loading...

PANCASILA SEBAGAI DASAR FILSAFAT NEGARA INDONESIA

October 16, 2018
loading...
BAB I
PANCASILA SEBAGAI DASAR FILSAFAT NEGARA INDONESIA
A. DEFINISI PANCASILA
1. Pengertian Pancasila
Secara etimologis, Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta. Panca artinya lima, sedangkan sila artinya dasar, sendi, atau unsur. Jadi pancasila mengandung arti lima dasar, lima sendi, atau lima unsur.
Istilah pancasila awalnya terdapat dalam teks kepustakaan Buddha di India. Ajaaran Buddha bersumber pada kitab suci Tri Pitaka, yang terdiri atas tiga macam buku besar yaitu Sutha Pitaka, Abidama Pitaka, dan Vinaya Pitaka. Didalam ajaran Buddha terdapat ajaran moral untuk mencapai nirvana melalui Samadhi, dan setiap golongan berbeda kewajiban moralnya. Ajaran-ajaran moral tersebut antara lain Dasasila Saptasila dan Pancasila.
2. Pengertian Pancaila secara Historis
Secara historis, proses perumusan Pancasila diawali ketika dalam sidang BPUPKI pertama dr. Radjiman Wedyodiningrat, mengajukan suatu masalah pembahasan tentang rumusan dasar negara Indonesia yang akan dibentuk. Sidang tersebut dihadiri oleh tiga orang pembicara, yaitu Mohammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.
Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai gagasan calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian didalam pidatonya itu, diusulkan istilah dasar negara oleh Soekarno dengan nama “Pancasila”, yang artinya lima dasar. Menurut Soekarno, hal diatas saran dari seorang temannya, seorang ahli bahasa yang tidak mau disebutkan namanya. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamasikan kemerdekannya. Kemudian keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945 yang didalamnya memuat rumusan lima prinsip sebagai satu dasar negara yang diberi nama “Pancasila”.
Sejak saat itulah istilah Pancasila telah menjadi bahasa Indonesia dan merupakan istilah umum. Walaupun dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tidak memuat istilah “Pancasila”, namun yang dimaksudkan Dasar Negara Republik Indonesia disebut dengan “Pancasila”. Hal ini didasarkan atas interpretasi historis terutama dalam rangka pembentukan calon rumusan dasar negara, yang kemudian secara spontan diterima oleh peserta forum perumusan dasar negara secara bulat.
Adapun secara historis proses perumusan Pancasila adalah sebagai berikut:
a. Mr. Muhammad Yamin (29 Mei 1945)
Pada tanggal 29 Mei 1945, BPUPKI mengadakan sidang yang pertama. Pada kesempatan ini, Mr. Muhammad Yamin mendapat kesempatan pertama untuk mengemukakan pemikirannya tentang dasar negara dihadapan peserta BPUPKI lengkap dengan Badan Penyelidik Pidato Mr. Muhammad Yamin itu berisikan lima asas dasar negara Indonesia merdeka yang diidam-idamkan sebagai berikut:
1) Peri Kebangsaan,
2) Peri Kemanusiaan
3) Peri Ketuhanan
4) Peri Kerakyatan dan
5) Peri Kesejahteraan
Setelah berpidato, beliau juga menyampaikan usul tertulis mengenai rancangan UUD Republik Indonesia. Didalam pembukaan dari rancangan UUD tersebut, tercantum rumusan lima asas dasar negara yang rumusannya yaitu:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa,
2) Kebangsaan Persatuan Indonesia,
3) Rasa kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4) Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan dan
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno menyampaikan pidatonya di hadapan Badan Penyelidik. Dalam pidato tersebut, Soekarno secara lisan mengusulkan lima dasar negara Indonesia yang akan dibentuknya, yang rumusannya sebagai berikut:
1) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia,
2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3) Mufakat atau Demokrasi,
4) Kesejahteraan sosial
5) Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
c. Piagam jakarta (22 Juni 1945)
Pada tanggal 2 Juni 1945, sembilan tokoh nasional yang juga tokoh Dokuritzu Zyunbi Tookasay mengadakan pertemuan untuk membahas pidato serta usulan mengenai dasar negara yang telah dikemukakan dalam sidang BPUPKI sebagai Badan Penyelidik. Sembilan tokoh tersebut dikenal dengan “Panitia Sembilan”, yang setelah mengadakan sidang berhasil menyusun sebuah naskah piagam yang dikenal “Piagam Jakarta”, yang didalamnya memuat Pancasila, sebagai hasil yang pertama kali disepakati oleh negara.
3. Pengertian Pancasila secara Terminologi
Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 itu telah melahirkan Negara Republik Indonesia. Untuk melengkapi alat-alat perlengkapan negara sebagaimana lazimnya negara merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) segera mengadakan rumusan dasar negara. Dalam sidangnya tanggal 18 Agustus 1945 telah berhasil mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia yang dikenal dengan UUD 1945. Adapun UUD 1945 tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 yang berisi 37 pasal, 1 aturan peralihan yang terdiri atas 4 pasal, dan 1 aturan Tambahan yang terdiri atas 2 ayat.
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang disahkan oleh PPKI yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, dalam upaya bangsa Indonesia mempertahankan Proklamasi serta eksistensi negara dan bangsa Indonesia maka terdapat pula rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut:
a. Dalam konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat)
b. Dalam UUD (Undang-Undang Dasar Sementara 1950)
c. Rumusan Pancasila dikalangan masyarakat



BAB II
PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSSAFAT

A. RUMUSAN KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu sistem filsafat. Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan, saling bekerja sama untuk tujuan tertentu, dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Sistem lazimnya memiliki ciri-ciri sebagi berikut:
1. Suatu kesatuan bagian-bagian
2. Bagian-bagian tertentu mempunyai fungsi sendiri-sendiri
3. Saling berhubungan dan saling ketergantungan
4. Keseluruhannya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu (tujuan sistem)
5. Terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks
Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian, yaitu sila-sila Pancasila, pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.
1. Susunan kesatuan Pancasila yang bersifat organis.
2. Susunan Pancasila yang bersifat hierarkhis dan berbentuk piramidal
3. Rumusan hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Kesatuan sila-sila Pancasila yang majemuk tunggal, hirarkis piramidal juga memiliki sifat saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Maksudnya , dalam setiap sila terkandung nilai ke empat sila lainnya, atau dengan perkataan lain setiap sila senantiasa dikualifikasi oleh keempat sila lainnya.
B.KESATUAN SILA-SILA PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
Kesatuan sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat formal logis, namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis, serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila. Sebagaimana dijelaskan bahwa kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hirarkis dan mempunyai bentuk piramidal digunakan untuk menggambarkan hubungan hirarki sila-sila Pancasila daam urutan-urutan luas (kuantitas) dan dalam pengertian inilah hubungan satuan sila-sila Pancasila itu dalam arti formal logis. Selain kesatuan sila-sila Pancasila itu herarkis dalam hal kuantitas juga dalam hal isi sifatnya yaitu menyangkut makna serta hakikat sila-sila Pancasila. Kesatuan yang demikian ini meliputi kesatuan dalam hal dasar ontologis, dasar epistimologis serta dasar aksiologis dari sila-sila Pancasila.
1. Dasar Antropologis Sila-Sila Pancasila
Pancasila sebagai suatu kesatuan sistem filsafat, tidak hanya kesatuan yang menyangkut sila-silanya melainkan juga meliputi hakikat dasar dari sila-sila Pancasila atau secara filosofis meliputi dasar ontologis sila-sila Pancasila. Pancasila yang terdiri atas lima sila bukanlah merupakan asas yang terdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis pada Pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang memiliki hakikat mutlak monoprularis. Oleh karena itu, hakikat dasar ini juga disebut sebagai dasar antropologis. Subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila adalah manusia. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Bahwa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta yang berkeadilan sosial pada hakikatnya adalah manusia.
Manusia sebagai pendukung pokok sila-sila Pancasila secara ontologis memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat jiwa dan raga, jasmani dan rohani. Filsafat kodrat manusia adalah saebagai makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribaadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan inilah. Secara hirarki sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila Pancasila.






BAB III
PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA KEHIDUPAN
BERMASYARAKAT, BERBANGSA, DAN BERNEGARA
A. DEFINISI PARADIGMA
Secara Filosofi, hakikat kedudukan Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai sila-sila Pancasila. Oleh karena itu, hkikat nilai sila-sila Pancasila mendasarkan diri pada dasar ontologis manusia sebagai subjek pendukung pokok sila-sila Pancasila sekaligus sebagai pendukung pokok negara. Hal ini berdasarkan pada kenyataan obyektif bahwa Pancasila merupakan dasar negara dan negara adalah organisasi (persekutuan hidup) manusia. Oleh karena itu, negara dalam rangka mewujudkan tujuannya melalui pembangunan nasional untuk mewujudkan tujuan seluruh warganya harus dikembalikan pada dasar-dasar hakikat manusia “monopluralis”.
1. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Iptek
2. Pancasila Paradigma Pembangunan Poleksosbud Hankam
3. Pancasila Paradigma Pengembangan Bidang Politik
4. Pancasila Paradigma Pengembangan Ekoonomi
5. Pancasila Paradigma Pengembangan Sosial Budaya
B. PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA REFORMASI
Ketika gelombang gerakan reformasi melanda Indonesia maka seluruh aturan main dalam wacana politik mengalami keruntuhan, terutama praktik-praktik elit, politik yang dihinggapi penyakit KKN. Bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat madani yang sejahtera, masyarakat yang bermartabat kemanusiaan yang menghargai hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang ebrmoral religius, serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
1. Gerakan Reformasi
Awal keberhasilan gerakan reformasi ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, yang kemudian disusul dengan dilantiknya Wakil Presiden Prof. Dr. B.J. Habibie menggantikan kedudukan Soeharto sebagai presiden. Hal itu diikuti denga pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan. Pemerintahan Habibie inilah merupakan pemerintahan transisi, yang akan mengantarkan rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama pengubahan 5 paket Undang-Undang Politik Tahub 1985 kemudian diikuti dengan reformasi ekonomi yang menyangkut perlindungan hukum sehingga perlu diwujudkan Undang-Undang Anti Monopoli, Undang-Undang Persaingan Sehat, Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Usaha Kecil, Undang-Undang Bank Sentral, Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Buruh dan sebagainya.
2. Pancasila sebagai Dasar Cita-Cita Reformasi
Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia, sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia dalam perjalanan sejarah. Namun demikian, tampaknya Pancasila tidak diletakkan dalam kedudukan dan fungsi sebenarnya. Pada masa orde lama, Pelaksanaan Pancasila dalam negara secara jelas menyimpang bahkan bertentangan, misalnya Manipol Usdek dan Nasakom yang bertentangan dengan Pancasila. Presiden seumur hidup serta praktk-praktik kekuatan diktator Masa Orde Baru Pancasila digunakan sebagai alat legitimati politik oleh penguasa sehingga kedudukan Pancasila sebagai sumber nilai dikaburkan dengan praktik kebijaksanaan pelaksana penguasa negara. Misalnya, setiap kebijakan penguasa negara senantiasa berlindung dibalik ideologi Pancasila sehingga setiap tindakan dan kebijaksanaan penguasa negara senantiasa dilegitimasi oleh ideologi Pancasila. Sebagai konsekuensinya, setiap warga negara yang tidak mendukung kebijaksanaan tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila. Asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam Pancasila di salahgunakan menjadi praktik nepotisme, sehingga merajalela kolusi dan korupsi.






BAB IV
KEWARGANEGARAAN
A. KONSEP DASAR TENTANG WARGA NEGARA
1. Pengertian Warga Negara
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (seuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan Undang-Undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan belanda, peranakan cina, peranakan Arab, yang bertempat di Indonesia, mengakui di Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
2. Asas Kewarganegaraan
Seseorang yang diakui sebagai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan ini menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap warga negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Terdapat dua pedoman dalam menerapkan asas kewarganegaraan ini, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaganegaraan berdasarkan perkawinan. Berdasarkan sisi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis(keturunan). Sementara, dari sisi perkawinan dikenal asas kesatuan hukum asas persamaan derajat.
3. Unsur-Unsur yang Menentukan Kewarganegaraan
a. Unsur darah keturunan (ius sanguius)
b. Unsur daerah tempat kelahiran (ius soli)
c. Unsur Pewarganegaraan (naturalisasi)
4. Problem Status Kewarganegaraan
Jika diamati dan dianalisis, diantara penduduk sebuah negara, ada yang merupakan bukan warga negara (orang asing) dinegara tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride, dan multi-patride.
Kasus orang –orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan, merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk pada suatu negara mereka dianggap sebagai warga asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan bagi orang asing, yang segala kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.
Kondisi seseorang dengan status berdwikewarganegaraan sering terjadi pada penduduk yang tinggal didaerah perbatasan antara dua negara. Dalam hal ini diperlukan peraturan atau ketentuan mengenai perbatasan serta wilayah teritorial sehingga penduduk di daerah itu mendapat kejelasan tentang kewarganegaraannya.
5. Karakteristik Warga Negara yang Demokrat
Suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban dapat terwujud jika setiap warga negara memiliki karakter atau jiwa yang demokratis pula. Ada beberapa karakteristik bagi warga negara yang disebut sebagai demokrat, antara lain sebagai berikut:
a. Rasa hormat dan tanggung jawab
b. Bersikap kritis
c. Membuka diskusi dan dialog
d. Bersikap terbuka
e. Rasional
f. Adil








BAB V
IDENTITAS NASIONAL
A. PENGERTIAN IDENTITAS NASIONAL
Menurut terminologi, identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, atau negara sendiri. Jadi, pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya. Nasional merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa, maupun nonfisik, seperti keinginan, cita-cita, dan tujuan.
Identitas nasional pada hakikatnya merupakan anisfase nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan suatu bangsa dengan ciri-ciri khas. Dengan ciri-ciri tersebut, suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam hidup dan kehidupannya. Diletakkan dalam konteks Indonesia, maka identitas nasional itu merupakan manifestase niali-nilai budaya yang sudah tumbuh dan berkembang sebelumnya sebelum masuknya agama-agama besar dibumi nusantara ini dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku, kemudian dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan roh Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam perjuangan kemerdekaan, dibutuhkan konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua orang atas nama sebuah bangsa.
1. Pengertian Umum Nasionalisme
Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro, secara hukum peraturan tentang kewarganegaraan merupakan suatu konsekuensi langsung dari perkembangan paham nasionalisme. Lahirnya negara bangsa (nation state) merupakan akibat langsung dari gerakan nasionalisme yang sekaligus telah melahirkan perbedaan pengertian tentang kewarganegaraan dari masa sebelum kemerdekaan.
Nasionalisme Indonesia ditandai lahirnya:
a. Hasil Politik Etis (abad ke-19-20)
b. Tumbuhnya Paham Nasionalisme
c. Budi Utomo 1908
d. Indische Partij 1912, Volksraad 1917
e. Proklamasi 1945
a. Proses Pembentukan bangsa
Dikenal adanya dua proses pembentukan bangsa-negara, yaitu model ortodoks dan model mutakhir. Kedua model ini berbeda dalam empat hal, yaitu ada tidaknya perubahan unsur dalam masyarakat, lamanya waktu yang diperlukan dalam proses pembentukan bangsa negara, munculnya kesadaran politik masyarakat, dan derajat partisipasi politik dan rezim politik. Model ortodoks menghasilkan bangsa negara yang relatif homogen, sebagai contoh israel. Model mutakhir menghasilkan bangsa negara yang relatif heterogen dengan contoh Amerika serikat.
b. Hakikat bangsa
Konsep bangsa memiliki dua pengertian, yaitu bangsa dalam arti sosiologis antropologis dan bangsa dalam arti politik.
c. Loyalitas ganda
Setiap identitas menuntut loyalitas (kesetiaan). Karena memiliki dua identitas maka memiliki pula dua loyalitas (loyalitas ganda). Kesetiaan pada identitas nasional amat penting, yang dapat mempersatukan warga bangsa itu sebagai satu bangsa dalam satu negara. Karena itu sebuah negara bangsa perlu adanya national caracter building yang terus menerus dalam diri warga negara.
d. Identitas bangsa
Bangsa memiliki penanda, jati diri, atau identitas yang dapat membedakan dengan bangsa lain. Faktor-faktor yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa meliputi primordial, sakral, tokoh, bhinneka tunggal ika, sejarah, perkembangan ekonomi dan kelembagaan.
2. Unsur-Unsur Terbentuknya Identitas Nasional
a. Suku bangsa
Suku bangsa ialah golongan sosial yang khusus, yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis. Tidak kurang dari 300 dialek bangsa dengan populasi penduduk Indonesia saat ini mencapai 210 juta jiwa yang diperkirakan separuhnya beretnis jawa.
b. Agama
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang agamawi. Agama yang tumbuh dan berkembang di Nusantara diantaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Indonesia merupakan negara multi agama sehingga dapat dikatakan sebagai negara yang rawan terhadap disintegrasi bangsa. Salah satu jalan yang dapat mengurangi konflik antaragama, perlunya diciptakan tradisi saling menghormati anatarumat beragama dan antarumat seagama.
c. Kebudayaan
Kebudayaan adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat atau model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
d. Bahasa
Bahasa dipandang sebagai sistem perlambang yang secara artiber dibentuk atas unsur-unsur bunyi dan ucapan manusia serta digunakan sebagai sarana berinteraksi antarmanusia
3. Nasionalisme Indonesia dan Konsep-Konsep Turunannya
Konsep nasionalisme yang dirumuskan oleh founding father berkelindan denga konsep lanjutan lainnya. Seperti konsep negara bangsa yang lebih dikonkretkan menjadi bentuk dan struktur Negara Indonesia yang berbentuk republik. Nasionalisme Indonesia pada dasarnya berwatak inklusif dan berwawasan kemanusian.
a. Negara bangsa
b. Warga negara


BAB VI
KONSTITUSI
A. PENGERTIAN KONSTITUSI
Secara Etimologi konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituir sama dengan membentuk yang berarti pembentukan suatu negara/menyusun dan menyatakan sebuah negara. Adapun konstitusi juga bisa berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Adapun konstitusi dalam bahasa belanda adalah groundwet yang berarti undang-undang dasar. Dijerman kata konstitusi dikenal dengan istilah grundgesetz, yang berarti undang-undang dasar.
Secara etimologi, konstitusi adalah sejumlah aturan dasar dan ketentuan-ketentuan hukum yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan, termasuk dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
B. TUJUAN KONSTITUSI
Dibawah ini beberapa tujuan konstitusi:
1. Memberikan pembatasan sekaligus pengawasan terhadap kekuasaan politik.
2. Melepaskan kontrol kekuasaan dari pengusaan sendiri.
3. Memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
C. ARTI PENTING KONSTITUSI
Undang-undang dasar mempunyai fungsi yang khas dalam negara yang berdasarkan demokrasi konstitusional, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga dalam penyelenggaraanya tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak setiap warga negara akan lebih terlindungi.
D. KONSTITUSI DEMOKRATIS
Adapun konstitusi demokratis yang mengandung prinsip-prinsip dasar demokrasi, meliputi:
1. Hak-hak dasar (basic right).
2. Kebebasan mengeluarkan pendapat.
3. Hak-hak individu
4. Keadilan
5. Persamaan
6. Keterbukaan.
E. SEJARAH LAHIRNYA KONSTITUSI
Latar belakang terbentuknya UUD 45 bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia pada kemudian hari. Janji tersebut antara lain berisi: “Sejak dahulu, sebelum pecahnya peperangan Asia Timur, Dai Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Hindia-Belanda. Tentara Nippon serentak menggerakkan angkatan perangnya, baik darat laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan penjajahan Belanda”.
Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penajajah yang selalu ingin lebih lama menindas dan mengurus kekayaan bangsa Indonesia. Setelah Jepang dipukul mundur oelh Tentara Sekutu, Jepang tak lagi ingat janjinya. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas serta leluasa untuk berbuat dan bertindak tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan tiba.
UUD 45 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam bahasa jepang, BPUPKI dikenal dengan Dokuritsu Zyumbi Tiyosakai yang beranggotakan 21 orang, diketua oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri atas 11 orang wakil dari jawa, 3 orang dari sumatera, dan masing-masing 1 orang wakil dari kalimantan, maluku, dan sunda kecil. BPUPKI ditetapkan berdasarkan maklum Gunseikan, nomor 23, bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 april 1945.
BPUPKI kemudian menetapak Tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka yang dikenal dengan Undang-Undang dasar 1945 (UUD 45). Adapun para tokoh perumusannya diantaranya dr. Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagoes hadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi Pangeran (keduanya dari sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), A.H Hamidan (kalimantan), R.P Soeroso, Abdul Wachid Hasyim dan Mr. Mohammad Hassan (Sumatra).
F. PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA
Didalam UUD 1945 terdapat pasal yang berkenaan dengan cara perubahan UUD, yaitu pasal 37, yang menyebutkan:
(1) Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MPR harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir.
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami beberapa perubahan dan masa berlakunya sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, dengan rincian sebagai berikut:
1. 18 Agustus 1945-27 Desember 1949 berlaku UUD 1945;
2. 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 berlaku konstitusi RIS 1949;
3. 17 Agustus 1950-5 Juli 1959 berlaku UUD semnetara 1950;
4. 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 berlaku kembali UUD 1945;
5. 19 Oktober 1999-sekarang berlaku UUD 1945 (hasil perubahan).





loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929