loading...

MASA REMAJA II: PADA BATAS DEWASA AWAL

December 03, 2013
loading...
MASA REMAJA II:
PADA BATAS DEWASA AWAL

6.1 Kedewasaan, keadaan “monding” dan emansipasi
Pengertian kedewasaan sebagai suatu fase dalam perkembangan (Wijngaaerden. 1963; Andriesen,1974) di perpanjang dari beberapa segi sebetulnya kurang tepat. Dewasa dalam bahasa belanda adalah “volwassen” “Vol” = penuh dan “Wassen” = tumbuh, sehingga ”volwassen” berarti ”sudah tumbuh dengan penuh ” atau “selesai tumbuh “. Dalam bagian sebelumnya di kemukakan bahwa anak selesai pertumbuhannya antara kurang lebih umur 16 tahun(wanita) dan 18 tahun (laki-laki) tetapi dalm percakapan sehari-hari orang tidak biasa untuk memandang orang usia 16 sampai 18 tahun sebagai sudah dewasa .Di Nederland,begitu pula d Indonesia,maka usia 21 dianggap sebagai batas kedewasaan. Batas tadi sebetulnya timbul secara historis dan tidak mutlak,dan dapay juga di tentukan pada usia 25 atau 18 tahun. Usia ini adalah usia seseorang mendapatkan hak-haknya sebagai warga Negara; dengan begitu ia dapat melakukan kewajiban–kewajiban tertentu tidak tergantung pada orang tuanya seprti misalnya hal memilih, kewajiban tanggung jawan secara hukum,kawin tanpa izin orang taunya. Jonkergouw (1971) mengemukan bahwa dalam undang-undang Nederland no. 42 terdapat batas-batas umur antara14 dan 25 tahun yang sebagian dimaksudkan untuk perlindungan para remaja terhadap masyarakat dan sebagian sebagai perlindungan masyarakat terehadap para remaja. Jadi peraturan hukum tadi hanya untukmenetapkan hal-hal yang di peroleh sebagai warga Negara dalam suatu masyarakat . Dengan begitu maka istilah kedewasaan lebih menujuk pada sutau pengrtian sosiologis daripada perkembangan psikologisnya. Dapat pula dikatakan bahwa tugas-tugas perkembangan pada masa ini di tentukan oleh masyarakat yaitu kawin,membangun suatu keluarga,menidik anak,memikul tanggung jawab sebagai warga Negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, melakukan suatu perkerjaan (Havighurst,1967).
Di Indonesia batas kedewasaan adalah juga 21 tahun. Hal ini berarti bahwa pada usia itu seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Ia mendapatkan hak-hak tertentu sebagaib orang dewasa, misalnya hak untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat,dapat nikah tanpa wali dan sebagainya. Tanggung terhadap perbuatannya tadi berarti pula bahwa ia sudah dapat di kenai sangsi-sangsi pidana tertentu apbila ia melanggar peraturan hukum yang ada. Ditinjau dari segi ini maka arti kedewasaan disinipun mengandung arti jiridis dan sosiologis.
Kecuali bahwa pengrtian kedewasaan kurang jelas dalam arti psikologi perkembangan, maka kedewasaan juga di anggap sebagai sudah mencapai perkembangan yang penuh,sudah selesai perkembangannya. Psikologi perkembangan versi dulu juga tidak lepas dari ketidakjelesan ini. Psikologi perkembangan dulu di pandang sebagai psiologi anak dan remaja; baru kemudain dipandang sebagai ilmu yang melukiskan dan menerangkan gejala dan perubahan psikis sepajang kehidupan (Buhler,1962; Rumke,1951). Pengertian kedewsaan kurang menunjukan bahwa perkembangan itu merupakan proses yang terus menerus. Hal ini lalu mengakibatkan timbulnya pendekatan normo-psikologis seperti yang ditulis oleh Wijngaarden (1953). Wijngaarden melukiskan tugas perkembangan bagi orang dewasa sebagai suatu sikap menerima kehidupan. Dengan begitu kedewasaan merupakan suatu norma yang harus dicapai dalam perkembangan. Perkembangan lalu dianggap menyimpang bila tidak memperlihatkan sikap menerima kehidupan tadi. Kedewasaan disini merupakan suatu norma bagi kesehatan psikis. Dengan begitu Erikson (1964) mengemukakan bahwa orang dewasa yang tidak dapat berhasil dalam tugas-tugas perkembangan akan mengalami isolasi. Pendapat ini memberikan suatu sifap yang kurang dinamis pada pengertian kedewasaan.
Bagaimana juga psikologi perkembangan tidak boleh memisahkan diridari data sosiologis. Bersikap mandiri sebagai warga Negara masyarakat dan merupakan tanggung jawab dalam masyarakat merupakan hak dan kewajiban orang dewasa yang penting yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Jugs mereupakan suatu kenyataan bahwa pada kultur yang lebih sederhana seperti di Samoa (Mead, 1951) para remaja lebih lekas dipandang dewasa, karena pada struktur masyarakat yang kurang maju lebih sedikit tuntutan tanggung jawab kemasyarakatan itu. Tetapi sebaliknya tidak ada kultur yang menuntut “kedwasaan” kepada orang-orang yang secara bio-psikis belum dewasa.
Sebagai ciri khas anak muda diantara masa puberitas fisikdan kedewasaan yuridis-sosial, adalah bahwa dia dapat mewujudkan dirinya sendiri. Pada waktu ini anak muda membebaskan dirinya dari lindungan orang tua. Hal ini tidak hanya berarti bahwa ia dalam usahanya untuk berdiri sendiri,mecoba membebaskan dirinya dari pengaru kekuasaan orang tua, baik dalam segi efiktif maupun dalam segi ekonomi seperti halnya pada remaja yang berkerja. Hal ini berarti bahwa remaja secaa mental tidak sukalagi menurut pada orang tuanya. Kewajiban wakil-wakil generasi tua seperti orang tua,guru,pemimpin-pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi begitu saja di terima.

Meskipun cendrung akan perkembangan sikap ini terdapat pada semua remaja atau anak muda pada masa ini, tetapi manifestasinya banyak di penngaruhi oleh faktor kebudayaan. Di Indonesia sikap ingin membebaskan dirinya dari generasi tua ini mungkin masih disertai oleh sikap hormat dan menjaga distansi antara orang muda dan orang tua sesuai dengan norma-norma yangdi percaya. Tetapi bagaimana pun jga keinginan untuk berdiri sendiri dan mewujdkan dirinya sendiri inimerupakan kecendrungan yang ada pada setiap anak muda.
Dalam bahsa belanda sikap membebaskan diri dari generasi tua ini disebut “mondig” (lihat 1.3.7). Sayang dalam bahasa Indonesia tidak ada istilah terjemahannya. Istilah “mondig” hanya dapat,diterapkan bahwa dalam perkembangan anak muda tadi telah dicapai suatu stadium yang membuat mereka berusaha untuk mencari norma-norma sendiri,bersikap mandiri. Tetapi meskipun pengertian “mondig” oleh Adorno (1970) diberikan sifap yang dinamis (lihat 1.3.7) namun hal itu belum dapat sepenuhnya menunjukkan gejala apa yang has yang ada dalam periode ini.
Apa yang merupakan sifap khas perkembangan anak muda dalam masa hidup ini paling baik dapat dilukiskan dengan istilah emansipasi. Di muka telah di kemukakan bahwa emansipasi merupakakan suatu proses. Dalam proses tersebut seseorang,selama berkembang dan bersama-sama orang lain yang ada dalam keadaan yang sama,belajar untuk mengaktualisasi dirinya sebagai kelompok yang diperlakukan sama dan sebagai orang-orang di dalam kelompokitu mendomanstrasi individualitasnya sendiri. Hal ini dilakukan dengan membebaskan diri dari ikatan irasional yang membuat mereka menjadi kelompok yang didiskriminasi. Pengalaman yang disebutkan terakhir ini, merupakan hal yang sangat khas bagi anak-anak muda pada usia ini,yang meskipun tumbuh secara optimal,namun belum di pandang sebagai “penuh” oleh generasi tua. Bila jurang antar generasi merupakan suatu mythe (Monks/Heusinkved, 1973;Konopka,1976) hal ini tidak berarti bahwa tidak akan ada suatu konflik antar generasi, atau bahwa adanya konflik antar generasi itu di pandang sebagai pendapat psikologi perkembangan yang “kelas rendah” (Harmsen, 1961).tidak mengakui adanya konflik ini akan bertentangan dengan kenyataan. Giesecke (1974;1978) menemukan bahwa konflik ini selalu muncul setiap waktu bahkan pada waktu-waktu penuh pergolakan,juga mempunyai aspek yang istimewa,misalnya pertanyaan yang timbul pada anak-anak muda bagaimana akan dengan hidup kita bila kita masih saja menyesuaikan diri dengan perkembangan teknik dan ekonomi dengan cara yang sama seperti apa yang pernah dan masih dilakukan oleh generasi tua? Hal ini dapat di anggap sebagai aspek politis proses emansipasi suatu aspek yanag memberikan corak tersendiri pada emansipasi anak muda.
Proses emansipasi secara jelas menandai perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang fundamental. Pembaharuan ide-ide struktur hubungan hanya mungkin, bila generasi baru mengadakan dimensi dengan pendapat, struktur dan hhubungan-hubungan yang lama. Konflik tadi bukan merupakan suatu penyimpangan yang harus diatasi oleh pengertian dan kebijaksanaan, karena konflik mempunyai kekuatan kritis untuk pembaharuan (Steenbergen, 1969). Riegel bahkan melihat perkembangan manusia sendiri sebagai akibat kontradiksi dalam konflik (Verhofstadt – Dineve, dalam Monks. dkk. 1981). Dalam bergaul deengan orang dewasa, remaja selalu menunjukkan keinginnanya untuk mengambil inisiatif-inisiatif baru. Sifat reaksi keliling terhadap sikap remaja ini dapat memberikan warna yang negatif pada konflik tadi.
Konflik bukan hanya merupakan “chos des opinions”. Mussen dkk (1974) melaporkan sejumlah besar penelitian yang menunjkan bahwa hubungan antara orang tua dan anak wanita kurang mengandung konflik disbanding hubungan orang tua dan anak laki-laki. Hal ini disebabkan oleh pemberian reinforsemen yangkuat terhadap keinginan mesra anak wanita. Bila hal ini diinterpretasi melulu sebagai perlindungan terhadap anak gadis yang dapat mengalami bahaya yang lebih besar,maka interpretasi semacam ini kurang tepat, kecuali bila hal ini dapat di hubungkan dangan berbagai keadaan dalam masyarakat. Dalam dunia berat maka para wanita belum mengalami emansipasi sepenuhnya. Proses emansiapsi tidak begitu distimulasi dalam pendidikan. Doronagn eksplorasi yang wajar bahkan dihambat dari pada di dorong. Pada anak laki-laki bahkan sikap eksplorasi di dorong,mereka harus belajar menghadapi tantangan dan mengembangkan diri mereka. Dalam kelas sosial yang lebih rendah anak wanita masih sangat di kotrol tingkah lakunya. Mereka diberikan bayangan bahwa mereka secepat mungkin harus mengarungi bahtera perkawinan. Hal yang terakhir ini dalam dunia berat telah makin berkurang (Conger,1973). Menurut penelitian Linden & Roeders (1983) dikemukan bahwa para anak wanita dalam usaha mencapai regulasi diri kurang menyesuaikan diri dengan orang tua dibanding dengan anak laki-laki; mereka lebih berpaling pada gejala-gejala kultur pemuda, mungkin sebagai reaksi terhadap batasan-batasan orang tua. Dalam masyarakan Indonesia timbul pandangan baru terhadap anak wanita,yaitu bahwa anak wanita seperti halnya anak laki-laki harus mempunyai “senjata” ijazah sekolah dan tidak hanya mengantungkan diri pada “suami” saja. Emansipasi wanita dalam arti kemasyarakatan dan social di Indonesia sudah dapat dikatakan mencapai taraf yang cukup tinggi.
Namun ada baiknya melihat perbedaan perkemangan remaja ari lingkungan socsial-ekonomi yang lebih rendah dengan mereka yang dating dari kelas social yang lebih tinggi. Hal ini untuk dapat lebih mengerti mengapa proses emansipasi pada anak-anak muda yang belajar,brjalan lebih sukar,meskipun bersifap lebih intensif. Para pemuda yang berkerja kurang merasakan sebagai kelompok yang didiskriminasi,tetapi malahan lebih solder dengan para orang dewasa dalam “kelas yang bekerja”.

6.2 Remaja yang berkerja dan remaja yang bersekolah
Rata-rata ramaja menyelesaikan sekolah lanjutan pada usia kurang lebih 18 tahun. Pada waktu ini di Indonesia ada dorongan besar untuk melanjutkan sekolah keperguruan tinggi, hingga bila ada suatu kemungkinan saja mereka ingin mealanjutakan pendidikan mereka. Namn ada juga sebagian besar remaj yang tidak dapat melanjutakan dan mencari perkerjaan. Alasan-alasan bagi keadaan yang terakhir ini ada beberapa:
- Alasan ekonomi: anak-anak diharapkan lekas dapat membantu mencari nafkah orang tuanya atau orang itu tidak sanggup membiayai ongkos pendidikan di Perguruan Tinggi.
- Alasan psikologis: berhubungan dengan tingkat perkembangan yang telah dicapai, yaitu remaja ingin mewujudkan dirinya sendiri, ingin mempunyai nafkah sendiri, ingin merdeka dan menentukan hidupnya sendiri.
- Alasan sosiologis: berhubungan dengan “watak sosial” kelas buruh (Rplff, 1970). Menurut Rolff maka “watak sosial” ini menyebabkan tingkah laku seseorang sangat terikat lingkungan. Hal ini merupakan alasan berikutnya yaitu bahwa sekolah dirasa memberikan pelajaran yang berbau kelas menengah (Maunsen, 1971) sehingga anak-anak dari lingkungan sosial yang “lebih rendah” kurang terdorong untuk melanjutkan paling banyak “drop-outs” pada tahun 1975/1976 di sekolah kejuruan. Juga Murdock dan Phelps (1976, h.92) menemukan bahwa dari murid-murid “secondary modern school” di Inggris yang banyak meninggalkan sekolah adalah anak-anak dari kalangan kaum buruh. Mereka juga menemukan bahwa “dari anak-anak buruh kelas yang lebih rendah hanya ada 13% yang mau melanjutkan sekolahnya sesudah umur 16 tahun”.
Dari penelitian Yland diketemukan bahwa banyak murid-murid dari lingkungan yang lebih rendah meninggalkan sekolah sesudah menyelesaikan sekolah lanjutan (ulo/mavo). Dari lingkungan yang lebih tinggi maka persentase yang meninggalkan sekolah ada 18% dan dari lingkungan yang lebih rendah 44% (Yland, 1974 h. 54). Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mereka yang meninggalkan sekolah dan memperoleh pekerjaan yang mereka “pilih” tadi, sebetulnya belum mengerti akan isi daripada pekerjaan mereka itu, sedangkan dalam waktu satu tahun 24% dari mereka sudah mencari pekerjaan yang lain.
Apakah di Indonesia juga ada kecenderungan seperti yang diuraikan di atas, yaitu bahwa ada suatu “watak sosial” yang membuat anak-anak dari lingkungan buruh yang lebih rendah akan lebih suka bekerja daripada bersekolah merupakan lapangan terbuka bagi suatu penelitian. Tetapi bila keadaan seperti di atas benar, maka anak-anak kaum buruh mempunyai kemungkinan besar untuk mulai umur 16 tahun masuk dalam kelompok anak muda yang bekerja. Dari peneltiian yang diadakan oleh Haditono (1983) mengenai anak terlantar sekolah diketemukan bahwa di daerah-daerah peneltiian yaitu di daerah perkotaan, daerah nelayan, daerah pertanian ngarai dan pertanian pegunungan di berbagai tempat di Jawa Tengah dan di Bengkulu terdapat lebih banyak remaja (13-18 tahun) yang putus sekolah (menjadi drop-outs) daripada usia-usia sebelumnya. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut anak sudah dibutuhkan tenaganya untuk membantu orang tua mendari nafkah hidup. Dalam wawancara dengan para orang tua didapatkan bahwa “frame of reference” orang tua tersebut masih sangat sederhana, anak diharapkan memberikan keuntungan instrumental bagi mereka. Pandangan yang sederhana ini sebagian disebabkan karena komunikasi yang kurang dengan daerah-daerah lain dan nampaknya lebih berpengaruh daripada keadaan ekonomi yang kurang.
Frame of reference orang tua tadi banyak mempengaruhi frame of reference anak-anak sendiri sehingga pada mereka (anak remaja) juga tidak terdapat motivasi yang tinggi untuk bersekolah. Selanjutnya untuk perbandingan dengan keadaan di Indonesia menarik pula untuk mengemukakan di sini keadaan yang masih diskriminatif bagi anak-anak wanita tahun 1970 jumlah anak laki-laki yang masih bersekolah pada usia 17 tahun hampir 2 kali lebih besar daripada jumlah anak wanita, pada umur 19 tahun ada 2,3 kali lebih banyak anak laki-laki daripada wanita (Nivor-Raport, 1973). Meskipun situasi anak wanita sekarang sudah lebih baik daripada anak laki-laki, namun masih terdapat keterbelakangan pada anak wanita dibanding dengan anak laki-laki. Dalam tahun 1974 tercatat 61% anak laki-laki mengikuti pelajaran siang hari penuh dan 47% anak wanita. Dalam penelitian Haitono (1983) tidak diketemukan perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dan anak wanita dalam keadaan terlantar sekolah.
Anak-anak muda atau remaja yang sudah bekerja lalu masuk golongan “orang dewasa”. Mereka sudah sedikit dapat mencari nafkah atau menambah nafkah orang tuanya. Pengalaman kerja mereka, mereka lakukan bersama-sama dengan orang-orang dewasa yang lekas mereka jadikan objek identitas diri mereka.
Remaja yang bekerja bersifat kurang memiliki pengetahuan umum dan kurang teoritis dibanding dengan remaja yang masih bersekolah sepanjang merek dalam waktu yang relatif muda ini hidup di antara orang-orang yang bekerja, maka mereka digolongkan “dewasa”; mereka sudah dapat menghidupi diri sendiri dalam batas-batas tertentu. Bila mereka tidak masuk dalam ikatan-ikatan buruh yang terorganisir, mereka akan terbelakang dalam pendidikan mum dibanding dengan teman-teman mereka yang masih bersekolah. Mereka tidak terorganisir atau mereka membentuk relasi-relasi lepas dengan anak muda yang lain melalui hubungan kerta atau tetangga. Di sini tidak ada unsur yang mengikat seperti halnya pad siswa sekolah yang sehari-harinya selalu berkumpul bersama dan membagi pengalaman bersama dengan sesama teman sebaya. Remaja yang bekerja membagi pengalaman kerja dengan orang-orang dewasa dan mereka lekas mengadakan identifikasi dengan orang-orang dewasa tersebut. Berhubungan dengan itu maka te4mpat kerja tersebut, di samping sekolah, juga merupakan tempat belajar yang sangat penting bagi anak muda. Di sana mereka bisa belajar untuk bisa menjadi pekerja yang baik. Pekerjaan yang tidak membutuhkan pendidikan sekolah akan lekas mereka pelajari. Pekerjaan tersebut membutuhkan banyak penyesuaian dan disiplin dalam situasi yang mengikat banyak penyesuaian dan disiplin dalam situasi yang mengikat (Hazekamp, 1980).
Pekerjaan yang membutuhkan pendidikan formal menuntut suatu proses belajar yang sesuai dalam arti belajar dalam situasi bekerja (learning on the job). Sekolah sendiri tidak mungkin dapat mengajarkan keseluruhan proses pekerjaan ini. Sekolah hanya mengajarkan kesibukan praktis, belum berfungsi dalam kerja atau usaha. Di Belanda ada yang disebut “belajar berprartisipasi” di sekolah-sekolah, diberikan pada remaja usia 16-17 tahun. Di sini diberikan secara berganti-ganti situasi bekerja dan situasi sekolah. Cara ini merupakan persiapan yang baik untuk bekerja dan pelajaran sekolah berguna untuk memperdalam pelajaran prakteknya (De Corte dkk, 1985).
Jadi proses emansipasi menghadapi bahaya stagnasi sekitarusia 17 tahun. Hanya karena mereka lebih banyak waktu untuk berada di luar rumah dibanding dengan orang dewasa dan lebih memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan mereka dibanding dengan teman-temannya sebaya, maka para remaja yang bekerja membentuk suatu kelompok tersendiri. Seringkali mereka menunjukkan semacam konsumerisme; mereka sering terpikat oleh reklame penjualan barang-barang yang tidak perlu. Bila kelompok mereka mempunyai organisasi yang resmi, maka organisasinya itulah yang bisa mengambil alih fungsi emansipasi sekolah.
Dalam proses emansipasi ada unsur reaksi terhadap status diskriminasi. Berhubung status interim remaja yang bekerja tidak berlangsung lama, maka perasaan dipandang sebagai “anak” juga tidak terlalu dirasakan, meskipun menurut Welten (1973) para pekerja remaja tersebut juga sering ditempatkan pada posisi bawah. Untuk sebagian proses emansipasi ditujukan pada orang tua. Pada remaja yang bersekolah kecenderungan ini berlangsung lebih lama. Beets (1960) bahkan berpendapat bahwa remaja dapat mengatasi sendiri permasalahan ini di sekolah, lebih baik daripada di luar sekolah. Sekolah bisa juga bekerja anti-emansipatoris, misalnya pada “education for docility” (Silberman, 1970). Dalam hal ini pengaruh anti-emansipatoris lebih banyak karena para siswa yang hampir mendekati dewasa tadi dipaksa untuk melakukan tugas-tugas yang tidak dipilihnya kewajiban belajar sesudah umur 16 kurang dapat dipertahankan secara psikologi perkembangan bila tidak memenuhi beebrapa persyaratan tertentu. Termasuk persyaratan primer adalah bahwa bahasa yang dipakai di sekolah adalah bahasa yang sudah dikenal. Kebanyakan sekolah adalah sekolah cerba! (Kohnstamm, 1969). Hal itu berarti bahwa pada umumnya aktivitas yang dilakukan di sekolah merupakan aktivitas verbal. Timbul pertanyaan apakah cara seperti ini menguntungkan remaja dan apakah seharusnya bukan pelajaran pergaan yang lebih perlu diberikan?
Bernstein (1967-1970) berpendapat bahwa bahasa sekolah yang digunakan oleh para guru, yaitu oleh orang-orang dari kalangan menengah banyak bedanya dari “bahasa rumah” yang digunakan oleh anak-anak dari lingkungan sosial yang lebih rendah. Bahasa sekolah yang dapat disebut “elaborated code” jarang digunakan oleh anak-anak dari lingkungan sosial yang lebih rendah, hal ini menyebabkan anak-anak dari lingkungan sosial yang lebih rendah, hal ini menyebabkan anak-anak tesebut sulit untuk menangkap pelajaran sekolah. Anak-anak dari lingkungan sosial yang lebih rendah tersebut memakai bahasa “restricted code” yang bersifat lebih sederhana. Anak-anak tadi yang terpaksa menggunakan elaborated code merasa “terputus” hubungannya dengan lingkungan sendiri. Keadaan tersebut dapat menyebabkan kesukaran akademis maupun kesukaran emosional. Bernstein mengemukakan bahwa perbedaan antara elaborated dan stricted code ada pada struktur kalimat dan kekayaan bahasa. Kalimat-kalimat pada restricted code lebih pendek, strukturnya bersifat kaku (rigid). Struktur kalimat pada elaborated code lebih lengkap dan mengandung lebih banyak diskriminasi; sehubungan dengan hal tersebut, maka elaborated code lebih cocok untuk pelajaran sekolah yang banyak menggunakan code verbal dalam pemberian informasi. Dapat dibayangkan betapa anak-anak dari lingkungan sosial yang lebih rendah merasa asing dan mungkin tersiksa bila ada dalam sekolah yang bahasanya cukup berbeda dengan bahasa yang dibawanya dari rumah. Anak-anak tersebut di samping sukar untuk mengekspresi dirinya, juga mendapat kesulitan dalam mengikuti pelajaran yang menggunakan kata-kata dan struktur kalimat yang berbeda. Dalam keadaan seperti itu seseorang mudah berfungsi dalam nivo yang lebih rendah dan hal ini dapat menerangkan mengapa anak-anak dari kalangan lingkungan yang lebi rendah sering menunjukkan prestasi inteligensi yang lebih rendah.
Di Indonesia terdapat keadaan yang berbeda kerna semua bahasa yang dipakai di sekolah adalah bahasa Indonesia sejak kelas pertama. Anak yang masuk kelas satu SD kebanyakan dihadapkan dengan hal yang baru, berbeda dengan bahasa yang dipakainya di rumah, baik oleh lingkungan sosial yang lebih rendah maupun lingkungan sosial yang lebih tinggi, meskipun sekarang sudah banyak keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Berhubungan dengan itu mengenai pengaruh bahasa di Sekolah Dasar masih perlu dikaji di Indonesia.
Persyaratan yang sekunder yaitu bahwa suatu lembaga yang bertugas untuk membentuk kepribadian remaja harus memperhaikan tingkat perkembangan remaja tersebut. Sampai masa pubertas anak masih mempunyai kecenderungan untuk mau mengikuti arah yang diberikan orang tua, sesudahnya itu mereka ingin mencari jalan sendiri. Sekolah sebaiknya memperhatikan hal ini dan memberi kesempatan pada siswa (remaja) untuk menentukan arah perkembangan yang dipilih nanti.
Remaja yang masih duduk di bangku sekolah tidak merasakan fungsi emansipasi yang dialami oleh remaja yang bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri yang memungkinkan mereka agak mandiri. Remaja yang masih bersekolah masih terikat pada milieuan tersebut. Mereka merasa terbelenggu dan karena itulah mereka untuk merasa bebas membentuk dunia remaja sendiri bersama teman-teman sebaya, suatu kebudayaan remaja yang kadang kala bisa menjadi anti-kebudayaan (anti-luar)
Kultur atau kebudayaan remaja memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk rekreatif dan kreatif (musik pop, tari-tarian, disko, bioskop, olah raga dan sebaginya) tetapi juga dalam ideal,, cita-cita dan usaha dirasa lebih baiki daripada orang dewasa. Harmsen (1961) kurang setuju dengan istilah kultur remaja, karena bukan merupakan hasil prestasi remaja sendiri. Sebagai analogi istilah tadi msih bisa dipertahankan karena para remaja tadi memperlakukan hal-hal tersebut dengan cara sendiri yang khas yaitu dengan gaya anak muda. Kultur remaja memegang peranan yang penting untuk mempelajari remaja hidup dalam dunia dewasa (Fasick, 1984).
Kecenderungan kultur remaja banyak dijumpai pada masa sekolah lanjutan, anti kultur pada masa perguruan tinggi. Yang pertama lebih khas bagi remaja, yang terakhir lebih khas bagi kelompok tertentu dalam masa dewasa awal.
Dalam kedua hal tersebut nampak jelas adanya kedewasaan yang tertunda atau lebih baik, kedewasaan yang tiak dilaksanakan yang nampak dalam hubungan yang tidak serasai dengan masyarakat.
Kenniston (1960) melihat adanya perbedaan pada remaja dalam cara mereka menghayati “kultur” tersebut. Sebagian besar remaja, paling tidak di Amerika, menempuh jalan yang tradisional dan menunjukkan identitasnya hanya pada ciri-ciri penampilannya dan dalam cara bertindak yang jurang hati-hati (Conger, 1973). Brensjens (1978) sesuai dengan Harmsen juga kurang setuju dengan sebutan kultur remaja atau kultur pemuda; ia lebih suka menyebutnya sebagai variasi sub-kultur pada remaja. Sebaian besar remaja yang tergolong remaja yang kompak yang tidak progresif ataupun regresif.

6.3 Remaja dan Pekerjaan
Dalam keadaan yang normal maka orang dapat memilih suatu pekerjaan yang disenanginya. Dalam keadaan ada banyak penganguran, yang berarti ada lebih banyak orang mencari pekerjaan daripada lapangen pekerjaan yang ada, maka sifat dapat memilih tadi masih tetap ada yaitu bla orang ada kemungkinan sedikit saha untuk dapat memilih suatu pekerjaan, maka ia akan memilih pekerjaan yang paling dekat dengan bakat dan perhatiannya. Dalam hal ini subjektifnya tadi masih sangat menguasai hingga pilihannya tadi tidak bisa terlalu realistis. Misalnya anak kecil ingin menjadi sopir bis karena, atas dasar pengalamannya yang masih terbatasm dirasa begitu menarik untuk duduk dibelakang stir kendaraan yang begitu besar. Pilihan pekerjaan yang sungguh-sungguh bukanlah suatu tindakan sesaat saja, melainkan merupakan hasil suatu proses pemikiran dan pengalaman tertentu, walaupun hasilnya nanti mungkin juga dapat bersifat sementara lagi.
Ginzberg (1975) telah membuat penataan dalam data mengenai proses pemilihan pekerjaan melalui teknik-teknik interview dalam penelitian longitudinal dan transversal ia membedakan adanya 3 periode:
1. Periode sebelum umur 11 tahun. Disini anak banyak mengadakan identifikasi dengan orang dewasa. Meskipun begitu, “pilihan” anak tadi secara jendral mengungkapkan sedikit banyak sifat wataknya yang kelak ikut menentukan pekerjaannya.
2. Periode tentatif. Disini ada konfrontasi antara berbagai macam perhatian, penilaian kecakapan sendiri dan pendapat akan nilai-nilai dair pihak orang lain. Misalnya seorang anak laki-laki umur 12 tahun yang ingin menjadi dokter karena ia begitu tertarik untuk menolong orang-orang lain, akan menjadi lebih “bijaksana” karenanya cukupan saja, dianjurkan untuk tidka masuk kedokteran.. maka pada usia 18 tahun ia menentukan untuk menjadi ahli fisioterapi.
3. Periode realistis mulai kurang lebih 17 tahu. Disini terjadi suatu pilihan yang definitif, timul karena kompromi tinbul karena kompromi antara pendekatan subjektif, yang timbul pada periode tentatif, dengan kemungkinan-kemungkinan praktisnya. Anak laki-laki tersebut diatas yang ingin masuk pendidikan fisioterapi misalnya dapat ditolak pada seleksi masuk atau sesudah menjalani satu tahu pendidikan tingkat pertama. Disini sekali lagi timbul proses menimbang-nimbang berbagai arah perhatian, kecakapan serta kemungkinan-kemungkinan yang optimal.
Kritik terhadap metode penelitian serta pengertian-pengertian yang dikemukakan Ginzberg menyebabkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Misalnya Super (1957) mengkritik pemakaian istilah “pilihan” oleh Ginzberg. Istilah itu mempunyai arti yang lain sama sekali pada anak kecil dan pada remaja umur 1 tahun. Tetapi yang perlu diperhatkan disini ialah bahwa Ginzberg (1951) menganggap selesai perkembangan pemilihan pekerjaan pada saat yang semula oleh psikologi perkembangan dianggap sebagai selesainya perkembangan seseorang. Seprti yang telah diketahui maka perkembangan tidak berhenti pada saat orang mencapai kedewasaan. Meskipun pilihan pekerjaan jelas merupakan suatu tugas perkembangan remaja dan orang dewasa awal, namun hal itu sudah merupakan pilihan yang mantap. Pemilihan pekerjaan adalah suatu proses perkembangan pada kebanyakan orang dan baru berhenti beberapa tahun sesudah mereka mengundurkan diri dari kehidupan pekerjaan, kurang lebih umur 60 dan 65 tahun. Orang yang mengalami pensiun pada usia muda misal pada ABRI (45-50 tahun) masih memilih lingkungan pekerjaan baru, kadang-kadang umur 65 tahun ke atas masih melakukan hal tersebut.
Sambil lalu istilah lingkungan pekerjaan dipakai disini untuk mengganti istilah pekerjaan. Wiegersma (1962) membedakan antara pekerjaan, fungsi dan lingkungan kerja. Pekerjaan mempunyai hubungan dengan kesatuan tugas yang dilakukan dalam suatu kehidupan bersama lepas dari organisasi kerja yang spesifik maka hal itu lalu disebut fungsi. Dengan begitu maka jabatan dokter merupakan suatu pekerjaan, dokter oerusahaan suatu fungsi. Istilah lingkungan pekerjaan di dalam suatu kehidupan bersama. Seorang perwira ABRI yang telah pensiun dan dipekerjakan pad asalah satu kementrian, tidak memmilih suatu pekerjaan baru, tetapu ia mendapatkan suatu lingkungan kerja baru.
Orang-orang muda mungkin lebih memikirkan, suatu lingkungan kerja daipada suatu pekerjaan. Sebalum membicaran beberapa faktor yang lain ada baiknya untuk meninjau pendapat Super (1957) mengenai karier pekerjaan lebih dulu. Istilah karier sudah menunjukkan suatu perspektif. Perspektif ini dapat sudah ataaaau belum diperhtungkan dalam pemilihan tadi, misalnya menjadi sarjana hukum untuk dapat mempunyai kedudukan yang tinggi, misal menjadi hakim tinggi atau jaksa agung. Sehubungan dengan pendapat Buhler (1962) maka Super menganggap proses pemilihan pekerjaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan konsep diri. Proses pemilihan pekerjaan dalam arti Proses menemukan karier, mengikuti proses kelima masa kehidupan yaitu: masa pertumbuhan (sampai kurang lebih 14 tahun), masa peninjauan (14-24 tahun), masa penentuan diri (24-44 tahun), masa pertahanan (45-64 tahun) dan masa peralihan (mulai 65 tahun). Batas-batas yang nyata di sini seperti yang sudah diketahui sebelumnya, ada pada umur 14 tahun yaitu pada pemasakan seksual, dan 65 tahun pada waktu orang pada umunya menarik diri dari pekerjaanya. Apakah masa peninjauan atau eksplorasi terjadi di antara umur 14-24 tahun, seperti halnya pada para remaja yang mengikuti pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, atau diantara 14-20 tahun tidaklah terlalu penting. Hal tersebut banyakditentukan oleh faktor-faktor sosial-ekonomi dan sosial-kultur. Yang penting ialah bahwa para remaja yang dibicarakan di sini yaitu antara 16 dan 20 tahun ada dalam periode eksploratif atau seperti apa yang dikatakan Ginzberg dalam peralihan periode tentatif ke periode realistis.
Dengan menyebutkan faktor-faktor sosial-ekonomi dan sosial kultural terpancanglah pembicaraan akan aspek-aspek yang mempengaruhi pemilihan pekerjaan. Ada baiknya untuk mendasarkan pembicaraan ini pada klasifikasi Wiegersma (1963).
Menurut Wiegersma maka pemilihan yang “pasti” ditentukan oleh sejumlah faktor esensial dan faktor kebetulan. Faktor esensial dibedakan antara faktor yang memberikan batas kemampuan seseorang atas dasar potensi psikis dan fisik dan juga atas dasar pembentukan dan bantuan yang datang dari sejumlah faktor personal, sosiologis, sosial-ekonomis dan sifat watak seseorang. Contoh dari masing-masing adalah, misalnya jenis kelamin, status sosial, konjungtur, kebutuhan-kebutuhan pribadi (misalnya kebutuhan untuk menguasai). Hal-hal ini semua memberikan pengaruh pada arah pemilihan pekerjaan. Seorang wanita kurang memilih pekerjaan yang bersifat teknis atau yang membutuhkan kerja badan yang berat. Pada dewasa ini, misalnya di indonesia, banyak pekerjaan yang dulu hanya menarik bagi laki-laki sekarang juga banyak disenangi oleh wanita, misalnya untuk menyebut beberapa contoh saja: ahli teknik, geografi, geodesi, fisika nuklir, kehutanan, juga merupakan arah pilihan wanita.
Pada waktu dulu umumnya pekerjaan tidak merupakan perspekt hidup yang penting di kalangan anak wanita, karena perkawinan merupakan tujuan hidup yang sesungguhnya. Baik di indonesia maupun di tempat lain nampak adanya perubahan yang jelas, menurut penelitian Konopka (1976) maka anak-anak wanita di amerika antara umum mempunyai 12-18 tahun kebanyakan memilih suatu kombinasi bekerja, kawin dan mempunyai keluarga, kombinasi ini menurut mereka adalah mungkin.
Bagaimana pentingnya pengaruh konjungtur terutama nampak pada waktu-waktu resesi ekonomi. Dalam waktu-waktu itu sukar bagi para remaja untuk memperoleh lingkungan pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Dalam negara-negara industri terjadi penghargaan yang lain terhadap pekerjaan. Misalnya dalam peneliti di peranci (Delors, 1977) diketemukan bahwa pekerjaan bagi pemuda sekarang kurang mempunyai arti dibanding dengan hubungan interpersonal dan berbagai aktivitas di luar pekerjaan; juga bahwa cenderung bertambah untuk mencari lingkungan kerja “part-time”.
Pengaruh faktor kebetulan kebanyakan adalah kejadian insidtal dalam hidup seseorang yang dapat menentukan batas kemungkinan seseorang memperoleh pekerjaan ataupun memberikan artinya. Contoh pertama adalah kecelakaan yang hebat, yang dua misalnya kebetulan berjumpa dengan orang yang berpengaruh.
Kekompleksan keseluruhan faktor-faktor ini menyebabkan anak muda membutuhkan nasehat dan bimbingan dalam memilih suatu kerjaan. Hal ini terutama dibutuhkan dalam periode tentatif, tetapi pada permulaan periode realistis dan bahkan juga pada permulaan lakukan pekerjaan. Pyusat-pusat bimbingan pekerjaan dan para orang tua mempunyai peranan yang sangat besar dala hal ini.
Peran orang tua sebagai model, terutama ayah bagi anak laki-laki sangat penting. Penelitian Bell yang dilaporkan oleh Co (1973) menemukan bahwa pengaruh ayah sebagai model pemilihan pekerjaan anak laki-alaki bertambah selama periode 14 dan 24 tahun baru sesudahnya itu menjadi berkurang. Pengaruh ayah terhadap pilihan pekerjaan pada anak wanita juga penting. Ibu mempunyai pengaruh semacam itu bila ia sendiri juga bekerja (Jersild dkk,. 1978).
Pengaruh ayah merupakan perpanjangan pengaruh lingkungan yang selanjutnya memberikan arah pada pemilihan pekerjaan anak. Berhubung pendidikan sekolah juga banyak ditentukan oleh miliue maka sebetulnya tidaklah tepat bicara mengenai pengaruh-pengaruh yang memberikan arah.
Mungkin lebih dapat dikatakan adanya nasib yang menentukan jalan hidup anak muda tadi. Misalnya keseganan remaja umur 15 dan 16 tahun untuk melanjutkan pelajarannya dapat dimengerti dari perspektif ini (lihat data Mooij yang diambil dari Hopman). Fungsi alokatif pengajaran menyebabkan bahwa anak-anak buruh juga akan menjadi buruh. Bagi mereka maka pekerjaan bukan merupakan suatu sumber kesenangan, melainkan merupakan sumber penghasilan. Di sini para remaja yang bekerja dapat membuat perubahan dalam penghidupan mereka. Dilihat dari segi psikologi perkembangan maka mereka pekerjaan tadi merupakan suatu cara untuk memperoleh kemerdekaan. Penghargaan akan kemampuan dan jerih payah sendiri dan bertambahnya kekampuan untuk membuat rencana dalam arti merencanakan pelaksanaan tugas yang efisien, semuanya itu memegang peranan yang penting dalam mencapai kemerdekaan tadi (Oerter, 1981). Sebaliknya bagi para remaja di lingkungan kelas menengah, maka pekerjaan mengandung suatu kumpulan kemungkinan, antara lain sumber penghasilan setinggi mungkin dengan status-ekonomi yang sesuai, sumber kegembiraan kerja, pemenuhan kebutuhan dan juga sumber arah minat. Penundaan pemilihan berarti terbukanya kemugkinan itu selama tidak ada faktor pembatas yang membatasi kemungkinan tersebut. Bagi anak-anak muda ini maka pekerjaan merupakan suatu pemenuhan cita-cita hidup, dari itu pemilihan ini bagi mereka merupakan suatu hal yang sangat penting.
Bagi remaja dari lingkungan kelas menengah proses pemilihan pekerjaan dapat merupakan satu bagian proses emansipasi, sedangkan bagi remaja dari lingkungan sosial ekonomi yang lebih rendah pemilihan ini kurang mempunyai peranan tersebut. Kemungkinan praktis bagi remaja dari golongan sosial ekonimi yang lebih rendah begitu terbatas, hingga kurang tapat untuk bicara mengenai pilihan pekerjaan. Mereka sudah senang bila dapat memperoleh kerja. Pada kalangan sosial ekonomi kuat ada banyak pilihan pekerjaan meskipun kadang-kadang harus berusaha juga atau memperoleh pekerjaan yang “lebih rendah” kualitasnya. Hal ini sebaliknya mempenagruhi situasi kerja pada golongan sosial ekonomi rendah dalam arti tidak menguntungkan. Remaja yang tidak menamatkan sekolah juga sulit untuk mendapatkan pekerjaan pengangguran bertambah. Menurut Doring (1982) pengangguran tersebut begitu mempengaruhi psikis anak-anak muda sehingga timbul sikap pasrah dan putus asa hingga mematahkan pengharapan untuk masa depan yang baik.
6.4 Remaja dalam masyarakat
Hubungan seseorang dengan masyarakatnya menjadi semakin penting pada masa remaja. Khususnya dalam proses emansipasi perlu ada tinjauan bagaimana hubungan remaja dengan masyarakatnya.
Dalam mendidik remaja perlu diarahkan kepada hal-hal yang baik untuk menjaga keselarasan antara individu dan masyarakat, jadi apa yang baik unuk mrnjaga kelestarian “sosial ordar”. Hal ini sering menimbulkan bahan konflik karena remaja mempunyai ideal dan cita-cita sendiri yang tidak ditemukan dalam masyarakat. Remaja mengalami pertentangan antara apa yang diidam-idamkan dengan kenyataan yang ada.
Pertentangan antara remaja dan masyarakat ini menurut Mollenhauer ada 6 macam :
1. Pertentangan antara integrasi dan partisipasi kritis
Supaya masyarakat bisa berfungsi dengan baik, maka semua warganya perlu memikul tanggung jawab bersama dan para remaja perlu dipersiapkan untuk hal tersebut. Namun sebaliknya bayak diketemukan hambatan dan rintangan bagi remaja untuk bisa ikut berpartisipasi secara kritis dalam berbagai institusi seperti keluarga, sekolah serta kehidupan usaha. Sebagaian besar remaja telah mengambil sikap komformistis sehingga lebih menyesuaikan diri dengan pola masyarakat daripada dengan cita-cita sendiri.
2. Pertentangan antara kesempatan dan usaha ke arah peningkatan status sosial
Cita-cita mengenal adanya kesempatan yang sama bagi semua orang (warga masyarakat) sangat disetujui oleh masyarakat namun banyak gejala ditemukan bahwa seseorang sulit meningkatkan status sosial bila ia terlanjur masuk suatu kelompok sosial, yaitu misalnya anak seorang buruh akan tetap berada dalam kelompok buruh tadi. Anak sekolah buruh juga akan menjadi buruh.
Di indonesia terdapat keadaan yang agak lain. Berhubung mobilitas orang meningkat maka banyak anak berasal adari kelompok sosial ekonomi lebih rendah akan dapat keluar dari kelompoknya tersebut, menuntut pendidikan yang lebih tinggi dan akhirnya dapat menempatkan dirinya dalam status sosial yang lebih baik.
3. Pertentangan antara sugesti mengenai kehidupan yang serba enak dengan kenyataan yanga ada; masih tergantung orang tua.
Ideal perkembangan seseorang adalah mencapai aktualisasi diri atau perwujudan diri. Anak muda masih diliputi penuh cita-cita akan kehidupan yang lebih bebas, mandiri lepas dari ikatan remaja dan lingkunganya. Kenyataanya adalah bahwa remaja masih terikat akan sejarah hidupnya, masih juga meniti jalan yang sudah “ditentukan” baginya oleh pendidikan dan lingkungannya. Dalam waktu luang remaja sering melamunkan kehidupan yang lebih menyenagkan membeli barang-barang yang disenangi. Namun keadaan itu juga bubar bila ia memilih untuk kawin , artinya mulai melepaskan status interimnya. Remaja memasuki kehidupan bertanggung jawab dan waktu luangnya diisi oleh usaha menambah penghasilan hidup yang biasanya menuntut penyesuaian dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
4. Pertentangan antara perhatian mengenai faktor ekonomi dan pembentukan kepribadian
Pertentangan yang terjadi di sini adalah pertentangan yang sungguh-sungguh: numerus fixus dan pengstrukturan kembali sistem pengajaran yang bersifat ilmiah. Makin banyak anak-anak muda yang ingin melanjutkan ke Perguruan Tinggi sebagai akibat situasi hidup yang lebih baik. Kebutuhan sarjana akan bertambah.
Pengstrukturan kembali membawa akibat bahwa makin banyak mahasiswa yang diketemukan lebih cocok untuk bentuk pengajaran yang non-akademis dan juga bahwa dari kelompok mahasiswa ada sebagian sangat cocok untuk menjadi peneliti yang ulung, mencapai puncak kerja akademis dan nanti dapat mencapai tangga yang paling tinggi dalam masyakat.
Dalam keseluruhan pendidikan makin nampak bahwa kebutuahan ekonomi makinmenguasai pembentukan kepribadian anak. Tetapi di samping itu nampak pula bahwa pendidikan seringkali bertujuan untuk membuat anak politis dewasa dan mencapai emansipasi yang kurang ada hubunganya dengan keadaan orde ekonomi yang ada. Timbullah aksi-aksi unjuk rasa menentang orde tersebut serta menentang lembaga-lembaga yang lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. Remaja dan kaum muda pada umumnya menjadi unsur pokok pada aksi unjuk rasa tersebut.
5. Pertentangan antara fungsi politis dalam pembentukan kepribadian dengan sifat sebenarnya yang tidak politis.
Pengertian pembentukan kepribadian yang berasal dari pemikiran neo-humanisme, semula tidak berhubungan dengan pengetahuan dasar umum yang begitu dibutuhkan oleh setiap orang yang hidup dalam masyarakat yang maju. Pembentukan kepribadian bererti perkembangan sifat-sifat kemanusian lepas daripada pekerjaan yang dimiliki seseorang. Dalam makna semula maka hal itu jyag berarti keikutsertaan orang dalam kejadian yang ada dalam masyarakatnya.
Dalam waktu ini mungkin hat itu berarti kesadaran bermasyarakat. Di sekolah tugas itu termasuk dalam mata pelajaran “ilmu masyarakat (di Indonesia tercakup dalam sosiologi) yang seyogyanya tidak berwarna politis, karena pendidikan politis sering dikacaukan dengan partai politik. Pembentukan kepribadian dalam hal ini mempunyai arti yang terbatas yang berarti hanya memberikan seperangkat ilmu dan keterampilan-keterampilan. Apakah ini cukup untuk bisa berfungsi sebaik-baiknya dalam masyarakat nanti.
Remaja melihat kekurangan itu dan menuntut agar sekolah memberikan pelajaran yang Lebih menyeluruh yang bisa memungkinkan terjadinya emansipasi (Von Hentig, 1970). Remaja menginginkan agar sekolah bisa ikut berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, dan tidak hanya mempersiapkan remaja untuk hidup bermasyarakat nanti.

6. Pertentangan antara tuntutan resionalitas dengan kenyataan yang irrasional
Remaja sering diberi pengertian bahwa sikap yang rasional sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang sudah maju. Tetapi kenyataan yang ada sangat bertentangan. Rasionalisasi berarti bahwa semua yang terjadi hams bisa dikontrol, dilaksanakan secara terbuka. Meskipun begitu, proses demokratis yang ada dalam masyarakat yang telah maju tidak bisa terlaksana dengan baik dengan daub tidak ada penilai-penilai yang cukup mampu atau demi efisiensi pengambilan keputusan (Selectic; Wotters, 1974).
Menurut sementara ahli psikologi perkembangan maka analisa Mollenhauer tersebut lebih berhubungan dengan orientasi politis dalam rangka kontra-kultur daripada den para remaja pada umumnya. Menurut Youniss dan Smollar (1985) maka apa yang tidal-c diperhatikan oleh para ahli teori emansipasi dan sosialisasi itu adalah sifat hubungan yang ada antara remaja dan orang tua dalam menghadapi masyarakatnya.

• Perkembangan Moralitas
Meskipun perkembangan moralitas sudah dibicarakan di muka, namun perlu kiranya untuk dibicarakan lagi secara tersendiri di sini mengingat pentingnya perkembangan moralitas justru pada masa remaja ini. Furter (1965) beranggapan bahwa “kehidupan moral” merupakan problematik yang pokok dalam masa remaja. Maka perlu kiranya untuk meninjau perkembangan moralitas ini mulia dan waktu anak dilahirkan untuk dapat mengerti. Mengapa justru Dada masa remaja hat tersebut menduduki tempat yang sangat penting.
Dalam bab 4 telah dikemukakan bahwa Köhlberg (1964; 1972) bersama-sama dengan teman-teman kerjanya yang lain, meneliti perkembangan moralitas dalam berbagi stadium. Ia bertitik tolak pada tingkah laku penilaian moral Piage: (1954). Kohlberg meneliti penilaian moral dalam perkembangannya, jadi apa yang dianggap baik (seharusnya dilakukan) dan tidak baik (tidak pantas dilakukan) oleh anak dalam stadium yang berbeda-beda. Hal ini diteliti melalui dilema-dilema moral. Dengan begitu tindakan seseorang atas dasar penilaian moral tadi tidak merupakan tinjauan yang utama. Hal ini dapat dimengerti yaitu bahwa peneliti yang berasal di mazhab Paget akan menitikberatkan pada perkembangan aspek kognitif-volisionalnya. Berdasarkan penelitian terhadap anak-anak yang diberikan dilema moral yang makin menuntut pengertian yang kompleks, maka Kohlberg melukiskan perkembangan moral anak dalam 6 stadium. Keenam stadium mi ada hubungan dengan keempat stadium perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget.
Dalam tingkatan nol anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya. Tingkatan ini bersamaan dengan stadium sensori-motorik dalam perkembangan intelegensi menurut Piaget. Sesudah tingkatan ini datanglah kedua tingkatan yang oleh Kohlberg disebut pra-konvensional. Anak menganggap balk atau buruk atas dasar akibat yang ditimbulkan oleh suatu tingkah laku: hadiah atau hukuman (stadium 1). Dalam stadium pra-konvensional yang berikutnya (stadium 2) anak mengikuti apa yang dikatakan baik atau buruk untuk memperoleh hadiah atau menghindari hukuman. Hal ini disebut hedonisme instrumental. Sifat timbal balik di sini memegang peranan, tetapi masih dalam arti “moral balas dendam’. Kedua stadium ini sesuai waktu dengan stadium pra-operasional dalam perkembangan intelektual Piaget. Dengan datangnya stadium operasional formal mu1alah .Juga perkembangan moral yang sebenarnya. Dalam hubungan ini Kohlberg membedakan antara tingkatan konvensional (stadium 3 dan 4) dan tingkatan post-konvensional (stadium 5 dan 6), Dalam stadium 3 akan dinilai baik apa yang dapat menyenangkan dan disetujui oleh orang lain dan buruk apa, yang ditolak oleh orang lain. Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam periode ini. Dalam stadium 4 ini tumbuh semacam kesadaran akan kewajiban dalam art! Ingin mempertahankan kekuasaan dan aturan-aturan yang ada, karena dianggapnya berharga, tetapi dengan belum dapat mempertanggungjawabkan secara pribadi. Tingkatan yang terakhir disebut post-konvensional untuk menunjukkan bahwa dalam stadium operasional formal moralitas akhirnya akan berkembang sebagai pendirian pribadi, jadi lebih tidak tergantung dari pada pendapat-pendapat konvensional yang ada.
Originalities remaja juga nampak dalam hal itu. Pertama remaja masih mau diatur secara ketat oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi (stadium 5). Meskipun di sini kata hati sudah mulai bicara, namun penilaiannya masih belum timbul dan kata hati yang sudah betul-betul diinternalisasi., yang seringkali nampak dalam sikap yang radikal kaku. Sesudahnya ini datanglah penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku moral yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri (stadium 6). Hubungan antara perkembangan kognitif dan moral dapat jelas nampak dan ikhtisar .(tabel 8,. h. 308) yang juga membandingkan kedua perkembangan tersebut dengan perkembangan sikap ambil alih peran (role-taking) menurut Selman (lihat Leckie, 1975).
Tingkat perkembangan sosial-kogntif akan diterangkan berikut ini (1) Tingkat egosentris: anak belum membedakan antara perspektif sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum “merasakan” bahwa orang lain yang tidak ada dalam situasi tertentu akan dapat mempunyai pandangan yang lain. (2) Tingkat subjecktif : anak sekarang sadar bahwa ada perspektif yang lain misalnya karena seseorang ada dalam situasi yang lain maka Ia akan memperoleh informasi atau penilaian yang lain. Perspektif yang berbeda-beda mi belum dapat dimengerti hubungannya. (3) Tingkat refleksi diri: sekarang ada perspektif yang menyebelah atau yang tidak timbal balik pada anak. Anak sadar bahwa lain orang dapat mempunyai perasaan dan pikiran yang lain pula, tetapi Ia belum mampu untuk menghubungkan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain. Ia belum dapat menempatkan dirinya betul-betul pada tempat orang lain. (4) Tingkat koordinasi perspektif : baru sekarang anak dapat mengerti suatu situasi-interaksi dart sudut pandangan orang ketiga yang “netral”. Mulai sekarang ia mengerti bahwa orang-orang yang mengadakan interaksi itu secara simultan saling mengerti pendirian masing-masing. Sifat khas dan koordinasi perspektif adalah, bahwa anak seakan-akan menempatkan diri di luar dirinya sendiri dan melihat interaksinya antara dirinya sendiri dengan orang lain dari ‘sudut posisi orang ketiga dan dari posisi itu dapat menemukan hubungan yang timbal balik antara berbagai perspektif tadi’ (Gerris dkk.., 1980, h. 15: lihat juga Heymans, 1979).
Dalam penelitian yang dilakukan di Bandung oleh Tri Setiono (1982) mengenal pengaruh KKN terhadap kognisi sosial mahasiswa Universitas Padjadjaran diketemukan bahwa KKN memberikan efek pada peningkatan tahap koordinasi perspektif sosial, tetapi kurang jelas ada efeknya terhadap peningkatan penalaran moral (moral Judgment) mahasiswa.
Menurut Kohlberg kebanyakan orang tidak mencapai tingkat post-konvensional atau terlambat mencapainya yang dapat di sebabkan oleh pengaruh kultur atau sub-kultur. Menurut penelitiannya maka 10% dari remaja Amerika mencapai tingkat ini sekitar usia 16 tahun. Menurut Kohlberg make perkembangan moral dapat distimutasi oleh pendidikan moral.
Dengan penemuan-penemuan yang kurang optimis ini kembalilah pembicaraan kita pada Furter (1965). Dalam tinjauan feno menologisnya yang luas Furter mengemukakan 3 macam dalil sebagai berikut :
1. bahwa tingkah laku moral yang sesungguhnya baru timbul pada masa remaja.
2. bahwa masa remaja sebagai periode masa muda harus dihayati betul-betul untuk dapat mencapai tingkah laku moral yang otonom.
3. bahwa eksistensi muda sebagai keseluruhan merupakan masalah moral dan bahwa hal ini harus dilihat sebagai hal yang bersangkutan dengan nilai-nilai (penilaian).

Tabel 8. Hubungan antara perkembangan kognitif, kognisi-sosial dan perkembangan moralitas, pengertian norma (Perkembangan kognitif dianggap sebagai salah satu persyaratan yang logis mutlak bagi perkembangan kognisi sosial, sedangkan perkembangan kognisi sosial dianggap sebagai salah satu syarat mutlak bagi perkembangan pengertian norma).
Stadium perkembangan
komisi (Piaget) Tingkat ambil alih peran, perkembangan komisi sosial (Selman & Byrne) Tingkat penilaian moral (Kohlberg)
Berfikir pra-operasional







Berfikir operasi konkrit










Permulaan berpikir operasional formal

Menguasai sepenuhnya operasi-operasi formal Tingkat agosentris (sekitar 4 tahun)
Tingkat subjektif (sekitar 6 tahun)





Tingkat refleksi diri (sekitar 8 tahun)










Tingkat koordinasi perspektif (sekitar 10 tahun) I. Tingkat pra-konvensional
Stadium



Stadium 1



2
Orientasi menurut dan takut hukuman
Orientasi hedonisttik Instrumental

II. Tingkat konvensional
Stadium





Stadium 3





4 Orientasi saling pengharapan interpersonal (good person orientation)
Orientasi pelestarian sistem sosial


III. Tingkat post-konvensional atau penilaian moral yang prinsip
Stadium

Stadium 5

6
Orientasi kontrak sosial
Orientasi pada dasar-dasar moral universal


Bila hal ini dihubungkan dengan tingkah laku moral yang otonom maka dapatlah dimengerti dalam perspektif penelitian Kohlberg dkk (1972). Tingkah laku semacam itu menuntut suatu tingkat perkembangan intelektual serta pembentukan penilaian yang tinggi. Pembentukan pernialian ini terjadi atas dasar interaksi antara potensi-potensi yang ada dan oleh faktor-faktor lingkungan. Hal ini terjadi sedemikian rupa, hingga proses menjadi dewasa dan proses emansipasi membawa individu ke arah pernilaian yang mandiri yang mempunyai konsekuensi penting bagi diri person sendiri.
Dengan keterangan di atas maka dalil Furter yang kedua untuk sebagian besar dapat dimengerti. Tingkah laku moral yang otonom dianggap mempunyai proses perkembangan seperti tersebut di atas. Karena di sini keseluruhan person remaja sendiri akan terlibat, dapat ditentukan bahwa masa remaja sebagai periode perkembangan wajib dihayati benar-benar.
Menurut dalil yang ketiga, maka menjadi remaja berarti : mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasi pernilaian moral, menjadikannya sebagai nilai pribadi sendiri. Furter mengatakan bahwa seseorang dengan sadar telah membuat sejarah hidup pribadinya sendiri. Kesadaran itu harus dipandang sebagai konsistensi (Freire, 1972), suatu kesatuan refleksi dan aksi.
Bila ditanyakan bagaimana terjadinya perkembangan internalisasi norma dan nilai, maka nampaklah dari sejumlah penelitian, bahwa hal ini juga terjadi melalui identifikasi dengan orang yang dianggapnya sebagai model (lihat juga Bab 4). Dalam penelitian tujuh negara di Eropa, yaitu Jerman Barat, Negeri Belanda, Belgia, Perancis, Italia, Spanyol, dan Portugal, nampak bahwa gambaran ideal itu bergeser dari yang dekat melalui yang jauh ke yang abstrak (Lute dkk., 1969; Lutte, 1971).
Dalam penelitian tersebut maka bagi anak usia antara 12 dan 16 tahun, gambaran ideal yang diidentifikasi adalah : orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang terkenal dan ideal-ideal yang diciptakan sendiri (kebanyakan abstrak). Kemungkinan anak remaja tadi harus mengadakan distansi dengan milieu primer mereka untuk, sebagian melalui identifikasi dengan ideal yang jauh, dapat mencapai pembentukan niali pribadi sendiri. Jumlah identifikasi yang besar terhadap orang-orang dewasa yang simpatik dan terhadap teman-teman sendiri dapat dimengerti dalam hubungan dengan pengambilan jarak dengan lingkungan primer (pada tabel 10 dalam kategori ideal jarak dekat). Dalam kategori jarak maka milieu primer adalah yang paling dekat).
Mengenai kategori teman-teman sebaya perlu diperhatikan akan dua hal. Telah diketahui sebelumnya bahwa kecenderungan “menjauhi milieu primer” dan mendekati teman-teman sebaya” itu tidak merupakan hal yang bersambungan, melainkan merupakan dua hal yang berjalan paralel dan berkaitan satu sama lain. Lassaigne menarik kesimpulan dari penelitiannya mengenai pengaruh orang tua dan kelompok teman pada pendapat remaja mengenai moral, bahwa remaja “membutuhkan baik orang tua maupun teman sebaya dan bahwa mereka menerima keduanya tadi sebagai penasehat dan pembimbing” (Monks, dalam Monks dkk., 1981, h. 22). Di samping itu waktu ini adalah waktu jatuh cinta pertama yang sungguh-sungguh.
Anak laki-laki sering memilih anak wanita sebagai ideal mereka dan anak wanita lebih sering lagi memilih anak laki-laki sebagai ideal mereka. Hal-hal ini kadang-kadang menunjukkan mulai timbulnya cinta erotik.
Soal jatuh cinta yang kadang-kadang sering berganti0ganti memegang peranan penting dalam kehidupan remaja. Dalam pemilihan idola-idola kebanyakan terbatas pada kelas sosial ekonomi sendiri. Disamping sebab-sebab kemungkinan sosial, hal ini juga disebabkan oleh norma-norma dan nilai-nila sub-kultural yang telah berakar. Pola norma dan nilai yang mereka identifikasi sebagian besar adalah norma kelas sosial sendiri (Conger, 1973). Dari kenyataan itu dapat dikemukakan lagi bahwa tidak benar bila konflik antar generasi diinterpretasi sebagai jurang antar generasi. Moral kelompok atau moral kelas diambil alih oleh generasi muda dari generasi tua mengenai hal ini sudah tentu ada perkecualian-perkecualiannya.
Kecuali melalui identifikasi, di muka telah disebutkan, maka perkembangan moralitas menurut Kohlberg (194; 1981) juga dipengaruhi oleh pendidikan moral. Van der Ven (1985) membedakan antara pendidikan nilai-nilai melalui pengaruh yang disengaja, pengertian nilai melalui pemilihan bebas remaja, dan komunikasi nilai yang sesuai dengan pendapat Habermas, berarti bahwa para remaja dibimbing untuk datang pada pilihan sendiri melalui komunikasi rasional dan argumentasi.
Tabel 9. Persentase pilihan gambaran ideal di 7 Negara Eropa.
Negara WD N B F I S P Total
Jumlah orang coba
Gambaran ideal
Ideal jarak dekat
1. Orang tua
2. Keluarga yang lain
3. guru
4. Orang dewasa simpatik
5. Teman-teman

Ideal jarak jauh
6. Orang agama
7. Figur yang berani
8. Orang terkenal
9. Orang kuat (Tarzan)
10. Ideal ciptaan sendiri

Tak dapat diklasifikasi 2400


10,6
5,5
6,5

13,0
9,9


4,5
13,7
13,0
0,5
19,6

3,2 2400


3,7
5,9
2,1

11,7
23,6


0,2
5,3
29,4
3,4
11,4

3,3 3050


5,7
4,6
6,0

18,0
12,5


4,4
5,6
13,9
0,9
26,9

1,5 1800


3,1
4,7
3,1

16,3
9,8


4,0
6,6
25,8
1,4
24,0

1,2 4800


5,6
5,7
4,8

9,9
18,6


5,2
5,3
14,2
3,0
24,5

2,3 2400


3,4
3,0
7,4

14,5
17,6


10,8
4,6
13,4
1,4
20,6

3,3 2400


9,0
6,5
3,2

14,1
18,1


10,8
2,5
9,2
1,0
22,7

2,9 19.250

5,7
5,1
4,8

13,5
16,2


5,4
6,0
16,2
1,8
22,5

2,8

• WD – West Dutsland (Jerman Barat). N – Nederland, B – Belgia, F – Frankrijk (Perancis), I – Italia, S- Spanyol, P – Portugal.
Mengenal signifikasi perbedaan di antara negara-negara dapat dikemukakan bahwa pada jumlah orang coba yang begitu besar, maka perbedaan-perbedaan mulai 2 atau 3 persen sudah signifikan pada tingkat 1% (lihat McNemar t-test for difference between independent proportions).

• Sikap pendirian yang berhubungan dengan pandangan hidup
Mengembangkan suatu pandangan hidup sebagai suatu “kesatuan nilai yang integral” (Krathwohl, 1964) adalah salah satu hash yang dicapai orang dewasa, karena hal ini memungkinkan seseorang untuk menempatkan semua kejadian, kebenaran dan nilai-nilai dalam satu sudut pandangan tertentu yang mencakup segalanya. Dan dari sudut pandangan inilah akan diberikan arti pada semua hal tersebut tadi.
Arti tersebut akan dapat berlain-lainan sekali pada masing-masing orang. Sementara orang akan mengatakan mengenal suatu kebetulan atau nasib, lainnya lagi menganggapnya sebagai suatu kejanggalan. Orang-orang lain lagi selain melihat adanya arti atau hikmah pada semua kejadian. Bagaimana juga “tidak berartinya” beberapa kejadian. akhirnya akan diketemukan Juga artinya yang mengandung nilai-nilai yang penting. Arti tersebut, menurut banyak orang, berhubungan dengan hal yang ada di atas segalanya yang masih merupakan rahasia. Misalnya arti yang rahasia yang berhubungan dengan penyakit berat yang harus diderita oleh seorang anak muda masih belum terungkapkan. Nasib manusia bukanlah suatu kebetulan, melainkan suatu tujuan akhir. Pandangan semacam Itu dapat disebut pandangan yang religius dan disebut berke-Tuhanan bila tujuan akhir tadi ditujukan pada sesuatu yang lebih tinggi dari manusia, yang lebih tinggi dari segalanya, pada Yang Maha Kuasa yang memberikan perasaan aman pada mereka yang percaya akan keagungan-Nya.
Menurut Pruser (1972) maka perasaan aman sebagai perasaan religius dapat menyebabkan orang justru mengingkari religi Pruyser mengatakan mengenal kemurtatan irasional sebagai: “Nampaknya orang lebih cenderung untuk mencari hiburan, ketenangan dan pemenuhan langsung kebutuhan kanak-kanak akan keamanan, kehangatan dan ketetapan, dari pada mencari pembaharuan religi atau suatu cara baru yang kreatif untuk menghubungkan religi dengan tuntutan-tuntutan dunia modem” (h. 40).
Dalam hal ini juga dikatakan mengenai “vertrossirg” (Dekker, 1977) karena penghayatan dunia secara sempit dan seakan-akan tidak ada masalah ini interpretasi sebagai gejala kultural dalam perkembangan kehidupan bersama yang modem. Dengan istilah pendirian yang berhubungan dengan pandangan hidup ini dimaksudkan, bahwa kaum muda memilih suatu pendirian di antara banyak sifat pandangan hidup misalnya: bersikap religius atau tidak, beragama atau tidak. Bila orang betul-betul memiliki agama, dapatlah terjadi kepercayaan yang intrinsik, yang sungguh-sungguh dalam pandangan hidup beragama.
Dalam hubungan ini timbullah pertanyaan apakah dalam masa remaja juga terjadi semacam kesadaran beragama dalam arti “mencapainya suatu kepribadian yang bulat, seorang manusia baru, sebagai kiblat suatu orientasi psikis baru menuju suatu ideal atau tujuan yang baru” (Spinks, 1966, h. 130). Meskipun tidak banyak diketahui mengenal perkembangan religi seperti dikatakan oleh Spinks tersebut. namun hal itu masih perlu dipertanyakan.
Biasanya orang beragama, karena orang tuanya beragama atau menirukan orang tuanya yang beragama (,Jersild dkk., 1978). Allen dan Spilka mengusulkan suatu pembedaan antara “consensual religion” dan committed religion” (Fortmann, 1968, h. 103) sebagai dua macam gaya religius yang berbeda satu sama lain dalam 5 macam faktor, yaitu isi, kejelasan, kompleksitas, fleksibilitas. dan sifat penting atau tidaknya.
Dengan demikian “consensual” dan “committed religion” yang diteliti oleh Allen dan Spilka, menurut Fortmann berbeda dalam hal:
 Isi : berakar pada dasar-dasar yang abstrak lawan sifat yang konkrit dan pragmatis.
 Kejelasan : jawaban-jawaban yang jelas, terang lawan jawaban-jawaban yang tidak jelas dan bersifat rutin.
 Kompleksitas : jawaban-jawaban yang kaya dan terdiferensial lawan yang sederhana berpangkal pada pertentangan-pertentangan yang radikal.
 Fleksibilitas : terbuka lawan tertutup bagi pendapat orang lain.
 Penting atau tidaknya : soal minat pribadi lawan bukan minat pribadi, meskipun dianggap penting karena tradisi.

Religi “consensual” yang lebih bersifat konvensional kurang menarik bagi anak-anak muda. Keadaan di Amerika menunjukkan hal- hal sebagai berikut. Dalam suatu penelitian nasional terdapat 58% murid-murid Sekolah Lanjutan yang menganggap agama penting Untuk diri mereka sendiri lawan 43% mahasiswa Perguruan Tinggi yang menjawab demikian (Conger, 1973). Dikemukakan dalam penelitian tersebut dan penelitian-penelitian yang lain bahwa kaum muda jaman sekarang (di Amerika) lebih menitikberatkan pada ke Tuhanan yang bersifat pribadi dari pada ke-Tuhanan yang dilembagakan, dibanding dengan generasi yang lebih tua. Anak-anak muda yang masih taat pergi ke gereja kurang menitikberatkan pada bentuk-bentuk yang dogmatis dan tradisional dari pada kaum tua. Kaum muda mungkin dapat tidak mengakui cara penghayatan ke Tuhanan yang berlembaga, namun dalam mencari sungguh-sungguh akan yang absolut, dapat berpendirian sangat religius (Faessler. 1977).
Menurut Rumke (1949) maka perkembangan ke Tuhanan yang sehat berlangsung melalui beberapa stadium. Stadium yang tertinggi adalah penyerahan diri pada Tuhan sebagai dasar dan tujuan pokok kehidupan. Orang baru akan mencapai stadium ini bila ia dalam penyerahan diri tersebut tiada takut untuk kehilangan dirinya.
Menurut sementara penulis dikatakan, bahwa pada dewasa ini stadium terakhir dimaksudkan Rumke tersebut, tidak mudah dicapai oleh para remaja atau kaum muda.
Keadaan di Indonesia menunjukkan bahwa kaum muda yang taat pada agamanya, yang mengunjungi masjid atau gereja secara teratur makin bertambah jumlahnya. Bila melihat keadaan ini, nampaklah bahwa apa yang dilukiskan oleh Conger, Faessler dan lain-lainnya masih membutuhkan pengkajian lebih lanjut.

• Rangkuman
Dalam bab ini dibicarakan periode kedua masa remaja, yaitu pada batas dewasa awal. Dalam pasal pertama, dikemukakan bahwa masa dewasa tidak terlalu jelas berbeda dari masa remaja. Namun masa remaja dipandang dari teori tugas perkembangan serta teori emansipasi dapat merupakan periode tersendiri yaitu periode menuju ke arah kebebasan masa dewasa. Justru dalam periode kedua ini di mana keadaan fisik dan sekolah sudah tidak merupakan pusat perhatian lagi, maka permasalahan pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat merupakan tugas-tugas sentral yang mendapatkan perhatian khusus.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929