loading...

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN HAK ASASI MANUSIA

December 05, 2018
loading...
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
BAB II Pembahasan 3
A. Pengertian Hak Asasi Manusia 3
B. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Pelaggaran Hukum 4
C. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia 5
BAB III Penutup 15
A. Kesimpulan 15
Daftar Pustaka.

BAB I
PEMBUKAAN


A. Latar Belakang.
Terkadang kita sering mendengar istilah hak dalam kehidupan sehari-hari. Hak seseorang biasa disebut sebagai suatu fitrah yang telah melekat sejak lahir yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang terdapat pada manusia dari lahir disebut Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia telah melekat pada diri manusia sejak dia lahir dan akan berakhir saat seseorang ini meninggal dunia. Banyak masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang saat ini sedang gencar diperbincangkan di media sosial dan elektronik. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai kita melakukan pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau pemenuhan hak asasi manusia pada diri kita sendiri.
Piagam Hak Asasi Manusia Indonesia vide Tap MPR No.XVII/MPR/1998 mengatakan:
“Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa . Hak asasi manusia meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak-hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapapun”.
Namun demikian, banyak sekali kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Indonesia. Padahal Indonesia adalah negara hukum dan juga telah mempunyai peraturan sendiri yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia diantaranya adalah UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, dll yang kesemuanya melindungi hak yang terdapat pada Seseorang sebab hak asasi manusia tidak boleh dilanggar walau sedikitpun.
Walaupun instrumen pendukung penegakan hak asasi manusia telah banyak yang di undangkan. Tatapi pada proses penerapannya dirasa masih belum efektif, seperti masih adanya pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dan ini juga menjadi permasalahan yang harus diangkat dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di tarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hak asasi manusia dan pelanggaran hak asasi manusia?
2. Apa saja perbuatan yang termasuk kedalam pelanngaran hak asasi manusia?

C. Tujuan Penulisan.
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan hak asasi manusia dan pelanggaran hak asasi manusia.
2. Untuk mengetahui apa saja perbuatan yang termasuk kedalam pelanggaran hak asasi manusia.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia pada umumnya kita ketahui adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia sejak Ia lahir, tanpa hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Definisi hak asasi manusia secara klasik dan yang sering dipakai dan dikutip adalah:
“A human right by definition is a uniaversal moral right, something which al1 men, everywhere, at all times ought to have, sometiing of which no one may deprived without a grave affront to justice, something which is owing to every human being simply because he (she) is human” .
Dari pengertian yang dinyatakan Cranston diatas, hak asasi manusia adalah hak moril universal, dikatakan begitu kareana pemahaman atas hak asasi manusia harus berlaku secara universal (untuk semua orang, waktu dan tempat) dan di miliki oleh semua manusia dimanapun, baik itu laki-laki maupun perempuan karena fokusnya adalah hak manusia itu sendiri.
Menurut John Locke hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa:
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Dalam penjelasan pasal tersebut hak asasi manusia adalah hak yang bersasal dari tuhan yang maha esa dan harus di lindungi oleh negara yang harus menjujung tinggi prinsip keadilan, kesetaraan demi menjaga harkat martabat manusia.
B. Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Pelanggaran Hukum.
Pengertian hukum menurut para ahli ada berbagai macam. Menurut E.M Meyers,
“Hukum adalah aturan yang mengadung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa Negara dalam melakukan tugasnya”
Sedangkan menurut J.C.T Simorangkir,
“Hukum adalah peraturan – peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan – badan resmi yang berwajib dan pelanggaran terhadap pereturan tadi berakibat diambilnya tindakan dengan hukum tertentu”.

Berdasarkan pendapat ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang bersifat mengikat dan memaksa yang ditujukan untuk mengatur perilaku manusia serta memiliki sanksi bagi pelanggarnya.
Berdasarkan penjelasan diatas yang dimaksud dengan pelanggaran hukum dapat penulis artikan sebagai suatu perbuatan melanggar norma atau aturan yang telah ada di masyarakat baik itu norma yang berkembang atau pun peraturan yang di buat oleh institusi negara yang ditujukan untu mengatur pola prilaku kehidupan bermasyarakat dan hukuman bagi pelanggarnya adalah dapat di pertanggung jawabkan perbuatannya.
Perbuatan yang melanngar hukum dapat berbentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang- undang Nomor. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah:
“setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Menurut Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia, Pelanggaran hak asasi manusia adalah:
“setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Jadi dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan yang di lakukan oleh individu ataupun kelompok atau pun institusi negara secara sengaja ataupun lalai yang secara hukum mengurangi, membatasi manghalangi hak warga negara.

C. Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Bentuk- bentuk pelanggaran hak asasi manusia terdapat berbagai macam, antara lain yaitu:
1. Kejahatan Kemanusian
Kejahatan terhadap kemanusian termasuk kedalam pelanggaran hak asasi manusia berat, di karenakan perbuatan ini secara langsung dan serius mengancam umat manusia. Pada tahun 1968, terdapat sebuat deklarasi yang menyatakan pertama kali istilah mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yaitu Petersburg Declaration. Sebagai suatu konsep pidana, kejahatan kemanusian awalnya di kembangkan dalam konteks hukum perang, yaitu berdasarkan Konvensi Den Haag 1907 yang merupakan konvensi dari hukum kebiasaan mengenai konflik bersenjata. Konvensi ini menyatakan bahwa hukum kemanusian (law humanity) merupkan dasarperlindungan bagi pihak kombatan maupun penduduk sipil dalam suatu konflik bersenjata .
Sejarah penghukuman terhadap kejahatan serius telah digarap, baik di tingkat domestik maupun internasional. Salah satu yang pertama adalah Pengadilan Leipzig pada tahun 1921, yang dilakukan oleh Mahkamah Agung Jerman berdasarkan perjanjian Versailles, yang mengadili pada penjahat perang Jerman pada perang dunia pertama . Paska Perang Dunia II, terbentuk berbagai peradilan internasional untuk mengadili berbagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni Pengadilan Nuremberg dan Pengadilan Tokyo (International Military Tribunal for the Far East/IMTFE). Pengadilan Nurenberg telah mengahsilkan piagam nurenberg yang berisikan menganai perbuatan yang termsuk kedalam kejahatan kemanuisan anara lain:
“Crimes against humanity: namely murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against civilian populations, before or during the war; or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated”
Berdasarkan pernyataan nurenberg, yang di maksud dengan kejahatan kemanusiaan adalah, segala perbuatan pembunuhan, pemusnahan dalam hal ini dapa berupa pemukiman atau pun etnis, perbudakan terhadap manusia, mengusir warga yang tinggal di suatu daerah dan segala jenis perbuatan tidak manusiawi lainnya.
Pada tahun 1993 dunia internasional membentuk ICTY, sebuah pengadilan bentukan PBB untuk mengadili para pelaku kejahatan perang yang terjadi selama konflik di semenanjung balkan pada medio 1990an. Pengadilan ini mengadili lebid dari 160 pelaku, termasuk kepala negara, perdana menteri, pimpinan militer, pejabat pemerintah dan lainnya ats tuduhan tindakan pembunuhan dan dakwaan lainya yang termaktub dalam Statuta ICTY. Sementara di Rwanda dibentuk juga ICTR yang juga pengadilan bentukan PBB yang mengadili pelaku kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan pelanggaran terhadap hukum humaniter initernasional. Pada tahun 1994 ICTR mengadili lwbih dari 72 pelaku . Adapun isi dari Statuta ICTY dan ICTR adalah:
Statuta ICTY:
“...perbuatan-perbuatan yang dilakukan pada saat konflik bersenjata, baik internasional maupun internal, dan ditujukan terhadap penduduk sipil: a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Deportasi; e. Pemenjaraan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang; f. Penyiksaan; g. Perkosaan; h. Persekusi yang didasari oleh politik, ras dan agama; i. Tindakan tidak manusiawi lainnya” .
Statuta ICTR:
“...Perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang berdasarkan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama : a. pembunuhan; b. pemusnahan; c. perbudakan; d. deportasi; e. Pemenjaraan atau perampasan kemerdekaan sewenang-wenang; f. Penyiksaan; g. Perkosaan; h. Persekusi yang didasari oleh politik, ras dan agama; i. Tindakan tidak manusiawi lainnya” .
Pada piagam Nurenberg, Statuta ICTY dan ICTR mengandung unsur perbuatan yang hampir mirip, dimana yang di kategorikan sebagai kejahatan kemanusisan menyangkut bahwa perbuatan itu merupakanbentuk serangan kepada penduduk sipil (civilian population) dan terjadi sebelum perang ataupun selama perang terjadi bahkan stelah perang terjadi baik konflik bersenjata internal maupun eksternal.
Pada tahun 1998, puncak dari perkembangan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan yang di sahkannya Statuta Roma 1998 pada konfrensi Diplomatik PBB 17 Juli 1998 . Adapun isi dari Statuta Roma 1998 tentang kejahatan kemanusian terdapat dalam Pasal 7 ayat (1), adalah sebagai berikut:
“…salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dan kelompok penduduk sipil tersebut mengetahui akan terjadinya serangan itu:
(a) Pembunuhan;
(b) Pemusnahan;
(c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
(e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
(g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;
(h) Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;
(i) Penghilangan paksa;
(j) Kejahatan apartheid;
(k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik”
S tatuta Roma 1998 merumuskan Kejahatan Kemanusiaan dengan element-element prinsip (Chapeau Element), yang membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dengan kejahatan biasa yakni kejahatan ini haruslah dilakukan dalam konteks serangan yang meluas atau sistematis kepada penduduk sipil, dan aspek pengetahuan dari pelaku, serta Statuta Roma 1998 menambahkan bentuk kejahatan penghilangan paksa dan kejahatan apartheid .
Di Indonesia, kejahatan Kemanusian diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang peradilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini memberi definisi mengenai kejahatan kemanusian sebagai berikut:
“…salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asa) ketentuan pokok hukum intemasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasaan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, efnls, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid;
Secara umum perumusan tersebut merujuk pada Statuta Roma 1998, sebagaimana juga dinyatakan dalam Penjelasan UU No 26 Tahun 2000 bahwa, kejahatan ini sesuai dengan ‘Rome Statute of The Intemational Criminal Court’. Namun pengadopsian ini menghilangkan unsur-unsur fundamental dan mengandung penyempitan interpetasi dari Statuta Roma 1998 .
2. Kejahatan Genosida.
Dalam hukum internasional, kejahatan genosida merupakan salah satu kejahatan yang dianggap paling mengancam umat manusia. Istilah Genosida diperkenalkan oleh Raphael Lemkin pada konferensi internasional pada tahun 1933 untuk memasukkan tindakan “serangan terhadap kelompok bangsa agama, dan etnis” sebagai kejahatan internasional. Istilah ‘genosida’ sebenarnya berasal dari bahasa Yunani “genos”– yang berarti ras/suku, dan “cide” dari bahasa Latin yang berarti pembunuhan . Raphael Lemkin memberi definisi terhadap kejahatan Genosisda sebagai berikut:
“Genosida berarti pemusnahan kelompok etnis ... Secara umum, Genosida tidak harus berarti pemusnahan yang segera terhadap suatu bangsa. Ini diartikan sebagai adanya unsur niat yang sudah direncanakan lebih dahulu melalui berbagai tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama kehidupan kelompok suatu bangsa. Cara pelaksanaannya biasanya dengan cara memecah belah institusi politik dan sosial, budaya, bahasa, perasaan kebangsaan, agama dan lain-lain… dan pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat dan bahkan kehidupan individu dari suatu kelompok.”
Pegertian genosida juga tertulis dalam konvensi Genosida sebagai berikut:
“Tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, etnis, ras dan agama”. Tindakan itu mencakup antara lain; (a) pembunuhan anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan serius terhadap jiwa dan mental anggota kelompok; (c) Secara sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bertujuan untuk melakukan kemusnahan secara fisik baik keseluruhan maupun sebagian; (d) mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; dan (e) dengan paksa mengalihkan anak-anak dari kelompok itu ke kelompok yang lain.”
Statuta Roma 1998 juga memberikan pengertian terhadap Kejahatan Genosida yaitu:
“Setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau keagamaan, seperti misalnya: (a)Membunuh anggota kelompok tersebut; (b) Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompoktersebut; (c) Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk sebagian; (d) Memaksakan tindakan-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut; (e) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain.
Dari ketiga pengertian diatas, dapat di simpulkan bahwa yang dimaksud dengan kejahatan genosida adalah pembunuhan satu orang atau lebih yang berasal dar suatu bangsa tertentu, etnis, ras atau agama tertentu, dengan diiringi niat untuk menghancurkan baik seluruh maupun sebagian kelompok bangsa tersebut, etnis, suku dan agama tersebut, dan tindakan itu terjadi dalam suatu pola manifes dari tindakan serupa yang diarahkan kepada kelompok tersebut untuk tindakan tersebut merupakan tindakan yang bisa berakibat pada kehancuran kelompok- kelompok tersebut.
Di Indonesia kejahatan Genosida telah diatur dalam undang- undang nomor 26 tahun 2000 tentang peradilan hak asasi manusia. Undnag- undang ini merumuskan kejahatan genosida sebagai:
“setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain”.
Secara umum definisi kejahatan genosida dalam UU ini menyerupai perumusan dalam Statuta Roma 1998, termasuk ketetentuan mengenai tindakan percobaan, permufakatan jahat serta pembantuan untuk melakukan kejahatan ini,yang dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku kejahatan genosida. Salah satu catatan dalam perumusan ini adalah terkait dengan kata ‘destroy’ sebagaimana dalam Statuta Roma diterjemahkan dengan ‘menghancurkan’ dengan penambahan kata ‘atau memusnahkan’.
3. Penggusuran Paksa
Komunitas internasional telah lama mengakui bahwa pengusiran-paksa adalah persoalan yang serius. Pada tahun 1976, Konferensi Pemukiman Manusia PBB mencatat perlunya perhatian khusus pada “pelaksanaan operasi-operasi pembersihan besar haruslah saat konservasi dan rehabilitasi tidak memungkinkan dan ukuran-ukuran relokasi telah ditentukan”. Pada tahun 1988, dalam Strategi Global Pemukiman tahun 2000, yang disahkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 43/181, “kewajiban fundamental (pemerintah) untuk melindungi dan mengembangkan kawasan pemukiman dan lingkungan sekitarnya, bukannya merusak atau menghancurkannya” diakui. Agenda 21 menyatakan bahwa “setiap orang harus dilindungi oleh hukum dari pengusiran-paksa dari rumah atau tanah mereka.” Dalam Agenda Pemukiman, Pemerintah-pemerintah menyatakan-diri “melindungi semua orang dari, dan memberikan perlindungan dan pemulihan oleh hukum dari pengusiran-paksa yang bertentangan dengan hukum, menjadikan hak asasi manusia pertimbangan; (dan) jika pengusiran itu tidak dapat dihindarkan, memastikan dengan cermat bahwa solusi-solusi alternatif yang sesuai sudah disediakan.” Komisi Hak Asasi Manusia juga telah mengindikasikan bahwa “penggusuran paksa adalah sebuah pelanggaran berat hak asasi manusia.”
Merupakan hal yang wajar jika penggusuran paksa dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia karena di dalam hak atas perumahan terhadap berbagai hak lain yang terkait, sehingga harkat dan martabat sebagai seorang manusia dapat hilang dengan penggusuran paksa. Meskipun demikian di Indonesia penggusuran paksa belumlah dianggap sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Hal tersebut karena Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 7 hanya mengkategorikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat berupa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.


4. Human Trafficking (Perdagangan Manusia)
Permasalahan peradagangan manusia diatur dalam Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001. Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyeludupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyeludupan orang (people smugling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking).
Di Indonesia permasalahan perdagangan manusia diatur dalam Undang- undang No. 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang menegaskan, perdagangan manusia adalah:
“tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan dengan memanfaatkan posisi rentan, penjeratan utang atau membeli bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam daerah dan di luar daerah, maupun antarnegara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Penguatan komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002, tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO)
5. Perbudakan (Enslavement)
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, definisi perbudakan dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang . Di dalam penjelasan umum Undang- undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidanan perdagangan orang dijelaskan definisi dari perbudakan sebagai berikut:
“Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain sehingga orang tersebut tidaak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.”
Pada saat ini perbudakan termasuk kedalam perdagangan manusia atau human trafficking, karena termasuk kedalam perbuatan eksploitasi manusia yang menjadi salah satu tujuan perdagangan manusia.
Dalam aspek perlindungan pekerja anak dari perbudakan, sebagai anggota Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization (ILO), Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) (“UU 1/2000”). Negara anggota ILO yang mengesahkan konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektifu ntuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, yakni salah satunya adalah segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan.

BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan.
Hak asasi manusia adalah hak yang bersasal dari tuhan yang maha esa dan harus di lindungi oleh negara yang harus menjujung tinggi prinsip keadilan, kesetaraan demi menjaga harkat martabat manusia. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Bentuk- bentuk pelanggaran hak asasi manusia terdapat berbagai macam, antara lain yaitu:
1. Kejahatan kemanusiaan.
2. Kejahatan genosida.
3. Penggusuran Paksa.
4. Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
5. Perbudakan

B. Saran.
Hak asasi manusia adalah hak yang merupakan anugerah dari yang maha kuasa dan harus di lindugi oleh pemerintah dan sesama manusia, oleh karena itu dalam setiap pelanggaran manusia harus di usut secara tuntas oleh penegak hukum demi terwujudnya prinsip keadilan, kesetaraan antar sesama umat manusia. Baik itu pelanggaran ringan maupun pelanggaran berat, karena akan berimplikasi pada kehidupan berbangsa dan bernegara.

DAFTAR PUSTAKA

Zainal Abidin, Supriyadi Widodo Eddyono, Degradasi Extra Ordinary Crimes- Problematika Perumusan Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap kemanusian dalam RKUHP, Institute for Criminal Justice Reborn; Jakarta 2017
Zainal Abidin, Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia dan Negara-Negara Lain, Jurnal Dignitas, Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat Masa Lalu’, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2012
Mahkamah Agung, Pedoman Unsur-Unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando,( Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2006)
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, 3 Maret 2005 ,Tulisan Kurniawan Kunto Yuliarso dan Nunung Prajarto, Hak Asasi Manusia di Indonesia Menuju Deocratic Governance
UN Security Council, Statute of the International Tribunal for Former Yugoslavia, 25 Mei 1993
UN Security Council, Statute of the International Tribunal for Rwanda, 8 November 1994
UN General Assembly, Rome Statute 1998
Undang- undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia
Undang- undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929