loading...

PSIKOLOGI PENDIDIKAN “Diversitas Sosiokultural”

March 06, 2018
loading...
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Diversitas Sosiokultural“ tepat pada waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengaharapkan kepada pembaca agar dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN 2
2.1 Pengertian Kultural dan Etnis 2
2.2 Pendidikan Multikultural 8
2.3 Gender 15
BAB III PENUTUP 30
3.1 Kesimpulan 30
3.2 Saran.........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA 31


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Berdasarkan arti kata, diversitas mempunyai arti perbedaan, kelainan dan keragaman. Sementara itu sosiokultural berarti segi sosial dan budaya masyarakat. Jadi diversitas sosiokultural secara makna kata dapat diartikan dengan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat khususnya, mengenai sosial dan budaya masyarakat. Dalam perspektif pendidikan, diversitas sosiokulutral sangat menarik untuk dikaji karena, kebhinekaan yang terdapat dalam masyarakat merupakan potensi yang luar biasa untuk pelaksanaan pembangunan, namun seiring dengan itu juga sebuah gunung es yang bisa sewaktu-waktu akan meledak dan memicu konflik horizontal yang akan mencerai beraikan tatanan kehidupan sosial masyarakat. Kekerasan pada etnis cina di Jakarta pada bulan mei 1998 dan perang antar agama di Maluku Utara pada tahun 1999-2003 dan Poso, perang etnis antara suku Dayak dan Madura tahun 2000 telah menyebabkan kurang lebih 2000 nyawa melayang sia-sia, beberapa contoh konkrit disamping yang dihadapi sekarang ini seperti korupsi, kolusi, nepotisme, premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, separatism, pengrusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu menghargai hak-hak orang lain adalah bentuk nyata akibat dari diversitas sosiokultural tersebut. Dengan demikian, keragaman ini diakui atau tidak akan menimbulkan berbagai macam persoalan.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Kultur dan Etnis?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Multikultural?
3. Apa yang dimaksud dengan Gender?

1.3 TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui maksud dari Kultur dan Etnis.
2. Untuk mengetahui apa yg dimaksud dengan Pendidikan Multikultural.
3. Untuk mengetahui maksud dari Gender.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KULTUR DAN ETNIS
A. KULTUR
Kultur adalah pola perilaku, keyakinan, dan semua prodk dari kelompok orang tertentu yang diturunkan dari satu generasi kegenerasi lainnya. Produk itu berasal dari interitas antar kelompok orang dengan lingkungannya selama bertahun-tahun (Chun Organizta & Marin 2002; Thomas 2000). Kelompok kultural dapat sebesar Amerika Serikat atau sekecil suku Amazon yang tersaing. Berapapun besarnya, Kulture kelompok itu akan memengaruhi perilaku anggotanya (Berri,2000 Matsumoto,2001).
Psikolog Donal Campabell, dan rekannya (Brewer dan Campabell,1976; Campabell dan Levine 1968). Menemukan bahwa orang-orang disemua kultur cenderung :
• Percaya bahwa apa yang terjadi dalam kultur mereka adalah suatu yang “alami” dan “benar” dan apa yang terjadi didalam kultur lain adalah “ tidak alami” dan “tidak benar” ;
• Menganggap bahawa kebiasaan kulutral mereka adalah valid secara versal ;
• Berperilaku dengan cara-cara yang sesuai dengan kelompok kultralnya;
• Mersa bangga dengan kelompok kulturalnya; dan
• Bermusuhan terhadap kelompok kultural lainnya.
Para psikolog dan pendidik yang mempelajari kulture sering kali tertarik untuk membandingkan apa yang terjadi dengan satu kultur dengan apa yang terjadi dalam satu atau beberapa kultur lain.
1. Studi lintas-kultur menyediakan perbandingan tentang seberapa jauh orang itu sama dan seberapa jauh dan seberapa jauh perilaku tertentu adalah perilaku khusus dari suau kultur. Perbandingan murid Amerika dengan murd Cina, Jepang, dan Taiwan telah mengungkapkan bahwa murid Amerikacenderung mengerjakan tugas mereka secara lebih Independen, sedangkan murid- murid asia cenderung bekerja dalam kelompok(stevenson, 1995). Perbedaaan dalam kultur ini dideskripsikan dengan dua istilah: individualisme dan keloktivitasme(Triandis,200,2001).
2. Individulisme adalah seperangkat nilai yang mengutamakan tujuan personal di atas tujuan kelompok. Nilai-nilai individualisme mencakup perasaan senang, keunikan personal, dan independensi atau kemandirian.
3. Kolektivisme adalah seperangkat nilai yang mendukung kelompok. Tujuan persnal digunakan untuk menjaga integritas kelompok, interpendensi anggota kelompok, dan keharmnisan hubungan. Banyak kultur Barat seperti AS, Kanada, Inggris, dan Belanda dideskripsikan sebagai individualistis. Banyak kultur Timur seperti Cina, Jepang, India, dan Thailand disebut kolektivistik. Kultur Meksiko lebih kuat ciri kolektivistiknya dibandingkan kultur AS. Namun, kultur AS mengandung banyak subkultur kolektivistik, seperti Amerika-Cina dan Amerika-Meksiko.
Banyak konsep dasa psikologi telah dikembangkan dalam kultur individualistis seperti di AS. Istilah dari (self) dalam spikologi yang lebih berfokus pada individualisme: aktualisasi diri, harga diri, konsep diri, kemampuan diri, penguatan diri, kritik diri, biasa mementingkan diri, keraguan diri dan sebagainya. Istilah-istilah “diri” tersebut diciptakan oleh para psikolog Amerika, sehingga muncul beberapa kritik yang mengatakan bahwa psikologi Amerika sangat condong pada nilai individualistis ketimbang kolektivistik (Lonner,1990). Sedangkan kultur individualistis cenderung memiliki level yang tinggi dalam hal tindak bunuh diri, penyalahgunaan obat, kejahatan, kehamilan remaja, perceraian, pelecahan anak, dan gangguan mental (Triandis,1994, 2000). Tetapi, terlepas dari latar belakang kulturnya, orang membutuhkan perasaan akan diri yang positif dan juga hbungan dengan orang lain agar bisa berkembang sebagai manusia (Brown & Kysilka,2002).
• Status Sosioekonomi
Status Sosioekonomi adalah kelompok orang berdasarkan karakteristik ekonomi, individual, dan pekerjaannya. Di AS, sebagian besar perhatian diarahkan pada perbedaan antara SES bawah dan menegah dan persistensi kemiskinan. Status sosioekonomi mengandung kesenjangan tertentu. Individu dari status sosioekonomi bawah sering kali kurang pendidikannya, kurang kuat untuk memengaruhi institusi masyarakat (seperti sekolah), dan hanya punya sedikit sumber daya ekonomi. Tingkat kemiskinan di amerika dalam sebuah laporan tentang anak-anak amerika, Children's Defense Fund (1992) mendeskripsikan seperti apa kehidupan dari banyak anak amerika. Ketika anak kelas enam dari area miskin di St. Louis diminta untuk mendeskripsikan seperti apa keadaan yang sempurna itu, seorang anak lelaki mengatakan bahwa dia akan menghapus dunia, lalu duduk dan berfikir.
Pada tahun 2000, 16 persen anak AS hidup dalam kemiskinan (Children's Defense Fund, 2000). Pada 1998, garis batas kemiskinan untuk satu keluarga beranggotakan empat orang adalah keluarga berpendapatan $16.450. Tingkat kemiskinan anak AS hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan negara industri lainnya. Misalnya, tingkat kemiskinan anak Kanada adalah 9 persen, Swedia 2 persen. Tingkat kemiskinan anak AS sangat tinggi terutama di kalangan keluarga yang dikepalai oleh perempuan mendekati 50 persen. Lebih dari 40 persen anak Afrika-Amerika dan hampir 40 persen anak latino dewasa ini hidup di bawah garis kemiskinan. Dibandingkan dengan anak-anak kulit putih non-latino, anak-anak kulit berwarna lebih besae kemungkinannya mengalami kemiskinan selama bertahun-tahun. Walau demikian, dari segi angka aktual, ada lebih banyak anak kulit putih non-latino (hampir 9 juta) yang hidup di bawah garis kemiskinan ke timbang anak Afrika-Amerika (hampir 4 juta) atau anak latino (juga hampir 4 juta) sebab ada lebib banyak anak kulit putih non-latino di seluruh AS.
Mendidik Anak Belatar Belakang SES Rendah. Anak-anak miskin sering menghadapi problem di rumah dan di sekolah sehingga mengganggu proses belajar mereka (Ceballo & Mcloyd, 2002, Evans & English, 2002, Magnuson & Duncan, 2002, Webb, Metha, & Jordan, 2002). Di rumah, orang tua mereka mungkin tidak menetapkan standar pendidikan yang tinggi untuk anak, tidak mampu membantu belajar membaca, dan tidak punya cukup uang untuk membayar biaya pendidikan dan materi penunjang seperti buku dan biaya perjalanan ke museum atau kebun binatang. Mereka mungkin kuranh gizi dan tinggal di area yang penuh kejahatan dan kekerasan.
Dua studi di bawah ini mengilustrasikan bagaimana kemiskinan bisa berdampak negatif terhadap pembelajaran dan perkembangan:
1. Satu studi membandingkan lingkungan bahasa rumah anak-anak usia 3 tahun dari keluarga profesional dan keluarga yang berpendapatan rendah (Hart & Risley, 1995). Semua anak itu berkembang normal dalam belajar bicara dan belajar menguasai kosakata dasar. Namun, ada perbedaan besar dalam hal jumlah bahasa yang dikenal anak dan level perkembangan bahasa yang dicapai anak.
2. Studi lain atas 1200 remaja usia 12 sampai 14 tahun dimaksudkan untuk mengetahui dapat kemiskinan dalam kemampuan mereka dalam belajar membaca dan berhitung (Eamon, 2002). Kemiskinan berhubungan dengan nilai pelajaran membaca dan matematika yang rendah. Studi ini juga menemukan bahwa kemiskinan berhubungan dengan problem perilaku di sekolah.
B. ETNIS
Kata etnis berasal dari kata Yunani yang berarti “bangsa”. Etnisitas (enicity) adalah pola umum karakteristik seperti warisan kultural, ras, agama, dan bahasa. Setiap orang adalah anggota dari satu atau lebih kelompok etnis. Relasi orang-orang yang berbeda etnis, bukan hanya di Amerika tetapi di seluruh dunia, sering kali dipenuhi dengan bias (pola penyimpangan) dan konflik. Sedangkan ras (race), yang didiskreditkan sebagai konsep biologi, adalah klasifikasi orang atau nahluk hidup lainnya berdasarkan karakter psikologi tertentu. Istilah ini tidak pernah memuaskan untuk mendeskripsikan orang dalam pengertian ilmiah sebab manusia sangat beragam sehingga tidak bisa dikotak-kotakkan secara ketat dalam kategori rasial. Kata ras telah dipakai secara longgar untuk segala sesuatu mulai dari adat, agam, sampai warna kulit. Seorang psikolog sosial, James Jones (1994, 1997) menunjukkan bahwa orang sering “menstereotipkan” orang lain berdasarkan alasan ras, dan secara keliru mengklasifikasikan mereka sebagai ras yang kurang atau lebih cerdas, kompeten, bertanggung jawab, atau kurang bisa diterima secara sosial. Meskipun istilah ras masih dipakai dalam kosakata di Amerika, kita disini akan memakai istilah etnis atau etnisitas.
Perubahan dalam kultur Amerika yang paling mencolok adalah perubahan keseimbangan etnis diantara warna Amerika (Garcia Coll & Pachter, 2002; Suarez Orozco, 2002). Pada awal abad ke-21, sepertiga dari anak usia sekolah kini bisa dikatakan masuk dalam kategori anak “Kulit Berwarna” (terutama anak dari kalangan Afrika-Amerika, Latino, Asia Amerika, dan Suku Asli Amerika). Secara historis, orang kulit berwarna berada di urutan terbawa dalam strata sosial dan ekonomi. Mereka kebanyakan adalah orang miskin dan kurang terdidik (Edelman, 1997).
a. Etnisitas dan Sekolah
Segregasi pendidikan masih menjadi kenyataan bagi anak kulit berwarna di Amerika (Burk, 2002; Simons, Finlay, & Yang, 1991). Hampir sepertiga dari Afrika-Amerikad dan Latino masuk sekolah di mana 90% lebih muridnya berasal dari kelompok minoritas, biasanya dari kelompok minoritas sejenis. Pengalaman sekolah murid dari kelompok etnis yang satu berbeda juga dengan yang lainnya (Reid & Zalk, 2001; Yeakey & Henderson, 2002). Misalnya murid Afrika-Amerika dan Asia-Amerika untuk masuk ke akademik, perguruan tinggi. Mereka itu lebih mungkin masuk ke program pendidikan khusu dan pemulihan. Murid Asia-Amerika lebih mungkin berhasil dalam bidang matematika dan sains ketimbang murid dari kelompok etnis minoritas lainnya.
b. Prasangka, Diskrimasi dan Bias.
Prasangka adalah sikap negatif yang tak adil terhadap orang lain karena keanggotaan individu itu dalam satu kelompok. Kelompok yang menjadi sasaran prasangka mungkin didefinisikan berdasarkan etnis, jenis kelamin atau perbedaan lain yang terlihat (Monteith, 2000). Fokus kita disini adalah prasangka terhadap kelompok etnis kulit berwarna. Orang yang menentang prasangka dan diskriminasi sering punya pandangan yang sangat berbeda. D satu sisi ada individu yang menghargai langkah-langkah yang memperjuangkan hak-hak sipil belakangan ini. Disisi lain ada individu yang mengkritik sekolah Amerika dan Institusi lain karena mereka percaya bahwa berbagai bentuk diskriminasi dan prasangka masih eksis di lembaga-lembaga tersebut (Jackson, 1997; Murrel, 2000).
Antropolog Amerika John Ogbu (1989; Obgu & Stern, 2001) mengemukakan pandangan bahwa murid dari etnis minoritas masih ditempatkan dalam posisi subordinat dan dieksploitasi di dalam sisitem pendidikan Amerika. Dia percaya bahwa murid kulit berwarna, terutama murid Afrika-Amerika dan Letino, hanya mendapat sedikit kesempatan memperoleh pendidikan yang baik, diajar oleh guru dan staf sekolah yang kurang bermutu dan menghadapi stereotip negatif yang dikenakan pada kelompok etnis minoritas.
• Diversitas dan Perbedaan
Pengalaman historis, ekonomi dan sosial telah melahirkan prasangka dan perbedaan antar kelopmpok etnis. Individu yang tinggal dalam kelompok etnis atau kultural tertentu menyesuaikan diri dengan nilai, sikap dan tekanan dari kultur tersebut. Perilaku mereka mungkin berbeda diantara mereka, tetapi bersifat fugsional buat mereka. Mengakui dan menghargai perbedaan ini merupakan aspek penting untuk berhubungan baik dengan dunia yang multi kultural dan beraam (Spencer, 2000). Sayangnya, sering kali penekanan lebih diarahkan pada perbedaan antara etnis minoritas dan mayoritas kulit putih. Penekanan ini telah membahayakan individu dari kalangan minoritas. Semua perbedaan ini dianggap sebagai semavam kekurangan atau karakteristik inferior dipihak kelompok etnis minoritas (Meece & Kurtz-Costes, 2001). Dimensi penting lainnya dari kelompok etnis minoritas adalah diversitas (Wong & Rowley, 2001). Kultur sangat beragam, tidak hanya di Amerika demikian pula kelompok etnis di dalam kultur Amerika juga beragam.
1. Pendidikan Bilingual
Pendidikan ini bertujuan untuk mengajar mata pelajaran pada anak imigran dengan menggunakan bahasa asal mereka (kebanyakan Spanyol), sembari secara bertahap memberikan pengajaran dengan bahasa inggris. Kebanyakan program bilingual adalah progam transisional yang dikembangkan untuk membantu murid sampai mereka bisa memahami bahasa Inggris secara cukup sehingga bisa belajar dikelas reguler (Minaya-Rowe, 2002). Biasanya mulai dari grade dua atau tiga pelajara hanya diberikan dalam bahasa inggris, meskipun beberapa program masih tetap melanjutkan pengajaran dengan bahasa asal si anak sampai grade enam. Dalam kebanyakan program, setidaknya setengah dari pengajaran dilakukan dengan bahasa Inggris sejak awal (Gracia, 1992; Gracia, dkk., 2002). Beberapa negara lain baru-baru ini telah mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa bahasa Inggris menjadi bahasa resmi, dan ini menciptakan kondisi dimana sekolah tidak diwajibkan mengajar anak etnis minoritas dengan bahasa selain Inggris (Rothstein, 1998).
Kekhawatiran yang muncul biasanya adalah pengenalan bahasa Inggris sejak dini akan menyebabkan murid kehilangan kemampuan berbahasa aslinya. Akan tetapi, para peneliti telah menemukan bahwa bilingualisme (kemampuan untuk berbicara dakam dua bahasa ) tak mengganggu kemampuan anak dalam dua bahasa (Hakuta, 2000; Hakuta & Gracia, 1989). Para peneliti juga mengemukakan bahwa bilingalisme memberikan dampak positif pada perkembangan kognitif anak. Anak yang lancara dalam dua bahasa bisa lebih baik dalam mengerjakan tes kontrol atensional, formasi konsep, penalaran analitis, fleksibilitas kognitif, dean kompleksitas kognitif ketimbang anak yang hanya bisa satu bahasa (Bialy-Stok, 1999, 2001). Mereka juga lebih memahami struktur bahasa an tulis dan lisan dan lebih tahu kesalahan tata bahsa dan makna. Keahlian ini akan membantu mereka dalam meningkatkan kemampuan membacanya (Bialystok, 1993, 1997).
2. Untuk Anak yang Berbeda secara Bahasa dan Kultural
Berikut beberapa rekomendasi dari Nation Association for the Education of Young Children (NAEYC, 1996) untuk mengjar anak yang berbeda kultural dan bahasa :
1. Sadari bahwa semua anak terkait secara kognitif, linguistik dan emosional dengan bahasa dan kultur rumah mereka.
2. Akui bahwa anak dapat menunjukkan pengetahuan dan kapasitas mereka dalam banyak cara. Apapun bahasa yang dipai anak mereka mampu untuk menunjukkan kemampuan dan juga bisa merasa dihargai dan juga diperhatikan.
3. Pahami bahwa tanpa input yang bisa dipahami, pembelajaran bahasa yang kedua bisa jadi sulit. Dibutuhkan waktu untuk fasih secara linguistik dalam bahasa apapun. Meskipun kefasihan (oral) atau lisan dalam bahasa kedua bisa diperoleh dalam waktu tiga hingga lima tahun, penguasaan keahlian yang dibutuhkan untuk memahami isi materi akademi melalui membaca dan menulis akan memakan waktu empat sampai tujuh tahun. Anak yang basanya tidak lancar dalam pengsaan bahasa kedua setelah melewati periode waktu ini biasanya juga tidak bagus secara akademik dalam bahasa pertamanya.
4. Beri contoh penggunaan bahasa inggris yang tepat dan beri anak kesempatan untuk menggunakan kosakata yang baru dikuasainya. Pelajari setidaknya beverapa kata dalam bahasa pertama si anak untuk menunjukkan penghormatan kepada kultur anak.
5. Libatkan orang tua dan keluarga secara aktif dalam pembelajaran anak. Ajak dan bantu orang tua untuk mengetahui manfaat pengusaan lebih dari satu bahasa bagi anak. Beri tahu orang tua strategi untuk mendukung dan menjaga pembelajaran bahasa pertama.
6. Akui bahwa anaka dapat dan bisa menggunakan bahasa Inggris walaupun bahasa rumah mereka tetap dipakai dan dihormati.
7. Bekerjasamalah dengan guru lain untuk mempelajari lebih banyak cara mengajar anak yang berbeda secara kultural dan linguistik.

2.2 PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pada 1963 Presiden John Kennedy mengatakan, “Perdamaian adalah proses harian, mingguan, bulanan, dalam opini yang terus berubah, pelan-pelan menggerus lintangan lama, diam-diam membangun struktur baru.” Ketegangan etnis dan kultural kerap mengancam perdamaian yang rapuh ini. Pendidkan multikultural diharapkan dapat memberi sumbangan untuk mewujudkan apa yang diimpikan oleh pimpinan hak-hak sipil Martin Luther King: sebuah bangsa dimana anak-anak akan dinilai bukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan kualitas karakternya.
a. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Para pendukungnya percaya bahwa anak-anak kulit berwarna harus diberdayakan dan pendidikan multikultural akan beranafaat bagi semua murid. Tujuan penting dari pendidikan multikultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utaman dengan kelompok minoritas (Bannett, 2003; Pang, 2001; Schmidt & Mosenthal, 2001). Pendidikan multikultural muncul dari gerakan hak-hak sipil pada 1960-an dan gerakan untuk pemerataan kesetaraan dan keadilan sosial dalam masyarakat untuk wanita serta orang kulit berwarna. Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosioekonomi, etnisitas, dan gender. Karena keadilan sosial adalah salah satu nilai dasar dari bidang ini, maka reduksi prasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks,2001).
b. Memberdayakan Murid
Istilah memberdayakan (empowerment) berarti memberi orang kemampuan intelektual dan keterampilan memecahkan masalah agar berhasil dan menciptakan dua dunia yang adil. Sonia Nieto (1992), seorang keturanan Poerto Rico yang besar di New York City, percaya bahwa pendidikannya membuatnya merasa atar belakang kulturnya kelihatan agak buruk. Dia memberi rekomendasi sebagai berikut :
• Kurikulum sekolah harus jelas antirasis dan antidiskriminasi. Murid harus bebas mendiskusikan isu etnis dan diskriminasi.
• Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari setiap pendidikan murid.
• Murid harus dilatih untuk lebih sadar budaya (kultur).

c. Pengajaran yang Relevan Secara Kultur
Pengajaran yang Relevan Secara Kultur adalah aspek penting dari pwndidikan multikultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001). Pengajaran ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan dengan latar belakang kultural dari pelajara (Pang, 2001). Pakar pendidikan percaya bahwa guru yang baik akan mengetahui dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara kultural kedalam kurikulum karena akan membuat pelajaran menjadi lebih efektif (Diaz, 2001).
d. Pendidikan yang berpusat pada Isu
Pendidikan yang berpusat pada isu juga merupakan aspek penting dari pendidikan multikultural. Dalam pendekatan ini, murid diajari secara sisteatis untuk mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial. Pendidikan ini tak hanya mengkalsifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternatif dan konsekuensi dari pandangan tertentu yang dianut murid. Pikirkan contoh situasi di mana beberapa murid merasa tidak nyaman dengan kebijakan makan siang di sebuah sekolah menengah atas (Pang, 2001). Murid yang mendapat subsidi dari pemerintah federal dipaksa untuk menggunakan bangku khusus di kafetaria, yang secara otomatis membuat mereka dikenali. Banyak dari murid yang berasal dari keluarga miskin ini merasa direndahkan dan dipermalukan sehingga bahkan ada yang tak mau makan siang. Murid-murid itu memberi tahu guru tentang apa yang mereka alami dan kemudian diadakan diskusi. Murid dan guru bersama-sama menyusun rencana aksi untuk mengatasi persoalan keadilan sosial ini. Rencananya kemudian dipaparkan di dewan sekolah distrik. Mereka kemudian merevisi kebijakan makan siang di sepuluh sekolah menengah atas.
e. Meningkatkan Hubungan di Antara Anak dari Kelompok Etnis yang Berbeda-beda
Ada sejumlah strategi dan program untuk meningkatkan hubungan antar-anak dari kelompok etnis yang berbeda-beda. Pertama-tama, kita akan mendiskusikan salah satu strategi yang paling kuat. Kelas Jigsaw. Ketika psikolog sosial Eliot Aronson masih menjadi profesor di University of Texas di Austin, sistem sekolah mengontaknya untuk mencari ide guna mengurangi peningkatan ketegangan rasial di kelas. Aronson (1986) mengembangkan konsep kelas jigsaw. Di kelas ini murid dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda diminta bekerja saraa untuk mengerjakan beberapa bagian yang berbeda dari suatu tugas untuk meraih tujuan yang sama. Aronson memakai istilah jigsaw karena dia menganggap teknik ini sama seperti menyuruh sekelompok anak untuk bekerja sama menempatkan kepingan yang berbeda untuk melengkapi teka-teki permainan jigsaw.
f. Kontak Personal dengan Orang Lain dari Latar Belakang Kultural yang Berbeda
Kontak itu sendiri tidak selau berhasil meningkatkan hubungan. Misalnya, memasukkan anak minoritas ke bis sekolah yang didominasi Kulit Putih, atau sebaliknya, tidak selalu bisa mengurangi prasangka atau memperbaiki hubungan antar-etnis (Minuchin & Shapiro, 1983). Yang penting di sini adalah apa yang terjadi setelah anak tiba di sekolah. Sebuah studi komprehensif terhadap lebih dari 5000 anak grade lima dan 4000 anak grade sepuluh mengungkapkan bahwa proyek kurikulum multietnis yang difokuskan pada isu enis, kelompok kerja campuran, serta guru dan staf sekolah pendukung, telah membantu memperbaiki hubungan antar-etnis di kalangan murid (Forehand, Ragosta, & Rock, 1976).
g. Pengambilan Perspektif
Latihan dan aktivitas yang membantu murid melihat perspektif orang lain dapat meningkatkan relasi antar-etnis. Dalam satu latihan, murid-murid belaiar perilaku tertentu yang tepat dari dua kelompok kultural yang berbeda (Shirts, 1997). Kemudian, kedua kelompok itu berinteraksi satu sama lain sesuai dengan perilaku tersebut. Hasilnya, mereka merasakan kegelisahan sekaligus pemahaman. Latihan ini didesain untuk membantu murid memahami gegar budaya yang muncul sebagai akibat dari berada di setting kultural di mana orang berperilaku dengan cara yang berbeda dengan yang biasa dilakukan murid. Murid juga diajak untuk menulis cerita atau memainkan drama yang berisi pra-sangka atau diskriminasi. Dengan cara ini, murid "masuk ke dunia" murid lain , yang secara kultural berbeda dengan dirinya dan memahami seperti apa rasanya diperlakukan secara tidak adil (Cushner, McClelland, & Safford, 1996). Dalam seni bahasa, murid dapat mempelajari cerita yang terkenal dan diminta untuk mengambil perspektif dari karakter-karakter yang berbeda. Cerita ulang kisah seperti Little Red Riding Hood dari perspektif si serigala adalah karya berjudul The Maligned (Fearn, 1972). Setelah murid membaca cerita itu, mereka menjadi sadar akan bias terhadap beberapa karakter, seperti si nenek. Mereka juga bisa diminta untuk menceritakan kembali cerita lain dari sudut pandang yang berbeda, seperti kisah Cinderella dari sudut pandang ibu tirinya.
h. Pemikiran Kritis dan Inteligensi Emosional
Murid yang belajar berpikir secara mendalam dan kritis tentang relasi antar-etnis kemungkinan akan berkurang prasangkanya dan tak lagi menstereotipkan orang lain. Murid yang berpikir dangkal sering kali lebih banyak berprasangka. Akan tetapi, jika murid belajar mengajukari pertanyaan, memikirkan dahulu isunya ketimbang jawabannya, dan menunda dahulu penilaian sampai informasi yang lengkap sudah tersedia, maka prasang-kanya akan berkurang. Inteligensi emosional bermanfaat bagi hubungan antar-etnis. Seperti dibahas di Bab 4, kecerdasan emosional berarti punya kesadaran diri tentang emosi, mengelola emosi, membaca emosi, dan menangani hubungan. Pikirkan bagaimana keahlian inteligensi emosional berikut ini bisa membantu murid untuk meningkatkan hubungannya dengan orang lain yang berbeda: memahami sebab perasaan orang lain, bagus dalam mengelola kemarahannya sendiri, bisa menjadi pendengar yang baik atas apa yang dikatakan orang lain, dan termotivasi untuk berbagi dan bekerja sama dengan orang lain.
i. Mengurangi Bias
Louise Derman-Sparks -dan Anti-Bias Curriculum Task Free (1989) menciptakan sejumlah alat untuk membantu anak mengurangi, mengelola, bahkan mengeliminasi bias. Pendukung kurikulum antibias ini bergumen bahwa kendati perbedaan itu baik, namun diskriminasi bukan sesuatu yang baik Kurikulum ini lebih mendorong guru untuk menghadapi isu bias yang mengganggu ketmbang menutup-nutupi bias itu. Berikut ini beberapa strategi antibias yang direkomendasikan untuk guru:
• Ciptakan lingkungan kelas antibias dengan memasang gambar anak dari berbagai latar belakang etnis dan kultural. Buku yang Anda pilih untuk murid juga harus merefleksikan diversitas ini.
• Pilih materi drama, seni, dan aktivitas kelas yang memperkaya pemahaman i etnis dan kultural. Gunakan drama untuk mengilustrasikan peran non-stereotip dan keluarga dari latar belakang yang berbeda-beda.
• Gunakan boneka "persona" untuk anak kecil. Enam belas boneka mewakili latar belakang kultur dan etnis yang berbeda-beda. Masing-masing boneka mempunyai kisah hidup yang didesain untuk mengurangi bias.
• Bantu murid menolak stereotip dan diskriminasi. Buat aturan tegas yang tidak membolehkan olok-olok atau pengucilan terhadap setiap aspek identitas individu.
• Ikutlah dalam aktivitas peningkatan kesadaran untuk memahami pandangan kultural Anda sendiri secara lebih baik dan untuk menangani stereotip atau bias yang mungkin Anda miliki.
• Bangun dialog guru/orang tua yang membuka diskusi tentang masing-masing pandangan; lakukan tukar-menukar informasi tentang bagaimana anak mengembangkan prasangka; dan beri tahu orang tua tentang kurikulum antibias.

j. Meningkatkan Toleransi
Teaching Tolerance Project menyediakan sumber daya dan materi kepada sekolah untuk meningkatkan pemahaman antarkultur dan hu¬bungan antara anak Kulit Putih dengan Kulit Berwarna (Heller & Hawkins, 1994). Majalah dua tahunan Teaching Tolerance didistribusikan ke setiap sekolah negeri dan swasta di AS (Anda bisa mendapatkannya dengan mengontak Teaching Tole¬rance, 400 Washington Ave., Birmingham, AL 36104). Tujuan majalah ini adalah untuk berbagi pandangan dan menyediakan sumber materi untuk mengajar toleransi. Untuk guru SD, video dan materi Different and Same dapat membantu anak menjadi lebih toleran (dapat diperoleh melalui Family Communication, 4802 Fifth Ave., Pittsburgh, PA 15213).
k. Sekolah dan Komunitas sebagai SatuTim
Psikiater dari Yale, James Coiner (1988; Comer, dkk., 1996) percaya bahwa tim komunitas merupakan cara terbaikuntuk mendidik anak. Ada tiga aspek penting dari Comer Project, yakni' (1) pemerintah dan tim manajemen yang mengembangkan rencana sekolah yang komprehensif, penilaian strategi, dan program pengembangan staf; (2) tim pendukung sekolah dan kesehatan mental; dan (3) program orang tua (Goldberg, 1997). Program Comer menekankan pendekatan no fault (yakni fokus pada pemecahan masalah, bukan saling menyahlkan), tidak ada suara yang tidak setuju yang bisa menghadang keputusan mayoritas). Comer percaya bahwa seluruh komunitas sekoian harus kooperatif, bukan bersikap bermusuhan. Prograjn Comer belakangan ini dijalankan di lebih dari 600 sekolah di 82 distrik di 26 negara bagian. Salah satu sekolah yang pertama mengimplementasikan program Comer adalah SD Martin Luther King, Jr. di New Haven, Connecticut. Ketika program Comer dimulai di sana, murid-muridnya saat itu tertinggal rata-rata sembilan bulan dalam pelajaran bahasa dan delapan bulan dalam pelajaran matematika. Setelah sepuluh tahun implementasi program Comer, nilai ujian nasional murid mulai sama dengan standar nasional, dan setelah lima belas tahun menjadi di atas standar. Meskipun tidak ada perubahan sosioekonomi di tempat yang kebanyakan dihuni orang Afrika-Amerika dan miskin ini, tingkat bolos sekolah menurun drastis, problem perilaku berkurang banyak, partisipasi orang tua meningkat, dan tidak ada lagi staf yang tidak betah.


l. Isu Apakah Inti Nilai "Putih" Mesti Diajarkan atau Tidak
Beberapa pendidik menentang penekanan pada pemberian informasi tentang keompok etnis yang berbeda melalui kurikulum sekolah. Mereka juga menentang pendidikan etnosentris yang menekankan pada kelompok minoritas non-Kulit Putih. Dalam salah satu proposal, Arthur Schlesinger (1991) mengatakan bahwa semua murid seharusnya diajari seperangkat nilai inti, yang menurutnya berasal dari tradisi Anglo-Protestan Kulit Putih. Nilai-nilai inti ini mencakup saling menghargai, hak individu, dan toleransi pada perbedaan. Kritik terhadap pandangan Schlesinger ini menyatakan bahwa nilai-nilai ini bukan khusus milik Anglo-Protes-tan Kulit Putih, tetapi nilai yang juga dimilliki semua kelompok agama dan etnis di Amerika. Bahkan, pendidikan multikultural juga memasukkan tradisi Barat. Dalam proposal lainnya, E.D. Hirsch (1987) menekankan agar semua murid di¬ajari inti pengetahuan kultural umum untuk memastikan agar mereka menjadi "melek budaya". Dia menyebutkan sejumlah nama, frasa, tanggal, dan konsep yang diyakini harus diketahui oleh murid-murid di level yang berbeda-beda. Hirsch mengklaim bahwa program melek kultural yang didasarkan pada term dan konsepnya ini akan bisa membantu murid dari keluarga miskin dan imigran miskin untuk beradaptasi dengan kultur utama Amerika. Presentasi awal ide Hirsch tidak menyinggung soal perbedaan kultural atau ketidakadilan sosial, tetapi belakangan ini dia memperbarui karyanya agar menjadikannya lebih multikultural.
m. Teaching Strategies
Dari Pendidikan Multikultural kita telah mendiskusikan banyak ide yang bermanfaat bagi relasi ansk dengan orang dari kultur dan etnik yang berbeda. Berikut ini adalah rekomendasi dari pakar pendidikan multikultural James Banks (2001) untuk menjalankan pengajaran multikultural:
1. Waspadalah terhadap is; rasis dalam materi pelajaran dan interaksi di kelas. Sumber yang bagus untuk mempelajari rasisme adalah buku Paul Kivel (1995), Uprooting Racism.
2. Pelajari lebih banyak tentang kelompok etnis yang berbeda-beda. Baca setidaknya satu buku utama tentang sejarah dan kultur kelompok etnis Amerika. Salah satu buku yang menyajikan deskripsi sejarah kelompok ini adalah Teaching Strategies for Ethnic Studies oleh Banks (2003).
3. Peka terhadap sikap etnis murid danjangan menerima keyakinan bahwa "anak tidak melihaiperbedaan wama kulit". Respons pandangan kultural anak secara sensitif.
4. Gunakan buku, film, video, dan rekaman untuk menggambarkan perspektif etnis. Buku Banks (2003), Teaching Strategies for Ethnic Studies, mendeskripsikan sejumlah persoalan ini.
5. Bersikaplah peka terhadap perkembangan kebutufian murid Anda ketika Anda memilih materi kultural. Di masa kanak-kanak awal dan kelas SD, buat pengalaman belajar menjadi spesifik dan konkret. Banks percaya bahwa fiksi dan biografi adalah pilihan bagus untuk memperkenalkan konsep kultur kepada murid. Banks mengatakan bahwa murid di level ini dapat mempelajari konsep seperti kesamaan, perbedaan, prasangka, dan diskriminasi, tetapi belum siap untuk mempelajari konsep seperti rasisme dan penindasan.
6. Pandang murid secara positif terlepas dari etnis mereka. Semua murid akan belajar dengan baik apabila guru mereka mendukung prestasi mereka dan membantu paya belajar mereka.
7. Akui bahwa kebanyakan orang tua, terlepas dari etnisitasnya, memerhatikan pendidikan anaknya dan ingin agar anaknya sukses di sekolah. Namun, pahami bahwa banyak orang tua Kulit Berwarna punya pandangan yang bercampur tentang sekolah karena mereka pernah mengalami diskriminasi. Cari cara positif untuk membanu orang tua Kulit Berwarna terlibat dalam pendidikan anak dan anggap mereka sebagai mitra dalam pembelajaran anak.

2.3 GENDER
Sebuah sajak terkenal abad ke-19 karya J.O. Halliwell bunyinya seperti ini:
Dari apakah anak lelaki diciptkan?
Kodok dan siput dan ekor anjing kecil
Dari apakah gadis kecil diciptakan?
Gula dan rempah dan semua hal yang manis-manis.
Apa makna tersirat dari sajak itu? Apakah valid? Isu perbedaan gender riil dan perbedaan gender yang diasumsikan bisa menjadi hal penting untuk pengajaran yang efektif. Gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Istilah gender dibedakan dari istilah jenis kelamin (seks). Seks berhubungan dengan dimensi biologis dari pria dan wanita. Peran gender (gender role) adalah ekspektasil sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat.
• Pandangan Terhadap Perkembangan Gender
Ada beragam cara untuk memandang perkembangan gender, Beberapa di antaranya lebih menitikberatkan pada faktor-faktor dalam perilaku pria dan wanita, sedangkan yang lainnya menekankan pada faktor sosial atau kognitif (Lippa, 2002).
• Pandangan Biologis
Pasangan kromosom ke-23 dalam diri manusia (kromosom jenis kelamin) merupakan penentu apakah fetus (janin) itu akan jadi wanita (XX) ataukah pria (XY). Tak ada yang menyangkal adanya perbedaan genetik, biokimia, dan anatomi antar jenis kelamin. Bahkan pakar gender yang menganut pandangan environmental juga mengakui bahwa gadis dan jejaka diperlakukan secara berbeda karena perbedaan fisik dan peran mereka dalam proses reproduksi. Isunya di sini adalah pengaruh langsung dan tidak langsung dari faktor biologis dan lingkungan. Misalnya, androgen adalah hormon seks dominan dalam diri pria. Jika level andro gen yang tinggi berpengaruh langsung terhadap fungsi otak, yang pada gilirannya meningkatkan beberapa perilaku seperti agresi atau menaikkan level aktivitas, maka efek biologi ini bersifat langsung. Jika level androgen yang tinggi dalam diri anak menghasilkan otot kuat, yang pada gilirannya menyebabkan orang lain berharap agar anak itu menjadi atlet, dan, kemudian, menyebabkan anak mendalami olahraga, maka efek biologis pada perilaku itu bersifat tidak langsung.
• Pandangan Sosialisasi
Baik itu teori psikoanalitik maupun kognitif sosial mendeskripsikan pengalaman sosial yang memengaruhi perkembangan gender anak.
• Teori psikoanalitik gender
Berasal dari pandangan Sigmund Freud bahwa anak-anak prasekolah mengembangkan ketertarikan seksual kepada orang tuanya yang berjenis kelamin berbeda dengan dirinya. Kemudian, sekitar umur lima atau enam tahun, anak mengurangi ketertarikan ini karena perasan gelisah. Selanjutnya anak mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang jenis kelaminnya sama dengan dirinya, dan secara tak sadar mengadopsi karakter orang tua yang sama jenis kelaminnya dengan dirinya. Dewasa ini, kebanyakan pakar gender tidak percaya bahwa perkembangan gender melalui tahapan ini. Anak menjadi "sadar gender" sejak sebelum berumur lima tahun. Juga, pria biasanya menjadi maskulin dan wanita menjadi feminin bahkan ketika tidak ada orang tua yang berjenis kelamin sama di dekatnya.
• Teori kognitif sosial gender
Menekankan bahwa perkembangan gender anak terjadi melalui pengamatan dan peniruan perilaku gender, dan melalui penguatan dan hukuman terhadap perilaku gender. Orang tua biasanya memberikan hadiah dan hukuman untuk mengajari keturunannya agar menjadi feminin ("Mya, kamu akan jadi gadis baik kalau kamu bermain boneka dengan lembut") atau maskulin ("Agus, anak laki-laki tidak boleh menangis"). Banyak orang tua mendorong anak gadis dan lelakinya untuk melakukan jenis permainan dan aktivitas yang berbeda (Lott & Maluso, 2001). Anak wanita sering diberi boneka dan, ketika sudah cukup umur, diberi tugas menjaga bayi. Anak perempuan didorong untuk lebih bersifat mengasuh ketimbang anak lelaki. Ayah lebih sering ikut dalam permainan yang agresif dengan anak laki-lakinya ketimbang dengan anak perempuannya. Orang tua mengizinkan putra remajanya untuk lebih bebas ketimbang putri remajanya. Teman seusia juga banyak memberi imbalan dan hukuman pada perilaku yang ber-kaitan dengan gender. Setelah mengamati kelas SD, dua peneliti mengkarakteristik-kan setting permainan sebagai "sekolah gender" (Luria & Herzog, 1985). Di SD anak lelaki biasanya bermain dengan anak lelaki, anak perempuan dengan anak perempuan. "Gadis tomboy" lebih mudah bergabung dengan kelompok lelaki, sedang "lelaki feminin" kurang mudah bergabung dengan kelompok perempuan.sebab tekanan masyarakat kita yang lebih diarahkan pada anak lelaki. Psikolog perkembangan Eleanor Maccoby (1998, 2002), yang mempelajari gender selama beberapa dekade, percaya bahwa anak-anak berusia sebaya memainkan peran ousialisabl gender penting, saling mengajari perilaku gender yang bisa diterima dan tidak.
• Pandangan Kognitif
Dua pandangan kognitif terhadap gender adalah: (1) teori perkembangan kognitif; dan (2) teori skema gender. Menurut teori perkembangan kognitif, tipe gender anak terjadi setelah mereka mengembangkan konsep gender. Setelah mereka secara konsisten menganggap diri mereka sebagai lelaki atau wanita, anak akan menata dunianya berdasarkan gender. Teori ini pada mulanya dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg (1966) (yang teori perkembangan moralnya bisa Anda baca di Bab 3). Teori ini berpendapat bahwa perkembangan gender melalui cara sebagai berikut: "Saya gadis, saya ingin melakukan hal-hal yang dilakukan gadis. Karena itu. kesempatan melakukan kegiatan gadis sangatlan menyenangkan." Kohlberg percaya anak baru memahami gender secara konstan setelah mencapai tahap pemikiran operasional konkret Piaget, yakni pada usia sekitar tujuh tahun mereka sudah tahu bahwa lelaki adalah lelaki, tidak peduli entah dia mengenakan celana atau rok atau apakah rambutnya panjang .atau pendek (Tavris & Wade, 1984).
• Teori skema gender
Menyatakan bahwa perhatian dan perilaku individu dituntun oleh motivasi internal untuk menyesuaikan dengan standar sosiokultural berbasis gender dan stereotip gender (Martin & Dinella, 2001). Skema gender adalah struktur kognitif, atau jaringan asosiasi, yang menata dan menuntun persepsi individu berdasarkan gender. Teori skema gender mengatakan bahwa "gender-typing" terjadi ketika anak siap untuk memahami dan menata informasi berdasarkan apa yang dianggapnya sebagai tepat bagi pria dan wanita dalam suatu masyarakat (Rodgers, 2000).
• Stereotip Gender
Stereotip gender adalah kategori luas yang merefleksikan kesan dan keyakinan tentang apa perilaku yang tepat untuk pria dan wanita. Semua Stereotip, entah itu berhubungan dengan gender, etnis, atau kategori lainnya, mengacu pada citra dari anggota kategori tersebut. Banyak Stereotip bersifat umum sehingga menjadi ambigu. Misalkan kategori "maskulin" dan "feminin". Perilaku yang berbeda dapat dikaitkan pada masing-masmg kategori seperti berkelahi dan memelihara jenggot untuk "maskulin" dan main boneka dan mengenakan lipstik untuk "feminin". Akan tetapi, perilaku dalam kategori ini dapat dimodifikasi oleh perubahan kultural. Dulu otot yang besar dianggap sebagai ciri maskulin; tetapi pada waktu yang lain tubuh yang kurus dan tinggi dianggap sebagai tubuh maskulin. Begitu pula pada suatu waktu tertentu di masa lalu, tubuh feminin yang ideal adalah gemuk dan bulat. Sekarang, tubuh ideal adalah ramping dan atletis. Pada awal abad ke-20, ketergantungan dianggap sebagai bagian dari aspek feminin, sedangkan dewasa ini penekanannya diarahkan pada sensitivitas perempuan terhadap orang lain dalam suatu hubungan. Perilaku yang dianggap umum yang merefleksikan suatu kategori juga dapat berfluktuasi menurut lingkungan sosioekonomi. Misalnya, individu dari kalangan kelas bawah dianggap bercitra maskulin yang kasar.
Memberi cap Stereotip sebagai "maskulin" dan "'feminin" pada murid dapat menimbulkan konsekuensi signifikan (Kite, 2001). Mencap lelaki sebagai "feminin" atau perempuan sebagai "maskulin" dapat menghilangkan status sosial dan penerimaan mereka dalam kelompok. Stereotip gender berubah secara developmental. Keyakinan Stereotip terhadap gender mulai mengakar pada masa kanak-kanak awal, bertambah pada masa SD, dan kemudian menurun pada akhir SD (Bigler, Liben & Yekel, 1992). Pada masa remaja awal, Stereotip gender mungkin naik lagi. Saat tubuh mereka berubah dramatis pada masa puber, anak lelaki dan perempuan sering bingung dan gelisah atas apa yang terjadi pada diri mereka. Strategi aman untuk anak lelaki adalah menjadi lelaki sebaik mungkin (yakni, "maskulin") dan strategi aman untuk gadis adalah menjadi perempuan sebaik mungkin (yakni "feminin"). Jadi, intensifikasi gender yang diciptakan oleh perubahan pubertas dapat menimbulkan Stereotip yang lebih besar di masa remaja (Galambos, dkk., 1985).
Stereotip sering kali negatif dan dapat diselubungi prasangka dan diskriminasi. Sexisme (sexism) adalah prasangka dan diskriminasi terhadap individu karena jenis kelamin seseorang. Seseorang yang mengatakan bahwa wanita tak bisa menjadi insinyur yang kompeten sama artinya orang itu menyatakan sexisme. Demikian pula seseorang mengekspresikan sexisme apabila ia mengatakan bahwa laki-laki tidak akan bisa menjadi guru taman kanak-kanak yang kompeten. Nanti kita akan mendeskripsikan beberapa strategi untuk menciptakan kelas yang non-sexist.
• Kesamaan dan Perbedaan Gender dalam Domain yang Relevan Secara Akademis.
Banyak aspek dari kehidupan murid dapat dikaji untuk mengetahui seberapa mirip dan berbedakah anak lelaki dan perempuan itu (Crawford & Unger, 2000).
a. Penampilan fisik
Karena pendidikan jasmani adalah bagian integral dari sistem pendidikan di Amerika, maka penting untuk membahas persamaan dan perbedaan dalam penampilan fisik (Eisenberg, Martin, & Fabes, 1996). Pada umumnya, anak lelaki lebih unggul dibanding anak wanita di bidang olahraga, seperti lari, melempar, dan melompat. Di masa SD perbedaan ini sering kali tak begitu besar; tetapi akan terlihat lebih jelas saat SMP (Smnll & Schutz, 1990). Perubahan hor¬monal pada masa pubertas menyebabkan pertambahan massa otot untuk lelaki dan menambah lemak untuk gadis. Ini akan menguntungkan anak lelaki saat beraktivitas dalam kegiatan yang berhubungan dengan kekuatan, ukuran, dan energi. Meski demikian, faktor lingkungan juga mempengaruhi penampilan fisik bahkan setelah masa pubertas, Anak perempuan biasanya tidak berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan keahlian gerak seperti bidang olahraga (Thomas & Thomas, 1988). Ada level aktivitas di area fisik lain di mana terdapat perbedaan gender. Sejak awal, anak lelaki lebih aktif ketimbang anak wanita dalam hal bergerak. Di kelas, ini berarti anak lelaki lebih sering keluyuran dan berjalan-jalan di kelas ketimbang anak wanita, dan karenanya anak lelaki kurang banyak memberi perhatian. Dalam pendidikan jasmani, dibanding anak perempuan, anak lelaki mengeluarkan lebih banyak tenaga melaui gerakan-gerakannya.
b. Keahlian matematika dan sains
Ada temuan yang beragam dalam penelitian soal kemampuan matematika. Dalam beberapa analisis, anak lelaki lebih bagus dalam matematika dan ini telah lama menjadi perhatian (Eisenberg, Martin, & y Fabes, 1996). Namun, secara keseluruhan, perbedaan gender dalam soal keahlian matematika ini cenderung kecil. Pernyataan seperti "pria lebih unggul dibanding wanita dalam bidang matematika" seharusnya tidak dipahami sebagai klaim bahwa semua lelaki lebih unggul di atas wanita dalam bidang matematika. Pernyataan itu sebaiknya dipahami sebagai pernyataan rata-rata (Hyde & Plant, 1995). Juga, tidak semua studi menunjukkan adanya perbedaan kemampuan ini. Misalnya, dalam sebuah studi nasional, tidak ada perbedaan antara kemampuan matematika anak lelaki dan perempuan di empat, delapan, dan dua belas (Coley, 2001).
c. Kemampuan verbal
Sebuah ulasan terhadap perbedaan dan persamaan gender yang dilakukan pada era 1970-an menunjukkan bahwa anak perempuan punya kemampuan verbal yang lebih baik dibanding anak lelaki (Maccoby & Jacklin L1974). Akan tetapi, analisis yang lebih baru menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus hanya ada sedikit atau bahkan tidak ada perbedaan antara anak perempuan dan anak lelaki dalam keahlian verbal. Misalnya, sekarang ini nilai tes pria dan wanita dalam kemampuan verbal dalam ujian SAT adalah sama (Educational Testing Service, 2002).
d. Pencapaian pendidikan
Lelaki lebih besar kemungkinan drop -cut dari sekolah ketimbang waniita meskipun perbedaannya kecil (15 persen vs. 13 persen) (National Center for Educational Statistics. 2001). Perempuan (90 persen) lebih mungkin me-nyelesaikan pendidikan sekolah menengah atas di AS ketimbang pria (87 persen). Bukti belakangan ini menunjukkan bahwa anak lelaki lebih buruk prestasi akademiknya di sekolah (DeZolt & Hull, 2001). Artinya, walaupun banyak anak lelaki yang prestasinya bagus, tetapi 50 persen dari jumlah murid yang prestasinya tidak bagus adalah anak lelaki. Persentase lelaki dalam perguruan tinggi selama 1950-an hampir 60 persen. Sekarang, persentase lelaki yang masuk perguruan tinggi turun menjadi kira-kira 45 persen (DeZolt & Hull, 2001). Dengan menggabungkan informasi tentang drop out sekolah, persentase pria yang prestasinya tidak bagus, dan persentase pria yang masuk perguruan tinggi, kita dapat menyimpulkan bahwa wanita menunjukkan pencapaian akademik yang lebih tinggi di Amerika Serikat. Anak wanita lebih mungkin untuk mempelajari materi akademik, penuh perhatian di kelas, mau belajar lebih tekun dan berpartisipasUebih banyak di kelas ketimbang anak lelaki (DeZolt & Hull 2001).
e. Keahlian hubungan
Ahli sosiolinguistik Deborah Tannen (1990) membedakan antara rapport talk dengan report talk. Rapport talk adalah bahasa percakapan dan cara menjalin hubungan dan menegosiasikan hubungan. Report talk adalah pembicaraan yang memberikan informasi. Berpidato adalah contoh dari report talk. Pria menjadi pusat perhatian dengan bercerita, membuat lelucon, serta mengajar dan memberi informasi. Wanita lebih suka percakapan pribadi dan percakapan yang berorientasi hubungan. Tannen mengatakan bahwa anak lelaki dan wanita tumbuh di dunia pembicaraan yang berbeda. Orang tua, kerabat, teman sebaya, guru, dan orang lain berbicara kepada anak gadis dan lelaki dengan cara yang berbeda. Permainan anak lelaki dan wanita juga berbeda. Anak lelaki cenderung untuk bermain dalam kelompok besar yang berstruktur hierarkis, dan kelompok mereka biasanya mempunyai pimpinan yang menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu. Permainan anak lelaki biasanya permainan menang-kalah, dan anak lelaki sering memamerkan keahliannya dan berdebat soal siapa yang paling baik. Sebaliknya, anak gadis lebih mungkin bermain dalam kelompk kecila tau berpasangan, dan pusat dunia anak perempuan adalah sahabat karib. Ringkasnya, Tannen dan pakar gender lainnya, seperti Carol Gilligan (1982, 1998), yang idenya telah Arda baca di Bab 3, bahwa anak perempuan lebih berorientasi hubungan ketimbang anak lelaki. Mereka juga percaya bahwa orientasi hubungan ini harus dihargai sebagai sesuatu yang penting dalam kultur kita. Implikasi yang jelas bagi guru adalah guru harus menghargai dan mendukung keterampilan anak dalam berhubungan dengan orang lain di dalam kelas.


f. Agresi dan regulasi diri
Salah satu perbedaan gender yang paling konsisten adalah anak lelaki secara fisik lebih agresif ketimbang anak perempuan. Perbedaan ini akan tampak jelas ketika anak diprovokasi, dan perbedaan ini ada di semua kultur dan tampak sejak awal perkembangan anak (White, 2001). Baik itu faktor biologis maupun lingkungan telah dianggap sebagai faktor yang menimbulkan perbedaan gender dalam agresi fisik ini. Faktor biologi itu mencakup hereditas dan hormon; faktor lingkungan mencakup ekspektasi kultural, contoh orang dewasa dan teman sebaya, dan penghargaan terhadap agresi fisik anak lelaki. Meskipun anak lelaki selalu secara fisik lebih agresif ketimbang anak perempuan, tapi mungkinkah anak perempuan lebih apresif secara verbal (cerewet) ketimbang anak lelaki? Ketika agresi verbal diteliti, perbedaan gender biasanya menghilang atau kadang lebih menonjol dalam diri anak perempuan (Eagly & Steffen, 19S6). Juga, anak gadis lebih mungkin melakukan apayangdinamakan agresi relasional, yakni perilaku seperti berusaha membuat orang lain tidak menyukai seorang anak dengan cara menyebarkan gosip jahat tentang anak itu atau mengabaikan seseorang ketika dia marah kepadanya (Crick, dkk., 2001; Underwood, 2002). Keahlian penting lainnya adalah kemampuan untuk mengatur dan mengontrol emosi dan perilaku. Lelaki biasanya kurang mampu mengendalikan diri ketimbang wanita (Eisenberg, Martin, & Fabes, 1996). Kontrol diri yang rendah ini bisa me¬nimbulkan problem perilaku. Dalam satu studi, rendahnya kontrol diri anak ber¬hubungan dengan agresi, tindakan mengejek, bereaksi berlebihan terhadap frustrasi, kerja sama yang buruk, dan ketidakmampuan untuk menunda kesenangan ' (Block 86 Block, 1980).
g. Kontroversi Gender
Bagian sebelumnya memaparkan beberapa perbedaan substansial dalam kemampuan fisik, membaca dan menulis, agresi dan regulasi diri, dan keterampilan dalam menjalin hubungan, namun hanya ada sedikit perbedaan dalam kemampuan matematika dan sains. Ada kontroversi tentang perbedaan dan persamaari (Hyde & Mezulis, 2001). Alice Eagly (1996, 2000, 2001) berargumen bahwa kepercayaan bahwa perbedaan gender itu sedikit atau tidak ada, adalah kepercayaan yang berakar pada komitmen feminis pada persamaan gender dan kesetaraan politik. Banyak kaum feminis mencemaskan bahwa perbedaan gender ini akan diinterpretasikan sebagai defisiensi di pihak wanita dan dianggap sebagai perbedaan berbasis biologis. Mereka berpendapat bahwa kesimpulan itu dapat memunculkan kembali stereotip tradisional bahwa wanita pada dasarnya lebih inferior dan lemah ketimbang pria (Crawford & Unger, 2000). Eagly menyatakan bahwa sebagian besar riset tentang gender kini mengungkapkan perbedaan gender yang lebih besar ketimbang yang dikira kaum feminis. Kontroversi ini me-nunjukkan betapa sulitnya menegosiasikan sains dan polilik gender.
h. Klasifikasi Reran Gender
Klasifikasi peran gender adalah raengevaluosi anak lelaki dan perempuan dari segi kumpulan bakat personalitas. Di masa lalu anak lelaki yang baik adalah anak yang independen, agresif, dan kuat. Anak perempuan yang baik adalah anak yang penurut. pengasuh, dan tidak tertarik dengan kekuasaan. Tapi, pada saat yang sama, secara keseluruhan, karakteristik maskulin dianggap baik dan bagus oleh masyarakat, sedangkan karakteristik feminin dianggap sesuatu yang tidak diharapkan. Pada 1970-an, saat makin banyak pria dan wanita yang secara terbuka meng-ekspresikan ketidakpuasan kepada ekspektasi gender yang kaku ini, muncul pandangan alternatif tentang maskulinitas dan feminitas, Pandangan ini tidak lagi membatasi maskulinitas sebagai kompetensi pria dan feminitas sebagai kompetensi perempuan. Pandangan ini mengusulkan bahwa individu dapat mempunyai sifat "maskulin" dan "feminin". Pemikiran ini menimbulkan perkembangan konsep androgini, yakni kehadiran karakteristik maskulin dan feminin yang diinginkan dalam diri satu orang (Bern, 1977; Spence & Helmreich, 1978). Anak lelaki androgini mungkin tegas ("maskulin") dan bersifat mengasuh ("feminin"). Anak perempuan androgini mungkin kuat ("maskulin") dan sensitif terhadap perasaan orang lain ("feminin").
Telah dikembangkan alat untuk mengukur androgini ini. Yang paling banyak dipakai adalah Bern Sex-Role Inventory. Untuk mengetahui apakah klasifikasi peran gender Anda maskulin atau feminin atau androgini, isi Self Assessment 5.1. Pakar gender seperti Sandra Bern mengatakan bahwa individu androgini lebih fleksibel, kompeten, dan sehat secara mental ketimbang individu maskulin atau feminin saja. Tetapi, sampai tingkat tertentu, klasifikasi peran gender "terbaik" akan tergantung pada konteksnya. Misalnya, orientasi feminin mungkin lebih diinginkan dalam hubungan akrab karena sifat hubungan akrab lebih ekspresif, sedangkan orientasi maskulin lebih diharapkan dalam setting akademik dan kerja tradisional, sebab ada tuntutan prestasi dalam konteks ini. Yang menjadi perhatian khusus adalah remaja pria yang mengadopsi peran maskulin dengan kuat. Para peneliti telah menemukan bahwa remaja pria yang terlalu maskulin sering kali punya masalah perilaku, seperti tindak kriminal, penyalahgunaan obat, dan hubungan seksual sembarangan (Pleck, 1995). Mereka menampilkan diri sebagai sosok kuat, macho, dan agresif, dan sering kali buruk prestasi di sekolahnya. Banyak remaja pria menunjukkan kejantanannya dengan membawa pistol atau mengumumkan jumlah orang yang telah mereka hajar (Sullivan, 1991).
i. Androgini dan Pendidikan.
Dapatkah dan haruskah androgini diajarkan kepada murid? Pada umumnya, adalah lebih mudah untuk mengajarkan androgini pada anak perempuan ketimbang anak lelaki, dan lebih mudah diajarkan sebelum SMP. Misalnya, dalam satu studi sebuah kurikulum gender diberlakukan selama setahun di taman kanak-kaaak, grade 5, dan grade 9 (Guttentag & Bray, 1976). Kurikulum ini memberikan buku, materi diskusi, dan latihan kelas dengan kecenderungan androgiris. Program ini paling sukses di grade 5, dan paling tidak sukses di grade sembilan. Di grade 9 (setara SMP), muridnya, terutama lelaki, menunjukkan efek bumerang mereka justru makin mengikuti peran gender tradisional setelah raenerima pelajaran androgini.
j. Transendensi Peran Gender
Beberapa kritik terhadap androgini mengatakan bahwa semuanya sudah cukup dan tidak perlu lagi banyak debat soal gender. Mereka percaya bahwa androgini bukan obat manjur seperti yang dikira (Paludi, 1998). Alternatifnya adalah transendensi peran gender, yakni pandangan bahwa kompetensi orang seharusnya dikonseptualisasikan dalam term orang sebagai pribadi manusia (person), bukan dalam term maskulinitas, femmitas, atau androgini (Pleck, 1983). Artinya, kita harus memandang diri kita sendiri dan murid kita sebagai manusia, bukan sebagai feminin, maskulin, atau androgini.
k. Gender dalam Konteks
Sebelumnya telah kami katakan bahwa konsep klasifikasi peran gender melibatkan kategorisasi orang berdasarkan bakat personalitasnya. Akan tetapi, dari diskusi kita tentang kepribadian di Bab 4, "Variasi Individual", kita ingat bahwa adalah lebih bermanfaat untuk memandang personalitas atau kepribadian ini dalam term interaksi orang-situasi ketimbang dalam term bakat personalitas saja
l. Membantu Perilaku dan Emosi
Untuk mengetahui arti penting gender dalam konteks, mari kita bahas soal membantu perilaku dan emosi. Stereotip menyatakan bahwa wanita lebih baik ketimbang pria dalam soal membantu. Tetapi, ini tergantung pada situasi. Wanita lebih mungkin meluangkan waktunya untuk membantu anak yang mengalami gangguan personal dan lebih mungkin memberikan pengasuhan ketimbang pria. Akan tetapi, dalam situasi di mana pria merasa mampu atau merasa ada bahaya, pria lebih mungkin untuk mengulurkan bantuan (Eagly & Crowley, 1986). Misalnya, pria lebih sering membantu pengendara yang bannya kempes ketimbang wanita. Wanita itu emosional, lelaki tidak. Ini adalah pandangan Stereotip tentang emosi. Akan tetapi, seperti perilaku membantu, perbedaan emosional dalam diri pria dan wanita tergantung pada emosi tertentu dan konteks di mana emosi itu muncul (Shields, 1991). Pria lebih mungkin menunjukkan kemarahan kepada orang asing, terutama pria yang belum dikenal, bila mereka merasa ditantang. Pria juga lebih sering mewujudkan kemarahannya dalam bentuk tindakan agresif. Perbedaan emosional antara pria dan wanita sering muncul dalam konteks peran sosial dan hubungan sosial. Misalnya. wanita lebih mungkin mendiskusikan emosi dalam term hubungan. Wanita juga lebih mungkin mengekspresikan rasa takut dan sedih.
1. Menghilangkan Bias Gender
Interaksi Guru-Murid. Adakah bukti bahwa kelas mengandung bias gender atas anak lelaki? Berikut ini beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan (DeZolt & Vnull, 2001):
• Kepatuhan, ketaatan mengikuti aturan, berpenampilan rapi dan tertib sangat dihargai dan didukung dalam banyak kelas. Ini adalah perilaku yang biasanya diasosiasikan dengan anak wanita ketimbang anak lelaki.
• Mayoritas guru adalah wanita, terutama di sekolah dasar. Ini mungkin lebih menyulitkan anak lelaki ketimbang anak perempuan untuk mengidentifikasi dengan guru mereka dan meniru perilaku guru.
• Anak lelaki lebih mungkin dipandang punya masalah dalam belajar ketimbang anak wanita.
• Anak lelaki lebih mungkin dikritik ketimbang anak wanita.
• Personil sekolah cenderung mengabaikan bahwa banyak anak lelaki punya masalah akademik, terutama dalam seni bahasa.
• Personil sekolah cenderung menstereotipkan perilaku anak lelaki sebagai problematik.
Apa bukti bahwa kelas bias terhadap gadis? Pertimbangkan bahwa (Sadker & Sadker, 2000):
• Di kelas, anak perempuan lebih patuh, anak lelaki lebih bandel. Anak lelaki sering cari pcrhatian: sedangkan anak wanita lebih banyak diam dan rrie-nunggu giliran. Pendidik mengkhawatirkan bahwa kecenderungan anak gams untuk patuh dan diam akan menimbulkan efek lain: hilangnya ketegasan.
• Dibanyak kelas, guru lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengawasi dan berinteraksi dengan anak lelaki sementara anak perempuan belajar dan bermain sendiri. Kebanyakan guru secara tidak sengaja lebih membantu anak lelaki dengan menghabiskan lebih banyak waktu bersama mereka, tetapi entah bagaimana kelas sering kali bercirikan profil gender seperti ini.
• Anak lelaki lebih banyak mendapat pengajaran daripada anak wanita nan lebih banyak mendapat bantuan saat kesulitan menjawab pertanyaan. Guru sering memberi lebih banyak waktu kepada anak lelaki untuk menjawab pertanyaan, lebih banyak petunjuk pada jawaban yang benar, dan memberi lebih banyak kesempatan jika mereka memberi jawaban yang salah.
• Anak lelaki lebih mungkin mendapat nilai rendah ketimbang anak perempuan. dan lebih mungkin tidak naik kelas, namu.n anak perempuan kurang percaya bahwa mereka akan sukses di perguruan tinggi.
• Anak lelaki dan perempuan masuk grade pertama dengan level rasa harga\ diri yang kurang lebih sama. Tetapi, pada masa sekolah menengah, rasa penghargaan diri gadis tampaknya menurun dibanding lelaki (American Association of University Women, 1992).
• Ketika anak SD disuruh untuk menyebutkan apa yang ingin mereka lakukan

Jadi, ada bukti bias gender terhadap anak lelaki dan perempuan di sekolah (DeZolt & Hull, 2001). Banyak personel sekolah tidak menyadari sikap bias gender mereka. Sikap ini mengakar dalam kultur dan didukung oleh kultur tersebut. Meningkatkan Kesadaran akan adanya bias gender merupakan strategi yang penting untuk mengurangi bias tersebut.
a. Isi Kurikulum dan Isi Mata Pelajaran Olahraga. Sekolah telah banyak membuat kemajuan dalam mengurangi sexisme dan stereotipisasi jenis kelamin. dalam buku dan materi kurikulum (Eisenberg, Martin & Fabes, 1996)—sebagian sebagai respons atas Title IX of the Educational Amendment Act of 1972, yang menyatakan bahwa sekolah diwajibkan untuk menjamin perlakuan yang setara antara pria dan wanita. Sebagai akibatnya, buku teks dan materi pelajaran yang disediakan harus bebas dari bias gender. Juga, kini sekolah memberi lebih banyak kesempatan pada murid wanita untuk berpartisipasi dalam bidang atletik (olahraga) ketimbang di masa lalu (Gill, 2001). Pada 1972, 7 persen dari atlet sekolah menengah adalah perempuan. Sekarang angka itu naik hampir mencapai 40 persen. Selain itu, sekolah tidak lagi bisa mengeluarkan atau mengeliminasi layanan untuk remaja hamil. Meski demikian, bias masih ada di level kurikulum. Misalnya, masih banyak buku teks lama yang dipakai, dan karenanya banyak murid masih mempelajari materi buku usang yang bias gender.

b. Pelecehan Seksual. Pelecehan seksual terjadi di banyak sekolah (Braccy, 1997:Fitzgerald, Collinsworth, & Harned, 2001). Dalam sebuah studi terhadap murid grade 8 sampai 11 yang dilakukan oleh American Association of University Women (1993), 83 persen dari anak perempuan dan 60 persen anak lelaki mengatakan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual. Gadis-gadis melaporkan bahwa mereka lebih banyak dilecehkan ketimbang anak lelaki. Enam belas persen murid mengatakan bahwa mereka pernah dilecehkan secara seksual oleh guru. Contoh pelecehan seksual oleh murid dan guru dalam studi ini antara lain:
• komentar seksual, lelucon, isyarat, dan tatapan seksual.
• pesan seksual tentang murid di kamar mandi dan tempat lain, atau rumor seksual yang menyangkut seorang murid.
• mengintip murid yang ganti pakaian atau mandi di sekolah.
• mencolek atau memegang pantat.
• menuduh seorang murid sebagai gay atau lesbian.
• menyentuh, meraba, atau meremas secara seksual.
• sengaja mengelus murid lain secara seksual.
• menarik rok atau baju murid sampai terlepas.
• menghalangi atau memojokkan murid secara seksual.
• dipaksa mencium seseorang, atau dipaksa melakukan tindak seksual selain mencium.
The Office for Civil Rights of the U.S. Department of Education baru-bara.ini menerbitkan pedoman kebijakan tentang pelecehan seksual setebal 40 halaman. Dalam pedoman ini, dibedakan antara quid pro quo sexual harassment dan hostile environment sexual harrasment. Quid pro quo sexual harassment terjadi apabila seorang karyawan sekolah mengancam akan membuat keputusan pendidikan (seperti pemberian nilai) berdasarkan kesediaan murid untuk menerima tindakan seksual yang tidak diinginkannya. Misalnya, seorang guru memberi nilai A untuk murid karena murid itu mau menerima tindakan seksual guru atas dirinya, atau guru memberi nilai F karena murid tidak mau diperlakukan secara seksual. Hostile environment sexual harassment terjadi jika murid dikenai tindakan seksual yang tidak diinginkannya, di mana pelecehan seksual itu sangat parah, terus-menerus, atau berkelanjutan sehingga tindakan itu menghambat kemampuan murid untuk memperoleh manfaat dari pendidikannya. Lingkungan yang buruk ini biasanya diciptakan melalui serangkaian insiden, seperti tawaran melakukan kegiatan seksual secara terus-menerus. Pelecehan seksual adalah sebentuk kekuasaan dan dominasi dari satu orang atas orang lain, yang dapat menyebabkan konsekuensi yang buruk bagi si korban. Pelecehan seksual terutama akan sangat merugikan apabila pelakunya adalah guru dan orang dewasa lain yang punya kekuasaan dan otoritas atas diri murid (Lee, dkk., 1995). Sebagai bagian masyarakat, kita harus tidak menoleransi pelecehan seksual (Firpo-Triplett, 1997). Setiap murid, pria atau wanita, layak mendapatkan pendidikan yang bebas bias gender. Berikut ini beberapa strategi untuk menciptakan iklim pendidikan yang baik (Derman-Sparks & Anti-Bias Curriculum Task Force, 1989;Sadker & Sadker, 1994):
1. Jika Anda diberi buku ajar yang isinya bias gender, diskusikan hal ini dengan murid Anda. Dengar. membahas stereotip dan bias gender dalam teks ini, Anda bisa membantu mereka untuk berpikir kritis tentang isu sosial penting ini. Apabila buku teks ini tidak adil secara gender, lengkapi dengan materi lain yang adil secaia genuer. oanyax sekoian, perpustakaan dan akademi yang menggunakan materi yang bebas bias gender yang bisa Anda pakai.
2. Pastikan bahwa aktivitas dan latihan di sekolah tidak bias gender. Beri murid tugas di mana mereka harus mencari artikel tentang pandangan yang nonstereotip tentang pria dan wanita, seperti wanita sebagai insinyur atau seorang pria yang menjadi guru TK. Surah murid untuk membuat display foto dan gambar pria dan wanita melakukan tugas yang sama di rumah dan di tempat kerja. Gunakan display tersebut untuk melakukan diskusi dengan murid tentang tugas yang dilakukan orang dewasa dan apa yang akan murid lakukan nanti saat mereka sudah dewasa. Undang orang dari komunitas yang punya pekerjaan nonstereotip (seperti pria petugas resepsionis atau wanita pekerja konstruksi) untuk datang ke kelas Anda dan bicara dengan murid Anda.
3. Jadilah contoh peran non-sexist. Bantu murid mempelajari keahlian baru dan berbagi tugas secara non-sexist.
4. Analisislah posisi duduk murid Anda dan periksa apakah ada segregasi gender atau tidak. Ketika murid-murid Anda belajar dalam kelompok, pantaulah apakah Kelompok itu seimbang secara gender atau tidak.
5. Cari seseorang untuk membantu menilai soal dan pola pengujaran Anda pada murid lelaki dan perempuan. Lakukan hal ini beberap kali untuk memastikan bahwa Anda sudah memberi perhatian yang sama kepada murid lelaki dan perempuan.
6. Gunakan bahasa nonbias. Jangan menggunakan kata ganti he untuk objek mad atau orang yang belum teridentifikasi. Ganti kata seperti fireman, policeman, dan mailman dengan kata nonbias seperti firefighter, police officer, dan letter carrier. Untuk meningkatkan kemampuan bahasa non-sexist Anda, lihat The Non-Sexist Word Finder: A Dictionary of Gender-Free Usage (Maggio, 1987). Juga suruh murid untuk mengusulkan terminologi yang adil (Wellhousen, 1996).
7. Pelajari terus tentang kesetaraan gender dalam pendidikan. Bacalah jurnal-jurnal profesional untuk topik ini. ketahuilah hak-hak Anda sendiri sebagai pria atau wanita, dan jangan berlaku tidak adil secara seksual atau melakukan diskriminasi.
8. Periksa adakah pelecehan seksual di sekolah dan jangan biarkan itu terjadi.


















BAB III
PENUTUP


3.1 KESIMPULAN
Arti penting dari konteks gender tampak jelas ketika mengkaji perilaku yang dirumuskan secara kultural untuk wanita dan pria. dalam negara yang berbeda di seluruh dunia (Best, 2001). Di AS kini ada lebih banyak penerimaan terhadap androgini dan kesamaan dalam perilaku pria dan wanita, tetapi di banyak negara lain peran gender masih khas. Misalnya, di Timur Tengah pembagian kerja antara pria dan wanita sangat dramatis. Misalnya, di Irak, pria disosialisasikan dan di sekolahkan untuk bekerja di ruang publik; wanita disosiaiisasikan untuk tetap di dunia rumah tangga dan mengasuh anak. Agama Islam yang mendominasi Irak mengajarkan bahwa tugas lelaki adalah memberi nafkah kepada keluarga sedangkan wanita adalah menjaga rumah dan keluarga. Setiap penyimpangan dari tradisi perilaku maskulin dan feminin ini akan dikecam. Demikian pula di Cina, walaupun wanita telah ada yang masuk ke ruang publik, akan tetapi pria masih lebih mendominasi. Perilaku androginis dan kesetaraan gender adalah sesuatu yang belum diharapkan oleh lelaki di Cina.

3.2 SARAN
Jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau pegetikan makalah ini, kami selaku penulis menerima kritik dan saran yang membangun dari pembaca, agar penulis dapat melakukan perbaikan dikemudian hari. Dan semoga pnulisan makalah ini dapat memberikan manfaat dan dapat menambah wawasan bagi kita semua.


DAFTAR PUSTAKA

W. Santrok, John.2011. Psikologi Pendidikan. Kencana Media Grup; Jakarta.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929