loading...

KESATUAN HIDUP LOKAL TRADISIONAL

December 27, 2013
loading...
KESATUAN HIDUP LOKAL TRADISIONAL

1. PEMBATASAN KONSEP
Kesatuan Hidup Setempat. Berbeda dengan kelompok kekerabatan, ksauna sosial ini tidaklah semata-mata berdasarkan ikatan kekerabatan, tetapi lebih didasarkan pada ikatan tempat tinggal. Secara nyata, kesatuan hidup setempat selalu menempati suatu wilayah khusus. Apabila sebagian besar warranty mulai memencar ke berbagai tempat lane, maka ikaean yang utama dari kesatuan itu hilang. Walaupun wilayah merupakan syarat mutlak bagi kesatuan hidup setempat, ada unsur-unsur lain yang mengikatnya. Orang yang tinggal bersama di suatu wilayah belum tentu merupakan suatu kesatuan hidup apabila mereka tidak merasa terikat oleh rasa bangga dan cinta kepada wilayahnya, sehingga ia tidak rindu untuk kembali ke sana apabila ia berada di tempat lain. Dalam buku-buku ajar sosiologi, kesatuan hidup setempat disebut community. Karena sebutan "kesatuan hidup setempat" terlalu panjang dan kurang luwes untuk dipergunakan, dan karena sukar mencari istilah lain yang lebih singkat, kita gunakan saja istilah "komunitas",
Sebagai suatu kesatuan manusia, komunitas tentu saja mempunyai rasa kesatuan seperti yang dimiliki hampir semua kesatuan manusia lainnya, namun perasaan kesatuan dalam komunitas itu biasanya sangat tinggi, Sehingga ada rasa kepribadian kelompok, yaitu perasaan bahwa kelompoknya itu memiliki ciri-ciri kebudayaan atau cara hidup yang berbeda dari kelompok lainnya. Tetapi di samping itu seringkali ada juga perasaan negatif, Yang merendahkan atau menganggap aneh ciri-ciri yang ada dalam komunitas lain.
Sifat dari suatu komunitas adalah adanya wilayah dan cinta pada wilayah serta kepribadian kelompok itu merupakan dasar dari perasaan patriotisme, nasionalisme, dan lain-lainnya. Suatu negara memang dapat juga merupakan komunitas, apabila cinta tanah air dan rasa kepribadian bangsa itu besar.
Bentuk dari komunitas ada bermacam-macam, ada yang besar seperti misalnya kata, negara bagian, negara (sekarang malahan timbul persekutuan-persekutuan antarnegara), tetapi ada pula komunitas-kamunitas kecil, yaitu band, desa, RT, dan lain-lainnya. Bentuk komunitas kecil, berikut beberapa konsep yang menyangkut komunitas kecil akan diuraikan lebih khusus, karena para ahli antropologi sosial memang telah memiliki pengalaman dalam meneliti dan menganalisa kehidupan manusia yang hidup dalam kelompok-kelompok komunitas kecil.
Komunitas Kecil. Selain memiliki ciri-ciri komunitas pada umumnya (yaitu adanya wilayah, cinta pada wilayah dan kepribadian kelompok),¬ komunitas kecil memiliki sifat-sifat tambahan, yaitta:
a) para warganya masih saling mengenal dan saling bergaul secara intensif;¬
b) karena kecil, maka setiap bagian dan kelompok khusus yang ada di dalamnya tidak terlalu berbeda antara yang satu dengan Yang lainnya
c) para warganya dapat menghayati berbagai lapangan kehidupan mereka. 18
Selama manusia hidup di muka bumi ini sejak kurang lebih 2 juta tahun yang lalu, sebagian besar dari waktu itu manusia hidup dalam masyarakat-masyarakat berbentuk komunitas kecil. Komunitas kecil dalam zaman sejarah berupa kelompok-kelompok pemburu. Ketika di beberapa daerah orang mulai bercocok tanam, maka manusia di daerah-daerah tersebut mulai hidup mengelompok dalam desa-desa. Komunitas-komunitas yang agak besar menjadi kota-kota yang pertama dalam sejarah kebudayaan umat manusia, sekitar 6.000 tahun yang lalu. Hingga akhir abad ke-19, hanya di Eropa Barat dan Amerika Serikat telah ada kota-kota besar, dan sekarang pun sebagian besar umat manusia masih hidup dalam komunitas-komunitas kecil.
Komunitas-komunitas kecil umumnya ada di daerah pedesaan. Di setiap negara pasti ada daerah perkataan dan daerah pedesaan, tetapi ada negara-negara yang lebih luas daerah pedesaannya dan ada negara-negara yang lebih kecil daerah pedesaannya. Di Eropa Barat dan Amerika Serikat jumlah penduduk yang tinggal di daerah pedesaan lebih kecil daripada penduduk yang tinggal di kota. Sebaliknya, di negara-negara Eropa Utara, Eropa Timur, dan hampir semua negara di Asia, Afrika Tengah dan Selatan, jumlah penduduk pedesaan lebih besar. Di Indonesia, menurut sensus 1961, sebanyak 85,4% dari seluruh jumlah penduduknya adalah penduduk pedesaan.
Terutama bagi bangsa-bangsa dengan penduduk pedesaan yang besar, pengetahuan tentang komunitas kecil sangat penting, karena gejala dan masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat nasional tidak terlepas dari gejala-gejala, dan masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas kecil (Yaitu dasa-desa).

2. BENTUK-BENTUK KOMUNITAS KECIL
Seperti telah disebutkan secara sepintas lalu di atas, di antara komunitas-komunitas kecil yang ada, akan diuraikan (1) kelompok berburu (band), yang bermata pencarian sebagai pemburu dan peramu, dan berpindah-pindah tempat di dalam batas suatu wilayah tertentu, dan (2) desa, yaitu kelompok kecil yang hidup menetap di suatu wilayah.
Band. Kelompok berburu biasanya terdiri dari kurang lebih 80 - 100 jiwa, dan banyak yang bahkan lebih sedikit jumlah anggotanya. Dalam, musim berburu, kelompok-kelompok kecil seperti itu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk memburu hewan dan meramu tumbuh¬-tumbuhan liar. Pada malam hari mereka mendirikan kemah atau tidur dalam gubuk-gubuk darurat yang mereka bangun dengan bahan-bahan yang mereka peroleh di sekitar mereka, dan ada pula yang membangun tadah angin yang sederhana. Suatu kelompok berburu hanya berburu dalam batas-batas suatu wilayah yang telah ditentukan, kecuali apabila ada faktor-faktor yang memaksa mereka untuk keluar dari batas-batas wilayah tersebut. Kelompok-kelompok itu mengetahui secara rinci semua ciri-ciri dari wilayah mereka, termasuk jenis flora dan faunanya, karena teknik berburu mereka memang sangat tergantung pada pengetahuan itu. Wilayah perburuan biasanya dipertahankan sekuat tenaga terhadap serangan-serangan kelompok-¬kelompok lain.
Dalam musim berburu, suatu band biasanya terpecah ke dalam, kelompok-kelompok kecil, yang saling memencar, sehingga pada saat-saat seperti itu desa-desa induk mereka tampak sunyi dan hampir tak ber¬penghuni. Namun pada waktu tidak ada kegiatan berburu, semua kelompok berkumpul kembali di desa-desa induk masing-masing. Di dalam desa induk mereka memiliki rumah-rumah yang lebih permanen. Pada waktu mereka berkumpul mereka mengadakan berbagai kesibukan dalam kehidupan sosial mereka, dengan mengadakan pesta-pesta, upacara-upacara keagamaan, dan lain-lainnya.
Setiap musim berburu, suatu kelompok berburu biasanya pindah kelokasi berburu yang berbeda, yang sesuai dengan suatu pola yang agak tetap. Namun ada kalanya mereka terpaksa mengubah arahnya karena berbagai sebab, misalnya berkurangnya hewan buruan di wilayah adat mereka, atau karena daerah mereka seringkali diserang oleh kelompok¬-kelompok lain yang lebih kuat. Dalam jangka waktu lama perjalanan kelompok-kelompak berburu seringkali dapat mencapai daerah-daerah yang jauh letaknya. Penggalian-penggalian yang dilakukan para ahli prasejarah menunjukkan bahwa dari bekas-bekas alat kelompok-kelompok suku bangsa pemburu di zaman prasejarah diketahui bahwa mereka telah menempuh jarak yang sangat besar dalam suatu jangka waktu beribu-ribu tahun, dan bahkan telah melintasi suatu benua. Kelompok-kelompok pemburu yang menurunkan suku-suku bangsa Indian di Amerika Utara dan Amerika selatan konon berasal dari bagian timur-laut Benua Asia, yang sekitar 25.000 tahun yang lalu menyeberangi Selat Bering, dan kemudian menyebar di seluruh Benua Amerika selama sekitar 17.000 tahun. Sekitar 8.000 tahun yang lalu mereka tiba di ujung paling selatan dari benua tersebut. Pola-pola kehidupan kelompok-kelompok berburu diuraikan aleh B. Spen¬cer dan J.F Gillin dalam buku mereka mengenai suku bangsa Axunta di Australia.
Suku-suku bangsa pemburu yang hidup dengan pola seperti tersebut di atas, di abad ke-20 ini tidak banyak dijumpai lagi, dan sisa-sisanya yang masih ada adalah kelompok-kelompok kecil suku bangsa Pygmce di pedalaman Togo; Kamerun, dan Kongo, dan kelompok-kelompok Bush¬man di daerah Gurun Kalahari di Afrika Selatan. Di Asia kelompok-¬kelompok semacam itu hanya ada di beberapa daerah di Asia Tenggara (misalnya di pedalaman Malaysia) dan di Siberia Timur-laut. Demikian juga di Australia masih ada beberapa kelompok di pedalaman, Queensland dan New South Wales. Di Benua Amerika mereka ada di Alaska, di Kanada dan pulau-pulau di sebelah utara Kanada (tempat bermukimnya suku-suku bangsa. Eskimo pemburu rusa reindeer dan hewan-hewan laut), di daerah Sungai Amazone di Amerika Selatan dan di daerah padang rumput di Argentina. Belum satu abad yang lalu, masih banyak suku bangsa di berbagai daerah di dunia yang kini telah tinggal di kota dan mempunyai berbagai jenis mata pencarian hidup lain, masih hidup sebagai pemburu, seperti halnya suku-suku bangsa Indian di daerah aliran Sungai Yukon dan McKenzie di Kanada Barat, suku-suku bangsa India pemburu banteng bison di daerah padang rumput di Amerika Utara, suku-suku bangsa penduduk asli Tasmania, dan lain-lain. Di Indonesia (termasuk Irian Java), kelompok-kelompok pemburu dan peramu itu juga sudah hampir tidak ada lagi, kecuali di daerah pedalaman Sumatra Timur (misalnya orang Sakai, Kubu, dan lain-lain), dan di pedalaman Kalimantan (orang Punan). Di lrian Jaya hampir semua suku bangsa telah bercocok tanam (di Peta 1 ditandai dengan titik-titik).
Selain kelompok-kelompok pemburu di daerah-daerah tersebut di atas, suku-suku bangsa yang hidup sebagai peternak juga hidup dalam kelompok-kelompok dengan ciri-ciri komuniti kecil yang dapat disebut band pu1a. Pola kehidupan mereka pada umumnya sama dengan pola kehidupan kelompok-kelompok pemburu, terutama dalam cara mereka mengembara untuk menggembalakan temak mereka. Dalam musim-musim tertentu kelompok-kelompok ternak bersama selurtah keluarga mereka menggembalakan temak mereka ke padang-padang rumput. Pada malam hari mereka membangun kemah atau tadah angin sederhana, yang mereka bawa ke mana pun mereka pergi. Biasanya arah gerak pengembaraan itu mengikuti pola yang tetap dalam.batas-batas suatu wilayah yang juga mereka pertahankan dengan gigih terhadap serangan kelompak-kelompok lain. Perubahan pola pengembaraan itu dapat pula disebabkan karena padang¬padang rumput yang lazim digunakan un.tuk menggembalakan ternak, bembah menjadi tandus, atau karena terjadinya wabah penyakit pada hewan. Sebab lain kadang-kadang adalah serangan-serangan kelompak-kelompok lain, pencurian ternak, dan lain-lain sebagainya. Oleh sebab terjadi perubahan-perubahan arah serupa itu, pala perpindahan kelompok-kelompok peternak itu seakan-akan lebih cepat menyebar dan meliputi wilayah yang lebih luas daripada perpindahan pada suku-suku bangsa pemburu. Seperti halnya pada kelompok-kelompok pemburu, di musim-musim tertentu seluruh kelompok kembali ke desa induk mereka, di mana mereka berkumpul dengan-kelompok-kelompok lain yang masih merupakan-kerabat-kerabat mereka. selama mereka berada di desa induk, kegiaran-kegiatan kehidupan sosial mereka memuncak, dengan diadakannya pesta-pesta dan berbagai upacara.
Suku-suku bangsa peternak pada umumnya mempunyai sifat yang agresif, karena mereka seringkali harus menghadapi pencurian-pencurian hewan ternak mereka aleh kelompok-kelompok ternak lain, dan karena mereka juga sering harus berperang melawan kelompok-kelompok lain untuk memperebutkan suatu wilayah. penggembalaan yang baik. Dalam sejarah kebudayaan umat manusia suku bangsa petemak memang sering bersifat agresif, seperti kelompok-kelompok peternak Mongol-Tartar di Asia Tengah, yang dalam abad ke-12 dan ke-13 berperang hingga mencapai Kiev di daerah Sungai Jnepr di Rusia, yang mereka duduki dalam tahun 1240. Begitu juga kelompok-kelompok peternak Arab Badawi, yang dalam abad ke-7 hingga abad ke-11 menguasai sebagian besar Benua Asia Barat¬ daya dan sebagian besar Afrika Utara. Contoh-contoh lain adalah kelompok kelompok suku bangsa Fula di Sudan Barat, yang dalam abad ke-19 mengembara sejauh 1.500 mil dani daerah Sungai Niger di Republik Mali, ke arah timur hingga Nigeria Utara.dan Repubiik Kamerun.
Ahli antrapologi E.E. Evans Pritchard telah membuat suatu deskripsi yang rinci mengenai kehidupan kelompok-kelompok penggcmbala terhak Niger yang tinggal di daerah hulu Sungai Nil di Sudan Selatan penelitian mengenai pola-pola gerak perpindahan menurut musim d an peirubahan arah gerak perpindahan kelompok-kelompok Fula di daerah dataran tinggi Yos di Nigeria Utara, telah diteliti dari dideskripsi den.gan Wk oleh D.J. Stenning.
Suku-suku bangsa penemak yang hidup dalam komunitas kecil sekarang masih ada di negara Rusia, khususnya di Siberia Timur-laut; Siberia Tengah (daerah Sungai l.ena dan'Yenesei, maupun di negara Kazakh dan Kirghiz), beberapa tempat di Asia Barat-daya (misalnya Saudi Arabia, Afrika Timur; Ethiopia; hulu Sungai Nil di Sudan, daerah Danau-Danau Besar di Angola dan Rhodesia, Bechuana, Transvaal, dan Natal). Di Indo¬nesia tidak ada suku-suku bangsa yang hidup dalam kelompok-kelompok komunitas kecil yang menggembalakan ternak secara besar-besaran.
Desa. Desa adalah wilayah yang dihuni aleh suatu komunitas kecil secara tetap. Suku-suku bangsa penghuni desa umumnya bermatapencarian bercocoktanam atau menangkap ikan. Berdasarkan pola perkampungannya;, ada beberapa, tipe desa.
Dalam,masyaraltat suku-suku bangsa peladang; desa biasanya tidak dihuni sepanjang masa, karena para peladang umumnya turut pindah : bersama dengan ladangnya, terutama apabila jarak antara desa dan ladang mereka menjadi terlalu -besar. Di daerah pedalaman Zamboanga di Filipina Selatan, suku bangsa Subanun hidup dalam komunitas-komunitas kecil deñgan pola perkampungan yang terpencar. Sebabnya ialah karena setiap keluarga inti mernbangun rumahnya di tengah ladang mereka. Setiap 3 atau 4 tahun sekali mereka turut pindah dengan berpindahnya ladang mereka.
Dibandingkan dengan pola perkampungan desa-desa orang Subanun; di Indonesia desa-desa lebih mengelompok padat. Desa-desa di Indonesia seperti ini jarang turut pindah dengan ladang; dan makin besar desanya; makin tetaplah sifatnya. Desa-desa suku bangsa Than di Kalimantan Barat, misalnya terdiri dari satu rumah panjang, yang dihuni oleh keluarga luas yang terdiri dari sebanyak kurang-lebih 150 jiwa. Oleh karena itu desa¬desa serupa itu jarang pindah. Peladang-peladang yang ladangnya terlalu jauh jaraknya dari desa, biasanya membangun gubuk sementara di tengah ladang mereka. Namun gubuk-gubuk yang semula dimaksudkan sebagai tempat hunian sementara, seringkali merupakan awal dari suatu desa baru yang masih menjadi bagian desa induk, tetapi yang lambat-laun melepaskan diri dam berdiri sendiri. Proses perpisahan seperti itu tidak hanya terjadi pada desa-desa orarag Iban, tetapi juga di desa-desa peladang lain di dunia.
Pola hidup lain dalam komunitas kecil terjadi bilamana desa hmya didiami selama beberapa bulan saja setiap tahun, vaitu. setelah par a penghuninya memanen hasil ladang-laciang mereka yang jauh letaknya. Ahli antropologi WC. Bennett dan R.M Zing telah membuat deskripsi mengenai komunitas kecil serupa itu di desa-desa suku bangsa Indian Tarahumara di Meksiko Barat. Pola kehidupan dalam & desa-desa suku bangsa Tarahumara juga ada di Indonesia, yaitu desa-desa orang Tora,ja di daerah pegunungan Sulawesi Tengah, yang biasanya sepi selama musirn bercocoktanam; teiapi penuh dan ramai selama masa panen.
Sebagian besar desa-desa di Indonesia merupakan ke(ompok¬kelompok perkampungan tetap yang dihuni sepanjang tahun. Terutama di daerah=daerah dengan pertanian -menetap, desa adalah pusat kehidupan para petani. Di Indonesia, desa biasanya dibangun.sepanjan.g jalan (atau¬tidak terlalu jauh dari jalan), baik jalan alam, maupun jalañ buatan manusia: Jalan yang dibangun alam yang terbaik adalah sungai. Maka kalau kita ptrhatikan daerah-daerah di Indonesia, di tnana belum ada jalan-jalan buatan' manusia, maka desa biasanya dibangun di tepi sungai atau di tempat¬tempat yang tidak jauh dari sungai. Desa-desa di tepi pantai biasanya memilih tempat di muara sungai pula. Di daerah pegunungan, desa seringkali berlokasi di lembah-lembah (yang sebenarnya merupakan daerah aliran sungai pula) atau di tepi danau. Suku-suku bangsa yang tinggal di daerah pedalaman sekitar Paletnbang, di daerah pedalaman Kalimantan, Sulawai Tengah, atau pulau-pulau lain di Indonesia, dapat dilokasikan menurut lembah; sungai; dan danau-danau yang ada di suatu daerah.

3. SOLIDARITAS DALAM MASYARAKAT KECIL
Prinsip Timbal-Balik sebagai Penggerak Masyarakat: Dalam masyarakat komunitas kecil di selutult dunia, saling tolong-menolong tarttpak sangat menanjol: Di dalarn Bab VT mengenai bercocok-tanam telah kita lihat bahwa sistem saling tolong-menolong (gotang-royong) itu di Ihdanc¬sia merupakan cara untuk menyelesaikan pekerjaan di musim-musim sibuk, 41, Dalam komunitas kecil, sistem bantu-membantu ini seringkali snenimbulkan salah paham, karena orang seringkali menyangka bahwa warp kbmunitas kecil saling tolong-menolong hanya karena mereka terdozang oieh keinginan spontan untuk berbakti pada sesama warga. Penelitian'para ahli antropologi sosial dan sosiologi sebaliknya menunjukkan bahwa saling tolong-menolong itu didasari saling membutuhkan. Menutut B. Malinowski, dalam:ma.syarakat penduduk Kepulauan Trobriand,rzB sistem saling tukar¬menukar jasa tenaga dan benda dalam berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara keagamaan, maupun pertukaran harta mas kawin, menjadi pengikat dan penggerak; dalam masyarakat. Sistem memberi sumbangan yang mengundang kewajiban,bagi si penerima sumbangan untuk membalasnya, merupakan prinsip dalam j,Cehidupan masyarakat kecil yang oleh Malinowski disebut principle of -reciprocity, atau "prinsip timbal-balik".
Hal ini memang sesuai dengan hasil temuan saya, sewaktu saya mengamari kegiatan-kegiatan tolong-menolong di daerah Kedu, Jawa Tengah selama beberapa bulan. Pemberian sumbangan pada pesta-pesta sesama warga desa, pemberian bantuan untuk memperbaiki rumah tetangga, atau pemberian bantuan tuntuk menyelesaikan pekerjaan di sawah, misalnya, ddak selalu diberikan-dengan rela dan spontan:lVlereka menyumbang dan membantu sesama watga desa karena di masa lalu mereka pemah menerima jasa pectolongan yang sama dari orang yang ~mereka bantu. Dalam berbagai hal orang desa seringkali menghitung dengan cermat setiap jasa yang pemah disumbangkannya, sehingga ia dapat mengetahtii dari siapa ia dapat mengharapkan bantuan dart jenis bantuan apa yang dapat diharapkannya apabila ia membutuhkannya kelak. Tanpa bantuan sesama warga desa, berbagai macam kebutulian hidupnya dalatn tnasyarakat komunitas kecil tak mungkin dipenuhinya sendiri. Di samping kegiatan-kegiatan tolong¬menolong yang dilakukan dengan penuh , pechitungan itu, ada beberapa yang diberikan secara rela dan ikhlas, yang mereka lakukan tanpa menghgapkan balasan, yaittr pada saat seorang warga desa mengalami kemalangan, yaitu ke,matian atau rnusibah-musibah lainnya..
Gotong-Royong_Tolong-Menolong:~Seperti kita lihat di,atas,: sistem tolong-menolong;,(yang juga kita sebut "gotong-royong") memang tidak selamanya diberikan secara rela dan ikhlas, tetapi ada beberapa tingkat kenelaan, tergantung dari jenis kegiatannya dalam kehidupan sasial. Dengan demikian dapat kita bedakan antara: (1) tolong-tr~enolong dalam kegiatan pertanian, (2) tolong-menolong dalam kegiatan-kegiatan sekitar rumah - tangga, (3) tolang-menolong dalam mempersiapkan pesta dan upacara, . dan (4) tolong-menalong sewaktu: terjadi, musibah.
Seperti apa yang diuraikan dalam bab=bab mengenai bercocoktanam, dalam kegiatan-kegiatan produksi pertanian, khtisusnya bercocoktanam, ad -a mdsim-musim sibuk dan ada Musim=musim untuk bcrsatitai. Apabila dalam fiusim-imusim sibuk' tenaga yang dapat disedialcah oleh para" anggota keluarga iriti atau kelaaiga luas tidak cukup, maka' bantuan tenaga dapat diperoleh dari sesama warga komunitas.Sistem ini agaknya 'bersifat universal, bagi komunitas-komunitas kecil.
Untuk tnengerjakan berbagai kegiatan sekitar rumah tangga, misalnya memperbaiki. atap'rumah, mengganti dinding'bambu; membersihkart'hama tikus, menggali sumur; dari lain-lain, biasanya tefangga diminta untuk membantu. Keluarga yang menyeienggarakan kegiatan tentu harus memperhatikan peraturan-peraturan sopan-santun dan adat-istiadat, antara lain dengan menyajikan makanan dan minuman. Saling menolong untuk mempersiapkan pesta dan upacara biasanya dilakukan dengan rela dan akhlas, karena semua orang yang turut dalam kegiatan seperti itu turut pula merasakan suasana gembira yang rneliputi pesta:
Akhirnya, saling menolong pada waktu terjadi musibah (kematian, sakit, kecelakaan, dan lain sebagainya), umumnya dilakukan dengan sangat ikhlas, karena terdorong oleh rasa bela sungkawa.
Gotong-Royong Kerja Bakti. Selain kebiasaan saling menolong antar warga suatu komunitas kecil dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ada kegiatan-kegiatan yang dikerjakan bersama, yang juga disebut "gotong¬ioyong". Kegiatan seperti itu dilakukan oleh sejumlah besar warga komunitas tintuk bekerjasama menyelesaikan suatu proyek tertentu yang dianggap bermanfaat bagi kepentingan umum, yaitu kegiatan kerja bakti atau darma bakti.
Jenis gotong-royong kerja bakti ada dua, yaitu (1) bekerjasama dalam f proyek-proyek yang diprakarsai para warga kamunitas sendiri, dan (2) bekerjasama dalam proyek-proyek yang diperintahkan oleh Kepala Desa. Proyek-proyek yang diprakarsai para warga komunitas sendiri tentu benar¬benar dirasakan manfaatnya, karena itu diketjakan dengan ikhlas dan penuh Semangat. Seba:iknya, proyek-proyek yang diperintahkan dari atas, seringkali tidak mereka pahami benar manfaatnya; dan d'uasakan sebagai kewaji6an yañg tidak dapat mere" hindari kecuali dengan cara mewakilkarinya kepada orang lain (dengan memberi imbalan uang). Untuk mendapat sambtatan yang positif dari warga masyarakat, Pemerintah atau Kepala Desa memang harus mampu meyakinkan para warga desa akan manfaat suatu proyek bagi kesejahteraan sehulili warga desa, sehingga mereka sudi bekerja penuh semangat:
Jiwa Gotong-Rayong. Dasar dari gejala sosial berupa kegiatan tolong-menolong dan kerja bakti dalam masyarakat desa pertanian dan komunitas kecil pada umumnya adalah pengerahan tenaga yang tidak memerlukan keahlian khusus maupun tidak adanya diferensiasi tenaga.
Kecuali itu sistem tolong-menolong hanya mungkin apabila didasari hubungan saling mengenal antara warga masyarakat kecil dengan prinsip¬prinsip kelompok primer." Dengan demikian, gejala sosial tolong-menolong ada dalam setiap masyarakat dengan kelompok-kelompok primer -di dalamnya, yaitu terutama masyarakat pedesaan di seluruh dunia. Dalatn masyar#~at kota, yang sifatnya sudah sangat kompleks, arti dari kelompok prime; ~telah terdesak, dan hanya berfungsi dalam beberapa lapangan kehidupan khusus saja.
Dalam masyarakat kota orang tidak lagi dapat mengharapkan bantuan sesama warga untuk sepala kebutuhan hidupnya, karena berbagai kebutuhan orang telah dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga, pranata-pranata, dan organisasi-arganisasi yang ada, melalui suatu hubungan yang bersifat umutn (tidak pribadi). Orang yang tinggal di kota, misalnya, bergaul dengan para teman sejawatnya di kantor untuk menyelesaikan segala urusan yang; mertyangkut jabatannya; untuk berolahraga atau rekreasi ia mempunyai kelompok teman-teman lain pula (mungkin pula tetangga-tetapgganya); dan dalam masyarakat Eropa dan Amerika bagi orang men inggal pun sudah ada pranata yang mengurus penguburannya, dengan imbalart uang.
Sistem tolong-menolong sebagai cara pengerahan tenaga tidak lagi efektif bagi perusahaan-perusahaan besar, yang tirdiri dari bagian-bagian, dan masing-masing mempunyai keahlian khusus: Kerja bakti juga hanya masih mungkin bagi hal-hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan pekerjaan dalam suatu perusahaan, melainkan dalarn berbagai kegiatan di luar perusahaan, yang dapat memberi manfaat bagi kesejahteraan dan kepentingan,karyawan suitu perusahaan: Apakah dengan hilangnya sistem tohang-menolang dan kerja bakti (yang menjadi ciri khas kehidupan daerah pedesaan) dalam kehidupart, modem, jiwa gotong-royong akan turut hilang? Menurut hernar kami, kegiatan tolong-menolong sebagai suatu cara kerjasama dalam kelompok¬kelompok primer dan sistem tolang-menolong dalam kehidupan modern adalah dua hal yang berbeda. Walaupun sistem tersebut kurang bermakna dalam kehidupan modem, tolong-menolong tidak pemah akan hilang sama ` sekali: Setiap manusia pasti memiliki sahabat-sahabat karib, kerabat dekat, dan teman-teman yang bernasib sama, yang merupakan kelompok primernya. Setidak-tidaknya di antara mereka itulah saling tolong-menolong irtasih ada. Dalam kehidupan modern; arti dari kelompok-kelompok primer (dan bersama itu juga sistem tolong-menolang) menjadi terbatas pada toeberapa lapangan kehidupan saja. Sebaliknya, jiwa gotong-royong tidak terbatas pada hubungan-hubungan dalam kelompak primer saja, dan kanna xtu dapat tetap dipertahankan dalam kehidupan modern. Jiwa, atau semangat gotong-royong (sebagai lawan dari jiwa individualis) timbul akibat adanya pengertian akan kebutuhan sesama warga masyarakat. Dalam rnasyarakat yang memiliki jiwa gotang-royong, kebutuhan timum dinilai lebih tinggi daripada kebutuhan pribadi, dan kerja bakti merupakan hal yang terpuji.
Dalam masyarakat yang mementingkan jiwa individualis, kebutuhan umum dikalahkan oleh hak-hak individu, kerja bakti dianggap tidak banyak : ` bermanfaat, hak individu sangat dipentingkan dalam sistem hukumnya,dan hasil karya individu dinilai sangat tinggi. Masyarakat bangsa-bangsa Asia dan Afrika secara umum dianggap menilai tinggi jiwa gotong-royong; sebaliknya masyarakat bangsa-bangsa Ero-Amerika secara umum dianggap. menilai tinggi jiwa individualis. Hal ini tentu tidak demikian, karena walaupun di Eropa dan Amerika (yaitu masyarakat-masyarakat dengan. sistem ekonomi liberal) selama beberapa abad lamanya individualisme umumnya memang sangat menonjol, masih. ada masyarakat-masyarakat y yang tidak didasari sistem ekoriorrii liberal, sehingga jiwa gotong-royong . pun masih hidup.dalam, masyarakat-masyarakat tersebut. Sebaliknya, banyak : masyarakat bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang umumnya tidak memilih ; sistem ekoñomi yang kompleks, ada'kalanya bahkan menampakkan jiwa : individualis dalatn kehidupan masyarakat pedesaannya.
Ahli antropologi Margaret Mead pernah menganalisa bahan yang dikumpulkannya dari 13 masyarakat penduduk pribumi dari berbagai benua, untuk mengetahui sejauh mana jiwa gatong-myong, jiwa individualis, dan jiwa bersaing itu ada dalam ke-13 masyarakat kamunitas kecil itu.
Dari hasil penelitian tersebut temyata bahwa di antara ke-13 masyarakat tersebut, 6 masyarakat menilai tinggi jiwa gotong-royong, 3 masyarakat menilai tinggi jiwa bersaing, dan 4 masyarakat menilai tinggi individualisme (lihat Bagan 20). Lokasi yang terpencil atau terbuka, jenis mata pencarian, atau sistem masyarakatnya (sederhana atau kompleks), tidak mempengaruhi hasil temuan tersebut.
Dengan demikian nyata bahwa sistem pengerahan tenaga dengari tolong-menolong merupakan ciri kelompok-kelompok primer, tetapi jiwa gotong-royong dan jiwa berbakti adalah ciri-ciri dari watak atau kepribadian yang dimiliki banyak bangsa di dunia, dalam suatu lingkungan yang lebih luas daripada kelompok primer. Mengenai struktur masyarakat apa yang mendorong hidupnya jiwa gotong-royong, tak dapat dianalisa di sini. Namun dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat pedesaan di Indonesia agaknya memiliki jiwa gotong-royong.










Bagan 20
Jiwa Bersaing, Jiwa Gotong Royong,dan Jiwa Individualis

dan berburu, (3) suku bangsa Maori dari Selandia $arN, yang hidup dari pertanian, (4) penduduk Samoa di PoGnesia, yang juga hidup dari pcrtanian, (5) suku bangsa Kwakiutl di Pulau Vancouver; yang hidup dari perikanan, (li) suku bangsa Eskimo Ammassalik yang rrtenghuni daeraiy pantai selatan Greenland, yang hidup sebagai pemburu* (7) suku bangsa.Ojibwa, penghupi daerah. Rainy River di Kanada, yang hidup sehagsi petani, (8) suku bangsa Oakota, yang hidup sebagai peinburu di daerah Sungai Mis¬souri di Amerika Serikat, (9) suku bangsa Pueblo Zuni yang menghuni daerah hulu $ungai Colorado di Amerika Serikat, sebagai petani, (10) suku bangsu India Iroquois di daerah lembah Sungai Seneca di Amerika, (11) suku bangsa Bachiga dari Uganda $arat, yang hidup dari pertanian dan peternakan, (12) suku bangsa $athonga di daerah pantai Natal di Afrika, yang hidup dari pertanian, dan (13) suku bangsa Ifugao di Filipina, yang hidup dari pertanian.
Masyarakat Dan Jiwa Musyawarah. Musyawarah adalah unsur sosial yang ada dalam banyak masyarakat pedesaan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Keputusan yang diambil dalam suatu rapat tidak berdasarkan pendapat mayoritas, tetapi merupakan keputusan yang dicapai secara bulat. Dengan demikian, baik mayoritas maupun minoritas masing¬masing mengurangi pendiriannya agar dapat dicapai kesepakatan bersama. Jiwa musyawarah yang sudah dikenal dalam masyarakat pedesaan. di In¬donesia sejak berabad-abad, pertama kali dianalisa oleh para ahli hukurn adat sebagai suatu cara menyelenggarakan suatu rapat. Namun kita _ sebaiknya membedakan antara dua hal, yaitu (1) musyawarah sebagai cara menyelenggarakan rapat, dan (2) musyawarah sebagai semangat yang menjiwai seluruh kebudayaan dan masyarakat:
Sebagai cara untuk menyelenggarakan rapat, musyawarah harus memiliki kekuatan atau tokoh-tokoh yang dapat mendorong proses mencocokkan dan menginfegrasikan pendapat-pendapat yang- ada ("mencocokkan" berarti bahwa pendapat yang berbeda-beda harus diubati. agar berbagai pihak yang berbeda pendapat dapat saling tnendekat; dan "mengintegrasikan" berarti bahwa pendapat yang berbeda-beda seluruhnya dilebur menjadi suatu konsepsi yang baru, yang merupakan suatu sintese).
Jiwa musyawarah merupakan pengejawantahan dari jiwa gotong¬royong, yang terutama diterapkan dalam selunruh kehidupan sosial, sehingga semua warga masyarakat hants rela melepaskan sebagian pendapatnya, dan tidak bersikeras mempenahankannya. Dalam masyarakat yang berjiwa gotong-royong, rtiusyawarah diterapkan untuk melerai pertengkaran kecil maapun besar, seperti yang juga tatnpak dalam prmsip-prinsip hukum adat yang sifatñya 6erusaha mendamaikan pihak-pihak yang berti.kai, tanpa mengalahkan atau memenangkan satu pihaka's Contoh-contoh dad pelaksanaan pririsip musyawarah dalam hukum adat di beberapa tempat di Indonesia dimuat dalam karangan-karangan yang digunakan sebagai =ujukan dalam buku B:Ter Naar mengenai hukum adat (perdata) di indonesia.
Contoh dari kepustakaan antropologi yang paling terkenal mengenai pelaksanaan prinsip musyawarah selain dalam rapat, adalah mengenai suku bangsa Indian Pueblo Zuni di New Mexico, Amerika Serikat, yang menurut Ruth Benedict memiliki jiwa gotong-royong dan kebudayaan untuk selalu bermusyawarah, seperti yang dilukiskannya dalam bukunya berjudul Pat¬terns Of Culture (1947: hlm: 52-119).
4. SISTEM PELAPISAN SOSIAL
Dalam hampir semua masyarakat di dunia> baik yang sangat sederhana maupun yang sangat kompleks, ada pembedaan dalam hal kedudukan dan status. Dalam masyarakat yang kecil dan sederhana, pembedaan itu biasanya terbatas sifatnya, karena jumlah warganya pun sedikit, dan orang-orang dengan kedudukan yang tingg'i juga tidak banyak jumlahnya. Sebaliknya, dalam masyarakat kompleks, pembedaan mengenai kedudukan dan status juga rumit, karena jumlah warganya banyak, dan individu-individu dengan berbagai kedudukan yang tinggi pun sangat banyak jumlahnya. Pembedaan dalam hal kedudukan dan status ittalah yang menjadi dasar dari gejala lapisan sosial.
Setiap masyarakat mempunyai penilaian yang berbeda mengenai berbagai jabatan dan kedudukan yang ada di dalam bermasyarakatnya, sehingga suatu kedudukan yang dianggap paling terhormat di suatu masyarakat, mungkin berada di peringkat di bawahnya dalam masyarakat lain, dan yang dianggap rendah di satu ma"syarakat, mtangkin sangat dihormati dalam masyarakat lain. Dengan demikian ada masyarakat yang menentukan tinggi¬ rendahnya kedudukan seseorang berdasarkan besar kecilnya kekuasaannya, dan ada masyarakat yang menilai kekayaan, kepandaian, keterampilan, pengetahuan, atau suatu kombinasi aari hal-hai tertiebut untuk merientukan tinggi-rendahnya kedudukan seseorang.
Dalam hampir semua masyarakat tampak gejala bahwa orang yang dipandang (dan menganggap dirinya sendiri) mempunyai kedudukan tertentu, cenderung untuk bergaul lebih banyak dengan orang-orang dengan kedudukan yang sama, sehingga terberttuk lapisan-lapisan sosial. Setiap lapisan sosial itu kemudian mengembangkan cara dan gaya hidup tersendiri (eksklusif), berbeda dengan cara dan gaya hidup lapisan-lapisan sosial lainnya. Gaya hidup yang tampak paling peka untuk menjadi eksklusif adalah terutama pola-pola rekreasi. Di Amerika Serikat, misalnya, warga masyarakat dari lapisan tertentu berbeda dengan warga masyarakat dari lapisan-lapisan lainnya jika dilihat dari gaya pakaiannya, bagian-bagian kota yang dipilih sebagai tempat tinggal, merek mobil yang dimiliki, gereja tempat beribadah, sekolah yang dipilih bagi anak-anak mereka, toko-toko yang dikunjungi untuk berbelanja, tempat-tempat serta pola-pola rekreasi, dan bahkan bahan bacaan mereka. Lapisan-lapisan sosial yang sangat mencolok perbedaannya itu menyebabkan bahwa lapisan-lapisan sosial kemudian disebut "lapisan-lapisan sosial tak-resmi" yang dalam tulisan¬tulisan berbahasa lnggris disebut social classes.
Lapisan-lapisan sosial tak-resmi ini ada di hampir; seluruh dunia. Para=warga masyarakat sendiri umumnya tidak sadar dan tidak memiliki kansepsi yang jelas mengenai susunan pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat mereka sendiri. Dalam suatu masyarakat biasanya juga tidak Ada istilah-istilah khusus untuk menyebut lapisan-lapisan sosial' tak-resmi itu, kecuali sebutan-sebutan kabur seperti misalnya "kaum atasan", "kaum terpelajar", "golongan menengah", "orang-orang bertitel", "kaum jembel", "orang kaya","para pejabat"; "orang kampung", dan lain-lainnya. Setiap sebutan ini diasosiasikan dengan suatu kedudukan tertentu (tinggi atau rendah). Penilaian tinggi-rendah mengenai suatu lapisan sosial tak-resmi y tentu berbeda bagi setiap warganya, namun mereka tentu mengetahui dengan tepat, siapa di antara warga-warga dalarrt lingkungan pergaulan mereka sendiri dapat dianggap sebagai sesamanya, siapa yang diakuinya berkedudukan lebih tinggi, dan karena itu harus diperlakukan dengan format, dan siapa yang mereka anggap lebih rendah kedudukannya daripada mereka sendiri. Karena itu setiap warga masyarakat sudah mengetahui sopan-santun pergaulan apa yang harus mereka terapkan dalam menghadapi warga-warga masyarakat yang lain. ,
Dalam masyarakat dengan pelapisan yang tidak jelas seperti terurai di atas, para warganya cenderung mengidentifikasikan diri dengan lapisan¬-lapirsan yang lebih tinggi; walaupun dalam kenyataan mereka tidak.termasuk di 'dalamnya: Angket yang pemah diedarkan datam sampel di Amerika Serikatuñtuk'mengetahui dalam lapisan mana seorang responden menempat¬kan dirinya sendiri, menunjukkan bahwa hampir 3/4 responden menempat¬kan diri sebagai, warga lap;san menengah atau tinggi, walaupurt dalarn keñyataan mereka sebagian besar adalah warga lapisan rendah:

Ada masyarakat-masyarakat di mana lapisan-lapisan dan kelas-kelas sosial sudah ditentukandengan tegas, karena warga dari setiap lapisan dan kelas tersebut telah memiliki hak dan kewajiban yang jelas, dengan sanksi hukum ad$t afau hukum yang berlaku. Kesadaran dan konsepsi mengenai susunan pelapisan dalam masyarakat mereka umumnya sangat tinggi,dan bahkan memiliki istilah-istilah tertentu bagi lapisan-lapisan itu, misalnya commoner (orang biasa), dan nobility (bangsawan) dalam masyarakat orañg Inggris, atau ate (budak), tog (orang biasa), dan usif (bangsawan) dalam masyarakat suku bangsa Atoni di Amarasi (Timor Barat). Orang Inggris umumnya paham dan mengakui bahwa orang yang berasal dari lapisan nobility berada di atas orang-orang yang berasal dari lapisan commoners; demikian pula semua orang Atoni umumnya paham dan mengakui bahwa lapisan usif lebih tinggi daripada lapisan tog dan ate. Dalam sosiologi,, lapisan sosial yang jelas dan telah ditegaskan dengan suatu sistem hak dan kewajiban yang:sudah mantap,bagi para warganya, disebut estate, yang dalam balaasa Indonesia sebaiknya diterjemahkan dengan "lapisan sosial resmi".
Seorang ahli yang akan menganalisa suatu sistem pelapisan dalam suatu masyarakat, dan sesudah itu bermaksud mendeskripsikan stratifikasi sosialnya, biasanya mengalami hambatan dalam menentukan alasan-alasan yang lazim digunakan para warga masyarakat yang bersangkutan untuk menilai tinggi-rendahnya kedudukan sosialnya. Hambatan itu terlebih dijumpainya ketika ia meneliti pola-pola pergaulan atau lingkungan sosial dañ para waiga yang kedudukannya 'sama. Penelitian juga dilakukan dengan mengamati kebiasaan-kebiasaan serta gaya hidup khas dari'auatu lapisan: Qraiig-orang yang memenuhi lierbagai,kriteria yang dinilai tinggi oleh suatu masyarakat, dalam kenyataan mungkin saja belum dianggap sebagai warga la ,pisan yang tinggi, karena kebiasaan-kebiasaan dan gaya hidupnya membedakannya dari warga-warga l4pisan tinggi tadi. Di Amerika 5erikat kekayaan menjadi; syarat utama agar seseorang dapat dipandang sebagai anggota lapisan tertinggi, atau upper class. Walaupun demikian, orang yang secara tiba-tiba menjadi sangat kaya tidak mungkin diterima begitu saja dalam lapisan upper class atu. Kebiasaan-kebiasaan dan gaya hidup warga dari lapisan di mana ia tidak dibesarkan dan menjalani sebagian besar hidupnya, tidak begitu saja dapat ditiru. Umumnya baru angkatan cucunya saja yang betul-betul telah dapat menjiwai kehidupan sebagai warga lapisan yang batu itu, dan diterima aleh para warga lapisan tersebut:
Istilah. Dalam karangan-karangan antropologi sosial dan sosiologi bahasa Inggris, digunakan istilah social stratum, social class, atau estate: Istilah yang pertama menurut hemat kami tidak begitu penting, dan untuk sementara waktu dapat kita abaikan. Tetapi istilah yang kedua seringkali dapat menimbulkan kekacauan, karena K. Marx dan para pengikutnya telah menggunakannya dengan makna yang khusus, yaitu "lapisan masyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan antara orang-orang yang memiliki semua alat produksi (tanah dan modal), dan orang-orang yang tidak memilikinya, tetapi hanya memiliki tenaga yang dapat mereka buruhkan". Untuk konsep ini digunakan juga paham class struggle, yang senantiasa hadir di antara kedua golongan tersebut.
Dalam bahasa Indonesia, keragit-raguan tnengenai paham dan makna konsep social class dalam arti umum dapat dihindari` apabila digunakan istilah "lapisan sosial tak-resmi", dan untuk estate sebaiknya digunakan istilah "lapisan sosial resmi", sementara untuk social class digunakari "kelas, sosial".
Sebab-Sebab Terjadinya Susunan Berlapis: Di atas telah disebutkan bahwa dalam tiap masyarakat itu ada sebab-sebab tertentu mengapa suatu . kedudukan dianggap lebih taiggi daripada kedudukan yang lain. Sebab¬sebabnya yang lebih rinci adalah: (a) kualitas serta keahiian, (b) senioritas, (c) keaslian, (d), hubungan kekerabatan dengan kepala, masyarakat, (e) pengaruh dan kekuasaan, (f) pangkat, (g) kekayaan.
Unsur-unsur penyebab susunan berlapis dalam masyarakat berbeda dalam setia masyarakat. Dalam kelompok-kelompok band berburu band berburu yang kecil, para individu umumnya tak memiliki harta kekayaan h,erupa tanah c9an sumber-sumber produktif lainnya. Dalam masyarakat-masyarakat seperti itu kualitas dan keahlian sebagai pemburu merupakan alasan utama untuk menggolongkan individu-individu dengan sifat-sifat tersebut ke dalam lapisan teratas. Namun masyarakat seperti itu belum tampak terdiri dari lapisan¬lapisan, apabila individu-individu yang memiliki kualitas dan keahlian berburu itu belum dibedakan dari warga masyarakatnya yang lain, antara lain dengan memiliki kebiasaan-kebiasaan yang istimewa sifatnya.
Dalam suku-suku bangsa pemburu warga-warga yang dianggap istimewa, karena itu memperoleh hak untuk mengenakan pakaian yang khas, berhiaskan lambang-lambang dan tanda-tanda kepahlawanan. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa suku bangsa Indian yang hidup di daerah padang rumput di Amerika Serikat bagian tengah, yang hingga; sekitar akhir abad ke-19 masih memburu banteng bison sebagai mata pencariannya. Suku-¬suku bangsa itu malahan mengenal lebih dari 2 lapisan sosial (misalnya suku bangsa Kiowa, Yang mengenal 4 lapisan sosial dalam masyarakatnya, berdasarkan kepahlawanan, kepandaian berburu, kepandaian berperang, dan keterampilan di bidang pertukangan.
Dalam banyak masyarakat lain; kepandaian dalam ilmu pengetahuan menjadi syarat untuk memperoleh kedudukara yang tinggi, dan dengan demikian terbentuklah lapisan sosial khusus yang terdiri dari orang-orang berilmu. Dalam masyarakat seperti ini kaum, pendeta dan pemuka agama biasanya tergolong lapisan, sosial yang tinggi, karena seorang pendeta biasanya memang orang yang terpelajar.
Senioritas Yang menentukan terjadinya lapisan-lapisan sosial aritara lain ada pada suku-suku bangsa penduduk negara-negara Ethiopia; Kenya; Uganda, Tanganyika, dan lain-laur. Dalam masyarakat suku bangsa Nandi
di Kenya Barat, misalnya, seorang pria harus memperjalani upacara inisiasi sewaktu ia memasuki tingkat umur baru. Anak-anak yang memasuki usia sekitar 20 tahun, harus menjalani upacara inisiasi untuk memasuki tingkat umur perajurit, Di zaman dahulu, mereka menang harus bertugas sebagai perajurit dan dilarang menikah, walaupun mereka. boleh bermiri cinta Setelah 5 tahun mereka memasuki tingkat umur dewasa, yang juga disertai dengan upacara -inisiasi: Pada tingkat umur ini mereka menikah, dan berusaha menjadi warga yang terhotmat: Pada saat seseorañg meracapi usia sekitar 50 tahun, diadakan upacara irisiasi yang terakhir, yariA tnembuamya menjadi warga,masyarakat yang sangat trhormat, dan diperkenankan memegang jabatan sebagai pemimpin atau sebagai penasehat pemimpin. Kelompok-kelompok berdasarkan tingkat umur itu juga menjadi lapisan-lapisan yang tersusun dari atas ke bawah. Setiap tingkat umur metniliki gaya hidup dan adat kebiasaannya sendiri, sehingga benar-benar apat disebut "lapisan sosial".
Sifat asli yang mendasari lapisan-lapisan sosial dalam suatu masyarakat biasanya terdapat pada masyarakat suku-suku bangsa petani yang bertani secara menetap. Para warga yang merupakan keturunan penduduk yang pertama-tama membuka lahan, biasanya dianggap sebagai lapisan yang tertinggi. Para pendatang yang bergabung kemudian, dan keturunan-keturunan mereka, secara adat dianggap sebagai lapisan sosial Yang lebih rendah. Hai ini mungkin bermula dengan munculnya hak atas tanah. Drang yang pertama-tama datang di suatu daerah dan membuka lahan pertanian serta mendirikan desa, tentu merasa memiliki hak yang lebih besar atas tanah tersebut daripada orang-orang yang datang kemudian. Karena itu mereka juga menganggap dirinya lebih tinggi daripada para pendatang. Apabila hal itu dibekukan oleh adat, maka keturunan mereka akan tetap terbagi ke dalam 2 lapisan sosial yang tersusun menurut tinggi ¬rendah.
Hubungan kekerabatan dengan kepala masyarakat, yang menyebabkan seseorang menjadi warga dari lapisan masyarakat yang tinggi, terutatna terdapat dalam masyarakat negara kerajaan. Sejak 4.000 tahun sebelum masehi; hingga Perang Dunia I usai, yaitu ketika kerajaan-kerajaan sebagai bentuk negara mulai tumbang, ada lapisan=lapisan masyarakat yangg terdiri ri orang-orang yang masih dapat menelusuri huhungan dirinya dengan keluarga kerajaan. Lapisan kaum bangsawan ini pun masih terbagi lagi ke alam lapisan-lapisan khusus berdasarkan tingkat kekerabatannya dengan .; seorang raja; makin dekat hubungannya dengan raja, makin tinggi pula tingkat, kebangsawanannya. Dengan demikian kaum bangsawan tertinggi terdiri dari kaum kerabat yang paling dekat hubunganñya dengan raja, yang disusul dengan lapisan yang terdiri dari kaum kerabat yang hubungannya dengan raja lebih jauh (misalnya hingga sekian derajat ke samping dan ke bawah), dan akhirnya iapisan bangsawan yang rendah, yang terdiri dari kaum kerabat yang hubungannya dengan raja sudah sangat 'jauh. Kaum bangsawan jelas merupakan'suatu lapisan sosial, karena mereka umumnya menganut gaya hidup dan adat kebiasaan yang berbeda dari rakyat jelata. Seorang bangsawan juga mudah dikenali dari gelar-gelar yang disandangnya.
Para kerabat dari seorang kepala rnasyarakat (raja atau kepala pemerintahan setempat) di dalam masyarakatnya (baik masyarakat yang besar maupun yang kecil) termasuk lapisan yang tertinggi. Di Indonesia, lapisan-lapisan bangsawan ada di daerah-daerah yang mempunyai kerajaan¬kerajaan swapraja, misalnya di Sumatra Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, dan beberapa pulau di Nusa Tenggara Barat: Dalam masyarakat suku bangsa Ngaju yang mendiami daerah Sungai Kahayan, Sungai Kapuas, dan Sungai Barito di Kalimantan Selatan, orang¬orang yang mempunyaixhubungan kekerabatan dengan kepala desa serta' pejabat-pejabat penting dalam masyarakat; tergolong lapisan yang tertinggi (yaitu lapisan utus gantang). Kedudukan mereka sebagai warga lapisan tertinggi juga diaktualisasikan dengan pemilikan berbagai benda pusaka;. seperti misalnya senjata-senjata kuno (totnbak keris, sumpitan, gong, tikar¬tikar anyaman, kain tenun, pakaian adat, dan lain sebagainya), dan mereka' biasanya juga tinggal dalam rumah yang dihiasi ukiran-ukiran, berbeda dengan rumah-rumah peñduduk desa lainnya.
Kekuasaan biasanya merupakan sebab terbentuknya suatu lapisan dalam masyarakat dengan sistem negara. Memang;kaum bangsawan dari berbagai kerajaan di dunia bermula dari sekelompok`orang yang memegang kekuasaan. Karena berbagai sebab (acapkali revolusi), struktur darL sebagian besar negara-negara kerajaan di tlunia berubah, menjadi negara-negara republik. Walaupun demikian kaum kerabat raja bia.sanya masih tetap= marupakan lapisan sosial yang tertinggi, karena susunan berlapis yang ada sering telah menjadi mantap:
Dalam masyarakat-masyarakat kerajaan Banyankole (yang menghuni daerah danau-danau besar di Uganda)' terdapat suatu lapisan rakyat jelata Yang dinamakan bairu, dan lapisan yang terdiri dari keturunan suku-suku bangsa petemak yang memiliki ciri-ciri ras Hamit,"' yang dinamakan bahima. Warga lapisan bahima adalah keturunan suku-suku bangsa peternak yang mengembara dari daerah sekitar Ethiopia melalui daerah danau-danau besar di Uganda, dan menaklukkan suku-suku bangsa Negroid yang ',bermatapencarian sebagai petani di sana. Selama beberapa abad para pendatang yang membentuk kerajaan Banyankole (dan merupakan lapisan¬;lapisan yang paling tinggi dalam masyarakat itu) berhasil menguasai suku¬suku bangsa pribumi. Sebagai lapisan penguasa, warga lapisan bahima
memiliki hak-hak istimewa yang didukung oleh alat-alat kekuasaan yang nyata. Keadaan ini berlangsung sampai seluruh daerah Uganda diduduki `; ientara kolonial Inggris dalam tahun 1900.
Sebelum Perang Dunia I, Indonesia, seperti halnya negara-negara .ICO konial lainnya, juga memiliki lapisan-lapisan sosial tinggi yang terdiri `,4ari orang-orang yang dekat pada kekuasaan, yaitu para warga Belanda.
Kebudayaan mereka jelas berbeda dari kebudayaan rakyat Indonesia; mereka tinggal di daerah-daerah yang khusus di dalam kota, dan bahkan memiliki tempat-tempat rekreasi yang terlarang bagi bangsa pribumi: Tinggi¬rendahnya lapisan sosial dalam masyarakat jajahan, juga dapat ditentukan roleh pangkat yang dimiliki warganya: Oleh karena itu orang-orang pribumi f -yang bekerja pada pemerintah jajahan tergolong warga lapisan yang tinggi, dan memiliki gengsi yang tidak dimiliki penduduk pribumi lainnya.
Setelah Indonesia merdeka, lapisan kepegawaian, Yang terdiri dari pegawai-pegawai negeri yang menduduki berbagai jenjang kepegawaian juga merupakan lapisan sosial yang bergengsi. SebaliJcnya, perbedaan
pangkat juga menyebabkan terjadinya lapisan-lapisan sosial khusus, misalnya lapisan pejabat, yang memiliki gaya hidup yang khusus, yang tinggal di bagian kota yang paling nyaman dan eksklusif, memiliki mtibil-mobil : mewah, dan-lain-lain.
Di Indonesia, kekayaan belum menjadi ukuran tinggi-rendahnya 'ltipisan sosiai daiam masyarakat. Di zaman penjajahan, misalnya, seoiang pedagang yang sangat kaya behan mampu memperoleh gengsi yang setara dengan seorarig pegawai pamong praja. Sebaliknya, di Amerika Serikat kekayaan menjadi syarat bagi seseorang untuk dapat diterima sebagai warga lapisan yang tertinggi.
Walaupun orang Arnerika sendiri tidak mengakui adanya sistem pelapisan sosial di negaranya, karena kesempatan untuk mencapai kedudukan-kedudukan yang paling tinggi dalam masyarakat yang berdasarkan asas demokrasi itu terbuka bagi setiap warganya, dalam kenyataan lapisan-lapisan sosial itu ada. Iapisan sosial yang teitinggi (yaitu upper class), yang merupakan 1% penduduk Amerika, terdiri dari tokoh¬tokoh dunia perdagangan dan jutawan-jutawan terkenal. Dalam lapisan tengah (atau middle class) termasuk para usahawan kecil, ilmuwan, seniman, para pegawai negeri> pegawai wiraswasta> dan lain-lain, yang mencakup 40% dari seluruh bangsa Amerika. Akhirnya ada lapisan bawah, atau lower class, yang meliputi 55% dari seluruh bangsa Amerika, yaitu kaum buruh kasar.
Sistem Kasta. Sistem kasta terbentuk apabila suatu sistem pelapisan sasial seakan-akan terbeku. Walaupun sistem kasta umumnya 'kita hubungkan dengan agama Hindu (dan memang ada ahli-ahli yang menyatakan bahwa sistem kasta itu unik dan hanya ada di India), ada pakar-pakar yang cenderung memberi batasan yang lebih luas pada paham kasta, yaitu sebagai sistem pelapisan sosial dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) keanggotaan berdasarkan kelahiran, (b) endogami kasta yang dikuatkan dengan sanksi hukum dan agama; (c) larangan pergaulan `dengan warga¬warga kasta rendah, yang. dikuatkan dengan sanksi hukum dan agarna. Terutama larangan bergaul dengan anggota-4tlggota masyarakat yang dianggap hina inilah yang tampak mencolok dalhm kehidupan sehari-hari masyarakat India.
Berdasarkan pembatasañ paham tersebut di atas, bukan hanya masyarakat India saja yang mempunyai sistem kasta, tetapi juga masyarakat Amerika Serikat, dengan adanya pemisahan yang tajam (segregation) antara lapisan orang kulit bule (whites) dan lapisan warganegara Amerika kulit hitam (Negroes, atau coloreds),"' sedang sistem pemisah yang tajam antara lapisan orang kulit bule:dari lapisan penduduk pribumi di negara Uni Afrika Selatan juga dapat dipandang sebagai sistem kasta.
Sistem kasta di India memang sudah ada sejak berabad-abad yang lalu. Dalam buku-buku kuno abad ke-S sebelum Masehi, yaitu Rg;-Veda
152. Lihat tulisan WL. Warner, M. Meeker; dan K. Eels, Social Class In America (Chicago, 1949).
153, Lihat karangan G.D. Beneman. "Caste In India And The United States", dalam: The American Journal Of Sociology, LXVI (1960: hlm. 120-127). Lilr.u juga karangan W. Llyod Warner, "American Caste And Class" dalam majalah The American Journal Of Sociology, XLII (1936: hlm. 234-237) dan karangan l. Dollard. Caste And Class In A Southern Town (New Haven: Yale University Press. 1937).
Dan Brahmana, tercantum bahan keterangan tertua mengenai sistem kasta O'ati) yang disebut sistem varna. Dalam buku-buku itu tertera keterangan bahwa dalam rnasyarakat India waktu itu terdapat 4 varna, yang tersusun berlapis dengan utut-urutan dari atas ke bawah sebagai berikut: Brahmana, Ksatriya, Vaicya, dan (7udra. Kasta yang pertama adalah kasta pendeta,
Ksatriya adalah kasta para bangsawan dan tentara; kasta VaiVya '.,,`adalah kasta para pedagang, dan kasta Cudra adalah kasta rakyat jelata, ~Selain keempat kasta itu masih ada orang-orang, Paria yang tidak berkasta :;dan dianggap najis, dan karena itu tidak termasuk sistem varna.
Dalam kehidupan masyarakat di India sekarang (terutama di daerah pedesaan), sistem kasta itu masih dipegang teguh, dengan susunan kasta yang jauh lebih rumit_daripada apa.yang tertera dalam buku-buku kuno. Sebagai contoh akan diuraikan sistem jati dalam masyarakat desa Shamirpet (letaknya dekat kota Hyderabad di India Selatan).
Desa Shamirpet dalam tahun 1951 terdiri dari sekitar 2.350 penduduk, yang sebagian besar berbahasa Telugu, dan sebagian menggunakan balit;sa ;Urdu sebagai bahasa kedua. Menurut ahli antropologi India, Shyarma Charan' Dube,'s kasta-kasta di Shamirpet pada mulanya merupakan kelompok¬kelompok orang dengan mata pencarian hidup yang sama. Apa yang menyebabkan bahwa satu jenis mata pencarian itu dianggap lebih tinggi daripada yang lain, sehingga menimbulkan susunan tinggi-rendahriya-: kelompok-kelompok berdasarkan mata pencarian itu, sukar diterangkan.
Kasta Brahmin terdiri dari pendeta-pendeta yang memimpin be:rbagai upacara desa, dan dapat juga diminta untuk datang ke r+umah (dengan imbalan) untuk memimpin upacara-upacara rumah tangga. Mereka tidak 6oleh makan makanan yang sudah disentuh orang-orang dari kasta yang iebih rendah, dañ karena itu tukang masak mereka harus anggota kasta mereka sendiri: Kasta Komti merupakan kasfa para pedagang pemilik warung dan toko kecil, yang hanya boleh menerima makanan dari tangan orañg Brahmin, tetapi tidak dari kasta-kasta yang lebih rendah. Kasta Redi, yang terdiri dari petani, merupakan kasta yang terbesar (karena mata pencarian masyarakat desa Shamirpet memang bertani). Kasta Kumari dan kasta Golla menganggap dirinya setingkat dengan kasta Redi; namun ada pantangan kawin dengan warga kasta-kasta itu. t?Varga lapisan Mala dan Madiga adalah orang-orang yang diarvggap najis. Pekerjaan orang Mala adalah pekerjaan-pekerjaan yang dianggap najis seperti pengrajin kulit,






Redi
(Petani)





Sale
(Penenun)

Sakali
(Tukang Cuci)

Vaddar (Tukang Batu) Brahmin
(Pendeta)

Komti
(Pedagang)

Kummari (Pembuat Timbakar)

Muttasari
(Petani)







Erkala
(Pembuat Tikar)






Golla
(Pengembala)





Gaondla
(pembuat Arak)

Mangali
(Tukang Cukur)

Pichha-Kuntla
(penyanyi)

Mala
Madiga Wadla
(tukang kayu)

Kammari
(tukang)

Ausula
(pandai emas)

Kase
(pengukir)


Kanchari
(pembuat Jam) Musulman
(muslimin)

Bagan 21
Sistem kasta dan sub-kasta datam »:asyarakat shamirpet di India
(karena untttk melakukan piekerjaan itu mereka hatus memotong sapi, yaitu hewan yang disucikan dalam agama Hindu), dan orang Madiga melakukan pekerjaan sebagai pelayan, tukang sapu, dtui lain-lain. Kecuali itu ada 5 buah kasta, yaitu Wadla, Kammari, Ausula, Kase, dan Kauchari, yang tersustut menurut suatu sistem susunan tinggi-rendah yang khusus, terpisah dari sistem kasta-kasta yang utama. Demikian juga ada kasta orang Musulman (yaitu orang-orang Muslim), yang terpisah dari kedua sistem kasta yang ada (lihat Bagan 21).
Susunan tinggi-rendah dari ;jati-jati yang berdasarkan penilaian pandangan umum dalam suatu masyarakat desa tertentu mengenai apakah suatu jenis mata pencarian itu bersifat terhormat atau najis, harus dipisahkan dari proses-proses hubungan pengaruh dan kekuasaan kasta. Kasta yang menurut adat merupakan kasta yang tinggi dan terhormat, dalam kenyataan belum tentu nnerupakan kasta yang berkuasa dan berpengaruh. Terutama dalam zaman modern sekarang ini pengaruh dari partai kasta dalam kehidupan politik lebih penting daripada kasta yang secara adat dianggap tinggi dan terhormat.
Kasta yang berpengaruh dah berkuasa biasanya adalah kasta dengan aittggota yartg'terbesar jumlahnya. Di desa Rampura (India Selatan), kasta yang seharusnya paling terhormat adalah ke-4 kasta pendeta; yaitu Hoysala; Karnataka; Madya, dan Lingayat. Tetapi dalam kenyataan, kasta Okkaliga ;(kasta para petani) merupakan kasta yang paling berpengaruh, karena memiliki kekuasaan politik yang terbesar serta menguasai jabatan jabatan penting dalam pemerintahan desa, dan di samping itu warga kasta Okkaliga juga paling tinggi pendidikannya.
Dalam kehidupan ekonomi desa Shamirpet yang berdasarkan :perfanian, kasta Redi dan Muttarasi (iihat Bagan 21) memang merupakan kasta-kasta yang terbesar, tetapi hampir semua petiduduk desa lainnya juga bermata pencarian sebagai petatu. Demikian juga pekerja sebagai pedagang tidak hanya terbatas pada warga kasta Komti saja, walaupun para pemilik wantng dan toko di Shatnupet berasal dari kasta Komti. Sebaliknya, ada pekerjaan-p.ekerjaan yang hanya dilakukan warga dari kasta-kasta tertentu. Membuat tembikar, misalnya. hanya boleh dilakukan oleh warga kasta pembuat tembikar; menenun adalah monopali warp kasta penenun; mencukur hanya boleh dilakukan oleh warga kasta tukang cukur saja; ;memandai besi adalah monopoli kasta tukang pandai be.ei, dan sebagainya: Walaupun demikian, arang yang dilahirkan dalam kasta pembuat tembikar hanya dapat menjadi pembuat tembikar saja. Dengan adanya sistem pendidikan sekolah iaman sekarang, dan ciengan makin banyaknya ikemungkinan bagi para pemuda unttak memilih suatu jenis mata pencarian hidup yang baru, nasib orang tidak seluruhnya lagi ditentukan oleh kasta jdi mana ia dilahirkan.
Mobilitas kasta di India akhir-akhir ini mulai menarik perhatian para jahli antropologi dan sosiolagi, dan dalarn masyarakat-masyarakat desa yang telah mereka teliti, banyak orang tidak lagi bekerja di lapangan yang ditentukan oleh adat, kasza mereka masing-masing. Di India Selatan, sebagian besar anggota kasta Brahmin tidak lagi bekerja sebagai pendeta, dan 83% di antara mereka telah melakukan berbagai jenis pekerjaan lain.
Demikian juga di Pakistan Utara; di antara SS warga kasta Dhabi (kasta tukang cuci), hanya 14 orang yang masiñ menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai tukang cuci. Ke-71 orang lainnya ada yang menjadi pedagang telur, guru, perajurit, dan menjalankan profesi-proft;si lain. Dari 46 warga kasta Najyan (tukang cukur), hanya 13 orang yang bekerja sebagai tukang cukur, sedang sisanya menjadi petani, buruh tani, kusir delman, atau bahkan menjadi tuan tanah yang kaya.
Hoysala
(pendeta)

Karnatak
(pendeta)

Madva
(pendeta)

Okkaliga
(petani)

Kuruba
(penggembala domba)

Musulman
(Muslim, pedagang)

Ganiga Kumbara
(penjual minyak)

Besta
(nelayan)

Meda
(penjual ayam)

Kelas
(tuksang cukur)

Korama
(penggembala babi)

















Kumbara
(pembuat Tembikar)









Agasa
(tukang cuci)





























Ediga
(pembuat arak)
Lingayat
(pendeta)

Acari
(tukang)

Bagan 22
Sistem Kasta di Desa Rampura, India Selatan

Walaupun di beberapa tempat di India mulai terjadi perubahan pada kekuatan kasta dalam memilih lapangan kerja, pantangan kawin antarkasta, larangan menyentuh, dan pantangan memakan makanan yang disajikan atau disentuh warga kasta yang lebih rendah; hingga kini masih berlaku di banyak desa.
Kalau sistem jati di Hyderabad kita bandingkan dengan sistem-sistem kasta dari tempat-tempat lain di India, tampak adanya banyak perbedaan kecil. Sistem kasta di India memang sangat lokal sifatnya, sehingga di seluruh India ada beberapa ratus sistem kasta yang berbeda-beda. Dalam Bagan 22 di atas tampak sebagian dari sistem jati di desa Rampura (India Selatan), untuk menunjukkan keanekaragaman sistem-sistem kasta di In¬dia.
Sistem Pelapisan Sosial Di Bali. Masyarakat Bali secara adat terbagi ke dalam 4lapisan, yaitu Brahmana, Satria, Vesia, dan Sudra, yang jelas merupakan pengatvh Hindu, yang niasuk ke Bali di zaman kebesairan negara-negara Indonesia-Hindu di Jawa Timur, Ketiga lapisan pertama; , yang hanya merupakan bagian.yang sangat kecil dari selutvh masyarakat Bali, disebut triwangsa, sedang lapisan yang keempat, yang merupakan bagian terbesar, disebut jaha, Walaupun jumlah yang tepat tidak ada, secara umum ada anggapan bahwa jumlah warga triwnngsa berjumlah sekitar 10%, dan sisanya adalah warga Jaba.
Setiap lapisan triwangsa masih terbagi lagi ke dalam lapisan-lapisan khusus, yang memberi hak kepada warga.setiap lapisan itu untuk menggunakan gelar tertentu di depan namanya. Walaupun ada bebempa variasi kecil di sana-sini.Orang Bali umutnnya mengetahui bahwa gelar yang tertirtggi bagi seorang pria adalah "ida ilagus", yang secara menurun unttannya adalah: "Cokocda",'-Dewa", "Ngakan", "Bagus", "I Gusti"; dan "Gusti". Gelar "Ida Bagus" adalah gelar bagi orang Brahmana, gclar "Cokorda", Dewa", "Ngakan'' dan "Bagus" adalah gelar-gelar bagi orang Satria, dan gelar-gelar "I Gusti" dan "Gusti" adalah gelar-gelar bagi orang Vesia. Namun tidak banyak lagi mengetahui dengan tepat, dalatr) lapisar'r apa suatu gelar_tertentu termasuk. Juga orang Sudra memakai gelar seperti
157, Litiai karangari M.N. Sriniva+, "The Social System In A Mysore Village", yang dunuat 'dal:un txvku trlluxc tndin; ha,il rcdaksi McKim Marriot (Chicago, 1956: hlm: 1-35). 1.58. Dalaw sebuah txmbicaraan dengan C. Gcertz di desa Tihingan di Klungkung, tenip8t ia pernah melakrdcan Ix:nclitian dalam tahun 1957, 13% warga desa tersebut adalah warp triwnngsii, dan 87% adalah warp jaba.
misalnya "Pande", "Kbon", "Pasek", "Pulasari", "Parteka", "Sawan", dan lain-lain.
Gelar-gelar dalam masyarakat bali diwariskan secara patrilineal. Berbeda dengan keadaannya di India, di mana warga satu jati mernbentuk suatu kelompok dalam masyarakatnya, sistem gelar-gelar di Bali tidak
membentuk kelompok-kelompok. Orang dengan gelar yang berbeda-beda dapat saja tinggal bersamaan dalam satu desa, dan memiliki cara serta gaya hidup yang sama,dan saling bergaul erat. Walaupun gelar pada awalnya menunjukkan jenis,pekerjaan tertentu (misalnya pande, khon, pasek, dan lain-lain), di Bali gelar-gelar itu sudah sejak lama tidak lagi dihubungkan dengan suatu jenis mata pencarian tertentu, kecuaii gelar "Pedanda", yaitu: gelar bagi seorang pemuka upacara agama (dari kasta Brahmana).
Walaupun sistem kasta dan gelar-gelar tidak membagi masyarakat Bali ke dalam gotongan-golongan, gelar sangat penting dalam adat sopan¬sanwn pergaulan. Orang yang memiliki gelar yang dianggap tinggi, harus dihadapi dengan hormat (dinyatakan dengan bahasa dan tingkah laku), dan orang yang merniliki gelar yang dianggap lebih rendah dapat ..dihadapi dengan sikap bebas. Berbagai aturan adat juga memberlakukan hak-hak bagi penyandang berbagai gelar, dalam mengguryd~an lambang, perhiasan atau hiasan tertentu, unsur-unsur pakaian tertentu: bentuk rumah tertentu, bentuk-bentuk tertentu bagi tempat peribaciatan pribadi, dan lain-lain.
Seorang gadis., Bali diharapkan menikah dengan pemuda yang pemiliki gelar yang sama, atau lebih tinggi. Perkawinan dengan pria yang 1e,bih rendah derajatnya;.dianggap.sebagai penghinaan bagi keluarga gudis, Op apabila hal itu tak dapat dihindari, maka biasanya si gadia dilarikan.
Oleh calon suaminya: Perkawinan lari memang banyak terjadi di Bali. Namun apabila kemarahan kaum kerabat si gadis telah mulai reda setelah beberapa waktu, gasangan.muda itu biasanya kembali untuk meminta maaf, sehingga mereka kemudian dapat: diterima kembali di dalam keluarga. Di masa lampau, pasangan yang melarikan diri diancam dengan hukuman buang ke; Pulau Nusa:Penida apabila merek«.berhasil ditemukan oleh keluacganya: Anakyang dilahirkan asangan clari dua lapisan masyarakat yang berbeda, memperoleh gelar ayahnya.
Dengan makin majunya pendidikan modem di Bali, seberapa jauh pendidikan itu dapat mempengaruhi adat kasta di Bali, belum diketahui, dan perlu diteliti para ahli antropologi dan. sosiologi.
159. Saya sendiri mengenal seorang warga kasta Brahmana yang txkcrja sehagai surir inak.

5. PIMPINAN MASYARAKAT
Unsur-Unsur Kepemimpinan. Pimpinan dalam suatu masyarakat dapat berupa kedudukan sosial, tetapi juga proses sosial. Kedudukan sosial seorang pemitnpin (yaitu raja, kepala desa, direktur, ketua, panglima, dan lain-lainnya) membawa sejumlah hak dan kewajiban. Seorang pemimpin harus dapat membangkitkan masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial khusus dalam masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sosial (misalnya dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan keptitusan, pengawasan pelaksanaan, hingga pengawasan akibat pelaksanaan)."
Seorang pemimpin hat'us memiliki 3 unsur penting untuk dapat menjalankan tugasnya detigan baik, yaitu: (1) kekuasaan; (2) kewibawaan; dan (3) popularatas. Walaupun kedua unsur pertama umumnya diatiggap
sebagai unsur-unsur' yang terpentiig; tanpa unsur yang ketiga, seseorang p6i'rlimpin tak dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik-dan mantap. Ketaatan pada seorang pemimpin yang tidak populer adalah:ketaatan yang didasari sikap takut, atau karena secara adat orang rnemang-harus taat pada pemimpii yang secara resmi telah mendapat kewenangan.
Dalam bahasa sehari-hari kedua unsur yang sering kali dikacaukan, harus dibedakan dengan tajam. Ada pemimpin yang memiliki kekuasaan yang brsar; tetapi sebaliknya tidak arif dan bijaksana dan tidak memiliki wibawa; sebaliknya ada pula pemimpin yang ciiakui masyarakat sebagai ,, nrang yang beiwibawa, arif; dwi: bi jaksana, tetapi tidak memilika kekttasaan ; yang nyata: Untuk menganalisa ketiga urnur kepeniimpinan tersebut di Atas, kita harus melihatnya dari segi hubungan antar manusia.
Dipandang dari segi itu, hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tergulcing htibungan yang dalarn sosiologi disebut "hubungan ' asitñetris", yang me nyebabkan batiwa peiogaruh hanya berjalatn satu arah ` saja, yaitu dari pemimpin ke golongan yang dipimpin. Pengatuh yang besar diperoleh dengan adanya sifat-sifat pemimpin sebugai berikut:

1K0.:Lihat merigenai proses-proscs itu, karaogan E.H. Litchficld, "Notes On I A General Theory Of Administration", datam: Administrative Science• Quurtrrlv; 1 (1959: hlm. 3¬29)
161, Analisa mengenai konsep "kekuasaan" dan"wihawa" yang ;aya uhah di sana-sini,,says kutip dari uraian R.A. Schennerhorn dalam bukunya Society And Power (New York: Random House, 1961). Lihat juga karangan H:A. Simon, Human Relations In'Admi¬nislralinn, redaksi R. Dubin (New York, 1951).
1. sifat-sifat yang disenangi warga-masyarakat pada umumnya;
2. sifat-sifat yang diidam-idamkan warga masyarakat pada umumnya, yang karena itu akan ditiru;
3. memiliki keahlian yang diperlukañ dan diakui warga masyarakat;
4. pengesahan resmi, atau keabsahan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan adat masyarakat;
5. sifatnya yang keramat, menurut pandangan umum dalam masyarakat;
6. memiliki lambang-lambang pemim.pin, sesuai de.ngan adat dalam masyarakat;
7. memiliki kemampuhn untuk menggunakan kekuatan fisik.
Orang dengan sifat-sifat yang disenangi adalah orang yang populer. Seperti teiah disebutkan di atas, sifat itu penting; karena ia merupakan modal untuk memperoleh pengikut sebanyak-banyaknya. Walaupun rlamildan, kepopuleran bukanlah sifat yang mutlak dimiliki seorang pemilik. Pemimpin yang memiliki sifat yang meiupakan idaman arang banyak; tentu orang yang populer juga, walaupun keadaannya agak berbeda, karena sifat yang diidam-idamkan orang biasanya ditiru oleh masyarakat: Oleh karena itu banyak pemimpin sering berupaya mengembangkan sifat-sifat yang disukai orang. Untuk mencegah kritikan masJ46kat terhadap berbagai kelemahan yang'dimilikinya, seorang pemimpin biasanya berupaya agar masyarakat tidak melihat kelemahan-keleaahannya tersebut, dengan membuat jarak dengan masyarakat yang dipimpinnya. Searang takoh biasanya secara rnutlak menjadi tokoh idola setelah ia meninggal, yaitu tatkala orang lain telah melupakan kelemahan-kelemahannya, sementara kebajikannya biasanya dibesar-besarkan. Oleh sebab itu seorang pemimpin seringkali berupaya mendekati sifat-sifat yang dianggap ideal cleh masyarakatnya dengan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tctkoh yang telah meninggal:
Contoh dari seorang pemimpin dengan keahlian yang diperlukan dan diakui sebagian besar warga masyarakatnya adalah seorang guru.
Pemimpin yang memperoleh pengesahan resmi atau keabsahan adat> :ne.mpunyai wewenang untuk menjadi.pemimpin yang resmi. Dalam rnasyarakat tradisional prosedur itu biasanya berupa serangkaian upacara,
yang dilambangkan oleh pengesahan dari ~ara ruh nenek-moyang atau l:ara dcwa. Di zaman kerajaan-kerajaan zairtan dahulu, prosedur itu adalah upacara penobatan putera mahkata yang telah ditakdirkan menjadi raja.
Dizaman-sekarang, prosedur tersebut merupakan pengesahan melalui pemilihan umum, pemilihart bertingkat, atau pemilihan oleh sebagian masyarakat:
Seorang pemuka agama atau pendeta adalah seorang pemimpin yang rñemiliki sifat-sifat yang dianggap keramat oleh masyarakat. Pemimpin seperti ini biasanya ditaati, disegani, atau bahkan ditakuti orang (dinamakan “mempunyai kharisma") karena ia dianggap sebagai orang yang telah ' rpendapat wahyu dari para leluhur, para dewa, atau oleh Tuhan. Dalam berbagai masyarakat suku.bangsa di dunia, baik di masa lalu. maupun,di zaman sekarang, di samping raja, para tokqh pemuka agama juga berwenang di pemerintahan. Dalam banyak rnasyarakat lain, raja adalah seorang tokoh w keramat, karena ia juga berfungsi sebagai pendeta, atau karena dianggap sebagai keturunan dewa-dewa (misalnya di Jepang di zaman sebelum Perang Duñia 1I).
Seorang pemimpin, dan terlebih seorang raja, biasanya memiiiki ~-berbagai lambang kepemimpinan, untuk menunjukkan bahwa ia memiliki wewenang untuk menjadi pemimpin, dan untuk memperaleh gengsi yang besar. Dalam mitoiogi Yunani Kuno, lambang raja dari kerajaan Nemis , adalah mahkota emas yang dihiasi permata yang d'ianggap keramat; yang disimpan dan dijaga ketat dalam benteng istana. Menurat kepercayaan, setiap acang yang dapat merebut mahkota itu berhak menjadi raja: Prosedur Oñggantian pemimpin dengan membunuh raja yang berkuasa dan merebut.
Unsur-Unsur Kepemimpinan Sifat-Sifat Pemimpin





Kekuasaan
Popularitas



Wewengang




Kekuatan Sifat-sifat yang disenangi masyarakat

Sifat –sifat yang diidam-idamkan masyarkat keahlian
Legitimiasi

Sifat keramat
Karisma
Lambang-lambang kepemimpinan

Kemampuan menggunakan kekuatan fisik

Bagun 23
Unsun-unsur kepemimpinan don sifat-sifat seorang Pemimpin
mahkotanya, dianggap syah aleh rakyat Nemis. Larnbang-larn bang kepemimpinan lain di berbagai kerajaan lain adalah benda-benda pusaka (misalnya berbagai benda pusaka yang terbuat dari emas dan perak yang melambangkan kepemimpinan Sri Sultan Yogyakarta), kursi kerajaan (seperti kutsi kerajaan milik raja Ashañti yang terbuat dari emas).,
Sifat yang juga sangat panting yang fiarus dimiliki seorang pemimpin adalah kekuatan fisik, yang merupakan tulang punggung dari kekuasaan seorang pemimpin. Walaupun demikian saya pribadi berpendiriañ baliwa' seorartg pemimpin tidak dapat bertahan lama apabila kekuasaannya hanya didasari kekuasaan fisik,saja; sehiñgga masyarakatnya taat hañya kar+eña didasari rasa takut.
Dengan demikian seorang pemimpin memarig sedapat mungkin memiliki ke-3 unsur kepemimpinan dan ke-7 sifat kepemimpinan tersebut di .atas, yang tampak dalam Bagan 23 di atas.
Berbagai Bentuk Kepemimpinan Dalam Masyarakat Kecil;. Penelitian mengenai berbagai bentuk dan sistem kepemimpi.nan dan, pemerintahan dari negara-negara besar merupakan bidang tugas,ilmu.politik;, sebaliknya penelitian dan analisa mengenai bentuk-bentuk' sistem kepemimpinan dan pemerintahan dalam komunitas kecil adalah bidang tugas antropologi. Hasil-ha5il dari penelitian antrotpologi ini dupat bermanfaat bagi ilmu politik, untuk menganalisa sistem-sistem pemerintahan negara¬negaia besar. Beñtuk-bentuk dasar yang terpenting dari kepemimpiñan dalam masyarakat kecil adalah: (1) kepemimpinan kadangkala; (2) kepemimpinan urbatas, (3) kepemimpinan mencakup, (4) kepemimpinan pucuk.
Bahan terbanyak mengenai bentuk kepemimpiiian aclaliwa seorañg diikuti orang lain.
Dalam kegiatan-kegiatan lain, misalnya kegiatan yang berhubungan dengan upacara keagacñaan, ada orang-orang yang dapat bertindak sebagai pemimpin upacara. Pada kelahiran anak, misalnya, dukun bayi (biasanya seorang wanita yang kaya pengalamact dalam membantu persalinan), juga memimpin upacara-upacara yang harus dilakukan berhubuñg dengan peristiwa kelahirañ. Upacara-upacara yang sifatnya lebih utnum; seperti upacara yang menyangkut perburuan atau penangkapan ikan, dilakukan orang yang dianggap ahli (meskipun dia anggota kelompok lain, apabila dalam kelompok yang bersangkutati sendiri tidak ada orang yang dapat melakukannya).
Dalam suatu komunitas yang terdiri dari beberapa kelompok kecil, seorang pemimpin seringkali diperlukan apabila terjadi pertengkaran. Apabila anggota-anggota dari dua kelampok yang berbeda bertikai; maka biasanya seorang anggota kelompok ketiga, yang diakui sebagai seqrang tokoh yang arif dan bijaksana, diminta pertalongannya untuk melerai pihak¬pihak yang bertikai. Kekuatannya terletak dalam keahliannya mendamaikan pesrselisihan
Dengan uraian tersebut-di atas tampak bahwa suku bangsa Indian Cree, dan suku-suku bangsa Indian di daerah barat-laut Kitnada pada umumnya, hidup dalam masyarakat-masyarakat kecil tanpa seorang pemimpin yang resmi. Para pemimpin itu hanya muncul pada saat-saat tesrtentu, yaitu apabila terjadi suatu masalah, dan semua orang biasanya tunduk pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk bertindak sebagai pemimpin, berdasarkan keahliannya dalam bidang-bidang tertentu. Pemimpin-pemimpin seperti itu tidak berbeda dari orang-orang lain; ia hanya kebetulan, saja merupakan seorang primus inter pares (memiliki keahlian mengenai suatu hal, di antara tirang-orang lain yang sama derajatnya dengan dia sendiri). Dalam masyarakat-masyarakat keIompok pembuna lain keadaannya kurang-iebih sama. Seorang Pygmee (orang ras Negro yang bcrperawakan kecil) yang hidup dalam kelompok-kelompok berburu di hutan Ituri di perbatasan negara Konga dan Uganda, dan bermatapencariari berburu hewan besar (misalnya gajah); menurut CM .
Tumbul juga tidak memiliki pemimpin-pemimpin resmi, dan pemimpin-pemimpin kadangkala muncul pada waktu mereka diperlukan saja. Banyak suku bangsa Eskimo (misainya suku bangsa Eskimo -Caribou), merniliki sistem kepemimpinan seperti itu.'"
Kepemimpinan Terbatas. Ada stiku-suku bangsa pemburu yang tidalc memiliki pemimpin kadangkala atau pernimpin yang memiliki keahlian untuk memecahkan berbagai masalah khusus, tetapi memiliki seorang pemimpin tetap, walaupun wewenangnya sangat t6batas. Contohnya ada¬lah masyarakat suku bangsa Tihdiga di Tanganyika, yang membunt hewan¬hewan kecil dan meramu tumbuh-tumbuhan, dan hidup mengemtiara dalam _ kelompok-kelompok yang terdiri dari 70 - 150 ..tirang. 4rang atau se¬kelompok orang (biasanya keluarga inti) bisa saja setiap saat meninggalkan kelpmpoknya untuk -bergabung dengan kelompok _lain selama beberapa
162. Penelitian mengenai sistem kepemimpinan dalam masy;vakat suku bangsu Crec pcrnuh dilakukan J.J. Honigmañn dan J.H. MacNeish. Lihat karangan Honigrnann, "The Attawapiskat Swampy Crce: An Ethnographic Reconstruction", dalam: Anthrotwlogi¬
cal Papers Of The University Of Alaska. V (1956: hlm. 23-R2), d;,n karangmi TH. MacNeish, "Leadership Among The Northern AthapaskAns", yang dimuat dalam Anthropvlogica;-II (1956: him. 131-163):
163. Lihat karangannya, The Forest PcqW (N6w York, 1961).¬
164. Lihat IaporAn G. van-5teenhoven, Report To The Departenunt Of Northern Affairs And, National Resources On A Field-Research Journal For The Study Of Legal Concept Among The Eskimo In Some Paris Of The Keewatin Disteric N,W,T. In The Summer Of IM (Ottawa, 1956).

waktu. Namun dalam suatu kelompok selalu ada keluarga-keluarga yang merupakan inti dari kelocnpoknya; sehingga kelangsungan hidup kelompok dapat terjaga. -
Kelompok-kelompok Tindiga memiliki seorang pemimpin tetap, yang juga anggota dari keluarga yang merupakan inti dari kelompoknya. Kedudukannya sebagai pemimpin diturunkan menurut garis pria: Walaupun belum ada tuiisan mengenai fungsi-fungsi para pemimpin Tindiga itu, fungsi¬fungsi.nya diduga terbatas pada pernutusan perkara-perkara mengenai perbedaan pendapat dan upacara (upacara berhubungan dengan: pembagian hasil buruan). Walaupun ia memiliki wewenang restni sebagai ketururtan dari pemimpin sebelumnya, ia rupa-rupanya tidak berbeda dari'anggota¬anggota kelompok yang lain, dan hanya merupakan seorang primus inter paris dengan wewenang yang terbatas. Tugas-tugas kepemimpiñan iainnya, tnisalnya mengatur tempat berkemah, menentukan arah pengembaraan; atau lainnya, dilakukan oleh anggota-anggota.lain yang masing-masing memiliki keahlian daiam bidang yang bersangkutan:
Banyak suku bañgsa peternak juga memiliki sistem kepemimpinan 4 terbatas seperti itu. Kelompolc-kelompok peternak Niter (mereka beternak sapi dan juga bercocoktanam) yang mengembara di daerah hulu Suñgai
Nil di Sudan 'I"unur, selama musim-musim tertentu menggembalakan hewan mereka di padang-padang rumput. Kelompok-kelompok seperti ini meru-pakan gabungan dari 4 - 5 keluarga iiiti yang berasal dari desa-desa induk yang berlainan. Jumlah anggota kelompok dapat mencapai sehingga 25 orang. Orang Nuer yang umumnya memiliki le6ih dari seorang isteri,, biasanya hanya membawa salah seorang di.-antaranya-dam-ar6k-añak. pasangan itu selama mereka mengembara: Kelompok=kelompok petennak yang sering berubah kam.posisi»ya setiap rnusim; pada utttumnya tidak memiiiki pemimpin yang tetap. Semua masalah yang muncul lierkeriaan dengan pekerjaan mereka, dipecahkan bersama, atau oleh salah seorang di antara mereka yang. dianggap paling cakap. la juga berperan, apabila, kelompok mereka diserang kelompok lain yang ingin merebur wilayah tempat kelompoknya menggembalakan ternak-ternak mereka, atau berr maksud mencuri ternak. Pemimpin semacam itu memang rnertipakan pemimpin kadangkala; yang tampil'hanya apabila ada,masalah khusus,
Seperti disebutkan di atas; auku: bangsa Nuer merngenal` tokoh pemimpin yang resmi, yang disebut kitnar muan (dalarn buku=liuku etnograñ sering disebut leopard-skin chief). Kepemimpinannya tampak je18s dttri jubah kttlit maean tutul yang menjadi lambang kewibawaannya: Seorang
seperti itu umumnya berasal dari klen-klen besar tertentu (yang ,p oleh orang Nuer sebagai klen-klen yang paling ash clan senior), ,,.g anggota-anggotanya tersebar di seluruh wilayah suku bangsa Nuer. Anggota-anggota klen seperti itu memiliki wakilnya di setiap desa dan setiap kelompok peternak Nuer.
Seorang kuaar muon tidak selamanya orang yang sudah lan jut usianya; dan seringkali tidak memiliki sifat-sifat pemimpin seperti yang dinilai tinggi oleh orang Nuer. Juga gengsinya tidak terlalu besar, yang ada kalanya malahan kalah dibarrdingkan dengan pemimpin-pemimpin kadangkala:¬Fungsinya yang paling utama adalah untuk menjadi penengah sewaktu terjadi perang atau perlengkaran antara dua keluarga luas, antara klen-kleri kecil, atau antara klen-klen besar. Orang Nuer memiliki sifat yang sangat agresif dan harga diri yang sangat tinggi. Suatu penghinaan kecil seringkaii dapat mengakibatkan perkelahian, clan suatu pembunuhan harus dibalas pula dengan pembunuhan. Dendam darah sepeni itu dapat menjadi berlarut¬larut sehingga berkembang menjadi perang saudara antarklen, yang kadang-, kadang dapat berlangsung bertahun-tahun. Walaupun demikian, seorang kuaar muon senantiasa harus mengupayakan perdamaian, meskipun ia tidak memiliki kekuasaan untuk memaksa kedua belah pihak untukinelaksanakan keputusannya. Selain mendamaikan dua pihak yang be.uikai, kuaar milon juga harus dapat memimpin upacara untuk mr¬
,gundang atau menolak hujan. Dengan demikian, ia biasanya juga menguasai ilmu perdukunan, dan mampu mengobati orang sakit, membuat jimat bagi orangyang jatuh. cinta, membuat guna-guna, clan lain sebagainya.
Kepemimpinan Mencakup. Masyarakat-maayarakat yang hidup menetap dalam desa-desa (baik masyarakat peladang maupun petani menetap) biasanya mempunyai pemimpin-pemimpin yang wewenangnya tidak_terbatas pada beberapa lapangan saja, tetapi mencakup hampir seluruh lapangan kehidupan masyarakat. Suatu kepemimpinan seperti itu biasanyh, didukung. oleh suatu- kewibawaan dengan lambang-lambang yang resmi: Di Indonesia, rakyatnya yang terdiri dari suku-suku bangsa pelactang atau petani menetap, umumnya mempunyai pemimpin lokal seperti ini.
Lapangan kewibawaan seringkali terbagi di antara beberapa orung yang masing-masing mempunyai wewenang yang sesuai dengan syarat¬syarat yang ditentukan adat: S.eorang pemimpin biasanya berasal dari kelompok kekerabatan tertentu (yaitu keturunan "cikal bakal" desa): Kedudukan sebagai pemimpin biasanya diturunkan berdasarkan asas patrilineal, matrilineal, bilineal, atau dengan cara-cara lain. Pada banyak masyarakat suku bangsa di Indonesia, kepala adat juga haxus merupakan )ewrunan kelompok kekerabatan tertentu, tetapi pengangkatan kepala adat biasanya berlangsung melalui pemilihan yang dilakukan penduduk asli desa, atau oleh suatu dewan desa. Kepala adat suku bangsa Atoni Pah -Meto di umar Barat; yaitu remukung, dan para pejabat desanya, yaitu amnais; dipilih oleh penduduk desa yang berasal dari beberapa-ume (klen) tertentu, Sejak Timor, dan juga daerah-daerah lain di Indonesia dikuasai oleh kaum penjajah; pengangkatan pemimpin adat umumnya ditentukan dari atas, berdasarkan'kemampuan mereka membaca, menulis dan berbicara bahasa Indonesia. Pada awai pemberlakuan pengangkatan pemimpin adat di Timor beberapa waktu yang lalu, masih terjadi ketegangan-ketegangan antara pemimpin yang diangkat oleh pemerintah; clan pemimpin-pemimpim yang . menrlapat kekuasaannya dengan dukungan adat. Di Maluku dan beberapa daerah lain di Indonesia, di mana proses perubahan-seperti itu sudah berlangsutig lebih lama, adat setempat telah menyesuailtan diri dengan ke,adaan. Di daerah itu, ada kepala-kepala desa yang sebagai wakil 'pemerintah bernagas mengatur segala hal~ yang. berhubungan dengan kehidupan sehari-hari; di samping itu ada kepala-kepala adat dengan gelar¬gelar yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "tuan tanah", yang tugasnya adalah memutuskan perkara-perkara menyangkut tanah dan p.el.aksanaan tugas-tugas sebagai pemuka pada waktu penyelenggaraan upacara. Dalarn. sisiem sosialnya, kedua jenis pemimpin itu juga harus berasal dari kelompok-kelnmpqk kekerabatan tertentu: -Di banyak teinpat lain di Indonesia, bahkan juga di desa-desa di Jawa pada umumnya, di mana pengaruh pemerintah sudah berlangsung sejak lama dan kelompok¬kelompñk k6k'erabatan ; mulai -'berkurang fungsinya dalam kehidupan Hiasyarakat;' jabatan kepala desa tetap dipegang +aleh 4 1 nggota-anggota kiluarga kepala desa tertentu, walaupun pengangkatftn kepala desa dilakukan f'krdasairkan pemilihan. .
Dalam masyarakat-rnasyarakat desa di Indonesia, seorang,pemimpin biasanya memiliki berbagai benda.pusaka (biasanya berupa senjata-sertjata pusaka seperti keris dan tombak, gong, genderang> gamelan suqi, payung usaka, `dan laiio=lain). Seperti telah kita lihat `di atas; dalam kebudayaan
Ñuei seorang pemimpin tnemiliki jubah macan tutul sebagai lambang kekuasaatrnya; suku bangsa Ashanti di Ghana memiliki,tahta errtas bagi rajanya; dan raja-raja di Empa memiliki mahkota emas yang dihiasi permata.
Selain syarat-syarat adat yang memberi kewibawaan untuk menjadi pemimpin> pemimpin adat tentu juga memiliki sifat-sifat lain yang patut dimiliki seorang pemimpin, yang dapat menambah wibawa serta kekuatan fisiknya. Di sebagian besar warga masyarakat desa di Indonesia, dan agaknya juga di banyak masyarakat lain di dunia, sifat-sifat pemimpin yang penting adalah kekayaan, yang dapat diperlihatkan dengan tempat tinggal yang besar, mobil mewah, kemampuannya menjamu tamu-tamunya dengan mewah, dan sebagainya. Pameran kekayaan itu serYngkali membingungkan seorang peneliti yang ingin mengetahui siapa yang benar-benar kaya, dan siapa yang hanya kelihatann.ya saja kaya. :Dalam suatu penelitian yang pemah saya lakukan dalam dasawarsa 1960an di suatu desa di Jawa Tengah; kepala desa yang tinggal dalam rumah yang besar dan bagus (walaupun hanya bagian depannya saja yang dibuat bagus), dan sering menjamu tamu¬tamunya dengan pesta-pesta yang mewah, ternyata.memiliki hutang yang sangat banyak. Sementara itu penduduk desa yang berhasil dalam berbagai "cam usaha, hanya tinggal dalam rumah yang sederhana; atau bahkan gubuk kecil saja.
Di Indonesia, ada sifat pemimpin yang tampaknya'sangat dihargai, yaitu kepandaian berpidato: Bahkan ada tempat-tempat; di tnana keahlian itu oleh adat dianggap sebagai lambang kepemimpinan. Seorang pemimpin
yang tak pandai berbicara karena itu hanas mempunyai pembantu (yaitu seorang pejabat desa) yang bertugas menjalankan fungsi tersebut. Dalam masyarakat desa di NTT, misalnya, seringkali ada pejabat-pejabat, tlesa. - yang memiliki gelar, yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indone¬sia, berarti "raja bicara". Sekaranj jabatan ini seringkali hanya jabatan adat saja, dan banyak "raja biciira" juga tak pandai berbicara.
Pemimpin-pemimpin desa di daerah pertanian seperti terurai di.atas dapat kita sebut sebagai "pemimpin. mencakup", karena sehagai pribadi ataupun sebagai pemimpin yang resmi fungsi-fungsi yang mereka jalankan. seringkali menjangkau seluruh lapañgan kehidupan matiyarakat: Oleh karena meteka mendapat dukungan adat, yang meresmikan kedudukan mereka sebagai pemimpin, mereka juga bukan pemimpin kadangkala saja, melainkati pemimpin tetap:
Kepemimpinan Pucuk: Jenis pemimpin seperti ini dalam`buku-buku antropologi juga disebut paramount chief. $eorang pemimpin pucuk¬sebenarnya juga seorang pemimpin mencakup, dengan kekuasaan yang
lebih luas, yaitu meliputi suatu wilayah yang terdiri_dari sejumlah kelcimpok dan desa. Di Indonesia pemimpin seperti itu disebut ciengan gelar-gelao seperti "sultan", "raja", atau lainnya, dan walaupun ber;bagai' tugas kewajibannya dilaksanakan oleh para pejabat yang seriiigkali memiliki kekuasaan yang sangat besar, wibawa dan kekuasaan terakhir berada di tangannya:
Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin pucuk pada "umurrinya sama dengan sifat-sifat seorang pemimpin mencakup yang memenuhi syarat yang ditentukan.adat, yaitu sebagai pewaris lambang¬~lambang dan benda-benda pusaka suci dari suatu kelompok kekerabatan 'tertinggi: Makin banyak sifat-sifat dan ciri-ciri lain yang dimilikinya, tnakin besar pula kewibawaan, kekuasaan, maupun kepopulerannya, walaupun lambang-lambang, dan benda-benda pusaka suci itu saja sudah cukup untuk inengangkamya menjadi pemimpin (pucuk).-Namun seringkali seorang ipemimpin pucuk yang memiliki segala persyaratan-itu tidak memiliki kekuasaan. Di' zaman penjajahan, para kepala swapraja d% Indonesia (di Medan, Banjarmasin, Goa (Ujung Pandang), Jawa Tengah, Bali, Sumbawa Barat, Bima, dan lain-lainnya) oleh rakyat daerah-daerah tersebut dianggap sebagai raja yang berkuasa:penuh, walaupun dalam kenyataan kekuasaan yang sebenamya dipegang oleh suatu pimpinan yang lebih tinggi; yaitu
pemerintah jajahan. Di zaman sekarang kekuasaan itu berada di tangan' pemerintah adat.
Sejak zaman purba, agaknya telah terjadi proses seperti yang diuraikan di atas, yang bermula dengan sebuah desa, yang menjadi kaya dan berkuasa dan menaklukkan daerah-daerah lainnya, sehingga pengaruhnya pun makin Iuas. Warn hainpir semua kerajaan; pemimpin pucuk (yaitu raja) dianggap pejmiliki kekuatan sakti, dan berfungsi sebagai pemuka agama; yang dimaksud agar rakyatnya dapat turut memperoleh berkah keselamatannya. Kerajaan-kerajaan lain di dunia juga, mengenal hal ini, yaitu.misalnya kerajaann,Sumeria di daerah hilir Sungai Tigris dan Sungai ; .Alfurat, kerajaan Minoa di Pulau Kreta,, dan zaman raja-raja Faraoh di Vpir, sekitar. 5.000 zahun yang, latu. Keadaan seperti ini juga dialami kerajaan-kerajaan di negeri Cina dan Jepang.selama beberapa abad:
Sebelum Perang Dunia II, kepala-kepala swapraja, yaitu'antara lain di Sumatra Timur, ifalimantan Barat dan Selatan, Goa (Ujung Partdang), J,awa Tengah, Bali, Sumbawa Barat, Bima dan lain-lain, sering dianggap¬,sebagai tokoh sakti. Sifat keramat merupakan unsur yang sangat penting .dari kekuasaannya. Hal ini juga terjadi di Afrika dan India sifatnya-yang keramat, dan pantangan bagi seorang-pemimpin pucuk untuk berhubungan erat dengan semua orang menyebabkan bahwa jarak arttara raja dan rakyatnya selalu terjaga. Daerah-daerah yang dekat pada pusat pemerintahan (yaitu tempat pemimpin pucuk, di mana ia dikelilingi para pejabat istana), memang dapat merasakan dan memperoleh manfaat dari pengaruh yang dipancarkan sifat keramatnya. Makin jauh jaraknya dari pusat, makin berkurang dan lemah pengaruh yang dirasakan (terutama di zaman dahulu, ketika teknn).ogi komunikasi belum berkembang seperti sekarang). Di daerah-daerah yang jauh letaknya dari penganah pemimpin pucuk, maka kekuasaan berada di tangan para pemimpin lokal yang kewibawaannya merupakan perpanjangan tangari pemimpin pucuk.
Dalam masyarakat modem zaman sekarang, kesaktian dan, sifttt keramat tentu tak dapat dijadikkn alat untuk membuat atau menambah kewibawaan seorang pemimpin pucuk. Untuk mengetahui lebih;-rinei mengenai cara-cara peningkatan kewibawaan searang pemimpin pucuk adalah tugas ilmu politik.
6. SISTEM-SISTEM PENGENDALIAN SOSIAL
Arli Paham. Kehidupan suatu masyarakat secara garis besar mematuhi seperangkat tata tertib yang kita sebut adat-istiudat. Adat-istiadat dalam kenyataan adalah cita-cita, nonna-norana, pendirian, keyakinan, sikap, peraturan, hukumt undang-undang, dmn sebagainya, yang mendorong tingkah laku manusia. Adat-istiaclat dalam suatu masyarakat dipahami,warganya dengan cara belajar, yang dimulai sejak lahir hingga akhir hayat mereka.
Walaupun demikian, tidak ada masyarakat di dunia ini, di mana selitz'uh warganya tanpa kecuali selalu taat dan patuh pada udat-istiadat'dañ pcraturan-peraturan yang berlaku, karena masyarakat yang'demikian itu mungkin adalah suatu masyarakat yang mati, dan'hanyit muogkin dailam negara khayalan Utopia. Adalah sifat manusia untuk pertama-rama rtiengingat kebutuhan dirinya sendiri, dan karena-itu apabila perlu ia -akan berusaha menghindar dari aturan-aturan adat atau hukum; apabila aturan¬aturan atau hukum itu menghambat atau dapat menggagalkan kepentingan pribadinya.
Dalam setiap masyarakat (terutama masytu'akat yang besar), seringkaii ttrdapat perbedaan-perbedaan kebutuhan di antara warga-warganya afau di antara golongan-golongan khusus dalam inasyarakat. Kecuafi itu; selalu ada individu-individu yang cenderung menyeleweng dari adat-ititiadat yang berlaku, yang disebabkan karena mereka mengalami kesukaran untuk me:nyesuaikan dirinya dengan tata cara dan adat-istiacfat dalam masyarakatnya. Mereka senantiasa cenderung menentang adat-istiadat dan semua peraturan yang berlaku, sehingga oleh warga masyarakat lainnya rnereka mendapat sebutan "penjahat". Dalam buku-buku asing mereka sebut deviants.
Ketiga proses sosial, yaitu: (a) ketegangan sosial antara adat-istiadat dan kebutuhan-kebutuhan individu, (b) ketegangan sosial yang rnuncul karena adanya persaingart antargolongan, dan (c) ketegangan sosial yang disebabkan karena para deviants sengaja menentang norma-norma, adat ¬istiadat, dañ peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Oleh karena itu perlu ada sistem-sistem untuk mengendalikan ketegangan¬ ketegangan sosial tersebut, yang dapat mencegah retak, pecah, atau berancurnya suatu masyarakat.
Cara Pengendalian Sosial. Berbagai cara dapat dilakukan untuk lnengendalikan ketegangan-ketegangan sosial, yaitu:
1. mempertebal keyakinan akan kebaikan dan manfaat dari adat-istiadat;
2. memberi ganjaran kepada warga masyarakat yAng taat kepada adat-adat istiadat;
3. mengembangkan ra,sa malu untuk menyeleweng dari adat-istiadat;
4. mengembangkan rasa takut untuk menyeleweng karena adanya ancaman.
Upaya mempertebal keyakinan masyarakat akan kebaikan adat-istiadat dalam , berbagai masyarakat secara khusus dapat dilakukan dengan berbagai cam, : yaitu (1) dengan pendidikan (baik oleh keluarga, melalui pendidikan for¬mal, atau dari kehidupan nyata dalam masyaraka't); (2) melalui cerita-cerita dan dongeng-dcmgeng meñgenai para pahlawari; mengenai orAng-orang Yang berjasa; dan lain sebagainya; yang berhasil dalam hidup karena mereka patuh pada adat; (3) dengan propaganda, yang, terutama dilakukan dalam masyarakat-masyarakat modem; (4) melalui religi dan agama dan segala sistem peralatannya, yaitu sistem kepercayaan dan sistem upacaranya.
Memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang taat pada adat merupakan cara pengendalian masyarakat yang lazim di maña-maria. Selain itu, religi dan agama seringkali juga berfungsi dalam bidang ini. Dalam tiariyak religi dan agama, orang yang berbuat baik akan mendapat gattjaran dalam hidup sesudah mati.
Mengembangkan rasa malu untuk menyeleweng dari adat adalah cara pengendalian sosial yang sifatnya universal. Setiap masyarakat mengenal apa yang disebut "gunjingan". Maka untuk,menghindari dirinya menjadi bahan gunjingan masyarakatnya, maka orang akan berupaya untuk tidak berbuat asosial, melanggar adat, norma-narma susila, aturan, dan lain-lainnya
Rasa takut untuk melanggar adat juga merupakan unsur penting dalam banyak sistem pengendalian sosial. Religi dan agatria pun berfungsi untuk. menumbuhkan rasa takut ini, agar orang takut dihukum oleh rutt naitk-moyang, oleh para dewa, atau oleh Tuhan. Main religi dan agama, ilmu gaib juga mempunyai fungsi pengendalian sosial seperti ituabs
Aklurnya, suatu sistem pengendalian sosiai yang sangat penting adalah hukum, yang akan diurai.kan secara lebih rinci di bawah ini.
Nukum. Perhatian para ahli antropologi terhadap hukum, apabila dibandingkan dengan unsur-unsur kebudayaan lain, seperti misalnya sistem kektrabatan dan sistem religi, tidak banyak. Walaupun demikiañ bahan
yang telañ berhasil mereka himpun berupa tulisan-tulisan deskripsi mengenai beratus-ratus suku bangsa di seluruh duñia cukup banyak juga. Deskripsi metigenai kegiatan-kegiatan dan adat istiadat dapat menjadi acuan terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutati:.Karena para ahli antropologi selalu meneliti hal-hal seperti itu guna memperoleh gambaran yang, menyeluruh dari masyarakat yang mereka teliti, maka timbullah keinginan untuk trtengetahui dasar hukum yang dapat dijadikan alat pengendali sosial. Dengan. demikian ada 2 macam pen3irian yang terta>tangan, Yaitu: (1) bahwa sistem pengendalian masyarakat yang berupa hu*um ,.afl4,dalam semua, rnasyaraka,t, dan katetla itu bersifat universal; Dalam suatu moyarakat, tidak-seluruh adat>istiadat berakibat hukum, dan hanya polanggaran terhadap sebagian daxi adat=istiadat dapat berakibat h4um;" (2) bahwa hukum tidak bersifat universal, karena tidak terdagat dalam semua masyarakat di dunia:
165. Contohnys ada banyak, tetapi secara konkret terdapat dalwn masyarakat suku-suku ' -- bkngsa yang tinggal di daerah pedalaman Sarmi di Irian 7ay,a. Suku-suku bangsa ini . . ,ttanyak menggunakan ihno:gaib, yang:dapat diterapkan oleh siapa saja (jadi baked
hanya oleh dukun atau ahli sihir). Pengetahuan itu biasanya diberikan secara turuqz tern", dan baitiyak peñgetahuan mengenai ilmu dukun atau sihir yang bersifat khusus, dijaga agar tetao berada dalam keluarga masing-masing. Orang tidak beraiu begitu saja melakukan guna-guna terhadap warga keluarga lain, katena takut kalau-kalaa itmti aihir yang dimiliki musuhnya itu lebih ampuh. iDengan demikian ilmu dukun dan sihir dapat pule berfungsi sebagai pengendali terhadap tingkah laku asosial dalam masyarakat. 166. Dalam kitab Undang-Undang Perdcrta, Pasal 1513.
Hal yang kedua ini disebabkan karena masih ada perbedaan pendapat antara para ahli antropologi dan para ahli hukum mengenai adat-istiadat biasa dan adat-istiadat yang berakibat hukum (terutama dalam masyarakat¬masyarakat kecil). Alat-alat kekuasaan adalah pengadilan dan kepolisian, sedang aturan-aturan adat-istiadat yang berakibat hukum juga dapat dipisahkan secara nyata dari adat-istiadat lain, karena tertera dalam buku undang-undang. Misalnya, pada waktu kita berjumpa dengan orang yang lebih tua, kita wajib memberi hormat lebih dahulu walaupun dia berpangkat lebih rendah; apabila kita membeli sesuatu; kita wajib membayamya. Dalam : peristiwa yang pertama, apabila kita melanggar aturan dan tidak lebih dahulu memberi hormat, maka orang tersebut mungkin akan marah, tetapi _ perisdwa itu tidak akan membawa akibat yang lebih lanjut; dalam peristiwa yang kedua, kita dapat diadukan kepada polisi dan dibaw>t ke: pengadilan karena kita tidak membayar barang yang kita beli. Dengan dernildan menjelas bahwa aturan yang pertama adalah aturan adat-istiadat biasa, tetapi aturan yang kedua adalah aturan hukum. Masyarakar yang dalam susudan dasarnya memiliki alat-alat seperti pengadilan, polisi, dan buku undang¬undang adalah masyarakat kota, daerah, negara federasi, negara; dan lain ~ sebagainya.
Ahli-ahli antropologi penganut pcndirian bahwa hukum bersifat uni¬versal adalah antara lain B. Malinowski, yang perrtah melakukan penelitian 4i antara suku bangsa Trobriand, sehingga ia mengetahui bahwa pengendalian sosial dalam masyarakat Trobriand dilakukan dengan suatu "s_istem yang dapat disebut "hukum" (karena, dalam masyarakat desa iobriand tidak ada buku undang-undang, polisi, .maupun pengadiian); alam berbagai karangannya, dan terutama dalam bukunya berjudul Crime'And Custom In Savage Society (1926) Malinowski menyebutkan bahwa ~ggiatan-kegiatan hukum ada dalam masyarakat Trobriand.
Ahli-ahli antropat`ogi yang menganut pendirian bahwa hukum tidak .Sersifat universal; adalah antara lain A.R. Radcliffe-Brown (Radcliffe-Brown 38). Menunt,tnya; adat-istiadat pada dasarnya bersifat memaksa' pada ;ira warga tñas~arakat; maka tata tertib dalam masyarakat komurtitas kecil pat te~aga karena adanya ketaatan pad a adat yang bersifaf mutlak.

U7. Dalam kenyataan masalahnya tentu tidak semudah itu, karena banyak aturan dm rwrma yang tidak dimuat dalam buku undang-undang, termasuk Wang huktutt. Narrttitt ha1¬A hal,rinci mengenai soal ini. fidak termasuk bidang antropologi.
Menurut pendapat saya pribadi, hukum adalah suatu sistem pengen¬dalian masyarakat yang bersifat universal, dan dalam masyarakat-masyarakat kecil pengendalian sosial dilakukan dengan kegiatan-kegiatan tertentu, dan
tidak terutama karena ketaatan yang mutlak kepada adat. Bagaimana aktivitas-aktivitas hukum dalam masyarakat komunitas kecil yang tidak memiliki buku undang-undang yang tertulis itu dijalankan, akan kita tinjatz di bawah ini:
Hukum Dalam Komunitas Kecii. Apabila dalam suatu komunitas kecil terjadi pelanggaran adat-istiadat yang menimbulkan ketegangan, maka ketenteraman akan diupayakan dengan cara meminta keputusan dari seorang
pemimpin (misalnya kepala desa, sesepuh desa, atau tokoh-tokoh masyarakat lainnya). Berdasarkan keputusan yang menyalahkan pihak yang tak menaati aturan adat-istiadat, dan membenarkan pihak yang menaatinya, persoalan diharapkan dapat dipecahkan.
Pengertian seperti itu sangat penting bagi seorang peneliti yang ingin membuat suatu deskripsi mengenai hukum adat yang tak tertulis. Dengan hanya mewawancarai responden-respondennya, dan mencatat semua aturan
adat yang diingat para warga suatu masyara4, atau mencatat semua perit~ahasa dan dongeng yang ada, belum tentu diperoleh hukum adat yang benar-benar hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Mtfigkin yang diperoiehnya hanya aturan-aturan adat yang masih diingat orang, tetapi tidak pernah dipraktekkan lagi. Dengan demikian hukum adat yang dipet+olehnya adalah hukum adat yang telah mati. Oleh karena itu seorang p6neliti hanils berangkat dari peristiwa-peristiwa yang sedang terjadi dalam masyaraltat. Hukum adat juga hidup apabila ada perkara-perkara yang benar-benar dipecahkan. Dalam masyarakat-masyarakat kecil di mana tidak ada seorang hakim, pemecahan perkara dilakukan para pemimpin masyarakat atau tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Dengan cara mencatat pendamaian dan pemecahan perkara, yang biasanya berupa keputtasan¬keputusan oleh orang-orang yang berkuasa dalam masyarakat, maka barulah ia memperoleh bahan bagi deskripsi mengenai hukum adat yang hidup.;.
Pentingnya keputusan oleh pihak yang berkuasa dalam peristiwa¬peristiwa hukum adat, sejak lama telah dipahami para ahli hukum adat di Indonesia. Lebih dari 1/2 abad yang lalu, B. Ter Haar telah menyatakan bahwa pedoman untuk mengetahui (kenhron) batas antara adat dan hukum adat adalah keputusan-keputusan para pejabat pemt;gang kuasa dalam masyarakat.'68
Tentu saja ada keputusan-keputusan orang-orang yang berkuasa yang tidak sesuai dengan aturan adat-istiadat, dan malahan merupakan pelanggaran adat, yaitu misalnya apabila keputusannya didasarkan pada kebutuhan pribadi saja. Walaupun keputusan seperti itu mungkin diterima oleh masyarakat, keputusan itu tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk keputusan-keputusan serupa di masa yang akan datang, karena dirasakan ~ebagai keputusan yang kurang adil, kurang memuaskan, atau dianggap sebagai "keputusan untuk sekali ini saja".
Di samping keputusan-keputusan yang dibuat para pemimpin fiasyarakat; harus ada unsur-unsur lain untuk menentukan batas antara 8dat-istiadat biasa dan adat-istiadat yang mempunyai akibat-akibat hukum.
Seorang ahii añtropologi Amerika, L. Pospisil, yang pernah melakukan lienelitian di daerah suku bangsa Kapauku di Irian Jaya; mengembangkan Ouatu pedoman untuk dapat mengetahui kegiatan-kegiatan mana dalam ,:tilasyarakat merupakan kegiatan hukum, dan mana yang tidak termasuk + ibukum.(195$). .
Pedoman tersebut diperoiehnya setelah ia menganalisa kegiatan¬+kegiatan hukum dalam masyarakat Kapauku, div mana ia berhasil itengumpulkan seban;rak 121 aturan adat yang diingat warga Kapauku. Ke-121 aturan (yang sifatnya abstrak) itu dicocokkannya penerapan ,Atrkumnya -terhadap 176 peristiwa hukum yang diputuskan orang-orang ig berkuasa: N.>siinya :adalah bahwa dari 176 keputusan itu hanya 87 auig.diputuskan sestaai dengan salahl satu tlari ke-1'21 aturan tersebut di as, sedang lebih dari separohnya diputuskan berdasarkan kebijaksanaan g-orang yang berkuasa dalam masyarakat. Dari hasil analisa ini tcrbukti wa aturan-aturan yang abstrak itu tidak selalu bermanfaat sebagai alat ngendalian sosial. Sebaliknya, orang-orang yang berkuasa memegang ranan yang sangat penting dalam mernutuskan suatu perkara.
: Pendapat ini diuraikannya dalam 3 buah pidata ilmiah; yaitu daiam pidato berjudul De Rectitspraak Van De Landraden Ndar Oiigeschreven Reclu (Y930), Het-Adatprivaatrecht Van Nederlandscls-Indie In Wetenschap, Waktijk En Underwijs (1937), dan De Beteekcnis Van De Tegenstelling Participerend Kritisch Denkeri En Dc Rec.lwraak Naar AdatrecJtt (1939). semua pidato tersebut diterbitkan posthumus dalam tahun 1941. Uraiatt sittQkat mengenai pendiriannya juga diberikannya Jalam buku ajamya, Beginsekn En StelseJ Van Net Adatrecht (1946: hhn. 235-239).

Pospisil kemudian melakukan perbandingan mengenai gejala hukum dalam 32 kebudayaan.'69 Hasilnya adalah suatu teori mengenai dasar-dasar hukum yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. hukum adalah suatu kegiatan kebudayaan yang berfungsi sebagai alat pengendali sosial. Untuk membedakan kegiatan ini dari kegiatan¬kegiatan kebudayaan lain dalam rnasyarakat,"° harus ada 4 ciri hukum; yang oleh Pospisil disebut attributes of law;
2. ciri yang menurut Pospisil adalah yang paling utama adalah attribute of authority, yaitu yang menentukan bahwa kegiatan kebudayaan yang disebut hukum adalah keputusan orang-prang atau golongan orang¬orang yang berkuasa dalam masyarakat, yang dapat meredakan ketegangan-ketegangan dalarn masyarakat, antara lain serangan terhadap diri seseorang, serangan terhadap hak seseorang, serangan terhadap pihak yang berkuasa, dan serangan terhadap keamanan umum;
3. ciri yang disebutnya ~attribute of intention of universal application, yaitu.yang menentukan bahwa keputusati pihak yang berkuasa harus dimaksudkan sebagai keputusan yang berjangka waktu panjang, dan harus dianggap berlaku terhadap peristiwa-peristiwa senipa di masa -yang akan datang."'
4. ciri yang ketiga, atau attribute of vhlightian, menentukan bahwa keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak pertama te,rhadap pihak kedua, tetapi juga sebaliknya. Dalam hat ini pihak pertama dan kedua harus masih dalam keadaan hidup. Apabila keputusan tidak mengandung perumusan kewajibart dan hak, maka keputusan tidak mempunyai akibat hukum. Apabila pihak kedua.adalah sesearang nenek-moyang yang telah meninggai, maka keputusan yang menentukan bahwa pihak pertama mempunyai
- sesuatu ktwajiban terhadap pihak kedua, bukanlah suatu keputusañ hukum, melainkan suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajrban keagamaan.
169. Enam di antaranya berada di Afrika, empat di Asia, tiga di Eropa, lima di Amerika Utara, lima di Amerika Selatan, dan semhilan di Osennia. .
170. 7uga dari kegiatan-kegiatan pengendali sosial lainnya, sepcrti misalnya religi dan agama. 171. Unsur ini dalam teori Pospisil agaknya dipengaruhi anggapan Malinowski bahwa dalam memutuskan perkara hukum, biasanya ads "a long range view of the situation". Lihatlah kata pengantar MaGnowski dalam buku H.I. Hogbin, Law Arid Order In Polynesia: A Study Of Primitive Legal Institutions (London, 1934).
ciri yang keernpat; yaitu attribute of sanction, menentukan bahwa keputusan-keputusan pihak yang berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi berdasarkan kekuasaan masyarakat yang nyata. Sartksi itu dapat berupa sanksi jasmani (misalnya hukum tubuh dalam arti seluas¬luasnya), tetapi dapat pula berupa penyitaan hak milik."2
Dengan berbekal analisa L. Pospisil terurai di atas, untuk meneliti suatu masyarakat tanpa organisasi kenegaraan, tidak memiliki lembaga¬lembaga peradilan, dan tidak memiliki hukum tertulis, dapat dibedakan
antara aturan hukum adat dan aturan adat biasa. Suatu aturan hukum adat ` dirumuskan secara tegas oleh orang-orang yang berkuasa atau oleh masyarakat diberi kewenangan dan kewibawaan untuk memutuskan perkara. Sebagai bagian dari adat, hukurn adat tentu didasarkan pada anggapan umum dan hal-hal yang dianggap lazim. Keputusan yang dijatuhkan untuk memecahkan suatu masalah sosial yang dapat menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial, oleh semua-pihak yang bersangkutan hanas dirasakan sebagai keputusan yang adil, yang harus dipatuhi oleh semua pihak.

7. BACAAN UNTUK IVtEMPERDALAM PENGERTIAN
Barber, B. (1957) Social Stratifications: A Comparative Analysis Of Struc¬ture And Process. New York: Harcourt.
>rvans-Pritchard, E.E:.(1947) The Nuer: A Description Of Livelihood And Political Institutions Of A Nilvtic Tribe. Oxford. `Koentjaraningrat (1966) Villages In Indonesia. Ithaca: Comet University Press.
Mair, L (1962) Primitive Government. Baltimore: Penguin Books. Marriot, McKim (editor) (1955) Village Indlq: Studies, In,The Little Com¬munity. Chicagm University Of Chicago Press.
Mead, M (1961) Cvaperaeion And Competition Among Primitive Peoples. Boston: Beacon, Press.
Redfield, R.,(1956) Peasant Society And Culture: An Anthropological Approach To-Civilization. Chicago: University of Chicago Press. Richard, A:I:`( editor) (1960) East African Chiefs: A Study Of. Political Development In Some Uganda And Tanganyika Tribes. New York: Frederick A Praeger.
02. Hal ini sangat dipentingkan dalam sir tem-sistem hukum di Eropa.
190
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929