loading...

MAKALAH FILSAFAH HUKUM ISLAM “SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM”

March 21, 2017
loading...
BAB II
PEMBAHASAN

A. Metode Hukum Islam
Metode adalah prosedur umum yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan didasari oleh asumsi tertentu.sedangkan yang di maksud dengan metode filsafat hukum islam adalah prosedur penggalian hukum islam yang didasari oleh asumsi dari epistemologi ajaran islam sebagai agama yang supra empirik.

B. Sumber Sumber Hukum Islam (Mashadir Al-Ahkam)
Sudah menjadi konsensus secara aksioma bagi umat islam di persada dunia bahwa sumber hukum itu ada dua, yakni al-Quran dan al-Sunnah; keduanya lazim disebut sebagai sumber utama ajaran islam. Akan tetapi, disamping dua sumber tersebut terdapat sumber-sumber lain yang menurut syamsul Anwar disebut sumber tambahan non-ilahi. Ini lazim disebut sebagai dalil hukum.
a. Sumber Hukum Islam Primer

1. Al-Quran Sumber Utama Hukum Islam
Perkataan al-Quran berasal dari kata kerja qaraa yang artinya dia telah membaca. Kata kerja ini berubah menjadi kata benda quran, yang secara harfiaah berarti bacaan atau sesuatu yang harus dibaca atau di pelajari. Membaca adalah salah satu usaha untuk menambah ilmu pengetahuan dan memahami pesan-pesan hukum didalamnya.
Para ulama medefinisikan al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi muhammad saw dalam bahasa arab dengan perantara malaikat jibril. Tujuan utama al-Quran adalah meletakkan suatu way of life yang mengatur hubungan manusia dengan dan manusia dengan Allah al-Quran memberikan arahan bagi kehidupan sosial manusia maupun tuntunan berkomunikasi dengan penciptanya.
Al – Quran adalah sebuah kitab petunjuk dan bimbingan agama secara umum. Oleh karena itu, ketentuan hukum dalam al-Quran tidak bersifat rinci, pada dasarnya ketentuan al-Quran merupakan kaidah-kaidah umum, adapun jumlah ayat al-Quran mencapai 6360 ayat. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan al-Quran sebagai sumber utama hukum islam berarti bahwa al-Quran menjadi sumber dari segala sumber hukum islam. Hal ini juga berarti bahwa penggunaan sumber lain dalam islam harus sesuai dengan petunjuk al-Quran dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh al-Quran.

2. Sunnah Nabi Muhammad Saw
Sumber hukum islam yang kedua adalah sunnah. Secara etimologis kata sunnah berasal dari kata berbahasa arab al sunnah yang berarti cara, adat istiadat ( kebiasaan), dan perjalanan hidup(syirah) yang tidak dibedakan antara yang baik dan yang buruk. Menurut ahli hadis sunnah berarti sesuatu yang berasal dari nabi saw yang berupa perkataan, perbuatan, penetapan, syifat, dan perjalanan hidup beliau baik pada waku sebelum di utus menjadi nabi maupun sesudahnya. Sesuia dengan definisinya bentuk sunnah ada tiga macam yaitu ada yang berbentuk sabda nabi atau (sunnah qauliyyah) dan ada yang berbentuk perilaku nabi (sunnah fi’liyyah) dan ada yang berbentuk penetapan nabi atas perilaku sahabat atau (sunnah ta’ririyah) dari segi derajatnya sunnah ada yang shahih hasan dan dla’if bahkan ada yang maudlu atau (sunnah palsu). Sedangkan dilihat dari segi jumlah penyampaiaannya sunnah ada yang mutawatir masyhur dan ahad.

b. Sumber Hukum Islam Sekunder

1. Ijma’ (Konsensus)
Ijma’ secara etimologi berarti kesepakatan atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu. Menurut ahli hukum islam (ushuliyyin) ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid sesudah zaman nabi saw. Mengenai hukum suatu kasus tertentu. Secara umum dikatakan bahwa kesepakatan komunitas dijamin kebenarannya dan melahirkan keyakinan yang pasti (qath’i) meskipun sebuah konsensus tentang persoalan tertentu diperoleh dari hadis ahad. Para mujtahid dalam melakukan konsensus hanya memutuskan bagian mana dari wahyu yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat diterima.
Dalam kontek kekinian, ijma’ bisa dibedakan menjadi dua, yaitu ijma’ formal dan ijma’ persuasif. Yang dimaksud dengan ijma’ formal adalah kesepakatan menerima suatu hukum untuk diformalkan seperti dituangkan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya undang-undang perkawinan islam di masing-masing negara muslim. Ijma’ persuasif adalah kesepakatan menerima suatu ketentuan hukum tanpa diformalkan, melaikan diterima secara diam-diam. Misalnya, penerimaan terhadap keluarga berencana oleh para ahli hukum islam dimana penerimaannya berproses dan dimulai dengan sebuah fatwa oleh seorang ahli hukum islam, yang mungkin saja pada awalnya ditantang oleh ahli-ahli hukim islam lainnya, namun kemudian secara berangsur-angsur semakin banyak yang mendukung, dan pada akhirnya diterima oleh semua ahli hukum islam dan bahkan oleh masyarakat secara keseluruhan sekalipun secara diam-diam.

2. Qiyas
Qiyas menurut para ahli ushul fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dengan hukum peristiwa yang sudah ada nasnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.
Qiyas memiliki empat rukun, yaitu : (a) Ashal, yaitu peristiwa yang sudah ada nasnya yang dijadikan tempat menqiyaskan. Ashal itu juga disebut dengan maqis’alaih (yang dijadikan tempat mengqiyaskan) atau mahmul alaih (tempat membandingkan) atau musyabbah bih (tempat menyerupakannya); (b) far’u, yaitu peristiwa yang tidak ada nasnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya. Disebut juga maqia (yang diqiyaskan) dan musyabbah (yang diserupakan);(c) hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nas dan kehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya; dan (d) Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada peristiwa yang ashal, yang karena sifat itu maka peristiwa ashal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa yang ashal.

3. Istihsan
Istihsan adalah kecenderungan seseorang pada sesuatu karena karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahirnya (hissiy) ataupun maknawiyah; meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.
Istihsan memiliki banyak definisi, di antaranya adalah:
a. mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.
b. dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat di ungkapkannya dengan kata-kata.
c. meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas tertentu menuju qiyas yang lebih kuat darinya.
d. mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.
Dengan memperhatikan ta’rif di atas, maka istihsan ada dua bentuk, yaitu:
a. Istihsan Qiyas
Istihsan Qiyas adalah suatu bentuk pengalihan hukum dari ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas jali kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada qiyas khafi, karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud adalah kemaslahatan.
b. Istihsan Istisna’i
Istihsan Istisna’i adalah qiyas dalam bentuk pengecualiaan dari ketentuan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip khusus. Istihsan bentuk kedua ini di bagi menjadi lima, yaitu : (1) istihsan dengan nash (2) istihsan dengan ijma’ (3) istihsan dengan kedaruratan (4) istihsan dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku (5) istihsan dengan maslahah al-mursalah.
4. Maslahat Al- Mursalat (Istislahy)
Maslahah secara harfiah berarti manfaat dan mursalah berarti neteral. Dalam konteks kajian ilmu Usul al-Fiqh, kata tersebut menjadi sebuah istilah teknikal, yang bermakna “berbagai manfaat yang dimaksudkan syari’ dalam penetapan hukum bagi hamba-hamba nya, yang mencakup tujuan untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan, serta mencegah hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima kepentingan tersebut.
Menurut al- Syatibi, sebagaimana dikutif oleh Husein Hamid Hasan, ada beberapa kaidah yang biasa digunakan oleh para ulama dalam melakukan analisa maslahatal-mursalah, yaitu:
1. Hukum perbuatan sama dengan hukum musababnya
2. Mendahulukan kemaslahatan umum dari pada kemaslahatan khusus
3. Menghindari kemudaratan yang lebih besar
4. Memelihara jiwa
5. Menutup peluang-peluang atau kesempatan-kesempatan untuk melakukan tindak kejahatan.
5. Al- Zari’ah
Secara etimologi, al –zari’ah berarti jalan yang menghubungkan sesuatu pada sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologi, al-zari’ah berarti sesuatu yang akan membawa kepada perbuatan-perbuatan terlarang dan menimbulkan mafsadah atau yang akan membawa kepada perbuatan-perbuatan baik dan menimbulkan maslahah.
Pada dasarnya,ada dua perbuatan hukum dalam konteks Sadd al-zari’at,yaitu : (1) perbuatan yang keharamannya bukan saja karena ia sebagai jalan bagi sesuatu yang diharamkan, melainkan esensi perbuatan itu sendiri adalah haram, (2) perbuatan yang secara esensial dibolehkan, tetapi perbuatan itu memungkinkan untuk digunakan sebagai jalan pada sesuatu yang diharamkan dibagi ke dalam empat macam yaitu:
a) Perbuatan itu dipastikan akan mengakibatkan kebinasaan
b) Perbuatan itu mengandung kemungkinan, walaupun kecil tetapi dapat membawa larangan.
c) Perbuatan yang pada dasarnya mubah, tetapi kemungkinan akan membawa kebinasaan lebih besar dibandingkan kemaslahatan.
d) Perbuatan yang pada dasarnya mubah karena mengandung kemaslahatan, tetapi dalam pelaksanaanya akan membawa pada larangan
6. Istishab
Secara etimologi istishab berasal dari kata istash ha-ba dalam sighat is-tif’al, yang berarti selalu menyertai (istimrar al-shahabah). Secara terminologi, istishab itu adalah menukuhkan apa yang pernah ada atau apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa yang akan datang. Jadi, dapat ditegaskan bahwa istishab adalah kelangsungan status hukum suatu perkara di masa lalu pada masa kini dan masa depan sejauh belum ada perubahan terhadap status hukum tersebut.
Istishab ada tiga macam, yaitu:
a. Kelangsungan status hukum kebolehan umum. Maksudnya adalah bahwa segala sesuatu di luar tindakan ritual ibadah, asas umumnya adalah kebolehan umum smapai ada dalil yang menunjukkan lain.
b. Kelangsungan kebebasan asli. Maksudnya adalah bahwa zimmah (tangggung jawab hukum) seseorang menurut status hukum yang asli adalah bebas dari beban-beban dan kewajiban hukum sampai ada bukti yang menunjukkan lain.
c. Kelangsungan hukum yang sudah ada. Maksudnya adalah bahwa status hukum yang sudah ada di masa lampau terus berlaku hingga ada dalil yang mementukan lain.
7. Qaul Sahabat Nabi s.a.w.
Sahabat nabi adalah orang yang hidup sezaman dengan nabi saw. Yang dimaksud dengan Qaul Sahabat Nabi adalah pendirian seorang sahabat mengenai suatu masalah hukum ijtihadiah baik yang tercermin dalam fatwanya maupun dalam keputusannya yang menyangkut masalah di mana tidak terdapat penegasan dalam al-Quran, Hadis Nabi saw. Ataupun dalam ijma’.
Para ulama sepakat bahwa Qaul Sahabat yang dapat diterima sebagai dalil hukum adalah qaul sahabat yang bukan hasil pemikiran dan ijtihadnya sendiri melainkan merupakan suatu yang diketahuinya dari rasullullah saw.

8. Syar’un man Qablana
Sesungguhnya syaiat samawi pada asalnya adalah satu. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran yang bermaksud:”Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama, apa yang telah diwasiatkannya kepada nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada ibrahim dan musa dan isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”.
Di dalam menanggapi berlakunya syar’un man qablana, ada beberapa hal yang disepakati ulama, pertama : bahwa hukum-hukum syara’ yang ditetapkan bagi umat sebelum kita tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum islam, karena di kalangan umat islam, nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum islam. Kedua : segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syari’ah islam, otomatis hukum tersebut tidak berlaku bagi kita. Ketiga :segala yang ditetapkan dengan nash-nash yang dihargai oleh islam seperti juga ditetapkan oleh agama-agama samawi yang telah lalu, tetapi berlaku bagi umat islam, karena ketetapan nash islam itu tadi, bukan ditetapkannya bagi umat yang telah lalu, seperti tentang qishash.

C. Al-ahkam al-khamsah
Istilah Ahkam berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari kata hukum Khamsah artinya lima. Adapun arti ‘’al-hukmu’’ adalah menetapkan suatu hal atau perkara terhadap suatu hal atau perkara. Ahkamul khamsah artinya ketentuan atau lima ketentuan. Pada dasarnya ‘’ahkamul khamsah erat kaitannya dengan perbuatan manusia. Oleh karena itu, gabungan kedua kata dimaksud (Al-ahkam Al-khamsah) atau biasa juga disebut hukum taklifi. Hukum taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi di maksud, mencakup lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam hukum islam yaitu jaiz, sunnah, makruh, wajib, dan haram. Lain halnya hukum wadh’I yaitu hukum yang mengandung sebab, syarat, halangan yang akan terjadi atau terwujud sesuatu ketentuan hukum. Al-ahkam al-khamsahakan dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaiz atau mubah
Jaiz atau mubah adalah sesuatu perbuatan yang dibolehkan untuk memilih oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakan atau meninggalkan (sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan kalau ditinggalkan tidak dapat pahala dan tidak berdosa ). Hal ini dalam pembahasan asas hukum Islam (ushul fiqh) disebut hukum takhyiri. Ketentuan mubah biasanya dinyatakan dalam tiga bentuk, yaitu meniadakan dosa bagi sesuatu perbuatan, pengungkapan halal bagi suatu perbuatan dan tidak ada pernyataan bagi sesuatu perbuatan.
Contohnya:melakukan gerak badan di pagi hari, seorang laki-laki boleh menikahi dua orang,tiga dan empat orang perempuan sebagai istrinya selama ia mampu berbuat adil.
2. Sunnah (mandub)
Sunnah (mandub) adalah sesuatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baligh). Namun bentuk anjuran itu diimbangi dengan pahala kepada orang mukallaf yang mengerjakannya dan tidak mendapat dosa bagi yang meninggalkannya.
Sunnah (mandub) ini terbagi menjadi tiga yaitu: sunnah muakkad, sunnah zaidah, dan sunnah fadhilah. Ketiga bentuk sunnah dimaksud akan diuraikan sebagai berikut
• Sunnah muakkad yaitu suatu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat tetapi penting. Karena Rasulullah saw. senantiasa melakukannya, dan hampir tidak pernah meninggalkannya atau dengan ketentuan kalau perintah sunnah itu dikerjakan, ia dapat pahala sebaliknya kalau tidak dikerjakan tidak berdosa.
Contohnya: azan sebelum salat, member sedekah, salat jamaah untuk salat fardhu, dan dua salat hari raya yakni idhul fitri dan idhul Adha.
• Sunnah zaidah yaitu ketentuan hukum islam yang tidak mengikat dan tidak sepenting sunnah muakkad. Sebab, Nabi Muhammad biasa melakukannya dan sering juga meninggalkannya.
Contohnya: puasa senin dan kamis, bersedekah kepada fakir miskin.
• Sunnah fadhilah yaitu ketentuan hukum yang mengikuti tradisi Nabi Muhammad dari segi kebiasaan-kebiasaan budayanya.
Contohnya: tata cara makan, minum, dan tidur dan sebagainya.


3. Makruh
Makruh (tercela) adalah sesuatu perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau Rasul-Nya kepada manusia mukallaf (aqil-baliqh). Namun bentuk larangan itu tidak sampai kepada yang haram.
Contohnya: masuk rumah orang dengan tidak mengucapkan salam, ketika melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan memperlambat berbuka puasa.
4. Haram
Haram adalah larangan keras dengan pengertian kalau dikerjakan akan berdosa atau dikenakan hukuman dan jika ditinggalkan akan mendapat pahala
Contohnya: berzina, minum yang memabukkan, mencari, menipu dan sebagainya.
5. Wajib
Wajib menurut hukum islam adalah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia mukallaf (aqil-baligh) untuk mengerjakannya, mesti dikerjakannya ia mendapat pahala, sebaliknya bila ditinggalkan ia berdosa atau dikenakan hukuman.
Contohnya: melaksanakan salat 5 waktu yang telah diperintahkan oleh Allah, puasa di bulan ramadhan dll.











loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929