loading...

USIA SATU SAMPAI DENGAN EMPAT TAHUN

December 03, 2013
loading...
USIA SATU SAMPAI DENGAN EMPAT TAHUN

3.1 Perkembangan sesudah tahun pertama
Perkembangan sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses-proses yang sangat fundamental. Misalnya perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian ditandai oleh perkembangan tingkah laku lekat. Tingkah laku lekat harus tumbuh dan menjadi stabil sebagai latar belakang struktural tingkah laku yang akan datang. Dalam tahun pertama harus dibuat suatu basis bagi timbulnya tingkah laku lekat yang nanti akan memegang peranan yang esensial sepanjang hidup.
Secara singkat ada 8 tanda-tanda esensial yang dapat disebutkan dalam perkembangan seorang anak antara akhir tahun pertama dan permulaan usia 4 tahun. Beberapa dari 8 tanda-tanda ini akan diuraikan nanti lebih lanjut.
Dalam periode ini terjadi kemajuan yang sangat pesat. Kemungkinan-kemungkinan-kemungkinan yang ada pada permulaan periode ini, dapat dilihat pada akhir periode tersebut sebagai suatu kenyataan.
Kemajuan-kemajuan itu adalah :
1. Pada permulaan periode ini akan bisa duduk, berdiri dan berjalan dengan bantuan. Bila anak mencapai usia 4 tahun ia dapat meloncat-loncat, memanjat, merangkak di bawah meja dan kursi dapat melakukan gerakan-gerakan yang kasar dan halus dengan tangan, kaki dan jari-jarinya. Dalam hal motorik praktis ia dapat mandiri.
2. Pada anak usia 4 tahun maka tangan dan mata bekerja sama dalam koordinasi yang baik, anak lebih dapat mengadakan orientasi dalam situasi-situasi yang tidak asing. Pada usia itu tangan anak merupakan alat untuk mengadakan eksplorasi keliling yaitu melalui manipulasi dengan benda-benda, terutama alat-alat permainan dan benda-benda sehari-hari.
3. Pada usia 4 tahun anak sudah dapat berbahasa. Ia dapat mengambil bagian secara aktif dalam percakapan di rumah, komunikasi dengan teman-teman sebayanya memperoleh dimensi baru. Ia dapat memberikan pengaruh melalui bicaranya, ia dapat menyatakan keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
4. Pada akhir periode ini anak memperoleh pengertian banyak mengenai benda-benda menurut warna dan bentuknya, membedakan antara suara keras dan suara lembut, ia mengerti nama benda-benda dan dapat menanyakan nama benda yang belum diketahuinya.
5. Pada usia 4 tahun anak sedikit banyak sudah mengerti ruang dan waktu. Ia mengerti perbedaan antara siang dan malam, misalnya ia mengerti orang bermain pada siang hari dan tidur pada malam hari. Ia mengerti apa yang disebut “ di sana”, “ di sini”, “ di atas”, dan “di bawah”. Ia sudah menguasai serangkaian tugas-tugas seperti menyisir rambut, mengenakan baju, mengambil barang sesuatu dari almari, melipat serbet dan sebagainya.
6. Pengertian akan norma-norma pada anak usia 4 tahun juga sudah ada. Kata-kata “baik”, “buruk”, “tidak boleh”, jangan” dan sebagainya merupakan tanda-tanda untuk mengatur tingkah laku yang akhirnya harus merupakan norma-norma batin bagi tingkah laku selanjutnya.
7. Kebutuhan untuk aktif, untuk berbuat sesuatu makin lama makin ditentukan secara kognitif, artinya : perbuatan dan tingkah lakunya tidak lagi ditentukan secara kebetulan sesuai dengan apa yang ada; anak sudah dapat membuat rencana, memikirkan apa yang akan dilakukannya. Dalam batas-batas tertentu anak sudah mempunyai suatu perspektif masa depan.
8. Anak tidak hanya menginginkan ada bersama-sama dengan roang dewasa, melainkan ia sudah menginginkan dapat bergaul secara aktif dengan mereka. Di samping itu ada kebutuhan untuk bergaul dengan anak-anak sebaya. Pada akhir periode ini anak juga sudah mampu untuk bermain bersama dengan anak-anak sebaya dan memperhatikan aturan-aturan yang ada.


3.2 Permananesi objek dan konstansi besar dan bentuk
Dua kemampuan elementer yang dimiliki seorang bayi dalam minggu-minggu pertama untuk dapat mengamati relitas secara akurat adalah konstansi besar dan bentuk. Hal ini berarti bahwa seorang bayi dapat melihat (mengerti) bahwa suatu objek sama besarnya, juga bayi memiliki pengertian akan konstansi besar. Suatu objek juga mempunyai bentuk yang sama, meskipun ia nampak berbeda dilihat dari sudut yang lain. Jadi bayi juga mempunyai pengertian akan konstansi bentuk. Kemampuan akan konstansi besar dan bentuk adalah hal yang sangat penting bagi anak tetek, sebab hal itu berarti bahwa ia tidak perlu mengkonstruksi gambaran-gambaran baru bagi objek yang sama dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda-beda.
Bower (1965; 1974) menunukkan bahwa bayi-bayi usia 1 bulan sampai 2 bulan “mengerti” bahwa suatu objek tetap besar dan bentuknya dilihat dari jarak dan sudut yang berbeda meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berubah (lihat gambar 12 dan gambar 13).

Besar objek yang se-
Sungguhnya
30 cm 30 cm 90 cm 90 cm
Jarak antara ank dan objek 1 m 3 m 1 m 3m

Besar bayangan apda
Selaput jala
Situasi 1 2 3 4
Gambar 12. hal di atas adalah penggambaran konstansi besar pada bayi. Dalam suatu ekperimen Bower (1965) mengajar anak-anak bayi umur 40 sampai 60 hari untuk memalingkan kepala ke kiri bila melihat kubus putih dengan panjang sisi 30 cm pada jarak 1 m. kemudian diperlihatkan atau 1) kubus yang sama pada jarak yang sama, atau 2) kubus yang sama para jarak 3 m. Bayangan kubus dengan sisi 30 cm pada jarak 1 m sama besarnya pada selaput jala anak dengan bayangan kubus bersisi 90 cm pada jarak 3 m. bayangan kubus bersisi 30 cm pada jarak 1 m tidak sama pada selaput jala anak dengan bayangan kubus tersebut pada jarak 3 m. Namun bayi tadi menoleh ke kiri juga pada waktu melihat kubus bersisi 30 cm tadi pada jarak 3 m. Eksperimen ini menunjukkan bahwa bayi umur 1 atau 2 bulan memiliki konstansi besar. Mereka nampaknya mengerti bahwa suatu objek akan tetap besarnya, meskipun bayangan yang jatuh pada selaput jala mereka berbeda (Holmes & Morrison, 1979, hal. 98).

Bentuk obyek yang
Sesungguhnya

Cara meletakkan obyek diputar lurus lurus

Bentuk bayangan yang
Jatuh pada selaput jala


Gambar 13. Di atas adalah penggambaran bentuk pada bayi. Bower mempelajari bayi-bayi usia 50-60 hari untuk memalingkan kepala pada waktu papan segi panjang yang diputar sejauh 45 derajad. Pada waktu melihat papan yang dipegang lurus di atas kepala mereka, bayi tadi tetap memalingkan kepala meskipun bayangan kedua pengamatan pada selaput jala, yaitu pengamatan papan yang diputar dan yang lurus, berbeda-beda sekali. Bayi tadi tidak memalingkan kepala ketika melihat papan bentuk trapesium yang memberikan bayangan yang sama pada selaput jala denan bayangan papan semula yang diputar 45 derajad. Hal ini menunjukkan bahwa bayi umur 1-2 bulan memiliki konstansi bentuk. Mereka mengerti bahwa suatu bentuk tetap mempunyai bentuk yang sama, meskipun bayangan pada selaput jala berubah karena diputarnya objek tadi (Holmes & Morrison, 1979, hal. 99).

Hal yang nampaknya sama tetapi tidak boleh dikacaukan dengan konstansi besar dan bentuk, adalah permanensi objek. Permanensi objek menunjuk pada kecakapan psikis untuk mengerti bahwa objek masih tetap ada meskipun pada waktu itu tidak nampak oleh kita dan tidak bersangkuan dengan aktivita kita apda waktu itu. Piaget mengemukakan bahwa tanda-tanda pertam akan permanensi-objek terjadi dalam sub-stadium ke-4 (8 – 12 bulan) periode sensori-motorik. Tetapi dalam stadium ini permansensi-objek masih belum sempurna (lihat perkembangan kognitif mengenai permanensi objek). Misalnya dengan dilihat oleh anak, suatu permainan disembunyikan di bawah selimut. Seorang naak dalam sub-stadium 4 akan menarik selimutnya untuk menemukan permainannya. Tetapi bila permainan tadi disembunyikan lagi sebelum anak dapat menemukan, misalnya di bawah bantal dekat selimut tadi, maka anak akan terus mencarinya di bawah selimut meskipun ia melihat apa yang terjadi.
Baru pada sub-stadium ke 5 (12-18 bulan) seakan-akan anak mengerti betul akan permanensi –objek (lihat gambar 14). Objek tidak hanya dilihat sebagai hal yang ada terus melainkan juga sebagai benda yang unik dan berdiri sendiri. Dalam contoh di atas anak akan mencari permainannya di bawah bantal bila ia tidak dapat menemukannya di bawah selimut. Hal ini merupakan bukti permanensi objek yang sempurna.


3.3 Perkembangan fisik dan psikomotorik
Di muka dikemukakan bahwa perkembangan anak antara akhir tahun pertama dan tahun ke empat terjadi dengan kemajuan-kemajuan yang pesat. Namun begitu, mengenai perkembangan psikomotornya akan lebih baik untuk mengambil batas, sampai anak usia 5 tahun, karena lebih mudah untuk mengadakan pemisahan antara umur 5 dan 6 tahun daripada antara 3 dan 4 tahun.
Anggota-anggota badan tumbuh dengan kecepatan yang berbeda-beda. Perlu dilihat pula bahwa tiap anak mempunyai tempo perkembangannya sendiri, meskipun ada norma-norma yang dapat dipakai sebagai ukuran perkembangan normal. Umur kerangka (skelet) dapat dilihat dari pergeseran tulang dan tangan anak. Seorang anak dapat mempunyai umur kerangka 4 tahun sedangkan umur kronologisnya adalah 6 tahun.
Proporsi badan dan jaringan urat daging dapat dikatakan tetap sampai kurang lebih tahun kelima. Sekitar tahun kelima mulailah apa yang disebut “Gestalwandel” pertama (Zeller, 1936). Hal ini berarti bahwa anak yang sampai sekarang mempunyai kepala yang relatif besar dan anggota badan yang pendek akan mulai mempunyai proporsi badan yang seimbang. Anggota-anggota badannya menjadi lebih panjang, perutnya mengecil dan kepalanya dibanding dengan bagian-bagian badan yang lain mendapatkan proporsi yang normal. Semua jaringan-jaringan tulang dan urat daging lebih berkembang menjadi lebih berat. Jaringan lemak bertambah lebih lambat. Selama tahun kelima tampak perkembangan jaringan urat daging secara cepat (Gestaltwandel kedua mulai sekitar umur 10 tahun, yaitu pada waktu mulanya pubertas atau pada waktu mulainya perkembangan seksualitas) (lihat Zeller, 1936).
Sekitar usia 3 tahun anak sudah dapat berjalan dengan otomatis, bahkan pada alas yang tidak rata anak sudah dapat berjalan tanpa kesukaran. Sekitar 4 tahun anak hampir menguasai cara berjalan orang dewasa. Kesukaran yang ada pada belajar berjalan berhubungan dengan kekuatan badannya, yaitu untuk dapat menyandarkan seluruh berat badannya pada satu kaki. Masalah yang lain adalah perkembangan mekanisme keseimbangan yang dibutuhkan untuk dapat berjalan tegak.
Belajar berjalan banyak berhubungan dengan proses-proses pemasakan yang dapat dipercepat dengan latihan. Bila anak sudah dapat berjalan maka ia juga akan mencoba berjalan dengan berbagai variasi. Misalnya berjalan mundur (+ sekitar 17 bulan) dan berjalan di atas tumit (+ sekitar 30 bulan).
Sekitar bulan ke 18 anak mencoba untuk lari, tetapi gayanya masih menyerupai gaya berjalan. Pada usia 2 atau 3 tahun anak betul-betul dapat lari, tetapi ia belum mampu untuk berhenti dengan cepat atau untuk membalik. Pada usia 4 sampai 5 tahun anak sudah dapat lari, berhenti dan berputar membalik. Sekitar 5 atau 6 tahun anak sudah dapat lari seperti orang dewasa dan dapat menggunakan kemampuannya ini dalam aktivitas-aktivitas permainannya.
Sesudah dapat berjalan dengan baik, anak juga belajar untuk berjalan memanjat dan menuruni tangga. Dengan bantuan orang lain semula anak belajar turun dari tangga dengan berjalan tegak. Memanjat tangga berlangsung dengan setiap kali menapakkan sebelah kakinya ke muka dan menarik kaki yang satunya ke sampingnya. Sekitar 18 atau 20 bulan anak dapat memanjat tangga dengan bantuan orang lain. Menuruni tangga baru dapat dilakukan kemudian. Di samping perbedaan-perbedaan perseorangan dapat dikatakan bahwa 90% anak pada usia 6 tahun sudah menjadi pemanjat-pemanjat yang baik.
Sekitar 2 atau 3 tahun anak juga belajar meloncat-loncat, berjingkat-jingkat dan berbagai variasi berjalan yang lain. Sekitar 29 bulan anak dapat berdiri di atas sebelah kaki. Anak usia 3 tahun masih mempunyai kesukaran untuk menangkap bola atau untuk memukul bola dengan tongkat. Sekitar usia 4 tahun anak sudah agak pandai untuk melakukan itu.
Pada usia ini anak juga banyak belajar berbagai macam koordinasi visio-motorik. Aktivitas-aktivitas senso-motorik telah dapat diintegrasi menjadi aktivitas yang dikoordinasi. Hal ini penting misalnya pada waktu mencontoh sebuah gambar atau sebuah benda. Apa yang dilihat dengan mata harus dapat dipindahkan dengan motoriknya sebuah pola tertentu. Sekitar tahun ke 4 juga semua pola lokomotorik yang biasa sudah dapat dikuasainya.
Perkembangan persepsual atau perkembangan pengamatan banyak dipengaruhi oleh pengaruh faktor keliling. Perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan yang terjadi pada waktu itu adalah perkembangan pengamatan bentuk. Anak yang masih sangat muda lebih melihat keseluruhan (global) daripada detil atau perinciannya. Baru sekitar usia 5 atau 6 tahun anak melihat benda-benda secara khusus. Peralihan dari sifat pengamatan yang lebih khusus ini sampai lama merupakan kriterium yang pokok untuk aturan “masuk sekolah”.
Kem (1954) berpendapat bahwa anak yang tidak dapat melihat secara terperinci, dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk membeda-bedakan, dari itu juga belum mampu untuk pergi ke sekolah dan belajar sekolah. Membaca dan menulis mengandung arti dapat memisahkan hal-hal yang khusus, memisahkan untuk dihubungkan dengan sifat-sifat pengamatan anak. Cara membaca yang global mempunyai dasar teoretisnya pada pendapat di atas. Alasan lain yang dapat dikemukakan untuk memakai metode global ini ialah dengan mengemukakan sebuah contoh : bila kita melihat sebuah rumah maka yang kita lihat bukan pintunya, dua buah jendelanya, dinding yang menggelinginginya, melainkan rumah sebagai suatu keseluruhan, suatu hal yang global. Tetapi ternyata metode global ini memberikan masalah-masalah dalam kelas tiga. Anak mempunyai kesukaran-kesukaran membaca yang disebut Schenk kelemahan membaca atau legasteni (Schenk-Danzieger, 1971). Anak dengan kelemahan ini mempunyai kesukaran untuk memisahkan huruf dari kata-kata. Dalam bagian lain akan diterangkan lebih lanjut mengenai hal ini.
Latihan kebersihan juga termasuk perkembangan psikomotorik karena latihan kebersihan membutuhkan pemasakan urat-urat daging alat-alat pembuangan. Anak harus mampu untuk menguasai urat daging alat-alat pembuangannya pada waktu hendak buang air kecil atau buang air besar. Ternyata bahwa anak baru mampu untuk melakukan hal ini pada usia kurang lebih 15 bulan. Berhubung dengan itulah dapat dianggap tidak bertanggungjawab untuk memulai latihan kebersihan ini sebelum anak berusia 15 bulan. Bila latihan ini dilakukan sebelum anak usia 15 bulan dapat timbul pengalaman-pengalaman yang traumatis. Hal ini dapat mengakibatkan anak masih sering “ngompol” pada usia yang seharusnya ia sudah dapat bersih atau anak akan menunjukkan gangguan-gangguan tingkah laku yang lain.

3.4 Perkembangan kepribadian dan perkembangan sosial
3.4.1 Tingkah laku lekat sesudah umur satu tahun
Tingkah laku lekat pada bagian kedua tahun pertama yang tertuju pada satu orang, segera akan tertuju juga pada orang-orang lain disekitarnya.
Keterangan di muka menunjukkan bahwa terjadinya tingkah laku lekat pada anak dapat ditinjau dari dua macam segi. Segi yang satu menunjukkan bahwa tingkah laku lekat terjadi karena proses belajar, sedang segi yang lain menyatakan bahwa tingkah laku lekat tersebut merupakan ciri khas manusia. Manusia mempunyai ciri khas untuk bercakap-cakap, untuk mengadakan manipulasi dan eksplorasi benda, untuk mencari kontak dengan manusia lain. Dari ciri-ciri khas tersebut ini timbullah tingkah laku lekat. Pendapat yang kedua ini menurut para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan para penulis lebih mendekati kenyataan. Tingkah laku lekat merupakan kecenderungan dasar pada anak yang sudah ada sebelum proses-proses belajar dapat terjadi. Dalam hubungan yang dyadis yang merupakan sifat khas hubungan antara ibu (pengasuh) dan anak, maka tingkah laku lekat dapat dipandang sebagai “sifat” yang struktural dari hubungan ibu dan anak” (Hartup, 1973. h. 17).
Sampai sekarang maka beberapa pendapat yang dikemuakan hanya mengenai pendapat tentang tingkah laku pada tahun pertama. Dalam hal ini ada dua teori : 1) teori diferensiasi dan 2) teori pararel.


3.4.2 Teori deferensiasi
Teori berdasarkan pendapat Bowlby (1951). Sejak lama pendekatan dan ketergantungan dianggap mempunyai arti yang sama. Kenyataannya dua hal ini sangat berbeda satu sama lain. Pada kedekatan maka anak mencari kontak sosial tetapi juga suatu sikap penuh kehanatan dan kasih sayang. Dalam hal ini anak mempunyai pilihan terhadap orang-roang tertentu : pertama adalah ibunya, ayahnya atau anggota-anggota keluarga yang lain.
Ketergantungan sudah lama diselidiki mulai akhir tahun empat puluhan, yaitu dalam rangka penelitian mengenai hubungan sosial pada anak. Ketergantungan dilukiskan sebagai “kecenderungan umum untuk menyandarkan diri pada orang lain dalam hal mencari pembenaran, kasih sayang dan bimbingan” (Hartup, 1973, h.1). Sejak beberapa tahun yang lalu maka istilah ketergantungan makin diganti dengan istilah kelekatan sedangkan kedua istilah tersebut makin dibedakan satu sama lain. Ketergantungan dipandang sebagai kecenderugnan umum pada anak untuk mencari kontak sosial lepas daripada identitas orangnya. Kelekatan adalah mencari dan mempertahankan kontak dengan orang-orang tertentu saja. Orang yang pertama dipilih dalam kelekatan adalah ibu (pengasuh), ayah dan saudara-saudaranya.
Meskipun dalam pasal 2.5 sudah dibicarakan mengenai berbagai aspek laku lekat, namun masih perlu dikemuakan di sini bahwa menurut Bowlby (1951) ibulah yang dipandang sebagai figur sentral bagi anak; anggota-anggota keluarga yang lain tidak mempunyai peranan yang penting sampai dengan umur 6 tahun.
Bowlby-lah yang mengatakan bahwa seperti halnya vitamin dan protein penting sekali untuk perkembangan fisik, maka kasih sayang ibu adalah essensial untuk perkembangan psikis yang sehat. Menurut Rutter (1972; 1979) bukan melulu ibu yang menjadi objek kelekatan. Keadaan menjadi ibu biologis itu tidak menjamin bahwa anak akan lekat dengannya. Rutter mempunyai bukti-bukti empiris bahwa anak dapat mengadakan sikap lekat dengan orang-orang lain, juga dalam tahun yang pertama.
Menurut teori diferensiasi ini anak dianggap relatif mempunyai kelekatan dengan ibunya sampai kurang lebih 6 tahun; baru sesudahnya anak akan mengadakan ikatan dengan orang-orang dewasa yang lain (lihat gambar 15).




Sampai + 6 tahun satu objek


Lekat yang dewasa

Gambar 15. Penggambaran skematis mengenai teori diferensiasi

Dalam teori yang kemudian, Bowlby (1972) mengemukakan bahwa sudah umur 3 tahun kebanyakan anak makin dapat merasa aman dalam situasi asing bersama dengan objek lekat pengganti, misalnya dengan saudaranya atau gurunnya. Namun begitu perasaan aman semacam itu ada persyaratannya. Pertama figur pengganti tadi harus sudah dikenal oleh anak. Kedua, anaknya sendiri harus ada dalam kondisi sehat. Ketiga ia harus tahu dimana ibunya dan bahwa ia dengan mudah dapat mencari kontak kembali dengannya.

3.4.3 Teori paralel
Dalam meninjau teori ini perlu kiranya untuk meninjau teori Maccoby dan Maters (1970). Maccoby, Masters dan Hartup berpendapat bahwa anak sesudah umur satu tahun segera akan menunjukkan tingkah laku lekat terhadap orang-orang dewasa maupun pada anak-anak sebaya yang lain. Observasi-observasi yang dilakukan terhadap keadaan di Indonesia menunjukkan bahwa anak bayi mengalami pola asuhan yang tidak sama yang sangat tergantung pada situasinya.
Anak di kota kadang-kadang tidak sepenuhnya dirawat oleh ibunya. Melainkan untuk sebagian waktunya dirawat oleh seorang pembantu. Hal ini dapat terjadi juga sesudah anak berumur satu tahun. Sehubungan dengan hal ini maka tingkah laku lekat anak sebelum atau sesudah umur satu tahun dapat ditujukan pada ibunya maupun pada pembantu yang ikut mengasuhnya. Di desa anak bayi seringkali tidak hanya diasuh oleh ibunya melainkan juga oleh saudara-saudaranya. Seringkali kakak wanita yang menggendongnya kemana-mana. Dalam keadaan ini tingkah laku lekat anak akan tertuju pada ibunya dan pada saudara yang mengasuhnya.
Teori pararel mengenai tingkah laku lekat mengatakan bahwa sampai dengan umur satu tahun anak akan mencari objek lekat pada satu orang, biasanya ibunya. Sesudah umur satu tahun maka orang dewasa lain atau anak-anak sebaya akan bisa menjadi objek kelekatan (lihat gambar 16).

Sampai + 1 tahun satu objek
Lekat (orang dewasa)








Gambar 16. Penggambaran skematis mengenai teori paralel
Bila kita tinjau keadaan di Indonesia dapatlah dikemukakan bahwa teori pararel mungkin lebih cocok untuk menerangkan tingkah laku lekat anak, hanya denan suatu catatan bahwa perluasan objek lekat tadi bahkan sudah dapat terjadi sebelum anak berumur satu tahun.
Kelekatan anak pada anak sebaya dapat memberikan banyak pengaruh terhadap pelajaran tingkah laku. Contoh-contoh mengenai hal ini dapat dikemukakan antara lain :
a. Pada waktu salah seorang penulis mengantarkan sekelompok anak ke taman Kanak-Kanak (yang dilakukannya setiap pagi selama beberapa bulan) selalu terdengar percakapan mengenai salah seorang anak yang kebetulan tidak ada pada waktu itu. Hal ini membuktikan betapa besarnya pengaruh tingkah laku anak terhadap anak-anak lain hingga hal selalu merupakan objek percakapan di antara anak-anak tersebut.
b. Hubungan yang fungsional di anara anak-anak yang ada dalam pemainan mempunyai sifat yang lain daripada sifat hubungan anak dengan orang dewasa. Dalam anak bermain dengan teman-teman sering terlihat bahwa tingkah laku koperatif tiba-tiba dapat berubah menjadi tingkah laku agresif. Pada suatu saat anak tertawa-tawa, atau terpusat perhatiannya pada suatu hal, tetapi tiba-tiba ia menangis dan sama sekali tidak mau bermain-main dengan teman-temannya lagi. Perubahan emosional dari positif ke negatif ini yang akhirnya dapat dikemukakan lagi suatu keseimbangan yang baik, tidak bisa terjadi dalam hubungan anak dengan orang dewasa. Bila orang dewasa mencoba bermain dengan anak dan menggunakan bahasa anak, mereka segera mengerti bahwa anak-anak akan memandang aneh mereka.
c. Harlow (1971) mengadakan penelitian terhadap sejumlah kera thesus untuk mengerti seberapa jauh berbagai cara asuhan dapat mempengaruhi tingkah laku mereka. Meskipun penelitian mengenai tingkah laku hewan ini tidak dapat disamakan dengan tingkah laku pula. Penelitian dilakukan terhadap sejumlah kera yang hidup dalam isolasi. Pada sejumlah kera yang hidup dalam kelompok terlihat pada usia 6 bulan adanya pertengkaran dan sementara tingkah laku agresif. Tingkah laku ini menghilang sesudah beberapa waktu dan tidak pernah nampak lagi. Kera-kera yang dibesarkan dalam isolasi menunjukkan, sekitar umur 1 ½ tahun, tingkah laku agresif yang jelas menunjukkan keinginan untuk menyakiti dan merugikan makhluk lain. Tingkah laku ini nampaknya bersifat tetap diketemukan pada sejumlah kera yang hidup dalam isolasi tadi, tidak nampak pada kera-kera yang hidup dalam kelompok. Dapat pula diduga bahwa dalam hubungan dengan teman-teman sebaya tadi dapat dimanifestasikan beberapa tingkah laku dan dapat diselesaiakn beberapa momen perkembangan tertentu. Hal ini tidak dapat terlaksana bila mereka hidup dalam keadaan isolasi.
Bila kita tinjau kejadian-kejadian yang kompleks yang berhubungan dengan perkembangan sosial dan kepribadian tersebut, timbullah dua pertanyaan sebagai berikut :
(1) kemungkinan interaksi apakah yang ada pada anak dan
(2) proses interaksi apakah yang timbul yang membawa ke arah suatu perkembangan tingkah laku.
Tingkah laku sosial interaktif seperti tingkah laku koperatif, altruistis dan agresif banyak dipengaruhi oleh latar belakang struktural yang disebut “role taking” (atau ambil alih peran), (lihat Leckie, 1975) dan egosentrisme. Ambil alih peran dan egosenstrisme merupakan suatu struktur dan sekaligus suatu proses. Makin berkembang ambil alih peran makin kecil egosentrisme dan sebaliknya. Selanjutnya penting bahwa ambil alih peran dan egosentrisme tetap ada sepanjang hidup tetapi mempunyai sifat yang saling menghambat.



3.4.4 Egosentrisme
Dalam buku ini diusahakan untuk membuat suatu integrasi daripada pendekatan yang tematik maka pembicaraan mengenai sesuatu perkembangan akan melampaui batas umur yang ditentukan dalam bab nya. Hal ini akan dijumpai dalam pembicaraan mengenai egosentrisme.
Egosentrisme adalah pemusatan pada diri sendiri dan merupakan suatu proses dasar yang banyak dijumpai pada tingkah laku anak; pengamatan anak banyak ditentukan oleh pandangan sendiri; anak juga belum mempunyai orientasi mengenai pemisahan subjek-subnjek. Perasaan dan pandangan masih terpusat pada diri sendiri. Anak belum dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Egosentrisme harus dapat jelas dibedakan dari egoisme; yang terakhir ini merupakan suatu sikap yang menunjukkan ketamakan. Egosentrisme sebagian dapat diterangkan dari reaksi lingkungan terhadap tingkah laku anak. Suatu contoh dari cara berfikir kausal seorang anak kecil; pada suatu hari ada beberapa anak sedang bermain-main. Seorang anak laki-laki menginjak suatu kubangan air, air memercik jauh mengenai baju bersih anak lain. Anak laki-laki tersebut marah waktu ditegur dan mengatakan : “saya tidak mengotori bajunya”. Di sini tidak ada persoalan bohong atau bersalah. Anak laki-laki tadi memang belum mengerti hubungan kausal yang ada, dia belum dapat mengadakan diferensiasi dan belum mengerti pandangan yang berbeda-beda. Egosentrisme berlawanan dengan desentrasi yang memungkinkan untuk memperhatikan pandangan yang berbeda-beda maupun hubungan yang berbeda-beda dengan pengamatan sendiri.
Pada waktu sekarang dibedakan antara enam macam bentuk egosentrisme (lihat Looft, 1972). Piaget dan Inhelder hanya membedakan antara tiga macam bentuk egosentrisme yang berhubungan dengan tiga tingkat perkembangan yang pertama (stadium sensomotorik, pra-operasional dan operasional konkrit).
1. Egosentrisme dalam stadium sensomotorik
0 – 18 bulan. Stadium ini ditandai oleh kenyataan bahwa anak hampir tidak mampu untuk mengadakan diferensiasi anara diri sendiri dan dunia luar. Kemungkinan untuk mengadakan diferensiasi makin berkembang selama 18 bulan ini. Menurut Piaget dan Inhelder (1973) timbullah dalam 18 bulan yang pertama ini suatu perubahan ke arah suatu desentrasi umum yaitu anak mampu untuk melihat dirinya sebagai objek dalam hubungan dengan objek-objek lain (h. 23).
2. Egosentrisme dalam stadfium pra-operasional
+ 18 bulan - + tahun ke 6. Fase ini ditandai dengan kemampuan anak untuk bekerja dengan tanggapan. Ia sudah memiliki pengertian objek, misalnya bila ia berkata “kursi” hal ini dapat mempunyai arti yang macam-macam seperti “ayah harus duduk di kursi ini” atau “saya ingin duduk di kursi ini”.
Anak mulai memakai simbol dan kata, ia berbuat seakan-akan sebuah kata mempunyai arti yang lebih daripada kenyataannya. Ia tidak atau hampir tidak dapat membedakan antara simbol dan artinya, antara permainan dan bayangan impian yang dibuatnya sendiri dengan kenyataan. Sering dibedakan juga antara “private speech” dan “socilazed speech”.
Private speech tidak ada nilai komunikatifnya, anak bicara seorang diri dan tidak ditujukan pada orang lain.
Bahasa sosial sebaliknya mempunyai arti komunikatif yang jelas. Menurut Furth (1969, h.118). “tidak ada anak normal dalam peridoe perkembangan apapun yang menggunakan bahasa hanya untuk komunikasi dengan dirinya sendiri saja.”
Mueller (1971) dapat menunjukkan bahwa pada anak umur tiga tahun pun terdapat egosentrisme dalam pengguanan bahasa, bahas selalu mempunyai nilai komunikatif.
3. Egosentrisme dalam stadium operasional konkrit:
+ 6 - + 11 tahun. Elkind telah banyak membicarakan tentang hal ini. Anak belum mampu untuk membedakan antara hasil cipta mentalnya sendiri dengan hal-hal yang nyata. Menurut Elkind maka egosentrisme anak pada stadium ini ditandai oleh apa yang disebutkan realitas asumtif, yaitu anak melihat kenyataan berdasarkan informasi yang terbatas dan tidak dipengaruhi oleh informasi baru atau informasi yang bertentangan. Di sini sebabnya, menurut Elkinds, mengapa anak tidak lagi memandang orang tua sebagai yang serba tahu. Anak merasa dalam aspek-aspek tertentu lebih mengerti daripada orangtuanya. Sering ditarik konklusi umum : orang tua sebetulnya tidak mengerti apa-apa. Mereka lebih percaya pada teman-teman sebaya atau pada guru. Elkind menamakan rasa superioritas kognitif ini sebagai keseimbangan kognitif. Seringkali anak ingin menunjukkan kecerdikan mereka dengan berbohong atau beruat kenakalan-kenakalan. Dengan begitu mereka dapat membuktikan pada orang dewasa betapa cerdiknya dan betapa superiornya mereka.

4. Egosentrisme pada remaja
Menurut Piaget anak umur 11 tahun yang dapat mengadakan operasi normal serta dapat berfikir secara hipotesis-deduktif sekarang juga mampu menganalisis fikiran sendiri dan mampu untuk mengerti jalan fikiran orang lain.
Tetapi menurut Elkind hal ini merupakan inti egosentrisme remaja. Remaja tidak membedakan antara hal atau situasi yang dipikirkannya sendiri dengan dipikirkan orang lain. Ia selalu memikirkan akan bagaimana pendapat orang lain terhadap dirinya. Pikiran ini berdasarkan pengharapan bahwa dirinya akan menjadi pusat perhatian. Elkind menamakan pola penghargaan ini, yaitu pengharapan tentang apa yang akan dipikirkan orang lain mengenal dirinya, sebagai “publik imajiner. Dalam kenyataannya sikap remaja ini adalah suatu reaksi pengharapannya sendiri terhadap apa yang dipikirkan oleh publik imajiner itu atau bagaimana pendapat publik imajiner itu. Jadi ia mereaksi terhadap sesuatu yang telah diharapkannya sendiri dari orang lain.
Dengan begitu ia tidak mendiferensiasi antara apa yang dipikirkan dnegan apa yang dipikirkan oleh orang lain. Di samping itu remaja sangat menilai penting perasaanya sendiri dan oleh karena itu ia selalu berpendapat bahwa publik imajiner tadi senantiasa memperhatikannya, maka ia menganggap perasaannya sendiri tadi sebagai unik atau khas. Elkind menyebutkan hal ini sebagai “fabel pribadi”. Ia menunjukkan akan keunikan perasaan remaja. Egosentrisme yang spesifik ini pada umumnya hanya berlangsung sementara saja, meskipun kadang-kadang juga bisa berlangsung lama.
5. Egosentrisme pada orang dewasa
Di sini sukar untuk menentukan umur yang tepat karena sampai sekarang hampir tidak ada penelitian mengenai hal itu. Juga karena ada macam-macam bentuk egosentrisme pada usia dewasa. Contoh yang jelas mengenai egosentrisme pada usia dewasa adalah bahwa dalam percakapan atau diskusi-diskusi sering orang tidak dapat menempatkan dirinya pada jalan pikiran orang lain. Piaget memberikan contoh yang sangat tepat. Ia mengatakan : “marilah kita mengambil contoh orang dewasa. Tiap dosen muda sekarang atau besuk akan melihat bahwa kuliah-kuliahnya yang pertama tidak dapat dimengerti. Hal ini disebabkan karena kuliah-kuliahnya tadi sebetulnya ditujukan pada dirinya sendiri saja. Kuliah-kuliah tadi dapat dimengerti dipandang dari sudut dirinya. Dengan segala susah payah maka ia sedikit demi sedikit dapat menempatkan dirinya pada tempat mahasiswa-mahasiswanya”. Begitulah kmasih banyak contoh mengenai egosentrisme dalam dunia orang dewasa yang dapat dilihat dari sikap tidak bisa menempatkan diri pada tempa: orang lain hingga timbulmaslah-masalah tertentu. Mengenai hal ini masih banyak kemungkinan untuk melakukan penelitian-penelitian.

6. Egosentrisme pada orang tua
Penelitian mengenai orang tua yang mengungkap akan egosentrismenya juga masih langka, tetapi sudah pernah diadakan penelitian mengenai regresi kognitif, penyempitan relasi social dan rigiditas. Ketiga macam aspek tersebut mempunyai hubungan yang langsung dengan egosentrisme, yaitu:
a. Regresi kognitif menunjuk pada kemajuan yang berkurang dalam bidang kognitif. Kemampuan belajar pada orang tua berkurang. Mereka kurang pleksibel dalam proses mental dan lebih sering lupa.
b. Di samping hal tersebut di atas terjadilah proses pelepasan tingkah laku lekat (disengagement), artinya karena mengalami pension, meninggalkan teman-teman lama, sedangkan tidak ada atau hamper tidak ada dating teman-teman yang baru, maka orang tua sering mengalami isolasi social.
c. Dalam hubungan sosial dengan orang lain-lain maka sikap yang fleksibel juga berkurang hingga timbul rigiditas. Regresi kognitif serta menyempitnya hubungan sosial menyebabkan orang tua sukar untuk mengadakan pemisah antara pendapat sendiri dengan pendapat orang lain. Mereka menjadi lebih kaku dalam sikap dan pendapat mereka.

Bila dalam keadaan tersebut lingkungan sosial juga bersikap dan memandang orang tua sebagai seseorang yang perlu ditolong dan dikasihani maka orang tua dengan ketiga macam sifat tersebut mudah mengembangkan sikap egosentrismenya.


3.3.5 Tingkah laku ambil alih peran
Ambil alih peran merupakan proses sosial dan proses kognitif yang menunjukkan bahwa seseorang dapat menempatkan diri pada motif-motif, perasaan, pikiran dan tingkah laku orang lain. Hal ini berarti bahwa orang tadi mampu untuk melepaskan diri dari pandangan diri sendiri, dapat memandang dunia luar dari perspektif orang lain (bandingkan Lieshout dan kawan-kawan, 1973. Hal 2). Yang penting di sini adalah untuk memahami berbagai proses internal orang lain seperti kemampuan emosional, persepsual dan intelektual dan juga kebutuhan, pendapat, motif dan maksud-maksudnya. Di samping memahami hal-hal ini perlu pula untuk dapat menyesuaikan tingkah laku dengan keadaan orang lain tadi. Sikap dapat menempatkan diri dalam keadaan orang lain ini mengandung arti bahwa seseorang dapat membedakan dasar pandangan orang lain dari dasar pandangan sendiri, perspektif sendiri. Kemampuan ini disebut “desentrasi sosial”.
Desentrasi sosial ini bertentangan langsung dengan ogosentrisme yang dibicarakan di muka dan dinamakan tingkah laku ambilalih peran.
Dapat menempatkan diri pada perspektif, perasaan dan maksud orang lain mengandung arti juga dapat ikut merasakan secara empatis. Empati, yang berarti dapat merasakan dan ikut merasakan, jelas merupakan suatu kecakapan atau suatu aspek tingkah laku yang snagat erat hubungannya dengan ambil alih peran. Empati dan ambil alih peran merupakan aspek-aspek tingkah laku yang saling berhubungan. Keduanya mungkin merupakan aspek proses perkembangan yang sama, yaitu lepas dari perspektif diri sendiri dan masuk dalamperspektif, perasaan dan motif orang lain.
Dapat dibedakan antara 3 macam bentuk ambil alih peran:
a. Ambil alih peranpersepsual
Hal ini merupakan kemampuan untuk meramalkan apa yang dilihat orang lain mengenai objek yang sama, dilihat dari pandangan perspektif yang berbeda. Suatu kemampuan untuk melepaskandasar pandang sendiri dalam mengamati sesuatu dan mengambil dasar pandangan orang lain. Percobaan klasik Piaget mengenai hal ini sering dikemukakan dalam variasi yang bermacam-macam. Eksperimennya berujud sebagai berikut : anak-anak dihadapkan dengan suatu maket yang menggambarkan 3 buah gunung dengan ukuran tinggi yang berbeda-beda. Anak diminta menerangkan apakah seseorang yang berdiri di sebelah sisi lain daripadanya akan melihat gunung-gunung itu juga lain.
Anak sampai umur kurang lebuh 5 tahun hampir tidak dapat menempatkan diri dalam posisi orang lain.
b. Ambil alih peran konsepsual
Halini menunjuk pada kecakapan untuk menempatkan diri dalam pembentukan pengertian atau dalam formasi konsep orang lain. Contoh: ada dua kotak yang satu berisi uang 25 rupiah, yang satunya 50 rupiah. Banyaknya uang yang ditulis dengan jelas diatas masing-masing kotak. Anak (K) diberi tugas:
1. Ambillah uang yang menurut pikiranmu akan diambil oleh temanmu (S). Temanmu ini sudah mengerti bahwa kau mengambil slah satu daripada uang itu. Sesudah anak mengambil uangnya (melakukan tugasnya) ditanya lagi:
2. Mengapa kau ambil uang yang ini?
Bila kita bandingkan jawaban anak-anak dari tingkatan umur yang berbeda-beda dan mulai dari umur 5 tahun ke atas, dapat dilihat jawaban-jawaban yang khas:
1. Anak memandang kognisi dan motif-motif anak lain seperti yang dirasakan pada dirinya sendiri, misalnya: “Ia tentu akam mengambil yang 50 rupiah”.
2. K sekarang maju setapak lagi, S dapat meramalkan apa yang akan dilakukan K, dari itu K akan mengubah tingkah lakunya “Teman saya mengira bahwa saya akan mengambil yang 50 rupiah, dari itu saya ambil yang 25 rupiah”.
3. K sekarang setapak lebih maju lagi. K mengira bahwa S mengerti akalnya dari itu baik untuk kembali pada rencana semula untuk mengejutkan S. “Teman saya mengira bahwa saya mengira bahwa dia tidak mengambil yang 50 rupiah melainkan yang 25 rupiah, dari itu saya mengambil yang 50 rupiah juga”.
4. Anak sering dapat meramalkan apa yang akan dipilih S. K tidak dapat mencari motif tindakan S. “Saya sungguh tidak tahu apa yang akan saya lakukan, sya betul-betul tidak tahu”.
Apa yang disebutkan dalam (1) belum mengandung desentrasi sosial; belum dipikirkan adanya kemungkinan berbagai motif orang lain. Pada (2) dan (3) nampak adanya usaha-usaha yang jelas untuk menempatkan dirinya pada keadaan pengertian orang lain, sedangkan pada (4) tidak ada dasar sama sekali untuk mengadakan ramalan yang berarti.
Contoh yang lain: Flavell mencoba dengan suatu cerita bergambar yang terdir dari 7 atau 4 buah gambar. Bila cerita dari 7 gambar tadi diambil 3buah gambarnya terjadilah cerita yang lain. Dalam cerita dengan tujuh buah gambar Nampak apada anak laki-laki berjalan-jalan dikejar oleh seekor anjing. Anak tadi lekas-lekas memanjat pohon dan disalah satu sudut duduklah seekor anjing dengan tenang. Kedua macam cerita ini diperlihatkan pada anak-anak dari berbagai tingkatan umur. Pertama kali ditunjukkan cerita dengan 4 buah gambar, anak ditanya cerita apa kiranya yang akan diberikan oleh anak lain nanti bila ditunjukkan 4 buah gambar itu. Di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda selalu kembali pada cerita yang dramatis dalam 7 buah gambar dan tidak mendasarkan diri pada situasi yang nyata seperti yang terlihat dalam 4 buah gambar tersebut. Juga di sini nampak bahwa anak-anak yang masih muda belum begitu dapat menempatkan diri dalam dunia pengertian orang lain.
c. Ambil alih peran emosional-motivasional
Hal ini menunjuk pada kecakapan untuk ikut merasakan secara konkrit alam perasaan dan motif-motif orang lain.
Contoh: sebuah cerita bergambar dari tulisan Leckie dkk. (1975) memperlihatkan seorang anak bermain di tepi pantai dan bermain membuat kue-kue dari pasir. Gelombang air datang dan menyapu kue-kue tadi. Anak pulang ke rumah. Ibu kebetulan mengeluarkan kue-kue dari alat pembakar (kue-kue tadi mempunyai bentuk yang sama dengan kue-kue daripada pasir tadi). Ibu sama sekali tidak mengerti kejadian di pantai: ia memberikan sepotong kue yang baru masak tadi kepada anaknya, tetapi tiba-tiba anak menangis. Anak yang sedang diteliti diberi pertanyaan: (1)mengapa anak itu menangis (pertanyaan akan sebabnya) dan (2)bagaimana pikiran ibu mengenai sebab anaknya menangis tadi (pertnyaan akan kecakapan pengambilan peran).
Jelas bahwa ketiga aspek pengambilan peran tersebut ada hubungan yang erat satu sama lain. Dalam praktek sukar untuk memisahkannya, meskipun secara teoretis ada mamfaatnya. Makin berkurang egosentrisme, makin bertambah kemampuan ambil alaih perannya. Reaksi lingkungan pendidikan mempunyai peranan yang penting (Van Lieshout dkk, 1973). Ambil alih peran merupakan proses selama hidup orang meskipun kualitasnya berbeda-beda. Merupakan dasar bagi semua proses dan tingkah laku sosial-interaktif, dari itu merupakan factor yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian dan sosial seseorang.
3.3.5.1 Gambaran mengenai program stimulasi kognisi sosial
Penelitian Leckie (1975) hanya merupakan suatu bagian kecil daripada penelitian mengenal perkembangan kognisi sosial, yaitu berpikir tentang kenyataan sosial. Penelitian tersebut dimulai pada tahun 1973 dan bertujuan tidak hanya untuk pengembangan teori saja, melainkan untuk mengembangkan suatu program stimulasi pengembangan sosial anak dalam sekolah Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Realisasi maksud di atas sudah dapat terlaksana dengan keluarnya buku “Denken Over jeself en ander” (Berpikir tentang diri sendiri dan orang lain) (Gerris, Jansen & Badal, 1980).
Dalam buku tersebut diterangkan bahwa lapangan perkembangan sosial dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) kognisi sosial, artinya pengertian akan tingkah laku orang lain: (2) kecakapan dalam bergaul dengan orang lain seperti sikap altruistis dan koperatif: (3) nilai-nilai sosial, artinya “berpikir dan bertindak dalam kemyataan sosial, berlangsung atas dasar pemilikan niali-nilai” (Gerris dkk., 1980.h.12).
Berdasarkan dan unutk sebagian berhubungan dengan tingkat-tingkat perkembanan sosial kognitif yang dikemukakan oleh Selman (1976 lihat h. 212/213) terdapatlah delapan kecakapan: kecakapan untuk mengidentifikasi, mendiskriminasi, mendiferensiasi dan membandingkan, menempatkan diri pada tempat orang lain, bersikap relative, mengkoordinasi dan akhirnya memasukkan dalam perhatian. Dengan kecakapan sosial kognitif dimaksudkan kecakapan untuk dapat menempatkan diri pada pendapat orang lain. Dapat pula dikatakan kecakapan yang berhubungan dengan cara seseorang (anak) berpikir tentang berbagai aspek dalam lingkungan sosial (lihat Tabel 3 dan cerita mengenai Tini).

Tini dan Kucing
Tini adalah seorang gadis usia 8 tahun. Ia suka sekali memanjat pohon. Dia paling pandai memanjat pohon di antara anak-anak tetangga. Pada suatu hari ia memanjat pohon lagi. Pada waktu mau turun ia terjatuh dari batang yang paling bawah. Untung dia tidak apa-apa. Ayahnya melihat Tini jatuh. Dia sangat terkejut dan Tini harus berjanji untuk tidak memanjat pohon lagi.
Siang harinya Tini dan kawan-kawan berjumpa dengan Mita. Mita sangat sedih. Kucingnya ada di atas pohon yang tinggi. Kucingnya tidak berani turun. Ia harus segera ditolong sebelum ia terjatuh ke bawah. Tini adalah satu-satunya yang dapat memanjat cukup baik untuk menolong kucingnya. Tetapi… dia ingat akan janjinya kepada ayah.
Waktu Tini dating ke rumah, ayahnya menegerti dari pakaian dan kakinya yang kotor bahwa daia telah memanjat pohon lagi.

Program tersebut dibuat sedemikian rupa hingga terdapat 3 buah tingkatan. Empat kecakapan pertama merupakan tingkatan pertama, tingkatan kedua adalah menempatkan diri dalam tempat orang lain dan dapat bersikap relatif, sedangkan tingkatan ketiga adalah kecakapan koordinasi dan memperhatikan prespektif orang lain. Tujuan tingktan terakhir ini adalah untuk mempelajari

Table 4. Delapan kecakapan sosial kognitif (termasuk tiga sub-kategori mengenai identifikasi dalam hubungan dengan sifat pertanyaan serta contoh yang praktis.
Kecakapan Sifat pertanyaan/tugas Contoh
1. Identifikasi menanyakan akan adanya “Apa orang lain melihat
a. melihat suatu hal suatu perspektif sesuatu?”
dalam suatu situasi. “Apa orang lain memi-
kirkan sesuatu?”

b. mengenai menilai apakah suatu per- “Apakah mita senang
spektif yang diberikan co- atau sedih waktu ia
cok dengan suatu perspek- ketemu Tini?”
tif yang nampak. “Bagaimana perasaan
c. melukiskan suatu perspektif yang bagaimana perasaan
Nampak dilukiskan secara ayah Tini ketika Tini
verbal. Jatuh dari pohon?”
2. Diskriminasi menilai apakah dua per- “Apakah perasaan Tini
Spektif nampak cocok atau dan ayahnya sama waktu
Tidak satu sama lain. Tini jatuh dari pohon?”
3. Diferensiasi dapat mengerti kemung- “Mita memikirkan kucing
kinan bahwa masing- nya”. “Tini memikirkan
masing orang mempunyai tentang apa kiranya?”.
perspektif yang berbeda. “waktu Tini dating di ru-
4. Membandingkan dapat menemukan hal-hal mah Apa yang/berbeda
Yang sama dan/atau ber- antara yang dipikirkan
Beda antara perspektif- ayahnya?"
Perspektif.
5. Menempatkan diri dapat mengerti perspektif “Apa yang akan dipikir-
Dalam tempat orang orang lain yang tidak dise- kan ayah kalau Tini
Lain. Butkan (melepaskan diri da- datang di rumah?”
ri pandangan sendiri dan
menempatkan diri dalam
posisi orang lain).
6. Bersikap relatif dapat menerangkan me- “Mengapa ayah tidak
ngapa dua perspektif atau senang seperti Tini?”
lebih berbeda atau sama.
7. Koordinasi dapat mengerti kemung- “Tini menganggap bah-
kinan bahwa setiap wa ayahnay tidak akan
orang dalam situasi sosial marah padanya. Tahukah
tertentu dapat mengerti kamu mengapa?”
perspektif orang lain (me-
nempatkan diri dalam tem-
pat orang lain).
8. Memasukkan dalam memperhitungkan per- “apa yang dapat dilaku-
perhatian spektif orang lain. kan Tini untuk menolong
kucingnya dengan tidak
membuat marah ayahnya?


Untuk mengerti contoh dalam table 4 ini harap baca cerita “Tini dan Kucing” (disesuaikan dari Selman, 1976) pada halaman 119.
anak dalam mengerti hubungan antar perspektif orang banyak dalam situasi tertentu, dan juga untuk member pengertian bagaimana orang dapat saling memperhatikan perspektif dan maksud masing-masing. Melalui skema yang mangandung beberapa instruksi tadi ingin dijelaskan pertanyaan atau tugas apa yang berhubungan dengan latihan atau pemberian stimulasi sesuatu kecakapan sosial kognitif tertentu (lihat Tabel 4, Gerris dkk., 1980, hal. 20).
Jelaslah di sini bahwa proses pengambilan peran yang ditulis dalam buku ini, tidak saja menjadi lebih jelas, melainkan juga lebih dapat dikaitkan dengan usaha-usaha pendidikan.

3.3.6 Belajar Model
Belajar model adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau tidak. Sinonim dengan belajar model ini adalah imitasi, identifikasi dan belajar melalui observasi. Belajar model merupakan bentuk belajar yang kompleks.
Menurut “teori sosial mengenai belajar” (Bandura dan Waiters, 1963) maka suatu tingkah laku dapat dipelajari dengan “melihat” saja. Bandura mengadakan eksperimen sebagai berikut: pada sekelompok anak ditunjukkan film. Dalam film tadi ada orang dewasa (modelnya) berbuat sangat agresif terhadap sebuah boneka; sekelompok anak yang lain (kelompok kontrol) tidak melihat film tersebut. Kedua kelompok tadi masing-masing dimasukkan ke dalam ruang yang sama dan diberi boneka yang sama. Kemudia dilihat dari arah agresif model tadi ditirukan atau tidak. Hasilnya: kelompok anak yang emlihat tingkah laku agresif dalam film tadi juga melakukan tingkah laku agresif seperti apa yang dilihatnya dalam film itu.
Mereka jelas lebih agresif daripada kelompok control. Perbedaan ini juga masih nampak sesudah berselang waktu 6 bulan, meskipun tidak terlalu jelas lagi.
Mengenai pertanyaan orang mana yang dapat dipilih sebagai model tidakdapat ditentukan dengan jelas. Hanya dapat ditentukan bahwa kasih sayang dan kehangatan bukan merupakan unsur-unsur yang menentukan. Juga tidak ada interaksi langsung dengan modelnya. Yang penting ialah bahwa tindakan-tindakan model tadi harus dapat berhasil dan bahwa antara model dan anak harus ada persamaan tertentu.
Dapat dibacakan antara model pribadi menirukan demi sifat-sifat tingkah laku pribadi dan model posisional: menirukan demi posisional kesuksesan, umur, jenis sekse.
feed back --


situasi tingkah konsekuensi respons konsekuensi
untuk laku negative atau pengamat diberikan oleh
model model positif bagi model lingkungan
sosial pengamat
Gambar 17. Penggambaran skematis belajar model

Bila skema ini misalnya diterapkan pada pengaruh film pada anak. Dapatlah dilihat bahwa film memberikan pengaruh yang lebih besar pada anak kalu situasi (S1) anak yang mengamati tingkah laku (S2) yang diperlihatkan tadi dapat ditiru oleh anak-anak dan harus menghasilkan konsekuensi yang positif (S3). Baru kalau ketigapersyaratan ini cepat terpenuhi dapatlah diharapkan bahwa tingkah laku model yang dilihat dalam film tadi dapat memberikan efek yang relative. Tetapi juga pribadi pengamat mempunyai peran yang penting sebab setiap orang mengadakan reaksi (R) dengan caranya sendiri. Di samping itu. Konsekuensi yang diberikan oleh lingkungan sosial anak. S1 juga memberikan sumbangan yang sangat besar. Baru dengan kerja sama antara faktor-faktor tadi terjadilah efek model dan identifikasi. Pada umumnya belajar dari model terjadi melalui observasi (untuk keterangan lebih lanjut lihat Knoers, 1973: Hendriks & Monks, 1981).
Teori sosial mengenai belajar yang dikembangkan oleh Bandura (1977) telah memberikan banyak sumbangan kepada persoalan belajar model, bahkan memberikan pengertian baru terhadap tingkah laku manusia. Menurut Bandura kebanyakan tingkah laku orang terjadi karenapengamatan atau belajar-model. Model yang ditiru bukan hanya orang-orang yang konkrit ada, melainkan juga model-model simbolis, misalnya yang dilihat pada TV atau dibaca dalam buku. Suatu bentuk lain belajar-model yang simbolis adalah instruksi verbal. Misalnya instruksi pengendara mobil mengajarkan tingkah laku apa yang perlu dilaksanakan pada waktu mengendarai mobi, hal ini biasanya disertai dengan demonstrasi tingkah laku.
Menurut Bandura harus ada empat persyaratan untuk dapat menirukan model dengan baik : 1) perhatian (suatu model tidak akan bias ditiru bila tidak diadakan pengamatan): 2) retensi atau disimpan dalam ingatan (tingkah laku yang diamati harus bias diingat kembali untuk bias ditirukan juga bila model tidak ada lagi ada; 3) reproduksi motoris (untuk dapat menirukan dengan baik seseorang harus memiliki kemampuan motorisnya), dan 4) reinforsemen dan motivasi (orang yang menirukan harus melihat tingkah laku itu sebagai tingkah laku yang terpuji dan bermotivasi untuk menirukannya).
Keempat komponen belajar model ini merupakan persyaratan bagi timbulnya tingkah laku baru atau berubahnya tingkah laku yang lama. Komponen-komponen tersebut dapat dibedakan, tetapi dalam kenyataan sering terjalin satu sama lain (lihat juga van Lieshout, 1971 dan Crain, 1980).

3.3.7 Periode pembangkangan—fase kepala batu
Dalam buku-buku Eropa maka pembangkangan usia awal ini, yang dapat timbul antara 2 1/2 dan 3 ½ tahun merupakan suatu halyang mutlak dalam perkembangan. Menurut Hetzer (1961) dan Remplein (1962) pembangkangan ini diangap sebagi proses inti perkembangan kemauan dan kepribadian. Anak yang tidak menunjukkan pembangkangan pada periode tersebut mengalami bahaya untuk berkembang menjadi pribadi yang terganggu.
Maslahnya adalah (a)apakah pemabngkangan pada anak kecil merupakan suatu gejala yang terkait pada perkembangan manusia, yaitu suatu gejala pemasakan, dan (b) apakah hal itu juga dapat dipandang dan diinterpretasikan lain daripada yang dilakukan oleh penulis-penulis tersebut diatas? Mungkin agak menyolok yaitu bahwa “pembangkangan” sebagai periode tersendiri tidak disebut-sebut dalam literature Amerika. Kita hanya memerlukan tinjauan mengenai reaksi negative atau “temper tentrum”. Hal ini adalah suatu tingkah laku reaktif yang nyata.
Kemmler (1957) beberapa tahun yang lalu telah mengadakan penelitian mengenai gejala “pembangkangan” sebagai metode dipakainya “event-sampling” artinya hanya gejala yang bersifat pembangkangan yang diperhatikan. Semua yang berhubungan dengan gejala tersebut diobservasi dan dicatat. Kemmler mengadakan observasi terhadap 71 orang anak selama 71 hari dalam keluarga-keluarga dan yayasan-yayasan. Dia terpaksa menunggu berhari-hari untuk mencatat apa yang berhubungan dengan reaksi pembangkangan tersebut.
Selama waktu penenlitiannya tadi Kemmler mencatat 488 tingkah laku pembangkangan. Dari observasi ini ia menarik kesimpulan: “pembangkangan selalu merupakan reakasi anak terhadap tindakan (dalam arti luas) keliling yang ditujukan “terhadap anak” (h. 285). Reaksi ini mempunyai suatu siafat dinamis-afektif dan dalam kenyataannya merupakan suatu penolakan yang diffuse. Pada waktu itu kontak dengan keliling terputus.
Reaksi pembangkangan berbeda dengan sikap tidak mau menurut, agresi, ingin mempunyai pendapat sendiri, malu terhambat dan mengadu kekuatan secara main-main.

Hasil penelitian :
1. Frekuensi : frekuensi tingkah laku pembangkangan perhari dapat dikatakan tidak banyak kurang lebih lima dalam keluarga biasa. Dalam yayasan hanya didapatkan 2 kali perhari. Pada beberapa anak tidak dijumpai tingkah laku pembangkangan, tetapi apada 1 kasus bahkan dijumpai 19 kali pembangkangan.
2. Orang-orang yang dapat memancing pembangkangan: orang-orang yang dapat memancing pembangkangan 90% adalah orang dewasa tau anak yang lebih tua. 10% adalah anak sebaya. Hanya jarang sekali pembangkangan disebabkan oleh benda-benda, jadi nampaknya anak membangkang terutama terhadap orang yang mempunyai kelebihan fisik dan mental.
3. Penyebab: penyebab reaksi pembangkangan dapat dilukiskan secara singkat sebagai berikut: anak sedang melakukan sesuatu, biasanya sedang asyik bermain, kemudian mendapat perintah untuk melakukan sesuatu yang lain. sudah barang tentu tidak ada pada semua perintah anak mereaksi dengan negatif.
4. Kebutuhan-kebutuhan aku (dorongan kekuasaan dan penyataan diri)sama sekali tidak mengambil peranan dalam reaksi pembangkangan.
5. Reaksi: reaksi pembangkangn merupakan tingkah laku reflex semu, suatu cetusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang. Anak kehilangan kontak dengan kenyataan, mulai menjerit-jerit dan sebagainya, tetapi tidak menangis.
6. Lam waktu: reaksi pembangkangan biasanya hanya berlangsung beberapa menit saja, kadang-kadang ada periode laten.
7. Umur: pada anak-anak normal pembangkangan sudah dimulai sekitar 1 tahun. Puncaknya ada pada usia 2 tahun dengan frekuensi rat-rata 7 kali perhari. Antara 2 ½ dan 3 tahun reaksi pembangkangn menghilang karena anak makin lama mengerti tuntutan orang tua.
8. Perbedaan jenis kelamin: tidak ada bentuk pembangkangan yang spesifik antara anak laki-laki dan anak wanita. Pembangkangan memang lebih banyak terdapat pada anak laki-laki daripada anak wanita dan juga berlangsung lebih lama, mungkin karena tingjah laku itu lebih diperbolehkan pada anak laki-laki.
Di sini Nampak bahwa reaksi pembangkangan tadi snagt berhubungan dengan pendidikan dan perbedaaj perseorangan.
9. Waktu dilakukan pembangkangan dalam sehari: reaksi yang terbanyak dilakukan antara jam11 dan 13. Waktu itu adalah waktu anak merasa lapar dan hal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar.
10. Hubungan antara periode pembangkangan dengan perkembangan anak selanjutnya.
- Harus diadakan perbedaan pembangkangan dan agresi. Pembangkangan adalah suatu letusan efek yang tidak ditujukan pada seseorang dan merupakan reaksi terhadap sesuatu. Agresi sebaliknya merupakan “tingkah laku fisik atau verbal yang menyebabkan kerugian atau sakit” (hartup, 1974 bandingkan juga De Wit dan Hartup, 1974).
- Pola pembangkangan yang menetap sesuadah usia 3 tahun dapat terjadi oleh pendidikan yang sangat tidak konsekuen.
- Arti tingkah laku pembangkangan berhubungan dengan kemampuan penguasaan keliling yang lebih baik.

Selanjutnya dapat diliaht bahwa tidak pada semua anak terdapat reaksi pembangkangan. Dimuka telah dikemukakan bahwa reaksi ini banyak berhubungan dengan sifat pendidikan orang tua. Mungkin di Indonesia gejala ini relative tidak begitu mencolok. Hal itu disebabkan karena anak di Indonesia tidak dikenakan pendidikan disiplin yang ketat dan orang tua lebih banyk menuruti kehendak anak (permissive) dengan dasar pandangan bahwa anak kelak akan mengerti sendiri dan tidak akan nakal lagi (misalnya tidak menurut) bila ia sudah besar nanti.
Dalam beberapa penelitian mengenai tingkahlaku pembangkangan diketemukan bahwa reaksi ini tidak diketemukan pada anak yang bodoh. Pada anak yang pandai maka diskrepansi anatara keinginan pemenuhan kebutuhan dan pengertian situasinya. Tidak terlalu lebar seperti halnya pada anak-anak yang bodoh sering tidak menunjukkanaktivitas yang banyak.
Sebagai konklusinya dapat dikatakan bahwa tingkah laku tersebut perlu mendapatkan interpretasi yang lain daripada apa yang diberikan sebelumnya. Seperti yang telah dikemukakan oleh sementara penulis sebelumnya maka reaksi pembangkangan ini merupakan gejala yang pokok bagi perkembangan kepribadian dan sosial anak. Misalnya Hetzer, (1961) mengatakan: seorang anak yang tidak mengalami fase ini kan tidak bias mencapai perkembangan kemauan yang sehat.
Selanjutnya penelitian ini menunjukkan bahwa reaksi pembangkangan tadi paling sering dijumpai antara usia 1 ½ dan 2 ½ tahun, jadi tidak antara 2 ½ dan 3 ½ tahun.
Inti penyebab reaksi pembangkangan ini adalah berfungsinya dua hal yang diskrepan pada diri anak: yaitu diskrepansi antara apa yang dikehendaki anak dengan apa yang dapat dimengerti secara intelektual.

3.3.8 Permainan dan tingkah laku bermain
Anak dan permainan merupakan dua pengertian yanghampir tidak dapat dipisahkan satu satu sama lain. berpikir mengenai anak selalu menimbulkan asosiasi mengenai bermain. Timbul pertanyaan apakah bermain betul-betul merupakan kesibukan khusus anak. Sebab dalam kemyataan maka orang tua dan remaja bermain. Mungkin hanya merupakan suatu kebiasaan unutk memakai istilah hobi atau olahraga atau reaksi. Bagi orang-orang dewasa, sedangkan istilah “bernmain” hanya dapat diapaki untuk anak saja.
Pemisahan antar dunia anak dan dunia orang dewasa ini berlangsung selama tiga abad ke 16 permainan anak dan permainan orang dewasa tidak dapat dibedakan satu sama lain.sebagi permulaan yang jelas mengenai proses ini dapat dikemukakan buku pelajaran pedagogic Emile (1976) yang ditulis oleh Rousseau (1712-1778). Mulai saat ini anak betul-betul dipandangsebagai anak dan bukan sebagi orang dewasa dalam bentuk kecil.
Sekarang anak sudah mempunyai dunia sendiri dengan permainan pakaian dan “hak-hak” sendiri meskipun hal ini belum merata sampai di pelosok-pelosok seperti halnya di Indonesia. Masih saja banyak anak yang belum dapat menikmati hak-haknya sebagai anak. Masih saja ada anak yang harus bekerja mencari nafkah pada waktu mereka seharusnya masih menuntu ilmu di bangku sekolah. Kewajiban belajar masih belum dapat dibedakan meskipun usaha-usaha untuk memberikan pendidikan formal pada semua anak sudah banyak dilakukan. Temapat-tempat permainan yang khusus dibuat untuk anak masih sedikit adanya.
Tetapi dalam dunia yang sudah maju maka dunia anak betul-betul terpisah dengan dunia orang dewasa. Anak mendapatkan perhatian khusus, pakaian khusus, buku-buku dan pendidikan yang terarah. Dalam keadaan seperti itu timbullah pertanyaan apakah perlakuan-perlakuan terhadap anak tadi betul-betul sudah baik? Sebab anak memperoleh latihan untuk memikul tanggung jawab. Dengan timbulnya dunia anak maka peralihan ke dalam dunia orang dewasa menjadi lebih problematis, lebih sukar (lihat Dasberg, 1980). Sebaliknya dapat pula dikemukakan bahwa pandangan mengenai dunia orang dewasa sebagai dunia penuh rentetan kerja. Tugas-tugas dan tangung jawab memberikan tempat lagi bagi permainan.
Pemisah yang kental antara “waktubermain” dan “waktu bekerja” ini dalam hubungan dengan tingkat-tingkat usia atertentu tidak akan dilakukan dalam tulisan psikologi sepanjang hidup. Dalam pasal-pasal berikutnya maka pembicaraan mengenai berbagai macam aspek permainan akan tidak dibatasi pada masa kanak-kanak saja.


3.3.8.1 Teori-teori permainan
Meskipun Darwin (1809-1882) tidak mengembangkan teori permainan sendiri, namun teori evolusinya memberikan pengaruh yang beasar pada sementara toeri permainan, misalnya teori Groos, Hall, spencer dan Schaller.
Groos membuat formulasi mengenai teori latihan. Menurut Groos maka permainan harus dipandang sebagai latihan fungsi-fungsi yang sangat penting dalam kehidupan dewasa nanti. Dengan begitu permainan peranan anak gadis yang bermain dengan bonekanya merupakan latihan bagi perannay kemudian sebagai seorang ibu.
Hall yang banyak mendasarkan teorinya pada Rousseau dan Darwin, memandang permainan berdasarkan teori rekapitulasi, yaitu sebagai ulangan bentuk-bentuk aktivitas yang dalamperkembangan jenis manusi pernah memegang peranan yang dominan.
Menurut teori rekapitulasi maka perkembangan individu (ontogenesa) adalah ulangan perkembanagn jenis manusia (filogenesa). Menurut Hall maka permainan merupakan sisa-sisa periode perkembangan manusia waktu dulu tetapi yang sekarang perlu sebagai stadium transisi dalam perkembanagn individu.
Schaller berpendapat bahwa permainan memberikan “kelongaran” sesudah orang melakukan tugasnya dan sekaligus mempunyai sifat membersihkan. Permainan adalah sebaliknya daripada bekerja. Dalam hubungan dengan sifat pembersiahnnya tadi (katarsis) Schaller mengatakan: bila orang Inggris menderita karena jatuh cinta, maka ia akan bermain tennis sebebtar dan semuannya beres kembali.
Akhirnya Spencer menandaskan bahwa permainan merupakan kemungkinan penyaluran bagi manusia untuk melepaskan sis-sisa energy. Karena manusia melalui evolusi mencapai suatu tingkatan yang tidak terlalu membutuhkan banyak energi untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidup, maka kelebihan energinya harus disalurkan melalui cara yang sesuai; dalam hal ini permainan merupakan cara yang sebaik-baiknya (lihat selanjutnya Dunk, 1981).
Teori permainan seorang ahli psikologi Rusia Ljublinskaja (1961) memandang permainan sebagai pencerminan realitas, sebagai bentuk awal memperoleh pengetahuan. Dengan begitu jelaslah bahwa pendapat yang “berprasangka” cultural ini ingin dihindari dalam penelitian empiris dan teoretis yang lebih baru. Selalu datang pertanyaan-pertanyaan yang jelas dalam penelitian permainan, yaitu: yang harus ada untuk dapat dikatakan permainan dan (3) apakah akibatbya bila kita bermain atau justru tidak bermain. Dalam pasal-pasal berikutnya hal-hal ini kan kita bicarakan lebih lanjut.

3.3.8.2 Struktur atau ciri-ciri esensial tingkah laku bermain
Telah dilakukan beberapa usaha untuk melukiskan bermacam-macam bentuk permainan dan proses perkembangannya (lihat. Tabel 3). Di situ diusahakan untuk melukiskan unsure-unsur yang ada menurut isi dan strukturnya. Namun dengan begitu tidak diketemukan jawaban mengenai pertanyaan: bagaimana daptnya menentukan bahwa sesuatu aktivitas merupakan tingkah laku bermain? Jawaban yang paling lengkap dan paling mendalam mengenai “sifat hakekat permainan” sampai sekarang baru dieberikan oleh Buytendjik (1887-1974) dan Huizinga (1872-1945).
Berdasarkan analisa fenomenologis maka Buytendjik menemukan cirri-ciri permainan sebagai berikut:
1. Permainan adalah selalu bermain dengan sesuatu;
2. Dalam permainan selalu ada sifat timbale balik, sifat interaksi;
3. Permainan berkembang, tidak statis melainkan dinamis, merupakan proses dialektik yaitu tese-antese-sintese. Karena proses yang berputar ini, dapat mencapai suatu klimaks dan mulailah prosesnya dari awal lagi.
4. Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tak dapat diramalkan lebih dahulu, setiap kali dipikirkan suatu cara yang lain atau dicoba untuk datang pada suatu klimaks tertentu.
5. Orang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu atau dengan orang lain, melainkan yang lain tadi juga bermain dengan orang yang bermain itu.
6. Bermain menuntut ruangan untuk bermain dan menuntut aturan-aturan permainan.
7. Aturan-aturan permainan membatasi bidang permainannya.

Beberapa tahun sesudah Buytendjik, maka Huizinga (1940) memberikan definisi mengenai permainan atas dasar latar belakang sejarah kebudayaan sebagai berikut : “bermain merupakan tindakan atau kesibukan suka rela yang dilakukan dalam batas-batas tempat dan waktu, berdasarkan aturan-aturan yang mengikat tetapi diakui secara suka rela dengan tujuan yang ada dalam dirinya sendiri, disertai dengan perasaan tegang dan senang dan dengan pengertian bahwa bermain merupakan sesuatu “yang lain” daripada kehidupan biasa” (h. 42).
Bagaimana tepatnya pencirian Buytendjik dan Huizinga ini, dapat diliahat dari berbagai pelukisan peneliti-peneliti baru seperti batesan (1971), Miller (1973) dan Suton-Smith (1979). Istilah-istilah yang dipakai berbeda namun esensinya sama.
1. “Reframing” atau “memberikan isyarat” adalah cirri structural yang pertama dari permainan. Orang-orang saling memberikan isyartnya (misalnya mengangkat tangan,senyum, intonasi yang lain) sebelum permainan dimulai. Bentuk komunikasi yang spesifik ini nampaknya dipelajari anak pada tahun-tahun pertama.
2. “Reversal” atau “pemutarbalikan” merupakan cirri structural yang kedua daripermainan. Dalam permainan maka realita dapat “diputar balik” semua anak. Semuanya mungkin, bats-batas kenyataan dapat dihilangkan. Dalam permainan peran, anak dapat memutar balik kenyataan kehidupan keluarga yaitu dengan bermain menjadi ibunya.
3. “abstarksi prototype” merupakan cirri lanjut permainan. Di sini diambil beberapa aspek tingkah laku yang menyolok dari suatu rentetan tingkah laku (missal:karikatur). Vygostski (1967) memberikan suatu contoh yang tepat: “dua gadis bersaudara.” Permainannya bukan suatu imitasi kejadian sehari-hari, melainkan hanya ditirukan beberapa tingkah laku saja mengenal kehidupan dua bersaydara tersebut.
4. Suatu cirri yang spesifik adalah “tema dan variasi”. Permainan selalu merupakan suatu variasi meneganl suatu tema. Jadi ada suatu tema yang pokok kemudian dipikirkan dan diperagakan aspek-aspek baru di sekitar tema tersebut. Misalnya seorang anak bermain dengan sebuah boneka. Dia akan dapat melakukan tingkah laku macam-macam Dallam merawat “anaknya” itu. Atau seorang anak laki-laki bermain dengan bola akan menemukan atau mencoba bermacam-macam cara menedangnya.
5. Permainan selalu terikat tempat dan waktu. Batas seringkali ditentukan oleh ruang (tempat bermain, lapangan, stadion). Juga waktu menentukan batas permainan (sorehari, hari minggu). Batas permainan anak biasanya tidak jelas. Dengan mengubah kenyataan maka batas-batas tadi dapat diperjelas, misalnya:
5a. Memperkecil kenyataan
Kebanyakan alat permainan adalah imitasi kenyataan. Misalnya “sifat kecilnya” permainan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil-mobilan memungkinkan anak untuk berbuat seakan-akan menjalankan mobil yang sesungguhnya.
5b. Memperbesar Kenyataan
Seringkali gerak-gerik dank at-kata dilebih-lebihkan. Memberikan aksentuasi yang lebih pada perasaan misalnya dijumpai juga pada permainan.
5c. Ulangan yang siklis
Dengan ulangan yang siklis (berputar), yaitu selalu melakukan hal yang sama, meskipun dengan variasi-variasi tertentu, timbullah kesan seakan-akan orangnya sendiri dapat menentukan batas-batas ruang dan waktu. Proses permainan yang siklis (berputar) dan ritmis (berirama) ini menunjukan oleh Lehr (1959) melalui observasinya.

6. Permainan selalu mempunyai sifat tegang dan bergairah. Melalui ketegangan dan kegairahan, permainan sering datang pada suatu klimaks kemudian timbul kelonggaran. Dalam hal itu permainan merupakan suatu tantangan. Permainan juga berguna untuk menghilangkan ketegangan yang terlalu tinggi. Dengan begitu maka ketegangan batin anak sering dapat disembuhkan melalui terapi permainan. Ketegangan batin, ketegangan emosiaonal ataupun kejemuan dapat menghambat anak bermain.

3.3.8.3 Syarat-syarat permainan
Dalam bab ini telah dikatakan bahwa anak dan permainan sukar dapat dipisahkan satu sama lain. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa anak kan bermain dengan sendirinya. Jadi agak mengherankan bila orang berkata bahwa anak harus belajar bermain. Kiranya yang dimaksudkan adalah; belajar memperoleh pengalan. Berhubungan dengan itu perlu mengatur lingkungan sedemikian rupa hingga anak juga dapat memperoleh pengalaman tersebut.
Bagi perkembangan dalam tahun-tahun pertama, baik bagi manusia maupun hewan, maka perlindungan dan stimulasi merupakan syarat yang mutlak. Hal ini juga berlaku bagi tingkah laku bermain biasanya ibulah yang memberikan perlindungan dan stimulasi itu hingga tingkah laku anak dapat berkembang.
Ibu merupakan suatu hal yang konstan maupun suatu ahal yang berubah-ubah (Lewis, 1979). Pada hari pertama seorang ibu telah menciptakan suatu bentuk komunikasi dengan anaknya yang dapat menimbulkan sifat-sifat ekspresif sebagai berikut :

Suatu roman permainan : alis diangkat, mulut terbuka, mata membelalak lebar, suatu ekspresi keheranan.
Suatu pandangan bermain : pandangan penuh kasih sayang
Sambil bicara pada anaknya.
Bunyi-bunyi bermain : bunyi tinggi, bunyi huruf mati
Yang diperpanjang bicara lambat.
Berbagai roaman muka : muka didekatkan atau dijauhkan.
Waktu bermain : biasanya sesudah makan atau sebelum anak ditidurkan.
Ruang/kesempatan bermain : dalam tempat tidur, di pangkuan ibu,
Dalam selendang, di dekat ibu.
Bentuk komunikasi ini telah dibicarakan secara mendalam oleh Stern (1977). Ibu dan anak sejak mula telah terlibat dalam saat-saat interaksi yang ditandai oleh saling mengadakan aksi yang yang kontras. Aksi-aksi yang kontras tadi ditimbulkan oleh peranan ibu dan anak yang saling bertentangan. Dalam interaksi tersebut ketegangan silih berganti dengan kelonggaran. Sutton-Smith (1949) berpendapat bahwa interaksi ibu-anak ini merupakan sumber fundamental permainan dengan aspek-aspek tersebut karena permainan baru timbul bila tercipta suasana komunikasi yang aman dan bila dapat terjadi ketegangan dan kelonggaran karena tindakan-tindakan yang bertentangan. Peneliti membuktikan bahwa banyaknya sikap bermain orang pada umur-umur yang kemudian sangat dipengaruhi oleh sifat hubungan ibu-anak ini, begitu pula oleh banyknya variasi pada waktu menciptakan saat-saat bermain itu.
Cirri-ciri structural permainan yang bermacam-macam telah ada dalm interaksi ibu-anak dan merupakn dasar permainan di kemudian hari, baikpermainan seorang dir maupun dengan anak-anak sebaya.
Di samping perlindungan dan stimulasi maka kesempatan untuk eksplorasi merupakan persyaratan yang penting bagi permainan. Biasanya tingkah laku bermain dimulai oleh penyelidiakan terhadap sebuah benda atau suatu person. Dalam eksplorasi itu anak menginginkan jawaban terhadap pertanyaan: “apakah benda ini atau apakah orang itu?” bila tingkah laku menyelidiki ini telah menghasilkan pengertian-pengertian tertentu, berubahlah tingkah laku anak dan pertanyaan yang timbul sekarang adalah : “apakah yang dapat saya perbuat dengan benda atau orang itu”.
Lamanya mengadakan eksplorasi berbeda-beda dan sedikit banyak bersifat stereotif; melalui alat-alat indera (auditif, visual dan taklil) akan diperoleh informasi secarabersamaan. Penelitian membuktikan bahwa anak dan orang dewasa membutuhkan jangka waktu tertentu untuk mengenal keadaan, objek-objek atau orangyang baru. Bila fase eksplorasi untuk mendapatkan informasi ini tidak cukup waktunya, maka permainan juga tidak akan dapat berkembang. Dalam keadaan sehari-hari dapat dilihat bahwa orang dewasa maupun anak segera ingin mulai dengan bermain. Mengenai pentingnya stimulasi dan eksplorasi ini suadah diuraikan dalam pasal 2.5.1.6., yaitu pada pembicaraan stimulasi pada masa perkembangan awal.

3.3.8.4 Konsekuensi permainan
Sampai kini dipakai dasar anggapanbahwa manusia itu bermain: telah dikemukakan tentang bergabai persyaratan dan unsur-unsur yang structural mengenal permainan. Tetapi apa yang akan terjadi bila manusia tidak bermain? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang retorik karena hamper tidak ingin mengadakan eksperimen yang bersifat membelenggu manusia dalam tingkah lakunya yang wajar.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas maka Csikszentmihalyi (1975) melakukan penelitian dalam dua fase. Dalam fase sendiri menurut instruksi sebagai berikut : Anda harus hidup wajar saja dalam dua hari ini, tetapi hendak lah sebanyak mungkin sadar akan tingkah laku anda sendiri dan catatlah semua yang anda lakukan untuk kesenangan anda sendiri, terutama hal-hal yang biasanya anda lakukan secara “tidak dipikirkan”.
Dalam fase kedua-seminggu kemudian-diajukan persyaratan sebagai berikut : “mulai besok pagi dari bangun samapi jam 09.00 malam hendaklah anda bertingkah laku sewajar mungkin, lakukan semua hal apa yang harus anda lakukan, tetapi janganlah melakukan apa yang mirp dengan permainan atau yang tidak instrumental. Bila dibandingkan “eksperimen” dengan deprivasi permainan wajar dalam fase kedua ini dengan fase yang pertama, nampaklah hal-hal sebagai berikut: para orang coba merasa capai dan mengantuk, kurang sehat dan kurang sanati; mereka lebih banyak merasa sakit kepala, merasa dirinya lebih lekas marah dan kurang kretaif.; aktivitas (instrumental) sehari-hari dirasa sebagai beban yang berat, dilakukan dengan dan marah dan kehilangan konsentarsi, juga ada perasaan sedih dan kesan bahwa tindakan-tindakan tadi dilakukan sebagai robot dan secara otomatis saja.
Meniadakan permainan, meskipun di sini hanya mengenai eksperimen pura-pura saja, dapat menunjukkan konsekuensi apa yang dapat timbul bila orang tidak bermain. Dengan menunjukkan apa yang disebut “bukan permainan” jelaslah betapa fundamental permainan bagi kesejahteraan manusia itu. Manusia mempunyai suatu kebutuhan untuk mengatur pengalaman-pengalamannya sesuai dengan apa ynag dipandangnya baik, dia ingin menemukan imbangnya antara tuntutan-tuntutan keliling dengan kemampuan dan keinginan-keinginanya sendiri. Fungsi tingkah laku permainan yang dapat mengatur keseimbangan tadi mempunyai dua mavam fungsi: (1) bila stimulasi terlalu sedikit, kurang ada tantangan (misalnya dibandingkan dengan kemampuan sendiri) tingkah laku bermain dapat memberikan komponesasi; tidak adanya tantangan dan stimulus ini dapat menimbulkan akibat negative pada anak yang merasa jemu itu, misalnya timbul gangguan-gangguantingkah laku, (2) bila tuntutan terlalu tinggi yang dapat menimbulkan ketegangan batin, maka permainan mempunyai sifat yang melonggarkan dan menyegarkan.
Di samping fungsi kompensasi dan melonggarkan maka permainan juga mempunyai sumbangn penting pada proses kreatif seseorang. Kreativitas berarti bahwa seseoarang dapat bertindak “mencipta” dan berhubungan dengan kelilingnya dengan cara yang khas untuknya. Untuk melakukan hal itu, maka anak atau orang dewasa membutuhkan kesempatan untuk memberikan bentuk sendiri terhadap apa yang dialaminya atau dijumpainya. Hal ini bagi kebanykan anak, dimungkinkan selama anak belum masuk sekolah. Pada waktu anak masuk sekolah dasar, pada waktu itu dunia bermain berubah menjadi dunia sekolah dan hal itu berarti bekerja menurut aturan-aturan tertentu; kesempatan menjadi sedikti untuk berbuat kreatif dengan dunia kelilingnya, untuk membentuk dunia atau realitas sesuai dengan kehendaknya sendiri. Seperti yang dilukiskan di muka, suatu pembagian yang jelas antara dua anak dan dunia orang dewasa, atau dunia bermain dengan dunia tidak bermain tidak dapat dibenarkan. Menurut Vygotsky (1967, hal. 16) maka “permainan menciptakan daerah dan sumber perkembangan yang merupakan proses seumur hidup.
Penelitian mengenai permainan pada anak-anak membuktikan bahwa permainan dapat menjelaskan aspek-aspek perkembangan seperti motorik, kreativitas, kecakap-kecapakn sosial dan kognitif dan juga perkembangan motivasional dan emosional (lihat Rost, 1981; De Groos, 1980). Permainan di sini harus dapat ditinjau dalam nuansa-nuansanya yang lebih banyak dan tidak sebagai sesuatu yang global.
3.5.8.5 Bentuk-bentuk permainan
Sejak tinjauan yang sistematis mengenal perkembangan manusia juga diusahakan untuk menentukan hubungan antaraberbagi bentuk permaian dengan umur seseorang. Seperti yang sudah ditandaskan di muka, mak oleh proses pemaskan dan belajar. Usaha pertama yang dilakukan berhubungan dengan pertanyaan : permainan apa yang dilakukan anak apada umr-umur tertentu?
Bertalian dengan itu suami istri Buhler (1928) mengobservasi anak dari berbagai tingkat umur untuk meneliti apakah ada bentuk-bentuk permainan yang palingdisukai pada sesuatu tingkat usia tertentu. Mereka juga menganggap permainan sebagai suatu kemungkinan bagi anak untuk mengumpulkan dana memasak informasi dari luar.
Parten (1932) meninjau permainan anak dari sudut tingkah laku sosial anak.; pendekatannya juga dapat dilukiskan sebagai sosiologi genetic. Melalui observasi Parten menemukan 6 macam kategori.
Piaget (1945) tidak begitu melihat permainan sebagai kemungkinan perkembangan dan indiksi tingkah laku sosial. Melainkan lebih melihatnya sebagai relasi dengan dunia fisik. Menurut Piaget maka permainan merupakan bentuk pernyataan perkembangn kognitif. Dia menemukan 3 kategori.
Suatu pembagian yang lain sama sekali, berasal dari Caillois (1958:1961). Pembagiannya berorientasi pada proses hidup menusia dan sejarah kebudayaan berdasarkan pandangan Huizinga. Caillois membagi permainan menjadi 4 kategori berdasarkan pemenuhan emapat kebutuhan hidup manusia yang dipandangnya sebagi primer.

3.3.9 Gambaran anak
Seperti halnya bermain, maka menggambar juga merupakan suatu aktivitas yang spontan. Anak “menggambar” segera seudah merekamampu memegang pensil atau alat tulis yang lain. anak bias melakukan hal itu mulai berusia kurang lebih 52 minggu. Menggambar merupakan suatu gerakan motoris yang global bagi anak; seluruh badan seakan-akan ikut terlibat melakukan gerakan itu. Cret-coret anak misalnya belum dapat disebut suatu gambar, melainkan hanya suatu goresan hasul suatu gerakan. Karena sebuah pensil digores-goreskan di ats kertas, terjadilah bekas goresan tersebut. Goresan pensilyang berujud coret-coret ini adalah dasar dan permulaan usaha anak untuk membuat gambar-gambar-gambar yang berarti. Makin lama anak makin “melihat” apa yang dihasilkan itu dan mulai
Membandingkan secara kritis hasil gambarannya dengan gambar anak-anak lain. pola-pola dengan pembagian ruang mulai nampak pada usia 3 dan 4 tahun. Dalam perkembangan lebih lanjut muncullah gambar-gambar bentuk sederhana atau kombinasi bentuk-bentuk tadi. Pada sekitar usia 4 tahun muncullah “kepala kaki” yang terkenal; kepala ditambah dua kaki menujukkan gambar manusia yang utuh bagi anak (lihat Gambar 19. Hal 141) berhubung anak dalam gambarnya sudah ingin melukiskan sesuatu, maka dapat dikatakan ia telah mencapai stadium gambar figuratif. Karena adanya perkembangan psikomotorik (yaitu koor-dinasi mat-tangan lebih baik) serta perkembangan kognitif, ditambah pengalaman belajar, maka anak lambat laun akan mencapai fase meng-gambar bentuk mengenal apa yang dilihatnya (bandingkan dalam perkembangan bahasa mengenai perpindahan “Ausdruck” ke “Darstrelling”).
Penggambaran tadi adalah sangat global, begitu juga batasan usiannya adalah kira-kira saja. Tetapi memang urutan perkembangan gambaran ini dialami oleh semua anak asal mereka diberi kesempatan untuk melakukan hal itu; nampaknya perkembangan tadi merupakan gejala universal. Diantara usia 6-12 tahun Nampak adanya pengaruh kebudayaan dalam gambbaran anak; gambaran anak di atas 12 tahun menunjukkan cirri-ciri khas individual.
Gambaran anak sering dipakai sebagai alat diagnostic (lihat miasl subtes gambaran manusia dalam NST, Monks, dkk., 1978). Dasar pemakaian gambaran sebagai alat diagnostic anak adalah, bahkan anak mengeluarkan perasaan dan pengalaman melalui gambarannya. Disamping itu gambaran anak juga merupakan tolak ukur perkembangan kecerdasan. Meskipun gambaran tidak sempurna, namun gambaran tadi dapat memberikan pengertian akan kualitas penganamtan kritis anak. Misalnya gambar kepala-kai menunjukkan pengamatan global anak, suatu pengamatan dengan kesan yang dominan dan tidak mementingkan detil. Meskipun memang ada anak yang berbakat dan kurang berbakat dalam soal menggambar, anamun ahsil gambaran saja dalam menilai bakat tersebut. Ternyata bahwa dalam satu minggu saja anak dapat menghasilkan gambaran bermacam-macam. Menggambar sepewrti halnya bermain merupakan aktiviotas yang perlu bagi anak. Menggambar perlu sebagai pernyataan perasaan dan persiapan membaca dan menulis. Khususnya untuk aspek yang pertama jelaslah bahwa anak harus diberi kesempatan dan harus didorong untuk mau menggambar, meskipun tidak boleh dipaksa. Seperti halnya pada bermain, maka anak membeutuhkan perlindungan dan stimulasi dalam perkembangan kemampuan menggambar. Dalam pasal 3.3.8.3. telah dikemukakan bahwa lingkungan harus dibuat sdemikian rupa, hingga anak dapat memperoleh pengalaman yang dibutuhkan.

3.4 Perkembangan Bahasa
3.4.1 Perkembangan dalam sejarah
Sejak mula, filsafat telah membahas meneganai bahasa dan struktur bahasa. Pada abad-abad permulaan terdapat pengertian bahwa bahasa itu merupakan perjanjian yang disebgaja antar manusia. Pandangan ini dianut misalnya oleh aliran sofisme. Bertentangan dengan pandangan ini adalah pandangan alirang stoicijn yang memandang bahwa sebagai suatu kecakapan alamiah. Pandangan Plato dan Atistotelesada di tengah-tengah dua pandangan ini.
Filsafat bahasa sebagai suatu disiplin sendiri dalam filsafat baru timbul sejak Wilhelm nov Humboldt (1766-1835). Dengan adanya perbandingan ilmu-ilmu bahasa maka studi yang sistematis mengenai susunan bahasa yaitu hubungan antara berpikir dan berbahasa, antara fungsi ekspresi dan fungsi untuk melukiskan dalam bahasa.
Bagi psikologi yang sebagian berakar pada filsafat maka bahasa sejak mula merupkan objek studi yang pokok. Para pakar ploner dalam psikologi perkembangan telah memberikan sumbangan yang sangat penting mengenai pengertian perkembangan bahasa (Clara dan Willliam) Stem: Die Kindersprache, 1928; Heltzer Reindorf: Sprochenetuicklung und soziales Milieu 1927). Suatu sumbangan yang sangat penting dari Karl Buhler dalam hubungan ini adalah Sprachtheirie (1934) yang dalam tahun 1927 telah dikupas dalam garis besar dalam bukunya Die Krise der Psychologie, juga Van Ginneken dengan bukunya De roman van een Kleuter (1917) telah memberikan pengertian-pengertian dalam perkembangan bahasa melalui observasi yang diteliti. Terutama mengenai pernyataan-pernyataan bahasa yang pertama.
Dengan bukunya Die Krise der Psycholigie yang pada tahun 11965 telah terbit untuk ketiga kalinya tanpa perubahan, Buhler ingin mengajukan kritik untuk dapat mengatasi krisis dalam psikologi. Ia mendasarkan diri pada arti kata Yunani Krino= sya membedakan. Dia membuat teorinya yang merupakanreaksi yang beralasan terhadap pendekatan-pendekatan behaviorisme serta pendekatan Wundt yang bersifat “bewusstseinpshologisch”. Wund mendasarkan teori bahasanya pada aksioma parallel, artinya bahwa gerakan-gerakan fisik merupakan pernyataan gerakan-gerakan psikis, jadi paralellisme antara gejala batin dan gejala luar. Buhler memberikan kritik terhadap pendapat Wundt ini. Wundt selanjutnya mengatakan bahwa ada perberdaan dalam gerakan-gerakan ekspresi antara hewan dan manusia. Hal yang ketiga yaitu bahwa bahasa yang terdiri dari suara-suara tadi berkembang menjadi seekor yang berdiri sendiri dan melepaskan diri dari kesatuan gerakan-gerakan ekspresi.
Menurut Buhler ada tiga macam factor yang menentukan dalam teori bahasa. Yaitu 1) Appell, 2) Ausdruck, dan 3) Darstellung. Appel berarti bahwa bila kita ingin menyatakan sesuatu harus juga melihat orang lain yang dapat dicapai oleh pernyataan tadi. Buhler melihat semantic sebagai sesuatu yang esensial, jadi yang penting adalah erlasi antara tanda hal yang ditunjuk, relasi antara pemberi tanda dengan penerima tanda. Sebab bila apa yang dikatakan Wundt sebagai aksioma pertanyaan mengenai semantic tidak akan mungkin. Menurut Buhler maka semanyik merupakan factor konstitutif kegidupan hewan dan manusia dalam suatu kehidupan bersama. Semantic menunjukkan adanya dwi-tunggal; seorang yang memberikan tanda dan seorang yang menerima tanda atau si pemberi tanda dan si penerima tanda. Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai funsi sosial. Fungsi sosialnya ada dalam semantic. Bahasa selalu termasuk dalam jaringan sosial dan bahasa mempunyai fungsi-fungsi ekspresif. Kedua aspek ini yaitu “Appel” dan “Ausdruck” juga diketemukan kembali dalam komunikasi hewani, tetapi aspek yang ketiga yaitu aspek kemampuan untuk melukiskan sesuatu meletakkan atau mengerti hubungan antara hal yang satu dengan hal lain, dapat memformulaisikan ide-ide, adalah sifat-sifat manusia yang spesifik: hanya manusia yang dapat mengadakan “Darstellung”.
Di sini dapat ditunjukkan bahwa Karl Buhler selama lebih dari 50 tahun yang lalu sudah mengemukakan akan aspek-aspek yang penting dalam perkembangan dan pengertian bahasa. Aspek-aspek tersebut sekarang juga merupakan pusat perhatian para ahli psikolinguistik dan sosio-linguistik

3.4.2 Keadaan sekitar 1965
Pertentangan lama selama lebih dari dua puluh tahun mengenai perkembangan bahasa berkobar lagi dengan pembicaraan ahli linguistic Chomsky (1959) mengenai “verbal behavior”nya: “ Syntactic Structurres”: dalam 1965 “ Aspects” dan dalam 1968 “Language and Mind”. Publikasi-publikasi ini menimbulkan banyak diskusi, hasil-hasil penelitian ditinjau dari sudut pandang yang lain. penelitian-penelitian batu dimulai diadakan dan pandangan-pandangan baru yang berbeda-beda timbul. Chomsky tidak hanya menyelidiki perkembnagn bahasa saja. Dia juga menaruh perhatian terhadap epistemology filsafat dan perkembangn kognitif untuk dapat mengerti yang lebih baik mengenai perkembangan bahasa, lepas dari menghitung kekayaan bahasa anak pada usia tertentu.
Berdasarkan ceramah Frank Kessel (28-10-1974) maka perhatian sekitar tahun 1965 tertuju pada hal-hala dan pertanyaan-pertnayaan di bawah ini:
1. Bagaimana sintaksis anak, bagaimana struktur tata bahasa kalimat dua kata kalimat tiga kata.
2. Bagaimana produksi kata-kata anak? Bagaimana hal ini bias terjadi dan berapa banyak anak dapat mengucapkan kata-kata dalam dan tingkat umur tertentu.
3. Timbullah pengertian bahwa perkembangan bahasa yang sesungguhnya dimulai sekitar umur 1 ½ tahun dan selesai pada kurang lebih tahun keempat dan kelima. Pertanyaan mengenai apakah waktu mulai dan waktu selesai ini betul atau tidak merupakan perhatian kebanyakan peneliti.
4. Kemungkinan linguistic apa dan struktur semantic apa terdapat pada anak? Apakag ada aturan-aturan dalam bahasa yang dibawa anak sejak lahir, apakah ada pengertian, apakah bahsa mempunyai dasar prinsip kreatif? Mislanya mengapa kita tidak mengatakan : saya mempunyai IQ yang cepat, adik saya pandai berkicau.
5. Seperti halnya Piaget yang membicarakan mengenai stadium-stadium universal maka dalam perkembangan bahasa juga ingin diketahui apakah ada stadium-stadium yang universal itu dalam bahasa.
6. Ada keyakinan bahwa lingkungan sangat kecil dalam perkembangan bahasa. System Chomsky ) LAD = Language Acguisition Device) harus dimengerti sebagai kecakapan bawaan yang menyebabkan lingkungan tidaka atau sedikit sekali pengaruhnya. Bahasa dipandang sebagai sesuatu yang khas bagi manusia.
7. Banyak perhatian ditujukan pada bahasa egsentrik anak, bahasa yang tidak merupakan bahasa komunikasi, melainkan tertuju pada diri sendiri. Tidak ada atau hamper tidak ada perhatian terhadap bahasa dalam situasi-situasi sosial.
8. Dalam situasi ini timbullah Head Strat Project (suatu program stimuylasi bahasa bagi anak-anak kecil dari lingkungan sosial yang lemah). Di Amerika diketemukan bahwa anak-anak Negro dan anak-anak minoritas sosial merupakan korban kekurangan linguistic. Kekurangan linguistic ini akan dapat dihilangi oleh program kompensasi tersebut. Hasil daripada program kompensasi ini menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada kemajuan dalam perkembangan pengetahuan umum anak.

Sosio-linguist Laboy mengemukakanm bahwa bangsa yang berbeda juga berbeda bahasanya, bahwa setiap bahasa mempunyai struktur yang berarti dan sifat informatif. Penting pula untuk menunjuk pada perbedaan yang diadakan oleh sosiolog Inggris Basil Bernstein dalam “restricted code” dan “elaborated code”.. Berstein tidak melihat perbedaan ini sebagai perbedaan antar abaik dan tidak baik, melainkan sebagi dua macam pemakaian bahasa yang berbeda. Kedua macam pemakaian bahasa tadi masing-masing mempunyai unsure-unsur yang penting yang dibutuhkan oleh bahasa sebagi alat komunikasi, namun mereka berbeda atau sama lain.
Perlu dikemukakan bahwa dari delapan hal yang dikemukakan tersebut, masih ada satu yang menjadi pusat perhatian. Kemungkinan-kemungkinan linguistic dan yang berhubungan dengan itu: struktur semantiknya, perkembangan semantinya serta arti bahasanya.
Pertanyaan mengenai semantic sekaligus merupakan pertanyaan mengenai konteks sosial. Bahasa tidak dapat dilihat lepas dari konteksnya. Berhubung dengan itu maka para ahli sosio-linguistik mengambil peranan yang penting. Mereka melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang berguna dalam kehidupan bersama. Di sini pendapat Buhler menjadi menonjol lagi. Ia sangat menandaskan bahasa sebagai alat komunikasi.

3.4.3 Pandangan yang nativistis
Menrut pandangan yang nativistis atau organismis maka struktur bahasa telah ditentukan secara biologis. Tokoh yang penting dari pandangan ini adalah ahli linguistic Chomsky. Anak sejak mula sudah mempunyai kemampuan untuk berkembang bahasanya. McNeill (1966) mempunyai hipotesis akan adanya sifat-siafat linguistic yng universal. Sifat-sifat ini menurut McNeill akan dapat diketemukan kembali pada semua bahasa. Memang berbagai bahasa tadi dalam bentuk luarnya Nampak berbeda. Namum prinsip fundamentalnya lebih mempunyai persamaan daripada yang diduga semula.
Perhatian terhadap pola dasar yang uniform atau yang sama, seperti yangyang dikemukakn dalam butir 5 pasal sebelumya, berkurang. Namun diantara pada ahli linguistic masih ada aliran yang kuat yang ingin menyelidiki struktur dalamnya bahasa, yaitu sifat universalnya. Mereka beranggapan bahwa sifat universal tersebut tidak perlu dipelajari, melainkan sudah ada sebagai kecakapan bawaan.
Anak akan mengenal sifat universal bahasa dan menginterpretasinya dengan betul. Menurut pandangan ini dapat diadakan dua ramalan: (a) pada mulanya anak tidak mengenal sifat khasnya bahasa yang sedang dipelajari. Berhubung dengan itu bahasa awal anak masih belum menunjukkan transformasi, yaitu struktur bahasa anak tadi akan masih harus lebih mempunyai persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti bahasa orang dewasa, daripada dengan apa yang disebut struktur permukaan bahasa yang dipelajari. Anggapan ini menimbulkan dugaan bahwa bahasa awal anak dalam prinsipnya sama dengan semua bahasa di dunia, meskipun bahasa orang dewasa dengan jelas menunjukkan struktur permukaan yang menyimpang.
Masih sedikit penelitian yang menguji hipotesis ini. Pendapat diatas didukung oleh hasil-hasil penelitian perbandingan dalam hubungan dengan (a) penelitian mengenal timbulnya kalimat negative yang pertama, (b) bentuk pertnayaan yang pertama dan (c) penelitian mengenai relasi dasar tata bahasa.
Mengenai butir (a) dapat dikatakan pada kalimat pertama yang berstruktur tata bahasa sudaha ada negatifnya. Misalnya suatu kalimat yang menunjukkan sesuatu diberi suatu morfem yang menunjukkan negasi, misalnya misalnya kalimat: “makan pisang” diberi morfem “tidak” menjadi “tidak makan pisang” diduga bahwa pada bahasa-bahasa lain juga terdapat cara pengingkaran seperti itu: peningkatan dalam bahasa anak mempunyai persamaan dengan pengingkaran yang terdapat pad struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (b) kalimat pertanyaan juga sudah Nampak dalam perkembngan bahasa anak-anak sejak awal. Dalam sementara buku pelajaran masih dikemukakan bahwa umur 3 tahun dianggap sebagai umur bertanya, karena sekitar umur ini akan selalu ingin bertanya dan selalu ingin mengerti segalanya mengapa itu begini atau begitu. Juga dalam hal ini bentuk kalimat pertanyaannya menunjukkan persamaan dengan struktur dalam atau struktur inti kalimat orang dewasa.
Mengenai butir (c) pertanyaan yangtepat mengenai fungsi bagian kalimatnya, baru dapat dilakukan bila bagian itu mempunyai hubungan dengan struktur dalamnya suatu kalimat. Dari struktur luarnya atau struktur permukaannya, fungsi-fungsi tersebut belum dapat diketahui. Dalam hubungan ini telah diadakan analisis mengenai berbagai relasi dalam tata bahasa yang selalu ada hubungannya dengan struktur dalamnya suatu kalimat asa yang diduga bersifat universal bagi bahasa yang berbeda-beda. Dapat dismpulkan bahwa hasil penelitian semacam ini mendukung hipotesis faham nativis, yaitu bahwa pengetahuan awal dan kecakapan awal anak merupakan faktor pembawaan.
Chomsky membuat suatu model untuk menunjukkan bagaimana anak belajar tata bahasa. Model Chomsky dikenal sebagai LAD


Data linguistik kemampuan tata
(Input) (kemampuan untuk membentuk dan mengerti
kalimat-kalimat)
(Output)


Morfem. Fonem-fonem sudah ada sejak bahasa ocehan anak, tetapi belum membentuk suatu morfem. (language acquisition device) atau program penguasaan bahasa.
LAD ini mendapatkan inputnya dari data bahasa dari lingkungan. Kemudian LAD menjabarkan aturan tata bahasa dari ini. Hal ini dapat dilakukan karena LAD mempunyai stuktur internal yang dapat menjabarkan stuktur yang sama dalam semua bahasa, dan yang juga ada dalam data bahasa yang masuk tadi. Dengan lain perkataan: system LAD tadi mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk dapat mengadakan penjabaran atau ekstraksi.
Tata bahasa yang generatif transformasional di sini memegang peranan yang penting. Dia menghubungkan apa yang didengar (struktur permukaan, misalnya besok pagi hari libur ibu memanggil adik banyak mobil dijalan) dengan apa yang dimaksudkan (struktur dalam). Tata bahasa ini mengadakan spesifikasi bagaimana arti yang ada di belakangnya dapat diubah menjadi suatu kalimat.
Di sini dapat dijabarkan tiga jenis tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Menyelidiki skema bawaan yang menggambarkan suatu golongan bahasa potensial.
2. Menentukan perujudan yang sesungguhnya dari pada interaksi antara stimulasi dan organisme yang dapat membuat bekerjanya mekanisme bawaan tersebut.
3. Menentukan seberapa jauh hipotesis mengenai struktur bicara dan bahasa yang terkandung dalam tata bahasa generative, mempunyai persamaan dengan data yang ada dalam kalimat hingga aturannya dapat dimengerti dari bahasa tadi.

Tugas ini sukar terutama karena : “ … the learner must select the hypothesis regarding the language to which he is exposed that reject a good part of the data on which his hypothesis much rest” (Chomsky dalam Dale, 1972, h. 79).
Penelitian neurofisiologis menunjukkan bahwa pelajar bicara dan perkembangan struktur neural yang spesifik yang berhubungan dengan bahasa mempunyai lokalisasi terutama dalam hemisfeer otak bagian kiri dan keduanya berhubungan erat satu sama lain.
Bila ada kerusakan pada struktur ini maka pengaruhnya lebih buruk terhadap kemungkinan belajar bicara bila kerusakan tadi terjadi pada saat yang lebih kemudian dalam perkembangan anak. Bila kerusakan tadi terjadi sangat awal, maka hemisfeer bagian kanan masih dapat menganbil alih fungsi yang dibutuhksn untuk belajar bicara dan belajar bahasa. Hasil penelitian neurologis sama sekali belum bias menerangkan mengenai struktur neural, sifat-sifat model LAD yang dikemukakan Chomsky dan juga belum bias menerangkan mengenai ada atau tidaknya sistem semacam itu.
Jadi menurut Chomsky sistem LAD ini mengatur tentang aturan-aturan sintaktis morfologi pada penguasaan bahasa; mekanisme ini diduga berlaku secara universal. Sesuai pendapat franscescato (1973) dapat diajukan sanggahan disini yaitu bahwa anak belajar bahasa kelilingnya dan mampu untuk beralih bahasa bila juga kelilingnya berubah. Ini berarti bahwa belajar bahasa tadi ditentukan oleh keliling. Pernyataan kedua sebagai sanggahan terhadap pendapat Chomsky adalah: bagaimana kerja mekanisme LAD pada anak yang berbahasa dua (bandingkan Francescato, h. 113 dan 114). Maka dapat dikatakan bahwa program penguasaan bahasa atau LAD yang dikemukakan Chomsky tidak bias dibuktikan secara empiris.

3.4.4 Pandangan yang empiris dan yang mendasarkan diri pada teori belajar
Pandangan ini bertitik tolak pada pendapat bahwa anak di lahirkan tidak membawa kemampuan apa-apa. Ia masih harus banyak belajar, juga belajar berbahasa yang dilakukan anak melalui imitasi, belajar model dan belajar dengan reinforsemen. Skinner (1972) memakai teori stimulus respons dalam menerangkan perkembangan bahasa, sedangkan bandura (1969) mencoba menerangkan dari sudut pandangan teori belajar sosial. Dia berpendapat bahwa anak belajar bahasa karena menirukan suatu model. Tingkah laku imitasi ini tidak mesti harus menerima reinforsemen, sebab belajar model dalam prinsipnya lepas dari reinforsemen dari luar. Meskipun pendapat ini dapat menerangkan banyak, namun belum dapat menerangkan mengapa anak pada satu saat membuat kalimat-kalimat baru yang belum penah dibuat sebelumnya dan mengapa ia membuat suara-suara baru dalam awal perkembangan bahasa yang tidak dipelajarinya melalui imitasi dari luar.
Memang teori belajar dapat memberikan pengertian mengenai peranan interaksi. Antara misalnya ibu dengan anaknya yang sedang belajar bahasa. Dari penelitian Brown, Cazden dan Bellugi (1969) didapatkan bahwa para ibu mempunyai kecendrungan untuk menerima kalimat yang salah menurut tata bahasa, asal isinya benar, artinya bila anak dapat menyatakan dengan baik apa yang ingin dikatakan nya. Sebaliknya para ibu tidak mau menerima kalimat yang sebetulnya betul menurut tata bahasa tetapi tidak betul isinya: saya minum susu atau saya makan susu. Yang terakhir disalahkan meskipun menurut tata bahasa betul.
Selanjutnya dapat nampak bahwa interaksi bahasa antara ibu dan anak banyak menentukan apakah anak dapat meluaskan kompetisi bahasanya atau tetap tinggal pada kompetensi yang relatif sederhana. Cara memberikan keterangan pada anak bila anak tadi menanyakan sesuatu sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak itu. Bila misalnya ibu dan anak berjalan-jalan dimuka masjid lalu anak menanyakan gedung apa itu, maka jawaban ibu dapat : “ itu rumah yang besar , kau lihat bukan” atau ”itu masjid tempat orang-orang berdo’a pada tuhan. Pada hari jum’at banyak orang datang disitu untuk sembahyang”. Dalam kedua hal anak menerima informasi, tetapi dalam keterangan yang terakhir, anak mendapatkan informasi sebegitu rupa hingga ia dapat menanyakan lebih lanjut : “ Apa itu tuhan, apa itu sembahyang”.
Satu hal lagi yang penting adalah bahwa anak belajar untuk meluaskan kalimat. Bila misalnya anak mengatakan “ saya punya jeruk” maka ibu dapat menjawab “o ya, kamu senang sekali makan jeruk bukan”. Hal ini nampaknya berpengaruh positif terhadap perluasan pemakaian bahasa.
Menurut Dale (1972) maka model yang pasif tidak memberikan keterangan bagaimana terjadinya perkembangan sintaktis itu. Dari itu makin lama diperhatikan mengenai aktivitas dan kreativitas pada perkembangan bahasa. Plaget dengan teori interaksinya menitik beratkan akan aktivitas anak, akan sikap manipulasinya dengan benda-benda. Anak bertingkah aktif dengan keliling atas dasar struktur pengertian yang sudah ada. Bergaul aktif dengan keliling ini selanjutnya memberikan pandangan baru, struktur pengertian baru lagi. Struktur pengertian ini diduga juga sangat penting dalam belajar bahasa. Ruth Weir (1962) menemukan sebagai hasil observasi terhadap anaknya bahwa anak tadi sebelum tidur masih bermain-main sebentar dan dalam waktu itu mengucapkan macam-macam kata. Misalnya “ poppi”, poppi maem”, “ndak mau maem”,ini susi”. Observasi semacam itu juga dilakukan Preyer (1983) terhadap anaknya; Scupin melihat juga hal-hal serupa pada anaknya Bubi. Jadi anak makin lama makin dapat menciptakan struktur verbal baru karena iteraksi dengan berbagai objek, karena apa yang dilihat dan dilakukan, dicobanya untuk dinyatakan dengan kata-kata.

3.4.5 Permulaan bicara : meraban (mengoceh)
Suara petama yang dilalukan anak adalah jerit tangis pada waktu dilahirkan. Tangis pertama ini berguna untuk memungkinkan anak dapat bernafas, karena mulai saat itu anak harus bernafas sendiri.
Suara-suara yang dikeluarkan anak dapat dibedakan antara suara tangis dan ocehan. Tangis menunjukkan keadaan tak senang sedangkan ocehan menunjukkan rasa senang dan kepuasan. Tangis merupakan “ appel” dan ekspresi ( dua fungsi bahasa menurut Buhler). Tangis bukan suatu gejala yang berdiri sendiri. Melainkan suatu tingkah laku refleks terhadap sesuatu karena pada satu pihak menunjukkan keadaan tidak nyaman, tetapi sekaligus juga menginginkan reaksi keliling.
Van Ginneken (1917) dalam bukunya “Roman van een kleuter” menceritakan mengenai Keesje yaitu bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan adalah huruf-huruf hidup atau huruf-huruf vocal. Menurut Van Ginneken maka tangis terletak pada dasr vokalisasi, ketawa pada dasar artikulasi. Gregoire (1937) mengemukakan dalam “L’apprentissage du langage” bahwa suara-suara pertama yang dikeluarkan anak adalah a,e,i,o,u. Alat fonetiknya menurut Gregoire masih sangat rudimenter. Baik Van Ginneken maupun Gregoire berpendapat bahwa bahasa mempunyai dasar fisiologis. Menurut Buhler huruf-huruf mati atau konsonan-konsonan pertama yang diucapkan adalah b, p, n, k, g, r. sering pula kita dengar bahwa anak dalam meraban mencoba-coba mengucapkan macam-macam rrr.
Suara-suara pertama yang oleh Van Ginneken dan Gregoire dianggap mempunyai dasar fisiologis-biologis tadi merupakan proses emosional, sebab rasa nyaman dan tidak nyaman tadi memang ditentukan oleh faktor-faktor fisiologis, namun mempunyai arti emosional juga. Atas dasar itulah mengeluarkan suara-suara. Meraban umumnya dilihat sebagai permulaan perkembangan bahasa yang sesungguhnya. Meraban dimulai sekitar umur 3 bulan. Buhler menyebutnya sebagai monolog ocehan. Tingkah laku ini berlangsung sampai umur 9 atau 12 bulan. Sementara anak sudah dapat mengucapkan kata-kata petama mulai dari usia 9 bulan. Maka mulailah stadium kalimat satu kata.
Meraban atau mengoceh mempunyai variasi yang lebih banyak dari pada menangis. Dengan ocehan dapat dinyatakan perasaan-perasaan positif; juga terdengar variasi banyak dalam suara-suara yang dikeluarkan. Mulai bulan ke 6 maka ocehan mempunyai fungsi komunikatif. Anak tidak sekedar mengoceh begitu saja, melainkan sekarang sudah jelas merupakan reaksi terhadap orang lain yang mencari kontak verbal dengan anak tersebut.
Kapan ocehan tadi mempunyai sifat yang komunikatif masih terdapat perbedaan faham diantara para penulis. Gesel (1954) menganggap hal tersebut terjadi pada usia 4 bulan. Penulis lain menemukan bahwa anak berhenti sebentar dengan meraban pada usia sekitar 5 bulan; kemudian mulai lagi sesudah selang beberapa waktu. Mulai saat inilah ocehan dianggap mempunyai nilai yang komunikatif. Sering masih terdapat perbedaan dalam menentukan usianya. Ada yang menentukan anak berhenti sebentar pada usia 6 bulan. Ada yang mengatakan sekitar 8 atau 9 bulan. Persamaan yang ada diantara pendapat-pendapat tersebut adalah bahwa ada waktu istirahat selama kurang lebih 4 minggu. Sesudah waktu istirahat ini mulailah waktu ocehan lagi yang mempunyai sifat komunikatif. Pada saat ocehan tadi mengandung sifat komunikatif, meskipun dalam taraf yang begitu permulaan. Maka ocehan tersebut mengandung suatu nilai pelukisan yang oleh Buhler disebut dengan “ Darstellungswert”. Jadi dalam stadium ini telah diketemukan tiga unsur atau fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Karl Buhler.
Meskipun pada penyebaran dari bulan ke 8 sampai bulan ke 14 (Gesell pada usia 10 bulan dan Shirly pada usia 14 bulan) namun pada umumnya. Ada persamaan pendapat bahwa anak pada usia sekitar 10 bulan betul-betul dapat menirukan kata-kata. Yaitu anak mencoba untuk menirukan apa yang didengarnya. Van Genneken juga mengemukakan bahwa anak mulai menirukan kata-kata sekitar akhir tahun pertama yang disebutnya “echo-lalie”. Meskipun mungkin belum merupakan peniruan yang betul-betul namun sudah mengandung unsur-unsur peniruan yang cukup banyak.
Sekitar tahun pertama anak mengucapkan kata-kata yang pertama, kebanyakan kata “mama”:”mama” lebih dulu dapat diucapkan dari pada “papa”.

3.4.6 Kalimat satu kata dan kalimat dua kata
Satu kata yang diucapkan oleh anak harus dianggap sebagai satu kalimat penuh. Missalnya kalau anak mengatakan “kursi” maka hal itu dapat berarti : saya mau duduk dikursi, atau : mama harus duduk dikursi, atau saya minta kursi untuk naik diatasnya untuk mengambil itu. Itulah sebabnya mengapa ucapan satu kata anak ini dipandang sebagai kalimat satu kata. Kata-kata pertama anak tidak bisa dipandang sebagai penyebutan objek yang murni, mereka mempunyai isi psikologis yang bersifat intelektual, emosional dan sekaligus volisional, yaitu anak menunjukkan mau atau tidak mau akan hal sesuatu.
Telah dikemukakan dimuka bahwa pada ocehan anak kecil sudah ada foneem-foneem dalam bentuk bunyi-bunyi tertentu. Mulai kurang lebih 6 bulan maka foneem-foneem ini digabung menjadi kombinasi suara yang kompleks. Kombinasi suara ini terutama dilakukan dengan bibir dan ujung lidah. Kata-kata pertama adalah terutama kata-kata ocehan atau huruf-huruf yang diulang, misalnya ma-ma, ba-ba, da-da.
Diantara bulan ke 18 dan ke 20 (dengan kemumgkinan penyimpangan yang banyak) datinglah kalimat dua kata yang pertama. Anak mempunyai kemungkinan yang lebih banyak untuk menyatakan maksudnya dan untuk menagadakan komunikasi.
Dalam kelompok yang pertama termasuk kata-kata yang sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak, sedangkan kata-kata dari kelompok kedua tidak sering dipakai oleh anak. Seringkali kata-kata pivot juga mempunyai tempat yang tetap dalam kalimat dua kata. Jumlah kata-kata yang termasuk kelompok pivot tidak banyak sedangkan kelompok terbuka selalu ditambah dengan kata-kata baru.
Contoh :
Pivot terbuka
gi (pergi)
gi (pergi)
gi (pergi) Susu
Mama
oto

Yang perlu diperhatikan disini ialah bahwa kata pivot yang sama dapat berbeda-beda artinya dalam kombinasi dengan kata terbuka yang berlainan (Bloom, 1970).
“Gi susu” dapat berarti bahwa anak tidak mau minum susu lagi, kan “ Go oto” berarti otonya baru saja pergi.
Jadi yang penting disini adalah intensitas semantiknya, yaitu arti dari pada apa yang dimaksudkan. Hal ini berarti bahwa anak dalam kalimat dua kata sudah mampu untuk menyatakan berbagai maksudnya meskipun dengan alat sintaktis yang masih terbatas. Anak sudah dapat menyatakan bentuk hubungan yang bermacam-macam.

3.4.7 Kalimat tiga kata
Dari kalimat dua kata berkembanglah lambat laun kalimat tiga kata yang dalam arti struktural mula-mula masih mirip dengan kalimat dua -kata. Perubahan ini terjadi kurang lebih antara bulan ke 24 dan bulan k 30. Meskipun mula-mula masih mirip dengan bentuk kalimat dua-kata secara truktural, namun segera terjadi suatu differensiasi dalam kelompok kata-kata dimasukkan dalam klasifikasi baru. Dengan lain perkataan anak mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya.
Mengenai proses pengaturan baru kata-kata ini belum dapat diperoleh hasil-hasil penelitian secara meluas mengenai waktu timbulnya kalimat-satu-kata. Dua- kata dan tiga-kata dan juga mengenai apa yang dikatakan oleh anak. Tetapi arti yang langsung mengenai pengaturan baru dalam kata-kata ini dan kata-kata apa yang mendapatkan tempat baru,belum banyak dapat diketahui.
Struktur sintaksis bahasa anak sekarang mendapatkan arti yang lebih besar, yaitu rangkaian kata-kata dalam kalimat serta merubahnya kata-kata. Bagi anak yang berbahasa inggris, urutan kata-kata yang lebih penting, sedangkan bagi anak yang berbahasa Rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih penting berubahnya kata-kata, karena urutan kata-kata dalam bahasa rusia lebih luwes.
Meskipun dalam bahasa yang berbeda-beda ada banyak perbedaan dalam meletakkan titik berat mana yang penting, rangkaian kata-kata atau berubahnya kata-kata, dalam kenyataannya maka anak belajar dan juga menggunakan urutan kata-kata yang relatif konstan. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari sikap orang di seliling anak yang pertama-tama mencoba untuk memudahkan struktur bahasa bagi anak. Dengan begitu anak terdorong untuk selalu memakai urutan kata-kata yang sama. Tetapi meskipun begitu tidak merupakan pedoman umum bahwa anak terutama akan menitikberatkan pada urutan kata-katanya. Dale (1972) menemukan bahwa ada anak yang memakai urutan kata-kata yang sangat bebas, tetapi disamping itu juga belum menggunakan perubahan kata-kata.
Pada umumnya dapat dikemukakan bahwa dalam belajar bahasa anak memperhatikan kedudukan kata dalam kalimat serta penerapan aturan tata bahasanya. Tetapi disamping itu perlu pula diingat bahwa kreativitas anak juga memegang peranan penting dalam konstruksi kalimat-kalimat. Hal ini tidak diketemukan dalam bahasa orang dewasa. Kreativitas dalam bahasa anak ini mungkin dapat diterangkan dengan adanya beberapa proses seperti dikemukakan oleh Piaget, yaitu proses asimilasi dan akomodasi. Misalnya anak selalu mencoba untuk mengubah pengertiannya sendiri guna memberikan dimensi baru pada realitas.
Dibawah ini dikemukakan gambar tinjauan umum mengenai perkembangan kekayaan bahasa anak selama 7 tahun yang pertama.


Gambar 22. Kekayaan bahasa rata-rata pada berbagai tingkat usia. Gambar ini diambil berdasarkan hasil penelitian terhadap 10 kelompok anak di Amerika ( Developmental Psychology Today, 1971, h. 173).

Menurut Schaerlaekens (1977) maka periode kalimat satu kata disebut pra-lingual, kemudian dating periode lingual-awal dar5i 1 sampai kurang lebih 2 ½ tahun datanglah periode diferensiasi: periode kalimat tiga kata dengan bertambahnya diferensiasi pada yang pertama ini sangat penting dan sangat berguna bagi siapa yang ingin memperdalam dalam perkembangan bahasa.
Penelitian yang dilakukan oleh Mar,at di Kotamadya Bandung terhadap 30 anak balita mengenai perkembangan bahasa menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia juga mengikuti tingkatan perkembangan bahasa seperti tersebut di atas, yaitu pada periode pra-lingual lingual-awal menjadi kalimat dua-kata. Pada periode diferensiasi terbentuk kalimat tiga-kata (S. Mar,at, 1973).
Schaerlaekens menciptakan istilah baru yaitu “psikolinguistik perkembangan”. Sayangnya tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan perkembangan. Dapat diduga bahwa perkembangan dapat dipandang sebagai proses pemasakan berhubung pernyataan-pernyataan seperti: “Penguasaan bahan pertama sukar dipelajari sebagai sesuatu hal yang lepas dari perkembangan kognitif anak, dari perkembangan motoriknya, dari pemasakan emosional dan sosialnya dan dari seluruh dunia penghayatannya”. Dan kemudian “jadi perkembangan bahasa serta perkembangan emosional dan sosial mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi satu sama lain” (h.6). timbullah dua pertanyaan : dimana letak perbedaan antara psikologi perkembangan dan psikolinguistik perkembangan dalam pendapat yang begitu luas seperti itu? Apakah bahasa itu juga begitu mutlak untuk perkembangan keperibadian yang normal bila mengingat penelitian-penelitian Furth pada orang-orang tuli yang begitu menyakinkan? (Furth, 1966; Furth & Wachs, 1974).
Dalam disertasinya Van Geert (1975) telah menganalisis hamper dua ribu keadaan bahasa hasil observasi longitudinal berdasarkan teori perkembangan bahasa yang kognitif. Menurut Van Geert maka studi mengenai perkembangan bahasa harus bertitik tolak dri relasi antara dua yang dipersepsi dengan bahasa. Satu-satunya kenyataan yang dihayati baik oleh anak maupun orang deawasa adalah dunia yang dapat dipersepsi oleh keduanya.
Perlu ditambahkan disini bahwa karena kematian P.J.A calon yang mendadak pada tahun1973 banyak data monografi mengenai perkembangan bahasa tidak selesai dikerjakan.

3.4.8 Penelitian mengenai kecakapan berbahasa
Lepas dari penelitian-penelitian lama yang dilakukan oleh Stern, Buhier dan lain-lain yang berujud observasi mengenai bahasa anak, sekarang terdapat alat-alat baru untuk menyelidiki kecakapan bahasa pada anak. Misalnya sekarang ada kemungkinan untuk menyelidikiseberapa jauh anak mapu untuk menirukan bahasa orang dewasa. Di sini harus di bedakan adanya dua macam peniruan:
1. Peniruan spontan bahasa orang lain, biasanya bahasa orang tua;
2. Peniruan yang dilakukan anak sesudah anak menerima tugas untuk melakukan itu.
Bila anak menirukan secara spontan maka kalimat yang ditirukan itu diulang kembali dengan tata bahasa anak sendiri. Imitasi spontan hamper tidak berbeda dengan penggunaan bahasa oleh anak secara bebas. Dari itu dapat diadakan pengukuran batas-batas kecakapan aanak untuk memproduksi kata-kata. Dengan menyuruh anak untuk memproduksi kata-kata dapat diketahui sejauh mana anak mengerti bahasa. Suatu tekhik untuk mengukur ini dikembangkan oleh Fraser, Bluggi dan Brown (lihat Dale, 1972) yaitu ICP (Imitation Comprehension Production test). Prosedurnya adalah sebagai berikut: anak dihadapkan dengan dua macam bentuk tata bahasa yang bertentangan, misalnya bentuk kalimat aktif dan pasif. Yang satu: “anak makan sate” dan yang lain “satetelah habis dimakan anak”. Sesudah itu anak di tunjukkan gambar-gambar yang sesuai dengan dua macam bentuk kalimat tersebut, misalnya gambar anak duduk sedang makan sate dan yang satu anak duduk dibelakang meja dan diats meja ada piring bekas tempat sate dengan tusuk-tusuk sate. Anak harus menunjukkan gambar yang cocok dengan kalimat yang diucapkan peneliti. Kecakapan anak untuk menunjuk gambar yang tepat memperlihatkan sampai dimana pengertian anak akan kalimat-kalimat tersebut (Comperhension). Pada akhir tes anak sendiri harus membuat kalimat-kalimat pada gambar-gambar yang telah dikenal itu (produktion).
Hasil umum mengenai tes semacam itu adalah bahwa anak lebih pandai untuk mengadakan imitasi daripada mengerti kalimat dan bahwa kecakapan untuk mengerti lebih tinggi daripada kecakapan untuk memproduksi kalimat-kalimat sendiri.
Perlu dikemukakan disini bahwa tes semacam itu hanya mengukap hal-hal yang kontras dalam tata bahasa yang juga masih diperjelas oleh gambar-gambar. Disini dapat pula dikacau anatara pengetahuan bahasa dan kopetensi (kemampuan) bahasa. Penelitian menegai bahasa yang sekarang, hampir tidak atau tidak dapat menjawab pertanyaan mengenai pengetahuan bahasa anak.
Penelitian bahasa pada umumnya dibedakan antara :
a. Perkembangan fonologis – atau penguasaan sistemsuara/bunyi.
b. Perkembangan morfologis – atau penguasaan pembentukan kata-kata.
c. Perkembangan sintaksis – atau penguasaan tat bahasa.
d. Perkembangan leksikal – penguasaan dan perluasan kekayaan kata-kata serta pengetahuan mengenai arti kata-kata.
e. Perkembangan semantic – atau pengusaan arti bahasa.
bahasa anak tidak dapat memberikan pengertian akan perkembangan semantisnya. Hal ini mempunyai beberapa macam alasan:
1. Bila kita mengetahui sebuah kata baru dalam bahasa anak. Hal ini tidak memberikan pengertian apa-apa mengenai arti kata itu bagi anak.
2. Kekayaan kata-kata hanya merupakan satu daftar kata-kata saja karena baru relasinya antara arti kata-kata itu menentukan arti kalimatnya.
3. Penelitian mengenai kekayaan kata-kata mengenai proses yang dapat merubah arti kata-kata menjadi arti kalimat.
Hambatan yang paling besar dalam penelitian mengenai perkembangan semantic terletak pada kenyataan bahwa kompetensi sematis bahasa orang dewasa sampai sekarang hamper tidak dimengerti, hingga belum ada titik referensi yang betul-betul untuk meneliti perkembangan semantic. Sekarang ada dua teori yang agak maju dalam hubungan dengan penelitiansemantis, yaitu teori relasi (referential theory) dan teori tingkah laku (behavioral theory).
1. The referential theory simple states that the meaning of a word is tis referent. In other words, words are symbols that stand for something other than themselves, something in the world, namely their referents (Dale, 1972, h. 132). Teori relasi ini hamper tidak bisa menerangkan bagaimana seorang pelajar kata-kata dan arti kata-kata itu. Kata-kata tidak tentu mempunyai arti yang sama, meskipun ada dalam relasi yang sama. “Yogyakarta” dan “Universitas” misalnya dapat selalu ada dalam relasi yang berlain-linan. Juga pada banyak kata-kata lain, seperti: “tetapi”, “karena”, “pada”, sama sekali tidak jelas bentuk relasinya. Disamping itu bentuk relasi atau maksud yang ada dalam suatu kata tertentu juga dapat diinterpretasi macam-macam oleh orang yang berlain-lainan.
2. Teori tingkah laku berpendapat bahwa arti suatu kata itu ditentukan atau tergantung daripada reaksi orang yang mendengar kata tersebut. Seringkali juga situasinya pada waktu mengatakan itu termasuk dalam cara menerangkan teori tingkah laku. Teori ini tidak hanya digunakan untuk menerangkan sesuatu kata saja , melainkan juga untuk menerangkan keseluruhan kalimatnya. Teori tingkah laku ini sering mendapatkan kritik karena kata-kata dan kalimat-kalimat sering tidak menimbulkan reaksi apa-apa. Terhadap kritik ini teori tadi mengatakan bahwa arti suatu kalimat itu justru bukan reaksi yang hanya nyata tersebut, melainkan kecenderungannya untuk melakukan reaksi yang ditimbulkan oleh kata tersebut. Jadi bukan reaksinya yang nyata itu yang penting, melainkan apa yang ditimbulkan oleh ucapan itu.
Teori tingkah laku dan teori relasi memungkinkan untuk menghubungkan keterangan mengenai atrti kata-kata dan kalmia-kalimat dengan teori-teori psilkologi yang klasik, misalnya karena mempelajari arti kata-kata disisni ingin diterangkan melalui model kondisioning klasik.
Dalam diskusi mengenai arti, yaitu isi semantic kata-kata, maka Bolinger (1968) mengusulkan untuk memandang arti sebagai suatu sistem yang dapat mengatur dan menstruktur kenyataan. Dengan perkataan lain arti kata-kata dapat membantu untuk mengatur dunia secara semantic. Apa yang diartikan “kenyataan” atau “dunia” disini adalah semua yang dapat menjadi objek pembicaraan. Cara menstruktur kenyataan oleh arti tadi merupakan hal yang sangat disengaja dan sangat terikat dengan bahasa individual.
Dalam huungan ini misalnya Wener orang barat ingin menemukan bahwa dalam bahasa bangsa Lap mempunyai lebih banyak kemungkinan bahasa untuk mengadakan differensiasi. Bahasa Belanda juga mempunyai beberapa nama untuk menyebutkan hujan yang berbeda-beda dan bahasa Inggris mempunyai berbagai nama untuk kabut. Menurut Werner orang barat ingin menemukan interpretasi kausal melalui bahasa. Yang dicari adalah hal yang umum dan hukum-hukumnya. Bangsa yang sederhana ingin menirukan kenyataan. Mereka lebih menginginkan yang spesifik daripada yang umum.
Kenyataan kata-kata menganalisa kenyataan dengan cara yang sangat spesifik. Hal ini membuthkan observasi yang sangat cermat untuk mengetahui dalma konteks linguistic apa, atau konteks bukan linguistic apa seseorang memakai kata-katanya itu dan bagaimana pengharapannya orang lain mengerti kata-katanya.
Sebagaian besar informasi mengenai perkembangan semantic didapatkan tidak dengan eksperimen-eksperimen yang dikontrol, melainkan dating dari observasi-observasi pada psikolog dan para ahli linguistic mengenai anak-anak mereka sendiri. Bahkan baru kata pertama saja yang diucapkan anak, kebanyakan papa atau mama, menunjukkan dengan jelas perbedaan arti bagi anak atau orang dewasa. Kalau kata papa bagi anak menunjukkan person yang ada, maka kata mama digunakan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya atau untuk memanggil orang tuanya yang tidak ada (tidak nampak).
Juga dalam perkembangan bahasa yang kemudian terdapat perbedaan yang besar dalam arti kata-kata pada hakekatnya. Merupan maslah informasi pengertian. Dalam hubungan ini ada dua macam kesalahan yaitu: anak menggunakan kata-kata pada kaadaan yang tidak tepat, atau ia tidak mampu untuk menggukan kata tertentu pada suatu situasi yang sama.

3.4.10 Mulai Kri Buhler sampai sekarang
Sudah diketahui dimuka bahwa Kari Buhler dalam teori bahasanya memandang semantikmsebagai inti bahasa. Bahasa bukan suatu gejala yang terasing, bahasa merupakan suatu dwitunggal. Arti yang ada dalam suatu kata tergantung daripada konteksnya. Perkembangan bahasa tak dapat dilepaskan dari konteks sosial dan perkembangan kognitifnya.
Dalam stadium sensori-motorik anak juga sudah mempunyai pengertian akan objek-objek. Meskipun belum dapat bicara, tetapi ia sudah dapat mengadakan manipulasi, ia sudah mempunyai gambaran kenyataan dalam dirinya. Perkembangan kognitif mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan bahasa. Akar perkembangan bahasa ada pada stadium sensori motorik, yaitu pada usia 18 bulan pertama. Juga di sini terdapat persesuaian antara K. Bohler dan Piaget. Buhler mengemukakan mengenai kenikmatan berfungsi (Funktion lust) pada anak, yaitu kecendrungan untuk senantiasa mengulang suatu perbuatan atau tingkah laku. Seorang anak yang baru belajar membuka pintu atau kotak, akan dengan senang mengulang-ulang perbuatan itu kembali. Kenikmatan ini berfungsi ini yang mempunyai dasar pengulangan, mempunyai persamaan dengan apa yang disebut Piaget reaksi-reaksi sirkuler.
Menurut Piaget maka dalam stadium sensori motorik akan terlihat pada anak reaksi sirkuler yang primer, sekunder dan tersier. Reaki-reaksi tadi dinamakan sirkuler karena tingkah laku tadi mengandung pengulangannya sendiri. Reaksi sirkuler yang primer (1-4 bulan) tertuju pada badan sendiri (anak bermain-main dengan jari-jarinya dan menemukan bahwa ia dapat membuka kotak atau tas yang diulang-ulang terus). Reaksi sirkuler yang tercier (mulai + kurang 11-18 bulan) berhubung denga tingkah laku mencari dan menemukan secara aktif dan terarah; dalam pengalaman baru dan pengulangan, melainkan suatu dorongan untuk mengeksplorasi dan memanipulasi objek-objek baru dalam lingkungan. Karena di sini pengulangan merupakan aspek yang pokok, maka reaksi sirkuler dan kenikmatan berfungsi mempunyai banyak persamaan (lihat Tabel 6, hal. 213-214).
Suatu hal yang penting yaitu bahwa Buhler menandaskan bahwa semantic selalu tertanam dalam sistem sosial. Hal ini sekarang merupakan objek permasalahan para ahli sosio-linguistik. Para ahli sosio-longuistik beranggapan bahwa setiap bahasa mempunyai suatu konteks sosial dan tidak dapat diteliti lepas daripada konteks sosial (bandingkan Labov, 1970).

3.5 Anak dalam keluarga
Pada waktu sekarang maka hubungan keluarga merupakan suatu gejala yang normal; suatu keluarga dengan dua orang tua dan anak (anak). Dalam masyarakat Indonesia masih ada kemungkinan jumlah keluarga ditambah dengan nenek, adik, atau bibi, paman atau keponakan-keponakan menurut situasinya, namun inti keluarga tetap terdiri daripada orang tua dan anak. Gejala semacam ini yaitu gejala adanya kelompok dengan ikatan yang erat ini, yang disebut kelompok primer, tidak merupakan hal yang sejak dulu sudah ada. Di muka telah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 , anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk kecil. Akibatnya ialah bahwa anak dalam banyak hal diperlakukan seperti orang dewasa. Anak ikut aktif dalam kehidupan orang dewasa. Lugo dan Hershey (1974), h. 25) menunjukkan bahwa bagi anak merupakan suatu hal yang semestinya bahwa mereka ikut dalam tanggung jawab sehari-hari orang dewasa. Merupakan hal yang biasa bahwa anak ikut dalam aktivitas-aktivitas dagang, kehidupan sosial dan dan kerajinan. Anak betul-betul merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Karean anak terlalu awal dan terlalu intensif ikut dalam kehidupan sosial, kehidupan dagang maupun mencari nafkah hidup, maka hampir tidak ada waktu untuk membuat hubungan seperti yang dikenal sekarang.
Aries (1962) mengemukakan suatu tinjauan historis mengenai relasi antara anak-anak dan keluarga yang lebih berhubungan dengan lingkungan sosial yang lebih “rendah”. Relasi tersebut disbanding dengan keadaan sekarang dapat dipandang sebagai birikut:
Abad ke 17: anak dipercayakan pada orang lain, mereka dimasukkan ke asrama-asrama yang biasanya mempunyai sekolah-sekolahnya sendiri.
Sekarang anak mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga dan pergi belajar kesekolah biasa.
Abad ke 18: anak laki-laki tertua sangat dinomor satukan. Dia merupan jaminanwarisan keluarga.
Sekarang semua anak mempunyai hak yang sama mereka semua mendapatkan kasih saying dan berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
Belum lama juga anak laki-laki, terutama yang tertua , paling tidak di jawa juga memperoleh prioritas pendidikan yang lebih dari pada saudara-saudara wanitanya. Hal ini disebabkan oleh pendapat bahwa laki-lakilah yang harus mencari nafkah, sedangkan wanita sesudah kawin akan ikut suami.
Pepatah jawa : “ anak lanang mikir dhuwur, mendmem jero” ( anak laki-laki akan mengusung tinggi dan menanam dalam) serta “ wanita suwarga nunut, neraka katut” ( kesurga ikut , keneraka terikut) merupakan ucapan- ucapan yang terkenal dalam masyarakat jawa yang juga untuk sebagai ikut mengambil peranan sebagai pendorong emansipasi wanita. Pepatah-pepatah tersebut, terutama yank kedua, sekarang sering diucapkan senda gurau saja.
Abad ke 18: kehidupan keluarga serta aktivitas-aktivitasnya dipusatkan pada kehidupan bersama dalam masyarakat.
Sekarang dimasyarakat eropa terutama kepentingan keluarga yang paling menonjol. Titik berat diletakkan pada kesejahteraan anak. Di Indonesia meskipun kepentingan anak sebagai individu dipentingkan tetapi juga kegunaan mereka dalam membangun masyarakat diperhatikan.
Abad ke 18 dan ke 19 : pendidikan formal bagi anak wanita sangat langka.
Sekarang pendidikan formal bagi anak wanita merupakan suatu hal yang biasa dan umum, meskipun masih ada sedikit keterbelakangan terhadap anak laki-laki, tetapi hal itu segara dapat dikejar lagi.
Apa yang dikemukakan diatas merupakan suatu gambaran tipologis mengenai kehidupan keluarga. Sudah barang tentu ada bentuk-bentuk kehidupan yang lain sesuai dengan sifat kultur yang ada. Tetapi apa yang dapat dilihat dengan jelas yaitu adanya pergeseran total dalam pandangan terhadap anak. Dahulu anak merupakan orang dewasa dalam banyak hal; sekarang kehidupan anak dilihat sebagai suatu fase tersendiri, suatu fase hidup yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. Kekhususan ini tentu juga membawa masalah-masalahnya sendiri. Masalah-masalah yang menyebabkan timbulnya “generation gap” dan pandangan bahwa anak sebagai orang yang “belum dewasa” belum pantas untuk di “sejajarkan” dengan orang dewasa. Bagaimana juga hal yang penting yang perlu ditandaskan ialah bahwa anak sekarang merupakan bagian dari keluarga yang memberikan pendidikan padanya, memberikan norma-norma padanya,yang memberikan kesempatan pad anak untuk belajar tingkah laku dan motif-motif yang perlu untuk berkembang dan berfungsi baik dalam kehidupan bersama.
Shorter (1975) dalam analisis kultur-historis menunjukkan bahwa fungsi sosialisasai keluarga masih dibutuhkan oleh anak kecil dan anak pada masa sekolah: mulai masa remaja maka sosialisasi makin banyak dilakukan oleh “ peer group” atau teman sebay. Pengaruh peer group ini mungkin lebih nampak pada waktu sekarang dari pada waktu dulu, meskipun hal ini tidak berlaku bagi semua aspek tingkah laku. Hartup (1977) mengemukakan bahwa pada orang tua masih mempunyai lebih banyak pengaruh dalam hal-hal politik dan pekerjaan dari pada teman-teman sebaya (lihat juga Monks, 1981).
Keadaan di Indonesia menunjukkan gambaran yang tidak sama. Pada para orang tua yang berpendidikan misalnya di kota-kota wibawa orang tua dalam mengarahkan anak remaja masih dapat berlaku. Hal semacam itu mungkin tidak dijumpai pada para orang tua yang tidak berpendidikan. Misalnya di desa-desa dapat terjadi apa yang disebut “ transfer of authority” artinya bahwa sekarang justru anak remajalah yang menjadi otoritas orang tua dalam arti merekalah yang memberikan pengertian dan nasehat pada orang tuanya karena mereka sekarang lebih pandai dari pada orng tuanya. Mereka telah memperoleh pendidikan formal yang memungkinkan mereka dapat mengerti keadaan lebih baik, mengerti peraturan-peraturan yang berlaku, dan para orang tua sering kali dengan bangga dan senang menyerahkan dirinya untuk di”bimbing” oleh anak-anak merekayang telah menjadi “pandai” tadi. Hal ini sama sekali tidak berarti bahwa anak (remaja atau dewasa awal) tidak menaruh hormat pada orang tuanya , hanya mereka sekarang ada dalam pihak yang lebih “pandai” dan diharapkan dapat memberikan pengertian pada orang tuanya.
Jelas dapat dilihat dibandung dengan dulu, sekarang pada umumnya anak lebih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan sifat-sifatnya dan individualitasnya sendiri. Anak mempunyai hak untuk mewujudkan dirinya. Tetapi keadan yang ada sekarang menimbulkan pertanyaan apakah anak betul-betul dapat berkembang seluas-luasnya. Cara pendidikan yang refresif misalnya, yaitu cara mendidik anak dengan banyak memberikan tugas-tugas dan tuntutan-tuntutan yang dianggap perlu bagi anak (yang belum dewasa) tadi, tidak menguntungkan karena tidak bertitik tolak pada individualitas anak hingga lalu bersifat regresif (menekan).
Bagaimana kita akan meninjau cara pendidikan yang demokratis dan berintegrasi social (Tausch & Tausch, 1967); 1980) yang jelas yaitu bahwa anak sekarang mempunyai lebih banyak kemungkinan untuk mewujudkan dirinya, untuk melalui proses emansipasi, menemukan tempatnya yang sesuai, dengan pengetahuan dan kemampuan-kemampuannya. Bahwa dalam keadaan tersebut masih ada pertentangan-pertentangan ataupun hambatan-hambatan memang tidak dapat sama sekali dihindarkan dari suatu kehidupan bersama yang serba bahagia, serba baik dan serba positif, namun dalam kenyataannya kepentingan individu tidak selalu sesuai dengan kepentingan masyarakat. Berhubung dengan itulah maka disamping memberikan kesempatan bagi berkembangnya individualitas, penting pula untuk mengembangkan sikap dan sifat sosialnya sehingga anak tidak berkembang menjadi orang yang individualitas saja. Perpaduan antara sifat individu dan sifat social dapat menjamin hidup yang bahagia sebagai individu yang hidup dalam kehidupan bersama. Keluarga dengan keterbatasan dan kemungkinannya dapat merupakan tantangan dari kesempatan realisasi bagi anak. Diharapkan bahwa dua hal ini dapat saling mengisi dan bermanfaat bagi perkembangan anak yang optimal.

3.6 Rangkuman
Dalam periode akhir tahun pertama sampai dengan tahun keempat banyak sekali kemajuan yang dicapai anak dalam perkembangan motorik. Social dan kognitif. Bertambahnya kemampuan motorik membuat lingkup gerak anak semakin luas dan dengan demikian menambah luas lingkup hidupnya. Belajar tingkah laku anak bertambah melalui peniruan model keluarga maupun teman sebaya dan memperoleh dimensi-dimensi baru melalui dunia permainan. Begitu juga kemampuan bertambah dalam ambil alih peran, yaitu dapat menempatkan diri dalam perasaan , motif, dan pikiran orang lain. Stimulasi yang senilai dalam hal ini dapat lebih menambah lagi kemampuan tersebut. Di samping permainan, maka bahasa serta ganbaran sebagai bentuk pernyataan dan bentuk komunikasi menduduki tempat yang sentral dalam periode ini. Pada usia empat tahun anak sudah dapat menjadi pasangan yang aktif dan sudah dapat mengerti dan memberikan pengaruh terhadap aturan hidup sehari-hari.



Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan, disini di sebutkan bahwa :
• Perkembangan bahasa anak dibedakan atas empat masa yaitu :
 Masa pertama
Kata-kata pertama yang diucapkan oleh anak, adalah anak kelanjutan dari meraba. Ini dapat kita lihat dengan jelas, jika kita perhatikan bahwa diantara kata-kata itu terdapat beberapa kata y6ang diucapkan juga oleh anak dari bahasa apapun di dunia ini.misalnya kata- kata yang diucapkan oleh anak terhadap ibu dan ayahnya.
 Masa kedua
Pada masa ini dengan kecakapannya berjalan ia makin banyak melihat sesuatu dan ingin mengetahui namanya. Oleh karena itu selalu menanyakan nama benda-benda itu, oleh karena itu masa ini kita sebut dengan masa apa itu.
Pada masa ini, terjadi kesukaran berkata, disebabkan oleh karena perkembangan kemauan dan keinginannya lebih cepat dari pada kekayaan bahasanya, sehingga sebenarnya ia akan bercerita tetapi karena perbendaharaan kata-katanya belum mencukupi, maka ia melengkapinya dengan gerakan-gerakan tangan dan kakinya.

 Masa ketiga
Pada masa ini anak telah mulai tampak makin sempurna dalam menyusun kata-katanya. Ia sudah menggunakan awalan dan akhiran, sekalipun belum sempurna seperti yang dikatakan orang dewasa.
 Masa keempat (2 ;6- seterusnya)
Pada masa ini keinginan anak untuk mengatahui segala sesuatu mulai bertambah-tambah. Karena itu pertayaan pun mulai berkepanjangan.
Sedangkan didalam buku psikologi perkembangan , perkembangan anak dibagi atas :
1. Perkembangan motorik
Ciri –ciri perkembangan motorik yaitu :
 Geraakan-gerakanya tidak disadari, tidak sengaja dan dan tanpaa arah.
 Gerakan anak-ank itu tidak khas.
 Gerakan-gerakan anak itu dilakukan dengan masal.
 Gerakan gerakan anak itu disertai gerakan-gerakan lain, yang sebenarnya tidak diperlukan.
2. Perkembangan bahasa
3. Perkembangan permainan
4. Perkembangan menggambar
Dan dibuku yang kedua psikologi perkembangan dikatakan bahwa fase-fase perkembangan anak dibagi atas:
Dalam hal ini, J. Byl mengetengahkan pendapatnya sebagai berikut :
1. fase orok
2. fase menyusuai
3. fase pencoba
4. fase penentang
5. fase bermain
6. fase anak sekolah
7. fase pueral
8. fase pubertas
didalam buku yang berjudul ilmu jiwa anak dan masa perkembangan, membagi masa 9 tahun ini menjadi stdium sebagai berikut :
 Stadium : 1- 8 tahun
Stadium pertama disebut realisme fantastic. Setelah anak selesai dengan sifat serba menentang yang I, ia mulai melepaskan diri dari lingkungan keluarga. Ia mulai mengenal perbedaan dirinya dengan orang lain diantra dirinya dengan benda- benda disekitarnya.
 Stadium kedua ( Realisme naif )
Ciri stadium ini ialah keserasian bersekolah yang lebih besar seperti tampak pada murid kelas dua. Ia lebih mudah dan lebih giat mengikuti pelajaran. Dengan sendirinya ia mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang membutuhkan akalnya.
 Stadium ketiga, disebut realisme Refleksif
Pada saat ini anak lebih senang berada dialam bebas daripada disebuah gedung yang dibatasi oleh pagar-pagar. Anak- anak sekitar kelas 4 dan 5 senang sekali berdamawisata atau bermain-main dihalaman sekolah.


















Tugas dan pertanyan

1. Permanensi objek merupakan tanda kemajuan yang besar dalam perkembangan anak. Pada usia berapa terjadinya itu dan tanda-tanda apa hal tersebut nampak dalam tingkah laku anak?
2. Uraikan secara singkat mengenai perkembangan psikomotorik anak dan apa yang dimaksudkan dengan “Gestaltwan del”? (Zeller, 1936).
3. Apa yang dimaksudkan dengan egosentrisme dan apakah hal itu hanya dijumpai pada anak kecil ataukah juga diketemukan pada tahap usia yang lain?.
4. Ambil alih peran mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan anak antara satu dan empat tahun. Apakah yang disebut ambil alih peran dan dapatkah hal itu distimulasi?
5. Periode pembangkangan pernah dipandang sebagai ha sesuatu yang mutlak harus ada dalam perkembangan anak untuk melatih fungsi kehendak. Hasil penelitian yang lebih kemudian tidak mendukung pandangan tersebut. Jelaskan hasil penelitian Kemmler.
6. Bermain dipandang sebagai aktivitas anak yang wajar. Jelaskan mengenai kegunaan dan bentuk-bentuk permainan.
7. Perkembangan gambaran anak berjalan dari pembuatan coret-coret ke arah gambar-gambar figurative. Ceritakan proses ini.
8. Dalam proses perkembagan bahasa tersebut dua pendekatan: pendekatan nativistis dan teori belajar. Perbedaan apa yang ada antara dua pendekatan itu?
9. Antara tahun pertama dan keempat kekayaan bahasa anak mencapai 1.500 kata. Jelaskan proses pengembangannya.
10. Apa yang dimaksudkan dengan perkembangan semantik?
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929