loading...

MAKALAH TENTANG “NASKH”

July 02, 2013
loading...
MAKALAH TENTANG “NASKH”


DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PEMBAHASAN 1
1) Pengertian Naskh 1
2) Hikmah Naskh 3
3) Rukun Nash 4
4) Perbedaan Naskh dan Takhsish 5
5) Pandangan Ulama tentang Naskh 5
6) Syarat-syarat Naskh 8
7) Bentuk-bentuk Naskh 17
8). Cara Mengetahui Naskh 21
DAFTAR PUSTAKA 23



PEMBAHASAN
NASH


1) Pengertian Naskh
Secara bahasa, nash mengandung dua pengertian. Pertama, naskh berarti penghapusan atau peniadaan . Kedua naskh berarti pemindahan  dari suatu keadaan kepada keadaan lain. Naskh dengan makna kedua sejalan dengan firman Allah surat Al-Jatsiyah, 45:29:

Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat atau memindah apa yang telah kamu kerjakan. "

Kedua pengertian naskh ini dapat diamati dari contoh berikut:


Matahari menghapuskan dan menghilangkan kegelapan


Saya memindahkan isi buku kepada buku yang lain.

Secara istilah, ada dua definisi naskh yang dikemukakan para ahli ushul fiqh. Definisi pertama sebagai berikut:



Naskh adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melaiui dalil syara' yang datang kemudian.


Melalui definisi ini dapat dipahami bahwa hukum yang dinaskh atau dihapus itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sebagai pertanda berakhir masa berlakunya hukum tersebut.
Definisi naskh kedua dapat diamati dari rumusan di bawah ini:


Naskh adalah pembatalan hukum syara' yang telah ditetapkan terdahulu dengan dalil syara' yang datang kemudian.
Dari kedua definisi ini dapat dipahami beberapa hal:
1. Naskh atau ernbatalan itu dilakukan den an khitab atau tuntutan Allah. Atas dasar ini, naskh tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Adapun perbuatan Nabi SAW, yang kadangkala sebagai naskh, sebenarnya hanya sebagai dalil yang menginformasikan tentang adanya tuntutan dari Allah untuk membatalkan suatu hukum. Khitab atau tuntutan naskh tidak ada yang berasal dari Nabi saw. karena beliau tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkan hukum syara'.
2. Yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara' yang mengandung perintah, larangan atau berita. Atas dasar ini, pembatalan terhadap hukum yang didasarkan pada akal atau hukum yang didasarkan pada prinsip ibahah Al-asliyala sebelum datang syara' dan hukum yang didasarkan pada adat istiadat tidak disebut sebagai naskh.
3. Hukum yang membatalkan hukum terdahulu, datangnya kemudian. Tegasnya, hukum yang dibatalkan lebih dahulu datangnya dari hukum yang membatalkannya. Dengan demikian, hukum yang berkaitan dengan istisna' dan syarat tidak dapat disebut sebagai naskh.

2) Hikmah Naskh
Pada prinsipnya, pensyariatan berbagai hukum dalam Islam bertujuan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan manusia. Bahkan, hal ini mer-upakan tujuan utama pensyariatar, hukum tersebut. Agar tercapai tujuan ini, setiap mukallaf dituntut melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan Syari'.
Perneliharan kemaslahatan manusia, baik yang berbentuk umum maupun khusus menghendaki adanya naskh terhadap berbagai hukum yang dikopkan terclahulu. Bokh jadi, hukum yang telah disyariatkan Syari' pada suaha saat tetapi karena kernaslahatan mengalami perubahan seiring dengan perubahan situasi dan kondisi, maka bukum yang mengandung kemaslahatan itu tidak terwujud lagi. 016 sebab itu, yang terbaik adalah berakhirnya masa pemberlakuan hukum terdahulu dan digantikan dengan hukum yang lain. Ini sejalan firman Allah Surat Al-Baqarah, 2:106:
              •     

Ayat mana saja yang Kami naskhkan, atau Kamijadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Hikmah lain dari naskh adalah sebagai ujian bagi manusia dalam mepjalankan perintah dan menghentikan larangan Syari'. Apa yang sebelumnya diperintahkan Syari' dan kemudian dilarang untuk dilakukan manusia merupakan ujian keimanan dan ketaatannya kepada Allah.
Sebagaimana diketahui bahwa syariat Islam merupakan syariat terakhir dan Nabi saw. merupakan Nabi yang terakhir. Dalam kaitan ini, naskh hanya terjadi ketika Nabi saw. masih hidup dan sesudah wafatnya tidak ada naskh lagi seiring dengan terputusnya wahyu.

3) Rukun Nash
Melalui definisi naskh terdahulu diketahui ada empat rukun nash, yaitu:
1. Adah Al-naskh , yaitu ungkapan vang menunjukkan pembatalan berlakunya hukum yang terdahulu.
2. Nasikh ( ), yaitu Allah karena Dialah yang berhak menetapkan hukum dan membatalkannva. Nasikh yang sesungguhnya hanyalah Alah. Istilah nasikh kadangkala digunakan untuk hukum syara', tetapi hal ini hanya sebagai majaz. Misalnya, kewajiban melakukan puasa Ramadhan rnenasakhkan puasa Asyura.
3. Mansukh  , yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan atau dipindahkan.
4. Mansukh Anhu  , yaitu orang yang di'beba taklif atau hukum.

4) Perbedaan Naskh dan Takhsish
Dari satu sisi, naskh dan takhsish memiliki persamaan dan dari sisi lain antara keduanya terdapat perbedaan. Persamaan antara naskh dan takhsish dapat diamati dari fungsi keduanya. Takhsish berfungsi mengkhusnskan keumuman suatu lafal an menjadikan hukum yang bersifat umum hanya meliputi sebagian satuannya. Sedangkan naskh membatalkan hukum yang bersifat umum dengan meninggalkan sebagian satuannya dan menjadikan hukum sebagian tersebut tetap berlaku.
Perbedaan antara naskh dan takhsish dapat dilihat dari pernyataan berikut. Dalam kaitanya dengan naskh, suatu hukum sejak semula mencakup semua afrad atau satuannya, lalu sebagian hukum tersebut dibatalkan dengan dalil yang datang dian. Sedangkan terkait dengan takhsish, bahwa hukum yang bersifat umum. sejak semula ditujukan hanya meliputi sebagian satuannya. Dengan kata lain, bahwa men-takhsish-kan berarti menjelaskan kepada kita yang dimaksud Syari' dari hukum yang bersifat umum sejak semula bukan yang bersifat umum tersebut, tetapi hukum yang bersifat khusus.

5) Pandangan Ulama tentang Naskh
Dalam pandangan jumhur ulama bahwa naskh secara logika boleh saja dan secara syara' memangtelah terjadi. Untu memperkuat pendapat ini, jumhur mengemukakan beberapa alasan:
1. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan telah terjadi naskh, di antaranya firman Allah surat Al-Baqarah, 2:106:


Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang Iebih baik daripadaraya afau yang sebanding dengannya.


2. Ijma' sahabat dan ulama salaf yang menyatakan bak`va syariat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. menghapus dan membatalkan syariat-syariat Nabi sebelumriya, kecuali dalam masalah akidah dan akhlak. Misalnya, syariat yang dibatalkan itu pengharaman setiap yang berkuku bagi orang-orang Yahudi disebabkan prilaku zalim dan kebiasaan mereka mernakan harta sesama manusia dengan cara batil melalui riba. Dalam kaitan ini Allah berfirman pada surat Al-An'am, 6:145:

       •          ••        •    

Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembetih atas nama selain Allah.

3. Para ulama juga sepakat tentang dibatalkannya menghadap Bait Al-Muqaddas dan diganti derigan menghadap kiblat dalam shalat bagi umat Islam. Demikian pula dibatalkannya wasiat terhadap kedua orang tua dan karib kerabat dengan turunnya ayat-ayat tentang kewarisan yang mengatur bagian warisan bagi ahli waris termasuk bagian bagi kedua orang tua dan karib kerabat.

Abu Muslim Al-Isfahani berpendapat naskh dapat dan boleh terjadi antara satu syariat dengan syariat yang lain, tetapi naskh tidak dapat terjadi dalam satu syariat. Sehubungan dengan itu, tokoh ini mengakui syariat Islam membatalkan syariat sebelumnya. Namun, ia berpendapat tidak mungkin terjadi naskh dalam syariat Islam dan tidak ada bukti yang menunjukkan terjadi naskh yang demikian. Ini sejalan dengan firman Allah surat Fushshilat, 41:42:

         
Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.

Ayat ini mengisyaratkan bahwa Al-Qur’an tidak dapat disentuh oleh kebatilan. Sementara kalau terjadi naskh dalam Al-Qur’an berarti mendatangkan kebatilan terhadap Al-Qur’an tersebut. Apabila naskh ini terjadi, maka merupakan kebohongan terhadap ayat ayat Allah dan hal ini mustahil terjadi.
Wahbah Al-Zuhaili membantah pendapat Abu Muslim Al-Isfahani ini dengan menjelaskan bahwa maksud ayat yang dijadikan alasan untuk menolak toadinya naskh adalah untuk keseluruhan Al-Qur’an dan keseluruhan Al-Qur’an tentu tidak mungkin dibatalkan. Ini sudah menjadi kesepakatan ulama. Jadi, pendapat ini bukan membantah teradinya naskh antara sebagian ayat Al-Quran dengan sebagian lain.


6) Syarat-syarat Naskh
Jumhur ulama yang menyatakan ada naskh dalam Al-Qur’an mengemukakan beberapa syarat teradinya naskh.
1. Bahwa yang dibatalkan itu merupakan sesuatu yang menerima pembatalan. Ada sejumlah hukum yang tida boleh dibatalkan, seperti hukum-hukum yang terkait dengan pokok-pokok agama dan keyakinan.
2. Bahwa yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara'.
3. Pembatalan itu datang dari khitab (tuntutan) syara'.
4. Bahwa yang membatalkan terpisah dan datang kemudian dari yang dibatalkan. Apabila antara yang membatalkan dan dibatalkan itu berkaitan, seperti syarat, sifat dan istisna, maka tidak dapat disebut sebagai naskh.
5. Bahwa yang membatalkan sama kuatnya atau lebih kuat dari yang dibatalkan.
6. Bahwa yang dibatalkan tidak terkait dengan waktu tertentu.
Pada dasarnya, yang membatalkan harus lebih kuat dari yang dibatalkan. Atas dasar ini, mayoritas ulama sepakat boleh naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Sunnah mutawatir dengan
Sunnah mutawatir, khabar ahad dengan khabar ahad dan khabar awatir. Sebagian ulama membolehkan naskh yang mutawatir dengan yang ahad, Namun, Imam Syafii tidak setuju dengan pendapat vang membolehkan naskh vang mutawatir dengan ahad. Untuk itu, imam Syafi'i tidak mengakui naskh Al-Quran dengan Sunnah atau Sunnah dengan Al-Qur’an. Begitu pula ulama, tidak mengakui naskh ijma' dengan ijma', Al-Qur’an dan Sunnah dengan Qiyas.
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Para ulama sepakat tidak boleh naskh terhadap keseluruhan Al-Qur’an karena ia merupakan mukjizat Nabi saw. yang berlaku sampai akbir zaman dan berisikan hukum-hukum yang menyernpurnakan syariat sebelumnya dan membatalkan ajaran syariat sebelumnya yang tidak sesuai dengan akal. Dalam hal ini boleh terjadi naskh sebagian ayat Al-Qur'an dengan sebagian ain yang memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, ayat tentang siat kepada kedua yang tua dan karib kerabat yang terdapat dalam surat Al-Baqarah, 2:180:
        •        

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedafanga)i (tanda-tanda) niaut, jirla ia inMinggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatriya secara ma'ruf, Oni adalah) keivajiban atas orang-orang yang bertakwa

Ayat ini dibatalkan hukumnya oleh ayat tentang kewarisan pada surat Al-Nisa' 4:7,
             •      •

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari lzarta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyd; menurut bahagian yang telah ditetapkan.


Begitu pula iddah wanita yang ditinggai mati suami sela setahun penuh pada surat Al-Baqarah, 2:240:

       ••     

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).

Ayat ini dibatalkan hukumnya oleh firman Allah surat Al¬-Baqarah, 2:234:
         
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu denga meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.


Berdasarkan ayat ini iddah wanita yang ditinggal mati suaminya selama 4 bulan 10 hari.

2. Naskh Sunnah dengan Sunnah.
Para ahli ushul fiqh sepakat membolehkan Sunnah dibatalkan dengan Sunnah; Sunnah mutawatir dibatalkan Sunnah mutawatir, Sunnah mutawatir dibatalkan oleh Sunnah ashur bagi kalangan pengikut mazhab Hanafi, Sunnah ahad dibatalkan Sunnah mutawatir dan ahad. Misalnya, larangan Nabi SAW. kepada umat Islam menziarahi kubur yang kemudian dibatalkan melalui hadits yang sama, yaitu:

Aku Aku pernah melarang kamu untuk menziarahi kubur, sekarang ziarahilah kubur (HR. Muslim).
Sebagian ulama berpendapat secara teoritis boleh membatalkan Sunnah mutawatir dengan Sunnah ahad, tetapi secara realitas hal itu tidak pernah terjadi: Pendapat ini juga diyakini kalangan Zahiriyyah. Mereka beralasan bahwa khabar atau Sunnah ahad lemah bila dibandingkan dengan Sunnah mutawatir yang lebih kuat darinya. Oleh sebab itu; tidak boleh dalil yang lebih kuat dibatalkan oleh yang lemah.
Kalangan Zahiriyyah mengernukakan contoh tentang bolehnya Sunnah mutawatir dibatalkan Sunnah ahad dalam kasus perpindahan kiblat umat Islam. Kewajiban menghadap Bait Al-Maqdis ketika shalat bagi umat Islam ditetapkan dengan Sunnah mutawatir karena tidak terdapat penjelasan tentang hal ini dalam Al-Qur’an. Penduduk Quba meiakukan shalat dengan menghadap Bait Al-Maqdis berdasarkan Sunnah mutawatir. Suatu ketika datang kepada mereka seorang laki-laki yang memberitahukan dari Nabi saw. tentang perpindahan kiblat umat Islam dari Bait Al-Maqdis ke Ka'bah padahal ketika itu penduduk Quba sedang melaksanakan shalat, lalu mereka berpindah arah ke Ka'bah. Dalam peristiwa ini, jelas penduduk Quba menerima khabar ahad untuk membatalkan hukum yang berdapat dalam Sunnah mutawatir.

3. Naskh Sunnah dengan Al-Qur’an
Para ulama berbeda pendapat tentang naskh Surm Al-Qur’an. Jurrihur ulama termasuk kalangan Zahiriyyah membolehkan Sunnah dibatalkan dengan Al-Qur’an. Namun, imam Syafi'i membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa Sunnah tidak dapat clibatalkan Al-Qur’an. Untuk memperkuat pendapatnya, jumhur ulama mengemukakan beberapa alasan:

1. Firman Allah surat Al-Baqarah, 2:144:

       •               

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, tnaka sungguh Kann akan memalingkan kaTnu ke kiblat yang kamu stikai. Palingkanlah muk-amu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja ka?-nu berada, palingkanlah mukainu ke arahnya.

Ayat ini membatalkan hukum yang ditetapkan Sunnah, yaitu menghadap ke Bait Al-Maqdis dalam melaksanakan shalat.

2. Firman Allah surat Al-Mumtahanah, 60:10:

               
Maka jika kamu telah mengetahui bahzva mereku (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang¬orang kafir itu dan orang-ornng kafzr itu tiada halal pula bagi mereka.

Ayat ini membatalkan Sunnah fi'liyah, yaitu perjanjian damai yang dibuat Nabi saw. dengan kafir Qurasy di Hudaibiyah pada bulan Zulqa'idah tahun 6 H. Di antara isi perjanjian itu mengembalikan wanita-wanita beriman yang berasai dari penduduk Mekah kepada suami mereka yang kafir di Mekah. Ayat ini menegaskan wanita-wanita yang berasal dari Mekah yang telah beriman tidak boleh dikembalikan kepada suami mereka yang kafir.
Imam Syafi'i berpendapat tidak boleh membatalkan Sunnah dengan Al-Qur’an. Imam Syafi'i menjelaskan pendapatnya dalam masalah ini dalam kitab Al-Risalah. Selanjutnya, ulama besar ini mengatakan bahwa yang membatalkan Sunnah seharusnya Sunnah juga. Ia berpegang kepada firman Allah surat Al-Nahl, 16:44:
    ••     

Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu meneran gkun kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepadca mereka dan supaya mereka memikirkan.

Melalui kandungan ayat ini diketahui bahwa Sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap Al-Qrtr'an. Apabila Sunnah sendiri dibatalkan Al-Qur’an, maka fungsi Sunnah sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tidak terwujud. Hal seperti ini tidak logis dan tidak dapat diterima.
Perbedaan pendapat antara jumhur dan imam Syafi'i tentang Sunnah yang dibatalkan dengan Al-Qur’an dapat dikompromikan. Adapun yang dimaksud dengan bayan adalah penyampaian dengan jelas, baik dengan Al-Qur’an maupun dengan lainnya. Agaknya keberatan imam Syafi'i terhadap Sunnah dibatalkan dengan a1-Qur'an karena ia khawatix Sunnah dipandang bertentangan dengan Al-Qur’an sehingga berimplikasi diabaikan Sunnah oleh manusia. Orang dapat saja beralasan bahwa Sunnah yang demikian dibatalkan Al-Qur’an. Ini ditambah lagi dengan adanya Surtnah yang dibatalkan dengan Sunnah pula. Dengan demikian terangiah bahwa perbedaan pendapat jumhur dan imam Syafi'i tidak membawa dampak dalam pengamalan Sunnah. Sebab, jumhur dan imam Syafi'i sepakat tentang kekekaian hukum Islam dan tidak berlakunya hukum-hukum yang telah dibatalkan. Sebenarnya, perbedaan pendapat antara mereka hanya tentang dalil yang membatalkan (nasikh).

4. Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah
Ulama berbeda pendapat naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Menurut jumhur ulama termasuk Ibn Hazm, secara logika dapat diterima adanya naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Hal ini didukung oleh sejumlah bukti. Misalnya, dibatalkannya ayat- ayat tentang wasiat terhadap kedua orang tua dan karib kerabat dengan hadits Nabi SAW. berikut:

Ketahuilah tidak boleh berwasiat terhadap ahli waris.
Kalangan pengikut mazhab Hanafi menerima naskh al¬Qur'an dengan Sunnah yang mutawatir atau mashur. Sedangkan 1bn Hazm membolehkan naskh Al-Qur'an dengan khabar ahad. Wahbah Al-Zuhaili menyatakan bahwa yang membatalkan ketivajiban wasiat kepada kedua orang dan karib kerabat bukan didasarkan pada hadits di atas, tetapi dibatalkan oleh turunnya ayat tentang kewarisan. Dalam kaitan ini, lbn Abbas menyampaikan pendapatnya bahwa yang membatalkan ayat tentang wasiat adalah ayat tentang warisan.


5. Naskh terhadap dalil-dalil selain Al-Nushus (Al-Qur’an dan Sunnah)
Naskh Ijma' jumhur ulama berpendapat bahwa ijmu' tidak dapat di-naskh-kan. Bahkan, ijma' tidak terkait sama sekali dengan persoalan naskh, baik sebagai yang dinaskhkan maupun yang menaskhkan. Dalam kaitan ijma' tidak dapat dibatalkan atau dinaskhkan dapat diamati dari sisi yang membatalkan itu adalah nash, ijma; dan qiyas.
Nash tidak dapat mernbatalkan ijma' karena ijma' baru texwujud sesudah wafat Nabi saw. Sementara nuskh tidak terjadi sesudah wafatnya Nabi SAW. Oleh karena itu, nash tidak dapat membatalkan ijmu' karena semua nash mesti melalui Nabi dan telah berakhir dengan wafat Nabi saw.
Ijma' tidak dapat pula dibatalkan oleh ijma' lain. Sebab, apabila ijrnu' telah diketahui adanya wajib diamalkan dan tidak boleh menyalahinya. Selaubungan dengan itu, sesuatu yang telah disepakati sebagai ijma' merupakan dalil yang qath'i. Apabila muncul ijma' sesudahnya yang bertentangan dengan ijma' terdahulu, maka yang terakhir tidak dapat disebut sebagai irna' dan tidak mesti diamalkan. Ini dasarkan pada cara berpikir bahwa apabila ada ijma' baru tentu salah satu dari ijma' (ijma' baru dan lama) ada yang keliru. Sementara itu ijma' tidak mungkin ada yang salah karena terpeliharanya ummat yang melahirkan ijma' dari kesalahan.

Demikian pula, ijma' tidak dapat dibatalkan qiyas karen; di antara syarat untuk diterima qiyas apabila tidak bertentangan dengan ijrna'. Di samping itu, qiyas bersifat zanni sehingga tidak dapat membatalkan ijma' yang bersifat qath'i.
Sejalan dengan itu, ijma' tidak dapat menjadi nasikh atau membatalkan terhadap dalil lain. Membatalkan suatu dalii biasanya dengan nash, ijma' atau qiyas. Adapun nash tidak dapat dibatalkan dengan ijma' karena ijma' tidak dapat berlaku apabila bertentangan dengan nash. Disamping itu, ijma' sendiri membutuhkan sandaran kepada nash.
ljma' tidak dapat dibatalkan dengan ijma' lain ketika satu sama lain bertentangan. Dalam kasus seperti ini, ijma' tidak berlaku apabila bertentangan dengan ijma'. Sedangkan qiyas tidak dapat dibatalkan dengan ijma' karena syarat memakai qiyas sebagai dalli apabila tidak ada ijma' yang bertentaragan dengannya. Apabila ada ijma' yang bertentangan dengan qiyas, maka qiyas tidak dapat dipakai sebagai dalil karena tidak terpenuhi salah satu syaratnya.
Pengikut mazhab Zahiri, sebagian pengikut mazhab Hanafi, Hanbali, Mu'taziiah dan Isa bin Abban menyatakan tidak boleh membatalkan suatu daiil dengan ijma'. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan beberapa alasan. Pertama„ ijma' sahabat pada masa Umar bin Khattab untuk tidak memberikan bagi zakat mulllaf. Kedua, ijma' merupakan salah satu dalil syara', sama halnya dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Apabila dalil-dalil syara' ini dapat dinaskhkan atau dibatalkan, berarti ijma' boleh pula membatalkan dan dibatalkan.
Alasan yang dipakai kelompok ini untuk memperkuat pendapat mereka dibantah Wahbah Al-Zuhaili dengan mengemukakan beberapa alasan. Pertama, digugurkannya bagian muallaf pada masa Umar tidak diketahui semua mujtahid sehingga tidak dapat disebut sebagai ijma'. Kedua, ijma' tidak dapat terwujud apabila hasilnya bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karena itu, ijma' tidak dapat dipandang sebagai nasikh atau yang membatalkan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah.
Jumhur ulama, termasuk pengikut mazhab Zahiri da~ mayoritas pengikut mazhab Syafi'i berpendapat bahwa qiyas idak dapat menjadi nasikh atat yang membatalkan dan
nsukh atau yang dibatakan sesudah wafatnya Nabi saw. ketika Nabi saw. masih hidup, maka qiyas dapat sebagai nasikh an mansukh. Sebab, apabila qiyas dibatalkan pada masa Nabi,
ia dibatalkan dengan nash yang pasti tentang berakhirnya enggunaan qiyas tersebut. Sedangkan posisi qiyas sebagai yang membatalkan boleh terjadi selama kita berpandangan bahwa boleh mendahulukan qiyas dari nash.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka tidak boleh membatalkan Al-Qur’an dan Sunnah dengan qiyas setelah afat Nabi saw. Dernikian pula qiyas tidak dapat dibatalkan dengan qiyas lain karena ia belum tentu menjadi hujjah bagi sernua mujtahid. Qiyas hanya menjadi hujjah bagi mujtahid yang menerimanya sebagai dalil dalam ijtihadnya.

6) Bentuk-bentuk Naskh
Dalam kajian ushul fiqh, ada beberapa bentuk naskh, antaranya:
1. Naskh tilawah (bacaan) dan hukum sekaligus.
Menurut Al-Amidi, para ulama sepakat membolehkan naskh tilawah tanpa naskh hukum atau sebaliknya dan naskh filawah dan hukum sekaligus kecuali yang tidak membolehkan sekelompok kalangan Mu'tazilah, Alasan mereka memboleh naskh tilawah (dan hukum sekaligus dengan membatalkannya suhuf Ibrahim dan para Nabi sebelumnya, seperti disebutkan dalam firman Allah, surat Al-A’la, 87:18:
•     .   

Apa yang terkandung dalam ayat ini ditegaskan kembali dalarn firman Allah surat Al-Syuara', 26:196:

        

Dengan memahami kedua firman Allah ini, bahwa suhuf¬-suhuf yang diturunkan kepada para Nabi terdahulu tidak ada yang sampai kepada kita bacaan dan kandungannya. Ini menunjukkan bahwa telah dibatalkan bacaan dan hokum dari suhuf-suhuf tersebut.

2. Naskh hukum, tetapi tilawahnya tetap ada

Jumhur ulama membolehkan naskh hukum suatu ayat, tetapi tilawahnya masih ada. Misalnya, ba~talnya ukum tentang masa menunggu bagi wanita yan kematian suami selama satu tahun pada Al-Baqarah, 2:240 dengan empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah, 2:234.
Sebagian kalangan Mu'tazilah menolak pendapat yang menyatakan adanya naskh hukum, tetapi tilawahnya tetap ada. Mereka mengemukakan beberapa alasan, di antaranya:
1. Tujuan dari sebuah nash adalah hukum yang terkandung di dalamnya. Nash sebagai jalan untuk mencapai tujuan ini. Atas dasar ini, tidak mungkin nash masih ada tanpa hukum yang dikandungnya.
2. Tetap adanya tilawah atau bacaan tanpa hukumnya menimbulkan keraguan tentang masih berlakunya hukum yang dikandung tilawah tersebut. Hal ini mengakibatkan mukallaf tidak mengetahui persoalan ini. Sebenarnya, menurut Wahbah Al-Zuhaili yang menyebabkan orang tidak mengetahui hal itu apabila tidak ada dalil yang membatalkan hukum dari suatu tilawah. Apabila ada dalil yang membatalkannya tentu orang akan mengetahuinya.
3. Tujuan diturunkan Al-Qur’an untuk melahirkan hukum syara'.
4. Tujuan ini tidak tercapai dengan tetap adanya lafal tanpa adanya hukum yang dikandungnya.

3. Naskh titawah, tetapi hukurn tetap ada
Jumhur ulama berpandangan boleh terjadi naskh tilawah, tetapi hukum tetap ada dan berlaku. Misalnya, qira'at syaz yang dikemukakan kalangan Hanafiyyah dalam kasus kaffarat sumpah yang terdapat dalam firman Allah surat Al-Maidah, 5:89:
                              •   •• 

Barangsiapa tidak sanggup melakukan pang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)

Bacaan•yang terdapat dalam ayat ini popule hingga masa Abu Hanifah. Namun, bacaan itu dibatalka sehingga dalam ayat tersebut-tidak terdapat lagi kata •Meskipun kata ini telah dibatalkan, tetapi hukumnya tetap berlaku. Dengan kata lain kaffarat orang yang melangga sumpah memberi makan sepuluh arang miskin atau membe pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang buda Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut. Demikian pendapat pengikut mazhab Hanafi.

4. Naskh perkataan dan perbuatan dalam Sunnah
Menurut imam Syafi'i dan lbn Uqail dari mazhab Hanbali bahwa sesuatu yang dibatalkan mesti sama kekuatan yang membatalkan atau lebih kuat dari yang dibatalkan. Perkataan Nabi saw. lebih kuat dari perbuatannya, maka perkataan itu harus dibatalkan dengan perkataan juga. Demikian pula perbuatan Nabi SAW. tidak dapat dibataikan kecuali dengan perbuatannya.
Pendapat imam Syafi'i ini dapat dibantah dengan alasan bahwa perkataan dan perbuatan Nabi merupakan Sunnah yang disyariatkan bagi umat Islam. Tampaknya, tiada alasan yang melarang terjadinya naskh antara perkataan dengan perbuatan Nabi saw. Secara realitas, banyak contoh yang menunjukkan telah terjadi naskh antara keduanya.
Jumhur ulama ushul fiqh menegaskan perbuatan Nabi saw. dapat dibatalkan dengan perkataannya, begitu sebaliknya. Untuk memperkuat pendapat ini, mereka mengemukakan beberapa alasan:

1. Dalam sebuah hadits Nabi SAW. bersabda:


Janda dengan janda yang berzina dijitid sebanyak seratus kali dan dirajam.

Hadits ini menjelaskan bahwa hukuman bagi janda yang berzina dijilid sebanyak seratus kali dan dirajam. Namun, secara realitas Nabi ternyata rrienghukum Maiz, seorang janda yang berzina, dengan hukuman rajam tanpa menjilid atau memukulnya seratus kali. Dengan demikian perbuatan Nabi ini dipandang sebagai naskh terhadap perkataan dalam hadits di atas.
Nabi SAW. pernah berdiri ketika ada jenazah lewat dihadapannya, tetapi pada kali lain beliau tidak melakukan hal yang demikian. Tindakan tidak berdiri ketika jenazah dibawa melewatinya membatalkan tindakannya terdahulu yang berdiri ketika jenazah lewat dihadapannya.
Dalam sebuah hadits Nabi menjelaskan sanksi bagi pencuri yang melakukan pencurian untuk kelima kali:

Jika ia kembali mencuri untuk keIima kalinya, maka hendaklah ia dibunuh (HR. Abu Daud).

Kenyataannya ketika dihadapkan kepada Nabi seorang yang telah mencuri sebanyak lima kali dan sebelumnya teiah mendapat hukuman untuk setiap pencurian yang dilakukannya, ternyata beliau tidak membunuh orang tersebut. Sikap Nabi yang demikian dipandang sebagai nasikh atau yang membatalkan terhadap pernyataannya dalam hadits di atas.

7. Cara Mengetahui Naskh
Pembahasan tentang naskh terkait erat dengan dua nash yang bertentangan. Salah satu dari nash itu, ada yang terakhir turun sehingga disebut sebagai nasikh dan yang lain dipandang lebih awal turunnya sehingga disebut sebagai mansukh atau yang dibatalkan. Untuk mengetahui naskh ada beberapa petunjuk yang dapat dipakai, yaitu:
1. Nash Al-Qur’an yang secara lahir menjelaskan bahwa yang sahz sebagai nasikh terhadap nash lain. Misalnya, firman Allah surat Al-Anfal, 8:66:

               

Sekarang Allah Telah meringankan kepadamu dan dia Telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir;

DAFTAR PUSTAKA


Muhammad bin Ismail Al-Amiri Al-sunani Ushul Fiqh Al-Musamma Ijabah Al-Sail bi Ghoyati al-Amil, Prof. Dr. Amir Syarifuddin
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929