loading...

RESUME USUL FIQIH

April 13, 2017
loading...
HAKIM, OBJEK HUKUM DAN
SUBJEK HUKUM

A. Hakim (Al-Hakim) / Hukum
1. Pengertian
Kata “hakim” yang berasala dari bahasa arab telah menjadi bahasa indonesia, yang maknanya yaitu yang memutuskan dan menentukan hukum, yang menetapkan segala sesuatu , dan yang mengetahui hakikat seluk beluk segala sesuatau.dan sebaik-baiknya hakim adalah Allah SWT Sebagaimana firman-Nya: “Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (Al-Ma’idah: 50) Maka, Allah tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tiada manfaatnya. Artinya juga adalah Yang memiliki hukum di dunia dan akhirat. Milik-Nyalah tiga macam hukum yang tidak seorangpun menyertai-Nya. Dialah yang menghukumi di antara hamba-Nya, dalam (1) syariat-Nya, (2) taqdir-Nya, dan (3) pembalasan-Nya. Allah l berfirman: “Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tin: 8) “Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80).
Definisi hukum syar’i adalah titah allah yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan untuk berbuat dan ketentuan-ketentuan. Dari defenisi ini dapat dikatakan bahwa “pembuat hukum” dalam artian islam adalah Allah SWT. Masalahnya dalaha allah sebgai pembuat hukum berada dialam yang berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia secara pribadi dapat mengenal hukum allah itu atau dpat mengenalnya melalui pelantara, dalam hal ini adalah Rasul. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dlam kalangan ualam:
1. Pendapat mayoritas ulam ahlulsunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mnegenalakan hukum Alllah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui wahyu yang diturukan allah kepadanya.
2. Kalangan ulama kalam mu’atazillah yang berpendapat bahwa memang rasulllah adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalakn hukum Allah kepada manusia.
Dan pengertian hakim di negara adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata “perkaranya telah diserahkan kepada Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkanPancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD No.48/2009).

B. Objek hukum (mahkam bih)
Maksudnya ialah sesuatau yang dikehendaki oleh yang pembuat hukum untuk dilakukan atau di tinggalkan allah manusia atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak. Dalam istilah ulam ushul fiqh yang dimaksud dengan objek hukum adalah “perbuatan” itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging babi”. Pada daging babi itu tidak terdapat hukum, baik suruhan atau larangan. Berlaku hukum larangan adalah pada “memakan daging babi” yaitu suatu perbuatan memakan, bukan pada zat memakan daging babi itu. Hukum syara’ terdiri atas dua yaitu hukum taklifi yakni menyangkut berbuatan mukalaf dan hukum wadh’i yakni yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf.
Para ahli usul fiqh menetapka beberapa syarat untuk suatu persyaratan sebagai objek hukum:
1. Perbuatan itu sah dan jelas adanya
2. Perbuatan itu tentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan perbuatan yang lainnya.
3. Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh mukalaf dan berada dalam kemampuannya untuk melakukan.

C. Subjek hukum (mahkum ‘Alaih)
Subjek hukum atau pelaku hukam ialah orang-orang yang dituntut oleh allah untuk berbuat, dan segala tingkah laku telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan allah itu. Dalam istialh ushul fiqh subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum atau mahkum ‘alaih yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
Seperti telah diterangkan bahwa definisi hukum taklifi adalah titah Allah yang menyangkut perbuatan mukalaf yang berhubunga denga tuntutan atau pilihan untuk berbuat. Dari definisi subjek hukum dibagi dua:
1. Ia mengetahu atau memahami titah allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari allah. Paham dan tahu itu barkaitan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk memahami dan mengatahui. Sebagai sabda nabi yang artinya: agama itu didasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal.
2. Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang didalam istilah ushul disebut ahlul al-taklif. Maksudnya adalah kepantasan untuk menerima hukam dan kepantasan untuk menjalankan hukum. Para ahli usul fiqh membagi ahliyah al-wujud kepada dua tingkatan:
a. Ahliyah al-wujud naqis atau kecakapan dikenakan hukum secara lemah yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajuban atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
b. Ahliyah al-wujud kamaliah atau kecakapan dikenakan hukum secara sempurna, yaitu kecakapaan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak. Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku untuk keduanya sekaligus.






SUMBER DAN DALIL HUKUM ISLAM PERTAMA

A. PENGERTIAN SUMBER DAN DALIL HUKUM
Pada hakikatnya, kata sumber mengandung arti sesuatu yang menjadi dasar lahirnya sesuatu. Sedangkan kata dalil mangandung arti, sesuatu yang memberi petunjuk dan mengantarkan orang untuk menemukan sesuatu. Dalam konteks dalil, terdapat upaya ijtihad untuk menemukan hukum islam yang asli. Oleh karena itu, yang dapat disebut hukum islam sebenarnya hanya dua, yaitu Al-qur’an dan hadis. Sebab keduanya merupakan teks-teks nashsh yang menjadi rujukan dalam menentukan hukum islam itu sendiri.
B. AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER HUKUM DAN DALIL HUKUM UTAMA
1. Pengertian Al-qur’an
Secara etimologi, Alqur’an merupakan bentuk mashdar dari kata qara’a; timbangan kata atau (wazan)-nya adalah fu’lan, artinya bacaan. Lebih lanjut, pengertian kebahasaan Alquran ialah, yang dibaca, dilihat, dan ditelaah.
Adapun dalam pengertian terminologi alquran ialah,
اَلْقُرْاَنُ هُوَ كَلَامُ اللهِ تَعَالَى الْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالَّفْظِ الْعَرَبِيِّ الْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ الْمَكْتُوْبُ فِيْ الْمَصَاحِفِ المُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ الْمَبْدُوْءُ بِسُوْرَةِ الْفَا تِحَةِ الْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ النَّاسِ
firman Allah yang di turunkan kepada nabi Muhammad SAW berbahasa Arab, di riwayatkan kepada kita secara mutawatir, termaktub didalam mushhaf, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas.
2. Kehujjahan Alquran
Semua ulama sependapat bahwa Alquran merupakan hujjah bagi setiap muslim, karena karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya mutawatir. Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur’an sebagai berikut: “Bukti bahwa al-Qur’an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur’an datang dari Allah swt. dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kebenarannya. Sedang bukti bahwa al-Qur’an itu datang dari Allah swt adalah bahwa al-Qur’an membuat orang-orang tidak mampu membuat atau mendatangkan sesuatu seperti al-Qur’an (kemukjizatan al-Qur’an).[10]”.
3. Kedudukan Qira’ah
4. Sifat Qath’i dan Zhanni ayat-ayat Alquran
Adapun yang dimaksud dengan ayat-ayat Alquran yang bersifat qath’i ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang ditunjukan maknanya bersifat pasti, dalam arti, hanya mengandung satu makna saja. Antara lain, ayat-ayat yang menjelaskan tentang pokok-pokok keimanan, seperti: tentang keesaan Allah, keberadaan dan misi para rasul, tentang malaikat kitab-kitab suci yang diturunkan dan tentang kepastian datangnya hari kiamat.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan ayat-ayat Alquran yang bersifat zhanni ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang ditunjukan maknanya mengandug lebih dari satu makna. Meskipun keberadaan teks/redaksi/nashsh/ semua ayat-ayat Alquran yang bersifat pasti, namun dari segi makna yang terkandung di dalam ayat-ayatnya, terdapat banyak makna yan bersifat zhanni ad-dalalah.
5. Faktor-faktor terjadinya zhanni ad-Dalalah
a. Faktor kebahasaan
Masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan paktor yang paling dominan melahirkan ketidakpastian makna suatu ayat. Contohnya dalam surah al-Baqarah (2):

228: وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya: wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.
Dalam bahasa arab, kata quru’ sebagai mana yang terdapat dalam ayat diatas dapat mengandung arti suci dan dapat pula mengandung arti haid. Karena makna tersebut sama-sama kuat dalam bahasa arab. Oleh karena itu mazhap asy-syafi’i berpendapat maknayna suci. Akibat hukumnya, menurut mazhab ini, masa iddah wanita ditalak suaminya lebih pendek, jika dibandingkan dengan pendapat mazhab hanafi yang berpendapat makna quru’ adalah haid.
b. Faktor Rumusan-Rumusan Syara’
Faktor rumusan-rumusan syara’ ini, antara lain, berkaitan dengan naskh, tarjih pertentangan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah ushuliyyah. Persoalan ini akan di uraikan lebih luas pada pembahasan tentang maqashid asy-syari’ah.
6. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk penjelasan hukum Alquran
Sebagaimana ditegaskan Alquran sendiri, sebagi kitab wahyu, fungsi Alquran antara lain:
a. Sebagi al-huda (petunjuk) bagi manusia yang bertaqwa untuk keselamatan dan kebahagiaannya didunia dan akhirat;
b. Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untyk hidup dengan penuh kasih sayang, dan sebagi bukti bahwa tuhan maha pengasih maha penyanyang
c. Sebagi maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya
d. Sebagi furqan (pembada antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yag salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat)
e. Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untyk melihat kebenaran dan menjadi benar dalam hidupnya
7. Ayat –ayat tentang hukum dalam Al-quran
Ayat-ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah disebut ibadah. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah-ibdah lainya. Adapun antara sesama manusia, secara garis besar disebut muamalah. Dalam kelompok ini termasuk didalamnya:
a. Ketentuan yang berkaitan dengan masalah transaksi-transaksi bisnis (jual beli sewa-menyewa, utang piutang, gadai, dan upha) dan berkaitan denan harta lainnya (muamalah dalam arti sempit)
b. Ketentuan tentang perkawinan (munakahat), dan yang berkaitan dengannya, seperti: perceraian, talak, rujuk, pengasuhan anak, dan lain-lain;
c. Ketentuan tentang masalah kewarisan
d. Ketentuantentang hukum pidana (jinyat), seperti; pencurian, perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan dan perzinahan, da semua masalah yang berkaitan dengan kejahatan terhadap harta dan seksual
e. Ketentuan tentang peradilan (murafa’at/qadha’), misalnya: gugatan, pembuktian, kesaksian, banding, dan lain-lain.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929