loading...

PERKEMBANGAN YANG TERGANGGU DAN PENYIMPANGAN DALAM PERKEMBANGAN ( DEVIANSI )

December 03, 2013
loading...
PERKEMBANGAN YANG TERGANGGU
DAN PENYIMPANGAN DALAM PERKEMBANGAN ( DEVIANSI )

8.1 Pengantar
Dalam pasal 1.1 maka perkembangan dilukiskan sebagai suatu proses yang dinamis dalam proses tersebut sifat-sifat khas seseorang dan sifat-sifat lingkungan akhirnya menentukan tingkah laku mana yang menjadi aktual dan manifest.
Bila dalam proses ini tidak ada dinamikanya, baik karena gangguan dalam sifat- sifat pribadi, maupn karena hambatan dalam interakasi antara keduanya, maka timbullah gangguan perkembangan. Sifat gangguan itu sebagian tergantung dari pada usia terjadinya gangguan tersebut. Seringkali gangguan tersebut sangat menyolok pada suatu aspek kepribadian tertentu. Dalam hal ini dapat dikatakan misalnya tentang gangguan yang terutama bersifat fisik dan psikomotorik, intelektual, sosial, moral, atau emosional ( Hewtt,1968 ).
Gangguan dalam fungsi fisik ( Monks, 1971,b Hendriks & Monks, 1981 ) dan Psikomotorik pada umumnya disebabkan oleh kerusakan-kerusakan otak atau organiss perifer, jadi kerusakan pada susunan pusat urat syaraf atau pada anggota-anggota badan, urat daging, kelenjar dan panca indera. Hal-hal ini tidak dibicarakan disini. Juga tidak dibicarakan mengenai penyakit Psikosa , psikomotorik, neurisa, yang lebih tepat dibicarakan dalam psikiatri.
Termasuk gangguan intelektual adalah terutama berbagai bentuk lemah mental yang sebagian disebabkan oleh tuntunan sosial dan masyarakat. Kemungkinan penyebab yang pertama tidak akan dibicarakan, ya ng kedua akan dibicarakan dalam bagian gangguan belajar. Gangguan yang terutama nampak pada tingkah laku psikososial dan moral dapat dicaakup dalam pengertian deviansi.
Perkembangan terganggu ditandai oleh penyimpangan yang besar dari keadaan yang normal. Dengan normal dimaksudkan suatu pola tingkah laku rata-rata yang nampak pada orang-orang dalam periode perkembangan tertentu. Ada terdapat penyebran tertentu dalam variansi tingkah laku disekitar rata-rata tadi; variansi yang ada didalam penyebaran tersebut masih dianggap nomal. Perpindahan kedalam pola tingkah laku yang terganggu tadi ada yang secara pelan-pelan, ada yang mendadak. Bagi mereka yang mengalami variansi yang ada dalam penyebaran tadi tidak disediakan kelembagaan yang khusus karena masih tergolong normal. Bagi mereka yang mengalami gangguan perkembangan disediakan lembaga- lembaga khusus, atau klinik –klinik. Misalnya ada sekolah khusus bagi anak-anak debil atau anak yang sukar belajar. Meskipun Dumont ( 1971 ) disini tidak akan mengatakan mengenai gangguan belajar karena tidak ada diskrepsansi, melainkan justru ada penyesuain antara kemampuan belajar dan hasil belajar ( Dumont,1971, h. 25 ), namun pada anak-anak yang mengalami retardasi mental ini memang ada gangguan atau paling tidak kekurangan dalam perkembangan kepribadian, terutama meliputi aspek intelektualnya. Disamping gangguan dalam aspek intelektual anak-anak debil ini juga mengalami gangguan pada aspek tingkah laku yang lain, ( Van Oudenhoven, 1969 ). Van der Wissel ( 1981 ) mengajukan kritik terhadap model diskrepsansi. Hal ini memang benar selama diskrepsansi ditentikan oleh IQ dengan IQ 80-85 sebagai batas antara debil dan anak sukar belajar. Hal ini disebabkan karena hal-hal lain kecuali intelegensi memegang peranan pula pada penentuan IQ dan karena berbagai sub-tes, yang banyak menentukan IQ anak yang gagal tadi, menunjukkan hubungan yang rendah dengan prestasi sekolah.
Sebagai reaksi gerakan institusionalisasi ( pelembagaan ) yang menganjurkan perawatan aanak yang menyimpang dan terganggu perkembangannya dalam rumah-rumah yang khusus, timbullah faham normalisasi. Faham ini terutama dimaksudkan lagi bagi anak lemah mental meskipun pengertian normalisasi itu mempunyai arti yang lebih luas. Menurut faham tersebut maka anak lemah ingatan harus sebanyak mungkin diasuh dalam lingkungan yang” normal “ dengan sejauh mungkin memperhatikan keadaan anak lemah mental tadi ( Wolfenssberg, 1972 ). Hal ini membawa serta bahwa tidak hanya anak yang lemah mental tadi yang harus menyesuaikan diri pada masyarakat, melainkan masyarakatpun harus memberi kemungkinan sehingga anak lemah mental dan yang menyimpang tadi dapat menjadi bagian yang integral menurut prinsip integrasi atau “community containment “( Foudraine, 1971 ).
Pengertian deviansi menunjuk pada suatu pola tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma dilihat dari pandangan sistem sosial ( Thurlings,1977, h.159 ).
Pertanyaan mengenai apa yang menyebabkkan seseorang menyimpang dari norma, akan dijawab berbeda- beda oleh teori yang berlain-lainan ( Thurlings, 1977 ; Phares, 1979 ). Dari sudut pandangan yang mementingkan konflik, yang juga menjadi ciri teori emansipasi, pertanyaan tadi dapat dijawab bahwa normal sosial dan norma masyarakat adalah perwujudan dan pengakuan akan kepentingan kelompok yang paling kuat disitu. Untuk perbaikan tingkah laku yang menyimpang tidak cukup dengan penanganan individual saja, juga masyarakat dan lembaga-lembaaga yang berfungsi didalamnya harus dirubah. Perubahan tadi juga daapat dilakukan dengan mengakui tingkah laku yang dianggap menyimpang tadi sebagai normal.
Dalam pasal-pasal yang akan datang akan dibicarakan mengenai bentuk gangguan perkembangan. Pasal mengenai gangguan belajar merupakan peralihan dari gangguan yang disebabkan terutama oleh sifat-sifat khusus individu, Kearah tingkah laku yang menyimpang atau devian.
Suatu pembagian mengenai gangguan perkemabangan selalu merupakan pembagian yang sembarang. Dalam psiklatri, psikologi klinis dan ordho –pedagogik diusahakan untuk mengadakan pembagian mengenai gangguan tersebut berdasarkan pandangan diagnosis atau terapi , tetapi hasil pembagian tersebut selalu tidak sama satu dengan yang lain. Para penulis mencoba untuk membuat pembagian mengenai gangguan dan deviansi berdarkan pandangan definisi mereka mengenai perkembangan. Disadari betul bahwa pembagian ini tidak akan sempurna. Tetapi memang diusahakan untuk membicarakan contoh-contoh mengeni gangguan-gangguan yang mungkin terjadi pada periode-periode tertentu dalam perkembangan. Disamping membicarakan kemungkinan penyebabnya juga dikemukakan mengenai cara penanganan atau pertolongan yang biasa dilakukan.
Untuk kepentingan pemberian pertolongan yang baik dan untuk mencegah gangguan sekunder, sekarang diusahakan untuk mengenal gangguan perkembangan itu sewal mungkin. Di negeri Belanda, mereka dibawah bimbingan suatu komisi diadakan penelitian lapangan untuk mengerti bagaimana caranya supaya dapat merealisasi pengenalan seawal mungkin mengenai gangguan perkembangan yang khusus dan yang umum. Disamping itu juga dipikirkan dengan cara bagaimana kerjasama dan tukar- menukar informasi secara regional dapat dimajukan. Pengenalan gangguan perkembangan pada waktu yang sedini mungkin dilakukan dengan bantuan yang multidisipliner dari ahli-ahli bidang kedokteran, psikologi, sosial, dan pendidikan dengan tujaun penanganan yang integral.



8.2 Gangguan-gangguan perkembangan dan deviansi.

8.2.1 Anak yang autistik
Kata autisme di ambil dari kata Yunani “autos “= “aku “ dalam pengertian non-ilmiah mudah menimbulkan interprestasi yaitu bahwa semua anak yang bersikap sangat mengarah kepada dirinya sendiri karena sebab apapun, disebut autistik. Suatu autistiform atau tingkah laku uatistis –semu semacam itu dapat timbul karena kekurangan pemeliharaan yang hangat. “( Grewel dkk, 1954, h.27 ). Kedaan itu tidak perlu merupakan autisme yang sungguh- sungguh. Perkembangan si anak dapat saja terhambat karena tidaka adanya pemeliharaan afektif. Jadi karena penelantaran afektif. Bila penelantaran itu dibarengi oleh ketiadadanya aturan, keajegan dan struktur dalam milleu pendidikan, dapat timbul gangguaan-gangguan yang sungguh-sungguh yang baru akan timbul kemudian. Hal ini akan dibicarakan dalam pasal yang berikutnya nanti.
Pengertian ilmiah infatil ( Grewel dkk, 1954 ) atau autisme kanak-kanak awal ( “early infantile autsm “) timbul sebagai akibat tiga macam penemuan ilmiah ditiga tempat yang berlain-lainan sekitar waktu yang bersamaan.
Di Nijmegen penelitian-penelitian itu dilakukan sekitar tahun 1938 pada Pedagogisch Institut ( Frye ,1968 ), di Amerika oleh kurang lebih oleh Kanner ( 1944) mulai kurang lebih tahun 1942 dan di Wina mulai kurang lebih tahun 1943 oleh Aspeger ( 1944).
Autisme merupakan suatu hambatan perkembangan yang sudah nampak pada tahun-tahun penghidupan pertama. Dugaan akan sebab- sababnya ada bermacam- macam. Kanner tidak menolak kemungkinan kanak- kanak. Schizofreni adalah suatu golongan penyakit mental yang ditandai oleh banyak simptom-simptom dan autisme sebagai suatu tingkah laku yang aneh yang sangat mengarah pada diri sendiri, merupakan salah satu simptomnya. Asperger memasukkan autisme dalam golongan psikopati. Psikopati adalah suatu golongan gangguan bawaan yang menyebabkan orang tidak dapat mengadakan hubungan afektif yang normal dan selalu merupakan problem bagi orang lain dan bagi dirinya sendiri.
Dalam kedua hal tadi akhirnyab orang menganggap adanya suatu sebab yang orgaik. Mashab Nijmegen menganggap uatisme kanak- kanak awal sebagaib suatu gangguan perkembangan, artinya sebagai suatu akibat interaksi anata faktor-faktor keturunan dan faktor-faktor lingkungan. Hanya bila dengan suatu terapi tidak nampak adanya suatu perbaikan, maka dapat dianggap adanya kerusakan- kerusakan otak yang bisa disebabkann oleh trauma kelahiran , menintis tuberkel (radang selaput otak) dan sebagainya. Tingkah laku autistiform lalu merupakan akibat daripada kerusakan pada otak tadi. Pada keadaan –keadaan yang lain dapat terjadi perbaikan meskipun dengan terapi yang lama dan sukar ( Frye, 1968 ).
Ciri khas autisme adalah bahwa mereka sejak dilahirkan mempunyi kontak sosial yang sangat terbatas. Perhatian mereka hampir tidak tertuju pada orang-orang lain, melainkan hanya pada benda-benda mati, mereka tenggelam dalam penghayatan- penghayatan taktil-kinestesis, yaitu misalnya dengan bernafsumeraba- raba dirinya sendiri. Dalam bidang kognitif mereka mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang , suatu pengamatan bentuk yang baik dan suatu perkembangan bahasa yang terhambat.suatu penelitian yang dilakukan oleh Wurst (1976 ) dengan menggunakan tes Sceno yang dibuat oleh Staabs ( tes dengan alat-alat permainan seperti boneka, hewan, pohon, alat-alat yang dapat dipakai untuk menggambarkan situasi atau kejaadian ) memberikan dugaan bahwa kontak sosial anak yang terbatas itu disebabkan oleh kecemasan perasaan tidak terlindung, keraguan, rasa terasing, tetapi disamping itu ketidakmampuan untuk mengerti situasi-situasi sosial.
Hanya dengan penanganan dan pendidiksn yang penuh kasih sayang, konsekuen, tidak kenal jemu dan dalam jangka waktu yang sangat lama, dapat terjadi perbaika. Dari itu terapinya harus dalam lembaga atau tempat yang khusus dan wajib dilakukan oleh suatu tim yang terdiri sebaiknya dari neurulog, psikolog dan ortho- pedagog yang ramah, sabar, tetapi juga dapat jugaa bekerja secara sistematis. dalam rencana penanganannya , Kok ( 1971 ) membedakan antara 3 macam strategi. Bila tipe penyimpangan sebagai penggambaran problematik tingkah laku anak telah ditetapkan dalam hal ini autisme kanak-kanak awal, maka dibuatlah rencana penanganan strategi derajat pertama yang biasanya merupakan cara penanganan residensial ( dalam perumahan khusus ). Penanganan ini dilakukan oleh tim yang tetap dan mempergunakan kelompok-kelompok yang heterogen, jadi juga ada anak-anak lain yang tidak autistis. Didalamnya dapat dibedakan strategi derajat kedua yang berisi latihan- latihan fungsi, bantuan ortho-didaktis. Strategi derajat ketiga berhubungan dengan variasi individual terhadap dua strategi yang sebelumnya. Hal ini sangat penting bagi anak-anak autisme, karena mereka lebih terlibat dengan dirinya sendiri dari pada yang lain-lain. Dalam majalah Nederlands Tijdschrift van Phschologie ( 32-5-1977 ) mengenai autisme yang menunjukkan betapa penelkitian mengenai autisme tersebut masih sangat dini, maka Dullaert-Pruycer dapat menunjukkan penelitiannya yang berhasil dengan tehnik terapi tingkah laku ( lihat 8.2.4 Untuk tinjauan lebih mendalam mengenal autisme harap lihat Hammes.1982)

8.2.2 Anak sukar Didik
Mendidik adalah memberikan bantuan pada orang lain yang menimbulkan hidup
( Stasser, 1963). Dalam bantuan yang menimnulkan hidup tadi ada ketegangan antara membimbing dan membiarkan. Adanya ketegangan ini dapat menerangkan bahwa dalam pendidikan tadi selalu akan timbul berbagai kesulitan pendidikan dapat timbul dalam setiap keluarga “ begitulah kata Linschion ( 1956 h.29 ). Salah satu lembaga pendidikan yang paling fundaamental dalah keluarga.
Anak yang memberikan sedikit atau bahkan banyak kesukaran atau problema belum tentu termasuk anak yang sukar didik. Anak yang betul-betul tergolong anak yang sukar –didik harus dididik diluar rumah ( dalam perumahan khusus )dan dimasukkan ke sekoleh- sekolah khusus untuk anak –anak nakal ). Hal yang terakhir ini sering dilakukan atas perintah hakim atau polisi dan biasanya sesudah terjadi banyak kesukaran dirumah dan diluar rumah. Biasanya diikuti dengan pemeriksaan psikolog, psikiater dan atau orthopedagog. Anak yang sukar didik ini tidak hanya merupakan problema bagi dirinya sendiri, melainkaan juga merupakan problema bagi lingkungannya karena ketidaktenangan yang tinggi, tingkah laku yang menyimpang, cara-cara acting out yang berbahaya dan seringkali agresif, sedangkan sukar sekali untuk menimbulkan pengrertian rasioanal
Pada mereka mengenai keadaanya ( kok.1970. h 18 ) jadi sukar sekali untuk diajak omong dan diminta pengertian mereka.
Meskipun begitu tidak ada batas yang jelas antara anak dengan kesukaran pendidikan yang mendalam dengan anak yang sukar didik. Kok mengatakan mengenai suatu kontinum, suatu perpindahan yang berangsur-angsur yang dilukiskan secara skematik pada gambar 29.
Bila A dan B merupakan ujung-ujung kontinum, maka A adalah anak dengan kesukaran pendidikan yang ringan, B adalah anak yang sukar didik. Diantara C dan D adalah daerah peralihan anata kesukaran pendidikan yang sungguh-sungguh dengan anak yang sukar untuk dididik, dengan lain perkataan antara anak dengan anak dengan kesukaran pendidikan yang sungguh-sungguh dengan anak yang sukar didik. Gaaris-garis putus EF menunjukkan dimensi yang terutama dipelajari oleh Kok mengenai anak sukar didik yang disebutnya sebagai anak struktopat dan yang ditandai oleh tidak dimilikinya struktur sama sekali dan keadaan yang tegar.
Gamabar 29

Diambil dari Kok.1970 .h. 26
Penyebab sukar-didik tidak dapat hanya dicari dari penelantaran efektif melulu. Dari itu tidak dapat secara efektif disempurnakan melalui cara-cara psiko-analisa yang mencoba menghilangi kompleks-kompleksnya ( keinginan- keinginan yang terdesak ). Begitu juga metode non-direktif melulu akan tidak ada hasilnya, karena metode ini selalu mendasarkan diri pada “aku “yang harus berfungsi baik, yang timbul karena persepsi dan nilai aku secara sadar ( Rogers, 1951. Vossen, 1967 ) padahal justru fungsi “aku “nak tersebut ada dalam keadaan sangat terganggu.

Aichom ( 1957 ) berpendapat bahwa keadaan sukar- didik berhubungan dengan bentuk “Verwahrlosung “yang lebih mendalam dalam arti menolak apa yang dianggap benar oleh keliling, menolak norma sosial dan masyarakat. Mereka melakukan itu tidak secara sadar, melainkan karena impuls dari dalam. Mereka sendiri tidak merasakan sebagai suatu problema. Mereka melakukan tingkah laku anti sosial seperti membolos sekolah, menipu mencuri, mengendor, dan sebagainya sebagai normal tanpa perasaan bersalah. Penelantaran afektif dalam masa kanak-kanak awal, disamping tidak adanya struktur dalam milieu, tetapi terutama juga suatu gangguan kepribadian yang sentral yang mendalam, merupakan penyebab pokok keadaan sukar didik ini. Dalam penanganan dalam perumahan khusus harus ada kesempatan untuk dapat ”Ecaingout”, secara tidak berbahaya dan harus ada penanganan yang konsekuen dan dapat memberikan struktur sebagai strategi derajat pertama.
Redel dan Wineman (1951) menemukan dalam tempat atau rumah penanganan mereka bahwa anak-anak ini sering diliputi oleh kebencian yang mendalam terhadap lingkungan dan terhadap masyarakat mereka. Mereka adalah anak-anak tanpa kontrol internal sedangkan kontrol eksternal adalah tidak mempan lagi dal am situasi hidup yang biasa. Dengan pengobatan oleh tim yang bersungguh-sungguh dalam situasi residensial dengan semua orang bekerja sama dalam mendidik kembali, dari koki di dapur sampai dengan para psikoterapis dan para ortho/pedagog. Suatu penanganan total seperti cara Aichon, maka kontrol internal anak dapat hidup kembali (Redel dan Wineman, 1960). Sayangnya mereka tidak dapat menunjukkan meski dengan usaha keras yang sudah mereka lakukan, bahwa kontrol batin tadi juga masih akan dapat bertahan di luar tempat pengobatan.
Pada anak yang sangat sukar dididik ini maka perkembanagn kata hati (Monks, 1971) tetap terganggu, disebabkan perkembangan kepribadian yang terhambat. Pada usia-usia kemudian anak ini sering dijumpai menjadi kriminal. Meski adanya usaha yang begitu banyak dilakukan, namun kemungkinan di atas betul-betul harus diperhatikan (Kok, 1970. h.56).
Penelitian Berk 1974 memberikan pengertian lebih jelas lagi mengenai masalah ini. Berdasarkan suatu analisis faktor Berk sampai pada dengan penentuannya adanay tiga macam dimensi dalam kepribadian seseorang. Yaitu :
1. Problema kepribadian (tingkah laku neurotis),
2. Problema tingkah laku (tingkah laku psikopatiform, tingkah laku tidak tersosialisasi),
3. Tingkah laku tidak edekwat atau tidak masak.
Berdasarkan observasi tingkah laku datang pada anggapan bahwa anak yang sangat sukar dididik mempunyai problema tingkah laku yang paling banyak. Ciri-ciri tingkah laku di dalam dimensi tadi adalah : tidak tenang, menarik perhatian, tingkah laku mengganggu. Suara keras, tidak bertanggung jawab, tidak mau menurut, kurang ajar, negatif, destruktif, hiperaktif.
Dalam pasal 8.2.4 akan dibicarakan mengenai relasi antara keadaan sukar/didik dengan kriminalitas dalam hubungan dengan dimensi kepribadian.

8.2.3 Anak Dengan Gangguan Belajar
Buku ini tidak dimaksudkan untuk memberikan tinjauan yang lengkap mengenai timbulnya bentuk perwujudannya atau penanganannya gangguan atau kesukaran belajar. Dalam hal ini dibersihkan membaca buku tulisan Dumont (1971) dan Vanmeei (1968). Namun, para penulis berusaha agar lebih banyak orang mampu untuk lebih mengenal gejala-gejalanya berdasarkan itu lebih banyak dapat memberikan bantuannya.
Pentingnya mengerti faktor-faktor yang menghambat proses belajar, terutama belajar membaca dan berhitung, menyebabkan adanya pemberian definisi yang bermacam-macam mengenai apa yang dimaksudkan dengan gangguan belajar.
Dumont memberikan definisi sebagai : “gangguan belajar adalah penyimpangan dalam proses belajar yang berhubungan dengan diskrepansi yang signifikan antar kemampuan yang diperkirakan untuk bahasa dan berfikir dengan tingkat prestasi yang nyata dalam bahasa dan berfikir “(h.15). lepas dari kesukaran dan gangguan yang timbul karena kerusakan otak, maka perlu sekali, demi kepentingan psikologis dan pendidikan. Untuk lebih dapat mengenal gangguan belajar yang disebabkan oleh faktor motivasional atau faktor sosialisasi. Hal ini terutama berkenaan dengan gangguan bahasa, gangguan membaca dan menulis.
Gangguan bahasa sudah dapat dilihat pada waktu yang awal. Anak belajar bahasa yang dipakai keliling. Ia mendengar segala macam bunyi dan suara yang mempunyai arti. Lambat laun anak belajar untuk memberikan arti pada bunyi-bunyi dan suara-suara tadi. Bila anak tidak dapat memberikan artinya maka disini ada gangguan yang disebut agnosiauditif, artinya suara tadi tidak menjadi soal gangguan ini juga dapat disebut / simbolik atau ketidakpekaan akan simbol. Di sini ada gangguan otak yang dapat memberikan konsekuensi-konsekuensi sosial.
Suatu gangguan otak yang lain adalah afasi. Afasi berarti bahwa orang tidak mempunyai kemampuan untuk mengalihkan pengertian dalam kata-kata atau tulisan. Atau untuk mengerti kata-kata yang diucapkan atau ditulis. Dapat dibedakan antara afarsi sensoris atau afasi reseftif dan afasi ekspresif atau afasi motoris. Dalam bentuk ekstrim gejala ini tidak sering dijumpai, biasanya masih ada sedikit pengertian bahasa. Maka dari itu orang lebih suka menyebutnya dispasi. Dispasi menunjukkan adanya kesukaran pada pengucapan dan pengertian bahasa.
Disamping gangguan tersebut di atas yang disebabkan oleh gangguan pada otak masih dijumpai keadaan menganggap yang termasuk suatu gangguan psikogen. Gangguan dalam bicara ini yang dijumpai tiga kali lebih banyak pada anak laki-laki dari pada anak wanita, biasanya timbul diantara umur 4 dan 7 tahun. Menurut Damste ( 1978 ) ada bermacam-macam faktor yang menyebabkan gangguan pada kelancaran bicara ini, terutama pada anak yang cenderung untuk tingkah laku agonistis, yaitu tegang dan menahan nafas. Terutama emosi yang kuat, tetapi juga fungsi bahasa dan fungsi artikulasi yang labil, disamping lingkungan ( teruma orang tua ) yang mempunyai tuntutan yang relatif tinggi dan kurang memberikan bantuan efektif. Termasuk faktor -faktor yang membuat anak jadi menganggap bila anak merasakan reaksi lingkungan terhadap kekurangannya ini, maka pengharapan cemas yang kemudian yang akan timbul dapat memperhebat menganggapnya dan kemudian menambah perasaan tak berdaya untuk cepat bicara yang teratur. Lalu terjadilah automatisme yang makin menghebat dengan makin ia menganggap merupakan suatu gangguan belajar.
Menganggap hanya dapat diperbaik dengan kombinasi dari penanganan yang membesarkan hati dan suatu program penyembuhan melalui terapi tingkah laku. Penting disini adalah motivasi pasien sendiri untuk memperbaiki situasinya dan ikut mencari cara-cara untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Ganggauan membaca akhir-akhir ini banyak dibicarakan. Gangguan membaca sering juga disebut dengan kelemahan membaca. Legestenafasi atau kebutaan kata yang kongenital.tetapi gangguan membaca yang dibicarakan disini tidak berhubungan dengan kebutaan, atau faktor pembawaan maupun keturunan. Adanya keturunan sampai sekarang hanya diduga terdapat pada sementara orang saja. Istilah dysleksi atau afasi diambil dari neorologi; begitu pula agraf. Afasi berarti kehilangan kemampuan menulis. Disini ingin ditunjukkan adanya hubungan dengan kerusakan otak.
Pada kelemahan membaca atau legastensi ada hubungannya dengan suatu defek yang hanya terdapat pada bangsa- bangsa yang maju. Dalam masyarakat yang kurang maju orang tidak belajar membaca dan menulis. Dari itu tidak akan dapat timbul defek seperti itu. Baru pada abad yang terakhir maka dari dunia barat membaca dan menulis merupakan baahan kebudayaan yang umum. Bila dugaan neurologis betul, maka dalam waktu singkat aka terbentuk suatu pusat dalam otak yang mengatur kooerdinasi berbagai proses urat daging pada waktu membaca.
Istilah legasteni diperkenalkan oleh Mari Lindher ( lihat Kirchofff,1954, h.14 ) menurut dia keadaan itu ialah kelemahan membaca yang spesifik yang terdapat pada orang normal yang cukup pandai. Jadi apa yang akan dibicarakan di sini adalah kelemahan membaca yang tidak ada organisnya. Membaca adaalah suatu proses penganalisasian. Orang dewasa membaca kata-kata secara kesuluruhan atau secara kelompok kata-kata. Dari itu kesalahan cetak tidak dilihaat nya. Pada proses penganalisaan ini maka bentuk-bentuk optis akan dipisah-pisahkan. Di saming proses penguraian ini ada dua macam cara mengerti kata-kata pada membaca:
1. Mengenal tandaa- tanda kata, bentuk optis adalah tanda bagi hal yang dibicarakan.
2. Mengenal isi yang dibaca; tanda bicara menggantikan suatu isi, suatu benda.
Pada waktu orang membaca terjadilah proses batin yang dapat dibedakan anata apa yang disebut penghayatan fonematis, fasematis, dan noematis ( fonem = kata di dengar dalam batin secara terpotong-potong ;noem = kata dimengerti dalam batin secara terpotong-potong ).
Penghayatan yang fasematis sangat kuat pada waktu permulaan belajar membaca, dari itu anak selalu membaca keras pada waktu itu. Mereka belajar membaca dengan mengucapkan kata keras-keras. Membaca dalam batin merupakan hal yang harus dipelajari lebih dahulu. Melalui jalan optis diciptakan gambaran kata yang akustis, dan motoris. Untuk koordinasi tulisan dan bicara harus dilakukan proses-proses analitis dan sintesis. Di sini dapat timbul gangguan- gaangguan maka selanjutnya dikatakan adanya 2 macam legastani, yaitu :
a. Yang bersifat akustis-motoris atau auditif
b. Yang bersifat visual-motoris atau optis
Pada tipe yang auditif terdapat banyak kesalahan pada penyusunan suku kata. Mungkin gangguan ini dapat diterangkan karena kekurangan-kekurangan fonem dan fasem terutama oleh pemotongan yang kurang sempurna. Tetapi sebetulnya sukar untuk menentukan batas legasteni, artinya untuk menentukan apakah orang betul- betul menderita legastani. Kekurangan-kekurangan tadi juaga dapat disebabkan oleh :
a. Pemakaian bahasa setempat, misalnya dialek.
b. Karenaa kemalasan pada waktu bicara
c. Faktor konsttitusional, suatu kesukaran bicara karena ganggauan pada otak ( dysfasi ).
Diantara dysfasi dan legasteni tidak ada relaasi timbal balik, karena dysfasi tidak dapat ekspresif ( motoris ) atau impresif ( sensoris ). Dysfasi berat menyebabkan orang hampir tidakl dapat membaca dan merupakan gangguan juga bagi berbagai prestasi intelektual yang lain.
Anak dengan gangguan auditif mempunyai kesukaran dalam menirukan kata-kata atau pembicaraan, profil struktur bahsa yang didengar dan yang dikatakan tidak jelas. Tetapi mengutip ( menulis ) sesuatu dapat dilakukan tanpa kesalahan pada anak yang tipe akustis.
Anak tipe visual menunjukkan banyak kesalahan yang terdapat pada penggantian kata-kata yang optis-sama ( b dan d, p dan q, dan w dan m ).
Mengenai penyebab legasteni masih banyak pendapat yang berbeda-beda. Misalnya Kirchoff ( 1954 ) menunjukkan bahwa gangguan ini terutama dikemukakan pada anak- anak dengan perkembangan yang terhambat. Keterlambatan dalam perkembangan tadi menurut Kirchoff mempunyai 3 macam ciri yang pokok :
1. Pola tingkah laku dengan banyak sifat seperti anak kecil
2. Suatu dorongan tumbuh yang kurang dengan kecenderungan introversi, sedangkan hal itu berhubungan dengan :
3. Kekurangan -kekurangan dalam menganalisis bentuk- bentuk Gestalt.
Sementara orang menganggap gangguan membaca disebabkan oleh suatu kerja sama antara berbagai faktor , yaitu faktor fisik, emosinal, milieu dan pendidikan ( Van Dongen, 1984; Bus 1984 ).
Schubenz dan Buchwald ( 1967 ) mengemukakan bahwa baru dapat dianggap ada legastani atau kelemahan dalam membaca dan menulis, apanila tidak ada persesuaian antara sekor intelegensi dengan prestasi sekolah dalam hal membaca dan menulis. Menurut mereka hal tadi merupakan ikelemahan membaca dan menulis yang bertentangan dengan intelegensi total yang normal, tanpa adanya simptomatik organis dan suatu lingkungan yang negatif. Mereka menganggap legastaani disebabkan oleh kelemahan dan kemampuan ingatan. Tetapi kemampuaan ingaatan tadi menurut mereka dapat diperkuat.
Dari penelitian mereka diketemukan bahwa kesalahan yang dibuat oleh anak tadi tidak karena kebetulan, melainkan menunjukkan suatu keajegan. Diakui bahwa hal ini disebabkan oleh sifat dan struktur bahasa. Kesatuan bahasa tertentu lebih sering muncul daripada yang lain. Bagian-baagian itu juga lalu lebih cepat dan lebih banyak dipelajari. Orang dengan sistem penyimpangan ( kemampuan ingatan ) yang lemah. Akan hanya dapat siap dengan kesatuan bahasa yang paling sering timbul. Schubenz dan Buchwald mengharapkan pad penilitian dengan anak yang baru-baru ada dalam permulaan latihan sekolah mereka, adanya relasi antara kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini diteliti lebih jauh oleh Schubenz dan Buchwald.
Mereka membandingkan suatu kelompok anak legasteni dengan anak lain yang sama umurnya, intelegensi dan pendidikan sekolahnya. Anak diuji dengan tes Benton dan diminta untuk menulis 4 buah huruf dari abjad yang didikte dalam urutan sembarang. Kedua kelompok anak tadi
Tidak berbeda dalam hasil tes Benton. Disamping itu juga nampak bahwa baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok legastani, maka suatu huruf yang makin sering muncul dalam bahasa, makin siap dilihat perbedaan dalam kesalahan penghuruf makin sedikit frekuensi sesuatu huruf muncul dalam bahasa, makin besar perbedaan antara kedua kelompok mengenai jumlah kesalahan yang mereka buat. Hasil ini jugaa didapat pada waktu huruf-huruf lain. Disini dapat dilihat bahwa huruf-huruf yang jarang timbul diganti oleh huruf-huruf yang jarang timbul yang lain. Menurut Schubenz dan Buchwald sebabnya hal ini ialah karena anak mencari suatu huruf dengan ciri “jarang muncul “.
Di samping kemampuan ingatan nampaknya juga metode didakttik ikut menentukan apakah anak menjadi legastani atau tidak. Busemann ( 1959) menunjukkan bahwa cara belajar membaca itu ada dua. Yaitu cara yang sintesis, yaitu dari kata-kata , dan cara yang global atau analitis, yaitu dari kata-kata ke huruf. Dalam keadaan yang kedua anak baru dalam kelas 2 dan kelas 3 mempelajari huruf –huruf pada anak yang melulu dipelajari menurut metode yang global, lebih sering timbul legastani.
Sekarang ada dikembangkan sejumlah cara untuk membantu secara efisien anak yang menderita legastani. Biglmaier sejak beberapa tahun mendirikan apa yang dinamakan klinik membaca di Monchen. Disitu anak dalam waktu singkat dipelajari membacaa secara efisien dengan bantuan recorder kaset dan pita berdasarkan prinsip reinforsemen. Biglmaier juga melibatkan para orang tua dalam terapi , sesudah ia dapat menunjukkan prinsip dan langkah-langkahnya. Ia menyuruh orang tua sendiri melakukan terapi yang sesunggugnya.
Mengenai ganggian berhitung padaa umumnya kurang dikenal daripada mengenai gangguan membaca. Berhitung mempunyai sumber dalam tindakan mental dan tindakan praktis pada waktu bayi dan anak kecil. Anak belajar menghitung. Dalam aktivitasnya ini dapat timbul gangguan-gangguan yang dapat menjadi gangguan berhitung. Disamping itu berhitung juga mendasarkan diri pada kemampuan bahasa dan berpikir. Dengan begitu ganggauan pada bahasa dan berpikir. Dengan begitu gangguan pada bahasa dan beripikir juga dapat menyebabkan gangguaan pada berhitung.
Suatu gejala yang tel;ah sedikit dikupas di muka adalah gejala mengenai under dan over-achievement. Overachiement bila anak atau murid menunjukkan prestasi yang lebih tinggi dripada apa yang dapat diharapkan daripadanya berdasarkan hasil tesi ntelegensi. Hal ini merupakan gejala yang dikenal sebagai seseorang yang terus menerus harus berjalan diatas . Orang bicara mengenai underachievement bila hasil-hasilnya lebih rendah daripada apa yang diharapkan menurut hasil-hasil tes intelegensi.
Gejala underachievement mungkin pertama kali diteliti secara sistematis oleh Shaw dan McCuen( bandingkan Polels,1965 ). Mereka menemukan perbedaan yang jelas antara anak laki-laki dan anak wanita. Disamping itu gejala ini juga diketemukan lebih banyak pada anak-anak laki. Menurut mereka hal ini disebabkan oleh motivasi yang lebih rendah pada anak laki-laki.
Fine ( 1967 ) agak meragukan konklusi ini. Dia mengatakan bahwa dalam masyarakat maka prestasi yang kurang pada anak laki-laki lebih dan menarik perhatian daripada anak wanita. Disamping itu perkembangan sosial, psikis dan fisik juga lebih cepat terjadi pada anak wanita sehingga tidak tepat kirannya untuk membandingkan anak laki-laki dan anak wanita dengan satu norma yang sama.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki kepribadian under overachiever. Anak golongan underachiever menurut penelitian ini mempunyai emosi yang lebih labil, bersifat tergantung kurang motivasi dan pasif. Disini timbul pertanyaan sampai dimanakah dapat diaktakan ada sebab dan akibat. Apakah tidak lebih mungkin ada interaksi? Seorang anak yang entah karena sebab apa mengalami underachiement tiap hari merasakan penyesalan-penyesalan di sekolah. Anak akan menderita, timbullah berbagai simptom seperti penolakan. Kecenderungan untuk menunda-nunda , inefisiensi dalam tingkah laku dan bersikap pasif. Hal ini juga dapat mengerti karena biasanya tidak banyak diharapkan dari seorang underachieven. Dia sendiri juga akan pesimistis mengenai prestasi-prestasinya. Dia ingin menunda-nunda akhirnya ingin melarikan diri dari tugas-tugasnya. Gambar diri yang negatif ini, yaitu tidak bisa apa-apa, memegang peranan penting pada grjala-gejala underachievement.
Sementara orang berpendapat bahwa sumber pertama timbulnya underachievement adalah pada tahun-tahun pertama. Orang tua disini memegang peranan yang penting. Merekalah yang memberikan kemungkinan pada anak untuk dapat ekspansif, dapat mengadakan eksplorasi, dapat menemukan lingkungannya. Sekarang adalh tugas orang tua untuk memberikan stimulasi hingga anak dapat memperoleh kepercayaan diri dan kebebasan diri dan dapat mencapai emansipasi. Bila orang tua terlalu mengharapkan dari anak dan terlalu menekannya, maka anak menjadi tidak pasti dan cemas. Citra dirinya menjadi makin negatif, perasaan harga diri merosot. Tetapi juga ketidakacuhaan dari pihak orang tua terhadap prestasi anak melemahkan kepercayaan diri anak.
Anak yang dalam instansi pertama tumbuh dalam keluarga, juga akan memperoleh implus dan unsur-unsur yang penting disitu untuk timbulnya citra diri yang ditandai oleh kepercayaan diri dan sikap tidak tergantung ( De Wuffel 1968 ).
Dengan sendirinya bukan hanya rumah orang tua, melaikan juga sekolah dan guru-guru memegang peranan penting. Guru-guru dapat mempengaruhi prestasi anak melalui sikap, cara mengajar, pengertian dan kecakapan mereka. Jugaa kurikulum sangat penting.
Bagi anak underachiever tersebut sangat penting untuk merasa terlibat dalam mata pelajaran untuk dapat belajar dan bekerja daari sudut pandangan perhatian sensiri dan penting baginya pula untuk mendapatkan perhatian individus. Sistem pengajaran jelas harus memperhatiakan sifat individual anak golongan underachieverment. Para guru harus mempunyai pengertian terhadap anak tersebut dan mempunyai pengertian pula dalam masalah yang menghambat prestasi mereka. Mereka menyesuaikan program pelajarannya. Juga orang tua yang begitu penting peranannya dalam masalah ini tidak boleh jugaa dilupakan. partisipasi orang tua dan bimbingan pada orang tua secara individual sangat dibutuhkaan, terutama bila hal tadi dimaksudkan untuk kepentingan anak golongan underachievement.
Sistem sekolah yang tradisional ditujukan pada murid yang rata-rata, hingga anak dengan problema tertentu akan tidak mendapatkan manfaatnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa banyak masalah dapat timbul dalam lingkungan keluarga dan sekolah dalam bidang proses belajar yang tidak disebabkan oleh gangguan organik
( otak ). Interaksi antara individu dan lingkungan seringkali merupakan penyebab tingkah laku belajar yang lemah dan salah. Prestasi belajar yang kurang sekali menyebabkan cira diri yang sudah negatif itu menjadi makin negatif. Maka dari itu penting sekali bahwa semua orang yang dapat mempengaruhi proses pembentukan pribadi anak mempunyai pengertian yang benar dan berusaha untuk menemukan cara-cara yang tepat guana membantu pemekaran diri anak yaang sebaik- baiknya.

8.2.4 Anak- anak delinkuen
Bila anak mengalmi gangguan belajar banyak dijumpai pada periode sekolah, maka anak yang deliinkuen banyyak terdapat masa- masa sesudahnya. Muungki hal ini disebabkan karena tindakan yang melanggar hukum, yang merupakan ciri tindakan anak delinkuen. Masih bisa dimaafkan dan tidak disebut kriminalitas bila dillakukan oleh anak pra –sekolah dan anak pada masa sekolah ( Kok, 1970, h.56 ). Sebaliknya telah diketahui bahwa delinkuensi bertambah dengan lambat pada bagian pertama remaja, tetapi segera melonjak pada bagian pertama masa remaja, tetapi segera
melonjak pada bagian kedua masa itu ( Ausebel,h. 487 ).
Mungkin akan terlalu dangkal untuk mencari hubungan yang langsung antara delinkuensi dengan purus sekolah. Para remaja yang putus sekolah biasanya mempunyai faktor-faktor lainmisalnya keadaan rumah yang kurang baik atau datang dari mileu sosial-ekonomiyang kurang. Meskipun begitu para remaja yang putus sekolah dan berkeliaran tadi belum tentu menjadi delinkuen. Buikhuizen ( 1960 ) melihat adanya perbedaan antara remaja yang hanya berkeliaran saja tetapi tidak sampai melakukan kejahatan atau pelanggaran yang serius, dengan kelompok delinkuen yang melakukan kejahatan atau pelanggaran yang sungguh-sungguh.
Conger ( 1973, h.539 ) yang merangkum banyak penelitian, melihat bahwa meskipun diskriminasi sosial dapat memainkan peranan dalam bertambahnya kriminalitas, namun tidak semua remaja yang hidup dalam kemiskinan, berumah daalam rumah-rumah reyot, atau yang mempunyai orang tua yang tidak bertanggung jawabakan menjadi delinkuen. Sebaliknya dalam waktu akhir-akhir ini kriminalitas bertambah pada remaja dari kelas menengah dalam kota-kota. Dalam hal ini faktor-faktor lain juga memegang peranan. Dalam penelitian mengenai delinkuensi di empat kota Indonesia
( jawa ) juga diketemukan bahwa para remaja yang delinkuen tadi berasal dari lapisan masyarakat yang bermacam-macam pula ( Haditono,1972 ).
Karena delinkuensi diketemukan berasal dari milieu sosial yang bermacam-macam, maka timbul usaha untuk mencari hubungan antara kepribadian dan delinkuensi. Dalam perbandingan dengan anak remaja bukan-delinkuen ternyata bahwa remaja delinkuen biasanya lebih mempunyai kepercayaan diri, memberontak, ambivalen terhadap otoritas, mendendam, bermusuhan,curiga, destruktif, impulsif dan menunjukkan kontrol batin yang kurang ( Conger, 1873, h.534 ). Mengenai intelegensi mereka tidak berbeda dari rata- rata. Penelitian yang di lakukan di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak d ari jumlah anak-anak delinkuen yang diteliti mempunyai sektor intelegensi di bawah normal ( 69.59 % ) dan sebagian kecil mempunyai setor yang tinggi ( 6.9 % )
( Haditono,1972).
Bila sifat-sifat tingkah laku terganggu tersebut dibandingkan dengan sifat-sifat yang diketemukan Berk 1974 nampak adanya persamaan yang besar, tetapi dengan perbedaan disini bahwa faktor-faktor yang disebutkan Berk agak kurang sesuai. Misalnya bandingkan negarif dengan bermusuhan, mendendam, curiga, dan tingkah laku mengganggu dapat berarti banyak, misalnya impulsf, sangat percaya diri persamaan yang menyolok ini dapat menunjukkan adanya hubungan antara sukar didik dengan kriminalitas.
Dapat dilihat bahwa Kok ( 1970 ) tidak menolak bahwa anak yang sukar –didik mempunyai pre-disposisi untuk kriminalitas terutama anak ( remaja ) sukar-didik yang mempunyai perkembangan kata hati yang terhambat. Ausubel ( 1965, h.497 ) membedakan diantara anak-anak yang delinkuen, kelompok yang disebutnya psikopat antisosial yang agresif yang mempunyai perkembangan moral yang defek ( rusak ) disamping itu juga menganggap bahwa karena sikap orang tua yang terlalu keras. Terlalu menuruti atau terlalu mengkhawatirkan dapat timbul suatu gangguan dalam perkembangan moral anak yang dapat mengakibatkan delinkuensi. Delinkuensi dari kelompok yang terakhir ini mempunyai prognosa yang jauh lebih baik daripada kelompok yang pertama.
Sebelum menarik kesimpulan bahwa delinkuensi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor kepribadian. Ada baiknya untuk memperhatikan dua macam faktor berikut ini. Pertama bahwa hukum ( pidana )lah yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan merupakan suatu pelanggaran (Bartels.1976. h .317 ). Dari itulah sukar kiranya untuk membandingkan bahan-bahan dari negara yang berlain-lainan. Selanjutnya baik untuk memperhatikan perbedaan yang dibuat oleh Johnson ( dikutip oleh Conger, 1973. H. 531-540 )antara delinkuen sosiologis dan delinkuen individual. Delinkuen sosiologis memusuhi seluruh konteks sosial kecuali konteks sosialnnya sendiri. Misalnya tidak merasa bersalah bila mencuri milik orang lain asal bukan milik kelompoknya sendiri. Delinkuen individual memusuhi semua orang. Bahkan orang tuanya sendiri, hubungan dengan orang tua makin memburuk dengan bertambahnya usia. Banyak pelanggaran di masyarakat dilakukan oleh delinkuen kelompok yang pertama.
Penanganan orang-orang kriminal harus memperhatikan hal-hal ini. Delinkuen “individual “ diberikan terapi tertuju pada dirinya sendiri. Delinkuen sosiologis membutuhkan penanganan yang lain.
Penanganan delinkuen remaja, lepas dari aturan hukum, bersifat lainilain. Terapi psikonalitis dan non-direktif hanya dapat bermanfaat, bila keadaanya tidak berat dan penyebabnya jelas karena pendidikan yang terlalu keras atau terlalu lemah. Delinkuensi seperti itu disebut Mik ( 1965 ) sebagai tingkah laku “dissosial “. Tetapi terutama bila struktur kepribadiaanya ditandai oleh perkembangan kata hati yang terhambat, maka dibutuhkan berbagai terapi yang memberikan struktur, seperti misalnya terapi tingkah laku. Disini metode dan tekniknya dilakukan berdasarkan penelitian empiris dan sistematis mengenai proses belajar. Terutama disini diperhatikan prinsip dan tehnik- tehnik reinforsemen sosial misalnya membiarkan atau tidak menghukum kesalahan atau kegagalan memuji tingkah laku positif, dan belajar model. Di samping itu juga penting cara bekerja setapak demi setapak. Sangat penting adalah juga kontrol diri atau regulasi diri. Pasien atau klien sendiri yang harus mengadakan registrasi kemajuan atau kegagalannya dan atas dasar itu dihukum atau diberi hadiah.
Seingkali terapi ini dilakukan bersama-sama dengaan penanganan residensial sebagai strategi tingkat pertama. Bartels ( 1967 ) melaporkan suatu rencana terapi tingkah laku yang bersifat ambulans, disitu akan diadakan 1 samapai 4 kali kontak per minggu dengan klien selama ¼ jam sampai 1 atau 1 ½ jam lama pengobatan seluruhnya dapat memakan waktu 3 dan 4 bulan ( Bartels, 1976 , h.336 ). Efektivitas terapi ini masih harus dibuktikan. Mungkin delinkuensi ringan dapat memperoleh manfaatnya.
Conger ( 1973, h.542 ) menunjukkan bahwa penyembuhan delinkuensi maupun preverensinya tidak terlalu menggembirakan. Penyembuhan biasanya juga ditujukan pada anak-anak muda yang sudah medelinkuengalami salah satu gangguan. Terutama dalam keadaan delinkuensi yang merupakan akibat keadaan sosial dan masyarakat tidaak cukup dilakukan penyembuhan yang individual. Berbagai problema masyarakat seperti kemiskinan, diskriminasai golongan sosial lemah, kurangnya kesempatan kerja dan sebaagainya perlu diperbaiki lebih dahulu.
Anak-anak wanita yang delinkuen lebih banyak datang dari milieu yang terganggu ( West, 1967; Verrhofstadt- Deneve, 1981 ). Diketemukan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh delinkuen wanita dan anak-anak wanita kebanyakan pencurian, penggedoran dan pelanggaran kekerasan ( West, 1967; Verhofstadt, 1981 ). Hal-hal ini juga timbul pada mereka yang kecanduran memberiakn titik baru pada problematik ini yang akan dibicarakan dalam pasal yang berikutnya.
Penelitian Haditono ( 1973 ) menemukan bahwa motif melakukan tingkah laku nakal adalah paling banyak mengikuti ajakan teman. Kedua usaha mencapai keinginan ( emosi yang tidak terkontrol ), dan yang ketiga adalah mencari pelarian karena keadaan rumah yang tidak menyenangkan atau kurang kasih sayang.

8.2.5 Penganiayaan Anak
Apakah penganiayaan anak termasuk tingkah laku kejahatan atau yang menyimpang tidaklah mudah untuk mencari jawaban yang sama, hal yang menyolok adalah bahwa penelitian mengenai penganiayaan anak sedikit sekali adanya sebelum pertengahan tahun enam puluhan. Hal ini mempunyai alasan yang bermacam-macam. Salah satu alasan yang pengertian akan gejala penganiayaan anak. Sejak berabad-abad lamanya anak sering dipukul oleh anak lain atau khususnya oleh orang tuanya terutama sebagai pemberian hukuman. Hukuman badan masih dilakukan pada beberapa negara tertentu di sekolah atau mungkin baru saja ditiadakan. Berdasarkan alasan tersebut maka Straus dkk. ( 1980 ) membedakan antara kekerasan yang “normal “ dan kekersaan yang “kasar”.
Yang terakhir ini juga disebut penganiayaan yang dapat menumbulkan cidera pada orang ( atau hewan) yang dikenai penganiayaan itu nampak secara jelas dan kadang-kadang tidak bisaa hilang lagi. Batas antara hukuman fisik ( kekerasan yang normal ) dan penganiayaan sering sukar ditentukan.
Hal- hal yang diuraikan tadi tentunya sejal dulu juga sudah demikian ; tetapi bahwa baru pada akhir dua puluh tahun ini penganiayaan anak dipandang sebagai problema yang serius, tentu mempunyai sebab yang lebih mendalam. Seringkali penganiayaan anak dipandang sebagai akibat masalah-masalah dalam keluarga. Penganiayaan anak kadang-kadang timbul disamping penganiayaan isteri oleh suami, tetapi tidak seablikny. Hal itu nampaknya membenarkan pendapat diatas.
Disamping penganiayaan fisik terdapat juga penganiayaan psikis. Incest dengan anak mencakup kedua sifat penganiayaan. Gejala penganiayaan anak terdapat pada semua lapisan masyarakat. Straus dkk, ( 1980 ) tidakn menyangkal bahwaa kekerasan sering dimulai dalam keluaraga, tetapi sebab-sebabnya yang utama haruslah dicaari di dalam masyarakat yang bersifat penuh kekerasan.
Pada tahun tujug puluhan di Belanda telah didirikan pusat-pusat koordinasi provinsial dengan dokter- dokter kepercayaan ( semacam dokter konsultan ) dan persatuan penanggualngan penganiayaan anak ( lihat juga Hilt-Hoffer, 1982). Yayasan dokter kepercayaan timbul karena orang malu bila kekerasan yang ada dalam lingkungan keluarga yaang tertutup diketahui oleh umum. Tetapu justru keasadaan bahwa akar masalahnya bukan merupakan masalah individual melulu, menyebabkaan suatu pendekatan yang memandang penganiayaan anak lebih sebagai jeritan untuk pertolongan daripada sebagai deviansi ( Monks, 1980 ). Hal ini juga dibuktikan oleh kenyataan bahwa dengan bertambahnya pusat-pusat koordianasi regional, jumlah kejadian penganiayaan yang dilaporkan naik dari 430 pada tahun 1972 menjadi 899 pada tahun1976. Hal ini baru meliputi yang dilaprkan saja, sedangkan mungkin yang tidak diketahui masih jauh lebih banyak lagi.
Faktor- faktor sosial mempunyai arti yang penting. Angka kekerasan yang paling tinggi diketemukan Straus dkk. Melalui penelitian survei nasioanal pada kelompok minoritas rasial.k Kekerasan tadi leboih banyak ditemukan pada keluarga yang masih muda, lebih banyak pada keluarga yang miskin. Lebih banyak pada kelompok kerja yang lebih rendah, lebih pada kelompok pengangur dan pekerja part-timer, lebih banyak di kota daripada di desa. Justru karena faktor-faktor sosial ekonomi memegang peranan yang penting, maka mereka meragukan akan efektifitas konseling individual bila situasi sosialnya tidak diperbaiki.
Seperti delikuensimaka penganiayaan anak merupakan problema sosial. Anak-aanak yang menjadi korban penganiayaan dalam periode perkembangan yang masih sangat peka ini. Dapat mempunyai konsekuensi serius bagi perkembangan mereka menjadi orang dewasa dengan keseimbangan emosi yang baik. Straus dan kawan-kawan menunjukkan bahwa para orang tua yang menganiaaya anak mereka adalah orang- orang yang pada masa kanak- kanak mengalami sendi penganiayaan dari orang tua mereka. ( untuk uraian yang lebih lanjut lihat gelles, 1974,1975,1978a.1978b, dan gelles dan Straus, 1978 ).


8.2.6 Aliensi dan Pecandu
Seperti halnya konflik dapat dinilai positif , misalanya pada emansipasi, hal itu dapat pula dikenakan bagi aliensi atau perasaan menjadi asing terhadap sesuatu. “untuk dapat mencapai sesuatu yang baru, orang harus merasa asing terhadap situasinya yang sekarang ( Steenbergen, 1969, h.17 ). Tetapi aliensi itu juga selalu mengandung suatu kehilangan atau bahkan suatu tindakan memukau dengan hubungan-hubungan yang lama. Dan meskipun hal juga dapat dinilai positif, haruslah disadari bahwa hal ini dapat menyebabkan problema yang sunggug-sungguh. Terutama anak-anak muda yang sedang dalam periode melepaskan dirinya dari rumah yaitu dalam masa remaja, dapat mengalami kesukaran batin yang serius.
Untuk meamperoleh lebih banyak kejelasan mengenai problema tak identitas baiklah ditinjau empat aspek seperti halnya dikemukakan oleh Keniston ( 1960, h.454 ):
1. Dari hal-hal apa mereka mengalami aliensi
2. Apa yang menggantikan relasi-relasi yang lama
3. Bagaimana cara manifestasi aliensi tersebut
4. Apa alasaan aliensi tadi
Untuk kepentingan uraian ini, yaitu hubungan antara aliensi dan kecanduan maka kedua pertanyaan yang terakhir itu yang paling penting. Namun dua pertanyaan yang sebelumnya tidak atau
Bila perkembangan itu, terutama dalam masa remaja mengandung arti bahwa para remaja tadi akan melepaskan diri dari keluarga , hal itu berarti bahwa mereka mengalami aliensi. Para remaja hal itu dapat jelas dilihat, mereka kurang menggantungkan diri pada orang tua, mereka lebih mencari hubungan diluar lingkungan keluarga, terutama dengan teman-teman sebaya. Mereka mempunyai pendapat yang menyimpang , meskipun hanya mengenai rupa atau tampan mereka , mereka mempunyai pendapat sendiri mengenai pemilihan teman-teman , waktu peluang ( Scheffer, 1977 ) dan mengenai hubungan heteroseksual ( Kooy, 1976 ).
Bagi hubungan atau relasi ini, remaja mendapatkan relasi-relasi baru, dengan teman-teman sebaya dan seringkali mereka lalu masuk kedalam kehidupan masyarakat dengan cara yang mungkin tidak seperti yang diharapkan oleh orang tua. Bila mereka mendapatkan teman-teman yang tidak baik, misalanya anak delinkuen atau bila mereka tidak berhasil untuk mendapatkan kontak, maka hal itu membuat remaja menentang masyarakat atau membuat mereka makin mengalami aliensi.
Merasa asing dapat bersifat parsial atau total, pada tingkat terakhir aliensi dapat berujud ekstrim misalnya masuk dalam kelompok yang menentang norma-norma masyarakat ( konta kultur ) menjadi “drop-outs sosial “atau menjadi pecandu narkotika. Keniston ( 1960 ) mencari penyebab aliensi yang mendalam , yang disebutnya “developmental estrangement “ dalam masyrakat yang makmur. Dalam masyarakat ini menurut keniston maka persaan akan dikuasai oleh pikir, hingga tidak terjadi integrasi yang betul-betul. Remaja tidak merasa krasan atau bersikap kritis terhadap identitas kolektif masyarakat industri modern. Oleh Tak ( 1972, h. 19 ) hal ini disebut : merasa asing sebaagai perasaan hidup ( vervreemding als levensgevoel ). Bila hal ini dialami secara ekstrim maka menurut Keniston dapat dipandang sebagai mencari identitas dengan putus asa. Berdasarkan penelitian pada para mahasiswa melaui observasi dan berbagai tes proyeksi Keniston menemukan aliensi yang ekstrim tadi diatandai oleh kecurigaan terhadap masyrakaat dan kultur yang ada. Suatu perasaan tidak dipergunakan lagi yang eksistensial ( “existensial out castness “) bersamaan dengan sikap balas dendam terhadap kehidupan bersama yang dapat menyebabkan perasaan egosentrisme yang ekstrim. Hal ini menyebabkan para anak muda tadi tidak menghargai prestasi atau sukses. Hanya mau menikmati hari ini kita saja, persamaan penuh semangatdan ingin kreatif serta mencari kemungkinan untuk dapat merealisasikannya. Para aktivitas diantara mereka dapat melakukan hal itu dengan cara yang oleh masyarakat dapat dipandang sebagai kriminal. Mereka yang pasif akan melakukan cara yang lain, yaitu dengan melakukan tingkah laku kecanduan, misalnya minum-minuman keras dan terutama “drugs .
Ada berbagai sebab mengapa para remaja memakai “drugs “yaitu misalnya ingin tahu tekanan teman sebaya, menentang orang tua, pelarian ( menolak masalah, tugas atau pertanggungan jawab ). Memberontak terhadap otoritas dan masyrakat yang dirasa asing. Dalam dua keadaan terakhir nampak ada hubungan antara pemakai drug dan aliensi.
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pemakaian narkotika antara lain oleh dorongan teman-teman. Takut dianggap sebagai “wanita “dan persyaratan masuk “gang “tertentu ( Haditono, 1972 ).
Bila pelarian atau pemberontakan disebabkan oleh hambatan sosial atau masyrakat dengan akibat kemiskinan atau pengangguran atau bila terutama pelarian disebabkan oleh ketidakmampuan atau kesegaran untuk memikul tugas-tugas dalam masyarakat, maka pemakaian drug dapat menjadi kecanduan. Menganggap remeh pemakaian drug ini. Terutama maiyuana dan hasjiesj, dapat betul-betul mengakibatkan kecanduan. Banyak pecandu “hard- drugs “misalnya bahan-bahan amfetamin, L. S . D, heroine , mulai dengan “soft- drugs “lebih dahulu. Meskipun belum dapat ditunjukkan adanya hubungan yang kausal, namun pemakaian yang berlebihan dari “soft drugs “dapat menyebabkan suatu ketergantungan psikis yang menjadi permulaan kecanduan. Hal ini merupakan suatu ketergantungan fisik ( fisik tak dapat dipisaah lagi ), hingga pecandu tidak dapat hidup tanpa drus itu, dan hanya dapat dipisahkan dengan sangat sukar dan sering dengan perasaan sakit sebagai gejala abstinensi. Kematian sering terjadi sebagai akibat dosis terlalu banyak ( Mussen dkk,1974 ) terutama karena depressi yang mendalam sebagai akibat pemakaian yang terlalu banyak.
Bila memang sudah terjadi kecanduan, maka penanganannya sangat sukar, pengobataan individual dilakukan daalam klinik-klinik khusus ( Geerlings, 1970 ). Bila prosespecandu sedaang atau sesudah penanganan klinis dapat menghadapi masalah-masalahnya hingga secara sadar mencari penyembuhan, maka saling bantu membantu atau latihan meditasi transenden ( Scient Research ,1976). Memegang peranan penting dalam usaha penyembuhan. Menurut Bierkens dan Berger ( 1980) maka pecandu alkohol di Nederland mencapai jumlah 120.000, sedang tiga perempat juta penduduk hampir tidak bisa hidup tanpa alkohol.
Dalam bab ini dibicarakan secara singkat problema yang dapat timbul dalam proses perkembangan yang dapat menimbulkan cidera atau kelainan-kelainan sementara atau permanen pada individu atau masyrakat. Namun para penulis terpaksa harus mengadakan pembatasan yang banyak. Bagi siapa yang ingin mempelajari lebih jauh dapat dianjurkan berbagai monografi yang sebagian ada dalam bagian daftar pustaka buku ini.

8.3 Rangkuman

Dalam bagian pengantar Bab ini, maka pengertian gangguan dan deviansi, sesuai dengaan titik tolak teoritis buku ini, dipandang sebagai dua macam hal bukan dari orangnya sendiri melainkan sebagai hasil interaksi antara orang dan lingkungan dengan penekanan kadang-kadang pada orangnya, kadang-kadang pada lingkungan atau situasi hidupnya.
Dalam pasal 2 dibicarakan anak yang autistis serta penanganannya yang sangat sulit melalui pendidikan yang penuh kasih sayang, konsekuen dan ulet. Sesudah itu perhatian dipusatkan pada berbagai variansi mengenal anak sukar didik. Dalam perumahan khusus atau melalui pengajaran yang khusus dicoba untuk memberikan pendidikan yang sebaiknya pada anak-anak sukar didik tersebut,sesudah itu dibicarakan anak dengan berbagai macam kesukaran belajar ( gangguan membaca, gangguan berhitung, dan sebagainyaa ). Bila sebabnya ada pada anak sendiri maka penanganan ( penyembuhannya ) lebih sulit daripada anak sukar didik yang sebabny karena proses belajar ( di sekolah atau di rumah ) yang kurang cocok hingga menimbulkan berbagai macam problema.
Permasalahan anak delinkuen yang kebanyakan disebabkaan oleh pendidikan dan keadaan lingkungan yang tidak baik, membutuhkan suatu penanganan ( perawatan ) yang terarah dalam jangka waktu panjang dengan penggunaan berbagai jenis terapi. Perilaku penganiayaan anak yang sering bersifat kriminal ternyata juga diketemukan pada milieu sosial yang tinggi. Hal itu juga berlaku untuk incest.
Akhirnya juga diberikan perhatian pada aliensi ( keterasingan ) dan kecanduan serta hubungannya antara kedua hal tersebut. Dalam hal ini faktor pendidik dan faktor masyarakat banyak bertanggung jawab sebagai penyebabnya. Untuk penyembuhannya terutama harus diusahakan akan perbaikan dari faktor-faktor tersebut.







Tugas dan Pertanyaan
1. Uraikan sebab-sebab perkembangan yang terganggu?
2. Bagaimana model diskrepansi diterapakan pada gangguan belajar ? apa sebab kelemahannya?
3. Apa sebabnya orang mengatakan autisme anak-kanak awal ? bagaimana prognasannya bila dipandang dari sudut tingkah laku lekat ?
4. Mengapa diperlakukan sekali penanganan resedensial bagi anak terlantar emosional yang mendalam ?
5. Apa yang dimaksudkan dengan underachievement ?
Bagaimana usaha pengatasannya?
6. Mengapa bentuk-bentuk sukar-didik tertentu merupakan pre-disposisi delinkuen ?
7. Terangkan hubungan antara aliensi ( keterasingan ) dengan kecanduan.

Tinjauan Penutup
Dalam kata pengantar yang singkat hanya dikemukakan secara dangkal tujuan apa yang akan dicapai oleh para penulis dalam penulis buku pengantar ini. Berhubung dalam permulaan tulisan belum dicantumkan suatu pertanggung jawab, pentinglah kiranya untuk pada akhir tulisan ini mengemukakan tujuan dan cara-cara untuk merealisasi tujuan tersebut secara khusus. Dengan begitu juga akan dikemukakan dengan ringkas apa yang dituliskan secara panjang lebar di dalam buku ini sendiri.
Para penulis menyebutkan dalam judul bawah sebagai pengantar dalam berbagai bagiaanya. Karena buku ini berusaha untuk menyajikkan kedudukan psikologi perkembangan sedemikian rupa, hingga bagian-bagian yang penting yang ada pada berbagai daerah tadi dapat mudah ditemukan.
Barang siapa telah mempelajari buku ini, dapat memperoleh gamabaran mengenai ruang lingkup dan pengertian-pengertian yang ada dalam psikologi perkembangan.
Buku ini tidak akan merupakan sesuatu yang lebih daripada suatu pengantar yang luas yang menunjuk pada kemungkinan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dan pengertian yang disajikan disini. Untuk maksud tersebut dibuatlah daftar pustaka yang cukup luas, sebagian besar terdiri daripada publikasi yang telah dikutip dalam teks secara dangkal.
Pengantar teoritis yang ada pada bab 1 menunjukkan bahwa ada beberapa teori atau cara tinjauan dalam psikologi perkembangan dan bahwa disini, mengenai teori ekonomi makro nya yang telah dipilih suatu teori yang memandang perkembangan sebagai proses interaksi antara kondisi intern dan ekstern dan dari interaksi ini juga dikemukakan cara manusia mencoba merealisasi kehidupan dan tujuan hidupnya. Proses ini, sesuai dengan literatur sosiologi dan pedagogi, tersebut sebagai proses emansipasi, yang sekaligus menunjuk akan perlunya memutuskan hubungan yang non-rasional dengan situasi dan relasi kelompok, bila diinginkan perkembangan yang sungguh-sungguh.
Suatu garis metodik yang nampak berjalan dalam buku ini adalah mencari keseimbangan antara pendekatan yang kronologi dengan pendekatan yang tematis. Hal ini terutama nampak karena dalam berbagai periode kehidupan ditinjau mendalam tematiknya yang sangat penting bagi periode tersebut. Dengan begitu dicari persesuaiaanya dengan pendekatan dari misalnya Erikson, Havighurs Ch. Buhler dan Thomae. Pendekatan tematis mengakibatkan bahwa suatu gejala dibicarakan lagi dalam konteks yang lain.
Dalam hubungan ini bab 2 dan bab 3 titik beratnya sedikit banyak ada perkembangan fisik dan psikomotoriknya, dalam bab 4 pada perkembangan kognitif, dalam bab 5 pada perkembangan seksual dan hal yang berhubungan dengan itu yaitu perkembangan psiko-sosial, dalam bab 6 pada perkembangan kemasyarakatan dan perkembangan moral maupun pandangan hidup. Dalam bab 7 ditunjukkan bagaimana orang dewasa dan yang meningkat tua harus membuat suatu integrasi antara berbagai macam komponen yang penting dalam perkembangan. Bab 8 memberikan perhatian pada sejumlah gangguan perkembangan dan deviansi yang khas bagi periode hidup yang berbeda-beda.
Dengan membicarakan beberapa tematik ini ditunjukkan bagi masa anak, remaja, maupun orang dewasa, makin luas persepektif hidup mereka, dan sampai dimana berlakunya hal tersebut bagi orang yang meningkat tua. Dalam bab 2 dan bab 3 dapat dilihat perluasan pertama ruang badaniah sendiri, oleh ibu dan dalam keluarga, dalam bab 4 terjadi suatu perluasan lagi dengan perantara tetangga dan sekolah; dalam bab 5 dengan perantaraan teman- teman sebaya; dalam baab 6 dengan perantaraan pekerjaan dan studi dan karena keterlibatan dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam bab 7 dikemukakan bahwa orang yang meningkat tua ingin menemukan dirinya dalam situasi yang baru. Yaitu dalam situasi menjadi tua. Bab 8 membicarakan tematik mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan gangguan-gangguan yang serius yang dapat timbul dalam perkembangan kepribadian seseorang.
Para penulis menggunakan data yang berasal dari penelitian sendiri maupn dari literatur yang bersifat empiris dan teoritis, baik yang berasal dari eropa maupun yang berasal dari Amerika. Data yang diutamakan bukan melulu data yang datang dari metode eksperimental. Melainkan juga dipentingkan data dari penelitian klinis dan biografis.
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa dalam segi pendekatan teoritis maupun metedologis telah dicari suatu imbangan yang sebaik-baiknya. Dengan cara ini para penulis ingin menyajikan suatu buku pengantar yang memenuhi persyaratan ilmiah dan sekaligus berguna bagi para mahasiswa dan semua orang yang ingin mempelajari psikologi perkembangan dalam menghadapi tugas-tugas sosiaal mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J.F. ( ed. ), Understanding Adolaescence Current Developments.
Adolescent Psyhology. Boston: Allyn & Bacon. 1967.3
Aditanti, Maria goretti. Perkembangan Kelekatan Anak. Berka Penelitian Pasca Sarjana Universitas gajah mada . Yogyakarta. Universitas gajah Mada, 1991
Adorno, Th. W. Erziehung zur Mundigkeit. Frankfurt S. M , Suhrkan 1970.
Aichorn, A. Verwahrloste jungend. Bern : Huber Verlag. 1957
Ainworth, M. D. S. Attaucment Across the Lifespan. Bulletin of the York Academy of Medicine ,61 ( no. 9 ) 792-812, 1985.
Albinski, M. Survey-research. Utrecht . Het Spectrum, 1967.
Allemann, Cecile. Uber das Spiel. Zurich : Juris Verlag. 1951.
Allport, G.W. Patern and growth in personality, new York: Holt. F
Hart & winston, 1966.
Alphen de Veer, R.J. van, Gerritsen, F. M. E, Hulsman, W.L.I Schroots J. J. F. Betekenis en voorpeliende waarde van de meegse Schoolbekwaamheidstest, Frankforter Scoolrijpheic en Profieltest. Nijmegen : BerKhout, 1978.
Andriessen, H.C.J Groel en grens in de volwassenheid. Inleiding Psychologie cvan de volwassen levensloop. Nijmegen: Dek van de Vegt, 1974.
Aries, P. H. Centuries of childhood. A social history of familiy life York vintage Books, 1962.
Asperger , H. Die ‘Autistische Psyhopathen im Kindesalter Psyciater. 117,1,76-137, 1994.
Ausubel, D.P. Theories and Problems of adolescent developmen York : Grune & Stratton, 1965. ( Jerman : Des Jugendalte chen : Juventa, 1971 ).






PERBANDINGAN NYA:
Psikologi perkembangan
Pengertian Psikologi Perkembangan
Psikologi perkembangan adalah cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari perkembangan dan perubahan aspek kejiwaan manusia sejak dilahirkan sampai dengan mati. Terapan dari ilmu psikologi perkembangan digunakan di bidang berbagai bidang seperti pendidikan dan pengasuhan, pengoptimalan kualitas hidup dewasa tua, penanganan remaja.
Pandangan para ahli dalam mendefinisikan psikologi perkembangan adalah sebagai berikut:
David G Myers (1996) Psikologi perkembangan “a branch of psychologu that studies physical, coginitive, and social change throughout the life span”
Kevil L.Seifert & Robert J Hoffnung (1994) Psikologi Perkembangan “The schientificy study of how thoughts, feeling, personalitu, social relationships, and body of motor skill envolve as an individual grows older”
Linda L Daidoff (1991) Psikologi Perkembangan adalah cabang psikologi yang mempelajari perubahan dan perkembangan stuktur jasmani, perilaku, dan fungsi mental manusia yang dimulai sejak terbentuknya makhluk itu melalui pembuahan hingga menjelang mati.
M Lenner (1976) Psikologi perkembangan sebagai pengetahuan yang mempelajari persamaan dan perbedaan fungsi-fungsi psikologis sepanjang hidup (mempelajari bagaimana proses berpikir pada anak-anak, memiliki persamaan dan perbedaan, dan bagaimana kepribadian seseorang berubah dan berkembangn dari anak-anak, remaja, sampai dewasa.
Jadi, psikologi Perkembangan adalah cabang dari psikologi yang mempelajari secara sistematis perkembangan perilaku manusia secara ontogenik, yaitu mempelajari struktur jasmani, perilaku, maupun fungsi mental manusia sepanjang rentang hidupnya (life span) dari masa konsepsi hingga menjelang mati.
Persfektif atau Pandangan Tentang Psikologi Perkembangan
Perkembangan masa hidup memiliki 2 macam perspektif atau pandangan. Pertama, pendekatan tradisional (traditional approach) adalah pendekatan yang menekankan perkembangan pada perubahan ekstrim dari lahir hingga masa remaja saja. Sedangkan yang kedua, pendekatan masa hidup (the life-span approach) adalah pendekatan yang menekankan pada perubahan perkembangan terjadi selama masa hidup manusia.
Menurut pakar perkembangan masa hidup, Paul Baltes, perspektrif perkembangan masa hidup (life-span perspective) mencakup tujuh kandungan dasar yaitu: Perkembangan bersifat seumur hidup, multidimensional, multidireksional, plastis, melekat secara kesejarahan, multidisiplin, dan kontekstual.
Berikut adalah penjelasan dari setiap kandungan tersebut.

Perkembangan bersifat seumur hidup. Tidak ada periode usia yang mendominasi perkembangan hidup. Perkembangan meliputi keuntungan dan kerugian, yang berinteraksi dalam cara yang dinamis sepanjang siklus kehidupan. Sehingga selama proses bertambahnya usia, maka selama itulah proses perkembangan akan terus berjalan.

Perkembangan bersifat multidimensional. Perkembangan terdiri atas dimensi biologis, kognitif, dan sosial. Dimensi inilah yang dikaji dalam setiap periode perkembangan manusia. Bahkan dalam satu dimensi semacam intelegensi, terdapat banyak komponen, seperti intelegensi abstrak, intelegensi nonverbal, intelegensi sosial, dan lain-lain

Perkembangan bersifat multidireksional. Beberapa dimensi atau komponen dari suatu dimensi dapat meningkat dalam masa pertumbuhan, sementara dimensi lainnya menurun. Misalnya, orang dewasa akan lebih arif dalam berpikir mengingat pengalaman yang banyak, tetapi disisi lain ia merasa mudah lelah jika malakukan pekerjaan berat.

Perkembangan bersifat lentur (plastic). Bergantung pada kondisi kehidupan individu, perkembangan terjadi melalui banyak cara yang berbeda. Sehingga manusia satu dan lainnya belum tentu memiliki proses perkembangan yang sama. Misalnya, kemampuan penalaran orang dewasa dapat ditingkatkan melalui pelatihan dan orang dewasa lainnya melalui pengalaman pribadi.


Perkembangan melekat secara kesejarahan. Perkembangan dipengaruhi oleh faktor sejarah dimana individu hidup. Seorang berusia 40 tahun mengalami depresi berat akibat perang dunia pertama, akan berbeda dengan seorang berusia 40 tahun mengalami depresi pada waktu sekarang ini.

Perkembangan dipelajari oleh berbagai multidiplin. Para pakar psikologi, sosiologi, antropologi, neurosains, dan peneliti kesehatan semuanya mempelajari perkembangan manusia dan berbagi persoalan untuk membuka misteri perkembangan masa hidup manusia.

Perkembangan bersifat kontekstual. Perkembangan manusia mengikuti konteks yang meliputi linkungan, sosial, kebudayaan, dan lain-lain. Sehingga individu dilihat sebagai makhluk yang sedang berubah di dalam dunia yang sedang berubah.
Dengan mempelajari perkembangan masa hidup atau psikologi perkembangan, maka kita akan menemukan informasi tentang siapa kita, bagaiamana kita dapat seperti ini dan kemana masa depan akan membawa kita.












Sejarah Psikologi Perkembangan
Dalam mempelajari secara psikologi perkembangan dapat dilihat dari 3 periode yaitu :Minat awal mempelajari perkembangan anak
Sebelum mempelajari psikologi pekembangan, perhatian berawal pada pemahaman yang mendalam pada anak-anak. Dasar pemikiran merujuk bahwa penelitian dan buku-buku tentang anak sedikit sekali, pemahaman terhadap seluk beluk kehidupan anak sangat bergantung pada keyakinan dan trandisional yang bersumber pada spekulasi para filosof dan teolog tentang anak dan latar belakang perkembangannya, serta pengaruh keterunan dan lingkungan terhadap kejiwaan anak. Oleh karena itu salah seorang filosof Plato mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan individual mempunyai dasar genetis. Potensi idividu dikatakanya sudah ditentukan oleh faktor keturunan. Artinya sejak lahir anak telah memiliki bakat-bakat atau benih-benih kemampuan yang dapat dikembangan melalui pengasuhan dan pendidikan.
Walaupun plato tidak dapat memberikan bukti langsung dalam menunjang spekulasinya, namun tampak jelas bahwa menurunnya anak merupakan miniatur orang dewasa. Anggapan ini tampak bahwa semua keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang tampil dikemudian hari setelah dewasa merupakan bawaan sejak lahir (innate ideas), pendidikan tidak lain hanyalah upaya untuk menarik potensi ke luar, namun tidak menambahkan sesuatu yang baru. Perkembangan dianggap sebagai suatu pertumbuhan semata. Jadi anak merupakan miniatur orang dewasa mengandung arti bahwa anak berbeda secara kuantitatif dengan orang dewasa bukan secara kualitatif.
Pada abad pertengahan, masyarakat tidak memberikan status apapun kepada anak-anak, bahkan lukisan kuno proporti tubuh anak-anak sering digambarkan sama dengan proporsi tubuh orang dewasa. Anak-anak diberi pakaian model pakaian orang dewasa dalam ukuran kecil. Segera setelah anak dapat berjalan dan berbicara, mereka bergabung dengan orang dewasa sebagai anggota masyarakat, memainkan permainan dan mengerjakan tugas-tugas yang sama dengan orang dewasa.
Anggapan terhadap anak sebagai miniatur orang desawa ternyata membawa implikasi penting dalam dunia pendidikan. Proses-proses yang mendasari cara berpikir dan berbuat anak dianggap sama seperti orang dewasa. Apabila anak berpikir dan melakukan perbuatan yang menyimpang dari standar orang dewasa, anak dianggap bodoh atau tolol dan apabila anak-anak melanggar norma-norma sosial dan moral, dianggap berbuat jahat dan harus diberkan hukuman seperti orang dewasa.

Pada abad ke 17, seorang filosof Inggris John Locke (1632-1704) menyatakan bahwa pengalaman dan pendidikan adalah faktor yang paling menentukan dalam perkembangan anak, dia tidak mengakui adanya kemampuan bawaan (innate knowledge) Menurut Locke, isi kejiwaan anak ketika dilahirkan diibaratkan secarik kertas kosong, dimana corak dan bentuk kertas tersebut sangat ditentukan bagaimana cara kertas itu ditulisi, Locke memberi istilah Tabula Rasa (Blank Slate), mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak. Jean Jaccques Rousseau (1712-1778) filosof Perancis abad ke 18 berpandangan bahwa anak berbeda secara kualitatif dengan orang dewasa. Rousseau menolak pandangan bahwa bayi adalah makhluk pasif yang perkembangannya ditentukan oleh pengalaman, dan menolak anggapan bahwa anak merupakan orang dewasa yang tidak lengkap dan memperoleh pengetahuan melalui cara berpikir orang dewasa. Sebaliknya Rousseau beranggapan bahwa sejak lahir anak adalah makhluk aktif dan skua bereksplorasi. Oleh karena itu anak harus dibiarkan untuk memperoleh pengetahuan dengan caranya sendiri melalui interaksinya dengan lingkungan.
Rousseau dalam bukunya Emile ou L’education (1762), menolak, pandangan bahwa anak memiliki sifat bawaan yang buruk (innate bad), dia menegaskan bahwa “All thinhs are good as they come out of the hand of their creator, but everything degenates in the hand of man” artinga segala-galanya adalah baik sebagaimana ke luar dari tangan sang pencipta, segala-galanya memburuk dalam tangan manusia. Pandangan ini dikenal dengan Noble Savage, ungkapan ini mengandung arti bahwa anak ketika lahir sudah membahwa segi-segi moral (hal-hal yang baik dan buruk, benar dan salah yang dapat berkembang secara alami dengan baik), jika kemudia terdapat penyimpangan dan keburukan, hal itu dikarenakan pengaruh lingkungan dan pendidikan.
Dasar-Dasar Pembentukan Psikologi Perkembangan secara Ilmiah
Pandangan Plato, Locke, dn Rousseau pada dasarnya bersifat spekulatif, walaupun pada abad ke 18 telah ada penelitian-penelitan tentang anak seperti Johan Heinrich Pestalozzi (1946-1827) ahli pendidikan dari Swiss, Dietrich Tiedemen (1787) Tabib dari Jerman, namun penelitian yang sungguh-sungguh terhadap perkembangan anak-anak baru dimulai pada abad ke 19 yang dipelopori oleh Charles Darwub dab Wilhem Wundt

Pengaruh Charles Darwin (1809-1882)
Ilmuan dari inggris yang terkenal dengan teori evolusinya ini, mempublikasikan lewat Origin of The Species (1859) dan Descent of Man (1871), karyanya ini merangsang untuk melakukan observasi terhadap perkembangan anak. Darwin menyatakan bahwa anak merupakan sumber yang kaya informasi tentang sifat dan ciri-ciri manusia, dengan mempelajari tingkah laku dan perkembangan anka, kita bisa mengetahui asal-usul manusia. Hal ini berhubungan dengan teori evolusinya mengenai pekembangan hewan dan manusia.
andangan biologis Darwin menganggap pekermbangan sebagai pembukaan kemampuan dan ciri-ciri yang telah terprogram secara genetik. Pandangan ini kemudian menjadi landasan bagi Psikolog Perkembangan seperti Stanley Hall dengan “perkembangan mengakhiri evolusi”, Sigmun Freud dengan “Tahap-tahap perkembangan seksualitas”, Arnold Gesselold dengan “Jadwal tetap pertumbuhan”, John Bowlby Chomsky dengan “Kemampuan berbahasa yang dibawa sejak lahir” serta riset “perkembangan biologi syaraf” yang meneruskan tradisi Darwin.
Pengaruh Wilhem Wundt (1832-1920)
Peristiwa penting abad ke 19 menjadi dasar tumbuhnya Psikologi sebagai disiplin yang berdiri sendiri, ditandai dengan didirikannya laboratorium psikologi pertama oleh Wilhelm Wundt (1879) di Leipzzing. Wundt beranggapan bahwa eksperimen memiliki arti penting bagi psikologi, dia memberi dasar pada Psikologi Esperimental. Menurut Wundt eksperimen dapat membuktikan wilayah pengamatan dari tanggapan
Pandangan Wundt dan Darwin berpengaruh pada G Stanley Hall (1846-1924) murid Wundt di Leipzzing, Stanley mengambil dari Darwin aalah “tentang adanya rekapitulasi dalam perkembangan manusia” menurutnya, perkembangan individu perefleksikan perkembangan species yang berarti bahwa adanya pengulangan (rekapitulasi) dari perkembangan species yang meliputi beberapa tingkatan evolusi. Wundt memperluas konsep rekapitulasi yang meliputi perkembangan kebudayaan, biologis manuisia. Oleh karena itu Stanleyterkenal dengan “Recapitulations Theory” yang berangapan bahwa “Pentahapan dala proses pertumbuhan dan perkembangan yang dilalui anak ke arah kematangan adalah pengulangan secara filogenetis sejarah perkembangan manusia”.
Selanjutnya Hall dan muridnya Clark, berusaha untuk mengetahui stuktur pikiran anak-anak dengan melakukan penelitian tentang permainan anak dan isi pikiran anak di Universitas Massachusetts. Mereka mengumpulkan data tentang perkembangan anak-anak, remaja, orang tua, dan guru dengan sampel yang cukup besar. Penelitian ini dianggap permulaan studi sistematik dan metodologik terhadap anak-anak di amerika.
Muculnya Studi Psikologi Perkembangan Modern
Pada abad ke 20 studi sistematis tentang perkembangan anak semakin berkembang secara signifikan. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yang lebih ditekankan pada ciri-ciri khas secara umum, golongan umur, dan masa depan perkembangan tertentu. Predisposisi mendeskripsikan gejala perkembangan manusia secara mendetail adalah penting dalam perkembangan disiplin ilmu. Oleh karena itu untuk perkembangan pemahaman tentang perkembangan anak, diperlukan prinsip teoritis sebagai dasar observasi yang tidak hanya sekerdar mendeskripsikan. Pada pertengahan abad 20, J.B. Watson (Behaviorism Theory), memperkenalkan prinsip-prinsip “Classical Conditioning” menjelaskan perkembangan tingkah laku, menurutnya prinsip-prinsip belajar dan prinsip conditioning dapat diterpakan pada semua perkembangan.
Karya Watson membawa perkembangan pada teori psikologi perkembangan, meskipun menimbulkan pertentangan seperti Sigmun Freud dengan teori psikoanalisisnya, dan inilah yang menyebabkan berkurangnya minat terhadap psikologi perkembangan, namon setidaknya ada 3 faktor yang mendorong pengaktifan kembali psikologi perkembangan memasuki periode baru dalam bidang studi perkembangan, yaitu :
1. Terjadinya perubahan orientasi dalam riset-riset psikologi perkembangan hingga menjadi bersifat eksperimental dengan pengukuran dan pengontrolan eksperimen yang terbukti sangat berhasil digunakan dalam proses eksperimen umum.
2. Ditemukan Kembali hasil karya J. Piaget (Swiss) mengenai teori kognisi yang beranggapan bahwa perkembangan ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan perkembangan individu terjadi sebagai hasil interaksi yang konstan antara individudengan tuntutan lingkungan.
3. Adanya minat baru terhadap asal mula tingkah laku (Origin of Behavior), ditandai dengan meningkatnya riset terhadap bayi-bayi. Peningkatan ini didorong dengan adanya alat-alat modern dan teknik pencatatan (recording) yang makin baik.
Objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Pra ahli psikologi juga tertarik akan masalah seberapa jauhkah perkembangan manusia tadi dipengaruhi oleh perkembangan masyarakatnya (Van den Berg, 1986; Muchow,1962). Mengenai hal yang terakhir ini akan sering kita jumpai kembali dalam tulisan ini, namun perhatian psikologi perkembangan yang utama tertuju pada perkembangan manusianya sebagai person. Masyarakat merupakan tempat berkembangnya person tadi.
Tetapi apa sebetulnya yang dimaksudkan dengan perkembangan pribadi itu? Apakah artinya bila dikatakan bahwa perkembangan itu sedang berlangsung? Pertanyaan yang kedua ini akan mendapat tinjauan lebih lanjut nanti.
Pengertian perkembangan pada suatu proses kea rah yang lebih sempurna dan tidak begitu saja dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali (Werner, 1969). Dalam “pertumbuhan” ada sementara ahli psikologi yang tidak mebedakan antara perkembangan dan pertumbuhan; bahkan ada yang lebih mengutamakan pertumbuhan. Hal ini mungkin untuk menunjukan bahwa orang yang berkembang tadi bertambah kemampuannya dalam berbagai hal lebih mengalami diferensiasi dan pada tingkat yang lebih tinggi, lebih mengalami integrasi. Dalam tulisan ini, maka istilah pertumbuhan badan dan fungsi fisik yang murni. Menurut banyak ahli psikologi dan para ahli psikoloi sendiri, maka istilah perkembangan lebih dapat mencerminkan sifat yang khas mengenai gejala psikologis yang muncul.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikis, misalnya bertambahnya fungsi otak memungkinkan anak dapat tertawa, berjalan, berbicara, dan sebagainya. Mampu untuk berfungsi dalam satu nivo yang lebih tinggi karena pengaruh pertumbuhan disebut pemasakan. Misalnya sebelum pendidikan kebersihan dapat dimulai, mak aurat daging pembuangan harus selesai pertumbuhannya, harus sudah masaklebih dahulu. Meskipun dapat dikatakan mengenai belajar berjalan, namun harus ada pemasakan beberapa fungsi lebih dahulu, sebelum belajarnya tadi mungkin dilaksanakan
Psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan
Dalam pasal yang sebelumnya telah sering ditunjukan adanya hubungan antara perkembangan dengan pribadi atau kepribadian. Pribadi atau kepribadian disini dipandang sebagai kesatuan sifat yang khas yang menandai pribadi tertentu itu. Pemakaian istilah kepribadian menimbulkan permasalahan baru, yaitu karena teori mengenai kepribadian ada bermacam-macam pula. Hermann (1969) berpendapat bahwa pengertian kepribadian merupakan suatu konstruk teoretis yang sangat kabur defnisinya. Oleh karena itu menurut Hermann lebih baik definisinya diberikan sesudah dilakukan penelitian lebih lanjut daripada diberikan sekarang.
Walaupun terdapat banyak perbedaan pendapat antara para ahli teori kepribadian, namun menurut thomae (1968) ada suatu persamaan pendapat, yaitu bahwa setiap pribadi mempunyai cirri-cirinya yang khas. Tidak ada satu orangpun yang mempunyai cirri seratus persen sama dengan orang lain: setiap orang adalah pribadi yang khusus. Disamping itu juga ada stabilitas dalam kepribadian seseorang hingga dapat dikatakan ada suatu identitas pribadi. Meskipun ada perubahan yang dialami seseorang, pada dasarnya orang tadi tetap mewujudkan pribadinya sendiri.
Teori-teori perkembangan
Berhubung beberapa aspek didalamnya diberikan penonjolan tertentu, maka timbullah berbagai pandangan (teori) mengenai psikologi perkembangan. Suatu teori akan memperoleh arti yang penting bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala yang ada. Marx (1963) membedakan adanya tiga macam teori. Ketiga teori yang dimaksud ini berhubungan dengan data yang empiris. Dengan demikian dapat dibedakan antara:
a. Teori yang deduktif : memberikan keterangan yang dimulai dari suatu perkiraan atau pikiran spekulatif tertentu ke arah data yang akan diterangkan.
b. Teori yang induktif: cara menerangkan adalah dari data ke arah teori. Dalam bentuk ekstrim titik pandang yang positivistis ini dijumpai pada kaum behaviorist.
c. Teori yang fungsional: disisni nampak suatu interaksi pengaruh antara data dan perkiraan teoritis, yaitu data mempengaruhi pembentukan teori dan pembentukan teori kembali mempengaruhi data.
Berdasarkan pembagian ini dapatlah disimpulkan bahwa teori dapat dipandang sebagai berikut:
1. Teori menunjuk pada sekelompok hokum yang tersusun secara logis. Hukum-hukum ini biasanya mempunyai sifat hubungan yang deduktif. Suatu hukum menunjukkan suatu hubungan antara variable-variabel empiris yang bersifat ajeg dan dapat diramal sebelumnya.
2. Suatu teori juga dapat merupakan suatu rangkuman tertulis mengenai suatu kelompok hukum yang diperoleh dan dari data yang diperoleh itu datang pada suatu konsep yang teoritis.
3. suatu teori juga dapat menunjuk pada suatu cara menerangkan yang menggeneralisasi. Disini biasanya terdapat hubungan yang fungsional antara data dan pendapat yang teoritis.
Berdasarakan data tersebut diatas secara sangat umum dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu teori adalah suatu konsepsualisasi yang umum. Konsepsualisasi atau sistem pengertian ini diperoleh melalui jalan yang sistematis. Suatu teori harus dapat diuji kebenarannya, bila tidak dia bukan suatu teori.
Teori semacam itu mempunyai dasar empiris. Suatu teori dapat memandang gejala yang dihadapi dari sudut yang berbeda-beda, misalnya dapat dengan menerangkan, tetapi dapat pula dengan menganalisa dan menginterpretasi secra kritis (Habermas, 1968). Misalnya melukiskan suatu konflik antar generasi yang dilakukan oleh ahli teori yang berpandangan emansipatoris akan berlainan dengan cara melukiskan seorang ahli teori lain yang tidak berpandangan emansipatoris. Fakta tetap sama, tetapi cara menerangkan dan melukiskan akan lain.
Kegunaan Psikologi Perkembangan
Berikut ini akan dikemukakan kegunaan psikologi perkembangan sebagai berikut:
 Dengan mempelajari psikologi, orang akan mengetahui fakta-fakta dan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku manusia.
 Untuk memahami diri kita sendiri dengan mempelajari psikologi sedikit banyak orang akan mengetahui kehidupan jiwanya sendiri, baik segi pengenalan, perasaan, kehendak, maupun tingkah laku lainnya.
 Dengan mengetahui jiwanya dan memahami dirinya itu maka orang dapat menilai dirinya sendiri.
 Pengenalan dan pemahaman terhadap kehidupan jiwa sendiri merupakan bahan yang sangat penting untuk dapat memahami kehidupan jiwa orang lain.
 Dengan bekal pengetahuan psikologi juga dapat dipakai sebagai bahan untuk menilai tingkah laku normal, sehingga kita dapat mengetahui apakah tingkah laku seseorang itu sesuai tidak dengan tingkat kewajarannya, termasuk tingkat kenormalan tingkah laku kita sendiri.



Pengetahuan Psikiologi Perkembangan, secara khusus, sangat berguna bagi para pendidik, yaitu dengan bekal psikologi perkembangan:
• Mereka dapat memilih dan memberikan materi pendidikan dan pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak didik pada tiap tingkat perkembangan tertentu.
• Mereka dapat memilih metode pengajaran dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat perkembangan pemahaman murid-murid mereka.
Objek Psikologi Perkembangan
Objek psikologi perkembangan adalah perkembangan manusia sebagai pribadi. Perkembangan pribadi manusia ini berlangsung sejak konsepsi sampai mati. Perkembangan yang dimaksud adalah proses tertentu yaitu proses yang terus menerus, dan proses yang menuju ke depan dan tidak begitu saja dapat diulang kembali.
Istilah “perkembangan “ secara khusus diartikan sebagai perubahan-perubahan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang menyangkut aspek-aspek mental psikologis manusia.
Jenis-Jenis Dan Karakteristik Perkembangan
Elizabeth Hurlock mengemukakan jenis-jenis perubahan selama proses perkembangan dan sifat-sifat khusus dalam perkembangan.
1. Jenis-jenis perkembangan (Types of changes in Development)
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam proses perkembangan digolongkan ke dalam 4 jenis; yaitu:
 Perubahan dalam ukuran (changes in size)
 Perubahan dalam perbandingan ( changes in proportion)
 Pengertian wujud ( Disappearance of Old Features)
 Memperoleh wujud baru ( Acquisition of New Features)
2. Sifat-sifat khusus perkembangan (Characteristics of Development)
Ada beberapa sifat khusus yang dapat kita lihat dalam perkembangan. Dan hanya diambil yang jelas menunjukkan pengaruh yang besar; yaitu:
a. Perkembangan berlangsung menurut suatu pola tertentu.
b. Perkembangan berlangsung dari sifat-sifat umum ke sifat-sifat khusus.
c. Perkembangan adalah tidak terputus-putus.
d. Perbedaan kecepatan perkembangan antara kanak-kanak akan tetap berlangsung.
e. Perkembangan dari pelbagai bagian badan berlangsung masing-masing dengan kecepatan sendiri.
f. Sifat-sifat dalam perkembangan ada sangkut pautnya antara satu dengan lainnya.
g. Perkembangan dapat dikira-kirakan lebih dahulu.
h. Tiap-tiap fase perkembangan mempunyai coraknya masing-masing.
i. Apa yang disebut sikap yang menjadi persoalan kerapkali sikap biasa sesuai dengan umurnya.
j. Tiap-tiap orang yang normal akan mencapai masing-masing fasenya terakhir dalam perkembangan.
Kesimpulan :
o Pengetahuan tentang dasar-dasar perkembangan adalah sangat penting artinya bagi kita.
o Memungkinkan kita mengetahui apa yang dapat kita harap pada suatu usia, sehingga tidak terjadi harapan yang berlebihan atau mematikan pengharapan yang kedua-duanya akan berakibat tidak baik.
o Memungkinkan kita mengetahui secara tepat kapan kita harus berbuat dan apa yang harus kita buat untuk membantu pertumbuhannya, agar berlangsung dengan baik.



Fase Dan Ciri-Ciri Pertumbuhan & Perkembangan
Pendapat para Ahli mengenai periodisasi yang bermacam-macam di atas dapat digolongkan dalam tiga bagian, yaitu:
1. Periodisasi yang berdasar biologis
Periodisasi atau pembagian masa-masa perkembangan ini didasarkan kepada keadaan atau proses biologis tertentu. Pembagian Aristoteles didasarkan atas gejala pertumbuhan jasmani yaitu antara fase satu dan fase kedua dibatasi oleh pergantian gigi, antara fase kedua dengan fase ketiga ditandai dengan mulai bekerjanya kelenjar kelengkapan kelamin.
Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :

a) Kretschmer

Kretschmer membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) fase, yaitu:

1. Fullungsperiode I

Yaitu pada umur 0;0 – 3;0. Pada masa ini dalam keadaan pendek, gemuk, bersikap terbuka, mudah bergaul dan mudah didekati.

2. Strecungsperiode I

Yaitu pada umur 3;0 – 7;0. Kondisi badan anak nampak langsing, sikap anak cenderung tertutup, sukar bergaul dan sulit didekati

3. Fullungsperiode II

Yaitu pada umur 7;0 –13;0. Kondisi fisik anak kembali menggemuk
4. Strecungsperiode II

Yaitu pada umur 13;0 – 20;0. Pada saat ini kondisi fisik anak kembali langsing

b) Aristoteles

Aristoteles merumuskan perkembangan anak dengan 3 (tiga) fase perkembangan yakni:

1. Fase I

Yaitu pada usia 0;0 –7;0 yang disebut masa anak kecil dan kegiatan pada fase ini hanya bermain.

2. Fase II

Yaitu pada usia 7;0 –14;0 yang disebut masa anak atau masa sekolah dimana kegiatan anak mulai belajar di sekolah dasar

3. Fase III

Yaitu pada usia 14;0 – 21;0 yang disebut dengan masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa.

Aristoteles menyebutkan pada periodesasi ini disebut sebagai periodesasi yang berdasarkanpada biologis karena antara fase I dengan fase ke II itu ditandai dengan adanya pergantian gigi, sedangkan antara fase ke II dengan fase ke III ditandai dengan mulai bekerjanya organ kelengkapan kelamin.

c) Sigmund Freued

Freued membagi perkembangan anak menjadi 6 (enam) fase perkembangan yakni:

1. Fase Oral

Yaitu pada usia 0;0 – 1;0. Pada fase ini, mulut merupakan central pokok keaktifan yang dinamis.

2. Fase Anal

Yaitu pada usia 1;0 – 3;0 Pada fase ini, dorongan dan tahanan berpusat pada alat pembuangan kotoran.

3. Fase Falis

Yaitu pada usia 3;0 – 5;0. Pada fase ini, alat-alat kelamin merupakandaerah organ paling perasa

4. Fase Latent

Yaitu pada usia 5;0 – 12/13;0 Pada fase ini, impuls-impuls cenderung berdada pada kondisi tertekan

5. Fase Pubertas

Yaitu pada usia12/13;0 – 20;0 Pada fase ini, impuls-impuls kembali menonjol. Kegiatan ini jika dapat disublimasikan maka seorang anak akan sampai pada fase kematangan

6. Fase Genital
Yaitu pada usia 20 ke atas, Pada fase ini, seseorang telah sampai pada fase dewas.

d) Jesse Feiring Williams

Williams membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) masa perkembangan yakni:

1. Masa Nursery dan kindergarten yaitu, pada usia 0;0 – 6;0

2. Masa cepat memperoleh kekuatan/tenaga, yaitu pada usia 6;0 – 10;0

3. Masa cepat berkembangnya tubuh, yaitu pada usia 10;0 – 14;0

4. Masa Adolesen yaitu pada usia 14;0 –19;0 adalah masa perubahan pola dan kepentingan kemampuan anak dengan cepat.
2. Periodisasi Yang Berdasar Psikologis
Tokoh utama yang mendasarkan periodisasi ini kepada keadaan psikologis ialah Oswald Kroch. Beliau menjadikan masa-masa kegoncangan sebagai dasar pembagian masa-masa perkembangan, karena beliau yakin bahwa masa kegoncangan inilah yang merupakan keadaan psikologis yang khas dan dialami oleh setiap anak dalam masa perkembangannya.
Pada pembagian ini para ahli membahas gejala perkembangan jiwa anak, berorientasi dari sudut pandang psikologis, mereka tidak lagi mendasarkan pada sudut pandang biologis ataupun didaktis. Sehingga para ahli mengembalikan masalah kejiwaan dalam kedudukan yang murni.

Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :

a) Oswald Kroh

Kroh berpendapat bahwa pada dasarnya perkembangan jiwa anak berjalan secara evolutiv.Dan pada umumnya proses tersebut pada waktu-waktu tertentu mangalami kegoncangan (aktivitas revolusi), masa kegoncangan ini oleh Kroh disebut ‘Trotz Periode’,dan biasanya tiap anak akan mengalaminya sebanyak dua kali, yakni trotz I sekitar usia 3/4 tahun. Trotz II usia 12 tahun bagi putri dan usia 13 tahun bagi laki-laki.

Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Dari lahir hingga trotz periode I disebut sebagai masa anak awal (0;0 – 03;0/04;0)

2. Dari Trotz periode I hinga Trotz periode II disebut masa keserasian bersekolah (03;0/04;0 – 12;0/13;0)

3. Dari trotz periode II hingga akhir masa remaja disebut masa kematangan (12;0/13;0 – 21;0)

b) Charlotte Buhler

Charlotte membagi perkembangan anak menjadi 5 (lima) fase, yaitu :

1. Fase I (0;0 – 1;0), Pada fase ini perkembangan sikap subyektif menuju obyektif,

2. Fase II (1;0 – 4;0), Pada fase ini makin meluasnya hubungan pada benda-benda sekitarnya, atau mengenal dunia secara subyektif.

3. Fase III (40 – 8;0), Pada fase ini individu memasukkan dirinya kedalam masyarakat secara obyektif, adanya hubungan diri dengan lingkungan sosial dan mulai menyadari akan kerja,tugas serta prestasi.

4. Fase IV (8;0 – 13;0), Pada fase ini mulai munculnya minat ke dunia obyek sampai pada puncaknya, ia mulai memisahkan diri dari orang lain dan sekitarnya secara sadar

5. Fase V (13;0 – 9;0) Pada Fase ini, nulai menemukan diri yakin shyntesa sikap subyektif dan obyektif

2.1.4. Gabungan dar ketiga kelompok oleh PH. Kohnstamm

Ia menyebutnya pandangan itu secara flectis, walaupun nampaknya lebih berorientasi pada dasar psikologis, yaitu :

1. 0;0 – 2;0 disebut masa vital

2. 2;0 – 7;0 disebut masa Esthetis

3. 7;0 – 12;0/13;0 disebut masa perkembangan intelektual

4. 12;0/13;0 – 20;0 disebut masa sosial

Pembagian terakir ini masih dapat diuraikan lagi menjadi :

1. 12;0 –14;0 = Masa Pural
2. 14;0 – 15;0 = Masa prapubertas

3. 15;0 – 18;0 = Masa Pubertas

4. 18;0 – 21;0 = masa adolesen

2.1.5. Tinjauan perkembangan anak global oleh Robert j. Havigurst

Robert meninjau perkembangan anak global yakni sebagai berikut:

1. 0;0 – 6;0 masa infacy and early childhood

2. 6;0 – 12;0 masa midle childhood

3. 12;0 – 18;0 masa preadolescense and adolesence

4. 18;0 – 35;0 masa early adulthood yang terbagi atas early adulthood (18;0 – 21;0), adulthood (21;0 – 35;0)

5. 35;0 – 60;0 masa middle age

6. 60;00 – ke atas masa later life.
3. Periodisasi Yang Berdasar Didaktis
Periodesasi berdasarkan didaktis adalah periodesasi yang pembahasannya berdasarkan pada segi keperluan/materi apa kiranya yang tepat diberikan kepada anak didik pada masa-masa tertentu, serta memikirkan tentang kemungkinan metode yang paling efektif untuk diterapkan di dalam engajar atau mendidik anak pada masa tertentu tersebut.

Para ahli yang termasuk dalam kelompok ini antara lain adalah :
a) Johann Amos Comenilus (Komensky)

Komensky membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) tahap, yaitu: 1. Scola Materna (sekolah ibu)

Yaitu pada usia 0;0 – 6;0 Pada fase ini, anak mengembangkan organ tubuh dan panca indra di bawah asuhan ibu (keluarga)

2. Scola Vermacula (sekolah bahasa ibu)

Yaitu pada usia 6;0 – 12;0 pada fase ini, anak mengembangkan pikiran, ingatan, dan perasaannya di sekolah dengan menggunakan bahasa daerah(bahasa ibu)

3. Scola Latina (sekolah bahasa latin)

Yaitu pada usia 12;0 – 18;0 pada fase ini, anak mengembangkan potensinya terutama daya intelektualnya dengan bahasa asing.

5. Academia (akademi) adalah media pendidikan bagi anak usia 18;0 – 24;0

b) Jean Jeaques Russeau
Didalam bukunya yang terkenal yaitu “Emile eu du I’education” Jean Jeaques Russeau membagi tahapan perkembangan anak antara lain:

1. Pada usia 0;0 – 2;0 tahun adalah masa asuha

2. Pada usia 2;0 – 12;0 tahun adalah masa pentingnya pendidikan jasmani dan alat-alat indera.
3. Pada usia 12;0 – 15;0 tahun adalah masa perkembangan pikiran dan masa juga terbatas

4. Pada usia 15;0 – 20;0 tahun adalah masa pentingnya pendidikan serta pembentukan watak, kesusilaan juga pembinaan mental agama

c) Dr. Maria Montessori

Dr. Maria membagi perkembangan anak menjadi 4 (empat) tahap, yaitu:

1. Pada usia 1;0 – 7;0 adalah masa penerimaan dan pengaturan rangsangan dari dunia luar dari alat dria.

2. Pada usia 7;0 – 12;0 adalah masa dimana anak sudah mulai memperhatikan masalah kesusilaan, mulai berfungsi perasaan ethisnya yang bersumber dari kata-kata hatinya dan dia mulai tahu kebutuhan orang lain

3. Pada usia 12;0 – 18;0 adalah masa penemuan diri serta kepuasan terhadap masalah-masalah sosial.

4. Pada usia 18;0 – 24;0 adalah masa pendidikan di perguruan tinggi, masa melatih anak akan realitas kepentingan dunia. Ia harus mampu berfikir secara jernih, jauh dari perbuatan yang tercela.

d) Charles E. Skinner

Skinner membagi perkembangan anak menjadi Prenatal Stages dan Postanal Stages dengan perincian sebagai berikut :

1. Prenatal Stages

 Germinal : a fortnigh after consepsion (saat perencanaan)

 Embryo : Dari Consepsion sampai pada 6 bulan

 Fetus : Dari 6 bulan sampai ia lahir ke dunia

2. Posnatal stage

 Parturate : Pada saan ia lahir kedunia sampai pada

 Neonate : 2 Bulan pertamasetelah anak lahir kedunia

 Infant : 2 tahun pertama setelah anak lahir ke dunia

 Preschool child : Pada usia 6;0 – 9;0 tahun

 Intermediate School : pada usia 9;0 –12;0 tahun

 Junior Hight School : Pada Usia 12;0 – 19;0 tahun

Pembagian masa-masa perkembangan sekarang ini seperti yang dikemukakan oleh Harvey A. Tilker, PhD dalam “Developmental Psycology to day”(1975) dan Elizabeth B. Hurlock dalam “Developmental Psycology”(1980) tampak sudah lengkap mencakup sepanjang hidup manusia sesuai dengan hakikat perkembangan manusia yang berlangsung sejak konsepsi sampai mati dengan pembagian periodisasinya sebagai berikut:

1. Masa Sebelum lahir (Prenatal Period)
Masa ini berlangsung sejak terjadinya konsepsi atau pertemuan sel bapak-ibu sampai lahir kira-kira 9 bulan 10 hari atau 280 hari. Masa sebelu lahir ini terbagi dalam 3 priode; yaitu:
a. Periode telur/zygote, yang berlangsung sejak pembuahan sampai akhir minggu kedua.
b. Periode Embrio, dari akhir minggu kedua sampai akhir bulan kedua.
c. Periode Janin(fetus), dari akhir bulan kedua sampai bayi lahir.
2. Masa Bayi Baru Lahir (New Born).
Masa ini dimulai dari sejak bayi lahir sampai bayi berumur kira-kira 10 atau 15 hari. Dalam perkembangan manusia masa ini merupakan fase pemberhentian (Plateau stage) artinya masa tidak terjadi pertumbuhan/perkembangan.
Ciri-ciri yang penting dari masa bayi baru lahir ini ialah:
a) Periode ini merupakan masa perkembangan yang tersingkat dari seluruh periode perkembangan.
b) Periode ini merupakan saat penyesuaian diri untuk kelangsungan hidup/ perkembangan janin.
c) Periode ini ditandai dengan terhentinya perkembangan.
d) Di akhir periode ini bila si bayi selamat maka merupakan awal perkembangan lebih lanjut.
3. Masa Bayi (Babyhood)
Masa ini dimulai dari umur 2 minggu sampai umur 2 tahun. Masa bayi ini dianggap sebagai periode kritis dalam perkembangan kepribadian karena merupakan periode di mana dasar-dasar untuk kepribadian dewasa pada masa ini diletakkan.
Bayi merupakan manusia yang baru lahir sampai umur 24 bulan, namun tidak ada batasan yang pasti. Pada masa ini manusia sangat lucu dan menggemaskan tetapi juga rentan terhadap kematian. Kematian bayi dibagi menjadi dua, kematian neonatal (kematian di 27 hari pertama hidup), dan post-neonatal (setelah 27 hari).
Pemberian makanan dilakukan dengan penetekan atau dengan susu industri khusus. Bayi memiliki insting menyedot, yang membuat mereka dapat mengambil susu dari buah dada. Bila sang ibu tidak bisa menyusuinya, atau tidak mau, formula bayi biasa digunakan di negara-negara Barat. Di negara lain ada yang menyewa "perawat basah" (wet nurse) untuk menyusui bayi tersebut.
Bayi tidak mampu mengatur pembuangan kotorannya, oleh karena itu digunakanlah popok.
4. Balita
Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari dua sampai dengan lima tahun,atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah.



Perkembangan fisik
Pertambahan berat badan menurun, terutama diawal balita. Hal ini terjadi karena balita memnggunakan banyak energi untuk bergerak.
Perkembangan psikologis
Psikomotor
Terjadi perubahan yang cukup drastis dari kemampuan psikomotor balita yang mulai terampil dalam pergerakannya (lokomotion). Mulai melatih kemampuan motorik kasar misalnya berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit, menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan tubuh dan mempertahankan rentang atensi.
Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu.
Aturan
Pada masa balita adalah saatnya dilakukan latihan mengendalikan diri atau biasa disebut sebagai toilet training. Freud mengatakan bahwa pada usia ini individu mulai berlatih untuk mengikuti aturan melalui proses penahanan keinginan untuk membuang kotoran.
Kognitif
* Pada periode usia ini pemahaman terhadap obyek telah lebih ajeg. Balita memahami bahwa obyek yang diaembunyikan masih tetap ada, dan akan mengetahui keberadaan obyek tersebut jika proses penyembunyian terlihat oleh mereka. Akan tetapi jika prose penghilangan obyek tidak terlihat, balita mengetahui benda tersebut masih ada, namun tidak mengetahui dengan tepat letak obyek tersebut. Balita akan mencari pada tempat terakhir ia melihat obyek tersebut. Oleh karena itu pada permainan sulap sederhana, balita masih kesulitan untuk membuat prediksi tempat persembunyian obyek sulap.
* Kemampuan bahasa balita bertumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya.
contoh kalimat
Usia 24 bulan: "Haus, minum"
Usia 36 bulan:"Aku haus minta minum"






Sosial dan individu
Pada periode usia ini balita mulai belajar berinteraksi dengan lingkungan sosial diluar keluarga, pada awal masa balita, bermain bersama berarti bersama-sama berada pada suatu tempat dengan sebaya, namun tidak bersama-sama dalam satu permainan interaktif. Pada akhir masa balita, bermain bersama berarti melakukan kegiatan bersama-sama dengan melibatkan aturan permainan dan pembagian peran.
Balita mulai memahami dirinya sebagai individu yang memiliki atribut tertentu seperti nama, jenis kelamin, mulai merasa berbeda dengan orang lain dilingkungannya. Mekanisme perkembangan ego yang drastis untuk membedakan dirinya dengan individu lain ditandai oleh kepemilikan yang tinggi terhadap barang pribadi maupun orang signifikannya sehingga pada usia ini balita sulit untuk dapat berbagi dengan orang lain.
Proses pembedaan diri dengan orang lain atau individuasi juga menyebabkan anak pada usia tiga atau empat tahun memasuki periode negativistik sebagai salah satu bentuk latihan untuk mandiri.
Pendidikan dan Perkembangan
Cara belajar yang dilakukan pada usia prasekolah ini melalui bermain serta rangsang dari lingkungannya, terutama lingkungan rumah. Terdapat pula pendidikan di luar rumah yang melakukan kegiatan belajar lebih terprogram dan terstruktur, walau tidak selamanya lebih baik.
Bermain
• Permainan peran, melatih kemampuan pemahaman sosial, contoh: permainan sekolah, dokter-dokteran, ruman-rumahan dll
• Permainan imajinasi melatih kemampuan kreativitas anak
• Permainan motorik, melatih kemampuan motorik kasar dan halus.
Motorik Kasar contoh: spider web, permainan palang, permainan keseimbangan dll
Motorik halus: meronce, mewarnai, menyuap
5. Masa Kanak-kanak Awal (Early Chilhood)
Awal masa kanak-kanak berlangsung dari dua sampai enam tahun. Masa ini dikatakan usia pra kelompok karena pada masa ini anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu masuk kelas 1 SD.
6. Masa Kanak-kanak Akhir (Later Chilhood).
Akhir masa kanak-kanak atau masa anak sekolah ini berlangsung dari umur 6 tahun sampai umur 12 tahun. Selanjutnya Kohnstam menamakan masa kanak-kanak akhir atau masa anak sekolah ini dengan masa intelektual, dimana anak-anak telah siap untuk mendapatkan pendidikan di sekolah dan perkembangannya berpusat pada aspek intelek. Adapun Erikson menekankan masa ini sebagai masa timbulnya “sense of accomplishment” di mana anak-anak pada masa ini merasa siap untuk enerima tuntutan yang dapat timbul dari orang lain dan melaksanakan/menyelesaikan tuntutan itu. Kondisi inilah kiranya yang menjadikan anak-anak masa ini memasuki masa keserasian untuk bersekolah.
7. Masa Puber (Puberty)
Masa Puber merupakan periode yang tumpang tindih Karena mencakup tahun-tahun akhir masa kanak-kanak dan tahun-tahun awal masa remaja. Yaitu umur 11,0 atau 12,0 sampai umur 15,0 atau 16,0.
Kriteria yang sering digunakan untuk menentukan permulaan masa puber adalah haid yang pertama kali pada anak perempuan dan basah malam pada anak laki-laki.
Ada empat perubahan tubuh yang utama pada masa puber, yaitu:
1. Perubahan besarnya tubuh.
2. Perubahan proporsi tubuh.
3. Pertumbuhan ciri-ciri seks primer.
4. Perubahan pada ciri-ciri seks sekunder.

8. Masa Dewasa Awal (Early Adulthood)
Masa dewasa adalah periode yang paling penting dalam masa khidupan, masa ini dibagi dalam 3 periode yaitu: Masa dewasa awal dari umur 21,0 sampai umur 40,0. Masa dewasa pertengahan, dari umur 40,0 sampai umur 60,0. dan masa akhir atau usia lanjut, dari umur 60,0 sampai mati.
Masa dewasa awal adalah masa pencaharian kemantapan dan masa reproduktif yaitu suatu masa yang penuh dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi sosial, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas san penyesuaian diri pada pola hidup yang baru.
9. Masa Dewasa madya ( Middle Adulthood).
Masa dewasa madya ini berlangsung dari umur empat puluh sampai umur enam puluh tahun. Ciri-ciri yang menyangkut pribadi dan sosial pada masa ini antara lain:
a) Masa dewasa madya merupakan periode yang ditakuti dilihat dari seluruh kehidupan manusia.
b) Masa dewasa madya merupakan masa transisi, dimana pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan prilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan dengan ciri-ciri jasmani dan prilaku yang baru.
c) Masa dewasa madya adalah masa berprestasi. Menurut Erikson, selama usia madya ini orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti (stagnasi).
d) Pada masa dewasa madya ini perhatian terhadap agama lebih besar dibandingkan dengan masa sebelumnya, dan kadang-kadang minat dan perhatiannya terhadap agama ini dilandasi kebutuhan pribadi dan sosial.
10. Masa Usia Lanjut ( Later Adulthood).
Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dri umur enam puluh tahun sampai mati, yang di tandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929