loading...

Periodesasi Sejarah Penulisan Hadits

December 28, 2018
loading...
BAB I
PENDAHULUAN



A. Latar Belakang
Hadits disebut juga Sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir beliau. Hadis sebagai sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an. Sejarah perjalanan hadis tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.
Dengan demikian, keberadaan hadis dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah saw maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Sementara perhatian terhadap hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz khalifah Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101H, yang waktunya relatif jauh dari masa Rasulullah Saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi perihal otentisitas al-Hadits itu sendiri.
Dari kalangan orientalis seperti; Joseph Schacht dan Goldziher dalam bukunya Muhammedanische Studien telah memastikan diri untuk mengingkari adanya pemeliharaan hadis pada masa Sahabat sampai awal abad II H. Juga beberapa penulis muslim kontemporer seperti halnya Ahmad Amin dan Isma'il Ad'ham berkesimpulan bahwa hadis sebagai sumber hukum Islam tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat, dalam hal ini adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut Dr. M. Mustafa Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian mereka dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan hadis. Mencermati uraian di atas, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang penulisan dan penghapalan adis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Penulisan Hadits?
2. Bagaimana Sejarah Penghafalan Hadits?














BAB II
PEMBAHASAN



A. Penulisan Hadits
1. Larangan Menulis Hadits
Segala perkataan, prilaku, dan gerak-gerik nabi Muhammad SAW dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT, dan merupakan patokan bagi sahabat dalam beraktifitas agar tidak melenceng dari ajaran islam. Segala perkataan nabi Muhammad itu diingat secara sungguh-sungguh dan hati-hati oleh para sahabat karena mereka takut terhadapat ancaman Rasulullah agar tidak terjadi kesalahan dan kekeliruan dalam menghafal hadis yang didapatkannya.
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa arab yang telah diwarisinya sejak pra-Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya; kedua, Rasul SAW banyak memberikan spirit melalu doa-doanya; ketiga, seringkali ia menjanjikan kabaikan akhirat kepada orang yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain. 1
Untuk memelihara kemurnian dan pencapaian kemaslahatan Al-Quran dan hadis sebagai 2 sumber ajaran Islam, Rasul SAW mengambil kebijaksanaan yang agak berbeda. Terhadap Al-Quran beliau secara resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya disamping menghafalkannya, sedang terhadap hadis perintah resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain. Penulisan resmi halnya Al-Quran tidak diperbolehkan Rasul SAW. 2
Berkaitan dengan hal ini, maka Rasulullah SAW bersabda : “ Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain Al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka”. (HR Muslim)
Rasulullah SAW melarang penulisan hadis pada masa itu karena dikhawatirkan terjadi kesalahan dalam penulisan Al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu Rasulullah melarang penulisan hadits dan hanya memperintahkan untuk menghafalnya saja.





1 Munazer Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006 ), hlm.75.
2 Sulaemang L, Ulumul Hadits, (Kendari : Shandra, 2009), hlm. 55




2. Pembolehan Menulis Hadits
Dari larangan Rasulullah SAW seperti pada hadis Abu Sa’id Al-Khudri yang telah dipaparkan sebelumnya, ternyata ada beberapa sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadis tersebut, para sahabat itu antara lain :
a) Abdullah Ibn Amr Al-‘Ash. Beliau memiliki catatan hadis yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Menurut suatu riwayat diceritakan bahwa orang-orang Quraisy mengeritik sikap abdullah Ibn Amr, karena sikapnya yang selalu menulis segala sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW. Mereka berkata : “Engkau tuliskan apa saja yang datang dari Rasul, padahal Rasul itu manusia, yang bisa saja bicara dalam keadaan marah”. Kritikan ini disampaikannya kepada Rasulullah SAW kemudian beliau menjawabnya dengan berkata : “ Tulislah! Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya, tidak ada yang keluar dari padanya kecuali yang benar”. (HR Bukhari). Hadis- hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu hadits, yang menurut pengakuannya diterima langsung dari Rasul SAW ketika mereka berdua tanpa ada orang lain yang menemaninya. 3
b) . Jabir ibn Abdillah ibn Amr Al-Anshari (w. 78 H). Beliau memiliki catatan hadis dari Rasulullah SAW mengenai manasik haji. hadis – hadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim.
c). Abu Hurairah Al-Dausi (w. 59 H). Beliau memiliki catatan hadis dan hadis- hadis nya ini diwariskan kepada anaknya yang bernama Hamman.
d) . Abu Syah (Umar ibn Sa’ad Al-Anmari) adalah seorang penduduk yaman. Beliau meminta kepada Rasulullah SAW untuk mencatatkan hadis yang disampaikannya ketika beliau pidato pada peristiwa futuh Mekkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah kepada salah seorang lelaki Bani Lais. Rasulullah SAW lalu bersabda : “Kalian tuliskan untuk Abu Syah”.

Selain nama-nama diatas, masih banyak lagi nama-nama sahabat lainnya yang mengaku memiliki catatan-catatan hadis dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang disahkan oleh hadits Abu Sa’ad, dimasukkan dengan izin yang datang sesudahnya. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Quran. Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkah hadis dengan Al-Quran. Tegasnya, mereka berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan apabila kita fahamkan, bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seprti halnya Al-Quran, dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri sendiri.


3 Ajjaj al-Khathib, Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1997), hlm 349.


3. Periodesasi Sejarah Penulisan Hadis
a). Periode Nabi Muhammad SAW (13SH-11H)
Seperti yang telah diulas diatas, penulisan hadis pada masa rasulullah perkembangannya masih sangatlah lambat. Hal itu dikarenakan rasulullah dan para sahabat perhatiannya masih tertuju pada pengembangan Al-Qur’an. Selain itu rasul mengharapkan para sahabatnya untuk menghafal Al-Qur’an dan menuliskannya di tempat-tempat tertentu seperti, pelepah kurma, keping-keping tulang, dan di batu-batu.
Setelah rasul wafat, Al-Qur’an telah dihafalkan dengan sempurna oleh para sahabat. Selain itu ayat-ayat suci Al-Qur’an telah ditulis dengan lengkap, hanya saja belum terkumpul dalam bentuk mushaf. Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar Al-Qur’ann mulai dikumpulkan dan disempurnakan pada masa khalifah Utsman bin Afwan. Adapun hadis atau sunnah dalam penulisannya ketika itu masih kurang memperoleh perhatian sebagaimana Al-Qur’an. bahkan secara resmi nabi melarang menulis bagi umum karena takut tercampur antara Al-Qur’an . bagaimana tidak khawatir, Al-Qur’an dan hadis sama-sama berbahasa arab dan sama-sama disampaikan melalui lisan rasul bagi hadis qauli. 4
Hadis pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal saja, oleh mereka tidak ditulis seperti Al-Qur’an ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr Mushthafa As-Siba’i menyampaikan beberapa alasan diantaranya :
1) Al-Qur’an masih turun kepada Nabi Muhammad SAW dan kondisi penulisannya masih sagat sederhana dan masih belum dibukukan. Kemampuan tulis menulis para sahabat pada awal islam masih sangat sedikit dan meraka sudah difungsikan sebagai penyulis wahyu Al-Qur’an. Ingatan orang arab yang dikenal bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan rasul untuk mengingat dan menghafal hadis saja. 5
Dirawatkan bahwa beberapa sahabat yang memiliki catatan hadis-hadis rasulullah SAW. Mereka mencatat sebagian hadis-hadis yang pernah mereka dengar dari Rasullullah SAW. Diantara sahabat-sahabat rasulullah yang mempunyai catatan-catatan hadis rasulullah adalah Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang dinamai As-Sadiqah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh(dimansukh) dengan hadis yang memberi izin yang datang kemudian. Mengingat terjadinya pro dan kontra seputar masalah penulisan hadis. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasullulah tidak menghalangi usaha para sahabat menulis hadis sara tidak resmi. Mereka memahami hal itu mengingat bahwa pada saat itu rasul mengkhawatirkan tercampurnya Al-Qur’an dengan hadis.


4 Abdul Majid,ulumul hadis(yogyakarta:pusat studi wanita), hlm. 41.
5 Mustafa As-Siba’i, As-sunah, hlm. 66-67.

Sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mempercampuradukkan hadis dengan Al-Qur’an. oleh karena itu, setelah Al-Qur’an ditulis ditulis dengan sempurna dan lengkap pula turunnya, maka dari itu tidak ada larangan untuk menuliskannya.
Dalam pemeliharaan hadis mengandalkan hapalan saja. Yang pada umumnya para sahabat memiliki penghafalan yang kuat dan daya ingat yang tajam. Hadis cukup diingat dan di simpan didalam dada sedangkan Al-Qur’an disimpan dalam tulisan dan disimpan didalam dada. Kecuali begi mereka yang hafalannya sangat kuad dan memiliki kecakapan dalam menulis sehingga tidak ada kekhawatiran tercampurnya antara tulisan Al-Qur’an dengan hadis. Penulisan disini bersifat pribadi bukanlah bersifat umum dan berfungsi untuk membantu hapalannya, karena intinya adalah dihafal.

b). Periode sahabat ( 12 H-98 H)
Setelah rasul wafat para sahabat masih belum memikirkan penghimpunan dan pengkodifiksian hadis, karena banyak problema yang terjadi, diantaranya timbulnya kelompok orang yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur dan konsentari bersama Abu Bakar dalam membukukan Al-Qur’an. Abu Bakar pernah berkeinginan membukukan hadis tetapi digagalkan karena khawatir terjadi fitnah ditangan orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Umar bin Khathab juga pernah berkeinginan dan mencoba untuk menghimpunya tetapi setelah bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan Umar timbul kekhawatiran. Kekhawatirannya dalam membukukan hadis hal itu dikarenakan hadis dianggap menyerupai dengan ahli kitab yakni Yahudi dan Nashrani yang mana mereka meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan kalam mereka dan menempatkan biografi nabi mereka menjadi kitab mereka.
Pada masa Khulafaur Ar-Rasyidin ini disebut sebagai masa pembatasan periwayatan. Hukum kebolehan menulis hadis pada masa ini terjadi secara berangsur-angsur. Pada saat wahyu turun, umat islam menghabiskan waktunya untuk menghafal dan menulisnya. Hadis hanya disimpan dalam dada mereka, lalu disampaikan dari lisan ke lisan. Kemudian setelah Al-Qur’an dapat terpelihara dengan baik, mereka telah mampu membedakan antara Al-Qur’an dan hadis maka para ulama sepakat boleh menulis dan pengkodifikas hadis.
Banyak sekali pada masa awal islam penulisan hadis sebagai catatn pribadi bukan penulisan resmi dari Khalifah. Banyak bukti yang menunjukkan hal itu, misalnya surat-surat dakwah yang ditunjukkan kepada para tokoh bangsa dan para raja, kesepakan perdamaian, Ash-Shadiqah tulisan Abdullah bin Amr bin Ash, Ash-Shahifah ‘Ali tulisan yang nabi perintahkan kepada Abi Syah pada masa Fath mekkah. Shahifah jabir tulisan Jabir bin ‘Abdullah Al-Anshary.
Selain itu terjadi perbedaan para sahabat dalam menguasai hadis. Diantara para sahabat tidaklah sama dalam kadar meriwayatkan dan penguasan hadis. Ada yang memiliki lebih banyak, tetapi ada pula yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bertemu dengan rasul. Kedua, perbedaan mereka dalam bertanya kepada sahabat nabi lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal mereka dengan rasul.
Ada beberapa orang sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadis dari nabi dengan beberapa penyebabnya. Antara lain :
1. Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqunal Al-Awwalun (yang mula-mula masuk islam).
2. Al-Mukminin (istri-istri Rasul SAW) mereka secara pribadi lebih dekat dengan rasul jika dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.
3. Para sahabat yang dekat dan selalu disamping nabi.
4. Sahabat yang meskipun tidak lama bertemu dengan nabi akan tetapi banyak bertanya kepada sahabat nabi yang lain.

Ada 6 Orang Diantara Sahabat Yang Tergolong Banyak Meriwayatkan Hadis Ialah :
1. Abu Hurairah sebanyak 5.374 buah hadis
2. Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
3. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.
4. Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
5. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.
6. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.

Pada masa sahabat ini sebenarnya penulisan dan periwayatan dari hadis telah banyak terjadi, namun masih belum ada pengkodifikasian secara resmi berdasarkan intruksi dari khalifah.

c). Periode Tabi’in
Pada masa ini disebut sebagain masa pengkodifikasian hadis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz yakni yang hidup pada abad 1 H menganggap perlu adanya penghimpunan dan pembukuan hadis, karena beliau khawatir lenyapnya ajaran –ajaran Nabi setelah wafatnya para ulama baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in. Maka beliau mengintruksikan kepada gubernur di seluruh wilayah negeri islam agar para ulama dan ahli ilmu menghimpun dan membukukan hadis.
Muhammad bin Muslim bin Asy-Syihab Az-Zuhri atau yang lebih terkenal dengan Az-Zuhri dinilai orang yang pertama kali dalam melaksanakan tugas pengkodifikasian hadis dari khalifah. Penkodifikasian ini terjadi pada tahun 100 H dibawah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Maksudnya awal pengkodifikasian secara resmi atas perintah Khalifah karena melihat sejak zaman rasul pun sebenarnya sudah pernah terjadi akan tetapi tidak formal.
Kemudian pengkodifikasian hadis tersebar di berbagai negeri islam pada abad ke 2 H. Tokohnya diantaranya ialah Abdullah bin Abdul Aziz bin Juraij di Mekah, Ibnu Ishak di Mekah, Abdurrahmab Abu Amr Al-Auza’i di Syria, Sufyan Ats-Tsauri di Kufah, Imam Malik bin Anas di Madinah.
Penghimpunan hadis pada abad ini masih tercampur dengan perkataan sahabat dan fatwanya. Berbeda dengan masa sebelumya yang masih berbentuk lembaran-lembaran (shuhuf). Yang hanya dikumpulkan tanpa adanya klasifikasi ke dalam beberapa bab atau materi secara tertib. Akan tetapi pada masa tabi’ain ini hadis sudah terhimpun dalam perbab.
Tulisan-tulisan hadis pada awal masa islam sangatlah penting untuk bukti sejarah serta dokumentasi ilmiah. Selain itu untuk membuktikan bahwa pada masa Rasulullah SAW sudah ada penulisan hadis walaupun masih belum formal seperti masa tabi’in ini.

d). Periode Tabi’ Tabi’in
Periode ini adalah pengikut Tabi’in yakni pada abad ke 3 H yang disebut ulama dahulu atau salaf. Sedangkan ulama pada abad berikutnya abad ke 4 H dan setelahnya disebut ulama belakangan atau kalaf. Pada periode ini disebut sebagai masa kejayaan hadis karena pada masa ini kegiatn rihla mencari ilmu dan sunah serta pembukuannya mengalami puncak keberhasilan yang pesat. Seolah-olah pada periode ini semua hadis telah terhimpun semua.
Dari latar belakang tersebut maka lahirlah buku induk enam. Maksud buku induk hadis enam ialah buku-buku hadis yang dijadikan pedoman oleh para ulama ahli hadis, enam kitab itu antara lain :
a). Al-jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H).
b). Al-jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri (204-261 H).
c). Sunan An-Nasa’i (215-276 H).
d). Sunan Abu Dawud (202-276 H).
e). Jami’ At-Tirmidzin (209-269 H).
f). Sunan Ibn Majah Al-Qazwini (209-276 H)
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis, sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis nabi dari yang hadis atau dari hadis nabi dari perkataan sahabat atau fatwanya dan dapat terfilterisasi antara hadis yang shahih dengan yang bukan hadis. Seolah-olah pada masa ini hampir seluruh hadis terhimpun dalam 1 buku, hanya sebagian kecil saja dari hadis yang belum terhimpun. Dan pada masa berikutnya mulai diadakan tindak lanjud dengan penghimpunan dan penertiban agar ilmu hadis menjadi lebih sempurna.

B. Penghafalan Hadis
Para sahabat dalam menerima hadis dari Nabi SAW. berpegang pada kekuatan hapalannya, yakni menerimanya dengan jalan hapalan, bukan dengan jalan menulis hadis dalam buku. Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang disabdakan Nabi. Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan atau mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi. Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Disisi lain ada riwayat yang menunjukkan pula bahwa Rasulullah saw melarang penulisan al-Hadits sebagaimana hadits dari Abu Said al Khudri Dari Abu Said Al-Khudri, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, Janganlah kalian semua menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya (Shahih Muslim Juz II, hal 710, Musnad Ahmad Juz III, hal 12 dan 21).
Adanya larangan penulisan al-Hadits ini secara lahir kontradiksi dengan fakta penulisan al-Hadits dan perintah penulisan al-Hadits. Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Dalam hal ini setidaknya terdapat tiga pendapat antara lain; (a) Hadits pelarangan telah di-nasakh dengan hadits perintah, hal ini didasarkan atas fakta bahwa hadits perintah khususnya hadits Abu Syah disampaikan setelah Fathu al-Makkah, (b) larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummi atau kurang mampu menulis sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan, (c) pendapat ketiga menyatakan bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis al-Hadits bersama dengan al-Quran, karena hal ini dapat menimbulkan kerancuan.
Berkaitan dengan ketiga pendapat tersebut menarik disimak pendapat dua orang pakar Hadits kontemporer yaitu Dr. Nuruddin Itr dan Prof. Dr. Muhammad Musthafa Azami. Menurut Dr. Nurudin Itr, pendapat yang menyatakan bahwa hadits tentang pelarangan telah mansukh dengan hadits perintah tidak dapat menyelesaikan persoalan. Karena seandainya larangan penulisan al-Hadits telah di-nasakh dengan hadits perintah niscaya tidak ada lagi sahabat yang enggan menulis al-Hadits sesudah wafat Rasulullah saw. Bagi para pencari hadits, hal ini akan menjadi argumen mereka menghadapi para sahabat yang enggan menulis al-Hadits, sebab para pencari hadits ini sangat besar keinginannya untuk membukukan hadits. Karena itu, jalan penyelesaiannya adalah bahwa penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan al-Hadits tidak lain karena adanya illat khusus. Ketika illat itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illat yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Quran karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis.
Untuk memperkuat argumen ini Nurudin Itr mengutip pernyataan Umar bin Al-Khaththab sebagai mana diriwayatkan oleh Urwah bin Zubair: Kata Umar: Sesungguhnya saya pernah berkeinginan untuk menuliskan sunnah-sunnah Rasulullah saw, tetapi aku ingat bahwa kaum sebelum kamu menulis beberapa kitab lalu mereka menyibukkan diri dengan kitab-kitab itu dan meninggalkan kitab Allah. Demi Allah saya tidak akan mencampuradukkan kitab Allah dengan sesuatu apapun buat selama-lamanya"
Sedangkan Prof. Muhammad Musthafa Azami berpendapat bahwa larangan penulisan al-Hadits berlaku untuk penulisan hadits bersama al-Quran dalam satu naskah. Hal ini karena dikhawatirkan akan terjadi percampuran antara Hadits dengan al-Quran. Ada dua argumen yang disampaikan Azami, pertama bahwa Nabi mengimlakkan sendiri haditsnya. Ini berarti penulisan al-Hadits pada dasarnya tidak dilarang. Kedua, adanya penulisan al-Hadits yang dilakukan oleh banyak sahabat yang telah direstui oleh Rasulullah saw. Berdasarkan dua alasan tersebut secara umum penulisan Hadits tidak dilarang, adanya pelarangan bersifat khusus yaitu menulis Hadits bersama al-Quran.
Hampir semua orang Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis dalam berbagai disiplin keilmuan Islam seperti tafsir, fiqh, teologi, akhlaq dan lain sebagainya. Sebab secara struktural hadis merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an, dan secara fungsional hadis dapat berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat yang mujmal atau global. Hal itu dikuatkan dengan berbagai pernyataan yang gamblang dalam al-Qur’an itu sendiri yang menunjukkan pentingnya merujuk kepada hadis Nabi, misalnya Q.S al-Ahzab [33]: 21, 36, al-Hasyr [59]: 7.
Akan tetapi ternyata secara historis, perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Jika al-Qur’an sejak awalnya sudah diadakan pencatatan secara resmi oleh para pencatat wahyu atas petunjuk dari Nabi, dan tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisannya, maka tidak demikian halnya dengan hadis Nabi. Jika, al-Qur’an secara normatif telah ada garansi dari Allah, dan tidak ada keraguan akan otentisitasnya, maka tidak demikian halnya dengan Hadis Nabi, yang mendapatkan perlakuan berbeda dari al-Qur’an. Bahkan dalam kitab kitab hadis, terdapat adanya pelarangan penulisan hadis. Hal itu tentunya mempunyai impliksi-implikasi tersendiri bagi transformasi hadis, terutam pada zaman Nabi.
Kenyataan tersebut di atas merupakan isu penting dalam sejarah hadis. Sebab hal itu memberi pengaruh penting terhadap gaya atau model periwayatan hadis, jumlahnya, kemungkinan pemalsuannya, baleh tidaknya mengambil hadis sebagai hujjah, serta berbagai masalah lain yang terkait di dalamnya. Memang nampaknya harus diakui bahwa hadis selalu menjadi kajian yang problematik dan menarik bagi para pemikir muslim ataupun non muslim, baik yang mengkajinya sebagai pembela maupun sebagai penentangnya.
Untuk itu melalui tulisan ini, penulis akan melihat bagaimana sebenarnya problem mengenai pelarangan penulisan hadis, bagaimana bentuk transformasi hadis zaman Nabi, dan implikasinya terhadap transformasi perjalanan hadis pada masa Nabi.
Di antara hadis yang melarang penulisan hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri yang artinya sebagai berikut: Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasul saw, bersabda, “Jangan kamu menulis darikut kecuali al-Qur’an. Barang siapa yang menulisnya hendaknya ia menghapuskannya.
Demikian salah satu hadis yang menyatakan pelarangan penulisan hadis. Apabila ditinjau dari hadis ini, maka dapat diprediksikan bagaimana implikasinya terhadap penulisan dan pembukuan hadis. Ulama kontemporer seperti Muhammad Syharur, misalnya memaknai larangan hadis tersebut sebagai suatu isyarat bahwa hadis itu sebenarnya hanyalah merupakan ijtihad Nabi yang syarat dengan situasi sosio-kultural dimana Nabi hidup.
Namun demikian, disamping ada hadis yang melarang menulisan hadis sebagaimana dikutip di atas, dalam bagian yang lain ada juga hadis-hadis yang menunjukkan kebolehan menulis hadis. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang artinya sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah Rasulullah saw. bangkit untuk berkhutbah di tengah orang banyak. Maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu Syah. Katanya, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku. “Kata Nabi, “Tuliskanlah untuknya”. Terhadap dua riwayat yang tampak saling bertentangan tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Sebagian menganggap bahwa larangan itu mutlak, tetapi sebagian ulama yang lain berusaha mengkompromikannya dengan mengembalikan persoalan tersebut kepada empat pendapat:
1. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis Abi Said Al-Hudri tersebut Mauquf (Hadits yang disandarkan kepada Sahabat), maka tidak patut untuk dijadikan alasan, untuk melarang penulisan hadis.
2. Larangan penulisan hadis berlaku hanya pada masa awal-awal Islam, karena dikhawatirkan bercampur dengan al-Qur’an. Sehingga ketika umat Islam telah menjadi banyak jumlahnya dan pengetahuan tentang al-Qur’an telah tinggi dan mampu membedakan dengan hadis, maka hilanglah kekhawatiran ini dan dihapuslah hukum pelarangan ini dengan hadis-hadis yang membolehkan pencatatan hadis. Hal ini dibuktikan oleh hadis Abu Syah tersebut yang diriwayatkan diakhir kehidupan Nabi. Ini berarti hadis yang melarang menulis hadis telah dihapus dengan hadis yang membolehkan untuk menulis hadis.
3. Ada juga ulama yang mengikuti pendapat bahwa pelarangan menulis hadis itu apabila hadis ditulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Karena biasanya ketika mereka (para sahabat) mendengar ta’wil ayat, mereka lalu menulis dalam sahifah yang sama dengan al-Qur’an. Hal ini tentu dapat menyebabkan adanya iltibas (campur aduk) antara ayat-ayat al- Qur’an dengan hadis, terutama bagi mereka yang tidak mempunyai cita rasa bahasa yang tajam.Dengan adanya larangan penulisan hadis tersebut pada hakekatnya Nabi mempercayai kemampuan para sahabat untuk menghafalkannya, dan Nabi khawatir seseorang akan bergantung pada tulisan, sedang pemberian izin Nabi untuk menulis hadisnya, pada hakekatnya merupakan isyarat bahwa Nabi tidak percaya kepada orang seperti Abi Syah, dapat menghafalkannya dengan baik.
4. Larangan itu bersifat umum, tetapi secara khusus diizinkan kepada orang-orang yang bisa baca tulis dengan baik, tidak salah dalam tulisannya, seperti pada Abdullah bin Umar.”
Para sahabat dalam menerima hadis dari nabi SAW berpegang pada kekuatan hafalannya, yakni dengan menerimanya dengan jalan dihafalkan, bukan dengan jalan menulis hadis dalm buku (mushaf). Sebab itu kebanyakan sahabat menerima hadis melalui mendengar dengan hati-hati apa yang telah disabdakan oleh nabi. Selanjutnya dari apa yang telah di sabdakan oleh nabi tersebut kemudian disampaikan kepada orang lain secara menghafal pula.
Ada beberapa faktor dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan menghafal hadis ini. Faktor tersebut antara lain : Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwariskan sejak praIslam dan mereka terkenal kuat hafalannya, kedua Rasul SAW banyak memberikan spirit melalui doa-doanya, ketiga seringkali ia menjanjikan kebaikan akhirat kepada mereka yang menghafal hadis dan menyanpaikan kepada orang lain. 6
Diantara sahabat yang paling banyak mengafal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan ibnu Jauzi jumlah bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang paling banyak hafalannya sesudah Abu Hurairah ialah :
1. Abdullah bin Umar bin Khathab sebanyak 2.635 buah hadis.
2. Anas bin Malik sebanyak 2.286 buah hadis.
3. Aisyah Ummi Mukminin sebanyak 2.210 buah hadis.
4. Abdullah bin Abbas sebanyak 1.660 buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah sebanyak 1.540 buah hadis.


6 Munazer Suparta, Op. Cit. hlm. 75-76.

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis hadits karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan ayat-ayat Al-Qur’an.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang penulisan hadits tersebut sudah dinaskh dengan hadits-hadits lain yang mengizinkannya. Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadits, namun hadits masih belum dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Keadaan demikian ini berlangsung sampai akhir Abad I H. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadits setelah agama Islam tersiar di daerah-daerah yang berjauhan bahkan banyak di antara mereka yang wafat. Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadits, yang pertama-tama menghimpun hadits serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di kota-kota besar yang lain. Penulisan dan pembukuan hadits Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan oleh ulama-ulama hadits pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar seperti kitab al-Muwaththa’,Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

B. Saran
Mengingat sangat terbatasnya kemampuan Penulis dalam menelaah berbagai literature Ulumul Hadits sehingga muatan dan pembahasan makalah ini sangat tidak sempurna. Oleh karena itu , penulis sangat mengharap kepada pihak pembaca makalah ini kiranya memberi masukan, perbaikan, dan penyempurnaan seperlunya. Terima kasih















loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929