loading...

ANAK PRA-SEKOLAH DAN ANAK SEKOLAH2

December 03, 2013
loading...
4.4.3 Kekuatan (motor) perkembangan
Sesudah tinjauan singkat mengenai stadium-stadium perkem¬bangan kognitif menurut Piaget ini. masih akan dibicarakan mengenal dua buah pertanyaan. Pertanyaan yang pertama adalah bagaimana anda dapat beralih dari stadium yang satu ke stadium yang lain dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan dan belajar? Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan kemungkinan sifat universalitas stadium-stadium tadi.
Pertanyaan yang pertama dapat dijawab dalam hubungan dengan faktor-faktor yang menurut Piaget akan memegang peranan yang penting dalam perkembangan inteligensi. Seperti telah diketahui maka dalam psikologi perkembangan ada dua pendapat yang ekstrim mengenai faktor-faktor yang penting dalam perkembangan ini. Pendapat organismis berpendapat bahwa inteligensi hanya ditentukan oleh mekanisme pemasakan yang biologis saja; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kemampuan bawaan; faktor keliling tidak berpengaruh terhadap perkembangan.
Pendapat yang mekanistis sebaliknya mengatakan bahwa inteligen hanya ditentukan oleh faktor lingkungan saja; pemasakan biologis tidak ada pengaruhnya; perbedaan perseorangan disebabkan oleh perbedaan dalam kondisi lingkungan (bandingkan teori-teori belajar). Piaget memilih pendapat yang interaksionistis yang meletakkan titik berat yang sama pada faktor pemasakan maupun lingkungan.
Menurut Piaget maka pertumbuhan mental mengandung dua macam proses, perkembangan dan belajar. Perkembangan adalah perubahan struktural dan belajar adalah perubahan isi. Proses perkembangan dipengaruhi oleh 4 macam faktor. (Lihat juga Kncers; 1973).
a. Pemasakan: Tumbuhinya struktur-struktur fisik secara berangsur-angsur mempunyai akibat pada perkembangan kognitif anak. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah pertumbuhan pusat susunan otak
b. Pengalaman atau kantak dengan lingkungan: Menurut Piaget maka kontak dengan lingkungan mengakibatkan dua macam ciri pengalaman mental. Pertama adalah pengalaman fisik yaitu aktivitas yang dapat mengabstraksi sifat fisik objek-objek tertentu. Pengalaman fisik ini memberikan pengertian mengenai sifat yang langsung berhubungan dengan objeknya sendiri, misalnya pengertian bahwa objek yang satu lebih berat daripada yang lain, bahwa bunga mawar mempunyai bau harum. Pengalaman yang satunya disebut Piaget pengalaman logiko-matematik. Pengalaman ini berhubungan dengan pengertian yang tidak datang dari pengaliaman fisik, melainkan diperoleh dari koordinasi internal perilaku individu. Misalnya anak bermain dengan sejumlah balok, dihitungnya dan berkali-kali dihitungnya lagi, diaturnya begini, lalu begitu. Dengan demikian anak akan memperoleh pelajaran tidak mengenai balok-baloknya sendiri, melainkan mengenai perilaku menghitung dan mengatur sendiri, melainkan ia akan mengerti bahwa perilakunya itu tidak mempunyai akibat apa-apa terhadap jumlah balok-balok tadi.
c. Transmist sosia/:'anak hidup dalam dunia sosial; maka melalui
sekolah, media massa dan lain-lain yang semacam anak mem¬
peroleh informasi yang berpengaruh terhadap perkembangan
kogr.itifnya. Dalam hubungan ini penting untuk disebutkan bahwa
Piaget menganggap bchasa tidak mernpunyai pengaruh langsung
terhadap perkembangan kognisi.
Berpikir adalah tingkah laku yang diinternalisasi. Jadi suatu keterbelakangan perkembangan kognitif tidak dapat dikejar oleh suatu program kompensasi bahasa. Pendapat Piaget mengenai hubungan antara bahasa dan berpikir ditinjau lebih lanjut oleh Furth. Furth telah berulang kali menerapkan percobaan-percobaan Piaget pada anak-anak yang tuli dan setengah tuli dan menemukan bahwa pada anak-anak ini tidak ada keterbelakangan apa-apa dibanding dengan anak-anak "normal". Dia lalu juga menyimpulkan bahwa tidak adanya bahasa ekstern tidak perlu merupakan hambatan untuk dapat secara normal mencapai stadium per-kembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget.
d. Elcuilibrasi: faktor ini mengintegrasi efek ketiga faktor sebelumnya yang masing-masing kurang cukup memberikan keterangan mengenai proses perkembangan. Proses ekuilibrasi menunjuk pada proses yang mengatur dirinya sendiri dalam diri anak. Proses ini menyebabkan anak berpindah dari stadium yang satu ke stadium yang lain. Dalam perjalanan perkembangan dan
dalam pergaulan yang berulang-ulang dan bermacam-macam dengan lingkungan anak sering berhadapan dengan situasi-situasi konflik. Dalam situasi konflik ini maka keseimbangan yang telah dicapai anak sebelumnya menjadi terganggu. Anak sekarang berusaha untuk mengatasi situasi konflik tadi dengan menemukan keadaan seimbang kembali yang biasanya juga. mernpunyai nilai yang lebih tinggi.

Pertanyaan yang kedua berhubungan dengan sifat universalitas stadium-stadium. Piaget beranggapan bahwa semua orang dalam konteks kebudayaan apapun atan menjalani keempat macam stadium tadi dengan urutan seperti yang dikemukakannya, hanya kecepatannya dapat berbeda-beda Jadi misalnya anak berasal dari apa yang disebut lingkungan sosial ekonomi yang lebih tinggi akan lebih cepat berpindah dari berpikir pra-operasional ke operasional konkrit dibanding dengan anak berasal dari apa yang disebut lingkungan
sosial-ekonomi yang lebih rendah. Begitu pula seorang anak yang dapat mendengar normal lebih cepat mencapainya daripada anak yang setengah tuli. Pendapat Piaget ini diragukan oleh adanya dua macam penelitian.
Penelitian lintas budaya menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada populasi yang khas barat; penelitian-penelitian ulangan dalam kultur yang berbeda tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan.
Juga penelitian ulangan dalam kultur barat sendiri yaitu dalam apa yang disebut lingkungan sosial yang lebih rendah menunjukkan bahwa teori Piaget mungkin sangat berorientasi pada sekelompok anak yang baik dan terpilih dari apa yang disebut lingkungan yang lebih tinggi.
Meskipun adanya kritik ini Piaget tetap berkeyakinan akan sifat universalnya pembagian stadium-stadium ini. Titik tolaknya yang prinsip adalah bahwa semua orang pada suatu saat tertentu dalam perkembangannya akan mencapai stadium operasional formal sesudah melalui ketiga stadium sebelumnya. Memang dalam tahun 1972 Piaget mengemukakan perubahan-perubahan kecil dalam artikelnya: in tellectual evolution from adolescence to adulthood" akibat adanya kritik-kritik tersebut. Kalau sebelumnya Piaget beranggapan bahwa stadium operasional formal akan dicapai pada usia antara 11 dan 14 tahun, maka sekarang ia luaskan batas urnur tadi menjadi 15—20 tahun.
Di samping itu Piaget masih memperhatikan bahwa tiap manusia pada umumnya hanya akan mengkhususkan dirinya pada satu bidang pekerjaan tertentu. Dia kemukakan bahwa setiap orang bagaimanapun juga pada suatu tingkat umur tertentu akan mampu untuk berpikir operasional formal justru mengenai hal yang menyangkut lapangannya sendiri. Secara konkrit hal ini berarti bahwa seorang ahli hukum akan mampu untuk mengatasi masalah hukum secara operasional formal, tetapi hal ini tidak akan dapat dilakukan pada masalah yang murni fisika. Hal ini lalu tidak boleh diterangkan bahwa orang tersebut dalam prinsip tidak dapat berpikir secara operasional formal, sebaliknya orang tadi memiliki secara prinsip struktur-struktur berpikir operasional formal, namun dalam hal-hal fisika ia tidak mempunyai pengetahuan yang khusus yang dibutuhkan untuk mengatasi masalahnya.

4.4.4 Kritik-kritik terhadap teori Piaget
Teori Piaget mendorong dilakukannya banyak sekali penelitian khususnya di Amerika. Banyak penelitian langsung menyambung apa yang telah dilakukan Piaget. Tetap; di samping itu ada hipotesis-hipotesis lain yang dijabarkan dari teori Piaget dan yang sudah diteliti. Di samping itu masih ada kritik banyak terhadap teorinya. Banyak kritik ditujukan pada pendapatnya yang organismis. Menurut pendapat ini maka perkembangan kognitif berjalan melalui stadium-stadium yang mempunyai sifat universal. Perkembangan berjalan spontan dan lingkungan hanya mempunyai pengaruh menghambat atau mempengaruhi sedikit saja.
Pendapat semacam ini mempunyai konsekuensi yang sungguh-sungguh dalam pendidikan di sekolah. Misalnya cara mengajar klasikal verbal yang konvensional menurut pendapat ini akan mempunyai sedikit pengaruh terhadap perkembangan kognitif anak. Dasar perkembangan kognitif ada dalam pengalaman melalui berbuat aktif dengan benda-benda keliling. Bahasa bukan sumber munculnya per¬kembangan kognitif; bahasa lebih merupakan korelat perkembangan kognitif, semacam variabel tergantung yaitu tergantung dari struktur kognitif yang harus dipandang sebagai variabel bebasnya. Tugas seorang guru di sini adalah menciptakan situasi-situasi tertentu supaya apa yang sebetulnya akan diberikan secara verbal pada anak dapat dilakukan sendiri oleh anak dengan berbuat aktif dengan benda-benda. Dengan cara begitu maka anak akan memperoleh pengaiaman dan dapat mengadakan asimilasi dengan struktur kognitif yang sudah ada, atau dapat mengadakan akomodasi pada hal-hal baru yang datang dari luar. Bagaimanapun juga. kemungkinan yang ada untuk dapat mempengaruhi dari luar sangai kecil bila teori perkembangan Piaget ini diinterpistasikan secara kaku.
Tidak mengherankan bahwa teori Piaget ini banyak dipan¬dang sebagai teori yang berdasarkan pessimisme pedagogis (Kohnstamm, 1970). Dari sini juga sebabnya bahwa banyak orang mengusulkan, untuk mengganti sistem pelajaran yang bersifat anak mendengarkan menjadi sistem pelajaran yang bersifat anak berbuat aktif (Furth, 1970). Maka dari itulah nampaknya sangat relevan untuk melihat apakah dan sampai di manakah pendapat-pendapat Piaget dapat dibuktikan dalam penelitian yang akan datang.
Penelitian terutama dimaksudkan, untuk melihat kemungkinannya apakah anak yang ada dalam stadium pra-operasional melaiui latihan yang khusus dapat berpindah ke dalam stadium operasional konkrit. Penelitian-penelitian Smedsiund (1961), Hamel dan Rikben (1973) dan Kohnstamm (1970) membuktikan bahwa memang mungkin untuk membawa anak lebih awal ke stadium operasional konkrit melalui latihan yang khusus.
Tanpa meninjau data yang lebih rinci, dapar dikemukakan di sini bahwa 'tidak perlu untuk berpegang teguh pada keterangan-keterangan Piaget; juga dapat disimpulkan bahwa anak mampu untuk melakukan tugas-tugas pada tingkat operasional konkrit pada usia yang lebih muda daripada yang dikemukakan oleh Piaget.
Sejak beberapa lama adalah lazim untuk membicrakan mengenai “underachiever” dalam bidang psikologi. Underachlever menunjuk pada seseorang yang memperoleh prestasi baiwah kemampuan intelektual yang ia miliki. Di negeri Belanda dan negara-negara lain diketemukan bahwa kurang lebih 30% dari anak sekolah dasar maupun sekolah menengah adalah underachiever, disebabkan oleh masalah sosial dan emosuional.
Mencapai prestasi yang lebih rendah yang tidak disebabkan oleh faktor intelektual, sekarang banyak dianggap disebabkan oleh apa yang disebut ketakutan aka gagal (Hermans. 1971). Hermans mengemukakan bahwa ketakutan akan gagal murid zaman sekaang mungkin berhubungan dengan situasi pengajaran, tetapi juga dengan situasi hidup keseluruhan. Keduanya tidak mempunyai kejelasan dan struktur bagi anak. Makin lama makin sukar untuk mengerti kemampuan sendiri dalam hubungan pengajaran dan pendidikan. Hal ini sebagian disebabkan karena murid makin dihadapkan dengan kemungkinan pilihan yang lebih banyak di dalam maupun diluar situasi pengajaran. Ketakutan untuk gagal ini disebabkan oleh keraguan total, yang menyebabkan kapasitas intelektual tidak sepenuhnya dapat bekerja.
Menurut observasi Haditono mak amasalah underachiever di Indonesia disebabkan oleh suatu kombinasi faktor yang banyak. Faktor yang pertam aadalah kurangnya fasilitas belajar dalam arti luas di sekolah, terutama di pelosok-pelosok, maupun dirumah. Kedua, kurangnya stimulasi mental oleh orang ua di rumah. Hal ini terutama berlaku bagi para orang tua yang tidak berpendidikan hingga mereka tidak mengerti sendiri bagaimana membantu anak-anak mereka supaya lebih berhasil. Faktor ketiga adalah keadaan gizi yang bilaman dapat dicapai tingkat yang lebih tinggi maka secara fisik akan lebih mampu untuk mengugnakan kapasitas otaknya lebih baik. Kombinasi faktor-faktor ini ditambah dengan keadaan lain yang kurang menguntungkan seperti perubahan sistem pelajaran yang berkali-kali dalam menemukan sistem mana yang paling baik, hingga bila para pengajar sendiri belum merasa mantap dalam menerapkan sistem yang baru tersebut, semuanya ini memberikan dampak pada prestasi murid dan ikut menyebabkan terjadinya inderachiever atau prestasi di bawah normal.
Inteligensi dianggap sebagai suatu norma yang ditentukan secara statitis. Sering secara olok-olok dikatakan inteligensi adalah apa yang diukur olehs uatu tes inteligensi. Dalam kenyataan suatu tes inteligensi mengukur status (urutan) orang dalam kelompok dibanding dengan teman-teman sebaya. Menurut norma yang dipakai secara umum makan tingkat inteligensi sesuai dengan frekuensi statistis. Penyebaran frekuensi yang lalu timbul dipandang sebagai pembagian (kurve) normal. Suatu penggambaran grafis dari pembagian normal ini adalah kurve bentuk lonceng, juga disebut kurve Gau. (menurut nama ahli matematika F. Gau, 1777-1855)
Menurut pembagian ini maka kelompok yang paling besar termasuk bagian yang ditengah, sedangkan ke kanan dan ke kiri, yaitu inteligensi tinggi dan inteligensi rendah, jumlahnya berkurang secara progresif. Dengan begitu hampir 70% penduduk mempunyai inteligensi kosien (IQ) diantara 85 dan 115. hanya 2% lebih sedikit mempunyai inteligensi yang ekstrim rendah atau ekstrim tinggi. Ekstrim tinggi dan ekstrim rendah berarti suatu IQ dari 130 atau lebih dari IQ dari 70 atau kurang.
Semua tes inteligensi mendasarkan diri pada suatu teori. WISC (Wechsler Inelligence Scale for Children) atau dalam versi Jerman adalah HAWK (Hamburg Wechsler Intelligenztest fur Kinder) mendasarkan diri pada teori dua faktor Spearman.
Wechlser yang mengembangkan tes tersebut berpendapat bahwa inteligensi keseluruhan seseorang tidak dapat diukur. IQ adalah suatu nilai yang hanya dapat ditentukan secara kira-kira karena selalu dapat terjadi perubahan-perubahan berdasarkan faktor-faktor individual dan situasional.
Wechlser memberikan defenisi inteligensi sebagai berikut : “Inteligensi adalah suatu keckaapan global atau rangkuman kecakapan seseorang untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien” (1956. hal 13). Dalam defenisi ini model dua faktor Spearman nampak jelas yaitu faktor : G (general factor) dan faktor S (specific factor). Wechsler mengartikan global sebagai gambaran tingkah laku individu sebagai keseluruhan, sedangkan rangkuman mengandung arti adanya faktor-faktor spesifik yang berbeda satu sama lain. Makin tua seseorang sampai kurang lebih masa remaja, makin nampak faktor-faktor spesifiknya.
Mengenai konstan atau tidaknya inteligensi dalam waktu akhir-akhir ini masih merupakan diskusi yang terbuka. Dari hasil penelitian yang bermacam-macam dapat diketemukan bahwa inteligensi itu sama sekali tidak sekontan yang diduga semula. Penelitian longitudinal selama 40 tahun dalam Institut Fels menurut McCall dkk (1973) menunjukkan adanya pertambahan rata-rata IQ sebanyak 28 sektor antara usia 5 dan 17 tahun yang berarti kira-kira sama dengan usia pendidikan di sekolah atau di pekerjaan.
Selanjutnya diketemukan bahwa perubahan intra individual dalam seekor IQ lebih merupakan hal yang umum daripada perkecualian.
Tidak terdapat adanya hubungan antara inteligensi dan kreativitas. Kreativitas diberikan defenisi sebagai berpikir divergen, sedangkan inteligensi dianggap sebagai berpikir konvergen. Divergen berarti bahwa seseorang memberikan jawaban-jawaban yang original, tidak seperti apa yang tentu akan dijawabkan oleh semua orang. Berbagai macam tes inteligensi biasanya mengungkap cara berpikir yang konvergen yaitu cara berpikir yang “normal” yang dipakai kebanyakan orang. Kreativitas dan inteligensi tidak mesti harus bersama-sama (lihat Wolters, 1980).
Disini letak salah satu dilema yang besar di sekolah. Pada umumnya diminta inteligensi yang konvergen jadi cara berpikir dan berkata yang sesuai,s edangkan kreativitas justru bukan cara berpikir dan berkata yang sesuai itu. Bila sistem pengajaran juga memperhatikan masing-0masing anak secara individual, maka akhirnya individu akan mendapatkan kesempatan, untuk mengembangkan emansipasi dirinya.
Kecerdasan yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan disekolah. Hal ini juga berlaku bagi cerdas tinggi kreatif. Program-program Jena (Peter Peterson) atau Dalton (Helen Parkhurst) yang bersifat individual sangat baik untuk merealisasi perkembangan kemandirian individu. Program-program seperti itu mementingkan akan kecepatan belajar anak individual yang akhirnya menentukan kemajuan belajarnya. Dasar pandangannya adalah perkembangan individual anak.

Permasalahan Stimulasi Perkembangan Kompensatoris
Sejak tahun 1964 ada aktivitas yang tinggi dan sekaligus juga berbagai macam diskusi mengenai stimulasi perkembangan pada masa sebelum umur ± 6 tahun ( = masa sebelum masuk sekolah dasar). Diskusinya banyak berkobar di Amerika, John Keneedy membuat program penanggulangan kemiskinan, miskin dalam arti amteriil dan mental. Presiden Johnson dapat mewujudkan program Keneedy tersebut. Dalam bulan Januari 1965 diumumkan proyek “Head Start” dan sudah dalam musim panas tahun 1965 program dapat dimulai.
Dua alasan mengapa program ini dapat begitu lancar dimulai adalah :
1. Ternyata anak-anak kulit hitam dan anak-anak kelompok minoritas lainnya seperti anak-anak Puertoriko tidak dapat mengunjungi sekolah Taman Kanak-Kanak karena alasan keuangan. Sekolah Taman Kanak-Kanak di Amerika sangat mahal karena diselengarakan oleh swasta. Alasan keuangan telah dan masih merupakan sebab mengapa anak-anak tadi tidak dapat memasuki Taman Kanak-Kanak. Dengan begitu dilihat dari segi pengetahuan, mereka ketinggalan setengah tahun pada waktu masuk Kindergarten pada usia 5 tahun. Tahun pertama dinamakan Kindergarten. Di kelas tiga anak-anak tersebut mengalami keterlambatan satu tahun dan di kelas enam mereka sudah terlambat 2 tahun atau lebih. Gejala ini masuk dalam literatur dengan nama defisit kumulatif atau retardasi progresif, artinya makin jauh anak menduduki jenjang pendidikan, makin besar keterlambatannya dalam prestasi belajar.
2. Dalam waktu yang bersamaan juga terbukti bahwa inteligensi tidak dalam semua aspek ditentukan oleh keturunan, lingkungan dapat mengadakan banyak stimulasi dalam hal prestsi inteligensi. Beberapa publikasi Hunt (1969) menambah pengertian orang bahwa inteligensi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar.

Publikasi Bloom (1964) yang telah disebutkan dimuka menandaskan bahwa inteligensi serta pengembangan secara jelas dapat dipengaruhi dalam arti positif maupun negatif, justru pada tahun-tahun pertama. Bloom menunjukkan berdasarkan penelitian longitudinal bahwa pada anak usia 4 tahun sudah berkembang 50% dari variansi inteligensi orang dewasa, yang dianggap mencapai perkembangannya yang optimal (100%) pada usia 17 tahun. Hal ini berarti bahwa pada tahun-tahun yang awal terjadi perkembangan inteligensi yang cepat dan bahwa kualitas lingkungan serta pengaruhnya merupakan hal yang sangat menentukan. Dia juga menambahkan bahwa keterbelakangan dan gangguan pada perkembangan yang terjadi dalam tahun=tahun pertama dapat diperbaiki asal dipenuhi persyaratan tertentu.
Meskipun harus ditandaskan sekali lagi bahwa data model Bloom tidak dibuktikan secara empiris, namun esensi anjuran Bloom perlu diperhatikan anak sejak semula merupakan partner yang serius yang ikut menentukan perkembangannya sendiri secara aktif sedangkan lingkungan sosial dalam tahun-tahun pertama justru mempunyai tanggung jawab pendidikan yang besar. Perlu diketahui bahwa Bloom betul-betul melakukan apa yang dinyatakan tadi dan banyak mempengaruhi pendapat orang pada saat mereka makin percaya betapa pentingnya tahun-tahun pertama bagi anak untuk memperoleh kesempatan permulaan pendidikan yang sama dan optimal.
Pendapat inilkah bahwa inteligensi dapat dipengaruhi dan paling dapat dipengaruhi dari luar pada 5 tahun yang pertama karena pada waktu itu inteligensi paling cepat berkembang yang memberikan perubahan kebijaksanaan yang besar, yaitu kebijaksanaan bagi kepentingan anak yang dirugikan. Dimulailahproyek Head Start pada tahun 1965.
Dalam proyek Head Start, maka anak-anak ditempatkan dalam tempat berlibur musim panas dan diberikan pelajaran selama beberapa minggu. Pelajaran ini dihrapkan dapat memberikan efek yang tetap. Namun hal ini merupakan suatu perkiraan yang kekanak-kanakan yang sama sekali tidak dapat direalisasikan.
Menurut Betty Caldewll (direktris Centre of Early Education and Development di Arkansas) maka sampai permulaan tahun 1970 dapat dibedakan adanya 4 fase :
1. Optimisme dan kegairahan pada saat-saat permulaan, ada suatu pengharapan yang kekanak-kanakan, seakan-akan suatu kursus selama 6 minggu dengan pelajaran bahasa yang khusus dan permainan-permainan akan dapat membuat perubahan yang esensial.
2. Dalam tahun 1966 orang menjadi skeptis, data yang pertama menunjukkan dengan jelas bahwa memang ada kemajuan yang cepat selama kursus musim panas ini, tetapi efeknya segera hilang juga. Pengertian ini, bahwa efeknya tidak dapat bertahan lama, menyebabkan adanya perubahan dan perbaikan dalam programnya.
3. Westinghouse Report dalam tahun 1969 menimbulkan suatu desilusi yang berat. Dari 900 proyek tidak ada 50 yang dapat memperlihatkan hasil yang dapat memperlihatkan hasil yang memuaskan dan masih harus dipermasalahkan lagi apakah hasil yang dicapai itu juga akan bisa tetap tidak berubah. Dalam tahun itu juga tulisan Jensen (1969) yang cukup membuat keonaran. Timbullah diskusi penuh emosi yang sampai mengancam diri Jensen pribadi. Disamping itu timbul gagasan dan pengertian baru untuk dapat bekerja lebih teoritis dan empiris.
4. Konsolidasi, dalam permulaan tahun 70-an orang menemukan suatu dasar teori dan empiri yang baru orang mencapai penanganan masalah yang lebih baik dalam hubungan dengan stimulasi perkembangan kompensatoris.
Sejak beberapa tahun yang lalu timbullah suatu desilusi baru, datanglah keinsyafan bahwa ada proses findamental yang lebih banyak lagi yang perlu penggarapan untuk mengatasi keadaan yang tidak sama pada kelompok minoritas.
Biro Headstart di Washington telah mempublikasikan studi bedasarkan lebih dari 1.600 dokumen mengenai Headstart serta suatu analisis mengenai 210 laporan penelitian tentang akibat-akibat program tersebut. Laporan tadi bisa diperoleh di ACYF, Headstart Bureau, PO Box 1182, Washington DC 20013, USA (Sumber : Newsletter-Society for Research in Child Development, Winter 1986, p. 8).
Usaha-usaha untuk menolong anak melalui Head Start mengingatkan pada pengobatan kosmetik yaitu memberi “make up” yang menutupi hal yang sesungguhnya. Struktur masyarakat struktur keluarga dan struktur tetangga tidak berubah oleh program-program seperti itu.
Juga di Negeri Belanda dicobakan program-program seperti itu, yaitu program bahasa yang diduga dapat menghalangi perbedaan mileiu dengan cepat.
Kohnstamm mengembangkan suatu program bahasa berpikir yang diterapkan secara terbatas pada sekolah-sekolah Taman Kanak-Kanak. Dia mau mengubah bahasa anak kaum buruh melalui konfrontasi dengan kalimat-kalimat yang baik susunannya dan diucapkan dengan biak, kalimat-kalimatini diwajibkan pada anak untuk ditirukan (Vernooy, 1981, hal. 44).
Sudah dalam tahun 1973 sesudah mencoba selama 5 tahun maka Kohnstamm sendiri meragukan akan kegunaan program-program seperti itu. Dalam tahun 1974 Extra telah menunjukkan betapa cepatnya gagasan mengenai kegunaan program kompensasi bahasa dilaksanakan, betapa cepatnya dikritik secara tajam dan akhirnya dimengerti bahwa menyuruh anak menirukan dan menghafalkan saja dianggap ada manfaatnya.
Bagaimanapun juga jelaslah bahwa program-program yang secara khusus ditujukan pada bahasa tidak akan memberikan hasil apapun selama pendekatan anak masih lepas dari lingkungannya (keluarga atau tetangga). Baru bila seluruh lingkungan diperhatikan maka keberhasilan yang tetap dapat diharapkan. Program yang dikembangkan oleh Bernard van Leer Foundation (Yayasan Bernard van Leer) dapat membuktikan bahwa anak, keluarga dan sekolah tidak dapat dipandang sebagai hal-hal yang terpisah (1971, 1972, 1973, 1974), melainkan merupakan satu kesatuan dan bahwa pendekatannya juga harus sebagai satu kesatuan pula. Van Calcar (1980) telah mengadakan penelitian dalam hal ini di Negeri Belanda.
Tulisan Jensen (1969) telah menimbulkan diskusi yang hebat, Jensen dalam tulisannya yang tebal mengatakan bahwa apa yang disebut pendidikan kompensatoris sampai sekarang belum membuktikan adanya kemungkinan perbaikan inteligensi dan prestasi sekolah secara tetap. Tujuan Jensen sekarang adalah untuk mengerti apa sebetulnya inteligensi itu, sampai dimana pengaruh keturunan terhadap inteligensi dan sampai dimana lingkungan masih dapat mempengaruhi inteligensi. Dia ingin menunjukkan bahwa faktor keturunan memegang peranan lebih besar daripada yang dapat diterima sekarang.
Dia berpendapat bahwa faktor genetis yang menyebabkan perbedaan individual ditolak akrena pertimbangan sejarah, politis dan ideologis. Ia mengemukakan bahwa dalam amsyarakat yang demokratis yang menganggap persamaan sebagai nilai yang tertinggi, maka perbedaan-perbedaan tadi dianggap tidak mungkin ada. Prinsip persamaan ini yang menyebabkan adanya anggapan yang dianut oleh banyak orang : seseorang dapat belajar apa saja, dia tidak mempunyai sifat-sifat keturunan apa-apa.
Kemudian Jensen berusaha untuk membuktikan bahwa betul-betul ada faktor keturunan yang mempengaruhi timbulnya tingkah laku tertentu.
Contoh : ada sejumlah orang yang mempunyai apa yang disebut sindrom Turner. Hal ini merupakan suatu penyimpangan chromsom. Kalau orang normal mempunyai 46 chromsom, maka orang dengan sindrom tersebut hanya mempunayi 45 chromsom. Mereka tidak memiliki chromsom kelamin. Orang tersebut memiliki IQ yang normal selama tesnya berkisar pada tes verbal. Mereka akan memperoleh prestasi yang rendah pada tugas-tugas tes yang berhubungan dengan tanggapan ruang. Selanjutnya dapat dibuktikan bahwa mereka mengalami kesukaran di sekolah dasar dalam pelajaran ilmu pasti. Menurut Jensen hal itu jelas membuktikan bahwa suatu kelainan genetis yang dapat ditentukan dengan mikroskop mempunyai akibat nyata pada proses-proses kognitif. Dia masih menambahkan lagi bahwa kemungkinan masih ada akibat-akibat kognitif lain yang lebih rumit yang mempunyai hubungan dengan chromsom kelamin tadi, antara lain bahwa orang laki-laki lebih peka terhadap pengaruh lingkungan daripada wanita.
Suatu alasan lain diajukan dari hasil penelitian Geber dan Dean (1964). Geber dan Dean mengenakan tes Gesell pada bayi-bayi Uganda. Di situ ada satu kelompok yang diasuh dengan cara barat. Kedua kelompok adalah bayi-bayi kulit hitam. Kedua kelompok mencapai sekor yang tinggi pada tes Gesell dibanding dengan norma Eropa. Hasil yang paling menyolok adalah dalam hubungan dengan perkembangan motorik. Kecakapan motorik berikut merupakan hal-hal yang umum pada mereka, yaitu :
a. Lima jam sesudah dilahirkan anak sudah melihat-lihat keliling
b. Sesudah 22 jam dapat duduk dengan tegak
c. Umur 7 minggu sudah dapat mengangkat berat badannya sendiri dan melihat-lihat keliling dengan penuh perhatian
d. Umur 9 bulan sudah dapat berdiri tegak dan berjalan
Menurut Jensen data ini menunjukkan adanya bukti bahwa disini jelas ada faktor-faktor keturunan yang tidak dapat diterangkan oleh pengaruh lingkungan. Bila sekarang sudah diketahui ada faktor-faktor keturunan yang banyak mempengaruhi tingkah laku kita, apakah sekarang masih perlu untuk melanjutkan program eksperimental yang mahal-hal untuk mencoba menyamakan orang yang tidak sama? Dia mengemukakan bahwa dari sejumlah besar penelitian yang dilakukan untuk melihat perbedaan inteligensi antaraorang-orang kulit hitam dan kulit putih selalu diketemukan keunggulan orang kulit putih dengan perbedaan rata-rata 15 sekor IQ. Menurut Jensen hal ini disebabkan oleh cara berpikir kulit puith. Dia membedakan antara berpikir atau belajar asosiatif (taraf I) dan berpikir atau belajar secara pengertian (taraf II). Dua taraf ini harus dimengerti sebagai suatu kontinum daripada dua proses dasar genotype yang berbeda.
1. Taraf I ditandai oleh pencatatan (registrasi) secara netral mengenai stimulus yang diamati. Jadi taraf ini berhubungan dengan proses belajar yang sederhana yang mendasarkan diri pada ingatan dan pengenalan hal-hal yang dijumpai sebelumnya. Dalam tes, hal ini diukur dengan deretan angka, gambar-gambar dan simbol-simbol. Kecepatan perkembangan taraf I dan taraf II berbeda. Menurut Jensen kecakapan yang berhubungan dengan taraf I berkembang cepat pada tahun-tahun pertama. Hal ini bertentangan dengan keadaan taraf II. Mula-mula kecakapan yang berhubungan dengan taraf II ini berkembang dengan lambat, mencapai puncaknya antara umur 4 dan 6 tahun, kemudian dengan bertambahnya umur menunjukkan perbedaan yang makin nampak diantara kelas-kelas sosial.
Adanya hubungan dengan kelas-kelas sosial ini juga merupakan sebab bahwa anak kulit hitam dan anak dari kelas sosial yang lebih rendeah pada umumnya mencapai hasil yang baik pada prestasi inteligensi yang lebih berhubungan dengan berpikir dan belajar yang asosiatif daripada yang berhubungan dengan cara berpikir berdasarkan pengertian. Taraf I bukan merupakan bahasa sekolah (kelas menengah) dan juga bukan apa yang diukur oleh macam-macam tes inteligensi yang umum diberikan. Hal-hal tadi lebih berhubungan dengan taraf II.
2. Taraf II ditandai oleh transformasi bahan yang telah dipelajari dan bukan merupakan ulangan-ulangan mentah belaka. Menyelesaikan suatu masalah, memperlakukan secara aktif, menambah aspek baru pada hal yang sudah dipelajari. Hal ini semua merupakan ciri-cirikerja inteligensi pada taraf II. Menurut Jensen tipe berpikir dan bertindak seperti inilah yang diukur oleh berbagai tes inteligensi yang ada. Juga disekolah maka cara berpikir seperti itulah yang diminta dan bukan cara berpikir yang asosiatif. Maka dari itu banyak tes inteligensi tidak berlaku dan tidak tepat, sekolah tidak adil terhadap anak yang dalam lingkungannya hampir tidak ada kesempatan untuk melatih diri dalam kecakapan belajar kognitif dan berpikri abstrak. Keunggulan kelompok yang dirugikan adalah pada belajar asosiatif, tetapi hal itu kurang mendapat penghargaan yang semestinya.
Bagaimanapun luasnya argumentasi Jensen diatas, namun dia tidak dapat menjelaskan seluruhnya bahwa belajar tidak memberikan pengaruh terhadap perkembangan inteligensi. Meskipun inteligensi hanya dapat dipengaruhi sebanyak 5% misalnya, bagaimanapun juga kesempatan itu harus dipergunakan juga.
Akan menjadi sangat fatal kiranya bila orang bersikap deterministis terhadap keadaan inteligensi. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa tingkah laku orang, juga tingkah laku inteligensi tidak seluruhnya ditentukan. Ada kemungkinan untuk dapat dipengaruhi dan merupakan kewajiban bagi yang mengerti ini untuk mempergunakan kesempatan tersebut. Data longitudinal McCall (1973) menunjukkan bahwa inteligensi jelas dapat dipengaruhi, misalnya seseorang yang pada waktu dilahirkan mempunyai I! 100 dapat mencapai IQ 120 bila ada dalam keadaan yang menguntungkan. Bila keadaan tidak menguntungkan maka IQ dapat turun sampai 80 (bandingkan McCall,1973,. Hal 73 dan selanjutnya, dan Kemenade dkk, 1981).
Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa sitmulasi perkembangan kompensatoris tidak akan berhasil bila hanya khusus ditujukkan pada aspek-aspek tingkah laku yang terpisah saja, misalnya pada bahasa saja. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa keturunan tidak sepenuhnya menentukan tingkah laku seseorang, melainkan masih ada kemungkinan untuk dipengaruhi. Hanya suatu penanganan yang menyeluruh yaitu terhadap anak, keluarga dan lingkungan tetangga (maupun masyarakat) dapat memberikan hasil-hasil yang tetap. Sebelum mengadakan program untuk mempengaruhi perkembangan anak tadi, harus diketahui dengan jelas dulu apakah dapat dipertanggungjawabkan secara etis, dan dari sudut tujuan pendidikan apa usaha tadi akand ilakukan.

Anak-Anak Dengan Kecerdasan Tinggi
Pengertian cerdas tinggi merupakan pengertian yang sensitif dan bahkan dapat dianggap sebagai pengertian yang mendiskriminatif terhadap mereka yang tidak tergolong cerdas tinggi. Dapat menimbulkan pengertian “elit” atau kelas yang istimewa.
Namun kenyataannya memang ada perbedaan diantara orang yng satu dengan yang lain, tidak hanya dalam warna kulit atau panjang badan, melainkan juga dalam kemampuan kognitif, sosial, kreativitas atau motorik. Pengertian bahwa harus ada kesempatan yang sama bagi semua anak, yang diinterprestasi salah sebagai pengertian bahwa semua anak adalah sama, menyebabkan perhatian dan usaha pendidikan paling akhir dicurahkan bagi anak-anak yang mempunyai kecerdasan yang tinggi. Pengertian mengenai anak cerdas tinggi tidak hanya mengalami proses perkembangan tetapi pada dewasa inipun masih banyak simpang siur mengenai pengertian itu. Sementara orang mengartikan potensi yang istimewa, misalnya inteligensi yang sangat tinggi, sebagai cerdas tinggi, sedangkan sebagian orang lain lagi baru menganggapnya sebagai cerdas tinggi bila betul-betul ada nampak prestasi nyata yang istimewa. Biasanya cerdas tinggi disamakan dengan hasil yang baik atau sangat baik dalam tes inteligensi. Faham ini berasal dari pelopor peneliti kecerdasan di Amerika, Lewis Terman (1877-1956). Terman memandang cerdas tinggi sama dengan IQ 140 atau lebih. Hasil tes inteligensi menentukan apakah seseorang termasuk cerdas tinggi atau tidak. Terman menyebut penelitiannya yang dimulaitahun 1922 sebagai “Genetic studies of Genius”. Lebih dari seribu kasus cerdas tinggi yang diseleksi dengan tes kecerdasan Stanford Binet telah dilaporkan pada tahun 1925 yaitu dalam bagian pertama “Genetic Studies of Genius”. Bagian kelima diterbitkan pada tahun 1959.
Meskipun Terman menggunakan inteligensi sebagai satu-satunya kriterium, namun atas dasar data longitudinal yang ada Terman makin menyadari bahwa inteligensi memang penting, tetapi hanya merupakan persyaratan saja bagi terwujudnya prestasi yang istimewa. Dalam tahun 1954 dalam pidato pada Univesitas di Californi (Berkeley) Terman sebagai guru emeritus. Menandaskan bahwa kemampuan intelektual yang tinggi hanya bisa menghasilkan prestasi yang istimewa bila bekerja sama dengan keteguhan, kepercayaan diri serta lingkungan yang positif. Empat puluhtahun sebelumnya Stern mengemukakan bahwa kecerdasan tinggi dapat layu bila anaknya sendiri tidak acuh atau bila lingkungannya tidak bersikap mendorong. Kemauan yang kuat yang menyatakan dirinya dalam sikap rajin, ulet, sadar akan kewajiban, disiplin diri, ambisi dan perhatian sosial adalah mutlak untuk realisasi bakat yang baik itu.
Sekarang pun masih banyak yang menyamakan cerdas tinggi dengan IQ tinggi, meskipun makin lama jumlahnya makin sedikit. Sekarang juga makin diinginkan bahwa cerdas tinggi itu harus manifest dalam tingkah laku dan prestasi. Kemampuan yang tersembunyi tidak dapat dilihat secara objektif dan dengan begitu tidak dapat dikualifikasi sebagai cerdas tinggi.

Berbagai Pandangan Mengenai Kecerdasan Yang Tinggi
Banyak dugaan telah dikemukakan mengenai hubungan antara kecerdasan yang tinggi dengan sifat-sifat kepribadian, faktor-faktor sosial dan bermacam-macam faktor lain yang diduga dapat menyebabkan kecerdasan yang tinggi tadi. Pandangan-pandangan mengenai kecerdasan tinggi tadi dalam garis besarnya dibedakan dalam empat kelompok :
• Determinan sosio-kultural. Aselerasi fisik (percepatan pertumbuhan) dengan pengaruh yang positif, disebabkan karena berjalan bersama-sama dengan peningkatan inteligensi. Aselerasi dipandang sebagai akibat bertambah baiknya syarat-syarat hidup (berkurangnya faktor yang menghambat perkembangan). Hal yang sebaliknya dapat juga terjadi, yaitu bila kemajuan sosial dan masyarakat mengakibatkan kemunduran apda kecerdasan, misalnya bila sistem pendidikan kurang baik, kurang memacu sikap mandiri dan kurang memberikan kesempatan untuk berkembangnya daya pikir anak.
• Pertimbangan dari segi teori keturunan memberi kesimpulan bahwa, ditinjau dari angka-angka kelahiran yang menurun dalam keluarga-keluarga yang mempunyai potensi menurunkan anak-anak dengan kecerdasan tinggi, maka akan terjadi suatu proses habis mati pada orang-orang dengan kecerdasan tinggi tersebut. Dari penelitian mengenai anak-anak kembar identik (berasal dari satu telur) diketemukan bahwa bakat intelektual dapat dikatakan konstan (tetap) terhadap pengaruh lingkungan.
• Pandangan klinis atau hipotesis mengenai disharmoni
Menurut ahli psikiatri Lange-Eichbaum (1875-1950) maka semua genisu ada dalam kategori gila. Dalam tinjauan klinis ditunjukkan hubungan antara kecerdasan yang tinggi dengan beberapa sifat tertentu, misalnya : pengertian yang cepat, ekstrim peka dalam lapangan emosional dan sosial, mereka selalu dapat melihat aspek-aspek baru dalam keliling mereka, selalu sibuk dengan sesuatu dan tidak puas dengan keterangan atau penyelesaian yang sederhana, dengan begitu mereka menemukan pertentangan dengan anak-anak sebaya dan orang-orang dewasa, mereka menjadi terasing dan menjadi “aneh”.
Juga orang tua mereka sendiri merasa kurang enak atau justru sebaliknya mereka (orang tua) menjadi terlalu melayani. Para klinikus selalu menunjukkan bahwa dikrepansi antara anak dengan kecerdasan tinggi dan lingkungannya begitu menyolok, sehingga hampir selalu terjadi perkembangan yang tidak normal (Catatan : seringkali klinikus baru berhadapan dengan anak tersebut bila sudah terjadi gangguan perkembangan yang mendalam).
• Menurut hipotesis mengenai harmoni, maka anak dengan kecerdasan tinggi tidak hanya istimewa kecerdasannya, melainkan juga dalam fisik dan psikisnya sangat sehat. Pandangan ini merupakan titik tolak yang penting bagi penelitian-penelitian. Terman dan Freeman yang masih akan dibicarakan lebih lanjut.

Model Triadis
Atas dasar penelitian empiris, yaitu penganalisaan tulisan dan data penelitian mengenai anak cerdas tinggi, maka Renzulli (1978 : 1982) menciptakan “model tiga komponen” mengenai anak-anak tersebut. Kerjasama antara sifat-sifat pribadi selalu merupakan persyaratan bagi munculnya berbagai prestasi yang dapat dikualifikasi sebagai prestasi orang yang cerdas tinggi, misalnya kemampuan inelektual yang tinggi, keuletan atau pemusatan terhadap tugas, dan kreativitas.
Model Renzulli ini meliputi sifat-sifat penting seseorang namunb elum mencakup sifat-sifat lingkungannya seperti sekolah, keluarga dan teman-teman kelompok atau peer (peer = teman seperkembangan yang sering seusia tetapi belum tentu demikian, dan jelas tidak bila hal ini menyangkut anak cerdas tinggi).
Dengan mengelaborasi model Renzulli yaitu dengan menambahkan ciri-ciri lingkungan Monks mengemukakan suatu model lain yaitu Model Triadis (Monks, 1985 : Monks dan Ypenburg, 1985).
Kemampuan intelektual diukur dengan tes inteligensi, tes prestasi, atau tes kemampuan. Kemampuan inelektual juga bisa dimengerti dari angka pekerjaan sekolah atau dari penilaian guru. Apakah seseorang dinilai sebagai cerdas tinggi tergantung daripada batas yang ditentukan. Sementara orang membuat batas IQ 130 atau lebih, orang lain lagi menentukan paling sedikit 140.
Kreativitas secara psikometris tidak dapat diukur secara eksak. Kreativitas meliputi berpikir original, dapat menyelesaikan masalah secara luwes dan baik. Juga sikap mandiri dan ingin tahu dalam pendekatan dan penyelesaian masalah termasuk kreativitas. Kreativitas berhubungan dengan berpikir yang divergen dan khas dan tidak berpikri yang konvergen dan konvensional. Berhubung dengan hal itu maka kreativitas tidak bisa diukur secara psikometris yang eksak. Hal yang menyimpang dari kebiasaan itu dinyatakan oleh Renzulli et all sebagai creativity is the ability to set aside establisehd conventions and procedures (Renzulli, 1981, hal. 22).
Mengenai hubungan antara kreativitas dan inteligensi maka sejak penelitian Getzles & Jackson (1962) hal tersebut banyak dingkap, banyak diteliti, dan banyak diadakan dugaan. Melalui penelitian-penelitian tersebut banyak ditemukan korelasi positif maupun negatif antara kreativitas dan inteligensi. Dari data yang ada dapat disimpulkan kecerdasan diatas rata-rata merupakan persyaratan yang mutlak, namun bukan satu-satunya bagi perkembangan prestasi yang kreatif (lihat Van Boxtel dkk, 1985).
Keuletan dan pemusatan pada tugas adalah ciri pribadi ketiga yang dibutuhkan untuk prestasi yang istimewa. Setiap prestasi, dan jelas prestasi yang istimewa, membutuhkan usaha, konsentrasi dan keuletan. Keuletan untuk mencapai tujuan, meski ada banyak hambatan dan kesulitan, merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya kecerdasan tinggi. Keuletan inid apat pula dilukiskan sebagai “motivasi terarah tugas” (Task commitment” dalam istilah Renzulli). Motivasi tersebut memberikan energi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, juga untuk menyeleksi, menentukan arah serta meregulasi. Dengan lain perkataan, motivasi menentukan apakah arah yang sudah diambil akan terus dipegang atau tidak. Kreativitas dan keuletan relatif tergantung daripada tugas atau tujuan dan perhatian pribadi terhadap tugas atau tujuan tersebut. Disamping itu lingkungan juga besar peranannya karena dapat menimbulkan atau meningkatkanperhatian seseorang terhadap hal sesuatu.
Dengan mengemukakan hal-hal tersebut diatas jelaslah betapa pentingnya peranan lingkungan terhadap perkembangan anak cerdas tinggi. Lingkungan hidup seorang anak yang terpenting adalah keluarga sekolah, dan teman sebaya (disekolah dan dalam waktu luang). Berbagai tingkah laku seperti dorongan, larangan, penolakan serta pujian merupakan stimulasi sosial yang sering banyak menentukan perkembangan tingkah laku anak. Tidak adanya pengertian sering mewarnai iklim sosial tempat hidup anak-anak berbakat, tidak ada pengertian dari pihak orang tua, guru, maupun teman sebaya.

Penelitian Mengenai Anak-Anak Cerdas Tinggi
Penelitian yang paling mendalam dan paling lama dilakukan oleh Teman di California dalam tahun 1922/1923 (ditulis dalam 5 buah buku, Genetic Studies of Genius). Melalui pendapat para guru diadakan seleksi orang-orang coba sebanyak 250.000 anak dan remaja usia 6-14 tahun sebanyak 1.500 orang. Mereka dites dengan Stanford Binet versi pendek. Dari hasil tes ini diketemukan kelompok sebanyak 642 orang dengan IQ 140 ketas. Sesudahnya mereka mengalami pengujian (testing) berkali-kali. Dalam kelompok tadi ternyata jelas ada hubungan antara kelas sosial yang lebih tinggi dengan IQ yang tinggi, disamping itu anak-anak tersebut juga dibesarkan dalam keadaan sosial ekonomi yang menguntungkan. Hubungan itu antara kecerdasan tinggi dengan keuntungan sosial dalam buku-buku Terman hampir tidak dianalisis. Sebagai catatan dapat diketemukan bahwa penelitian longitudinal tersebut secara kuantitatif menurut norma-norma sekarang, hanya mempunyai nilai yang terbatas. Namun hasilnya mengandung kemungkinan banyak untuk penganalisaan dan interprestasi yang bersifat kualitatif.
Empat puluh tahun kemudian Oden (1968) mempublikasi data hasil penelitian lanjutan mengenai kelompok anak cerdas tinggi yang diteliti Terman dahulu. Publikasi tersebut mengemukakan mengenai perbandingan antara 100 orang laki-laki (kelompok A) yang berhasil dalam hidupnya dengan 100 orang (kelompok B) yang kurang berhasil. Kelompok A mempunyai IQ yang lebih tinggi sejak semula (A – 157 : B = 150), dan mempunyai prestasi yang biak, yaitu lebih original, lebih ulet, lebih termotivasi untuk dapat berprestasi yang paling baik dan selanjutnya mereka juga lebih baik dalam penyesuaian sosial, sedangkan psikis mereka juga lebih sehat.
Dalam perbandingan mengenai pendidikan mereka diketemukan bahwa 97% dari kelompok A menyelesaikan studi di Perguruan Tinggi dengan baik, pada kelopmok B hanya terdapat 40%. Mengenai kepuasan kerja didapat 78% dari kelompok A dan 22% dari kelompok B. juga latar belakang keluarga kelompok A lebih beruntung, para orang tua merea mempunyai pendidikan yang lebih tinggi, selanjutnya mereka mementingkan prestasi tinggi pada anak-anak mereka (perhatian dan stimulasi). Dari studi ini dapat diketemukan bahwa disamping lingkungan yang baik dan menyelesaikan sesuatu, merupakan persyaratan yang mutlak untuk mencapai prestasi yang tinggi.
Suatu penelitian yang baru dilakukan oleh Freeman adalah Gifted Children (1979). Freeman juga bertitik tolak dari hipotesis harmoni dan dari pendapat bahwa penelitian mengenai anak-anak cerdas tinggi sangat diperlukan, karena diharapkan merekalah yang kelak akan menduduki posisi-posisi yang penting. Telah diteliti sebanyak 210 anak dan remaja antara umur 5 dan 14 tahun. Kelompok eksperimen terdiri dari 70 anak anggota “National Association for Gifted Children”, kelompok kontrol A sebanyak 70 orang bukan anak-anak anggota NAGC, mereka adalah anak-anak cerdas tinggi. Kelompok kontrol B adalah anak-anak yang diambil sebagai sampel dan kelas sekolah biasa sebanyak 70 orang. Kedua kelompok kontrol tadi mempunyai persamaan dengan kelompok eksperimen dalam hal umur, jenis kelamin dan tingkat kelas. Perlu diterangkan disini bahwa semua orang tua dapat menjadi anggota NAGC bila ia menganggap mempunyai anak yang cerdas tinggi.
Semua anak diteliti secara mendalam, semua orang tua dan semua guru diwawancarai dan penyesuaian mereka diteliti dengan “Bristol Adjustment Guldes”. Ternyata bahwa 23 anak dari kelompok eksperimen mempunyai IQ kurang dari 140 meskipun orang tua mereka menganggap mereka mempunyai kecerdasan yang tinggi,. Para orang tua ini telah membaca banyak mengenai tingkah laku sukar dan tingkah laku yang menyolok pada anak-anak cerdas tinggi. Anak-anak mereka sendiri menunjukkan tingkah laku yang mempunyai juga disekolah. Mereka menganggap anak-anak meereka sukar menjadi anggota NAGC karena mengalami permasalahan dengan anak-anak mereka. Menurut Freeman mungkin banyak anak-anak lain mengalami masalah dalam keadaan semacam itu. Dari data kelompok A tidak muncul ciri-ciri yang menyolok, baik emosional, di sekolah maupun fisik. Anak-anak ini sejak kecil menerima stimulasi dan dorongan, merek alekas masak dalam bicara dan bahasa, mempunyai ingatan yang baik sertaprestasi sekolah yang mengesankan. Mereka bersifat fleksibel, cepat mengerti dan dapat memusatkan perhatian mereka pada lebih dari satu hal. Selanjutnya mereka mempunyai ambisi yang tinggi dan mempunyai tulisan yang jelek. Orang uta mereka mengetahui akan kecerdasan mereka yang tinggi dan memberikan stimulasi secara bijaksana serta berbagai kesempatan untuk memperkaya pengalaman mereka. Sebagai kesimpulan Freeman berkesimpulan bahwa lingkungan sosial sangat penting,d alam arti positif dan negatif, bagi perkembangan anak-anak cerdas tinggi.
Universitas John Hopkins di Baltimore telah membuat penelitian yang luas sejak 15 tahun yang lalu mengenai para remaja yang cerdas tinggi, sejak 19709 disebut Office of Talent Identification. Program ini mengadakan pemikiran yang mendalam mengenai konsep inteligensi dan mengenai apa yang sebetulnya diukur oleh tes inteligensi, karena IQ hanya dapat meramalkan dalam batas-batas tertentu saja. Program ini meliputi dua proyek besar, penelitian pada anak-0anak cedas tinggi dalam hal verbal (Hogan, 1980) dan pada anak-anak cerdas tinggi dalam hal matematik (Stanley). Sebagai alat pengukur dipakai SAT (Scholastik Aptitude Test, V-Verbality dan Mathematic). Dari pengukuran ini dapat dilihat perbedana yang jelas antara kelompok remaja dengan sekor tinggi pada SAT-V, dan kelompok dengan sekor tinggi pada SAT-M dengan titik berat pada inteligensi matematik. Juga diteliti mengenai perbedaan kepribadian antara sekor V dan sekor M. diketahui bahwa kelompok dengan sekor tinggi pada V mempunyai sifat intutif, original, tidak praktis dan bersifat ingin tahu dalam bidang intelektual, sedangkan para remaja yang tidak mempunyai perbedaan banyak pada sekor V dan M, bersifat lebih tegas, praktis, realistis dan objektif (zeklijk).,
Program intervensinya mendasarkan diri pada aselerasi (meloncat kelas untuk lebih cepat menyelesaikan pendidikan. Hal mana dapat menyebabkan keadaan isolasi serta stimulasi ekstra, yaitu dikumpulkan untuk diberuikan kursus-kursus tambahan, supaya mereka dapat memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai sifat dan batasan kemampuan mereka yang istimewa. Berbagai program pemerkayaan ini (enrichment programs) nampakanya dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan sosial yang sehat.
Sementara itu juga diadakan penelitian mengenai anak cerdas tinggi di Nederland, yaitu di Utrecht (lihat Schoonhoven dkk, 1985) dan di Nijmegen (lihat Van Boxte) dkk, 1986). Di Utrecht usaha itu bertujuan untuk mendeteksi dan memberi pelajaran pada anak berbakat dalam fase pertama sekolah lanjutan. Dalam penelitian di Nijmegen maka 772 pelajar (juga tahun pertama sekolah lanjutan) usia 12-15 tahun diteliti untuk mengembangkan instrumen guna menentukan anak berbakat dan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai situasi psiko-sosial anak-anak berbakar. Penelitian mengenai hal tersebut serta analisisnya sudah selesai dan hasilnya dikemukakan dalam dua buah laporan (Van Boxtel dkk, 1986).

MASA REMAJA 1
PERKEMBANGAN FISIK DAN PSIKO-SOSIAL


Masa Remaja dan Perkembangannya
Dalam perkembangan kepribadian seseorang maka remaja mempunyai arti yang khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Secara jelas masa anak dapat dibedakand ari masa dewasa dan masa tua. Seorang anak masih belum selesai perkembangannya, orang dewasa dapat dianggap sudah berkembang penuh, ia sudah menguasai sepenuhnya fungsi-fungsi fisik dan psikisnya, pada masa tua pada umumnya terjadi kemunduran terutama dalam fungsi-fungsi fisiknya.
Anak masih harus banyak belajar untuk dapat memperoleh tempat dalam masyarakat sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan bahagia. Anak belajar hal-hal ini melalui eknulturasi, sosialisasi dan adaptasi aktif. Orang dewasa dengan kemampuan-kemampuannya yang sudah cukup berkembang diharapkan sudah dapat menemukan tempatnya dalam masyarakat, orang tua makin menarik diri dari masyarakat meskipuns ukar ditentukan pada usia berapa betul-betul tidak lagi aktif sama sekali, hal ini banyak ditentukan oleh faktor-faktor kebudayaan, faktor{aktor genetika dan sejarah hldup orang itu sendiri.
Pada waktu lnl hampir setiap anak di Indonesia pergi ke sekolah untuk memperoleh pengertian dasar yang dibutuhkan dalarn kehidupan yang makin maju. Orang dewasa kebanyakan sudah tidak bersekolah lagi, ada yang blsa menamatkan pendidikan dasar, ada yang tamat pendjdikan menengah, banyak juga yang tamat pendidikan tinggi, tetapi banyak pula di Indonesia, terutama dari kelas sosial orang lebih rendah yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Bahkan masjh ada yang tidak menikmati pendidikan formal sama sekali. Semua orang dewasa ini harus menemukan telnpainya dalam masyarakat, mereka bekeria, mereka mendapatkan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Orang tua berkurang aktiviiasnya dalam masyarakat bila ia sudah pensiun, namun aktivitas-aktivitas lainnya dapat berganti memegang peran. Pada umumnya anak dan orang tua trelum atau tidak lagi termasuk golcngan penduduk yang produktif.
Anak remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak, tetapi ia tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Ditiniau dari segi tersebut mereka masih iermasuk golongan kanak-kanak, mereka masih harus menemukan tempat dalam masyarakat. Pada umumnya mereka masih belajar di sekolah menengah atau Perguruan Tinggi, bila mereka bekerja mereka melakukan pekerjaan sambilan dan belum menpunyai
pekerjaan yang tetap. Pada waktu penuiis mengerjakan buku ini di Indonesia masih banyak remaja yang sudah tidak sekolah narnun Juga belurn mendapatkan sesuatu pekerjaan terientu. Masalah pengangguran yang begitu diprihatinkan oleh Pemerintah Indonesia sebagian besar terdiri dari golongan remaja. Golongaa remaja yang seakan-akan masih belum menentu keadaannya lni karena rnereka, berhubung salah satu sebab, tidak dapat melanjutkan sekolah tetapi juga belum dapat bekerja, terdiri dari anak lakilaki maupuii wanita. Meskipun di Indonesia ada kesempatan yang persis sama bagi laki-laki dan wanita untuk menduduki jenjang karier pekerjaan dalam masyarakat, namun bagi wanita maka perkawinan masih sering merupakan penyelesaian yang baik bila seorang wanita yang tidak lagi bersekolah tetapi juga tidak mendapat suatu pekerjaan tertentu.
Remaja ada dalam tempat marginal (Lewin, 1939). Berhubung ada macam-macam persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan kategori anak daripada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke 18 maka masa remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode anak-anak. Meskipun begitu kedudukan dan status remaja berbeda daripada anak. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan (Calon, 1953) karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tetapi tidak lagi memiliki status kanak-kanak. Dipandang dari segi sosial, remaja mempunyai suatu posisi marginal. Penelitian Roscoe dan Peteson (1984) membuktikan hal ini.
Ausubel (1965) menyebut status orang dewasa sebagai status primer, artinya status itu dperoleh berdasarkan kemampuan dan usaha sendiri. Status anak adalah status diperoleh (derived), artinya tergantung daripada apa yang diberikan oleh orang tua (dan masyarakat). Remaja ada dalam status interim sebagai akibat daripada posisi yang sebagian diberikan oleh orang tua dan sebagian diperoleh melalui usaha sendiri yang selanjutnya memberikan prestise tertentu padanya. Status iterim berhubungan dengan masa peralihan yang timbul sesudah pemasakan seksual (pubertas). Masa peralihan tersebut diperlukan untuk mempelajari remaj amampu memikul tanggung jawabnya nanti dalam masa dewasa. Makin maju masyarakatnya makin sukar tugas remaja untuk mempelajari tanggung jawab ini.
Suatu pendidikan yagn emansiupatoris akan berusaha untuk melepaskan remaja dari status interimnya supaya ia dapat menjadi dewasa yang bertanggung jawab.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929