loading...

model-model evaluasi

March 27, 2017
loading...

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Model–model ini lahir bersamaan dengan perkembangan bidang studi evaluasi kurikulum di amerika serikat dan kemudian diikuti oleh inggris dan Australia. Mengingat literature yang ditulis yang digunakan penulis maka sejarah singkat perkembangan model-model tersebut terutama menggambarkan perkembangan model-model evaluasi kurikulum di tiga negara tersebut. Perkembangan evaluasi kurikulum di Indonesia dikemukakan berdasarkan literatur yang dapat dikumpulkan dan berdasarkan pengalaman penulis. Keterbatasan informasi mengenai perkembangan evaluasi kurikulum di Indonesia memang merisaukan dan semoga menjadi pemicu bagi kita untuk memperhatikan bidang evaluasi kurikulum lebih seksama dan mempublikasikan hasil evaluasi tersebut.
Dalam makalah ini penulis mencoba menyajikan sedemikian rupa model-model hasil evaluasi belajar. Sehingga nantinya dapat menambah pengetahuan tentang model-model hasil evaluasi belajar dari berbagai para tokoh, dan khusunya untuk calon guru agar dapat menjadi ppedoman dalam mengevaluasi proses pembelajaran.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari pemaparan yang telah dijabarkan dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat merumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
l. Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam model evaluasi belajar ?
2. Bagaimanah bentuk model-model evaluasi dari masing-masing para tokoh ?





iii
C. Tujuan Pembahasan
1. Mahasiswa dapat memahami siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam model evaluasi belajar.
2. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk model-model evaluasi dari masing-masing para tokoh.
D. Manfaat Penulisan Makalah
1. Manfaat bagi penulis:
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah pengembangan evaluasi pembelajaran.
b. Sebagai bahasan mata kuliah pengembangan evaluasi pembelajaran.Dan memahami
isi dari setipa macam-macam model dari para ahli.
c. Untuk pembekalan dalam mengevaluasi hasil belajar siswa – siswi di Sd/Mi.

2. Manfaat bagi pembaca:
a. Untuk pemahaman mengenai pembahasan model- model evaluasi hasil belajar
b. Sebagai bahasan mata kuliah pengembangan evaluasi pembelajaran.
c. Sebagai pembekalan dalam mengevaluasi hasil belajar siswa – siswi di Sd / Mi

BAB II
PEMBAHASAN
A. Model CIPP (context, input, procces, product)
Model ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oeh Stufflebeam. Pada waktu memimpin tim tersebut, Stufflebeam bekerja sebagai professor di the Ohio State University.Meskipun demikian, tim yang dipimpinnya tersebut terdiri dari para sarjana yang bekerja diberbagai universitas dan salah satu anggotanya, Ghephart, adalah sarjana yang bekerja di Phi Deta Khappa (PDK). Organisasi ini pula mengembangkan pemikiran tentang evaluasi pendidikan.
Pokok-pokok pikiran awal CIPP yang dikembangkan tim PDK masih tetap merupakan ciri dari CIPP yang disederhanakan. Oleh karena itu, pembehasan mengenai CIPP ini tidak akan membandingkan antara keduanya. Pembahasan keduanya dilakukan bedasarkan model yang dikembangkan terakhir. Sesuai dengan namanya, model ini terbentuk dari 4 jenis evaluasi yaitu evaluasi context, input, procces, dan product. Keempat evaluasi ini merupakan suatu rangkaian keutuhan. Tetapi seperti dikemukakan oleh Stufflebeam, dalam pelaksanaan seorang evaluator dapat saja hanya melakukan satu jenis atau kombinasi dari dua atau lebih jenis evaluasi itu. Artinya, seorang evaluator tidak selalu harus menggunakan keempatnya. Walaupun dianjurkan demikian, karena model ini dikembangkan berdasarkan suatu pandangan tentang kegiatan kurikulum sebagai sesuatu dalam dimensinya yang utuh, pelaksanaan keempat jenis evaluasi model ini merupakan hal yang diharapkan. Lagipula, kekuatan model sebetulnya terletak dari rangkaian kegiatan keempat jenis evaluasi itu. Keempat tugas evaluator itu seperti yang tampak pada tabel 8.5
Context Evaluator mengidentifikasi berbagai faktor guru, siswa, manajemen, fasilitas kerja, peraturan, komite sekolah, dan faktor lain yang berpengaruh terhadap kurikulum.
Input Evauator menentukan tingkat pemanfaatan berbagai fakto yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenaienjadi dasar bagi evaluator untuk menentuksn apakah perlu ada pergantian kurikulum.
Procces Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keteraksanaan implementasi kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan dalam kekuatan prooses implementasi.
Product Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai hasil belajar,membandingkannya dengan standar dan mengambi keputusan mengenai status kuikulum ( direvisi,diganti,atau dilanjutkan ).
B. Stake’s Model
Model countenance adalah model pertama evaluasi kurikulum yang dikembangkan stake. Dalam tulisannya, Stake tidak memberikan nama khusus terhadap model ini. Model Stake dikelompokan sebagai model evaluasi kuantitatif karena pada awalnya model ini dikembangkan dengan pendekatan kuantitatif. Apabila kemudian ada evaluator yang ingin menggunakan model ini dengan menggunakan kualitatif tentu saja hal tersebut dapat dilakukan. Oleh karena itu, penempatan model ini dalam kelompok model kuantitatif besifat “ arbitrary” dan tidak perlu dianggap sebagai sesuatu yang mutlak. Dalam model ini jelas Stake masih mengutamakan proses kuantitatif dan pendekatan kuantitatif dalam mengumpulkan data. Bahkan mengenai pertimbangan yang diberikan berbagai kelompok sumber haruslah dikumpulkan secara objektif; suatu sikap yang berubah ketka ia kemudian lebih cenderung menggunakan model-model kualitatif. Seperti diungkapkannya ketika ia menguraikan tentang pertimbangan ( Stake, 1972:95) :
Evalution will seek out and record the opinions of persons of special qualification. These opinions, though subjective, can be very useful and can be gathered objectively, independent of the solicitor’s opinions.
Dalam model ini Stake lebih menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi pengukuran yang behavioristik dan kuantitatif. Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama dinamakan matriks deskripsi dan yang kedua dinamakan Matriks pertimbangan. Matriks pertmbangan baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks deskripsi diselesaikan.



C. Scriven’s Model
Scriven mengemukakan model Goal Free Evaluation (GFE). Maksudnya model GFE ini bahwa penilai mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau konkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan. Perhatian khusus diberikan secara tepat terhadap usulan tujuan-tujuan dalam evaluasi, tetapi tidak dalam proses evaluasi atau produk. Keuntungan yang dapat diambil GFE, bahwa GFE para penilai mengetahui antispasi pengaruh-pengaruh penting tarhadap tujuan dasar dari penilai yang menyimpang.

D. The CSE Model OF Evaluation
CSE merupakan singkatan dari center for study of evalution. CSE evalution model menekankan pada lima tahap yang dilakukan,yaitu: Perencanaan, Pengembangan, Impleentasi, Hasil dan Dampak. Menurut fernandes seperti yang dikuti dari arikunto menjelaska bahwa model CSE menjadi empat tahap, yaitu:
1. Need Assessment.
2. Program Lanning.
3. Formative Evalution.
4. Sumatif Evalution.

E. Alkin’s model
Alkin termasuk salah seorang yang aktif dalam evaluasi. Pendekatan yang dilakukannya memiliki keunikan dibandingkan pakar evaluasi lainnya dimana ia selalu memasukkan unsur pendekatan ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Sebagaimana pendekatan sistem pada umumnya, alkin membagi model ini atas tiga komponen yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara ( mediating ), dan keluaran (hasil). Dalam model ini, alkin juga mengenal adanya sistem internal yang meruupakan interaksi antara komponen yang langsung berhubungan dengan pendidikan, dan juga system luar (external) yang mempunyai pengaruh dan dipengaruhi oleh pendidikan. Mengenai sistem luar ini alkin menulis:
By “ external systems ’’ we mean the framework of social, political, legal, economic, and other systems outside of the school, formal or informal, which encompass the program, have impact upon it, and are in turn, modified-by the outputs of the program.
Model ini dikembangkan berdasarkan empat asumsi. Keempat asumsi tersebut ialah:
1) Variabel perantara adalah merpakan satu-satunya kelompok variabelang dapat di manipulasi.
2) Sistem luar tidak langsung dipengaruhi oleh kelaran sistem (persekolahan).
3) Para pengambil keputusan sekolah tidak memiliki control mengenai pengaruh yang diberikan sistem luar terhadap sekolah.
4) Faktor masukan mempengaruhi aktivitas faktor perantara dan pada gilirannya faktor perantara berpengaruh terhadap faktor keluaran.
Keempat asumsi tersebut harus terpenuhi sebelum model alkin dapat digunakan. Pemahaman model alkin dan penerapannya memerlukan pengertian yang benar mengenai setiap komponen yang ada dalam model. Sistem luar (external) adalah sistem yang mempengaruhi sistem dalam (internal) maupun sebagai sistem yang dipengaruhi oleh keluaran sistem internal. Fakto masukan terdiri atas komponen masukan peserta didik dan masukan keuangan, dan keduanya adalah masukan penting yang berpengaruh terhadap proses atau faktor perantara. Faktor perantara adalah faktor yang manggambarkan terjadiya suatu proses interaksi dari berbagai komponen pada faktor masukan. Tentu saja proses interaksi ini sangatlah menentukan hasil belajar atau faktor keluaran. Keluaran sistem terdiri atas keluaran peserta didik maupun keluaran bukan peserta didik.
F. Ralp Tyler’s Mod
Model tyler dinamakan Black Box karena tidak ada nama resmi yang diberikan oleh pengembangnya. Tyler, yang mengajukan model ini menuliskan buah pikirannya tersebut tidak dalam suatutulisan lepas mengenai evaluasi kurikulum. Ia mengemukakan pikirannya mengenai model evaluasi kurikulum tersebut dalam suatu buku kecil tentang kurikulum. Dengan buku kecil itu pula namanya terangkat sebagai seorang ahli yang disegani baik dalam kurikulum maupun evaluasi. Model yang dikemukakannya dibangun atas dua dasar, yaitu: evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku peserta didik dan evluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserrta didik sebelum suatu pelaksanaan kurikulum seta pada saat peserta didik telah melaksanakan kurikulum tersebut. Denga kedua dasar ini, tyler ingin mengatakan bahwa evaluasi kurikulum yang sebenarnya hanya berhubungan dengan hasil dimensi belajar.
Dengan dasar evaluasi yang kedua, Tyler rmenghendaki evaluator dapat menentukan perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum. Karena itu evaluasi yang menggunakan model tyler mestinya memerlukan informasi perubahan tingkah laku pada dua titik waktu. Dalam istiah yang banyak digunakan ekarang banyak diperlukan adanya pretest dan posttest untuk mengumpulkan kedua informasi tersebut. Dalam kata-katanya sendiri tyler menulis:
On this basis, On is not able to evaluate an instructional program by testing students by only at the end of the program. Without knowing wher the students were at the beginning, it is not possible to tell how fo changes have taken place.
Informasi yang diperoleh dari tes awal merupakan gambaran kemampuan awal peserta didik sedangkan informasi yang diperoleh darites akhir menggambarkan perubahan perilaku yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti proses pendidikan melalui kurikulum tersebut.

G. Molcom’s Provus model
Evaluasi kesenjangan program, begitu orang menyebutnya. Kesenjangan program adalah sebagai suatu keadaan antara yang diharapkan dalam rencana dengan yang dihasilkan dalam pelaksanaan program. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut (Eko Putro Widoyoko: 2009).
Dengan demikian tujuan dari model ini adalah untuk menganalisis suatu program sehingga dapat ditentukan apakah suatu program layak diteruskan, ditingkatkan dan sebaliknya yang disesuaikan dengan standar, performance, dan discrepancy



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ada 7 model yang terdapat dalam pembahasan ini, diantaranya:
1. Model Cipp. Didalam model ini yang harus dikerjakan evaluator ada 4 meliputi context, input, process, product.
2. Stake’s Model. Dalam model ini Stake lebih menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam tradisi pengukuran yang behavioristik dan kuantitatif.
3. Scriven’s Model. Penilai mengambil dari berbagai laporan atau catatan pengaruh-pengaruh nyata atau konkrit dan pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan dalam program pendidikan dan pelatihan.
4. The CSE Model OF Evaluation. CSE evalution model menekankan pada lima tahap yang dilakukan,yaitu: Perencanaan, Pengembangan, Impleentasi, Hasil dan Dampak.
5. Alkin’s model. Alkin membagi model ini atas tiga komponen yaitu masukan, proses yang dinamakannya dengan istilah perantara ( mediating ), dan keluaran (hasil).
6. Ralp Tyler’s Mod. Tyler rmenghendaki evaluator dapat menentukan perubahan tingkah laku yang terjadi sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum.
7. Molcom’s Provus model. Evaluasi kesenjangan dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standard yang sudah ditentukan dalam program dengan penampilan aktual dari program tersebut

B. Saran
Pada penulisan makalah ini penulis sangat mengharapkan ketercapaian dalam pembahasan dan penulisan. Maka dari itu jika ada kesalahan ataupun terdapat kekurangan kritik dan saran sangatlah penulisan harapkan.





DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan, Hamid. 2009. Evaluasi Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya.
2. Widoyoko Putro Eko. 2009 Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929