif orang lain).
Contoh: anak diajak ke lapangan balap mobil. Di lapangan tadi ada 3 buah mobil, merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan uratan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut perspektifnya sendiri.
Cara berpikir praoperasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka 2 akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimensi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini.
Contoh : sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan ait yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (ir-reversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam pariode ini adalah, percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut:
Totok, kau punya saudara Ya!
Siapa nama saudaramu Mita
Apa Mita punya saudara Tidak
Hubungan "Totok punya saudara Mita' dibalik. Berpikir pra-operasional adalah terarah dibalik. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B.
Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tingkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat sedang jatuh- diabaikan oleh anak.

4.4.2.3 Stadium operasional konkrit (7—11 tahun)
Stadium operasional konkrit dapat digambarkan sebagai menjadinya positif ciri-ciri yang negatif pada stadium berpikir pra-operasional. Cara berpikir anak yang operasional konkrit kurang egosentris. Ditandai oleh desentrasi yang besar, artinya anak sekarang misalnya sudah mampu untuk memperhatikan lebih dari satu ! dimensi sekaligus dan juga untuk menghubungkan dimensi-dimensi ini satu sama lain (hal ini dapat dilihat dari kemampuan anak dalam stadium ini juga mengadakan konservasi; lihat 4.4.2.5. c). Anak sekarang juga memperhatikan aspek dinamisnya dalam perubahan situasi. Akhirnya ia juga sudah mampu untuk mengerti operasi logisnya reversibilitas.
Namun ada juga "kekurangannya" dalam cara berpikir yang operasional konkrit. Hal ini sebelumnya sudah secara implislt ditunjukkan oleh istilah operasional konkrit. Anak mampu untuk melakukan aktivitas logis tertentu (operasi) tetapi hanya dalam situasi yang konkrit. Dengan lain perkataan, bila anak dihadapkan dengan suatu masalah (misalnya masalah klasifikasi) secara verbal, yaitu tanpa adanya bahan yang konkiit, maka ia belum mampu untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik.
Dalam uraian labih lanjut akan ditinjau mengenai tugas-tugas tertentu yang dapat menggambarkan perpindahan dari cara berpikir yang pra-operasional ke berpikir yang operasional.

4.4.2.4 Stadium operosional formal (mulai 11 tahun)
Seperti yang sudah dikatakan maka anak dalam stadium opera¬sional konkrit dapat berpikir operasional dengan catatan bahwa materi berpikirnya ada secara konkrit.
Anak dalam stadium operasional konkrit sangat terikat pada masa kini. Ia belum mampu untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ada. Hal ini berubah dengan datangnya stadium operasional formal.
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
1. Sifat deduktif-hipotetis: bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja dengan cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoretis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi. kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. Berhubung dengan itu maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.

2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris.
Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini.
Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasi tersebut. Tetapi sesudahnya ia tidak mampu untuk memproduksinya lagi. Kalau anak tidak dapat menemukan kombinasi yang betul tadi, hal itu berarti bahwa kombinasi yang secara kebetulan ditemukan itu, tidak dicarinya secara empiris. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu secara teoretis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin; kemudian secara sistematis mencoba setiap sei matriks tersebut secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya lagi. Dari contoh ini nampak bahwa. berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku "problem solving" yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.

4.4.2.5 Perpindahan dari berpikir pro-operesional ke operasional konkrit
Piaget menciptakan sejumlah tugas yang dapat menggambarkan perpindahan dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit. Tugas-tugas ini dapat dipandang sebagai tugas-tugas kriterium, artinya bila anak dapat menyelesaikan tugasnya maka ia ada dalam stadium operasional konkrit. Beberapa dari tugas-tugas ini akan diterangkan secara singkat sebagai berikut:
a. Mengatur secara serial: Bila anak dalam stadium pra-operasional diberi tugas. untuk mengatur beberapa tongkat kecil yang berlain-lainan panjangnya, maka ia tidak mampu untuk mengaturnya menurut panjang pendeknya tongkat-tongkat tadi. Anak yang berpikir operasional konkrit dapat melakukan hal itu.

b. Klasifikasi. Bila anak umur 2—5 tahun diberi sejumlah balok yang mempunyai warna dan bentuk yang berbeda-beda dan bila ia ditanya 'balok-balok mana yang sama, maka ia tidak dapat menjawabnya. Anak hanya membuat apa yang disebut "conceptual chains" artinya ia meletakkan balok-balok tadi dalam suatu "seri". berdasarkan dasar konsepsi yang senantiasa berbeda. Suatu contoh rangkaian konsepsi adalah: sebuah segi empat putih, sebuah segi empat merah (dasar bentuk). sebuah lingkaran merah, sebuah persegi merah (dasar warna). Anak selalu mengubah-ubah dasar konsepsinya dalam meletakkan urutan balok yang berikutnya.

Berikut ini akan diterangkan dulu mengenai pengertian "kelas". Dalam melukiskan kelas dapatlah dibuat suatu daftar mengenai semua objek yang ada dalam kelas tersebut. Bila disebutkan mengenai segi empat putih yang kecil, segi empat merah yang kecil, segi empat putih yang besar dan segi empat merah yang besar, maka penyebutan ini dinamakan ekstensi kelas (luasnya kelas). Aspek yang lain ialah bahwa semua objek yang tercakup dalam kelas ini mempunyai ciri segi empat. Ciri yang sama yang dimiliki oleh semua objek dalam kelas tadi disebut intensi kelas. Ciri yang khas dari kelas tadi menentukan objek mana dari suatu kumpulan objek yang dapat digolongkan dalam suatu kelas tertentu. Jadi dapat pula dikatakan intensi kelas menentukan ekstensinya.
Bila ada suatu kumpulan balok yang terdiri dari beberapa persegi merah dan putih serta beberapa bulatan biru dan hijau, maka klasifikasinya dapat dilukiskan seperti nampak pada Gambar 26.







Gambar 26. Skema klasifikasi mengenai sekumpulan balok yang berbeda-reda menurut bentuk dan warnanya.
Anak umur 5—7 tahun mampu untuk mengadakan klasifikasi sebagai berikut :
- Ia akan menggolong-golongkan semua balok-balok (anak-anak yang lebih muda akan sering menyisakan beberapa yang tidak diklasifikasi)
- Semua balok diklasifikasi menurut atau bentuk perseginya atau bentuk bulatnya. Jadi intensi menentukan ekstensinya.
- Ia juga akan membuat klasifikasi yang tepat menurut warnanya, jadi tidak membuat "conceptual chains".
- Ia juga akan menentukan tingkat hirargisnya; di sini tingkat yang paling rendah adalah warna dan tingkat yang paling tinggi adalah bentuk.
Namun pada usia ini anak belum mempunyai pengertian akan operasi logis dalam Inklusi-kelas, artinya Ia belum mengerti bagaimana relasi di antara tingkatan yang berbeda-beda itu dalam hirargi tadi:
Mengenai kumpulan balok-balok tadi dapat dipikirkan antara lain: (1) semua segi empat adalah merah atau putih, (2) ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, (3) ada lebih banyak segi empat daripada yang putih, (4) bila segi empat yang merah diambil, tinggal yang putih, (5) bila segi empat putih yang diambil tinggallah yang merah dan sebagainya. Nampaknya hal ini semuanya masuk akal. Tetapi bila anak ditanya apakah ada lebih banyak segi empat daripada yang merah, atau apakah masih ada segi empat yang sisa bila yang merah semua diambil, maka anak belum dapat menjawabnya. Operasi mengenai inklusi-kelas terletak pada pengertian yang benar mengenai hubungan antara bagian dan keseluruhan, antara keseluruhan dan bagian, dan antara bagian dan bagian.
Ketidakmampuan anak pada umur 5—7 tahun untuk mengerti hal ini diterangkan oleh Piaget dengan hipotesis bahwa anak belum dapat menilai dua macam dimensi yang berbeda (di sini keseluruhan dan bagian) dalam satu situasi pengamatan yang sama.

Mulai 7 tahun anak nampak makin dapat mengadakan klasifikasi secara hirargis dan memperoleh pengertian dalam inklusi-kelas. Namun hal itu hanya dapat dilakukan bila bahan-bahannya adalah konkrit. Biasanya baru mulai usia 11 tahun anak mampu untuk mengadakan klasifikasi secara tepat, juga mengenai hal-hal yang tidak konkrit. Hal ini berhubungan dengan mulainya stadium operasional formal.

c. Konservasi. Hal ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana anak memperoleh pengettian bahwa sifat-sifat tertentu sesuatu objek akan tetap sama meskipun ada transformasi pada objek tadi. Bagi orang dewasa adalah jelas dan semestinya bahwa misalnya suatu bola dari tanah liat yang dirubah bentuknya akan tetap mempunyai berat yang sama. Anak dalam stadium pra-operasional akan mengira bahwa dalam contoh ini perubahan dalam bentuk juga menyebabkan perubahan dalam berat. Dapat dikatakan bahwa anak belum mampu untuk mengerti mengenai konservasi berat. Masalah konservasi ini mengambil tempat yang penting dalam teori Piaget. Mampu untuk konservasi menurut Piaget merupakan persyaratan yang mutlak bagi segala aktivitas intelektual, jelasnya untuk berpikir kuantitatif dan matematis. Prosedur eksperimentalnya yang digunakan Piaget untuk menentukan apakah anak mampu untuk konservasi atau belum dapat dilukiskan dengan contoh sebagai berikut:

Pencoba menunjukkan dua buah gelas yang identik, suatu gelas standard (S) dan suatu gelas variabel (V). Dengan dilihat oleh anak (coba) ia mengisi dua gelas tadi dengan jumlah air yang sama. Ia baru melanjutkan dengan prosedurnya sesudah anak menentukan dengan nyata bahwa dalam dua gelas tadi banyaknya air sama. Kemudian air dalam gelas V dituangkan dalam suatu gelas lain (V1) yang misalnya lebih tinggi dan lebih ramping daripada gelas V.
Pertanyaan konservasinya adalah:
"Apakah banyaknya air sama dalam gelas ini (menunjuk pada VI) dan dalam gelas itu (menunjuk pada S) ataukah airnya lebih banyak dalam gelas ini (menunjuk pada VI) atau gelas itu (menunjuk pada S)?"
Dengan prosedur tersebut dicoba untuk mengetahui kemampuan anak dalam konservasi kuontitas kontinyu. Selanjutnya penelitian konservasi juga tertuju pada konservasi berat (pertanyaah: apakah berat suatu bola' tanah liat berubah bila bentuknya berubah?), konservasi jumlah (pertanyaan bila ada dua deret tangkai korek api yang jumlahnya sama kemudian pada deret yang satu saya jarangkan letaknya, apakah jumlahnya masih sama) dan pada korservasi substansi (pertanyaan: apakah banyaknya tanah liat berubah bila suatu bola tanah liat diubah bentuknya?).

Penelitian Piaget dan lain-lain lagi menjelaskan bahwa anak mula-mula (± 4 tahun) tidak mampu untuk menyelesaikan masalah konservasi. Usia 5 tahun harus dianggap sebagai situasi peralihan artinya anak kadang-kadang bisa dan kadang-kadang tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Mulal ± 6 tahun pertanyaan konservasi tidak merupakan masalah lagi bagi anak.

loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929