loading...

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK2

December 03, 2013
loading...
B. Bakat Khusus
Merupakan kenyataan yang berlaku dimana-mana bahwa manusia berbeda satu sama lain dalam berbagai hal, antara lain dalam inteligensi, bakat, minat, kepribadian, keadaan jasmani dan perilaku sosial. Ada kalanya seseorang lebih cekatan dalam satu bidang kegiatan dibandingkan dengan orang lain. Dalam bidang tertentu ia mungkin menunjukkan keunggulannya dibandingkan dengan orang lain.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa ada perbedaan antara individu satu dengan yang lain dalam tingkat kemampuan atau prestasi mereka dalam bidang musik, seni, mekanik, pidato, kepemimpinan, dan olahraga serta bidang-bidang lin. Sejauh mana perbedaan-perbedaan itu dibawa sejak lahir atau hasil dari latihan atau pengalaman, akan merupakan topik yang menarik dan sangat penting.
Program pendidikan hendaknya dirancang tidak hanya memperhatikan kemampuan untuk beljar tetapi juga perlu mempertimbangkan kecakapan khusus atau bakat yang dimiliki siswa.

1. Pengertian Bakat Khusus
Apakah bakat itu? Untuk menjawab pertanyaan ini telah muncul bermacam-macam pendapat yang satu sama lain mempunyai perbedaan-perbedaan. Menurut William B. Michael (Sumadi Suryabrata, 1991 : 168) bakat diartikan sebagai berikut :
“An apitude may be defined as a person’s capacity, or hypothetical potential, for acquisition of a certain more or less well defined pattern or behavior involved in the performance of a task respect to which the individual has illad little or no previous training”.
Michael meninjau bakat itu terutama dari segi kemampuan individu untuk melakukan sesuatu tugas, yang sedikit sekali atau tidak tergantung pada latihan sebelumnya.
Selanjutnya Bingham memberikan defenisi bakat sebagai berikut :
“An apptitude as a condition or set characteristic regade as symptomatic of an individual’s ability ot acquire with training some (usually specified) knowledge, skill, or set of responses such as the ability to speak language, to produce music, etc (Sumadi Suryabrata, 1991 : 168-169).
Dari defenisi itu, Bingham menitikberatkan pada kondisi atau seperangkat sifat-sifat yang dianggap sebagai tanda kemampuan individu untuk menerima latihan, atau seperangkat respon seperti kemampuan berbahasa, musik, dan sebagainya.
Guilford (Sumadi S, 1991 :169) mengemukakan bahwa bakat itu mencakup 3 dimensi psikologis, yaitu : (1) dimensi perseptual, (2) dimensi psikomotor, dan (3) dimensi intelektual.

1. Dimensi Perseptual
Dimensi perseptual meliputi kemampuan dalam mengadakan persepsi, dan ini meliputi faktor-faktor antara lain :
a. Kepekaan indera
b. Perhatian
c. Orientasi waktu
d. Luasnya daerah persepsi
e. Kecepatan persepsi dan sebagainya

2. Dimensi psikomotor
Dimensi psikomotor ini mencakup enam faktor, yaitu faktor :
a. Kekuatan
b. Impuls
c. Kecepatan gerak
d. Ketelitian yang terdiri atas dua macam, yaitu :
1. Faktor kecepatan statis, yang menitiberatkan pada posisi
2. Faktor ketepatan dinamis, yang menitiberatkan pada gerakan
e. Koordinasi
f. Keluwesan (flexibility)

3. Dimensi intelektual
Dimensi inilah yang umumnya mendapat sorotan luas, karena memang dimensi inilah yang mempunyai implikasi sangat luas. Dimensi ini meliputi lima faktor, yaitu :
a. Faktor ingatan yang mencakup faktor ingatan mengenai :
1. Substansi
2. relasi
3. sistem

b. Faktor ingatan mengenai pengenalan terhadap :
1. Hubungan-hubungan
2. Bentuk atau struktur
3. Kesimpulan

c. Faktor evaluatif, yang meliputi evaluasi mengenai :
1. Identitas
2. Relasi-relasi
3. Sistem
4. Penting tidaknya problem (kepekaan terhadap problem yang dihadapi)

d. Faktor berpikir konvergen, yang meliputi faktor untuk menghasilkan :
1. Nama-nama
2. Hubungan-hubungan
3. Sistem-sistem
4. Transformasi
5. Implikasi-implikasi yang unik

e. Faktor berpikir divergen, yang meliputi faktor
1. Untuk menghasilkan unit-unit, seperti word fluency, ideational fluency
2. Untuk pengalihan kelas-kelas secara spontan
3. Kelancaran dalam menghasilkan hubungan-hubungan
4. Untuk menghasilkan sistem, seperti expresional fluency
5. Untuk transformasi divergen
6. Untuk menyusun bagian-bagian menjadi garis besar atau kerangka

Dari ilustrasi daitas menunjukkan betapa rumitnya kualitas manusia yang disebut bakat.
Jadi apakah sebetulnya yang dimaksudkan dengan istilah “bakat” (aptitude)? Apa bedanya dengan “kemampuan” (ability), dan dengan “kapasitas” (capacity), serta insting?
Bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan yang merupakan potensi (potential ability) yang masih perlu dikembangkan atau dilatih. Kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil belajar yang akan datang. Kapasitas sering digunakan sebagai sinonim untuk kemampuan dan biasanya diartikan sebagai kemampuan yang dapat dikembangkan sepenuhnya dimasa mendatang apabila latihan dilakukan secara optimal. Dalam praktek, kapasitas seseorang jarang tercapai. Insting umumnya terdapat pada hewan, dimana dengan insting itu hewan dapat melakukan sesuatu tanpa latihan sebelumnya.
Jadi bakat adalah kemampuan alamiah untuk memperolehpengetahuan atau keterampilan yang relatif bisa bersifat umum (misalnya bakat intelektual umum) atau khusus (bakat akademis khusus). Bakat khusus disebut juga talent. (Conny Semiawan, dkk, 1987 : 2).
Pengertian bakat khusus atau talent disini dimaksudkan seseorang yang mempunyai kemampuan bawaan untuk bidang tertentu, misalnya bakat menggambar, sebagaimana dikemukakan oleh Webster (1957 : 1486), sebagai berikut :
“Talent implies a native ability for a specific pursuit and connotes other that it is or can be cultivated by the one possessing ti (a talent for drawing).

2. Jenis-jenis bakat khusus
Setiap orang mempunyai bakat-bakat tertentu, masing-masing dalam bidang dan derajat yang berbeda-beda. Usaha pengenalan bakat mula-mula terjadi pada bidang pekerjaan, tetapi kemudian juga dalam bidang pendidikan. Dalam prakteknya hampir semua hali yang menyusun tes untuk mengungkap bakat bertolak dari dasar pikiran analisis faktor, seperti yang dikemukakan oleh Guilford. Menurut Guilford, setiap aktivitas diperlukan berfungsinya faktor-faktor tersebut.
Pemberian nama terhadap jenis-jenis bakat biasanya dilakukan berdasar atas bidang apa bakat tersebut berfungsi, seperti bakat matematika, bakat bahasa, bakat olahraga, bakat seni, bakat musik, bkat klerikal, bakat guru, bakat dokter dan sebagainya. Dengan demikian, mak amacam bakat akan sangat tergantung pada konteks kebudayaan dimana seseorang individu.

3. Kaitan antara bakat dan prestasi
Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud. Misalnya seseorang mempunyai bakat menggambar, jika ia tidak pernah diberi kesempatan untuk mengembangkan, maka bakat tersebut tidak akan tampak. Jika orang tuanya menyadari bahwa ia mempunyai bakat menggambar dan mengusahakan agar ia mendapat pengalaman yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bakatnya, dan anak itu juga menunjukkan minat yang besar untuk mengikuti pendidikan menggambar, maka ia akan dapat mencapai prestasi yang unggul bahkan dapat menjadi pelukis terkenal. Sebaliknya, seorang anak yang mendapat pendidikan menggambar dengan baik, namun tidak memiliki bakat menggambar, maka tidak akan pernah mencapai prestasi unggl untuk bidang tersebut. Dalam kehidupan disekolah sering tampak bahwa seseorang yang bakat dalam olahraga, umumnya prestasi mata pelajaran lainnya juga baik, tetapi sebaliknya dapat terjadi prestasi semua pelajarannya tidak baik. Keunggulan dalam salah satu bidang apakah bidang sastra, matematika atau seni, merupakan hasil interaksi dari bakat yang dibawa sejak lahir dan faktor lingkungan yang menunjang, termasuk minat dan dorongan pribadi.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat khusus
Kita hendaknya dapat membedakan antara anak berbakat yang sudah berhasil mewujudkan potensinya dalamp restasi yang unggul, misalnya prestasi sebagai pelukis atau pernah menjadi juara saymebara mengarang atau lomba seni suara, dan mereka yang potensial berbakat tetapi karena sebab-sebab tertentu belum berhasil mewujudkan potensi mereka yang unggul.
Adapun sebab atau faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat khusus atau mengapa seseorang tidak dapat mewujudkan bakat-bakatnya secara optimal, dengan kata lain prestasinya dibawah potensinya dapat terletak pada anak itu sendiri dan lingkungan. Untuk mencapai prestasi yang tinggi, atau mungkin pula mempunyai kesulitan atau masalah pribadi sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri dan breprestasi sesuai dengan bakatnya.
Lingkungan anak. Misalnya orang tuanya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang ia butuhkan, atau ekonominya cukup tinggi kurang memberi perhatian terhadap pendidikan anak.

5. Perbedaan individu dalam bakat khusus
Pada dasarnya setiap orang mempunyai bakat-bakat tertentu. Dua anak bisa sama-sama mempunyai bakat melukis, tetapi yang satu lebih menonjol daripada yang lain bahkan saudara sekandung dalam satu keluarga bisa mempunyai bakat yang berbeda-beda. Anak yang satu mempunyai bakat untuk bekerja dengan angka-angka, anak yang lain dalam bidang olah raga, yang lainnya lagi berbakat menulis (mengarang).
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa setiap anak mempunyai bakat-bakat tertentu, hanya berbeda dalam jenis dan derajatnya. Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang mempunyai bakat-bakat dalm derajat tinggi dan bakat-bakat yang unggul. Ada anak yang berbakat intelektual umum,biasanya mereka mempunyai taraf inteligensi yang tinggi dan menunjukkan prestasi sekolah yang menonjol. Adapula yang mempunyai bakat akademis khusus, misalnya dalam matematika atau dalam bahasa, sedangkan dalam mata pelajaran lainnya belum tentu mereka menonjol. Ada anak yang inteligensi mungkin tidak terlalu tinggi tetapi unggul dalam kemampuan berpikir kreatif-produktif. Ada pula anak yang bakatnya dalam bidang olahraga, atau dalam salah satu bidang seni seperti melukis atau musik. Ada anak yang disekolah tidak termasuk siswa yang pandai, tetapi menonjol dalam keterampilan teknik. Kita juga mengenal anak-anak yang oleh teman-temannya atau oleh guru selalu dipilih menjadi pemimpin, karena mereka berbakat dalam bidang psikososial.

6. Upaya pengembangan bakat khusus remaja dan implikasi-implikasi dalam penyelenggaraan pendidikan
Bagaimana kita dapat mengenal, mengidentifikasi para remaja yang mempunyai bakat khusus? Bagaimana karakteristik atau ciri-ciri mereka? Alat-alat apa yang dapat digunakan untuk mengetahui bakat-bakat khusus mereka? Semua informasi ini diperlukan sebelum dilakukan upaya pengembangan bakat-bakat khusus remaja.
Sampai sekarang boleh dikata belum ada tes bakat yang cukup luas daerah pemakaiannya (seperti misalnya tes inteligensi), berbagai tes bakat yang sudah ada misalnya FACT (Flanagen Apitutde Clasification Test) yang disusun oleh Flanagen, DAT (Differential Aptitude Test) yang disusun oleh Binnet, M-Ttest (Mathematical and Technical Test) yang disusun oleh Luningprak masih sangat terbatas daerah berlakunya. Hal ini disebabkan tes bakat sangat terikat kepada konteks kebudayaan dimana tes itu disusun, sedang macam-macam bakat juga terikat kepada konteks kebudayaan di mana klasifikasi bakat itu dibuat.
Yang harus diukur oleh alat identifikasi adalah baik potensi (bakat pembawaaan) maupun bakat yang sudah terwujud dalam prestasi yang tinggi. Alat ukur atau tes apa yang dipakai tentu saja tergantung pada macam bakat yang dicari.
Bagaimana orang tua dapat mengenal bakat khusus anak? Bakat anak dapat dikenali dengan observasi terhadap apa yang selalu dikerjakan anak, yang disukai anak, hal-hal yang dikerjakan anak dengan hasil baik, kesungguhan bakat anak bermanfaat bagi orang tua agar mereka dapat memahami dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak. Dengan mengenal ciri-ciri anak berbakat, orang tua dapat menyediakan lingkungan pendidikan yang sesuai dengan bakat anak. Mereka dapat membntu anak memahami dirinya agar tidak melihat bakat sebagai suatu beban tetapi sebagai suatu anugerah yang harus dihargai dan dikembangkan. Manfaat lain dari kemampuan orang tua anak mengenal bakat anak ialah agar orang tua dapat membantu sekolah dalam prosedur pemanduan anak bebakat, dengan memberikan informasi yang dibutuhkan tentang ciri-ciri dan keadaan anak mereka.
Sebagai contoh, orang tua diminta memberi keterangan tentang butir-butir berikut ini :

• Hobi dan minat-minat anak yang khusus
• Jenis buku yang disenangi
• Masalah dan kebutuhan khusus
• Prestasi unggul yang pernahd icapai
• Pengalaman-pengalaman khusus
• Kegiatan kelompok yang disenangi
• Kegiatan mandiri yang disenangi
• Sikap anak terhadap sekolah / guru
• Cita-cita untuk masa depan
Adapun kondisi-kondisi lingkungan yang bersifat memupuk bakat anak adalah keamanan psikologis dan kebebasan psikologis.
Anak akan merasa aman secara psikologis apabila :
a. Pendidikan dapat menerimanya ebagaimana adanya, tanpa syarat dengan segala kekuatan dan kelemahannya serta memberi kepercayaan padanya bahwa pada dasarnya ia baik dan mampu.
b. Pendidik mengusahakan suasana dimana anak tidak merasa “dinilai” oleh orang lain. Memberi penilaian terhadap seseorang dapat dirasakan sebagai ancaman, sehingga menimbulkan kebutuhan akan pertahanan diri.
c. Pendidikan memberikan pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan, dan perilaku anak, dapat menempatkan diri dalam situasi anak dan melihat dari sudut pandang anak. Dalam suasana ini anak merasa aman untuk mengungkapkan bakatnya.
Anak akan merasa kebebasan psikologis apabila orang tua dan guru memberi kesempatan padanya untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dan.
Pada akhir masa remaja anak sudah banyak memikirkan tentang apa yang ingin ia lakukan dan apa yang ia mampu lakukan. Makin banyak mendengar tentang macam-macam kemungkinan, baik dalam bidang pendidikan maupun dalam pekerjaan, dapat membuatnya ragu-ragu mengenai apa yang sebetulnya paling cocok baginya. Dengan pengenalan bakat yang dimilikinya dan upaya pengembangannya dapat membantu remaja untuk dapat menentukan pilihan yang tepat dan menyiapkan dirinya untuk dapat mencapai tujuan-tujuannya.

C. Perkembangan Sosial
1. Pengertian perkembangan hubungan sosial
Beberapa teori tentang perkembangan manusia telah mengungkapkan bahwa manusai tumbuh dan berkembang dari masa bayi ke masa dewasa melalui beberapa langkah dan jenjang. Kehdupan anak dalam menelusuri perkembangannya itu pada dasarnya merupakan kemampuan mereka beirnteraksi dengan lingkungan. Pada proses integrasi dan interaksi ini faktor intelektual dan emosional mengambil peranan penting. Proses tersebut merupakan proses sosialisasi yang mendudukkan anak-anak sebagai insan yang secara aktif melkaukan proses sosialisasi.
Manusia tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan. Lingkungan itu dapat dibedakan lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial memberikan

2.
D.


PERKEMBANGAN AFEKTIF


Setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat memahami konsep-konsep dasar tentang perkembangan afektif. Secara lebih khusus sasaran setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat memahami konsep-konsep dasar tentang perkembangan afektif. Secara lebih khusus sasaran yang ingin dicapai dalam mempelajari bab ini adalah agar Anda dapat:
A. 1. Menjelaskan pengertian emosi
2. Menjelaskan karakteristik perkembangan emosi
3. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
4. Menjelaskan hubungan antara emosi clan tingkah laku
5. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan emosi
6. Memberi contoh upaya pengembangan emosi remaja dalam penyelenggaraan pendidikan.
B. l. Menjelaskan pengertian nilai, moral dan sikap
2. Mtenjelaskan saling keterkaitan antara nilai, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku
3. Menjelaskan karakteristik nilai, moral dan sikap remaja
4. Menjelaskan faktor-faktoryang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
5. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan nilai, moral dan sikap
6. Memberi contoh upaya-upaya pengembangan nilai, moral dan sikap remaja dalam penyelenggaraan pendidikan.
A. Perkembangan Emosi
Kehidupan seseorang pada umumnya penuh dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Seperti telah diuraikan di depan, bahwa perilaku seseorang dan munculnya berbagai kebutuhan disebabkan oleh berbagai dorongan dan minat. Seberapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat seseorang itu terpenuhi merupakan dasar dari pengalaman emosionalnya. Perjalanan kehidupan tiap-tiap orang tidak selalu sama. Kehidupan mereka masing-masing berjalan menurut polanya sendiri¬sendiri. Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau minatnya dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai; ia (mereka) cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya. '1'clal,i sebaliknya jika dorongan dan keinginannya tidak berhasil terpenuhi, haik hal itu disebabkan kurangnya kemampuan untuk memenuhinya atau karena kondisi lingkungan yang kurang menunjang, sangat dinnrngkinkan perkembangan emosionalnya mengalami gangguan.
Seorang individu dalam merespon sesuatu lebih banyak diarahkan oleh penalaran dan pertimbangan-pertimbangan objektif. Akan tetapi pada saat-saat tertentu di dalam kehidupannya, dorongan emosional banyak campur tangan dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Oleh karena itu untuk memahami remaja, memang perlu mengetahui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Di samping itu hal yang lebih penting untuk diketahui adalah apa yang mereka rasakan. Makin banyak kita dapat memahami dunia remaja seperti apa yang mereka alami, makin perlu kita melihat ke dalam kehidupan emosionalnya dan memahami perasaan-perasaannya, baik perasaan tentang dirinya sendiri maupun tentang orang lain. Gejala-gejala emosional sepeni marah, takut, bangga dan rasa malu, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa, pcviu dicermati dan dipahami dengan baik.
Selanjutnya marilah kita tinjau secara lebih rinci pengertian emosi.
1. Pengertian emosi
Perbuatan atau perilaku kita sehari-hari pada umumnya disertai disertai oleh perasaan-perasaan tertentu, seperti perasaan senang atau tidak senang. Perasaan senang atau tidak senang yang terlalu menyertai perbuatan perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif Warna afektif ini kadang¬-kadang kuat, kadang-kadang lemah, atau kadang-kadang tidak jelas (samar-¬samar). Dalam hal warna afektif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mendalam, lebih luas, dan lebih terarah. Perasaan-perasaan seperti ini disebut emosi (Sarlito, 1982: 59). Di samping perasaan senang atau tidak senang, beberapa contoh macam emosi yang lain adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Tetapi perbedaan antara keduanya fidak dapat dinyatakan dengan tegas. Emosi dan perasaan ; merupakan suatu - gejala emosional yang secara kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat suatu warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya marah yang ditunjukkan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi itu adalah sebagai berikut:
“An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirred up states in the individual, and that show itself in his overt behavior”
Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-¬perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-¬perubahan pada fisik, antara lain berupa:
1) Reaksi elektris pada kulit: meningkat bila terpesona
2) Peredaran darah: bertambah cepat bila marah
3) Denyut jantung: bertambah cepat bila terkejut
4) Pernapasan: bernafas panjang kalau kecewa
5) Pupil mata: membesar bila marah
6) Liur: mengering kalau takut atau tegang
7) Bulu roma: berdiri kalau takut
8) Pencernaan: mencret-mencret kalau tegang
9) Otot: ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor)
10) Komposisi darah: komposisi darah akan ikut berubah dalam emosional karena kelenjar-kelenjar lebih aktif.

2. Karakteristik perkembangan emosi
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode "badai dan tekanan", suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Meningginya emosi terutama karena anak (laki-laki ataupun perempuan) berada di bawah tekanan sosial dan mereka menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu. Tidak semua remaja mengalami masa badai dan tekanan, namun benar juga bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi usaha penyesuaian diri terhadap pola perilaku ban, dan harapan sosial baru.
Pola emosi masa remaja adalah sarna dengan pola emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang secara normal dialami adalah: cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut dan cemas, cemburu, sedih dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada rnacam-macam derajat rangsangan yang membangkitkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap ungkapan emosi mereka.
Remaja sendiri menyadari bahwa aspek-aspek emosional dalarn kehidupan adalah penting (Jersild, 1957: 133). Untuk selanjutnya berikut ini dibahas beberapa kondisi emosional seperti: cinta/ksih sayang, gembira, kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan kecemasan.
f. Cinta/kasih sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk menerima cinta sama pentingnya dengan kemampuan untuk memberinya.
Walaupun remaja bergerak ke dunia pergaulan yang lebih luas, dalam dirinya masih terdapat sifat kanak-kanaknya. Remaja membutuhkan kasih sayang di rumah yang sama banyaknya dengan apa yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya. Karena alasan inilah maka sikap rnenentang mereka, menyalahkan mereka secara langsung, mengolok-olok mereka pada waktu pertama kali ia mencukur kumisnya, adanya perhatian terhadap lawan jenisnya, merupakan tindakan yang kurang bijaksana.
Tampaknya tidak ada manusia, termasuk remaja, yang dapat hidup bahagia dan sehat tanpa mendapatkan cinta dari orang lain. Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-¬kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para rernaja yang berontak secara terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinannya disebabkan oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.

g. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali pengalaman-¬pengalaman yang menyenangkan yang dialami selama remaja. Jika kita mcnghitung hal-hal yang menyenangkan tersebut kita agaknya mempunyai cerita yang panjang dan lengkap tentang apa yang terjadi dalam perkembangan emosional remaja.
Perasaan gembira dari remaja belum banyak diteliti. Perasaan gembira sedikit mendapat perhatian dari petugas peneliti daripada perasaan marah dan takut atau tingkah laku dari problema lain yang memantulkan kesedihan. Rasa gembira akan dialami apabila segala sesuatunya berlangsung dengan baik dan para remaja akan mengalami kegembiraan jika ia diterima scbagai seorang sahabat atau bila ia jatuh cinta dan cintanya itu mendapat sambutan (diterima) oleh yang dicintai.

h. Kemarahan dan permusuhan
Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonjol dalam perkembangan kepribadian. Pertama, di antara emosi-emosi ini adalah cinta, di mana kita ketahui bahwa dicintai dan mencintai adalah gejala emosi bagi per¬kembangan pribadi yang sehat. Rasa marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam tuntutannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase dalam perkembangan emosional, antara lain dalam kaitannya dengan perbuatan marah dan cara menyatakan kemarahan itu. Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sama, tetapi ada beberapa perubahan sehubungan dengan pertambahan umurnya dan konsidi-kondisi tertentu yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional. Banyaknya hambatan yang menyebabkan anak kehilangan kendali terhadap rasa marah, sedikit berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa marah tersebut terus akan berlanjut pemunculannya apabila minat-minatnya, rencana-rencananya, tindakan¬-tindakannya dirintangi:
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 (empat) faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa marah.
2) Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungan dengan usaha manusia untuk memiliki dirinya dan rnenjadi dirinya sendiri. Meskipun marah seringkali tampak tolol dan tidak terkendali, namun rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan, dan dan sangat berfungsi sebagai usaha individu untuk menjadi seorang pribadi sesuai dengan haknya. Selama masa remaja fungsi marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan menjamin hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
3) Pertimbangan penting lainnya ialah ketika intlividu mencapai masa remaja dia tidak hanya merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadi surut, tetapi juga mempunyai sikap-sikap di mana ada sisa kemarahan dalam bentuk perrnusuhan yang yang meliputi sisa kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permusuhan numgkin berbentuk dendam, kesedihan, prasangka, atau kecenderungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu kecenderungan untuk menjadi curiga dan keengganan atan menganggap bahwa orang lain tidak bersahabat dan mempunyai motif yang jelek. Sikap-sikap permusuhan nurngkin tampak dalam cara-cara yang bersifat pura-pura: remaja bukannya menampakkan kemarahan langsung tetapi remaja lebih menunjukkan keinginan yang sangat besar. Misalnya dalam kampanye politik, seorang remaja mungkin menyanyikan kebanggaan dari seorang calon, padahal sebenarnya la bersifat bermusuhan terhadap calon tersebut tetapi sifatnya itu ditekan.
4) Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan scringkali tampak dalam bentuk yang sarnar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan. Contohnya. Jika seorang anak laki-laki yang mempunyai latar belakan kecemburuan dan sikap-sikap permusuhan yang tidak terselesaikan terhadap saudara perempuannya dan terhadap gadis-gadis pada umumnya, akhirnya dia mempunyai kebiasaan untuk menarik gadis-gadis hanya untuk menunjukkan penolakannya terhadap gadis-gadis yang jatuh hati padanya.
5) Kemarahan mungkin berbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan aspek yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami.

i. Ketakutan dan Kecemasan
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami serangkaian perkembangan yang panjang yang mempengaruhi pasang surut berkenaan dengan rasa ketakutannya. Beberapa rasa takut yang terdahulu telah teratasi, tetapi banyak yang masih tetap ada. Banyak ketakutan-ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Semua remaja sedikit banyak takut terhadap waktu. Beberapa di antara imereka merasa takut hanya pada kejadian-kejadian bila mereka dalam 'bahaya. Beberapa orang mengalami rasa takut secara benilang-ulang 'dengan kejadian dalam kehidupan sehari-hari, atau karena mimpi-mimpi, atau karena pikiran-pikiran mereka sendiri. Beberapa orang dapat mengalami :rasa takut sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu.
Remaja seperti halnya anak-anak dan orang dewasa, sering kali benisaha untuk mengatasi ketakutan-ketakutan yang timbul dari persoalan-persoalan kehidupan. Tidak ada seorang pun yang menerjunkan dirinya dalam kehidupan dapat hidup tanpa rasa takut. Satu-satunya cara untuk metwhindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut, seperti terjadi bila seseorang begitu takut sehingga la tidak berani rnencapai ;apa yang ada sekarang atau masa depan yang tidak menentu.
Biehler (1972) memberi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu usia 12-IS tahun dan usia 15-18 tahun.
1. Ciri-ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun
1) Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-¬perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2) Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakseimbangan biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4) Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka mengetahuinya.
5) Siswa-siswa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (mahatahu).




2. Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun
1) Pemberontakan remaja merupakan pernyataan/ekspresi dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2) Karena bertambahnya kebebasan mereka, hanyak remaja yang mengaiami konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua atau guru.
3) Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka. Banyak diantara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
Sejumlah penelitian tentang emosi anak menunjukkan bahwa perkembangan emosi mereka bergantung pada faktor kematangan dan faktor belajar (Nurlock, 1960: 266). Reaksi emosional yang tidak nmncul pada awal kehidupan tidak berarti tidak ada, reaksi tersebut mungkin akan muncul di kemudian hari, dengan berfungsinya sistem indokrin. Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mernpengaruhi perkembangan emosi.
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami rnakna yang sebelumnya tidak dirnengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam jangka waktu yang lebih lama, dari menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Dernikian pula kemampuan mengingat mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda.
Perkernbangan kelenjar endokrin penting untuk mematangkan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan pr-oduksi endokrin yang diperlukan untuk menopang reaksi fisiologis terhadap stress. Kelenjar adrenalin yang memainkan peran utama pada emosi rnengecil secara tajam segera setelah bayi iahir. Tidak lama kemudian, kelenjar itu mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak usia 5 tahun, pembesarannya melambat pada usia 5 sampai 11 tahun, dan membcsar lebih pcsat lagi sampai anak usia 16 tahun. Pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti saat anak lahir. Hanya sedikit adrenalin yang diproduksi clan dikeluarkan sampai saat kelenjar itu membesar. Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan emosi. Metode befajar yang menunjang perkembangan emosi, antara lain adalah:

1) Belajar dengan coba-coba
Anak belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara beiajar ini lebih umum digunakan pada masa kanak-kanak awal dibandingkan dengan sesudahnya, tetapi sepanjang perkembangannya tidak pernah ditinggalkan sama sekali.

2) Belajar dengan cara meniru
Dengan cara mengamati hat-hal yang membangkitkan emosi tertentu orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati. Contoh, anak yang peribut mungkin menjadi marah terhadap tegoran guru. Jika ia seorang anak yang populer di kalangan teman sebayanya mereka juga akan ikut ikutan marah kepada guru tersebut.

3) Belajar dengan cara mempersamakan diri (learning by identification).
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang tefah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Di sini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang hat dengannya.

4) Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosionaf, kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka. Setelah meiewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka.

5) Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi. Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang hiasrnya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang mernbangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Anak memperhalus ekspresi-ekspresi kemarahannya atau ertiosi lain ketika la beranjak dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersilirt individual ini clan memperhalus perasaan merupakan bukti/petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dan latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional.
Mendekati berakhirnya usia remaja, seorang anak, telah melewati banyak badai emosional, ia mulai mengalami keadaan emosional yang lebih tenang yang mewarnai pasang surut kehidupannya ia juga telah belajar dalam seni menyembunyikan perasaan-perasaannya. Hal ini berarti jika ingin rnemahami remaja, kita tidak hanya mengamati emosi-emosi yang secara terbuka yang la tampakkan tetapi perlu berusaha mengerti emosi yang disembunyikan.
Jadi emosi yang ditunjukkan mungkin merupakan selubung/tutup bagi yang disembunyikan, seperti contohnya seorang yang merasa ketakutan tetapi menunjukkan kemarahan, dan seorang yang sebenarnya hatihnya terluka tetapi ia malah tertawa sepertinya ia merasa senang.
Remaja diberi tahu secara berulang-ulang sejak kanak-kanak untuk tidak menunjukkan perasaan-perasaannya. Sebagai seorang anak la tidak boleh menangis, sehingga waktu ia remaja, terutama remaja laki-laki, jarang menangs walaupun kondisinya sedemikian rupa yang sebenarnya la ingin menangis andaikata ada keberanian untuk menunjukkan perasaan-¬perasaannya.
Sejak la masih kanak-kanak para remaja sudah mengetahui apa yang ditakutkan tetapi mereka juga diberitahu/diajar untuk tidak "penakut", untuk tidak menunjukkan ketakutan-ketakutan mereka. Akhirnya sering kali mereka takut tetapi tidak berani menunjukkan perasaan tersebut secara terang-terangan. Adalah hal yang bertentangan bahwa dalam masa remaja, seperti halnya dalam kehidupan orang dewasa, seringkali membutuhkan dorongan yang kuat untuk menunjukkan rasa takut daripada menyembunyikannya.
Semua remaja, sejak masa kanak-kanak telah mengetahui rasa marah, karena tidak ada seorang pun yang ludup tanpa pernah marah. Tetapi mereka juga tahu bahwa ada bahasa untuk menunjukkan kemarahan secara terbuka; dan kepada remaja diajarkan bahwa tidak hanya sekedar menyembunyikan kemarahan mereka tetapi perlu takut terhadap rasa marah dan merasa bersalah apabila marah.
Demikian juga, kebanyakan remaja telah mengalami bagaimana rasanya dicintai dan mencintai, tetapi banyak di antara mereka telah mengetahui bagaimana menyembunyikan perasaan-perasaan tersebut.
Kondisi-kondisi kehidupan atau kulturlah yang menyebabkan ia merasa erlu menyembunyikan perasaan-perasaannya. Ia (mereka) tidak hanya menyembunyikan perasaan-perasaannya terhadap orang lain, tetapi pada derajad tertentu bahkan ia dapat kehilangan atau tidak merasakannya lagi. Hal ini terjadi misalnya, bila ia meragukan apakah ia benar-benar merasa marah atau cinta atau takut, atau ia betul-betul tidak tahu apakah ia merasa marah, cinta atau takut. Kenyataan bahwa para remaja kadang-kadang tidak mengetahui perasaan mereka atau tidak mampu menghayati perasaan mereka, misalnya tampak dalam ucapan sambil menunjukkan kebingungan¬nya: "Saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya rasakan", "Saya tidak tahu apakah saya mencintai dia", "Saya seharusnya marah, tetapi saya tidak tahu bagaimana perasaan saya sebenarnya tentang hal itu".
Banyak kondisi-kondisi sehubungan dengan pertumbuhan anak sendiri dalam hubungannya dengan orang lain yang membawa perubahan¬perubahan untuk menyatakan emosi-emosinya ketika la merasa remaja.
Orang tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak ini tidak berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan anak muda. la tetap membutuhkan perangsang-perangsang yang memadai untuk pengembangan pengalaman-pengalaman emosional. Karena anak tumbuh da(am kekuatan fisik dan pemahaman, responnya berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan cita-citanya. la. pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa yang sedang terjadi padanya.
Dengan bertambahnya umur, menyebabkan terjadinya penibahan dalam ekspresi emosional. Bertambahnya pengetahuan dan pemanfaatan media massa atau keseluruhan latar belakang pengalaman, berpengaruh terhadap perubahan-perubahan emosional ini.

4. Hubungan antara emosi dan tingkah laku pengaruh emosi terhadap tingkah laku
Rasa takut atau marah dapat menyebabkan seseorang gemetar. Dalam ketakutan mulut menjadi kering, cepatnya jantung berdetak/berdenyut, derasnya aliran darah/tekanan darah, sistem pencernaan mungkin berubat selama pemunculan emosi. Cairan pencernakan/getah lambung terpengarul oleh gangguan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu untuk mencerna, sedangkan perasaar tidak enak atau tertekan menghambat/mengganggu pencernaan.
Di antara rangsangan yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang kronis, kegembiraan yani berlebihan, kecemasan-kecemasan dan kekuatiran-kekuatiran. Senma in menyebabkan menurunnya kegiatan sistem pencernaan dan kadang-kadang menyebabkan sembelit. Satu-satunya cara penyembuhan yang eiekti adalah menghilangkan penyebab dari ketegangan emosi. Peradangan d dalam perut/lambung, diare, dan sembelit adalah keadaan-keadaan yanl terkenal yang terjadinya berhubungan dengan gangguan emosi. Radang tidak dapat disembuhkan demikian juga diarhe atau sembelit apabila faktor-faktor yang menyebabkan munculnya emosi tidak dihilangkan Keadaan emosi yang normal sangat bermanfaat bagi kesehatan, olel karena itu kegembiraan yang berlebihan, ketakutan atau kecemasa hendaknya dihindari. Seseorang yang tidak mudah terganggu cenderun, inempunyai pencernaan yang baik.
Gangguan emosi juga dapat menjadi penyebab kesulitan berbicara Hambatan-hambatan dalam berbicara tertentu telah diketemukan bahwa tidak disebabkan oleh kelainan dalam organ bicara. Ketegangan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seorang gagap seringkali relatif dapat normal dalam berbicara, apabila mereka dalam keadaan relaks atau senang. Bila dia dihadapkan kepada situasi-situasi yang menyebabkan ia kebingungan, dapat terjadi ia akan menunjukka ketidaknormalan dalam bicara. Banyak situasi yang timbul di sekolah atau dalam suatu kelompok yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak tenang.
Sikap-sikap takut, malu-malu atau agresif dapat mewpakan akibat da ketegangan emosi atau frustrasi clan dapat muncul dengan hadirm individu tertentu atau situasi-situasi tertentu. Justru karentr reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai, maka jika kita merespon dengan cara yang sangat khusus terhadap hadirnya individu-individu tertentu akan terangsang timbulnya emosi tertentu.
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru namun bisa disebabkan sesuatu yang terjadi pada anak sehubungan deng; situasi kelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menghafal bahan pelajaran di muka kelas, pada kesempatan lain la mungkin takut unit berpartisipasi dalam kegiatan menghafal. Akibatnya ia mungkin memutuskan untuk membolos, atau mungkin la melakukan kegiatan yang kbih jelek lagi yaitu melarikan diri dad semuanya itu, dari orang tuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain.
Penderitaan emosional dan frustrasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif dalam pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di sekolah akan belajar lebihefektif bila ia termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hat ini ada ; pada dirinya, selanjutnya ia akan enengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hat ini akan mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan ~ pcrhatian pada apa yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan memperoleh kepuasan. Karena reaksi setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan demikian rangsangan-rangsangan yang : menghasilkan perasaan yang tidak penyenangkan, akan sangat : mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa belajar.
5. Perbedaan individual dalam perkembangan emosi
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin bertambah frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu ekspresi emosional mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. Tetapi sebaiknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Ditinjau kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok keluarga anak laki-laki lebih sering dan lebih kuat mengekspresikan emosi yang sesuai dengan jenis kelamin mereka. Misalnya marah bagi laki-laki, dibandingkan dengan emosi takut cemas dan kasih sayang yang dianggap lebih sesuai bagi perempuan. Rasa cemburu dan marah lebih umum terdapat di kalangan keluarga besar, sedangkan rasa iri lebih umum terdapat di kalangan keluarga kecil. Rasa cemburu dan ledakan marah juga lebih umum dan lebih kuat di kalangan anak pertama dibandingkan dengan anak yang tahir kemudian dalam keluarga yang sama.
Cara mendidik yang otoriter mendorang perkernbangan emosi kecemasan dan takut sedangkan cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga berstatus sosial ekonomi tinggi.





6. Upaya pengembangan emosi remaja dan implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab. Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjad anak yang lebih tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan dii sendiri.
Apabila ada tedakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan yang bijaksana dan lemah lembut, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda, guru dapat minta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan. Dalam diskusi kelas, tekankan penting memperhatikan pandangan orang lain dalam mengembankan meningkatkan pandangan sendiri. Kita hendaknya waspada terhadap siswa yang sangat ambisius, berpendirian keras dan kaku yang suka mengintimidasi kelasnya sehingga tidak ada seseorang yang berani tidak sependapat dengannya atau menentangnya.
Reaksi yang sering kali terjadi pada diri remaja terhadap temuan¬temuan mereka bahwa kesalahan orang dewasa merupakan tantangan terhadap otoritas orang dewasa. Guru-guru di SMA terperangkap oleh kemampuan siswa yang baru dalam menentukan/menemukan dan niengangkat ke permukaan tentang kelemahan-kelemahan orang dewasa. Bertambahnya kebebasan dari remaja seperti menambah "bahan bakar terhadap api", bila banyak dari keinginan-keinginannya langsung dihambat/ dirintangi oleh guru-guru dan orang tua. Satu cara untuk rnengatasinya adalah meminta siswa mendiskusikan atau menulis tentang perasaan--perasaan mereka yang negatif. Ingat bahwa meskipun penting bagi guru untuk memahami alasan-alasan pemberontakannya, adalah sama pentingnya bagi remaja untuk belajar mengendalikan dirinya, karena hidup di masyarakat adalah juga menghormati dan menghargai keterbatasan¬keterbatasan, kebebasan individual.
Untuk menunjukkan kematangan mereka, para remaja terutama laki¬laki seringkali merasa terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa. Sebagai seorang guru di SMA, seseorang ada dalam posisi otoritas, clan karena itu mungkin gurulah yang merupakan target dari pemberontakan dan rasa permusuhan mereka. Tampaknya cara yang paling balk untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah pertama, mencoba untuk mengerti mereka dan kedua, melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan untuk membantu siswa berhasil berprestasi dalam bidang yang diajarkan. Satu cara untuk membuktikan kedewasaan seseorang ialah terampil dalam melakukan sesuatu. Jika guru (mungkin Anda) menyadari sebagai seorang yang bertujuan untuk mengembangkan keterampilan¬keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan dalam kelas dapat agak dikurangi.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan clan serba sulit. Dalam banyak hal ia tergantung pada orang tua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri. Namun ia harus lepas dari orang tuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga adanya konflik dengan orang tua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam in, para remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapat memperbesar jurang antara dia dengan orang tuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantai peristiwa tersebut mungkin merasa pelru menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Karena itu seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak memikirkan hal-hal yang lain daripada tugas-tugas sekolah mengisi pikiran-pikirannya. Misalnya seks, konflik dengan orang tua, clan apa yang akan dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah. Salah satu persoalan yang paling membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu "memimpikan kejayaan". Seorang guru tidak ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong siswa tersebut untuk berusaha apa yang tidak mungkin dilakukan, walaupun mungkin pernah mencoba namun gagal, dapat terjadi kegagalan ini malah menambah kesengsaraan dalam hidupnya. Barangkali penyelesaian yang paling baik adalah mendorong anak itu untuk berusaha namun tetap mengingatkan dia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan. Menyarankan tujuan-tujuan pengganti mungkin merupakan alternatif cara membuat ambisi-ambisinya lebih realistik dan mudah mengatasinya apabila mengalami kegagalan.
Kebanyakan para siswa di sekolah menengah atas menginginkan menjadi pegawai negeri/pegawai kantor meskipun kenyataannya hanya sebagian kecil saja yang mencapai tujuan tersebut. Apabila ia menganggap remeh pekerjaan sebagai buruh, ini berarti bahwa anak-anak muda yang memasuki dunia kerja tersebut mungkin tidak mempunyai atau sedikit mempunyai kebanggaan terhadap apa yang mereka kerjakan. Kita para guru hendaknya dapat memberikan keyakinan kepada siswa bahwa semua pekerjaan adalah bermanfaat apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh, hati-hati, dan penuh tanggung jawab.
Jadi terdapat berbagai cara mengendalikan lingkungan untuk menjamin pembinaan pola emosi yang diinginkan clan menglulangkan.reaksi-reaksi emosional yang tidak diinginkan sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.

B. Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap
Dapatkah nilai-nilai hidup dipelajari? Kalau dapat dipelajari sebagai satu ilmu atau sebagai pengetahuan, apakah pengetahuan' tentang nilai¬nilai hidup itu dapat seketika membuat orang mau clan mampu bertindak/ bertingkah laku sesuai dengan apa yang diketahuinya?
Antara pengetahuan dan tindakan ternyata tidak selalu terjadi korelassi posit yang tinggi(Surakhmad,1980:9)> Proses pertumbuhan dan kelanjutan pengetahuan menuju bentuk sikap dan tingkah laku adalah proses kejiwaan yang musykil. Seorang individu yang pada waktu tertentu melakukan perbuatan tercela ternyata melakukannya tidak selalu karena ia tidak mengetahui bahwa perbuatan itu tercela, atau tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang nwdah dilihat clan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap mental yang tidak selalu mudah ditanggapi, kecuali secara tidak langsung, misalnya rnelalui ucapan atau perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut; bahkan secara tidak langsung pun ada kalanya cukup sulit untuk menarik kesimpulan yang teliti.
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan diuraikan pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral clan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku.
1. Pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral dan sikap serta pengaruhnya terhadap tingkah laku
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988: 5). Sopan santun, adat clan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebaga warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara. Apakah ia seorang petani atau All ruang angkasa apakah ia pria atau wanita, apakah ia pemirnpin dalam pemerintahan ataukah ia warga negara biasa, apakah ia beragarna Islam atau beragama lainnya; sebagai warga negara. Indonesia la harus berpedoman pada nilai-nilai tersebut, demikian halnya para remaja.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalarn sila kcinanusiaan yang adil clan bera.dab, antara lain:
1) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia,
2) Mengembangkan sikap tenggang rasa,
3) Tidak semena-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadi(an, clan sebagainya.

Bagaimana kaitannya antara nilai-nilai dan moral?
Moral adalah ajaran tenggang baik bunrk, perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban dan sehagainya (Purwadarminto, t957; 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik clan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Dalam kaitannya dengan pengamalan nilai-nilai hidup, maka rnorat merupakan kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai denga„ nilai-nilai hidup yang dimaksud. Misalnya dalam pengamalan nilai hiduh: tenggang rasa, dalam perilakunya seseorang akan selalu memperhatikan perasaan orang lain, tidak "semau gue". Dia dapat membedakan tindakan yang benar clan yang salah:
Nilai-nilai kehidupan sebagai norma dalam masyarakat senantiasa menyangkut persoalan antara baik dan buruk, jadi berkaitan dengan moral. Dalam hat ini aliran Psikoanalisis tidak membeda-bedakan antara moral, norma, dan nilai (Sarlito, 1991: 91). Semua konsep itu menunrt Prcucl menyatu dalam konsepnya tentang super ego. Super ego sendiri dalarn tcori Freud merupakan bagian dari jiwa yang berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku ego sehingga tidak bertentangan dengan masyarakat.
Sedangkan, menurut Gerungan, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi individu terhadap sesuatu hat (h4appiare, 1981 58). Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang. Dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperluat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderunban (predisposisi) tingkah lab. JAI sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkongan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian keterkaitan antara nilai, moral, sikap dan tingkal laku akan tampak dalam pengamalan nilai-nilai. Dengan kata lain nilai nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian dihayati dan didorong olcl moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut da pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yan dimaksud.

2. Karakteristik nilai, moral dan sikap remaja
Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun sa namun juga seperangkat nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasi misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai perikemanusiaan perikeadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik dan nilai-nilai intelektual, dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan rcmaja.
Sejauh mana remaja dapat mengamalkan nilai-nilai yang telah diinformasikan atau dicontohkan kepada mereka? Untuk keperluan ini perlu ditinjau perkembangan moral remaja.
Salah satu tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kenurdian bersedia membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial/ masyarakat tanpaterus dibimbing, diawasi, didorong dan diancam hukunran seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock - alih bahasa Istiwidayanti dan kawan¬kawan, 1980: 225) sebagai berikut:
1) Pandangan moral individu makin lama makin rnenjadi lebih abstrak.
2) Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan krrrang pada apa yang salah. Keadilan muncul sebagai kekuatan moral yang dominan.
3) Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani mengambil keputusan terhadap pelbagai masalah moral yang dihadapinya.
4) Penilaian moral menjadi kurang egosentris.
5) Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan emosi.
Menurut Eurter (1955) (dalam Monks, 1984: 252), keludupan moral merupakan problematik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulai dari waktu anak dilahirkan, untuk dapat memahami mengapa justru pada masa remaja hal tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dan hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohlberg mengemukakan enam tahap (stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada tiga tingkat perkembangan moral menumt Kohlberg, yaitu tingkat:
1. Prakonvensional
2. Konvensional
3. Post-konvensional
Masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap, sehingga keseluruhan ada enam tahapan (stadium) yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Tidak setiap orang mencapai tahap terakhir perkembangan moral.
Dalam stadium nol anak menganggap baik, apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Sesudah stadium ini datanglah tingkat I prakonvensional, yang terdiri dari stadium l dan 2.
Pada stadium I, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulk,rnnya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. la harus menumt atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2 berlaku prinsip Relativsitik-Hedonism. Pada tally ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang (hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan "mencuri" untuk memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral, meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada akibatnya, yaitu hukumnn

Tingkat II : Konvensional
Stadium 3 menyangkut orientasi mengenai anak yang baik Pada stadium ini, anak mulai memasuki umur belasan tahun, di mana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumher yang menentukan apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi "anak yang manis masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-aturan atau norm, norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.

Tingkat III : Pasca Konvensional
Stadium 5 merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial, dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya lingkungan sosial atau masyarakat akan mernberikan perlindungan kepadanya.
Originalitas rernaja juga tampak dalam hal ini. Pertama remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukurn umum yang lebih tinggi. Meskipun di sini kata hati sudah mulai berbicara, namun penilaian¬-penilaiannya masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul diinternalisassi, yang seringkali nampak dalam sikap yang kaku.
Stadium G. 'Tahap ini disebut Prinsip universal. Pada tahap ini ada ada norma etik di sarnping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik. Subjektivisrne ini berarti ada perbedaan penilaian antara seorang dengan orang lain. Dalam hal ini unsur etik akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan Moral Pasca Konvensional harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (19G5), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai ( Monk’ss, 1994: 257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya dan tingkah lakunya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap
Sama seperti perkembangan lainnya, maka perkembangan nilai, moral dan sikap dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Berdasarkan sejumlah hasil penelitian, perkembangan internalisasi nilai-nilai terjadi melalui identifikasi dengan orang-orang yang dianggapnya sebagai model. Bagi anak-anak usia 12 dan 16 tahun, gambaran-gambaran ideal yang diidentifikasi adalah orang-orang dewasa yang simpatik, teman¬-teman, orang-orang terkenal clan hal-hal yang ideal yang diciptakan sendiri.
Bagi para All psikoanalisis perkembangan moral dipandang sebagai proses internalisasi nonna-norma masyarakat dan dipandang sebagai kematangan dari sudut organik biologik. Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep super ego. Super ego dibentuk rnelalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang dat,rng dari luar (khususnya dari orang tua), sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dari dalarn diri sendiri. Karena itu, orang-ortrng yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan besar tidak mampu mengernbangkan super ego yang cukup kuat, sehingga mereka bisa menjadi orang yanp, scring melanggar nornra masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak-orang tua bukan satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sosiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri rnempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku manusia yang terkendali disebabkan oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang rnempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat pelanggar-pelanggarnya (Sarlito, 1992: 92).
Di dalam usaha membentuk tingkah iaku sebagai pencerminan nilai¬nilai hidup tertentu ternyata bahwa faktor lingkungan rnemegang peranan penting. DI antara segala unsur lingkungan sosial yang berpenganrh, yang, nampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai rertentu. Dalam hal Ini lingkungan sosial terdekat-yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pernhina Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup tertentu (kill moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yagn diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkernbangan moral terjadi dari aktivitas spontan pada anak-anak (Singgih, G. 1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khrrsuS di mana faktor pribadi, faktor si anak dalam membentuk aktivitas-aktivitav ikut berperan. Dalam perkembangan moral Kohlberg menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainka berlaku pada proses penalaran yang mendasarinya. Moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg, perkembangannya dipengaruhi oleh pcrkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh Piaget. Makin tinggi tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan f'iaget, makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
4. Perbedaan individual dalam perkembangan nilai, moral dan sikap
Pengertian moral dan nilai pada anak-anak umur sepuluh atau sebelas tahun berbeda dengan anak-anak yang lebih tua. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa diubah lagi (Kohlberg, 1963). Pengertian mengenal aspek moral pada anak-anak yang lebih besar, lebih lentur dan nisbi. la bisa rnenawar atau minta mengubah cesuatu aturan kalau disetujui oleh semua orang.
Untuk sebagian remaja serta orang dewasa yang penalarannya terhambat atau kurang berkembang, tahap perkembanaan moralnya ada pada tahap prakonvensional. Pada taliap ini seseorang helum benar-benar mengenal apalagi menerima aturan dan harapan masyarakat. Pada tingkatan yang paling awal, pedoman mereka hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan ba-i mereka yang dapat mencapai tingkat ke dua sudah ada pengertian bahwa untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga haruss memikirkan kepentingan orang lain.
Menunrt Kohlberg faktor kebudayaan mempengarulu perkembangan moral, terdapat berbagai rangsangan yang diterima oleh anak-anak dan ini mempengaruhi temp perkembangan moral. Bukan saja mengenai cepat atau lambatnya tahap-tahap perkembangan dicapai, melainkan juga mengenai batas tahap-tahap yang dapat dicapai. Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaan tertentu.
Dalam kenyataan sehari-hari selalu saja ada gradas dalam intensitas henghayatan clan pengamalan individu mengenai nilai-nilai tertentu, apapun nilai tersebut. Misalnya pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dihandingkan dengan sikap serta tingkah lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa, memungkinkan kita menempatkan individu dalam satu kontinum.
a. di ujung paling kiri kita kelompokkan individu yang harnpir-hampir atau sarna sekali tidak tahu tentang konsep dan nilai tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak secara benar ditinjau dari konsep tenggang rasa.
b. di ujung paling kanan terdapat individu yang baik pengetahuanmaupun tingkah lakunya mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat meyakinkan
Di antara dua ujung yang ekstrim ini, kita kelvmpvkkan individu_ individu yang memiliki berbagai tingkat hemahaman dan yang memperhatikan berbagai bentuk tingkah laku, sehingga garis kontirmm itu terisi seluruhnya. Dari kegiatan ini, dapat pula dipahami bahwa terdapat perbedaan-perbedaan individual dalam pemahaman nilai-nilai, dan Moral sebagai pendukung sikap dan perilakunya. Jadi mungkin terjadi individu atau rernaja yang tidak mencapai perkembangan nifai, moral dan sikap serta tingkah iaku yang diharapkan padanya.
5. Upaya mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja serta implikasinya dalam penyelenggaraan pendidikan
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai ludup terteniu adalah sebuah proses yang belum se(uruhnya dipahami oleh para All (Surakhmad, 1980: 17}. Apa yang terjadi di dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala clan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala serta tingkah laku seorang lain . DI antant proses kejiwaan yang SUN untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektuat, disusul oleh penghayatan nilai tersebut, dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di iuar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Karena itu ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak sernua individu mencapai iingkat perkernbangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembanl;kan nilai, moral dan sikap remaja adalafi:
a. Menciptakan komunikasi. Dalam konlunikasi didahrrlui dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral, Anak tidak pasti mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang hanrs bertingkah lakri sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikutsertakan remaja dalam beberapa pernbicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Di sekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, selungga dia belajar tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena ha! ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.
Kita mengetahui bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari memerlukan satu kesempatan untuk diterima dan diresapkan sebelrrm menjadi bagian integral dari tingkah laku seseorang. Dan kita ketalrui pula bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalarn konteks kehidupan bersama.
b. Menciptakan iklirn lingkungan yang serasi.
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan kemudan berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam iingkungan yang secara positif, jujur dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-rnata tetapijuga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri menrpakan penjelmaan yang konkrit dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor yang cukup luas dan sangat bervariasi, rnaka nampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan pembina yaitu orang tua, dan guru.
Para remaja sering bersikap kritis, menentang nilai-nilai clan dasar¬dasar hidup orang tua dan orang dewasa lainnya. Ini tidak berarti mengurangi kebutuhan mereka akan suatu sistem nilai yang tetap dan memberi rasa aman kepada remaja. Mereka tetap menginginkan suatu sistem nilai yang akan menjadi pegangan dan petunjuk bagi perilaku mereka. Karena itu orang tua clan guru serta orang dewasa lainnya perlu memberi model-model atau contoh perilaku yang rtierupakan penvujudan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Untuk remaja moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini juga untuk menumbuhkanidentitas dirinya, menuju kepribadianyang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.
Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga menyatu tingkah laku baik buruk, sehingga secara psikologik termasuk dalam vinal.
Akhirnya perlu juga diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak bersifat mengajak, mengundang, atau memberi kesempatan, akan lebih efektif dari pada lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan peraturan-peraturan yang serba membatasi.







TUGAS PERKEMBANGAN KEHIDUPAN PRIBADI, PENDIDIKAN DAN KARIER, DAN KEHIDUPAN BERKELUARGA
Setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat memahami \ tugas perkembangan remaja berkenaan dengan:
1) Kehidupan pribadi sebagai individu,
2) Kehidupan pendidikan dan kehidupan karier, dan
3) Kehidupan berkeluarga.

A. Perkembangan Kehidupnn Pribadi sebagai Individu
1. Pengertian kehidupan pribadi dan karakteristiknya
Kehidupan pribadi sukar untuk dirumuskan, ia amat kompleks dan baik. Pada hakikatnya manusia mewpakan pribadi yang utuh dan memiliki i(at-sifat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dalam cdudukannya sebasai makhluk individu, seseorang menyadari bahwa lalam kehidupannya memiliki kebutuhan yang diperuntukkan bagi ;epentingan diri pribadi, balk fisik maupun nonfisik. Kebutuhan diri mbadi tersebut meliputi kebutuhan fisik dan kebutuhan sosio-psikologis. Main pertumbuhan fisiknya, manusia memerlukan kekuatan dan daya ahan tubuh serta perlindungan keamanan fisiknya. Kondisi fisik amat venting dalam perkembangan dan pembentukan pribadi seseorang.
Kehidupan pribadi seseorang individu merupakan kehidupan yang rtuh dan lengkap dan memiliki ciri khusus dan unik. Kehidupan pribadi xseorang menyangkut berbagai aspek, antara lain aspek emosional, sosial paikologis dan sosial budaya, dan kemampuan intelektual yang terpadu mcara integratif dengan faktor lingkungan kehidupan. Pada awal kehidupannya dalam rangka menuju pola kehidupan pribadi yang lebih wantap, seorang individu berupaya untuk mampu mandiri, dalam arti mampu mengurus diri sendiri sampai dengan mengatur dan memenuhi tebutuhan serta tugasnya sehari-hari. Untuk itu diperlukan penguasaan situasi untuk menghadapi berbagai rangsangan yang dapat mengganggu kestabilan pribadinya.
Kekhususan kehidupan pribadi bermakna bahwa segala kebutuhan dirinya mernerlukan pemenuhan dan terkait dengan masalah-masalah yang tidak dapat disamakan dengan individu yang fain. Ofeh karenanya setiap pribadi akan dengan sendirinya menampakkan ciri yang khas yang berbecta dengan pribadi yang lain. Di samping itu datam kehidupan ini diperlukan keserasian antara kebutuhan fisik clan nonfisiknya. Kebutuhan fisik tiap orang perlu pemenuhan, misalnya seseorang perlu bernafas dengan Iega, perlu makan enak clan cukup, perlu kenikmatan, dan perlu keamanan. Berkaitan dengan aspek sosio-psikologis, setiap pribadi membutuhkan kemampuan untuk menguasai sikap dan emosinya serta sarana konuwikasi untuk bersosiafisasi. Hat itu semua akan nampak secara utuh dan lengkap dalam bentuk perifaku clan perbuatan yang mantap. Dengan demikian masalah kehidupan pribadi merupakan bentuk integrasi antara faktor fisik, sosial budaya, dan faktor psikologis. Di samping itu seorang individu juga membutuhkan pengakuan dari pihak lain tentang harga dirinya, baik dari keluarganya sendiri maupun dari fuar ketuarganya. Tiap orang mempunyai harga diri dan berkeinginan untuk sefalu mempertahankan harga ctiri tersebut.


2. Faklor-faklor yang mempengaruhi perkembangan pribadi
Perkembangan pribadi menyangkut perkembangan berbagai aspek, yang akan ditunjukkan daiam bentuk perilaku. t'erilaku seseorang yang menggambarkan perpaduan berbagai aspek itu terbentuk di dalam lingkungan. Sebagaimana diketahui, lingkungan tempat anak berkembang sangat kompleks:
Seseorang individu pertama tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga. Sesuai dengan tugas keluarga dalam melaksanakan misinya sebagai penyelenggara pendidikan yang bertanggung jawab, mengutamakan pembentukan pribadi anak. Dengan demikian faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pribadi anak adalah kehidupan keluarga beserta berbagai aspeknya. Seperti telah diuraikan dibagian terdahulu, perkembangan anak yang menyangkut perkembangan psiko-tisis, dipengaruhi oleh status sosial ekonomi, filsafat hidup keluarga, dan pola hidup keluarga seperti kedisiplinan, kepedulian terhadap kesehatan, clan ketertiban termasuk ketertiban menjalankan ajaran agama.
Balm perkembangan kehidupan seseorang ditentukan pula oleh taktor keturunan dan linskungan. Aliran nativisme menyatakan bahwa seorang individu akan menjadi "orang" sebagaimana adanya yang telah ditentukan oleh kemapuan dan sifatnya yang dibawa sejak ia dilalurkan. Sedang aliran empirisme mengatakan sebaliknya bahwa seorana individu diibaratkan sebagai kertas lilin yang masih putih bersih. la akan menjadi "rnanusia" seperti yang dikehendaki ofeh lingkungan. Kedua aliran itu mcnggambarkan bahwa faktor bakat dan pengaruh lingkungan sama-sama mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadinya. Pengaruh-pengaruh itu akan terpadu bersama-sama saling memberi andil menjadikan manusia sebagai manusia": Aliran yang mengakui bahwa kedua aliran itu secara terpadu memberikan pengaruh terhadap kehidupan se.seoranc; adalah aliran konvergensi. Indonesia menganut aliran ini, sepcrti dinyatakan oleln Ki f-lajar Dewantara proses pendidikan yaitu ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
3. Perbedaan individu dalam perkembangan pribadi
Lingkungan kehidupan sosia! budaya yang menipenkaruhi perkembangan pribadi seseorang amatlah kompleks dan heterogen. Balk lin'Aungan alami maupun lingkungan yang diciptakan untuk maksud pembentukan pribadi anak-anak dan remaja, masing-masing memiliki cm yang berbeda-beda. Oleh karena itu secara singkat dapat dikatakan hahwa perkembangan pribadi setiap individu berbeda-beda pula sesuai dengan lingkungan ditnana mereka dibesarkan.
Dua orang anak yang dibesarkan di dalam satu keluarea akan menunjukkan sifat pribadi yang berbeda, karena hal itu ditentukan oleh ba,aimana mereka masing-masing berinteraksi dan mengintegrasikan dirinya dengan lingkungannya.

4. Pengaruh perkembangan kehidupan pribadi terhadap tingkah laku
Kehidupan merupakan rangkaian yang berkesinambungan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Keadaan kehidupan sekarang dipengaruhi oleh keadaan sebelumnya, dan keadaan yang akan datang banyak ditentukan oleh keadaan kehidupan saat ini. Dengan demikian tingkah laku seseorang juga dipengaruhi oleh hasil proses perkembangan kehidupan sebelumnya dan dafam perjalannya berintegrasi dengan kejadian-kejadian saat sekarang.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika sejak awal perkernbangan kehidupan pribadi terbentuk secara terpadu dan harmonis, maka dapat diharapkan tingkah laku yang merupakan pengejawantahan berbagai aapek pribadi itu akan baik. Kehidupan pribadi yang mantap memungkinkan seorang anak akan berperilaku mantap, yaitu: marnpu menghadapi ctan memecahkan berbagai permasalahan dengan pengendalian emosi secara matang, tertip, disiplin, dan penuh tanggung jawab.

5. Upaya pengembangan kehidupan pribadi
Kehidupan pribadi yang merupakan rangkain proses pertumbulran dan perkembangan, perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu perlu dilakukan pembiasaan dalam hal:
a. Hidup sehat dan teratur serta pemanfaatan waktu secara baik. Pengenalan dan pemahaman nitai dan moral yang berlaku di daiam keliidupan perlu ditanamkan secara benar.
b. Mengerjakan tugas dan pekerjaan praktis sehari-hari secara mencari dengan penuh tanggung jawab.
c. Hidup bermasyarakat dengan melakukan pergaulan dengan sesama, terutama dengan teman sebaya. Menunjukkan gaya dan pola kehidupan yang baik sesuai dengan kultur yang balk dan dianut oleh masyarakat.
d. Cara-cara pemecahan masalah yang dihadapi. Menunjukkan dan melatih cara merespon berbagai masalah yang dihadapi.
e. Mengikuti aturan kehidupan keluarga dengan penuh tanggung jawab dan disiplin,
f. Melakukan peran dan tanggung jawab dalam keludupan berkeluarga. Di dalam keluarga perlu dikembangkan sikap menghargai orang lain dan keteladanan.
Di samping perlu diciptakan suasana keteladanan oleh pihak-piliak yang berwewenang, seperti orang tua di dalam keluarga, guru di sekolah, tokoh masyarakat dalam kehidupan sosial. Dalarn suasana ini yang periu ditonjolkan antara lain adafah sifat sportif dan kejujuran, berjuang keras dengan berpegang pada prinsip yang maton.

B. Perkembangan Kehidupan Pendidikan dan Karier
1. Pengertian kehidupan pendidikan dan karier
Mengapa manusia belajar clan bekerja? Pada hakikatnya manusia selalu ingin tahu, dengan demikian ia (mereka) selatu berupaya mengejar pengetahuan. Atas dasar hakikat inilah maka manusia senantiasa terus I'rndic belajar, mencari tahu banyak hal. Banyak bangsa yang mengikuti prinsip hidup pendidikan (belajar) seumur hidup, yang artinya adalah manusia itu senantiasa terus belajar sepanjang hayatnya.
Kehidupan pendidikan merupakan pengalaman proses belajar yang dihayati sepanjang ludupnya, baik di dalam jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah. Berkaitan dengan perkembangan peserta didik, kehidupan pendidikan yang dimaksud baik yang dialami oleh remaja sebagai peserta didik di dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan atau kehidupan masyarakat. Sedang kehidupan karier merupal:an pengalaman seseorang di dafam dunia kerja. Seperti dikatakan oleh Garrison (1956) bahwa setiap tahun di dunia ini terdapat jutaan pemuda dan pemudi memasuki dunia kerja. Peristiwa seseorang remaja rnasuk ke dunia kerja itu merupakan awal pengalamannya dalam kehidupan berkarya (berkarier). Pada hakikatnya keludupan anak (remaja) di dalam pendidikan merupakan awal kehidupan kariernya. Baik di dalarn kelridupan pendidikan maupun kehidupan karier, para remaja memperoleh pengalaman yang menggambarkan adanya pasang surut.

2. Karakteristik kehidupan pendidikan dan karier
Belajar itu akan lebih berhasil apabila sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Cita-cita tentangjenis pekerjaan di masa yang akan datang merupakan faktor penting yang mempengaruhi minat clan kebutuhan untuk belajar. Pada usia remaja, tetah mulai jelas terbentuknya cita-cita yang ideal untuk menetapkan pola kehidupannya di masa datang, setelah dewasa nanti. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa remaja telah memiliki minat yang jelas terhadapjenis pekerjaan tertentu. Untuk itu remaja secara sadar telah mengetahui pula bahwa untuk mencapai jenis pekerjaan yang diidamkan itu memerlukan sarana pengetahuan clan keterampilan tertentu yang hanrs dimiliki. Pada dasarnya belajar atau mengikuti pendidikan tertentu mewpakan persiapan baginya untuk SUM pekerjaan. Inilah yang mernbimbing remaja menentukan pilihan jenis pendidikan yang akan diikuti.
Anak masuk SLTP pada usia 13-14 tahun atau pada usia awal remaja t. Mereka mulai mengenal sistem baru dalam sekolah, antara lain perkenalan dengan banyak guru yang memiiiki berbagai macam sifat dan kepribadian. Hal ini menunjukkan perlunya kemampuan untuk menyesuaian diri terhadap situasi yang beragam. Begitu pula anak mulai mengenal berbagai mata pelajaran yang harus dipelajari dengan berbagai karateristiknya. Di SLTP belum ada masalah pemilihan jurusan, tetapi untuk tingkat SLTA, saat anak berusia sekitar 15 - 18 tahun, pemilihan jurusan itu telah pula diperkenalkan.
Di samping pengenalan terhadap sistem pendidikan, para remaja tersebut memiliki teman sejawat yang semakin luas lingkungannya dan ia mulai mengenat anak lain dengan berbagai macam latar belakang keadaan keluarga. Dengan kata lain ia (mereka) mengenal dan memiliki masyarakat baru, yang merupakan masyarakat sekolah atau teman sebaya. Dengan demikian mereka memiliki tiga lingkungan pendidikan yang pola dan karakteristiknya berbeda-beda. Remaja memiliki tiga lingkungan kehidupan, yang ketiga-tiganya mempunyai corak yang berbeda-beda serta masing- masing memikul tanggung jawab dalam penyelenggaraan penyelidikan. Ketiga lingkungan pendidikan itu ialah keluarga, sekolah, dan masyarakat. Undang-Undang no. 2 th. 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan hal itu. Dengan demikian setiap remaja berada pada posisi pendidikan yang majemuk, ia berada di lingkungan kehidupan pendidikan keluarga, kehidupan pendidikan masyarakat, dan kehidupan pendidikan sekolah yang diikutinya. Masing-masing lingkungankehidupanpendidikan tidak selalu sama dasar dan tujuannya. Oleh karena itu remaja seperti "ditantang" untuk mampu mengatasi problema keanekaragaman tersebut dan mampu menempatkan dirinya dengan tepat dan harmonis.
a. Lingkungan pendidikan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak-anak dan remaja. Pendidikan keluarga lebih menekankan pada aspek moral atau pembentukan kepribadian daripada pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan. Dasar dan tujuan penyeienggaraan pendidikan keluarga bersifat individual, sesuai dengan pandangan hidup keluarga masing-masing, sekalipun secara nasional bagi keluarga-keluarga bangsa Indonesia memiliki dasar yang sama, yaitu Pancasila. Ada keluarga dalam mendidik anaknya mendasarkan pada kaidah-kaidah agama dan menekankan proses pendidikan pada pendidikan agama dengan tujuln untuk menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang soleh dan senantiasa taqwa dan Man kepada Tuhan Yang Mahaesa. Ada pula keluarga yang dasar dan tujuan penyelenggaraan pendidikannya berorientasi kepada kehidupan sosial ekonomi kemasyarakatandengan tujuan untuk menjadikan anak-anaknya menjadi orang yang produktif dan bermanfaat dalam kehidupan hermasyarakat.
Anak dan remaja di dalam keluarga berkedudukan sebagai anak didik dan orang tua sebagai pendidiknya. Banyak corak dan pola penyelenggaraan pcndidikan keluarga, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tisa kelompok pola pendidikan, yaitu pendidikan otoriter, pendidikan demokratis, dan pendidikan liberal. Dalam pendidikan yang bercora - otcrrter, anak-anak senantiasa harus mengikuti apa yang tefah digariskan oieh orang tuanya, selang pada pendidikan yang bercorak liberal anak¬anak dibebaskan untuk menentukan tujuan dan cita-citanya. Kebanyakan keluarga di Indonesia mengikuti corak pendidikan yang demokratis. Makna pendidikan yang demokratis itu oleh Ki Najar Dewantara dinyatakan hahwa penyelenggaraan pendidikan itu hendaknya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa tut wuri handayani, yang artinya: di depan memberi contoh, di tengah membimbingdandi belakang memberi semangat.

b. Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan alami kedua yang dikenal anak¬anak. Ailak remaja telah banyak mengenal karakteristik masyarakat dengan herbagai norma dan keraganrmnya. Kondisi masyarakat yang amat ragam tentu banyak hai yang harus diperhatikan dan diikuti oleh anggota wasyarakat, dan dengan demikian para remaja perlu rnemahami hal itu. Tidak jarang para remaja herbeda pandangan dengan para orang tua, cehingga norma clan perilaku remaja dianggap tidak sesuai dengan norma masyarakat yang sedang berlaku. Hal ini tentu saja akan berdampak pada pembentukan pribadi remaja. Perbedaan ini dapat mendorong para remaja untuk membentuk kelompeak-kelompok sebaya yang memiliki kesamaan pandangan.
Di balik itu di dalam masyarakat terdapat tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh kuat terhadap polahidup masyarakatnya. Namun hal itu terkadang . tidak marnpu mempengawhi kehidupan remaja, akibatnya para rernaja kadang-kadang melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan masyarakat, atau para remaja dengan sengaja menghindar dari aturan dan ketentuan mesyarakat.
Dalam rnenjalankan fungsi pendidikan, masyarakat hanyak menrbentuk/ mendirikan kelompok-kelornpak atau paguyuban-paguyuban atau kursus-kursus yang secara sengaja disediakan untuk anak remaja dalam upaya mempersiapkan hidupnya di kemudian hari. Kursus-kursus yang dimaksud pada unrunrnya berorientasi kepada dunia kerja. Namun, sekali lagi, banyak kelompok kegiatan atau kursus-kursus yang dibangun nrasyarakat tersebut kurang menarik remaja; oleh para remaja apa yang disediakan itu dinilainya tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Kondisi semacam itu banyak merangsang berpikir remaja, yang responnya belum tentu positif. Banyak kelompok yang membayangkan masa depannya suram, dan mereka membentuk kelompok yang diberi nama "Madesu"
c. Sekolah
Sekolah merupakan lingkungan artitisial, yang sengaja diciptak.rn untuk membina anak-anak ke arah tujuan tertentu, klursusnya untuk memberikan kenrampuan dan keterampilan sebagai bekal kehidupannya di kemudian hari. Bagi para remaja pendidikan jalur sekolah yang diikutinya adalah jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Di mata remaja sekolah dipandang sebagai lembaga yang cukup berpengaruil terhadap terbentuknya konsep yang berkenaan denSan nasib mereka di kemudian hari. Mereka menyadari jika prestasi atau hasil yang dicari di sekolah itu balk, hal itu akan membuka kemungkinan hidupnya di kemudian hari menjadi cerah, tetapi sebaliknya apabila prestasi yang dicapainya kurang baik, hal itu dapatberakibat gelapnya masa depan mereka. Kegagalan sekolah dipandangnya sebagai awal kegagalan hidupnya. Dengan denlikian sekolah dipandang banyak mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu remaja telah memikirkan benar-benar dalam memilih dan mendapatkan sekolah yang diperkirakan mampu memberikan peluang baik baginya di kemudian hari. Pandangan ini didasari oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, faktor sosial dan harga diri (status dalam masyarakat). Akan tetapi, dalanl rnenentukan pilihan sekolah bagi anaknya amat, banyak terjadi campur tangan orang tua terlalu besar. Hal itu sering membawa akibat kegagalan dalampendidikan sekolah, karena anak terpaksa mengikuti pelajaran yang tidak sesuai dengan pilihan dan minatnya.
Dunia pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, menyediakan berbagai jenis program yang diperkirakan relevan dengan kebutuhan jenis tenaga kerja di masyarakat. Untuk menetapkan pilihan jenis pendidikan dan pekerjaan yang diidamkan banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Faktor prediksi masa depan, faktor prestasi yang menggambarkan bakat dan minatnya, faktor kehidupan yang dapat diamati dari kondisi beragamnya lapangan keqa di masyarakat; dan kemampuan daya saing setiap individu. Mereka belum mampu melihat problema yang begitu kompleks, oleh karena itu pada umumnya mereka melihat keberhasilan seseorang yang berada di lingkungan hidupnya sehari-hari. Orangyang dinilainya"berhasil" itu mereka jadikan idola, dan ia menyiapkan dirinya untuk menjadi "seperti orang itu".

3. Faktor-faktor yng mempengaruhi perkembangan kehidupan pendidikan dan karier
a. Faktor sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi keluarga banyak menentukan perkembangan keludupan pendidikan dan karieranak. Kondisi sosialyang menggarnbarkan status orang tua merupakan faktor yang "dilihat" oleh anak untuk menentukan pilihan sekolah dan pekerjaan. Secara tidak langsung keberhasilan orang tuanya merupakan "beban" bagi anak, sehingga dalarn menentukan pilihan pendidikan tersirat untuk ikut memperthankan kedudukan orang tuanya. Di samping ito secara eksplisit orang tua menyapaikan harapan hidup anaknya yang tercermin pada dorongan untuk memilih jenis sekolah atau pendidikan yang diidamkan oleh orang tua. Umpamanya orang tua rnenginginkan anaknya menjadi dokter atau menjadi ahli teknik atau insinyur.
Faktor ekonomi mencakup kemampuan ekonomi orang tua dan kondisi ekonomi negara (masyarakat). Yang pertama merupakan kondisi utama, karena menyangkut kemampuan orang tua dalam membiayai pendidikan anaknya. Banyak anak berkemampuan intelektual tinggi tidak dapat rnenikmati pendidikan yang baik, disebabkan oleh keterbatasan kemampuan ekonomi orang tuanya.
b. Faktor lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini meliputi tiga macam. Pertama, lingkungan kehidupan masyarakat, seperti lingkungan masyarakat perindustrian, pertanian, atau lingkungan perdagangan. Dikenal pula lingkungan masyarakat akademik atau lingkungan yang para anggota masyarakatnya pada umumnya terpelajar atau terdidik. Lingkungan kehiduapan semacam itu akan membentuk sikap anak dalam menentukan pola kehidupan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi pemikirannya dalam menentukan jenis pendidikan dan karier yang diidamkan. Kedua, lingkungan kehidupanrumahtangga, kondisi sekolah merupakan lingkungan yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan pendidikan dan cila-cita karier remaja. Lembaga pendidikan atau sekolah yang baik mutunya, yang mamelihara kedisiplinan cukup tinggi, akan sang at berpengaruh terliadap pembentukan sikap dan perilaku kehidupan pendidikan anak dan pola pikirnya dalam menghadapi karier.
Ketiga, lingkungan kehidupan teman sebaya. Bahwa pergaulan teman sebayaakan memberikanpengaruh langsung terhadap kehidupan pendidikan masing-masing remaja. Lingkungan teman sebaya akan memberikan peluang bagi remaja (laki-laki atau wanita) untuk menjadi lebih matang. Di dalam kelompok sebaya berkesempatan seorang gadis untuk menjadi seorang wanita dan perjaka untuk manjadi seorang laki-laki serta belajar mandiri sesuai dengan kodratnya.
c. Faktor pandangan hidup
Pandangan hidup itu sendiri merupakan bagian yang terbentuk karena lingkungan. Pengejawantahan pandangan hidup tampak pada pendirian seseorang, terutama dalam menyatakan cita-cita hidupnya. Seseoray dalam memilih lembaga pendidikan dipengarnhi oleh kondisi keluarga yang melatarbelakangi. Remaja yang berasal dari kalangan keluarga urang umumnya bercita-cita untuk dl kemudian hari menjadi oranc; yang berkecukupan (kaya), dan dengan demikian dalam memilih jenis pendidikan berorientasi kepada jenis pendidikan yang dapat mendatangkan banyak uang, umpamanya dokter, ekonomi, dan ahli teknik.


4. Pengaruh perkembangan kehidupan pendidikarr dan karier terhadap tingkah laku dan ,sikap
Pada jenjang pendidikan dasar yang kurikulumnya masih sangat umum, sekolah tersebut menyediakan pelajaran dasar yang belum berma kna sebagai pembekalan anak-anak untuk slap bekerja dan belum terarah kepemberian keterampilan tertentu untuk terjun ke dunia kerja di dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan pandangan yang bermacam-macam bagi para remaja beserta orang tua mereka, terutama bagi keluarga yang kurang mampu. Banyak pandangan yang menyatakan bahwa sekolah itu kurang membawa manfaat bagi hidupnya, mereka (golongan yang sosial ekonominya lemah) memandang bahwa sekolah tidak dapat memberikan pekerjaan baginya. Ha! ini akan mempengaruhi sekali sikap mereka terhadap pendidikan sekolah tersebut.
Sikap remaja terhadap pendidikan sekolahbanyak diwarnai oleh karakteristik guru yang mengajarnya. Guru yang "baik" di mata para siswa tidak hanya ergantung kepada keadaan guru itu sendiri, melainkan tergantung pada banyak faktor. Guru yang baik itu adalah guru yang akrap dengan siswanya dan menolong siswa dalam ha( pelajaran. Hal ini sering disalahartikan, karena "menolong atau membantu" disamakan dengan memberikan nitai tinggi atau meluluskan. Pada hal sekolah, dalam hal ini para guru, memberikan bimbingan dan menilai atas dasar objektivitas yang tidak disertai faktor ernosional. Sekolah bermaksud untuk mampu memberikan kepada para peserta didik "apa yang sesuai dengan kebutuhannya clan keadaannya".


5. Perbedaan individu dalam perkembangan pendidikan dan karier
Sebagaimana diuraikan di bagian lain, tentang perkembangan inte{ek, bahwa pencapaian tingkat pendidikan dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan atau IQ. Dalam kenyataannya IQ setiap berbeda-beda, maka hal itu akan berpengaruh terhadap pofa kehidupannya di dalam bidang pendidikan. Dengan demikian kehidupan pendidikan akan sangat bervariasi atau berbeda-beda seiring dengan perbedaan kernampuan berpikir atau IQ.
Berhubungan kehidupan pendidikan merupakan bagian awal dari kehidupan karier, maka dengan perbedaan kehidupan pendidikan tersebut konsekuensinya akan membawa perbedaan individual di dalam kehidupan kariernya. Kehidupan karier seseorang juga berbeda-beda.

6. Upaya pengembangan kehidupan pendidikan dan karier
Menghadapi tiga lingkungan pendidikan yang berbeda-beda, dapat menyebabkan peserta didik mengalami kebingungan untuk mengikutinya. Pertentangan dan atau perbedaan norma antara masing-masing lingkungan amat besar kemungkinannya akan terjadi. Untuk itu hubungan antara ketiga pelaksanapendidikan itu satu sama lain harus mengadakan pendekatan untuk mencapai keharmonisan program.
Orang tua perlu memahami kemajuan pendidikan baik di sekolah maupun di luar sekolah dan di luar keluarga. Hal ini amat tinggi nilainya, karena dengan norma dan ketentuan yang tidak terlalu jauh berbeda antara rumah, sekolah, dan masyarakat dapat dicapai.
Salah satu perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak adalah bahwa orang dewasa kegiatan yang dilakukan lebih berorientasi kepada kerja¬kerja produktif, sedang anak-anak masih diwarnai unsur bermain. Remaja beradadi antaranya, artinyakegiatan kerjayang dilakukan belum sepenuhnya untuk maksud-maksud produktif, ia (mereka) kadang-kadang berpikir tentang kerja, yang umumnya sebagai pekerja sambilan (part-timer worker) dan kadang-kadang perhatiannya sama sekali tidak pad a pekerjaan. Itemaja yang usianya berkisar 13 s.d 19 tahun di dunia karier relatif masih muda clan pada posisi awal. Untuk itu maka perlu dibedakan karier remaja awal, yang karena kondisinya pada usia 13 -l6 tahun harus masuk ke dunia kcrja. Mereka masih banyak menghadapi masalah, balk masalah fisik maupun psikologis. Secara fisik remaja belum siap untuk kerja, tetapi bagi anak tertentu bekerja di usia muda itu merupakan "keterpaksaan". Secara psikologis merekabelurn siap mental, belumdapat secara penuh bertanggung jawab, masih sangat emosionat, dan belum mandiri. Di dunia kerja remaja tersebut mengahadapi kondisi dilematis, antara bermain dan bekerja.
Remaja yang berusia 16 tahun atau lebih, yang secara hukum telall dibenarkan untuk bekerja teiah didukung kesiapan fisik dan mental. Otot¬ototnya telah cukup kuat untuk pekerjaan yang memerlukan daya tahan tertentu, dan kondisi mentalnya pun telah mampu menyesuaikan terhadap hal-hal yang menurutnya perlu diikuti dan diterima.
Proses pemilihan kerja sebenarnya telah berlangsung sejak dini, di saat anak itu menetapkan pilihan sekolah. Para remaja telah berkemampuan untuk menarik keputusan, sekalipun dasar pertimbangan yang digunakan belum cukup luas, terutama yang berkaitan dengan pandangan masa depan yang belum mantap. Oleh karenanya mereka masih memerlukan arahan atau bimbingan orang tua atau pembimbing. Banyak faktor yang digunakan dasar untuk menentukan pilihan pekerjaan, antara lain adalah: minat clan kemampuan, jenis kelamin, latar belakang orang tua dan kondisi sosial ekonominya, dan jenis pekerjaan itu sendiri. Secara biologis pada usia remaja telah siap untuk melakukan pekerjaan, atau dengan kata lain telah siap untuk bekerja. Secara hukum, usia remaja yaitu antara 16 - 19 tahun telah dibenarkan untuk melakukan pekerjaan. Secara psikologis pun para remaja telah cukup mampu untuk memikul tanggung jawab dan hidup mandiri dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi di balik itu diakui bahwa tidak semua remaja telah siap menghadapi kondisi masyarakat yang terus berkembang. Akibatnya mereka belum memiliki konsep kehidupan masa depan, oleh karenanya tidak sedikit remaja menjadi bingung berkenaan dengan kehidupan di masa depan. Hal ini akan berakibat bahwa mereka tampak tidak memiliki pendirian, mengalami kesulitan memililt jenis pekerjaan, dan banyak rnengikuti serta tergantung kepada kelompok, ia berpedoman kepada "apa kata temannya". Pedoman dan pendiriannya itu mcnggambarkan bahwa mereka belum siap untuk memasuki kehidupan masa depan.

a. Perkembangan karier remaja
Dalam arti sempit, pendidikan merupakan persiapan menuju suatu karier, sedangkan dalam arti luas pendidikan itu merupakan bagian dari proses perkembaogan karier remaja. Remaja, yang dilihat dari segi usia mencakup 12 - 21 tahun, menurut Ginzberg (Alexander, dkk., 1980) perkembangan kariernya telah sampai pada periode pilihan tentatif dan sebagaian periode pilihan realistis, sedangkan menurut Super (Alexander, dkk., 1980) perkembangan karier anak remaja itu berada pada tahap eksplorasi, terutama sub-tahap tentatifdan sebagian dari sub-tahap transisi. Melihat bahwa dua teori yang dikemukakan oleh dua penulis itu hampir sama, maka di sini akan diuraikan salah satu di antaranya, yaitu teori yang dikemukakan ole h Ginzberg.
Perkembangan karier remaja yang menurut Ginzberg ada pada periode pilihart tentatif ( l tahun-17 tahun) itu ditandai oleh me(uasnya pengenalan anak tcrhadap berbagai masalah dalam memutuskan pekerjaan apa yang akan (Iikerjakannya dl masa mendatang. Periode tentatif ini meliputi 4 (empat) tahapan, yaitu:

1) Tahap Minat (umur 11-12 tahun).
Remaja sudah mulai mempunyai rencana dan kemungkinan pilihan karier yang didasarkan pada minat. Anak belajar tentang apa yang ia suka lakukan, clan anak melakukan pill han-pilihan secara tentatif atas dasar faktor-faktor subjektif; belum didasarkan atas pertimbangan--pertimbangan objektif.

2) Tahap Kapasitas (12-14 tahun).
Remaja mulai menggunakan keterampilan dan kemampuan pribadinya sebagai pertimbangan dalam melakukan pilihan dan rencana-reneana karier. Remaja mulai menilai kemampuannya berperanan balk dalam bidang-bidang pendidikan dan pekerjaan yang diminati. Kecenderungan mengidentikkan dengan ayah berkurang, sebaiknya remaja makin cenderung mengidentikkan dengan orang lain yang menjadi idolanya.

3) Tahap Nilai (15-16 tahun).
Dalam tahap ini remaja telah menganggap penting peranan nilai-nilai pribadi dalam proses piiihan karier. Anak mulai melihat apa yang sesungguhnya penting bagi dirinya, tahu perbedaan konsepsi tentang berbagai gaya hidup yang disiapkan oleh pekerjaan, kesadaran tentang pentingan waktu mutai berkembang dan menjadi Iebih sensitif terha¬dap pertunya pekerjaan.

4) Tahap Transisi (17-18 tahun).
Dalam tahap transisi ini remaja mulai bergerak dari pertimbangan¬pertimbangan realistis yang masih berada di pinggir kesadaran ke dalam posisi yang tebih sentral. Pada tahap anak mulai menghadapi perlunya membuat keputusan dengan segera, konkret, dan realistis tentang pekerjaan yang akan datang atau pendidikan yang mempersiapkannya ke suatu pekerjaan tertentu nanti. Anak makin bebas bertindak sehingga memungkinkan la melakukan uji coba keterampilan dan bakat-bakatnya.
Dalam periode pilihan realistis (17/18 - dan yang lebih tua) remaja akan telah sampai pada tahap eksplorasi, yaitu mencari berbagai alternatif pekerjaan yang cocok, dan tahap kristalisasi yaitu melakukan pilihan karier. Tetapi tahap spesifikasi yang merupakan tugas perkembangan akhir dalam pilihan karier seseorang, di mana seseorang telah memiliki suatu pekerjaan yang relatif tetap berusaha untuk memilih tugas-tugas tertentu atau posisi-posisi spesifik tentunya belurii merupakan bagian dari perkembangan karier remaja.

b. Masalah yang dihadapi
Dalam proses perkembangan karier itu sering remaja mengalami berbagai masalah dan hambatan. Masalah dan hambatan-hambatan itu dapt berasat dari dalam dirinya sendiri, dari luar dirinya atau lingkungannya, ataupun kedua-duanya. Masalah yang berasat dari dalam dirinya antara lain sering terjadi bahwa minat remaja tidak sesuai dengan kemampuannya. Anak yang ingin manjadi dokter tetapr emampuannya dalam mata pelajaran IPA, biologi, dan kimia rendah. Masalah yang berasal dari luar atau lingkungannya antara lain sering terjadi orang tua menghendaki atau memaksa anaknya untuk memilihjurusan pendidikan yang mempersiapkan pada pekerjaan tertentu tetapi tidak sesuai dengan kemampuan anak. Orang tua akan bangga kalau anaknya akan menjadi insinyur atau sarjana teknik, tetapi prestasi belajar anaknya dalam mata pelajaran matematika dan fisika rendah. Yang lebih parah lagi kalau terjadi pilihan anak dan pilihan orang tua tidak saling mendukung, maka anak mengahadapi konflik yang lebih serius lagi alam memilih karier. Oleh karena itu untuk menghadapi remaja yang mengalami masalah atau kesulitan dalam memilih kar-ier, Shertzer (Alexander, dkk., 1980) menyarankan hal-hal berikut.
1) Pelajari dirimu sendiri, k arena kesadaran did tentangbakat, kemamprran dan ciri-ciri pribadi yang dia miliki merupakan kunci dari ketepatan perencanaan karier.
2) Di bidang apa kamu merasa paling sreg (con fortahle).
3) Tulislah rencana clan cita-citamu secara formal.
4) Biasakan dirimu dengan tuntutan pekerjaan tertentu yang kamu nninati.
5) Tinjau clan bicarakan lagi rencana kariermu itu dengan oramg lain.
6) Jika ternyata pilihan kariermu tidak cocok, hentikan.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia, remaja dapat dibantu dalam mengatasi masalah perkemhangan clan pilihan karier melalui kegiatarr layanan bimbingan karier di SLTP dan SLTA. Layanan bimbingan karier itu dilakukan melalui kegiatan-kegiatan :
a) Pemahaman did: bakat, kemampuan, minat, keterampilan dan ciri-ciri pribadi.
b) Pemahaman lingkungan: lingkungan pendidikan dan lingkungan pekerjaan serta berbagai kondisinya.
c) Cara-cara mengatasi masalah clan hambatan dalam perencanaan dan pemilihan karier sehubungan dengan kemungkinan keterbatasan lingkungan clan keadaan diri.
d) Perencanaan masa depan.
e) Usaha penyaluran, penempatan, pengaturan clan penyesuaian.






C. Tugas Perkkembangann Remaja berkenaan dengan Kehidupan Berkeluarga
1. Pengertian kehidupan berkeluarga
Bab ini menguraikan tugas perkembangan remaja dalam hubungannya dengan persiapan mereka untuk memasuki kehidupan baru, yaitu kehidupan berkeluarga. Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa secara biologis pertumbuhan remaja telah mencapai kematangan seksual, yang berarti bahwa secara biologis remaja telah siap metakukan fungsi produksi. Kematangan fungsi seksual tersebut berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja dan telah rnulai tertarik kepada lawan jenis. Garrison (1956) menyatakan bahwa dorongan seksual pada masa remaja adalah cukup kuat, sehingga perlu dipersiapkansecaramantap tentanl; hal-halyangberhubungan dengan perkawinan, karena masalah tersebut mendasari pemikiran mereka untuk mulai menetapkan pasangan hidupnya. Untuk ini sekolah perlu memberikan perhatian secara khusus tentang rnasalah-masalah perkawinan tersebut, dalam bentuk pendidikan seksual atau kegiatan yang lain bagi remaja sebagai persiapan baginya dalarn menghadapi fungsinya sebagai orang tua di kemudian hari.
Berkenaan dengan upaya untuk menetapkan pilihan pasangan hidup, perkembangan sosial psikologis remaja ditandai dengan upaya menarik lawan jenis dengan berbagai cara yang ditunjukkan dalam bentuk perilaku. Remaja laki-laki berupaya untuk mencapai posisi prestasi akadernik dan atletik (bidang olahraga) yang baik, sebab kedua hal itu merupakan gejala yang "dinilai" sebagai pertanda unggul dan menunjukkan kehebatan di antara sesama laki-laki. Sebaliknya bagi remaja wanita berupaya untuk menjadi seorang "orang wanita" yang balk. Upaya menjadi wanita yang baik itu diartikan sebagai "wanita yang dikenal baik" di mata laki-laki, maka seorang gadis perlu berperilaku "baik" sebagaimana "diharapkan oleh laki-laki". Wanita perlu menjadi gadis yang "manis", tidak terla!u hebai di dalam bidang akademik, tidak terlalu banyak bicara di dalam kelas. tetapi haius menjadi wanita yang sportif di hadapan seorang laki-laki (Shennan dan Wood, 1979: l52). Dari studi yang dilakukan Mirra Komarovsky (Sherman dan Wood, 1979 152), 40 persen gadis yang diwawancarai menyatakan lebih banyak "membisu" pada saat berkencan dengan laki-laki, sekurang-kurangnya "hanya bicara seperlunya". Populatitas bagi wanita pada kenyataannya diartikan sebagai wanita yang berhasil dalam pergaulan di sekolah menenvah, bukan karena kehebatan dalam "berpikir" dan dalam perilaku atletisnya. la (mereka) lebill balk memainkan perannya dalam "pimpinan penggembira" atau cheerleader Peringatan ulang tahun ke-17, bagi seorang gadis sangat penting. Sebab tial itu berarti pula sebagai "advertensi" baginya dalam upaya menentukan pilihan pasangan hidupnya. Dalam situasi pergaulan yang ktiusus atau berkencan, seorang gadis hendaknya dalam sikap pasif dan perjaka yang lebih bersikap aktif
Pada umumnya remaja, khususnya wanita, tidak mengalami kesulitan untuk menerima tugas tersebut. Hanya sebagian kecil dari mereka mengalami sedikit kesulitan. Umumnya mereka yang mengalami kesulitan itu adalah remaja wanita (gadis) yang menginginkan kedudukan yang sama dengan laki-laki. la (mereka) merasa dan rnenganggap dirinya memiliki potensi yag sama dengan laki-laki, sehingga la ingin bebas dan mandiri seperti halnya taki-laki. la lebih rnengagumi kehebatan ayah, sehingga pemikirannya terbawa untuk ingin sama dengan ayahnya (hcrvr~,rrcrst dalarn Kasiram, 1985: 55).

2. Timbulnya cinta dan jatuh cinta
Hampir setiap pemuda (laki-laki atau wanita) mempunyai dua tujuan utama, pertama menemukan jenis pekerjaan yang sesuai dan, kedua menikah dan membangun sebuah tumah tangga (ke(uarga). f-lat ini tidak selalu irarus muncui daiam aturan tertentu, tetapi perlu dicatat bahwa seorang remaja akan mengalami "jatuh cinta" di dalam masa kehidupannya mencapai belasan tahun (Garrison, 1956: 483). Mulai saat itu laki-laki atau wanita telah berangan-angan untuk menemukan pasangan ludup yang ideal. Hal ini tentu saja merupakan tugas yang amat berat. Gejala perilaku setiap orang yang jatuh cinta tidak selalu sama dan mungkin seorang remaja ictah nmlai mempelajari peran seksua) lebih baik dibandingkan remaja lain, dan sebatiknya terdapat remaja yang betum mengetahui ntengenai peran seksual yang sebenarnya.
Alasan atau faktor yang mempengaruhi seseorang mengalami jatuh cinta bermacam-macam, aatara lain ada(ah: faktor kepribadian, faktor tisik, Caktor budaya, latar belakang keluarga, faktor kemampuan. Seperti pertimbangan yang digunakan oleh orang Jawa, dalam penulihan pasangan hidup dilihat dari tiga segi yaitu: "bibit" atau faktor ketmunan, "bebet" atau faktor status sosial, dan "hobot" atau faktor ekonomi,
Para ahli jiwa sosial sependapat bahwa konsepsi yang menentukan saling tertariknya antara person relevan dengan upaya menciptakan fmbungan yang akrap (intim) dan haf itu berlangsung dalam kurun waktu yang relatif panjang. Hal ini ditentukan oleh banyak hal, antara lain adalah: penampilan masa kini, antisipasi masa depan, pertimbangan biaya, dan hal yang berkaitan dengan peranan masing-masing fihak dalam mengawali (Ian men jaga hubungan satu sama lain (Levinger - 1980, dalam Worchel dan Cooper, 1983: 27c)). Secord dan Backman (1974) menyatakan bahwa menciptakan hubungan yang intim, dicapai melaiui tiga tahap, yaitu: (i) tahap eksplorasi, menjajagi masalah-masalah yang berlv.vbungan dengan pyian atau penghargaan (Ian keuangan, (ii) tahap penawaran, di mana pasangan itu menja(in berbagai janji. Tidak ada ketentuan forma) dalam perjanjian ini, tetapi yang muncul dan dianggap penting dalam hat ini adalah saling pengertiannya tentang latar betakang hubungan mereka, dan (iii) tahap komitmen. "fahap ini ditandai oteh saling ketergantungan masing-masing. Di samping tiga tahap ini Backman mengajukan tahap keempat yang disebut tahap institusionalisasi yang ditandai kesepakatan¬kesepakatan untuk hidup masa depan. Hal ini juga ditandai oleh pemahaman satu sama lain termasuk pemahaman pihak lain yang menyaksikan hubungan tersebut (dalam Worchel dan Cooper, 1983: 279). Hasil penelitian belum membedakan antara berbagai macam pendekatan tentang bagaimana mengenal tahap-tahap itu, hampir semua teori menyepakati adanya perubahan tentang cara pasangan itu saling beraktivitas untuk meningkatkan keakrapan hubungan mereka.
Teori lain telah pula mendiskusikan adanya sedikit perbedaan pandangan tentang tahap-tahap yang ada dalam perkembangan keakrapan hubungan antarremaja (Levinger-1980). Dari diskusi dapat diidentifikasi perubahan perubahan perilaku remaja dalam melakukan pergaulan dengan lawan jenis. Perubahan perilaku itu telah dikemukakan secara ringkas oleh Burgess dan Huston sebagai berikut:
1) Mereka lebih sering berhubungan dalam periode waktu yang agak lama.
2) Mereka mencapai pendekatanbilaberpisah dan merasa ada peningkatan hubungan bila bertemu kembali.
3) Mereka terbuka satu sama lain tentang perasaan yang mereka rahasiakan dan secara fisik menunjukkan keakrapan.
4) Mereka menjadi lebih terbiasa dan saling berbagi perasaan suka dan duka.
5) Mereka mengembangkan sistem komunikasi mereka sendiri, dan komunikasi itu meningkat lebih efisien.
6) Mereka meningkatkan kemampuan masing-masing dalam meren¬canakan dan mengantisipasi kenyataan kehidupan dalam masyarakat nanti.
7) Mereka menyinkronkan tujuan dan perilakunya, dan mengembangkan pola interaksi yang cenderung tetap
8) Mereka meningkatkan investasi mereka dalam hal hubungan dan memperluas lingkup kehidupan mereka yang penting.
9) Mereka mulai demi sedikit merasakan bahwa interes mereka masing¬masing merupakan ikatan yang tak dapat dipisahkan demi kebaikan hubungan mereka.
10) Mereka meningkatkan perasaan saling menyenangi, mempercayai, dan mencintai demi kepentingan bersama.
11) Mereka melihat hubungan tersebut sebagai yang tak tergeser, atau setidak-tidaknya sebagai suatu yang unik.
12) Mereka semakin akrap satu sama lain sebagai sejoli dan bukan sebagai individu.

3. Masyarakat dan perkawinan
Pilihan pasangan hidup merupakan tugas perkembangan yang didorong faktor biologis. Pilihan pasangan hidup yang berakhir dengan perkawinan, tkrarti menrpakan pertanda terbentuknya inti kekeluargaan atau perluasan dan kelanjutan tentang pemekaran keluarga. 1'erkawinan antara laki-laki dan wanita tidak dengan begitu saja dapat terjadi, walaupun masing-masing dapat berpendapat bahwa hal itu dirasakan sebagai hal yang "bebas". Kenyataannya setiap masyarakat di dunia memiliki norma berkenaan dengan masalah perkawinan. Dengan pengertian ini berarti bahwa perkawinan antara pria dan wanita bukan saja masalah yang didorong oleh faktor biologis, melainkan diatur oleh berbagai aturan atau norma yang berlaku di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Eshleman dan Cashion (1983: 311) menyatakan bahwa norma perkawinan yang herlaku di setiap masyarakat dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: exogamy dan incloyarnv. Dalam exogamy, norma yang hampir berlaku secara universal, seperti larangan kawin antara laki-laki dan wanita dari satu ibu, satu bapak, kawin antara saudara sekandung, perkawinan antara saudara sepupu, perkawinan sama jenis, dan semacamnya.
Dalam masalah jacrkc,wr:an, setiap n;asyarakat di dunia memi(iki hukum dan aturan adat yang menjadi pedoman bagi setiap anggota masyarakat dalam menetapkan pasangan hidupnya. Apabila gadis dan pcrjaka melangsungkan pcrkawinan, banyak fihak yang kenyataannya :rkan terlibat, sebab mcreka akan turut menerima akibatnya, terutama keluarganya (Light dan Keller, 1982: 383).
Terhadap masalah perkawinan terdapat perbedaan pandangan antara laki¬laki dan wanita. Hasil penelitian Adam (Garrison, 1956: 483) menyatakan bahwa 60 persen wanita yang mengisi angket menyatakan bahwa perkawinan itu didorong oleh faktor cinta clan keamanan. Bagi laki-laki dalam memberikan keterangannya 70 persen mengatakan bahwa perkawinan itu adalah masalah faktor keinginan hid up bersama dan mengurangi ketegangan, sedang faktor dorongan cinta menurut laki-laki menduduki urutan ketiga.
Di samping faktor fisik (biologis) dan psikologis, faktor-faktor lain yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan calon pasangan hidup adalah kesamaan-kesamaan dalam hal: ras, bangsa, agama, dan status sosial ekonomi. Khusus tentang faktor sosial ekonomi mencakup berbagai aspek, antara lain misalnya rnenyangkut masalah pergaulan dan pekerjaan. Remaja telah banyak memiliki pengalaman dan memperhatikan serta belajar dari keadaan lingkungan. Lingkungan kehidupan keluarga yang digelar di lingkungan sangat majemuk, baik dilihat dari kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, maupun agama dan kebudayaan. Atas dasar itu, secara psikologis remaja banyak menerima pengaruh dari lingkungan tentang kehidupan berkeluarga. Hal semacam itu dengan sendirinya akan dapat membentuk sikap dan cita-cita tentang kehidupan berkeluarga (yang dibayangkan) di masa yang akan datang dan berpengaruh dalam kriteria penetapan pasangan hidupnya. Sikap yang terbentuk pada remaja bervariasi, sehingga dapat menimbulkan perilaku yang positif, seperti belajar dan bekerja keras dan baik dalam upaya mewujudkan cita-citanya. Tetapi sebaliknya hal ini dapat pula menimbulkan bayangan rasa takut untuk melangkah mewujudkan cita-citanya. Akibat ketakutan tersebut tentu saja dapat mempengaruhi perilaku dan perbuatannya di dalam masyarakat yang mungkin merupakan pelarian.
D. Implikasi Tugas-Tugas Perkembangan Remaja Dalam Penyelenggaraan Pendidikan
Memperhatikan banyaknya faktor kehidupan yang berada di lingkungan remaja, maka pemikiran tentang penyelenggaraan pendidikan juga harus memperhatikan faktor-faktor tersebut. Sekalipun dalam penyeienggaraan pendidikan diakui bahwa tidak mungkin memenuhi tuntutan clan harapan seluruh faktor yang berlaku tersebut.
a. Pendidikan yang berlaku di Indonesia, baik pendidikan yang diselenggarakan di dalam sekolah maupun di luar sekolah, pada umumnya diselenggarakan dalam bentuk klasikal. Penyelenggaraan pendidikan klasikal ini berarti memberlakukan sama semua tindakan pendidikan kepada semua remaja yang tergabung di dalam kelas, sekalipun masing-masing di antara mereka sangat berbeda-beda. Pengakuan terhadap kemampuan setiap pribadi yang beranekaragam itu menjadi kurang. Oleh karena itu yang harus mendapatkan perhatian di dalam penyelenggaraan pendidikan adalah sifat-sifat clan kebutuhan umum remaja, seperti pengakuan akan kemampuannya, ingin untuk mendapatkan kepercayaan, kebebasan dan semacamnya.
b. Beberapa usaha yang perlu dilakukan di dalam penyelenggaraan pendidikan, sehubungan dengan minat dan kemampuan remaja yang dikaitkan terhadap cita-cita kehidupannya antara lain adalah:
1) Bimbingan karier dalam upaya mengarahkan siswa untuk menentukan pilihan jenis pendidikan clan jenis pekerjaan sesuai dengan kemampuannya.
2) Memberikan latihan-Iatihan praktis terhadap siswa dengan berorientasi terhadap kondisi (tuntutan) lingkungan.
3) Penyusunan kurikulum yang komprehensip dengan mengem-bangkan kurikulum muatan lokal.
c. Keberhasilan dalam memilih pasangan hidup untuk membentuk keluarga banyak ditentukan oleh pengalaman dan penyelesaian tugas-tugas perkembangan masa-masa sebelumnya. Untuk mengembangkan model keluarga yang ideal maka perlu dilakukan:
1) Bimbingan tentang cara pergaulan dengan mengajarkan etika pergaulan lewat pendidikan budi pekerti dan pendidikan keluarga;
2) Bimbingan siswa untuk memahami norma yang berlaku baik di dalam keluarga, sekolah, maupun di dalam masyarakat. Untuk kepentingan ini diperlukan arahan untuk kebebasan emosionai dari orang tua.
d. Pendidikan tentang nilai kehidupan untuk mengenalkan norma kehidupan sosial kemasyarakatan perlu dilakukan. Dalam hal ini perlu dilakukan pendidikan praktis melalui organisasi pemuda, pertemuan dengan orang tua secara periodik, dan pemantapan pendidikan agama baik di dalam maupun di luar sekolah.












PENYESUAIAN DIRI REMAJA
Setelah mempelajari bab ini Anda diharapkan dapat menjelaskan:
l) Pengertian penyesuaian diri
2) Proses penyesuaian diri
3) Karakteristik penyesuaian diri secara positif
4) Karakteristik penyesuaian diri yang salah
5) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri
6) Dengan disertai contoh permasalahan-permasalahan penyesuaian diri remaja
7) Implikasi penyesuaian diri remaja terhadap penyelenggaraan pendidikan

A. Konsep dan Proses Penyesuaian Diri
Makna akhir dari hasil pendidikan seseorang individu terletak pada sejauh mana hal yang telah dipelajari dapat membantunya dalam menyesuaikan did dengan kebutuhan-kebutuhan hidupnya clan pada tuntutan masyarakat. t3erdasarkan pengalaman-pengalaman yang didapat di sekolah clan di luar sekolah la memiliki sejumlah pengetahuan, kecakapan, minat¬minat clan sikap-sikap. Dengan pengalaman-pengalaman itu ia secara berkesinambungan dibentuk menjadi seorang pribadi seperti apa yang dia miliki sekarang clan menjadi seorang pribadi tertentu di masa mendatang.
Seseorang tidak dilahirkan dalam keadaan telah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri. Kondisi fisik, mental, dan emosional dipengaruhi dan diarahkan oleh faktor-faktor lingkungan di mana kemungkinan akan berkembang proses penyesuaian yang baik atau yang salah suai.
Sejak lahir sampai meninggal seorang individu merupakan organisme yang aktif. la aktif dengan tujuan clan aktivitasnya berkesinambungan. la berusaha untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya dan juga semua dorongan yang memberi peluang kepadanya untuk berfungsi sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian diri adalah suatu proses. Dan salah satu ciri pokok dari kepribadian yang sehat mentalnya ialah memiliki kemampuan untuk mengadakan penyesuaian diri secara harmonis, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungannya. Untuk lebih jelasnya marilah kita tinjau secara lebih rinci pengertian dan proses penyesuaian diri, karakteristik penyesuaian diri remaja, dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri.

1. Pengertian penyesuaian diri
Penyesuaian dapat diartikan atau dideskripsikan sebagai berikut:
1) Penyesuaian berarti adaptasi; dapat mempertahankan eksistensinya, atau bisa ".survive" dan memperoleh kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah, dan dapat mengadakan relasi yang memuaskan dengan tuntutan sosial.
2) Penyesuaian dapat juga diartikan sebagai konformitas, yang berarti menyesuaikan sesuatu dengan standar atau prinsip.
3) Penyesuaian dapat diartikan sebagai penguasaan, yaitu memiliki kemampuan untuk membuat rencana dan mengorganisasi respon¬respon sedemikian napa, sehinggabisa mengatasi segala macam konflik, kesulitan dan frustrasi-frustrasi secara efisien. Individu memiliki kemampuan menghadapi realitas hidup dengan cara yang adekuat.
4) Penyesuain dapat diartikan penguasaan dan kematangan emosional. Kematangan emosional maksudnya ialah secara positif memiliki respon emosional yang tepat pada setiap situasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian adalah usaha manusia untuk mencapai keharmonisan pada diri sendiri dan pada lingkungannya.
2. Proses penyesuaian diri
Penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungan. Seperti kita ketahui bahwa penyesuaian yang sempurna tidak pernah. tercapai. Penyesuaian yang sempurna terjadi jika manusia/individu selalu dalam keadaan seimbang antara dirinya dengan lingkungannya di mana tidak ada lagi kebutuhan yang tidak terpenuhi, dan di mana semua fungsi organisme/individu berjalan normal. Sekali lagi, bahwa penyesuaian yang sempurna seperti itu tidak pernah dapat dicapai. Karena itu penyesuaian diri lebih bersifat suatu proses sepanjang hayat (lifelong process), dan manusia terus menerus berupaya menemukan clan mengatasi tekanan dan tantangan hidup guna mencapai pribadi yang sehat.
Respon penyesuaian, baik atau buruk, secara sederhana dapat dipandang sebagai suatu upaya individu untuk mereduksi atau menjauhi ketegangan dan untuk memelihara kondisi-kondisi keseimbangan yang lebih wajar. Penyesuaian sebagai suatu proses ke arah hubungan yang harmonis antara tuntutan internal dan tuntutan eksternal. Dalam proses penyesuaian diri dapat saja muncul konflik, tekanan, dan frustrasi dan individu didorong meneliti berbagai kemungkinan perilaku untuk membebaskan diri dari ketegangan.
Apakah seseorang berhadapan dengan penyesuaian sehari-hari yang sederhana, atau suatu penyesuaian yang rumit, terdapat suatu pola ciasar yang terdiri dari elemen-elemen tertentu. Contoh: seorang anak yang mernbutuhkan rasa kasih sayang dari ibunya yang terlalu sibuk den"an tugas-tugas lain. Anak akan frustrasi dan berusaha sendiri menemukan pemecahan untuk mereduksi ketegangan/kebutuhan yang belum terpenuhi. Dia mungkin mencari kasih sayang di mana-mana, atau mengisap jarinya, atau bahkan tidak berupaya sama sekali, atau makan secara berlebihan, sebagai respon pengganti bila kebutuhan-kebutuhan tidak terpenuhi secara wajar. Dalam beberapa hal, respon pengganti tidak tersedia, sehingga individu mencari suatu respon lain yang akan memuaskan motivasi dan mereduksi ketegangan.
Situasi MI dapat digambarkan sebagai berikut:
Kebutuhan F
Motivasi R
Keinginan U
S Respon – B
T -- pemecahan
A bervariasi
S - C
Berdasarkan diagram di atas, nampak bahwa elemen-elemen umum dan esensial dalam semua situasi frustrasi ialah: motivasi, frustrasi atau :terhalangnya keinginan dan,motif-motif, respon yang bervariasi, dan pemecahan untuk mereduksi masalah, frustrasi, atau ketegangan dengan beberapa bentuk respon.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa motivasi mengambil variasi bentuk, dan setiap bentuk dapat diarahkan kepada rintangan atau frustrasi yang disebabkan oleh beberapa aspek realitas misalnya - pembatasan orang tua, hambatan fisik, aturan sosial, clan semacamnya. Rintangan¬rintangan ini menyebabkan individu meneliti cara-cara respon yang berbeda¬beda (A, B atau C) sampai mendapatkan pemuasan.
Individu dikatakan berhasil dalam melakukan penyesuaian diri apabila ia dapat memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang wajar atau apabila dapat diterima oleh lingkungan tanpa merugikan atau mengganggu lingkungannya.

3. Karakteristik penyesuaian diri
Tidak selamanya individu berhasil dalam melakukan penyesuaian diri, karena kadang-kadang ada rintangan-rintangan tertentu yang menyebabkan tidak berhasil me(akukan penyesuaian diri. Rintangan-rintangan itu mungkin terdapat dalam dirinya atau mungkin di luar dirinya. Dalam hubungannya dengan rintangan-rintangan tersebut ada individu-individu yang dapat melakukan penyesuaian diri secara positif, namun ada pula individu¬individu yang melakukan penyesuaian diri yang salah. Berikut ini akan ditinjau karakteristik penyesuaian diri yang positif dan penyesuaian diri yang salah.
a) Penyesuaian diri secara positif
Mereka yang tergolong mampu melakukan penyesuaian diri secara positif ditandai hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak menunjukkan adanya ketegangan emosional.
2) Tidak menunjukkan adanya mekanisme-mekanisme psikologis.
3) Tidak menunjukkan adanya frustrasi pribadi.
4) Memiliki pertimbangan rasional dan pengarahan diri.
5) Mampu dalam belajar.
6) Menghargai pengalaman.
7) Bersikap realistik dan objektif.
Dalam melakukan penyesuaian diri secara positif, individu akan melakukannya dalam berbagai bentuk, antara lain:
1) Penyesuaian dengan menghadapi masalah secara langsung. Dalam situasi ini individu secara langsung menghadapi masalahnya dengan segala akibat-akibatnya. ta melakukan segala tindakan sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Misalnya seorang siswa yang terlambat dalam menyerahkan tugas karena sakit, maka ia menghadapinya secara langsung, ia mengemukakan segala masalahnya kepada gurunya.
2) Penyesuaian dengan melakukan eksplorasi (penjelajahan). Dalam situasi ini individu mencari berbagai bahan pengalaman untuk dapat menghadapi clan memecahkan masalahnya. Misalnya seorang siswa yang merasa kurang mampu dalam mengerjakan tugas, ia akan mencari bahan dalam upaya menyelesaikan tugas tersebut, dengan membaca buku, konsultasi, diskusi, dan sebagainya.
3) Penyesuaian dengan trial and error atau coba-coba.
Dalam cara ini individu melakukan suatu tindakan coba-coba, dalam arti kalau menguntungkan diteruskan dan kalau gagal tidak diteruskan. Taraf pemikiran kurang begitu berperan dibandingkan dengan cara eksplorasi.




4) Penyesuaian dengan substiiusi (mencari pengganti).
Jika individu merasa gagal dalam menghadapi masalah, maka ia dapat memperoleh penyesuaian dengan jalan mencari pengganti. Misalnya gagal nonton film di gedung bioskop, dia pindah nonton TV.
5) Penyesuain diri dengan menggali kemampuan pribadi.
Dalam hal ini individu mencoba menggali kemampuan-kemampuan khusus dalam dirinya, dan kemudian dikembangkan sehingga dapat membantu penyesuaian diri. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam keuangan, berusaha mengembangkan kemampuannya dalam menulis (menga-rang). Dari usaha mengarang ia dapat membantu mengatasi kesulitan dalam keuangan.
6) Penyesuaian dengan belajar.
Dengan belajar individu akan banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang dapat membantu menyesuaikan diri. Misalnya seorang guru akan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak belajar tentang berbagai pengetahuan keguruan.
7) Penyesuaian dengan inhibisi dan pengendalian diri.
Penyesuaian diri akan lebih berhasil jika disertai dengan kemarnpuan memilih tindakan yang tepat dan pengendalian din secara tepat pula. Dalam situasi ini individu berusaha memilih tindakan mana yang harus dilakukan, dan tindakan mana yang tidak perlu dilakukan. Cara inilah yang disebut inhibisi. Di samping itu individu harus mampu mengendalikan dirinya dalam melakukan tindakannya.
b) Penyesuaian dengan perencanaan yang cermat.
Kegagalan dlam melakukan penyesuaian secara positif, dapat mengakibatkan individu melakukan penyesuaian yang salah. Penyesuaian diri yang salah ditandai dengan berbagai bentuk tingkah laku yang serba salah, tidak terarah, emosional, sikap yang tidak realistik, agresif, dan sebagainya. Ada tiga bentuk reaksi dalam penyesuaian salah satu : (1) reaksi bertahan, (2) reaksi menyerang, dan (3) reaksi melarikan diri.
1. Reaksi bertahan (defence reaction)
Individu berusaha untuk mempertahankan dirinya, seolah-olalr tid,vk menghadapi kegagalan. la selalu berusaha untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak menga(ami kegagalan. Bentuk khusus reaksi ini antara lain:
- Rasionalisasi, yaitu bertahan dengan mencari-cari alasan (dalam) untuk membenarkan tindakannya.
- Represi, yaitu berusaha untuk menekan pengalamannya yang dirasakan kurang enak ke alam tidak sadar. la berusaha melupakan penl;alamannya yang kurang menyenangkan. Misalnya seorang pemuda berusaha melupakan kegagalan cintanya dengan seorang gadis.
- Proyeksi, yaitu melemparkan sebab kegagalan dirinya kepada pihak lain untuk mencari alasan yang dapat diterima. Misalnya seorang siswa yang tidak lulus mengatakan bahwa gurunya membenci dirinya.
- ".vour grapes" (anggur kecut), yaitu dengan memutarbalikkan kenyataan. Misalnya seorang siswa yang gagal mengetik, mengatakan bahwa mesin tik-nya rusak, padahal dia sendiri tidak bisa mengetik.
- dan sebagainya.
2. Reaksi menyerang (aggressive reaction)
Orang yang mempunyai penyesuaian diri yang salah menunjukkan tingkah laku yang bersifat menyerang untuk menutupi kegagalannya. la tidak mau menyadari kegagalannya. Reaksi-reaksinya nampak dalam tingkah laku:
- Selalu membenarkan diri sendiri
- Mau berkuasa dalam setiap situasi - mau memiliki segalanya
- Bersikap senang mengganggu orang lain
- Menggertak baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan
- Menunjukkan sikap permusuhan secara terbuka
- Menunjukkan sikap menyerang dan merusak
- Keras kepala dalam perbuatannya
- Bersikap balas dendam
- Memperkosa hak orang lain
- Tindakan yang serampangan
- Marah secara sadis.

3. Reaksi melarikan diri (escape reaction)
Dalam reaksi ini orang yang mempunyai penyesuaian salah akan melarikan diri dari situasi yang menimbulkan kegagalannya, reaksinya nampak dalam tingkah laku sebagai berikut: berfantasi yaitu memuaskan keinginan yang tidak tercapai dalam bentuk angan-angan (seolah-olah sudah tercapai), banyak tidur, minum minuman keras, bunuh diri, menjadi pecandu ganja, narkotika, dan regresi yaitu kembali kepada tingkah laku yang typis pada tingkat perkembangan yang lebih awal (misal orang dewasa yang bersikap dan berwatak seperti anak kecil), dan lain-lain.
4. Faktor faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri
Secara keseluruhan kepribadian mempunyai fungsi sebagai penentu primer terhadap penyesuaian diri. Penentu berarti faktor yang mendukung, mempengaruhi, atau menimbulkan efek pada proses penyesuaian. Secara sekunder proses penyesuaian ditentukanoleh faktor-faktoryang menentukan kepribadian itu sendiri baik internal maupun eksternal. Penentu penyesu¬aian indentik dengan faktor-faktor yang mengatur perkembangan dan terbentuknya pribadi secara bertahap. Penentu-penentu itu dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Kondisi-kondisi fisik, termasuk di dalamnya keturunan, konstitusi fisik, susunan syaraf, kelenjar, dan sistem otot, kesehatan, penyakit, dan sebagainya.
2) Perkembangan dan kematangan, khususnya kematangan irrtelektual, sosial, moral dan emosional.
3) Penentu psikologis, termasuk di d4lamnya pengalaman, belajarnya, pengkondisian, penentuan diri (self-(determination), frustrasi dan konflik.
4) Kondisi lingkungan, khususnya keluarga dan sekolah.
5) Penentu kultural, termasuk agama.
Pemahaman tentang faktor-faktor ini dan bagaimana fungsinya dalam penyesuaian merupakan syarat untuk memahami proses penyesuaian, karena penyesuaian tumbuh dari hubungan-hubungan antara faktor-faktor ini dan tuntutan individu.

Kondisi jasmaniah
Kondisi jasmaniah seperti pembawaan dan stnrktur/konstitusi fisik dan temperamen sebagai disposisi yang diwariskan, aspek perkembangannya secara instrinsik berkaitan erat dengan susunan/konstitusi tubuh. Shekdon mengemukakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara tipe-tipe bentuk tubuh dan tipe-tipe temperamen (Moh. Surya, 1977). Misalnya orang yang tergolong ektomorf yaitu yang ototnya lemah, tubuhnya rapull, ditandai dengan sifat-sifat menahan diri, segan dalam aktivitas sosial, pemalu, dan sebagainya.
Karena struktur jasmaniah menrpakan kondisi primer bagi tingkah laku maka dapat diperkirakan bahwa sistem syaraf, kelenjar, dan otot merupakan faktor yang penting bagi proses penyesuaian diri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gangguan-gangguan dalam sistem syaraf, kelenjar, dan otot dapat menimbulkan gejala-gejala gangguan mental, tingkah laku, dan kepribadian. Dengan demikian kondisi sistem-sistem tubuh yang balk merupakan syarat bagi tercapainya proses penyesuaian dini yang baik.
Di samping itu kesehatan dan penyakit jasmaniah juga berhubungan dengan penyesuaian diri. Kualitas penyesuaian diri yang baik hanya dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmaniah yang baik pula. (ni berarti bahwa gangguan penyakit jasmaniah yang diderita oleh seseorang akan mengganggu proses penyesuaian dirinya. Gangguan penyak it yang kronis dapat menimbulkan kurangnya kepercayaan pada din sendiri, perasaan rendah diri, ketergantungan, perasaan ingin dikasihani dan sebagainya.

Perkembangan, Kematangan dan Penyesuaian Diri
Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat instinktif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar (Ian pengalaman. Dengan bertambahnya usia perubahan dan perkembangan respon tidak hanya melalui proses belajar saja melainkan anak juga menjadi rnatang untuk melakukan respon. Dan ini menentukan pola-pola penyesuaian dirinya.
Sesuai dengan hukum perkembangan, tingkat kematangan yang dicapai brrhcda antara individu yang satu dengan lainnya, sehingga pencapaian pola-pola penyesuaian diri pun berbeda pula secara individual. Dengan kata lain pola penyesuaian diri akan bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapainya. Di samping itu huhungan antara penyesuaian dengan perkembangan dapat berbeda menumt jenis aspek perkembangan yang dicapai. Kondisi-kondisi perkembangan mempengaruhi setiap aspek kepribadian, sehingga akan terdapat perkembangan bermacam-macam aspek kepribadian seperti: emosional, cosial, moral, keagamaan dan intelektual. Dalam fase tertentu salah satu aspek rnungkin lebih penting dari aspek lainnya. Misalnya pertumbuhan moral lebih peniing daripada kematangan sosial, dan kematangan emosional mcrupakan yang terpenting dalam penyesuaian diri. Contohnya adalah banyak orang yang telati mengetahui bahwa menolong itu balk, tetapi mereka banyak yang tidak melakukannya.

Penentuan psikologis terhadap penyesuaian diri
Banyak sekali faktor psikologis yang mempengaruhi proses penyesuaian diri, di antaranya adalahr pengalaman, belajar, kebutuhan-kebutuhan, determinasi diri, frustrasi.
Pengalaman
Tidak semua pengalaman mempunyai arti bagi penyesuaian diri. Pengalaman-pengalaman tertentu yang mempunyai arti dalam penyesuaian diri adalah pengalaman yang menyenangkan dan pengalaman traumatik (menyusahkan). Pengalaman yang menyenangkan misalnya memperoleh hadiah dalam suatu kegiatan, cendenmg akan menimbulkan proses penyesuaian diri yang baik, dan sebaliknya pengalaman traumatik akan menimbulkan penyesuaian yang kurang baik atau mungkin salah suai.
Belajar
Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam proses penyesuaian diri, karena melalui belajar ini akan berkembang pola-pola respon yang akan membentuk kepribadian. Sebagian besar respon sekolah respon dan ciri-ciri kepribadian lebih banyak yang diperoleh dari proses belajar daripada yang diperoleh secara diwariskan. Dalam proses penyesuaian diri belajar merUpakan suatu proses modifikasi tingkah laku sejak fase-fase awal dan berlangsung terus sepanjang hayat hayat dan diperkuat dengan kematangan.

Determinasi diri
Dalam proses penyesuaian diri, di samping ditentukan oleh faktor-faktor tersebut di atas, orangnya itu sendiri menentukan dirinya terdapat faktor kekuatan yang mendorong untuk mencapai sesuatu yang baik atau buruk, untuk mencapai taraf penyesuaian yang tinggi, atau merusak diri. Faktor-taktor itulah yang disebut determinasi.
Determinasi diri mempunyai peranan yang penting dalam proses penyesuaian diri karena mempunyai peranan dalam mengendalikan arah dan pola penyesuaian disi. Keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri akan banyak ditentukan oleh kemampuan individu dalam mengarahkan dan mengendalikan dirinya meskipun sebetulnya situasi dan kondisi tidak menguntungkan bagi penyesuaian dirinya. Ada beberapa orang dewasa yang mengalami pengalaman penolakan ketika masa kanak-kanak, tetapi mereka dapat menghindarkan diri d
Konflik dan penyesuaian
Tanpa memperhatikan tipe-tipe konflik, mekanisme konflik secara esensial sama yaitu pertentangan antara motif-motif. Efek konflik pada perilaku akan tergantung sebagian pada sifat konflik itu sendiri. Ada beberapa pandangan bahwa semua konflik bersifat mengganggu atau merugikan. Namun dalam kenyataan ada juga seseorang yang mempunyai banyak konflik tanpa hasil-hasil yang merusak atau merugikan. Sebenarnya, beberapa konflik dapat bermanfaat memotivasi seseorang untuk meningkatkan kegiatan. Cara seseorang mengatasi konfliknya dengan meningkatkan usaha ke arah pencapaian tujuan yang menguntungkan secara sosial, atau mungkin sebaliknya ia memecahkan konflik dengan melarikan diri, khususnya lari ke dalam gejala-gejala neurotis.
Lingkungan sebagai penentu penyesuaian diri
Berbagai fingkungan anak seperti ketuarga clan pola hubungan di dalamnya, sekolah, masyarakat, kultur, dan agama berpengaruh terhadap penyesuaian diri anak.
- Pengaruh rumah dan keluarga
Dari sekian banyak faktor yang mengkondisikan penyesuaian diri, faktor rumah clan ketuarga merupakan faktor yang sangat penting, karena keiuarga merupakan satuan kelompok sosial terkecil. Interaksi susial yang pertarna diperoleh individu ada(ah dalam keluarga. Kemampuan interaksi sosial ini kenwdian akan dikembangkan di masyarakat.
- Hubungan orang tua dan anak
Pola hubungan antara arang tua dengan anak akan mempunya'r pengaruh terhadap proses penyesuaian diri anak-anak. Beberapa pola hubungan yang dapat rnempengaruhi penyesuaian diri antara lain:
1) Menerima (acceptance), yaitu situasi hubungan di mana orang tua menerima anaknya dengan balk. Sikap penerimaan ini dapat menimbufkan suasana hangat dan rasa aman bagi anak.
2) Menghukum dan disiplin yang berlebihan.
Dalam pola ini, hubungan orang tua dengan anak bersifat keras. Disiplin yang ditanaizikan orang tua terlalu kaku dan berlebihan scliingga dapat menimbulkan suasana psikologis yang kurang nrenguntungkan anak.
3) Memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan. Perlindungan dan pemanjaan secara berfebihan dapat rncnim¬bulkan perasaan tidak aman, cemburu, rendah diri, canggung dan gejala-gejala salah suai lainnya.
4) Penolakan yaitu pola hubungan di mana orang tua menolak kehadiran anaknya. Beberapa penefitian menunjukkan bahwa penolakan orang tua terhadap anaknyadapat merrimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri.
Hubungan saudara
Suasana hubungan saudara yang penuh persahabatan, kooperatif, saling, menghormati, penuh Will sayang, mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk tercapainya penyesuaian yang lebih balk. Sebaliknya suasana permusuhan, perselisihan, iri hati, kebencian, dan sebagainya dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan penyesuaian diri.

Masyarakat
Keadaan lingkungan masyarakat di mana individu berada merupakan kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian dirt, Beberapa studi menunjukkan bahwa banyak gejala tingkah laku salah suai bersumber dari keadaan masyarakat. Pergaulan yang salah di kalangan remaja dapat mempengaruhi pola-pola tingkah laku remaja itu sendiri dan mempengaruhi pola-pola penyesuaian dirinya.

Sekolah
Sekolah mempunyai peranan sebagai media untuk mempengaruiu kehidupan intelektual, sosial, dan moral para siswa. Suasana di sekolali baik sosial maupun psikologis menentukan proses dan pola penyesuaian diri. DI samping itu hasil pendidikan yang diterima anak di sekolah akan rnerupakan bekal bagi proses penyesuaian diri di masyarakat.

Kultural dan agama sebagai penentu penyesuaian diri
Proses penyesuaian diri anak mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kultur dan agama. Lingkungan kultural di mana individu berada dan berinteraksi akan menentukan pola-pola penyesuaian dirinya. Contohnya tata cara kehidupan di sekolah, di masjid, gereja, dan semacamnya akan mempengaruhi bagaimana anak menempatkan diri dan bergaul dengan masyarakat sekitarnya.
Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi per konflik, fiustrasi dan ketegangan lainnya. Agama juga memberikan suasana damai dan tenang bagi anak. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan pola-pola tingkah laku yang akan memberikan tuntunan bagi arti, tujuan dan kestabilan hidup umat manusia. Kehidupan yang efektif menuntut adanya tuntunan hidup yang mutlak. Sembahyang dan berdoa merupakan medium dalam agama untuk menuju ke arah kehidupan yang berarti : Agama memegang peranan penting sebagai penentu dalam proses penyesuaian diri.

B. Permasalahan-permasalahan Penyesuaian Diri Remaja
Di antara persoalan terpenting yang dihadapi remaja dalam kehidupan sehari-hari dan yang mengharnbat penyesuaian diri yang sehat adalah hubungan remaja dengan orang dewasa terutama orang tua.
Tingkat penyesuaian diri clan pertumbuhan remaja sangat tergantung pada sikap orang tua dan suasana psikologi dan sosial dalam keluarga. contoh: sikap orang tua yang menolak. Penolakan orang tua terhadap anaknya dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, penolakan mungkin merupakan penolakan tetap sejak awal, di mana orang tua merasa tidak sayang kepada anaknya, karena berbagai sebab, mereka tidak menghen¬daki kelahirannya. Menurut Boldwyn yang dikutip oleh Zakiah Darajat (1983): "bapak yang menolak anaknya berusaha menundukkan anaknya dengan kaidah-kaidah kekerasan; karena itu iamengambil ukuran kekerasan, kekejaman tanpa alasan nyata." Jenis kedua dari penolakan adalah dalam bentuk berpura-pura tidak tahu keinginan anak. Contoh: orang tua memberi tugas kepada anaknya berbarengan dengan rencana anaknya untuk pergi nonton bersama dengan sejawatnya.
Hasil dari kedua macam penolakan tersebut ialah remaja tidak dapat menyesuaikan did, cenderung untuk menghabiskan waktunya di luar rumah. Terutama pada gadis-gadis mungkin akan terjadi perkawinan yang tidak masuk akal dengan pemikiran bahwa rumah di luar rumah tangganya sendiri akan (ebih baik daripada rumahnya sendiri: Di samping itu sikap orang tua yang memberikan perlindungan yang berlebihan akibatnya juga ticlak balk. Remaja yang mendapatkan pemeliharaan yang berlebihan dan serba nurdah akan mendapatkan kesukaran dalam penyesuaian diri dengan keadaan di luar rurnah. Perhatian orang tuanya yang berlebihan kepadanya, menyebabkan ia juga rnengharapkan bantuan clan perhatian dari orang lain dan la benrsaha menarik perhatian mereka, serta menyangka balnva perhatian seperti itu adalah haknya.
Sikap orang tua yang otoriter, yaitu yang memaksakan kekuasaan dan otoritas kepada remaja juga akan menghambat proses penyesuaian diri remaja. Biasanya remaja berusaha untuk menentang kekuasaan orang tua clan pada gilirannya la akan cenderung otoriter terhadap teman-temannya dan cenderung menentang otoritas yang ada baik di sekolah maupun di masyarakat.
Permasalahan-permasalahan penyesuaian dirt yang dihadapi remaja dapat berasal dari suasana psikologis keluarga seperti keretakan keluarga. Banyak penelitian membuktikan bahwa remaja yang hidup di dalam rumah tangga yang "retak", mengalami masalah emosi, tampak padanya ada kecenderungan yang besar untuk marah, suka menyendiri, di sarnping kurang kepekaan terhadap penerimaan sosial dan kurang marnpu menahan dirt serta lebih gelisah dibandingkan dengan remaja yang hidup dalam nrmah tangga yang wajar. Terbukti pula bahwa kebanyakan anak-anak yang dikeluarkan dari sekolah karena tidak dapat menyesuaikan diri adalah mereka yang datang dari rumah tangga yang pecah/retak itu. Perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan akan mempengaruhi hubungan antarmereka, sehingga rnemungkinkan timbulnya rasa iri hati dalam jiwa anak perempuan terhadap saudaranya yang laki laki. Keadaan ini akan menghambat proses penyesuaian diri anak perempuan. Permasalahan-perrnasalahan penyesuaian akan rnuncul bagi remaja yang sering pindah tempat tinggal. Remaja yang keluarganya sering pindah, ia terpaksa pindah dari sekolah ke sekolah yang lain dan ia mengalami banyak kesukaran akademis, bahkan rnungkin la akan sangat tertinggal dalarn pelajaran, karena guru berbeda-beda dalam cara mengajarnya, demikian pula mungkin buku-buku pokok yang dipakainya tidak sama. Di samping itu masalah teman remaja; perpindahan ke tempat/masyarakat banr, berarti kehilangan teman larna dan terpaksa mencari teman baru. Banyak remaja yang mengalami kesulitan dalam mencari/membentuk persahabatan dan hubungan sosial yang baru. Mungkin remaja berhasil baik dalam hubrrngan di sekolah yang lama, ketika pindah ke sekolah yang baru ia menjadi tidak dikenal dan tidak ada yang memperhatikan. Di sini remaja dituntut untuk dapat lebiii rnampu menyesuaikan diri dengan masyarakat yang baru, sehingga ia menjadi bagian dari masyarakat yang baru itu.
Penyesuaian diri remaja dengan kehidupan di sekolah. Permasalahan penyesuaian diri di sekolah mungkin akan timbul ketika remaja mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, balk sekolah lanjufan pertama maupun sekolah lanjutan atas. Mereka mungkin mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru-guru, teman dan mata pelajaran. Sebagai akibat antara lain adalah prestasi belajar menjadi menurun dibanding dengan prestasi di sekolah sebelumnya.
Persoalan-persoalan umum yang seringkali dihadapi remaja antara lain memilih sekolah. Jika kita mengharapkan remaja mempunyai penyesuaian diri yang balk, seyogianya kita tidak mendekte mereka agar memilih jenis sekolah tertentu sesuai keinginan kita. Orang tua/pendidik hendaknya mengarahkan pilihan sekolah sesuai dengan kemampuan, bakat clan sifat¬sifat pribadinya. Tidak jarang terjadi anak tidak mau sekolah, tidak mau belajar, suka membolos, dan sebagainya karena ia dipaksa oleh orang tuanya untuk masuk sekolah yang tidak ia sukai.
Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah penyesuaian diri yang berkaitan dengan kebiasaan belajar yang baik. Bagi siswa yang baru masuk sekolah lanjutan mungkin mengalami kesulitan dalam membagi waktu belajar, adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan ekstra kurikuler, dan sebagainya.

C. Implikasi Proses Penyesuaian Remaja terhadap Penyelenggaraan Pendidikan
Lingkungan sekolah mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan jiwa remaja. Sekolah selain mengemban fungsi pengajaran juga fungsi pendidikan (transformasi norma). Dalam kaitannya dengan pendidikan ini, peranan sekolah pada hakikatnya tidak jauh dari peranan keluarga, yaitu sebagai rujukan dan tempat perlindungan jika anak didik mengalami masalah. Oleh karena itulah di setiap sekolah lanjutan ditunjuk wall kelas yaitu guru-guru yang akan membantu anak didik jika ia (mereka) menghadapi kesulitan dalam pelajarannya dan guru-guru Bimbingan dan Penyuluhan untuk membantu anak didik yang mempunyai masalah pribadi, masalah penyesuaian diri baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap tuntutan sekolah.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memperlancar proses penyesuaian diri remaja khususnya di sekolah adalah.
1) Menciptakan situasi sekolah yang dapat menimbulkan rasa "betah" (at home) bagi anak didik, baik secara sosial, fisik maupun akademis.
2) Menciptakan suasana belajar-mengajar yang menyenangkan bagi anak.
3) Usaha memahami anak didik secara menyeluruh, baik prestasi belajar, sosial, maupun seluruh aspek pribadinya.
4) Menggunakan metode dan alat mengajar yang menimbulkan gairah belajar.
5) Menggunakan prasedur evaluasi yang dapat memperbesar motivasi belajar.
6) Ruangan kelas yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.
7) Peraturan/tata tertib yang jelas dan dipahami murid-murid.
8) Teladan dari para guru dalam segala segi pendidikan.
9) Kerja sama dan saling pengertian dari para guru dalam melaksanakan kegiatan pendidikan di sekotah.
10)Pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan yang sebaik- baiknya.
11)Situasi kepemimpinan yang penuh saling pengertian clan tanggung jawab balk pada murid maupun pada guru.
12)Hubungan yang baik clan penuh pengertian antara sekolah dengan orang tua siswa dan masyarakat.
Karena di sekolah guru merupakan figur pendidik yang penting dan besar pengaruhnya terhadap penyesuaian siswa-siswanya, maka dituntut sifat-sifat guru yang efektif sebagai berikut (Ryans dalam Garrison, 1956).
1) Memberi kesempatan (alert), tampak antusias dan berminat dalam aktivitas siswa dan kelas
2) Ramah (cheerful) dan optimist'rs
3) Mampu mengontrol diri, tidak mudah kacau (terganggu), dan teratur tindakannya
4) Senang kelakar, mempunyai rasa humor
5) Mengetahui dan mengakui kesalahan-kesalahannya sendiri
6) Jujur dan objektif dalam memperlakukan siswa
7) Menunjukkan pengertian dan rasa sirnpati dalam bekerja dengan siswa¬-siswanya.
Jika para guru bersama dengan seluruh staf di sekolah dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka anak-anak didik di sekolah itu yang berada dalam usia remaja akan cenderung berkurang kemungkinannya untuk mengalami permasalahan-permasalahan penyesuaian diri atau terlibat dalam masalah yang bisa menyebabkan perilaku yang menyimpang.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929