loading...

MASA DEWASA DAN MASA TUA

December 03, 2013
loading...
MASA DEWASA DAN MASA TUA

7.1 Psikologi orang menjadi dewasa
Segera sesudah dilahirkan, maka seseorang secara fisiologis menjadi lebih tua. Dengan bertambahnya usia maka jaringan-jaringan dan sel-sel menjadi tua, sebagian mengalami regenerasi, tetapi sebagian lagi akan mati. Dilihat dan segi itu, maka psikologi perkembangan juga dapat disebut psikologi orang menjadi tua; terutama jika psikologi perkembangan ditempatkan dalam perspektif proses sepanjang hidup seseorang. Dengan membicarakan agak panjang lebar mengenai usia kanak-kanak dan remaja, hal ini tidak berarti bahwa perkembangan psikologi dipandang sebagai suatu proses yang selesai dengan tercapainya masa dewasa muda. Perkembangan sebagai perubahan, sebagai perubahan psikologis, akan ada selama hidup. Maka dari itulah dapat dimengerti bahwa dalam buku ini akan diperhatikan proses hidup manusia dan konsepsi sampai mati.
Proses menjadi tua disebut “psychogerontologie” (Belanda) “psychology of aging” (Inggris) dan Psychologie des Alterns” (Jerman), Sebetulnya tidak terlalu jelas kapan mulainya proses menjadi tua ini. Dalam hubungan ini dikatakan juga mengenai usia kedua dan ketiga. Dengan usia ketiga dimaksudkan usia tua yang dimulai pada waktu kurang lebih usia 65 tahun.
Dilihat secara objektif maka menjadi tua dalam arti psikologis merupakan suatu struktur perubahan yang mengandung dimensi berbeda-beda. Thomae (1968) menyebutkan mengenal (1) proses biokemis dan fisiologis, yang oleh Burger disebut “blomorphose” dan oleh Birren disebut “primair verouderingsproces” dalam daerah batas psikofisiologis (2) proses patologis atau timbulnya penyakit-penyakit; (3) perubahan fungsional-psiologis; (4) perubahan-perubahan kepribadian dalam arti sempit; (5) penstrukturan kembali dalam hal sosial-psikologis yang berkaitan dengan perpindahan ke golongan usia yang lebih tinggi; (6) perubahan-perubahan yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang tidak hanya mengalami keadaan menjadi tua ini, melainkan bahwa seseorang juga mengambil suatu sikap batin terhadap keadaan tersebut. Perubahan yang terakhir ini disebut oleh Thomae “proses chrono-estetis mengenai orang menjadi tua”. (h. 195).
Bila dimensi ini, dan khususnya empat dimensi yang terakhir diterapkan dalam penelitian orang-orang dewasa dan lanjut usia, akan selalu terbukti bahwa sukar untuk mengadakan pernyataan yang umum mengenal keadaan menjadi tua ini dalam segi fungsi kognitif, ciri-ciri kepribadian, hubungan sosial, dan pengisian hidup yang memuaskan. Meskipun begitu telah dan masih banyak diadakan pernyataan yang bersifat umum dan pernilaian mengenal keadaan menjadi tua dan orang-orang. tua “yang memperlihatkan hubungan yang negatif dengan usianya” (Munnichs, 1977). Tetapi dengan makin majunya pandangan ilmiah. maka kualifikasi-kualifikasi yang negatif ini akan hilang. Seperti yang dikatakan oleh Marcoen (1977, h. 5); “Adalah jasa psikogerontologi dalam lima belas tahun yang terakhir untuk sedikit demi sedikit mulai menghapus prasangka-prasangka ini sebagai hasil penelitian yang berbobot ilmiah betul-betul”.
Diakui oleh para penulis di sini bahwa penyajian satu bab saja mengenai masa dewasa dan masa tua tidak sebanding dengan lima bab yang disajikan mengenai masa kanak-kanak dan masa remaja. Hal ini untuk sebagian disebabkan oleh tidak tersedianya data empiris yang cukup banyak mengenai periode hidup ini; sebagian juga oleh sifat pengantar buku ini. Hal ini tidak bisa dikatakan bahwa dalam uraian-uraian berikutnya tidak akan diusahakan untuk menyajikan dengan singkat data yang dapat diperoleh mengenai periode hidup ml. Juga akan diperhatikan mengenai diskusi-diskusi yang selalu timbul mengenai ha! “kedewasaan”.

7.2 Psikologi perkembangan usia tengah baya
Bila dibandingkan buku-buku psikologi perkembangan yang membicarakan masing-masing tingkatan umur maka segera akan nampak bahwa kelompok usia kanak-kanak, usia remaja dan usia lanjut cukup banyak dibicarakan, sedangkan kelompok usia tengah baya agak ditelantarkan. Sekarang memang banyak di publikasi buku-buku yang mencakup seluruh masa penghidupan (Hurlock, 1975; Lugo& Hershey, 1974; Elkind & Hetzel, 1977; Joffe & AIlman, 1977). Juga dapat ditunjukkan buku-buku laporan simposium-simposium di Universitas West Virginia (Schaie, 1968; Goulet & Baltes, 1970; Nesseiroade & Reese, 1973; Baltes & Schaie, 1973). Lebih khusus mengenai orang-orang yang rneningkat tua adalah buku-btku karangan Thomae & Lehr, 1968; Thomae, 1968; Munnichs, 1972: Munnichs & Van den Heuvel, 1976; Lehr, 1980; Thomae, 1976; R!rren & Schae, 1976.
Penelitian mengenai masa usia dewasa telah dipersukar oleh faktor-faktor sebagaimana berikut:
a. Pengertian perkembangan. Perkembangan sampai sekarang masih dipandang sebagai pemekaran kemampuan. Menurut pengertian ini pemekaran tersebut berhenti pada kurang lebih usia 20 tahun. Pada usia itu maka semua kemampuan yang ada pada seseorang sudah berkembang. Orang sekarang sudah mekar penuh, ia sudah “dewasa”.
b. Alasan metodologis. Orang dewasa lebih sukar dicapai dari pada anak atau orang lanjut usia. Orang dewasa biasanya bekerja mencari nafkah dan tidak mudah diteliti seperti anak-anak di sekolah. Di samping itu pada waktu yang lampau maka kebanyakan tes dibuat untuk anak-anak dan remaja, jadi tidak dimaksudkan untuk orang dewasa.
c. Kesukaran-kesukaran teknis. Dengan menjadi tuanya seseorang makin timbul perbedaan dan keanehan-keanehan pada mereka. Makin sukar untuk dapat menemukan hukum-hukum perkembangan yang umum, hingga harus bertitik tolak dan variansi-variansi individual. Psikologi perkembangan orang dewasa harus bekerja lebih differensial daripada misalnya psikologi anak. Telah diusahakan untuk mengerti tingkah laku orang dewasa dengan menganalisis motif tingkah laku dan tindakan-tindakannya.

Bila perkembangan psikis itu dipandang sebagai suatu struktur dan proses, artinya apa yang sekarang masih merupakan proses, besuk dapat menjadi struktur atau menjadi suatu pola tingkah laku yang tetap, maka kedewasaan itu bukan merupakan suatu stadium akhir, Kedewasaan adalah suatu fase dalam proses hidup, dalam proses menjadi tua. Jadi suatu periode yang sama dengan periode-periode yang lain. Secara psikologis tentunya dapat diberikan suatu rangkuman atau kesimpulan pada suatu akhir tingkatan umur tertentu, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kesimpulan itu merupakan suatu hal yang tetap.
Dalam bab yang sebelumnya, sudah dlbicarakan mengenai arti kedewasaan, yaitu seperti apa yang dikemukakan oleh Andriessen dan Wijngaarden. Terutama Andrlessen, tetapi juga Allport dan Bu”hler termasuk golongan penulis yang berorientasi psikologi humanistik (yang seperti halnya psiko-analisis serta behaviorisme di dalam psikologi telah tidak populer lagi). Allport telah mengajukan 6 hal sebagai ciri orang yang psikologis dewasa. Ciri-ciri ini adalah:
1. Adanya usaha pribadi pada salah satu lapangan yang penting dalam kebudayaan yaitu pekerjaan, politik, agama, kesenian dan ilmu pengetahuan.
2. Kernampuan untuk mengadakan kontak yang hangat dalam hubungan yang fungsional maupun yang tidak fungsional.
3. Suatu stabilitas batin yang fundamental dalam dunia perasaan dan dalam hubungan dengan penerimaan diri sendiri.
4. Pengamatan. pikiran dan tingkah laku menunjukkan sifat realitas yang jelas, namun masih ada relativismenya juga.
5. Dapat melihat diri sendiri seperti adanya dan juga dapat melihat segi-segi kehidupan yang menyenangkan.
6. Menemukan suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan gambaran dunia, atau filsafat hidup yang dapat merangkum kehidupan, menjadi suatu kesatuan.

Begitupun Andriessen bertitik tolak dan cid-ciri mi. lepas dan keraguan apakah seseorang akan dapat mencapai ciri-ciri kedewasaan tersebut, perlu dipertanyakan apakah kedewasaan yang dibicarakan di sini merupakan suatu gejala psikologi perkembangan ataukah merupakan suatu pengertian norma yang sosiologis atau etis. Hal ini sudah dikemukakan dalam hubungan dengan pendapat Wijngaarden dalam bab yang sebelumnya.
Yang jelas di sini ialah bahwa para penulis tersebut yang menitikberatkan pada kedewasaan sebagai suatu norma yang harus dicapai secara implisit juga menggunakan suatu gambaran normatif. Dini sudut psikologi perkembangan maka gambaran normatif ini paling tidak harus diberikan tanda tanya yang besar.
Pada umumnya pemberian defenisi tadi tidak melampaui defenisi sosiologis yang mengatakan, bahwa seseorang itu dewasa bilamana dia telah mampu untuk memikul tanggung jawab bagi dirinya sendiri dan orang-orang lain yang dipercayakan kepadanya.
Dari sudut sosiologis dan dari sudut struktur masyarakat barat tertentu, maka defenisi semacam itu adalah benar. Namun begitu timbullah pertanyaan apakah dengan tercapainya keadaan dapat mandiri dalam segi ekonomi ini, secara psikologis seseorang sudah dewasa? Dalam buku-buku psikologi masih banyak penulis yang menganggap perkembangan berakhir bilamana pemberian pendidikan sudah selesai.
Kedewasaan, menurut para penulis di sini, dapat ditinjau dari beberapa segi. Kedewasaan dapat merupakan petunjuk: (a) suatu fase hidup, (b) suatu tingkat perkembangan biologis-somatis (lihat Bab 6), (c) suatu tingkat perkembangan kemasyarakatan dan (d) suatu tingkat perkembangan moral yang otonom yang menyebabkan integrasi dalam orientasi nilai-nilai dan norma yang dipilihnya sendiri.

7.3 Sejarah singkat psikogerontologi
Usaha untuk mempelajari secara sistematis mengenai proses orang menjadi tua sudah lame dimulai. Bila meninjau kembali di situ pernyataan-pernyataan mengenai proses menjadi tua dan keadaan tua. Misalnya Plato (427 sampai 437 S.M.) yakin bahwa penghayatan keadaan tua sangat tergantung dari pada caranya seseorang hidup dalam masa mudanya dan dalam masa dewasa, Pengalaman sangat penting. Sebaliknya Aristoteles (384 sampai 322 S.M.) tidak yakin bahwa para orang lanjut usia dapat memberikan sumbangan yang positif. Dia menggambarkan pada umumnya suatu gambaran yang negatif mengenai orang-orang dewasa dan menyebutkan mengenai sifat suka lengkar pada orang lanjut usia. Menaruh belas kasihan terhadap orang lanjut usia dianggapnya sebagai suatu kelemahan.
Menurut Birren (1961) maka permulaan stud sistematis mengenai proses menjadi tua dibedakan dalam 3 periode:
1. Periode pertama dari 1835 sampai 1918
2. Permulaan penelitian sistematis antara Perang Dunia I dan Perang Dunia ke -2.
3. Fase yang ekspansif sesudah tahun 1940.

Seorang dari Belgia bernama Quetelet (1796-1874) memegang peranan yang penting dalam fase pertama. Secara laconik, ia mengemukakan dalam bukunya yang membicarakan mengenai kecakapan-kecakapan manusia sebagai berikut: “Manusia dilahirkan, tumbuh dan mati menurut hukum-hukum tertentu yang sampai sekarang belum pernah diteliti, baik mengenal prosesnya sebagai keseluruhan, maupun mengenai perubahan reaksi-reaksinya yang terpisah” (Lehr, h. 21).
Quetelet menempuh promosinya dalam ilmu pasti pada tahun 1819 di Gent. Dia mengadakan penelitian dalam bidang ilmu sosiologi den menjabat direktur Komisi Pusat Statistik Belgia. Perhatiannya tertuju pada apa yang dikatakan manusia rata-rata. Dia mencoba mendapatkan pengertian mengenai ukuran-ukuran dan pertumbuhan badan dan mengenal perubahan-perubahan - dalam kecakapan intelektual. Misalnya dia telah mengadakan penelitian perbandingan mengenai pertumbuhan dan ukuran tangan pada lebih dari 400 orang dari dua jenis sekse antara umur 5 dan 60 tahun. Dia berkesimpulan bahwa anak berasal dari kelompok penduduk yang miskin mempunyai ukuran badan yang lebih kecil dibanding dengan anak dari lapisan sosial yang lebih tinggi. Pendapat ini dalam diskusi sekitar problematik akselerasi dalam pertengahan abad 20 selalu timbul dan selalu dibenarkan lagi. Dia juga menaruh perhatian mengenai frekuensi dan keajegan kejahatan dan tindakan bunuh diri dan meneliti kemungkinan adanya hubungan dengan umur, pekerjaan dan keadaan agama.
Quetelet mempengaruhi Gallon yang belajar kedokteran di Birmingham. Galton terkenal dengan penelitian-penelitian antropometrisnya. Dia berusaha untuk memperoleh kesimpulan-kesimpulan tertentu mengenal proses pengamatan dan proses mental yang lebih tinggi melalui pengukuran tengkorak. Gallon yang menaruh perhatian terhadap berbagai perubahan yang berhubungan dengan usia, adalah orang yang pertama yang mengembangkan pengertian korelasi dalam statistik dan menyusun indeks korelasi yang pertama.
Permulaan penelitian sistematis yang sebenarnya dilakukan antara tahun 1918 dan 1940. Stanley Hall (1844-1924) tidak hanya disebut bapak penelitian tingkah laku remaja, karena ia mengeluarkan dua jilid buku mengenal Adolescence” dalam tahun 1904, melainkan ia juga mengenalkan psikologi mengenai orang menjadi tua.
Dalam tahun 1922 ia mengeluarkan buku “Senescence-the last half of like” ketika ia sudah berumur 80 tahun. Dalam hubungan ini juga Munnichs (1966) menyebutnya sebagai psikogerontolog yang ulung. Hall menulis dalam buku tersebut: “Sebagai psikolog saya yakin, bahwa status psikis orang usia lanjut mmpunyai arti yang penting. Masa tua, seperti halnya usia muda, mempunyal sifat yang khusus dalam merasakan, berpikir dan berkehendak, juga mempunyai psikologinya sendiri. Pengaruhnya ini sama pentingnya dengan pengaruh jasmani. Perbedaan-perbedaan individual di sini mungkin lebih besar daripada pada masa muda (Hall 1922. h. 100).
Penelitian Giese (1928) tentang kesadaran subjektif mengenal usia memberikan sumbangan yang besar kepada penelitian yang sistematis. Melalui radio ia mengajukan pertanyaan pada para pendengar untuk melukiskan perasaan-perasaan mereka pada waktu pertama kali merasa menjadi tua. Pertanyaan mengenai kesadaran subjektif mengenai usia ini kemudian berkali-kali diulang dan memberikan pengertian bahwa kesadaran subjektif ini dapat sangat berbeda-beda. Ada sementara orang yang pada umur 30 tahun sudah merasa tua dan ada orang-orang lain yang pada umur 50 tahun belum merasa tua.
Suatu langkah lebih lanjut lagi ke arah penelitian sistematis adalah publikasi Charlotte Buhler dalam tahun 1933; berjudul proses hidup manusia sebagai problema psikologis”. Dalam buku ini ia berusaha untuk melukiskan dan mengartikan seluruh perkembangan hidup manusia mulai waktu kanak-kanak awal sampai mati sebagai suatu keseluruhan. Buhler menaruh perhatian besar pada apa yang disebut “Dominanzwechse? . Hal ini diartikannya sebagai suatu perubahan dalam pendirian hidup, yaitu suatu pernilaian lain terhadap tugas hidup menjadi dominan, mengalahkan yang sebelumnya. Dalam hubungan ini maka perubahan dalam arah tematis menurut Thomae merupakan suatu Dominanzwechsei (lihat lebih lanjut dalam bab ini).
Dalam tulisan Buhler yang kemudian, yaitu dalam tahun-tahun terakhir sebelum ia meninggal pada tahun 1974, tiada lama sesudah ulang tahunnya yang ke delapan puluh, maka tidak banyak lagi nampak orientasi biologisnya (lihat Bab 1). Dia adalah salah satu dari pendiri dan promotor vital psikologi humanistik yang timbul sebagai imbangan psikoanalisa dan psikologi belajar. Psikologi humanistik bertitik tolak dari pendirian bahwa manusia itu ikut menentukan hidupnya secara aktif dan tidak hanya pasif menerima konflik-konflik yang belum terselesaikan maupun proses-proses belajar dan luar saja.
Model Ch. Buhler yang lama yang berorientasi biologis dalam proses menjadi tua sekarang dalam psikologi perkembangan hampir tidak mendapat perhatian lagi.
Permulaan yang benar-benar dan penelitian yang ekspansif mengenal proses menjadi tua, dilakukan sesudah tahun 1940. Hal ini terutama berhubungan dengan keadaan dl Amerika Serikat. Di Eropa terjadinya lebih kemudian lagi. Di sini dapat disebut Institut di Bonn, yang di bawah pimpinan Thomae, telah memberikan dorongan-dorongan yang penting untuk melakukan penelitian yang sistematis. Juga dapat disebut usaha Munnichs di Nijmegen yang dengan kerjasama dengan Thomae sejak awal telah memulai suatu perluasan yang sistematis mengenal psikogerontologi. Dan di Belgia karya-karya Kriekemans dan terutama Marcoen perlu mendapat perhatian dalam hal ini.

7.4 Teori-teori mengenai proses menjadi tua
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, maka teori-teori mengenai kedewasaan dan proses menjadi tua dalam buku-buku psikologi yang kuno jarang ditempatkan dalam perspektif psikologi perkembangan. Hal ini disebabkan karena perkembangan dianggap telah selesai! bila pengaruh pendidikan telah berhenti.
Dalam bab 1 telah dikemukakan bahwa para penulis tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Berdasarkan teori perkembangan yang emansipatoris dan suatu pendekatan proses hidup yang tematis Thomae), diusahakan untuk menerangkan gejala-gejala proses menjadi tua dari sudut psikologi perkembangan.
Dalam hubungan dengan cara yang sebaiknya untuk dapat menjadi tua dengan bahagia, timbullah dua macam teori, yaitu teori disengagement (melepaskan diri) dan teori aktivitas. Kedua teori tersebut menimbulkan berbagai reaksi dan modifikasi, emosional dengan dunia sekiranya. Dia makin melepaskan dirinya dari berbagi ikatan. Sebaliknya dia akan dilepaskan oleh kehidupan bersama pada waktu ia mulai pensiun. Jadi pelepasan diri ini yang ditentukan oleh dua arah yang berbeda menurut teori ini merupakan proses yang wajar. Manusia yang menjadi tua dan terutama yang sudah tua betul mencari bentuk-bentuk isolasi sosia1 tertentu dan justru dalam isolasinya itu, atau karena isolasi itu ia menjadi bahagia dan puas. Cumming dan Henry menarik kesimpulan bahwa orang yang lebih tua yang mengalami pelepasan itu menjadi lebih bahagia dengan kebebasannya yang lebih banyak, kewajiban-kewajibannya berkurang terhadap lingkungan sosial dan terhadap kehidupan bersama.
Teori tersebut mendapatkan banyak kritik dan mengalami modifikasi-modifikasi banyak. Tidak dapat dibuktikan bahwa berkurangnya kontrol sosial membawa kepuasan batin yang lebih tinggi. Suatu pengalaman yang sangat mengesankan bagi orang lanjut usia adalah sebagai berikut: orang mengalami bahwa teman-temannya banyak yang meninggal; hal ini berarti bahwa teman-teman tadi hilang. Dengan begitu lingkungan kenalan menjadi semakin kecil dan orang makin tidak bahagia, melainkan makin sedih karena kemungkinan untuk mencari kenalan baru tidak ada atau hampir tidak ada.
Havighurst, Neugarten dan Tobin (1964) menaruh lebih banyak perhatian pada teori pelepasan ini pada aspek kualitatifnya dari pada kuantitatifnya. Mereka melihat bahwa kontak sosial tadi berubah secara kualitatif, yaitu karena keterlibatan orang lanjut usia tadi juga berubah. Misalnya orang yang menjadi tua justru makin merasa terlibat kembali pada situasi pendidikan cucu-cucunya. Ahli lain menyebutnya sebagai keterlibatan yang kompensatoris, artinya bahwa memang ada pengurangan aktivitas sosial pada suatu bidang tertentu, terutama pada bidang pekerjaan, tetapi hat ini diimbangi dengan meningkatnya aktivitas sosial pada bidang-bidang lain, misalnya pada keluarga sendiri atau sanak keluarga yang lain. Proses ini oleh Havighurst disebut disengagement selektif. Munnichs lebih suka menyebutnya “engagement baru dalam distansi” dengan maksud: “Bila sekali sudah memasuki masa tua, yaitu tidak memainkan. peranan dalam masyarakat lagi dalam arti yang umum, maka orang lanjut usia akan dengan cara yang lain sama sekali memasuki kembali lapangan yang sudah tentu lebih terbatas dengan sangat senang, dan dengan pengertian bahwa ia sekarang lebih banyak waktu untuk melakukan hal itu” (1977, h. 17).
Pada umumnya dapat disimpulkan sekarang bahwa disengagement, dalam arti dengan bertambahnya tua seseorang banyak aktivitas dan hubungan sosial berkurang intensitasnya dan akhirnya diputuskan, dalam arti yang sempit ml tidak dapat diterima. Disengagement berarti bahwa orang pada suatu waktu melepaskan din dan aktivitas-aktivitas peran tertentu dan menerima peran-peran lain, menempatkan dirinya dalam peran-peran yang baru. Jadi misalnya peralihan dan remaja yang belajar ke dalam proses kerja, peralihan dan hidup bujangan ke jenjang perkawinan merupakan proses disehgagement atau pelepasan yang sama-sama intensifnya seperti peralihan dan proses kea ke dalam masa pensiun. Disengagement adalah suatu proses yang selalu berulang dengan cara. yang berbeda-beda selama hidup orang.

7.5 Teori aktivitas
Wakil-wakil teori aktivitas (Havighurst dkk., 1964; Maddox, 1964; Secord & Backman, 1964; Palmore, 1968) bertitik tolak dan pendapat bahwa hanya dengan terus melakukan berbagai aktivitas, para orang lanjut usia dapat memperoleh kepuasan dan kebahagiaan. Meneruskan aktivitas berarti bahagia. Jadi hanya. orang-orang yang aktif, yang dapat berprestasi, yang dapat berarti bagi orang lain yang membutuhkannya, hanya mereka itulah yang mencapai kepuasan. Seseorang yang tidak dibutuhkan lagi dalam kehidupan bersama, yang tidak mempunyai fungsi lagi, akan tidak puas dan tidak bahagia.
Oleh adanya penstrukturan baru dalam masyarakat yang menyebabkan makin banyak orang lanjut usia menjadi terasing, artinya tidak lagi hidup di tengah-tengah keluarga, maka partisipasi aktif mereka juga berakhir. Keadaan ini banyak dijumpai pada masyarakat barat. Di sana dengan makin meningkatnya pernilaian terhadap “privacy” serta keadaan perumahan yang disesuaikan dengan hal tersebut, menambah terisolasinya para orang lanjut usia. Menurut teori aktivitas maka haruslah diketemukan bentuk-bentuk baru untuk memberikan kompensasi terhadap hilangnya partisipasi aktif tadi, misalnya dengan menstimulasi kontak sosial baru serta menciptakan berbagai aktivitas baru.
Menurut observasi dan pengalaman hidup puluhan tahun dalam masyarakat Indonesia, Rahayu Haditono berpendapat bahwa para lanjut usia di Indonesia masih banyak ikut berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Meskipun secara fisik tidak lagi dapat menyumbangkan. prestasi seperti waktu-waktu sebelumnya sehingga harus mengurangi peran yang membutuhkan kekuatan jasmani, namun partisipasi mental, paling tidak dalam hubungan keluarga masih tetap ada. Kedudukan orang lanjut usia merupakan kedudukan yang terhormat. nasehat-nasehat dan doa restu diminta dari mereka dan kepercayaan masih tebal bahwa berbuat tidak sopan terhadap mereka akan memberikan kutuknya. Dengan pandangan yang demikian itu seakan-akan kedudukan orang lanjut usia terjamin dalam kehidupan bersama. Juga pandangan bahwa seorang anak wajib merawat orang tuanya, bila orang tuanya mau atau bila ia sudah jompo, merupakan jaminan bagi para lanjut usia. Baru bila orang lanjut usia dari keluarganya (anak cucunya) ada dalam keadaan ekonomi yang sangat lemah. orang lanjut usia tadi bisa terlantar dan dapat ditampung dalam perumahan orang lanjut usia. Menurut pengertian Rahayu Haditori tidak banyak orang lanjut usia yang ekonominya cukup kuat atau anak cucunya ekonominya cukup kuat dan bertanggung jawab akar ditelantarkan. Jadi kalau dihubungkan dengan teori aktivitas maka para orang lanjut usia di Indonesia masih banyak kemungkinan untuk ikut aktif dalam lapangan pendidikan anak cucunya atau ikut aktif menjadi ‘sesepuh’ (orang tua yang dihormati) di lingkungannya.
Dalam penelitian Rahayu Haditono tahun 1988 terbukti bahwa orang lanjut usia masih mempunyai berbagai kebutuhan yang ingin dipenuhi, yaitu kebutuhan untuk aktivitas, kebutuhan mempertahankan kemandiriannya kebutuhan untuk hubungan sosial, kebutuhan untuk perhatian, bahkan masih ada kebutuhan untuk seks. Dalam meninjau berbagai kebutuhan itu ada diketemukan perbedaan antara orang lanjut usia yang hidup di panti dan lanjut usia yang hidup dalam rumah sendiri. Perbedaan yang jelas adalah mengenai kebutuhan untuk mandiri dan kebutuhan untuk aktivitas yang jauh lebih. tinggi pada para lanjut usia yang berumah di rumah sendiri. Gambaran yang sebaliknya ada pada kebutuhan seks yang lebih menonjol pada para lanjut usia yang ada di Panti dari pada yang hidup di rumah sendiri. Hal ini mungkin disebabkan oleh kultur yang berbeda karena asal mula yang berbeda. Para lanjut usia yang hidup di Panti berasal dari orang-orang terlantar sedangkan mereka yang hidup dalam rumah sendiri adalah para pensiunan yang tergolong kelas sosial menengah dengan nilai-nilai hidup yang lain daripada mereka yang mempunyai riwayat hidup yang lain (di sini ter1antar.
Dalam penelitian Haditono yang lain pada tahun 1991 mengenai preferensi tempat tinggal dan perlakuan yang diharapkan pada usia lanjut diperoleh gambaran yang lain. Di sini para responden berasal dari kelas menengah ke atas. Pada penelitian yang paling akhir tersebut diperoleh hasil bahwa hampir separuh dari responden menginginkan tempat tinggal yang “merdeka”; mereka menginginkan. rumah sendiri atau hidup dalam settlement dengan fasilitas yang cukup memadai untuk hidup yang nyaman. Mereka bersedia membayar untuk bisa memperoleh tempat settlement tersebut. Settlement tersebut merupakan alternatif tempat tinggal di samping tempat tinggal bersama anak. Dengan memperhatikan hasil tadi dapat ditarik kesimpulan bahwa sekarang di antara para lanjut usia sudah ada unsur psikologis yang lain, yaitu keinginan untuk mandiri selama mungkin. Dalam hal ini perlu dimengerti bahwa hidup di settlement itu atas kehendak para lanjut usia sendiri, sedangkan anak-anak mereka tetap berharap agar orang tua mereka mau hidup bersama mereka karena anak merasa itu sebagai kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Penelitian empiris menunjukkan bahwa teori aktivitas meskipun, banyak penyesuaiannya dengan kenyataan, namun tidak dapat memberikan penjelasan sepenuhnya akan proses menjadi tua yang bahagia. Dan laporan penelitian internasional (Havighurst dkk. 1969) diketemukan bahwa baik teori disengaement maupun teori aktivitas tidak benar dalam artinya yang ketat.
Dalam proses menjadi tua dan pada orang lanjut usia timbullah pola-pola hidup yang bermacam-macam yang tidak hanya tergantung pada lingkungannya, melainkan juga tergantung pada orangnya sendiri. Juga di sini akan nampak jelas lagi bahwa ada interaksi antara individu dan lingkungannya. Selanjutnya diketemukan pula bahwa kelompok usia tidak dapat interpretasi sebagai kesatuan yang uniform. Lehr (1980, h. 120) menyimpulkan dari tinjauan bacaan mengenai hal tersebut dengan mengatakan: Tetapi satu hal tampak jelas, perbedaan inter-individual dalam satu kelompok usia adalah lebih besar dari pada perbedaan di antara ke1cnpok-kelompok usia. Situasi hidup keseluruhan unsur-unsur biografis dan sosial nampaknya juga lebih memegang peranan bagi sifat-sifat kepribadian, dibanding dengan pengaruh usia. Menganggap bahwa umur adalah satu-satunya yang dapat memberikan pengaruhnya terhadap suatu pola tingkah laku tertentu, merupakan dugaan yang telah dibantah oleh data tahun-tahun terakhir.
Suatu penelitian yang dilakukan Olbrich dan Lehr (1976 menjelaskan bahwa baik teori disengagemenet maupun teori aktivitas tidak dapat memberikan keterangan yang mencakup. Pada sampel 144 orang lanjut usia dalam 3 onn Longitudinal Study of Aging (BLSA) selama lima tahun diteliti beberapa peran sosial yang penting, perubahan apa yang ada dan kepuasan apa yang ada dalam tingkat aktivitas. Ternyata bahwa lebih banyak orang lanjut usia yang dengan bertambahnya aktivitas pada 7 peran sosial bertambah pula kepuasan batinnya. dibanding dengan suatu kelompok yang merasakan senang dengan berkurangnya aktivitas. Ketujuh peran sosial ini berhubungan dengan keluarga, teman, kenalan, tetangga, anggota klub, istri dan warga negara. Kedua kelompok tidak berbeda dalam hal peran sebagai orang tua dan kakek. Hasil penelitian ini sedikitnya tidak membenarkan teori disengagement. Seperti halnya ada gaya hidup yang berbeda-beda, begitu juga ada cara yang berbeda-beda untuk mengalami hari tua yang bahagia; yang satu ingin tetap aktif, yang lain justru ingin istirahat dan tidak mau diganggu oleh aktivitas sosial yang bermacam-macam.

7.6 Inteligensi dan pendapat mengenai defisit
Dalam lingkup psikologi yang paling banyak dipertengkarkan dan paling banyak diteliti adalah inteligensi. Dengan intelegensi dimaksudkan di sini sesuai dengan pendapat Wechsler: “inteligensi adalah kecakapan individu yang global dan tersusun untuk dapat bertindak terarah, berpikir yang bermakna dan bergaul dengan lingkungannya secara efisien (1953, h. 13). Dengan global dimaksudkan di sini bahwa tingkah laku inteligensi tidak hanya berhubungan dengan aspek-aspek bagian saja, melainkan dengan individu sebagai keseluruhan. Dengan tersusun dimaksudkan bahwa di dalam tindakan inteligensi terdapat faktor-faktor yang spesifik. Selanjutnya penting untuk dikemukakan bahwa rnakin tambah usia seseorang, yaitu mulai umur 14 dan 15 tahun, makin nampak faktor-faktornya yang spesifik dan kecakapan-kecakapan yang spesifik.
Menurut Wechsler maka puncak prestasi inteligensi ada di sekitar umur 20 tahun dan sesudahnya akan ada penurunan. Kemudian Wechsler merevisi pendapatnya mi dan menganggap. puncaknya pada sekitar usia 25 tahun. Juga penurunannya agak kurang dramatis dari pada konsepnya yang semula. Schaie menetapkan puncaknya pada usia 30 tahun, sedangkan Bilash dan Zubek (1960) dapat menunjukkan bahwa pada sementara orang puncaknya dicapai pada usia 20 tahun dan pada orang lain pada 40 tahun. Jua penelitian di Belanda yang dilakukan oleh Verhage (1964) mencoba untuk menunjukkan bahwa mulai 20táhun ada garis penurunan mengenai prestasi inteligensi.
Schaie (1970) menyelidiki apakah hal itu betul dan bilamana begitu, berlaku lapangan yang mana. Di sini ia membedakan antara inteligensi yang menga1ir (fluid intelligence) dan inteligensi yang dikristalisasi (cristalized intelligence). Pembedaan ini dibuat oleh Horm dan Cattell (1967) untuk menunjukkan adanya jalan perkembangan yang berbeda dalam prestasi-prestasi intelektual. Dengan inteligensi yang mengalir dimaksudkan kecakapan untuk dapat berubah dengan luwes. lincah, mudah mengkombinasi dan mudah dapat mengadakan orientasi dalam situasi baru. Inteligensi yang dikristalisasi adalah inteligensi yang berhubungan dengan pengetahuan umum, dengan kekayaan bahasa dan pengertian bahasa. Inteligensi yang mengalir akan menunjukkan penurunan sesudah mencapai puncak kedewasaan muda sedangkan inteligensi yang dikristalisasi masih lama dapat mempertahankan diti bahkan dapat diperbaiki. Dari penelitian kros-seksional terlihat bahwa prestasi inteligensi secara keseluruhan akan menurun yaitu sekitar umur 30 tahun (Schaie, 1970, h. 501), tetapi bila dilihat kedua macam inteligensi tadi, maks inteligensi yang mengalir memang menurun mulai usia 30 tahun tetapi inteligensi yang dikristalisasi relatif akan tetap stabil.
Dari artikel Riegel (1959; lihat Lehr, h. 54) nampak bahwa ciri-ciri intelektual mengalami berbagai penggeseran dan reorganisasi yang tidak teratur selama proses hidup. Hal itu berarti bahwa berbagai kecakapan inteligensi atau berbagai bidang inteligensi akan mencapai puncaknya pada waktu yang berlain-lainan dalam hidup dan juga menunjukkan suatu pola perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini merupakan unsur yang pokok yang ditunjukkan Ch. Buhler dalam bukunya “perjalanan hidup manusia sebagai problema psikologis. Puncak prestasi pare olahragawan ada pada usia yang berbeda dari pada para ahli filsafat atau ahli ilmu alam.
Bila tidak hanya usia yang dijadikan satu-satunya faktor yang mempengaruhi, seperti yang dilakukan oleh Verhange, melainkan juga kepandatan dasar, pengalaman pendidikan, latihan dalam kerja, lingkungan yang mendorong, kesehatan, situasi biografis total serta motivasi diikutsertakan, maka nampaklah dalam kelompok usia yang same adanya perbedaan yang menyolok. Verhange bahkan sampai mengatakan bahwa tingkat inteligensi sesudah 65 tahun ada di bawah anak umur 12 tahun (Munnichs, 1i7, h. 11).
Bila usia tidak dijadikan faktor yang menentukan, maka sesuai dengan Rudinger (1971) dapat ditentukan bahwa persentase variansi total yang dapat diterangkan dan pengalaman pendidikan adalah sangat tinggi. Mengapa prestasi total ada 19%, prestasi verbal sekitar 21% dan non-verbal sekitar 13-14%. Dalam hubungan ini Rudinger mengatakan: “Bila berbagai sub-tes diperhatikan. akan nampak jelas bahwa semuanya itu dalam batas tertentu dipengaruhi oleh pengalaman pendidikan. Hal ini terutama berlaku bag pengetahuan umum. Relatif tidak dipengaruhi menurut saya adalah bagian membentuk figur” Rudinger tidak hanya mengambil umur sebagai faktor yang menerangkan variansinya melainkan juga kesehatan, pengalaman. pendidikan. pekerjaan dan jenis kelamin. Atas dasar analisisnya mengenai faktor yang mana dan sejauh apa faktor tadi mempengaruhi variansi dalam hasil tes inteligensi, ia menarik kesimpulan bahwa tingkah laku dan prestasi tidak bisa dianggap sebagai fungsi usia. Ia mengemukakan: “usia paling banyak hanya ……………………………………………… mudah dikenal dan mudah diukur. Kejadian-kejadian yang akhirnya menyebabkan perubahan tingkah laku yang penting, tidak dapat diterangkan dari faktor umur saja. Tetapi juga mungkin bahwa berbagi kejadian yang “tersembunyi” di belakang pernyataan 40, 50 atau 60 tahun, adalah pencerminan sejarah hidup seseorang yang spesifik. Lehr sampai pada kesimpulan sebagai berikut: “Jumlah tahun yang telah dilalui seseorang, bukan merupakan satu-satunya faktor, bahkan bukan merupakan faktor yang paling penting; pengalaman pendidikan pekerjaan, jadi kesempatan untuk mendapatkan latihan, dan juga kesehatan, adalah faktor-faktor yang jauh lebih penting: (1980, .75)

7.7 Hal-hal yang dapat menimbulkan konflik
Bila bicara mengenai jurang antar generasi, akan segera nampak bahwa jurang yang dimaksudkan tadi adalah jurang generasi tua dan generasi muda. Dapat juga dikatakan bahwa hubungan antara kaum muda umur 12-18 tahun dengan orang sedemikian rupa hingga dapat dikatakan adanya jurang antar generasi. Tetapi betulkah hal itu? (Monk/Heusinkveld. 1973. Paling tidak dalam buku-buku psikologi perkembangan lebih-lebih dalam buku-buku yang bersifat sosiologis, diunjukkan bahwa masa remaja ditandai oleh tingkah laku yang tidak stabil dan adanya konflik-konflik yang banyak. masalah mengenai gejala-gejala yang bersangkutan dengan generasi yang telah dianggap umum itu dibicarakan lebih luas dalam publikasi-publikasi yang lain (Hill & Monks. 1977; MOnks. 1981).
Mitos sekitar jurang generasi ini lama bertahan seperti halnya pernyataan bahwa usia antar ± 2 dan 3 tahun ditandai oleh sifat kepala batu pada anak. Sudah barang tentu ada sifat-sifat kepala batu pada anak pada masa itu, tetapi apakah hanya pada waktu itu saja? Seperti halnya juga pada masa remaja, tentu ada konflik-konflik pada masa itu, tetapi apakah hanya pada waktu-waktu itu saja?
Ursula Lehr (1980) mempelajari pernyataan ini dan dalam bukunya “Psychologie van de Ouderdom telah mempelajari kemungkinan konflik yang bisa timbul pada berbagai kelompok usia dewasa. Dia membedakan situasi yang dapat memberikan konflik sebagai berikut:
1. Konflik dengan orang tua sendiri: situasi akibat hidup bersama-sama dengan orang tua, pengharapan orang tua atau kewajiban terhadap mereka yang sukar dikombinasi dengan kepentingan sendiri.
2. Konflik dengan anak-anak sendiri: misalnya pada waktu mengetahui tingkah laku anak yang tercekam yang mengakibatkan reaksi yang hebat dari pihak orang tua hingga anak lari dari rumah orang tuanya. Dari data biografis diketemukan bahwa konflik semacam itu mempunyai akibat pada berbagai hubungan yang lain, hubungan dengan orang tua, dengan sanak keluarga dan terutama dengan teman hidup sendiri.
3. Konflik dengan sanak ke1uarga: dalam masa kanak-kanak dan masa remaja dapat timbul konflik terutama dengan kakek, nenek, paman atau bibi yang ikut dalam pendidikan anak. Pada masa-masa kemudian sering timbul konflik dengan mertua, atau keluarga suami atau istri yang dipandang terlalu ikut campur, atau dengan saudara-saudara sendiri, misalnya pertentangan mengenal warisan.
4. Konflik dengan orang-orang lain (konflik sosial,): timbul dalam hubungan sosial dengan tetangga, teman sekerja dan orang-orang lain. Konflik dapat timbul karena perbedaan pendirian atau pendapat mengenai hal sesuatu.
5. Konflik pada pemilihan jodoh: kadang kala dengan mengorbankan hubungan persahabatan atau pertunangan.
6. Konflik dengan suami istri: kesukaran dalam perkawinan, pertengkaran-pertengkaran kecil mengenai persoalan sehari-hari atau perselisihan yang mendalam misalnya mengenal persoalan hidup atau tujuan hidup.
7. Konflik di sekolah: tidak dapat mengikuti pelajaran, tidak lulus, persoalan hubungan guru-murid, persoalan kedudukan di antara teman-teman sebaya dalam kelas.
8. Konflik pada pemilihan pekerjaan: konflik yang timbul dari sifat pekerjaan sendiri, misalnya membosankan atau terlalu berat, atau konflik yang berhubungan dengan waktu kerja, aspirasi kerja masalah keuangan, masalah hubungan dengan atasan atau teman-teman sekerja.
9. Konflik pekerjaan: ketidakcocokkan dengan sifat pekerjaan, misalnya dalam pekerjaan yang membosankan dan terlalu berat. Konflik dengan perusahaannya sehubungan dengan waktu kerja, aspirasi pekerjaan, problema upah atau hubungan komunikasi dengan atasan atau teman sekerja.
10. Konflik politik: konflik yang timbul sehubungan dengan latar belakang sejarah hidup yang menimbulkan pengalaman yang berbeda.
11. Konflik agama: berhubungan dengan pertanyaan mengenai hidup, aturan-aturan yang dapat bertentangan dengan agama, pindah agama, kawin dengan orang lain agama.
12. Konflik pribadi: timbul misalnya karena minat yang berlawanan, tidak ada keuletan, atau tidak ada kemampuan untuk meneruskan, untuk mengembangkan diri dan meluaskan kesempatan untuk hidup. (Lehr, h. 127-128).

Dalam tabe1-tabel yang berikut (Tabel 10, Tabel 11 dan Tabel 12) diberikan gambaran mengenai: kemungkinan konflik dengan persentase frekuensi di antara laki-laki dan wanita (lihat Lehr, h. 129-130).
Tabel 10. Pembacaan dalam persentase mengenai hal-hal yang dapat menimbulkan konflik.
Laki-laki dan wanita Laki-laki Wanita
1. Orang tua
2. Pekerjaan
3. Suami/Isteri
4. Diri sendiri
5. Anak-anak sendiri
6. Kontrak sosial
7. Keluarga
8. Pendidikan
9. Politik
10. Pemilihan Pekerjaan
11. Agama
12. Pemilihan jodoh
13. Konflik-konflik lain 15,54%
14,0
13,4
9,4
7,3

6,8
6,0
6,0
4,9

4,2
3,7
3,5

5,3 Pekerjaan
Orang tua
Suami/Isteri
Diri sendiri
Politik
Kontrak sosial
Pendidikan
Keluarga
Anak-anak sendiri
Pemilihan pekerjaan
Pemilihan jodoh
Agama

Konflik-konflik lain 21,8%
12,9
10,1
6,6
8,2
6,7
6,2
5,6

5,2

4,5
3,7
3,2

3,3 Orang tua
Suami/isteri
Diri sendiri
Anak-anak sendiri
Pekerjaan
Kontrak sosial
Keluarga
Pendidikan
Agama
Pemilihan
Pekerjaan
Pemilihan jodoh
Politik
Konflik-konflik lain 16,9%
16,3
10,3

8,5
7,6
7,1
6,3
5,9
4,2

4,1
3,4
2,3

7,0

Dan data di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa jurang antara generasi itu, jurang antaara anak muda dan orang tuanya, tidak ada. Di samping itu dapat nampak bahwa ada titik penekanan pada kemungkinan-kemungkinan konflik seperti pekerjaan, hubungan dengan orang tua sendiri, hubungan sosial dengan orang-orang lain dan suami atau istri, Hubungan dengan anak-anak sendiri, bahkan tidak perlu menonjol dalam hal konflik, Suatu jurang antar generasi yang dapat ditandai oleh konflik dalam badan tersebut tidak dapat ditemukan. Konflik ini terutama dijumpai pada para orang tua yang masih muda dengan orang tuanya sedih.
Langsung dengan umur melainkan lebih pada pengalaman yang lampau. Berbagai pengalaman yang dialami seseorang inilah yang lebih berpengaruh terhadap timbulnya problema atau bahkan konflik.
Tabel 11 Pembagian menurut persentase mengenai berbagai konflik pada kelompok usia laki-laki
Daerah konflik 25-29 30-39 40-49 50-65
Orang tua
Pekerjaan
Kontrak sosial lain
Suami/Istri
Diri sendiri
Keluarga
Pendidikan
Pemilihan jodoh
Agama
Pemeliharaan pekerjaan
Politik
Anak-anak sendiri
Konflik-konflik sosial 19,13
15,14
11,38
10,56
8,69
7,28
6,57
5,99
3,64
3,29
3,05
1,64
3,62 13,66
17,36
6,38
10,28
9,36
5,98
8,22
3,16
2,72
5,22
10,99
3,65
3,02 10,61
21,67
6,13
10,74
8,32
6,19
6,65
3,95
3,45
4,74
8,83
5,53
3,19 11,00*
29,70*
4,87*
9,92
8,02
4,59
3,76*
2,82*
3,21
3,98
7,30**
8,02*
2,81

* M’nurut perhitungan Burmeter maka perbedaannya dengan kelompok usia
25-29 tahun dan 30-39 tahun adalah sangat signifikan.
** Perbedaan dengan kelompok usia 25-29 tahun adalah sangat signifikan

7.8 Seksualitas pada usia tengah baya
Banyak dibicarakan dalam media masa mengenal apa yang disebut “midlife crisis”. Krisis ini mungkin merupakan suatu krisis yang normal yang terjadi antara kurang lebih usia 40 dan 50 tahun. Dalam waktu Ito dapat timbul kebosanan dalam hidup perkawinan; suami telah mencapai puncak kariernya, istri menghadapi. atau telah mengalami menopause. Pendidikan dan pengasuhan anak makin ku-.
Tabel 12 Pembagian menurut persentase mengenai berbagai konflik pada kelompok usia wanita rang memakan waktu, pendek kata teradilah banyak perubahan sang terutama me.ngakibatk3n perubahan yang mendalam pada motivasi seksual. Sering orang lalu mencari penyelesaian di luar dari pada di dalam perkawinan sendiri.

Daerah konflik 25-29 30-39 40-49 50-65
Orang tua
Diri sendiri
Suami/istri
Pendidikan
Kontrak sosial lain
Pekerjaan
Pemilihan pekerjaan
Pemilihan jodoh
Agama
Keluarga
Politik
Anak-anak sendiri
Konflik-konflik lain 20,63
12,19
19,25
9,19
8,69
6,43
5,76
4,96
4,96
3,95
2,81
2,55
7,35 15,71
11,26
17,38
5,50
7,83
7,96
4,18
3,39
3,96
6,82
2,16
5,46
8,39 16,39
9,47
16,71
6,44
6,68
8,67
3,34
3,58
4,14
6,68
2,47
8,83
6,60 16,10**
8,49*
18,39
3,74*
5,37*
7,26
3,21*
2,33
4,09
7,00
2,16
15,56*
6,31

* Menurut perhitungan Burmelster maka perbedaannya dengan kelompok
usia 25-29 tahun dan 30-39 tahun adalah sangat signifikan.
**Perbedaan dengan kelompok usia 25—29 tahun adalah sangat signifikan.
Pertanyaan yang timbul sekarang yaitu apakah gejala ini merupakan suatu gejala yang umum dan apabila hal ini merupakan suatu hal yang harus ada dalam .proses perkembangan. Di samping itu apakah hal ini juga banyak ditentukan oleh sejarah dan kebudayaan suatu bangsa. Apakah hal itu mesti ada tetapi belum tentu nampak
Yang penting dalam berbagai diskusi semacam itu ialah bahwa orang hams berhati-hati dalam mengadakan interpretasi gejala-gejala yang baru atau belum umum. Justru dalam bidang seksualitas dan hubungan-hubungan seksual maka anggapan-anggapan dan pendapat-pendapat, kenyataan dan dugaan sering begitu disalahgambarkan hingga hampir tidak mungkin untuk memperoleh gambaran yang sungguh-sungguh mengenai berbagai ragam motivasi seksual serta tingkah laku seksual pada orang-orang dewasa dan orang-orang Ian jut usia.
Sampai sekarang pengetahuan mengenai seksualitas dan penghayatan seksualitas pada orang dewasa dan lanjut usia terutama diperoleh dari data yang diberikan Kinsey, Masters dan Johnson. Sekarang makin banyak data empiris yang datang dan negara-negara Eropa. Masih merupakan pertanian apakah data mengenal hat tersebut juga akan bisa diperoleh dan Indonesia. Baru-baru saja datang penelitian empiris-statistis berasal dan Frenken (1976). Ia mengadakan wawancara terhadap 600 pasang suami/istri dalam usia antara 16-54 tahun mengenai seksualitas dalam perkawinan mereka. Para suami istri yang diteliti tadi berasal dari kelas sosial ekonomi menengah dan mencakup kurang lebih sebanyak 936.000 pasang suami istri dart jumlah 3,28 juta suami/istri di Belanda (Frenken, h. 215). Dalam penelitiannya Frenken tidak menggunakan model sekuensi menurun yang dipakai oleh Masters dan Johnnson. Model sekuens menurun mi mengemukakan bahwa tingkah laku seksual secara fisiologis dan psikologis mencakup 4 stadium sekuensi yang menurun: (1) fase kegairahan, (2) fase plateau, (3) fase organisme dan (4) fase penyelesaian atau penyembuhan (lihat Frenken, h. 174). Model mi banyak mendapatkan kritik dan penulis-penulis seperti Beach, Kaplan, Everaerd dan Schacht (Frenken, h. 175) mengajukan model dua komponen yang dianggap dapat menggambarkan kualitas pengetahuan atau psikologis lebih baik. Frehken menyetujui model yang terakhir ini. Dua komponennya adalah komponen kegairahan don komponen organisme atau interaksi seksual don penghayatan, yang penting di sini adalah perasaan dengan pada pasangannya dan yang ditujukan pada penghayatan din sendiri. Dianggap bahwa pada permulaan interaksi seksual maka keterlibatan perasaan, dengan pasangan lebih besar, tetapi dengan bertambahnya kegairahan perasaan mi berkurang, perhatian terhadap penghayatan sendiri bertambah (Frenken, h. 176).
Bertitik tolak dart dua komponen pokok dalam hubungan seksual antara laki-laki dan wanita tersebut, Frenken menemukan bahwa kurang lebih seperempat dari jumlah laki-laki dan kunang lebih 40% dari jumlah wanita yang diteliti menganggap. “seksualitas dalam perkawinan sebagai problem, dengan manifestasi kebencian terhadap interaksi seksual dan timbulnya masalah-masalah kegairahan dan atau masalah-masalah mengenai organisme” (h. 191-192).
Masters dan Johnson juga membuat perkiraan adanya kurang lebih 50% problema-problema seksual dalam perkawinan, perkiraan ini dapat dibuktikan oleh data empiris yang diambil dart sampel yang representatif.
Masalah-masalah yang dikemukakan Frenken itu adalah antara lain kurangnya kepuasan coitus; penyesalan sesudah hubungan seks, penolakan terhadap beberapa tindakan dalam melakukan hubungan seks, ketegangan waktu melakukan coitus dan kebencian terhadap seks pada umumnya. Pada para wanita ada 9% (kurang lebih 84.000 orang) yang mempunyai kebencian yang mendalam terhadap Interaksi seksual, dan seksualitas dalam perkawinan dialaminya sebagai sangat negatif. Masalah-masalah mengenal organisme dialami oleh 38% dari para wanita dan 12% dan para laki-laki (kurang lebih 355.000 wanita dan kurang lebih 112.000 laki-laki).
Menurut Frenken problematik dalam seksualitas tersebut sebagian merupakan akibat dari pada liberatisasi seksual artinya hapusnya moral mengenal pembatasan dan pengendalian seks. Hapusnya moral ini bagi kebanyakan orang yang diteliti Frenken merupakan suatu problema. Dalam hubungan ini 7% dart jumlah laki-laki dan 25% dart jumlah wanita coba menerima moral seks yang ketat (moral pengendalian) dalam bentuknya yang ekstrim. Jumlah yang lebih besar (52% dan 45%) mengambil sikap ambivalen dalam hal menerima atau menolak moral tadi. Penolakan moral seks yang ketat dan penerimaan moral prestasi dan konsumsi yang liberal menimbulkan masalah-masalah baru. Yaitu moral yang liberal ini menimbulkan pengharapan yang berlebih-lebihan yang dikenakan pada dirinya sendiri dan pasangannya dan menyebabkan ketidakmampuan untuk mengadakan peleburan antara seks dan afeksi. Dengan begitu maka liberalisasi seks menciptakan problema baru (‘n. 213).
Kenyataan yang dikemukakan Frenken di atas menunjukkan situasi yang mengkhawatirkan, namun belum menerangkan sama sekali mengenal perubahan yang terjadi dalam hubungan seksual antara laki-laki dan wanita, sedangkan justru hubungan inilah yang sangat penting bagi kebahagiaan hidup dalam perkawinan.
Bukan hanya seksualitas masa dewasa saja, lebih-lebih seksualitas pada masa tua belum lama dikenal dalam psikologi yang empiris. Banyak yang menganggap bahwa orang yang sudah tua tidak mempunyai kebutuhan seksual lagi dan juga tidak dapat mempunyai interaksi seksual lagi; bahwa dengan datangnya menopause telah s2lesal kehidupan seksualnya dan bahwa dengan turunnya vitalitas juga akan menurun vitalitas seksualnya.
Baru-baru ini dapat diketahui dari suatu penelitian terhadap para mahasiswa dan para perawat orang lanjut usia, bahwa aktivitas seksual dan interaksi seksual, terutama oleh para perawat, dianggap tidak ada (La Torr & Kear, 1977). Bila orang-orang yang sehari-harinya bergaul dengan orang-orang lanjut usia sama sekali tidak mempunyai pengertian akan kebutuhan seksual mereka, maka hal ml akan dapat menyebabkan banyak konflik dan banyak frustasi. Kebanyakan orang tidak mngerti akan seksualitas pada orang lanjut usia. Hal ini terbukti dan penelitian Golde & Kogan (1959). Mereka memberikan tugas pada para mahasiswa untuk melengkapi dua buah kalimat yang belum selesai menurut pandangan mereka sendiri: “Seksualitas bagi kebanyakan orang lanjut usia ... dan “Seksualitas bagi kebanyakan orang Ternyata bahwa 92,9% dan para mahasiswa menjawab bahwa seksualitas tidak penting bagi. orang lanjut usia dan 4,9% tidak penting bagi kebanyakan orang.
Dalam publikasi yang baru mengenai “Siapa yang terlalu tua untuk seksualitas” Nijs (1977) menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita dalam kondisi fisik dan emosional yang balk akan masih mampu untuk melakukan aktivitas seksual sampai usia yang tinggi. Memang terjadi penurunan dalam intensitas, reaksi dan lamanya waktu. Menurut Nijs maka aktivitas seksual yang ajeg merupakan persyaratan untuk mempertahankan aktivitas seksual yang memuaskan. maka tidak benar untuk berpendapat, sesuai dengan apa yang disebut teori penghabisan tenaga, bahwa “satu tetes benih berharga sama dengan 50 tetes darah” (h. 35).
Menopause pada wanita tidak perlu mempengaruhi kepuasan kontak seksual, meskipun ada perubahan-perubahan b1o1ogls-fisiolois seperti misalnya dinding vagina menjadi tipis atau karena berkurangnya produksi! hormon wanita maka organ kelamin ekstern mengecil yang dapat rnenyebabkan rasa sakit pada waktu coitus. Gaya seksual harus disesuaikan dengan keadaan ini seperti halnya juga wanita arus menyesuaikan diri dengan peranannya yang lain yang sebelumnya hanya mempunyai arti kecil atau tidak mempunyai arti apa-apa baginya (Municns, 1971).
Relasi yang intim yang terkandung dalam aktivitas seksual akan tetap ada sepanjang hidup, berdasarkan suatu pola relasi yang efektif. Bila seks dan afeksi dipisahkan, maka relasinya menjadi problematis. Prestasi dan konsumsi tidak dapat mengganti afeksi pada relasi seksual.

7.9 Pendekatan tematis : permulaan psikogerontologi yang differnsial
Seperti yang sudah dikemukakan berulang kali, maka umur kalender bukan merupakan satu-satunya yang memberikan pengaruh V pada perubahan tingkah laku. Umur kalender lebih tepat dipandang sebagai suatu kemungkinan untuk menempatkan kejadian-kejadian dalam suatu lingkup waktu tertentu. Waktu sendiri tidak menpunyai pengaruh apa-apa, hanya merupakan petunjuk mengenal kejadian-kejadian tertentu. Kejadian-kejadian ini kebanyakan mempunyai hubungan yang relatif dengan umur. .Misalnya sedikit banyak dapat ditentukan kapan seseorang mulai bekerja, kapan ia kawin, mungkin dengan penyebaran waktu 10 tahun atau lebih. Juga kira-kira dapat ditentukan kapan orang akan pensiun. Kejadian-kejadian dalam sejarah Yang menyangkut seluruh bangsa tertentu memang tidak dapat ditentukan, seperti mencapai kemerdekaan kebangkitan suatu bangsa, atau perang. Di samaping itu setiap masih mengalami kejadian- kejadian yang sangat berpengaruh seperti kematian orang tua, kematian anak. Kehilangan rumah karena kebakaran, karena perang, dan sebagainya.
Semua kejadian ini pada tingkatan makro dan mikro akan memberikan pengaruh terhadap sejarah hidup seseorang. Di sini masih perlu diperhatikan sifat-sifat pribadi seseorang.sikap pribadi,nilai- nilai hidup pribadi yang dianggap penting yang memberikan arah dalam merealisasi perspektif hidupnya.
Umur hanya merupakan suatu indeks bukan suatu faktor penyebab. Suatu titik tolak yang lebih baik adalah mungkin tinjauan dari medan tematis atau medan pengalaman seperti yang dilakukan oleh Thomae. Medan tematis dalam kenyataannya mencerminkan motif- motif seseorang. Menurut Hermans ( 1974 ), maka berbagai medan tematis tersebut merupakan nilai-nilai hidup yang menentukan tindakan dan tingkah laku seseorang.Thomae mengemukakan 6 pengalaman yang sudah barang tentu belum mencakup semuanya, namun dapat menggambarkan tema- tema mana yang penting, yang dapat menjadi problematik dan juga dapat tumbuh menjadi konflik. Medan tematis ini adalah :
1. Tematik dalam mempertahankan pekerjaan.
Hal ini terutama sangat penting bagi orang laki-laki diantara umur 30 dan 40 tahun, tetapi bagi banyak macam golongan sudah sebelum umur itu. Apa yang harus dilakukan untuk dapat bekerja dengan baik dan dapat mempertahankan kedudukan. Hal ini makin lama akan dialami juga oleh para wanita karena wanita makin lama akan dialami juga oleh para wanita karena wanita makin berusaha mencapai kebebasan dan tanggung jawab sendiri.
Catatan : Di Indonesia hal tersebut kebanyakan sudah dialami baik oleh laki-laki maupn wanita, memngingat kedudukan wanita dalam masyarakat sama dengan laki- laki

2. Tematik dalam membangun dan mempertahankan kebhagiaan kelurga.
Membangun keluarga secara harmonis dalam tahun- tahun pertama perkawinan khususnya merupakan suatu tugas isteri. Suami masih terlalu sibuk dengan karirnya hingga mau tidak mao harus mengurangi perhatian terhadapa kelurganya. Dari penelitian Lehr terhadap para wanita umur 20 dan 30 tahun terbukti bahwa justru pada kelompok tersebut banyak terjadi konflik mengenai situasi kelurga. Sudah barang tentu harmoni dalam arti keserasian kelurga harus diusahakan baik oleh suami maupun oleh isteri.

3. Tematik dalam konfrontasi dengan ketidaksempurnaan hidup.
Pada kebanyakan orang maka antara 30 dan 40 tahun tumbuh pengertian bahwa kehidupan itu tidak mesti sempurna. Pada waktu itu orang lebih bersedia untuk bersikap lebih relatif terhadap beberapa permasalahan tertentu. Orang tidak lagi bersikap absolut ( ya atau tidak). Hitam atau putih yang merupakan ciri khas bagi orang muda. Sikap menjadi lebih relatif ini dapat berakhir pada kepedihan dengan perasaan :”tidak dapat diapa-apakan lagi, saya harus menyerah”. Dapat juga menjadi “akan saya usahakan saja, apapun jadi nya “. Perkembangan pengertian akan kemutlakan membatasi keinginan-keinginan. Berlangsung sedikit demi sedikit dan hampir secara tidak sadar merusak menjadi sikap hidup seseorang.

4. Tematik dalam konfrontasi dengan sifat menonton dalam jalan hidup sendiri.
Banyak orang dalam berbagai macam tingkat pekerjaan makin menyadari bahwa mulai kurang lebih umur 30 tahun hampir tidak ada kemungkainan lagi untuk mengadakan perubahan yang berarti dalam situasi pekerjaan. Hal ini makin menjadi problema sesudah mencapai umur 40 tahun. Tambah lagi pada masa itu orang sudah berkeluarga, suadah menetap dan mempunyai keluaraga, suda menetap dan mempunyai rumah. Akibatnya maka hampir tidak ada kemungkinan lagi untuk dapat memiliki mobilitas seperti waktu-waktu sebelumnya. Juga disini orang dapat menyerah atau menganggap kebosanan tadi sebgai suatu tantangan dan berusaha aktif didalam pekerjaan dan dalam keluarga dan mungkin ditempat lain. Disini dapat terjadi suatu perubahan sikap hidup yang oleh Ch.Buhler disebut “Dominanzwechsel “.

5. Tematik dalam pengambilan distansi.
Dalam hal ini hanya tumbuh perasaan terhadap relativitas, melainkan juga kesadaran bahwa pada suatu waktu orang tidak dapat mencapai segalanya, bahwa orang harus meninggalkan keinginan yang banyak, bahwa orang akhirnya harus menyerah. Orang sekarang mempunyai kemampuan untuk meninggalkan beberapa hal dan melakukan beberapa hal yang lain. sikap melepaskan ini mengakibatkan tematik berikutnya.

6. Tematik mengenai ketidaklanggengan hidup.
Orang makin lama makin mengerti, dengan perasaan menerima atau tidak, bahwa hidup ini tidak langgeng , melainkan ada akhirnya.tidak semua orang akan dapat menerima kenyataan ini secara positif dan tenang.( lihat Munnichs,1964).
Berbagai medan tematik atau nilai hidup ini yaang sebagian besar menentukan tingkah laku seseorang, adalaah jauh lebih penting bagi hidup seseorang , bagi perkembangannya , dari pada umumnya saja. Dari itulah akan sangat berarti bagi psikologi sepanjang hidup untuk memperhatikan peran- peran apa yang harus dilkaukan seseorang dan bagaimana caranya orang tadi merealisasikannya, atau menolaknya atau mengolahnya dalam diri sendiri.
Dalam sudi yang baru berdasarkan data longitudional, maka Thomae (1976 ) telah mengupas lebih lanjut berbagai situasi dasar tersebut diatas. Menjadi Tua adalah menurut Thomae suatu interaksi Yang progresif antara individu dan dunianya. Hasilnya yang berujud konsistensi dan perubahan fungsi psikologis munjukkan, bahwa bentuk atau pola menjadi tua ( patterns of aging ) harus dimengerti dari proses yang bersifat biologis, sosial, dan persepsual motovasional ( lihat h.160 / 161 ). Selanjutnya dapat dilihat dari data longitudional tersebut bahwa proses menjadi tua itu harus dipandang sebagai suatu kerjasama antara sepuluh sub-sistem yang hasilnya akan berbeda- beda bagi setiap individu.
Kesepuluh subsistem individu adalah sebagai berikut :
 Konstelasi “nature nurture “( pemasakan belajar ) pada permulaan proses menjadi tua misalnya keturunan , sejarah pendidikan, kebiasaan aktivitas fisik dan mental , makanan, merokok, membina interes dan kontak sosial).
 Perbahan baru pada sistem biologis ( kesehatan, fungsi-fungsi sensorik, bhimorpose atau proses ketuaan yang primer , berkurangnya fungsi ingatan dan sebagainya).
 Perubahan baru pada sistem peranan sosial ( dipensiun , kehilangan suami dan isteri dan sanak keluarga, memperoleh teman- teman baru, peranan sosial yang baru ).
 Situasi sosio-ekonomis dan ekologis ( misalnya penghasilan , jaminan sosial, perumahan , kemungkinan angkutan dan pindah tempat,adanya pemeliharaan kesehatan daan usaha- uasaha preventif.)
 Konsistensi dan perubahan pada berbagai aspek fungsi kognitif.
 Konsisten dan perubahan pada ciri-ciri kepribadian seperti aktivitas ,perhatian, suasana hati, kreativitas, penyesuaian kontrol ego.
 Lingkup hidup individual ( life –space), seperti konsep diri, mengenai signifikan others , mengenai situasi sosio-ekonomis. Politis dan hidstoris orientasi umum dalam agama dan nilai-nilai. sikap
 Kepuasan hidup atau tingkat keseimbangan yang dicapai antara kebutuhan individual dan situasi hidup yang nyata.
 Kemampuan untuk memperoleh keseimbangan kembali dengan “Kontrofrontasi aktif “dan tidak menyerah, melalui tingkah laku mengarah prestasi, penyesuaian, dan penstrukturan kognitif kembali.
 “Kompetensi sosial “sebagai ukuran global bagi kecakapan individu untuk memenuhi tuntunan sosial dan biologis disamping juga mengharapkan dari masyarakat untuk memenihi kebutuhan dan kemungkinan individualnya ( bandingkan Thomae, h161 )
Dalam kenyataan Thomae mengajukan suatu konsep jaringan yang komleks. Didalam jaringan tersebut proses menjadi tua dapat memperoleh bentuk yang bermacam- macam dan dapat berkembang berbagai perubahan dalam sikap hidup seseorang. Hal ini membawa serta bahwa hampir tidak mungkin untuk mengadakan intervensi yang dapat membuat proses menjadi tua dapat lebih berhasil atau lebih bahagia. Dalam tulisan Thomae yang baru ( Thomae ,1985 ) dikemukakan hasil penelitian selama empat puluh luma tahun mengenai psikologis perkembangan seta psikogerontologi, artikel tersebut sekaligus mengemukakan teori Thomae tentang motivasi dan teori kepribadian. Sejak tahun 70an pengertian intervensi –gerontologi menjadi suatu istilah internasional dalam psikogerontologi. Dengan intervensi diarikan usaha- usaha supaya manusia dapat mencapai usia tinggi dengan memberikan kepuasan psiko-fisik. Juga dalam psikogorontelogi proses menjadi tua dulu dipandang sebagai akibat endogen dan biologis dan dengan begitu tidak dirubah kembali. Berhubung dengan itu maka juga sampai lama penelitian ditujukan terhadap analisis penggambaran dan kategorisasi gejala-gejala tingkah laku orang tengah baya dan orang- orangg tua. Titik tolak ini membuat para psikolog juga berpendapat bahwa proses psikis dalam orang menjadi tua tidak dapat dipengruhi lagi. Baru dengan adanya pengertian bahwa menjadi tua itu tidak hanya ditentukan oleh faktor medis-Biologis saja, melainkan juga oleh faktor-faktor sosial, ekonomi,sejarah ( sejarah hidup sendiri ) dan psikologis, timbullah perhatian yang lebih kuat untuk mengadakan penelitian mengenai usaha-usaha untuk mempengaruhi proses menjadi tua tersebut selanjutnya untuk menemukan usaha- uasaha untuk membimbing dan mempengaruhi itu (intervensi ) adalah masalah bagaimana dapatnya proses-proses ketuaan itu dihentikan dan atau dapat ditiadakan ( lihat Lehr,1979 )pikiran yang optimis mengenai intervensi –gerontologi ini ( Baltes, 1973; Labouvie,1973 ) harus dimengerti berdasarkan latar belakang pandangan tersebut.
Makin banyak data yang ada mengenai perkembangan pada masa dewasa dan masa tua, makinjelaslah nampak bhwa perkembngan itu harus didekati secara differensial. Dalam tahun 1954 Luchins ( 1954 ) sudah mengadakan himbauan untuk suatu pendekatan yang differensial bagi perkembangan pada masa remaja. Benar juga apa yang dipertanyakan Marcoen “apakah tidak sebaiknya seluruh psikologi perkembangan itu dipandang sebagai differensial ?”( Marchoen,1977 ,h.9 ). Dalam srruktur penduduk antara tahun 1950-2030 di Nederland nampak ada pergeseran jumlah usia 0-19 tahun menurun dari 37 % menjadi 20 % dan golongan usia 65-79 tahun bertambah dari 7 % menjadi 17 %.
Pada akhir pembicaraan mengenai manusia tengah baya ini perlu dikemukakan dalam hubungan dengan konsep emansipasi yang menjadi dasar buku ini, hal-hala sebagai berikut. Para orang lanjut usia biasanya dipandang sebagai titik produktif lagi. Dengan begitu mereka didorong dalam suatu kedudukan yang terasaing yang menyentuh harga diri mereka. Lihat tepat nampaknya untuk mengerti apa yang dapat dianggap sebagai pengisian hidup yang berarti bagi seseorang dalam setiap fase penghidupan, baik bagi dirinya maupun bagi kehidupan bersama. Dalam masyarakat secara industrial banyak produktivitas kerja manusia diambil oleh mesin-mesin. Tetapi bagi pekerjaan- pekerjaan tertentu masih dibutuhkan tenaga- tenaga manusia. Disitulah para orang lanjut usia dapat memberikan sumbangannya melalui tugas-tugas kreatif, kultural, tugas-tugas perawatan, sosial, dan rekreatif yang dapat membuat kehidupan bersama menjadi menyenangkan bagi mereka.
Psikologi perkembangan harus lebih menitikberatkan penelitian mengenai orang dewasa dan lanjut usia daripada waktu-waktu sebelumnya, dengan begitu dapat memberikan sumabngan terhadap usaha mencari kemungkinan yang dimilki seseorang pada masa-masa hidup ini.


7.9 Rangkuman
Perubahan psikis merupakan proses perubahan yang berlangsung sepanjang hidup. Psikogerontologi sebagai cabang psikologi perkembangan, mentikberatkan akan perkembangan orang dewasa dan orang lanjut usia. Meskipun studi mengenai proses menjadi tua telah dirintis atara tahun 1853-1918 oleh antara lain ilmuan Belgia Quitelet, namun permulaan yang betul-betul baru dimulai antara tahun 1918 dan 1940.
Menjadi tua pada umumnya dipandang sebagai proses penurunan total. Namun penelitian empiris dalam hal intelegensi dan prilaku sosial ( termasuk seksualitas ) menunjukkan bahwa pandangan seperti tersebut diatas kurang benar dan merupakan pandangan yang berdasarkan model medis saja. Thomae, tokoh Psikogerontologi di Eropa menandaskan bahwa proses menjadi tua dalam aspek medis dan psikologis bukan merupakan keadaan yang pararel dan juga bahwa “Alternspsychologie”baru bisa baik bila mendasrkan diri pada pendekatan yang tematis. Pada pendekatan tematis maka motivasi tingkah laku coping menjadi sentral. Motivasi dan tingkah laku coping berkembang selama hayat dan berkembang terus . Di Nederland ada penggeseran struktur diri pada jumlah penduduk yaitu jumlah penduduk usia 0-19 tahun menurun dari 37% menjadi 20 % sedangkan jumlah 65-79 tahun bertambah dari 7 % menjadi 17 %. Hal ini menunjukkan bahwa peranan psikogerontologi menjadi bertambah penting.







 Tugas dan Pertanyaan
1. Psikogerontologi bukan merupakan psikologi orang lanjut usia melainkan psikologi mengenal proses menjadi tua. Terangkan.
2. Psikologi perkembangan adalah psikologi sepanjang hidup. Namun dalam buku- buku psikologi perkembangan kira-kira 20 tahun yang lalu pembicaraan berarti pada masa adolesensi atau remaja . Jelaskan.
3. Dalam sejarah psikogerontologi dibedakan adanya 3 periode, jelaskan.
4. Dalam hubungan dengan proses menjadi tua ada dua teori yaitu teori aktivita dan teori pelepasan ( disenggament ). Diamna perbedaannya dan apakah salah satunya bisa menerangkan secara tepat untuk mencapai keadaan tua yang bahagia,
5. Menjadi tua dan keadaan tua biasanya dipandang sebagai proses mundur dalam segalanya. Apakah itu benar bila dilihat berdasarkan penelitian mengenai intelegensi ?
6. Ada pendapat yang kuat mengenai adanya jurang antara konflik antara anak muda dan rmengenai macam konflik antara usia 25 dan 65 tahun. Jelaskan hal ini.
7. Seksualitas pada orang dewasa dan lanjut usia diliputi oleh banyak praduga. Bagaimana pendapat Frenken ( 1976 )mengenai seksualitas ini antara usia 16 dan 54 tahun?
8. Thomae merupakan pelopor pendekatan tematis jalan hidup seseorang, terutama jalan hidup seseorang, terutama jalan hidup orang dewasa dan lanjut usia , apa yang dimaksud dalam hal ini. Jelaskan.
9. Apa yang dimaksud dengan intervansi gerontologi ?
10. Uraikan mengenai kegunaan psikogerontologi dalam hubungan dengan penggeseran sruktur masyarakat seperti dilukiskan diatas.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929