loading...

Muthlaq dan Muqayyad, Haqiqi dan Majazi, Musytarak dan Muradift

March 19, 2014
loading...
BAB I
Pendahuluan

Dalam mengkaji Islam, salah satu unsur yang sangat penting digunakan sebagai pendekatan adalah ilmu ushul Fiqih, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah, yang diperoleh melalui dalil-dalil secara rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqih akan diketahui nash-nash syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Dengan ushul fiqih dapat dicarikan solusi untuk menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya kontradiksi satu sama lain. Dengan adanya perangkat ushul fiqih maka syari’at Islam akan membuktikan dirinya sebagai syari’at yang akan berlaku sepanjang masa, dan tidak akan hilang ditelan zaman.
Diantara kaidah-kaidah ushul fiqih yang penting diketahui adalah lafal mutlaq, muqayyad,haqiqi , majaz muradif dan musytarak yang akan ,dibahas lebih lanjut dalam makalah ini.


BAB II
Pembahasan

Mutlaq Dan Muqayyad
1. Pengertian Mutlaq
Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Dalam memberikan definisi kepada mutlaq terdapat rumusan yang berbeda, namun saling berdekatan. Dibawah ini merupakan definisi beberapa ahli:
1. Muhammad al-Khudhari Beik:
Mutlak ialah lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi.
2. Al-Amidi:
Lafaz yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.
3. Ibn Subki:
Mutlak adalah lafaz yang member petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada ikatan apa-apa.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan maksudnya lafal tersebut masih dalam keadaan asli dan bebas dari pengaruh hal-hal yang lain.

Contohnya:
Kata  dalam ayat:
        
Artinya: Apabila kamu tidak menemukan air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu dengan debu itu. (QS. An-Nisa’ : 43)
Mengusap tangan dengan debu, dalam ayat ini tidak dibatasi dengan sifat syarat dan sebagainya, artinya tidak diterangkan sampai di mana, apakah semuanya diusap atau sebagainya. Yang jelas dalam tayamum itu harus mengusap tangan dengan debu.
Karena perkataan ايديكم (tangan) ini tidak dibatasi sampai dimana yang harus diusap, maka bagian yang diusap adalah bagian mana saja asalkan bagian tangan. Karena itu disebut mutlaq.

2. Pengertian Muqayyad
Muqayyad atau Al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batas-batas tertentu. Batas tertentu itu disebut Al-Qaid.
Contohnya:
  �
Yang artinya basuhlah tanganmu sampai siku-siku. Ayat ini menerangakan soal wudhu, yaitu harus membasuh muka dan tangan sampai siku-siku. Di sini jelaslah bahwa lafal  ini disebut muqayyad (dibatasi) sedangkan lafal الىَ المرافق disebut al-qaid yang kadang-kadang disebut Qaid.
3. Hukum Lafal Mutlak Dan Muqayyad
Apabila ada suatu lafal, di satu tempat berbentuk mutlaq sedangkan pada tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari ketentuan tersebut.
a. Persamaan Sebab dan Hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni muqayyad. Artinya lafal mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi karena ia harus tunduk kepada yang muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
Contoh lafal: ¬  yang artinya tiga hari. Dalam ayat
مٍ ¬   
Artinya: Maka barang siapa yang tidak mendapatkannya hendaklah puasa tiga hari. (QS. Al-Maidah: 89)
Menurut bacaan mutawatir, lafal di atas bentuknya mutlaq. Tetapi menurut bacaan syadzah lafal di atas bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi,
مٍ مُتَتَا ِبعَاتٍ ¬   
Artinya: Hendaklah puasa tiga hari berturut-turut.
Jadi, dibatasi dengan kata-kata berturut-turut (mutatabiat).
Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, maka qiraat mutawatir di atas harus diikuti (disesuaikan) dengan qiraat syadzah, cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah, hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut, jadi dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut. Jadi karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan (mutatabiat) tetapi cara mengartikannya haruslah “berturut-turut” sesuai dengan qiraat syadz.

b. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafal berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum) maka bagian ini diperselisihkan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “ رقبة ” yang artinya budak. Lafal ini bentuknya mutlaq dalam ayat
 �       ��       …..
Artinya: “Dan orang-orang yang bersumpah ziahar kemudian menarik kembali apa yang diakatakannya, maka wajiblah memerdekakan budak sebelum keduanya berkumpul.” (QS. Al_Mujadilah: 3)

Pada ayat lain dalam surat An-Nisa disebutkan dengan bentuk muqayyad رقبة مؤمنة (budak yang mukmin) dalam ayat
….         ��   ....
Artinya: “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tersalah, maka wajiblah memerdekakan budak yang mukmin.” (QS. An-Nisa: 92)
Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab seseorang harus memerdekakan budak ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.

Meskipun berlainan dalam sebabnya, tetapi hukumnya bersamaan, yaitu sama-sama harus memerdekakan budak. Dalam ayat yang pertama bentuknya mutlaq karena hanya disebut رقبة (budak) sedangkan dalam ayat kedua bentuknya muqayyad karena disebut رقبة مؤمنة (budak yang mukmin). Jadi, kalau yang mutlaq diikutkan kepada muqayyad, maka yang dimaksud budak dalam ayat yang pertama itu ialah budak-budak yang mukmin (harus mukmin). Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin, sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja budak yang dimerdekakan haruslah yang mukmin.

c. Perbedaan hukum dan sebabnya.
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Maka yang mutlaq tidak boleh diikutkan kepada muqayyad. Misalnya, dalam hal saksi diharuskan adil, sedangkan dalam hal membunuh dengan tidak sengaja diharuskan memerdekakan budak. Keduanya berlainan hukum dan sebabnya, yang satu diharuskan adil (muqayyad), dan yang lain diharuskan memerdekakan budak (mutlaq). Yang satu soal saksi dan yang lain soal pembunuhan, maka jelaslah persoalannya. Karena itu, tidak boleh diikutkan satu dengan yang lain, artinya dalam hal budak tidak harus budak yang adil sebagaimana dalam hal saksi.

d. Hukum berbeda tetapi sebabnya sama
Dalam hal ini masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap menempati tempatnya sendiri.
Contoh mutlaq yang artinya: “Tayamum ialah sekali mengusap debu untuk muka dan kedua tangan”. (HR. Ammar)
Contoh muqayyad yang artinya: “Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”. (QS. Al-Maidah: 6)
                                                                
6. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.

Ayat 6 Al-Maidah tersebut yang muqayyad tidak bisa menjadi penjelasan hadis yang mutlaq, karena berbeda hukum yang dibicarakan, yaitu wudhu pada ayat 6 Al-Maidah, dan tayamum pada hadis meskipun sebabnya sama yaitu hendak shalat atau karena hadas (tidak suci).




Hakikat dan Majaz

1. Pengertian Hakikat
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Ia bisa bermakna subjek (fā’il); sehingga memiliki arti ‘yang tetap’ atau objek (maf’ūl),yang,berarti‘ditetapkan’.
Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Umpamanya kata (kursi) menurut asalnya memang digunakan untuk tempat tertentu yang memiliki sandaran dan kaki, tapi saat ini kata kursi dapat diartikan kekuasan, namun tujuan semula kata kursi bukan itu, tempat duduk. Menurut Ibnu Subki menyatakan bahwa hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk apa lafaz itu ditentukan pada mulanya. Ibnu Qudamah mendefinisikannya sebagai lafaz yang digunakan untuk sasarannya semula. Sementara Al-Sarkhisi berpendapat bahwa hakikat adalah setiap lafaz yang ditentukan menurut asalnya untuk hal tertentu. Menurut Amir Syarifuddin, semua penjelasan tersebut mengandung makna terminologis tentang haqiqah, yaitu suatu lafaz yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu.

2. Pengertian Majaz
Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks, karena adanya persamaan atau keterkaitan baik antara makna yang tersurat di dalam teks maupun maksud yang terkandung di dalam teks tersebut.
Penelitian lebih rinci lagi telah dilakukan oleh Amir Syarifuddin yang dimanifestasikan dalam bukunya Ushul Fiqh. Di sana, ia mengemukakan beberapa definisi. Pertama, As-Sarkhisi mendefinisikannya sebagai nama untuk setiap lafaz yang dipinjam untuk digunakan bagi maksud di luar apa yang ditentukan. Kedua, Ibnu Qudamah: lafaz yang digunakan bukan untuk apa yang ditentukan dalam bentuk yang dibenarkan. Ketiga, Ibnu Subki berpendapat majaz adalah lafaz yang digunakan untuk pembentukan kata kedua karena adanya keterkaitan.

Dari ketiga definisi tersebut beliaumenyimpulkan rumusan definitif majaz, yaitu:
a. Lafaz itu tidak menunjukkan kepada arti yang sebenarnya sebagaimana yang di kehendaki suatu bahasa.
b. Lafaz dengan bukan menurut arti sebenarnya itu dipinjam untuk digunakan dalam memberikan arti kepada apa yang dimaksud.
c. Antara sasaran dari arti lafaz yang digunakan dengan sasaran yang dipinjam dengan lafaz itu memang ada kaitannya.

3. Macam-macam Majaz
Adapun Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian antara lain sebagai berikut:
a. Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya.
Cotahnya: menambahkan makna yang berarti ‘seperti’ dalam surat asy-syara ayar 11, tidak ada seperti semisal sesuatupun, tanpa kata itupun sebenarnya tidak mengurangi atrinya.
b. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu.
Contohnya: dalam surat yusuf ayat 82,’ tanyakan kampung itu’ secara makna kakikat adalah tanyalah penduduk kampung itu. Adanya kekurangan kata ‘penduduk’ dalam kata ‘kampung’ itu menjadikannya sebagai majaz.
c. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata.
Contahnya: dalam surat an-nisa ayat 11. Sesudah mengeluarkan wasiatnya dan membayar hutangnya. Maksud sebenarnya’ sesudah mnbayar hutang dan mengeluarkan wasiatnya.
d. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain
Contohnya membri nama si A pemberani dengan singa.

4. Cara Mengetahui Lafas Hakikat dan Majaz
Pada dasarnya, dalam percakapan cenderung digunakan kata dengan makna hakikat, kecuali jika ada sesuatu hal yang memaksa pembicara untuk menggunakan makna majaz. Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl.
Melalui normativitas teks dapat diketahui secara lugas dari pembicara yang menjelaskan bahwa ini adalah majaz sedangkan ini hakikat atau dengan menyatakan ini kata dipakaikan pada tempatnya sementara ini dipakaikan pada selaintempatnya.

Dengan cara istidlāl, dapat diketahui melalui beberapa cara sebagai berikut:
a. Makna hakikat dapat difahami secara langsung oleh pendengar (tabādur al-ẓihni) sementara makna majaz tidak demikian.
b. Suatu kata yang bermakna majāzi dapat menerima term negatif (nafi), sementara pada waktu dan kata yang sama, hakikat tidak menerimanya.
c. Diskontinuitas pada majaz, dalam artian jika suatu kata majaz telah dipakaikan pada suatu kondisi, maka tidak lagi bisa dipakaikan pada yang lain. Seperti kata nakhlah yang berarti pohon kurma dipinjam untuk menjelaskan arti ‘laki-laki yang tinggi’, maka tidak lagi dipakaikan pada objek yang lain.
d. Hakikat berlaku pada makna global sementara majaz lebih parsial sebagaimana pada contoh “was’al al-qaryah” di atas.
e. Hakikat menerima derifasi kata, seperti kata “amara” yang bisa menjadi “ya’muru” dan sebagainya. Jika tidak dapat dipecah sebagaimana di atas, seperti kata “amru”, maka ia adalah majaz.
f. Jika terdapat perbedaan antara term plural dengan singular, maka salahsatunya adalah majaz.
g. Sebuah kata itu hakikat apabila ada ketergantungan makna kepada yang lain (ta’alluq). Sebagai contoh kata qudrah, apabila dimaksudkan dengannya ‘sifat kekuasaan’, maka ia mempunyai ketergantungan makna kepada objek yang dikuasai. Namun, pada opsi kedua ia juga bisa berarti objek kekuasaan secara langsung, seperti tumbuhan atau ciptaan lainnya, sehingga ia tak lagi mempunyai ketergantungan makna (ta’alluq) kepada yang lainnya. Selain itu, pada dasarnya kata hakikat dapat diketahui secara simā’i dari orang yang berbahasa. Ia tidak dapat diketahui dengan analogi (qiyās) sebagaimana biasa dilakukan dalam fiqh dan ushul fiqh. Sementara majaz dapat diketahui melalui usaha mengenal kebiasaan orang arab dalam penggunaan isti’ārah.

5. Ketentuan Yang Berkaitan Hakikat dan Majaz
Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz antara lain:
a. Adanya keserupaan, yakni pengumpulan sifat tertentu antara makna hakikat dan makna majaz dalam satu lafad, contohnya adalah pada saat nabi hijrah dari Makkah ke Madinah yang diiringi dengan shalawat badar. Pada contoh tersebut menunjukan bahwa ada pengumpulan sifat tertentu yakni terangnya cahaya pada bulan bulan purnama dan wajah Nabi Muhammad SAW.
b. الكون artinya adalah menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai dengan sifat yang melekat padanya, seperti pada ayat al-Qur’an:
“Dan berikanlah kepada anak yatim (yang sudah baliqh) harta mereka”
Ayat di atas didasarkan pada ayat al-Qur’an yang lain pada surat an-Nisa ayat 6.
• 

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka lebih cerdas, maka serahkanlah hartanya”. (QS.an-Nisa’:6).
c. ألأول adalah menamakan sesuatu sesuai dengan takwil atau penjelasan yang akan terjadi pada masa yang akan datang, seperti pada contohnya mimpi Nabi Yusuf .as
إنّىأرَانِىأعْصِرٌخَمْرًا
“Sesungguhnya aku mimpi, bahwa aku memeras anggur. (QS.Yusuf:36)
Maksud ayat di sini adalah Nabi Yusuf memeras buah anggur yang ditakwil dengan khamr.
d. ألإستعداد adalah menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, hitungan-hitungan atau pertimbangan-pertimbangan. Yang mana hal tersebut untuk menjelaskan adanya pengaruh tertentu pada sesuatu tersebut. Contohnya adalah pada kalimat racun itu mematikan, maksudnya adalah racun itu sangat kuat sekali dalam menyebabkan kematian.
e. ألحلول adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, seperti pada ayat al-Qur’an: واسألالقرية (يوسف:82) .
maksud dari ayat ini adalah bertanyalah kepada penduduk desa tersebut.
f. ألجزئيةوعكسها adalah menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya dan menyebutkan keseluruhan untuk menjelaskan sebagiannya saja.
Contohnya pada ayat تبتيداأبىلهب maksud ayat di sini bukan hanya tangan Abu Lahab saja yang harus bertaubat, tetapi juga seluruh jiwa dan raganya.
g. ألسببية adalah menyebutkan sebab dari suatu hal, sedang yang dimaksud adalah musabbabnya ataupun sebaliknya.
Contoh pertama adalah فلانأكلدمأخيه (sebab), maksud di sini adalah diat atau denda bagi seseorang yang telah membunuh saudaranya (musabab).
Contoh kedua adalah إعْتَدِي(kamu dalam masa `iddah) (musabab), maksud di sini adalah kamu saya talak, karena `iddah adalah musabab dari wanita yang ditalak (sebab).


6. Penyebab Tidak Berlaku Hakikat dan Majaz
Sebagaimana disampaikan di atas, pada dasarnya, kata yang digunakan dalam percakapan adalah hakikat dan tidak boleh beralih kepada majaz kecuali bila ada qarinah. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat, dalam keadaan berikut:
a. Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz yang menghendaki meninggalkan makna hakikat, seumpama kata shalat yang berarti doa. Pada kenyataannya, secara ‘urfi kata tersebut tidak lagi digunakan sesuai dengan makna hakikatnya, sebagai doa, melainkan menjadi suatu bentuk ibadah tertentu.
b. Adanya petunjuk lafaz, seumpama kata daging yang pada hakikatnya mencakup seluruh daging. Namun, berikutnya kata daging dengan makna hakikat tersebut tidak lagi digunakan, ia mengecualikan daging ikan dan belalang, sehingga keduanya tidak lagi disebut daging.
c. Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, sehingga meskipun diucapkan dengan cara lain walaupun dalam bentuk hakikatnya, harus dikembalikan kepada aturan yang ada walaupun berada di luar hakikatnya. Seumpama firman Allah; surat al-Kahfi: 29
               •                 
29. dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Secara hakikat, ayat di atas memberikan pilihan untuk beriman ataupun kafir. Namun, dengan adanya kalimat ancaman di belakangnya, maka kalimat ini tidak lagi difahami secara hakikat, melainkan dengan arti lain yaitu keharusan beriman kepada Allah.
d. Adanya petunjuk dari sifat pembicara. Meskipun si pembicara mengungkapkan sesuatu sesuai haqiqah-nya, namun dari sifatnya dapat diketahui bahwa sebenarnya ia tidak menginginkan apa yang dibicarakannya tersebut.
e. Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan. Dalam beberapa kondisi, terdapat petunjuk tempat yang menghalangi pemahaman secara hakikat. Umpanya firman Allah; al-Fāṭir: 19
    
19. dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat.

Ketidaksamaan pada kalimat tersebut pada hakikatnya menyangkut semua hal, namun jika diperhatikan arah pembicaraan ayat di atas, maka ia hanya berlaku untuk hal-hal yang ada kaitannya dengan penglihatan. Hal ini berarti pemahaman dengan haqiqah terhalangi.

Muradif Dan Musytarak
1. Pengertian lafal Muradif
Muradif ialah lafalnya banyak sedangkan artinya adalah sama (sinonim), misalnya lafal asad dan allits (artinya singa), himtah dan qamhu (artinya gandum).

2. Hukum Lafal Muradif
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan: meletakkan lafal muradif di tempat lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa.
Tentang lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lafal yang satu dapat menempati tempat yang lain selama tidak mengubah makna dan tidak ada larangan syara’ untuk mempergunakannya.
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Al-Qur’an yaitu zikir-zikir dalam ayat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahuakbar. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah memperbolehkan takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahuakbar seperti Allah Al-A’dzam atau Allah Al-A’la atau Allah Al-Ajall. Perbedaan pendapat ini adalah disebabkan apakah kita beribadah dengan lafalnya atau maknanya.

3. Pengertian dan Hukum Lafal Musytarak
Lafal Musytarak menurut Abdul Wahab Khallaf ialah lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti itu. [15] Seperti lafal اَلْعَيْنِ yang menurut bahasa bisa berarti: mata, sumber mata air dan mata-mata.
Contoh lafal Musytarak yang mempunyai dua arti:
�             �  � ....
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci....” (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata suci dalam ayat ini dapat diartikan berhenti dari haid atau berhenti dari haid dan sudah mandi wajib.
Contoh lafal musytarak yang mempunyai tiga arti:
      � ….
Artinya: “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,…”. (QS. Al-Baqarah: 222)
Kata kalalah dalam ayat ini mempunyai tiga arti; orang yang meninggalkan anak tetapi tidak mempunyai ayah, tidak meninggalkan anak dan juga tidak meninggalkan ayah dan orang tidak meninggalkan keluarga jurusan anak dan jurusan ayah. Namun yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang yang meninggalkan anak, tetapi tidak meninggalkan ayah. [16]
Mengenai hukum lafal musytarak, diatas telah dikemukakan bahwa lafal musytarak mempunyai dua arti, arti yang diambil hanya satu. Kalau disebabkan perbedaan antara bahasa dan arti syara’, arti syara’-lah yang dipakai dan kalau disebutkan perbedaan antara arti hakiki dan majazai, arti hakiki yang dipakai.

4. Sebab-sebab Timbulnya Lafal Musytarak
Burhanuddin dalam bukunya Fiqih Ibadah menjelaskan diantara faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya lafal-lafal musytarak tersebut diantaranya ialah:
1. Bermacam-macam suku bangsa Arab terdiri dari dua golongan Adnan dan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Terkadang suatu suku membuat nama untuk suatu pengertian. kemudian suku lain menggunakan nama tersebut untuk suatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Bahkan kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada kaitannya. Hal ini menyebabkan adanya satu kata mempunyai dua arti.
2. Satu lafal mempunyai arti tertentu, namun dipindahkan maknanya ke arti lain kemudian arti aslinya dilupakan orang.
3. Asal suatu lafal untuk maksud kemudian dipergunakan untuk arti lain yang ada hubungannya dengan arti asli, tetapi lama-kelamaan hubungan itu dilupakan sehingga lafal itu digunakan untuk dua arti.
4. Satu lafal dipergunakan untuk arti tertentu dan menurut isyarat nash dipindahkan ke arti yang lain yang kemudian dipergunakan oleh orang lain tanpa mengetahui arti aslinya. Kemudian penggunaannya semakin meluas, bahkan kadang-kadang arti asli itu dilupakan orang.



Kesimpulan
Secara bahasa kata mutlaq berarti bebas tanpa ikatan, dan kata muqayyad berarti terikat. Dalam memberikan definisi mutlaq, Muhammad al-Khudhari Beik menyatakan bahwa mutlak ialah lafaz yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terpisah secara lafzi. Misalnya kata “basuhlah tanganmu”. Hal ini tidak ada yang membatasi, apa harus sampai siku-siku atau seluruh tangan.Muqayyad atau Al-Muqayyad ialah lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batas-batas tertentu. Misalnya kata “basuhlah tanganmu sampai siku-siku”. Hal ini ada yang membatasi, yaitu siku-siku. Sedangkan hukum lafal mutlaq dan muqayyad ialah apabila di suatu tempat berbentuk mutlaq sedangkan pada tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari ketentuan tersebut: persamaan sebab dan hukum, sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama, perbedaan hukum dan sebabnya, dan hukum berbeda tetapi sebabnya sama.
Secara etimologi, hakikat merupakan dari kata haqqa yang berarti tetap. Berarti ditetapkan Pengertian Hakikat adalah suatu lafas yang digunakan menurut asalnya untuk maksud tertentu. Pengertian Majaz adalah suatu lafad yang digunakan untuk menjelaskan suatu lafad pada selain makna yang tersurat di dalam nash atau teks. Majaz Dari segi pembentukannya, bisa dibedakan menjadi 4 bagian: 1 Adapun tambahan dari susunan kata menerut bentuk yang sebenarnya. 2. Adanya kekurngan dalam suatu kata dari yang sebenarnya dan kebenaran dari lafas itu terletak pada yang kurang itu. 3. Mendahulukan dan membelakangkan atau dalam pengertian ,menukar kedudukan suatu kata. 4. Meminjamkan kata atau isti’arah adalah menambahkan sesuatu dengan menggunakan (peminjamkan) kata lain.
Untuk itu, pentinglah kiranya melakukan verifikasi apakah pembicara menggunakan makna majaz atau hakikat sehingga jelaslah perbedaan keduanya. Dalam mengatahui majaz dan hakikat dapat dilakukan dengan dua cara; normativitas teks atau istidlāl. Keterkaitan-keterkaitan yang menjadi syarat penggunaan Hakikat dan Majaz seperti: Adanya keserupaan, menamakan atau memaknai suatu lafad sesuai, menamakan sesuatu sesuai dengan takwil, menamakan atau memaknai sesuatu sesuai dengan kekuatan, menjelaskan maksud suatu keadaan dengan menyebutkan tempatnya, dan menyebutkan sebab dari suatu hal. Namun dalam beberapa hal tidak digunakan kata bermakna hakikat dan majaz dalam keadaanantarala lain: Adanya petunjuk penggunaan secara ‘urfi dalam penggunaan lafaz, Adanya petunjuk lafaz, Adanya petunjuk berupa aturan dalam pengungkapan suatu ucapan, Adanya petunjuk dari sifat pembicara dan Adanya petunjuk tentang tempat atau sasaran pembicaraan.

Muradif ialah lafalnya banyak sedangkan artinya adalah sama (sinonim), misalnya lafal asad dan allits (artinya singa), himtah dan qamhu (artinya gandum).
Hukum lafal muradif ini adalah diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan: meletakkan lafal muradif di tempat lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa. Lafal yang mempunyai dua arti atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan kepada artinya secara bergantian, maksudnya ialah bahwa lafal itu bisa menunjukkan arti ini atau arti itu. Seperti lafal اَلْعَيْنِ yang menurut bahasa bisa berarti: mata, sumber mata air dan mata-mata.
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya lafal-lafal musytarak tersebut ialah, suku bangsa Arab yang terdiri dari dua golongan yaitu Adnan dan Qathan. Masing-masing golongan ini terdiri dari suku yang bermacam-macam dan dusun yang berpencar-pencar yang berbeda-beda tempat dan lingkungannya. Terkadang suatu suku membuat nama untuk suatu pengertian. kemudian suku lain menggunakan nama tersebut untuk suatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud oleh suku pertama. Bahkan kadang-kadang antara kedua pengertian itu tidak ada kaitannya. Hal ini menyebabkan adanya satu kata mempunyai dua arti.









DAFTAR PUSTAKA
Arifin dan A. Faisal Haq, Miftahul, Ushul Fiqh: Kiaidah-kaidah Penetapan Hukum Islam, Cet. I, Surabaya: Citra Media, 1997.
Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Efendi Dan M. Zein, Satria, Ushul Fiqh, Cet. II, Jakarta: Kencana, 2005.
Karim, Syafi’I, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilid 2, Cet. 5, Jakarta: Kencana, 2008.
Uman dan A. Ahyar Aminudin, Khairul, Ushul Fiqih II, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929