loading...

HUKUM KELUARGA ISLAM YANG MENGALAMI REFORMASI,METODE SERATA KLASIFIKASI NEGARA-NEGARA MUSLIM TERKAIT REFORMASI HUKUM KELUARGA

March 06, 2018
loading...
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.



BAB I
PENDAHULUAN
(I).Latar Belakang Masalah
Dewasa ini hukum keluarga memiliki kontribusi yang tidak sedikit dalam pembentukan sistem hukum. Ini dikarenakan hukum keluarga mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang selaras dengan kehidupan manusia. Sebagai makhluk pribadi dan sosial, manusia senantiasa mengalami perubahan budaya dan tradisi yang dijalankan sehari-hari. Hal tersebut tentunya membawa dampak juga terhadap norma hukum yang dianut selama ini. Berbagai peraturan yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan sistem keluarga juga mengalami perkembangan, mulai yang masalah perkawinan, perceraian, dan hak asuh anak. Berbagai persoalan yang berkaitan dengan masalah keluarga terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi. Hal ini kemudian menuntut instrumen hukum yang ada harus bisa mengakomodir bermacam persoalan yang muncul tersebut agar bisa diselesaikan. Selain itu, isu gender turut membawa perubahan terhadap kedudukan seorang wanita dalam hukum terutama dalam sistem hukum keluarga. Kedudukan Wanita yang dahulu selalu di nomor duakan, sekarang menjadi setara dengan laki laki, sehingga membawa perubahan terhadap masalah peran dan tugas wanita dalam kehidupan rumah tangga. Adanya kedudukan yang setara tersebut membawa perubahan yang cukup besar dalam sistem hukum keluarga. Hukum keluarga yang berlaku antara satu negara dengan negara lainnya tentu berbeda, termasuk hukum keluarga yang berlaku di beberapa negara muslim. Meskipun yang menjadi acuan hukum keluarga di negara-negara muslim adalah hukum Islam, namun pemaknaan serta interpretasi hukum Islam juga memiliki perbedaan. Hal ini bisa kita lihat dari pluralitas hukum keluarga yang ada di beberapa negara muslim. Seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara muslim kemudian melakukan pembaharuan hukum keluarga untuk mengakomodir berbagai persoalan yang muncul. Pembaharuan ini selanjutnya menjadi tonggak awal reformasi hukum keluarga yang merata di negara-negara muslim. Pada abad 20, sejarah panjang pembaruan Hukum Keluarga Islam di dunia dimulai. Turki menjadi negara pertama pelopor pembaharuan tersebut dengan mereformasi Hukum Keluarga Islam dan melahirkan Ottoman Law of Family Right tahun 1917 sampai pada akhirnya mengadopsi Hukum Sipil Swiss sebagai UndangUndang Turki pada tahun 1926. Pembaruan hukum keluarga yang dilakukan oleh berbagai negara muslim secara garis besar mencakup tiga aspek, yaitu perkawinan, perceraian, dan warisan. Tujuan pembaharuan Hukum Keluarga Islam Kontemporer secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: (1) Unifikasi hukum; (2) Peningkatan Status Perempuan, dan; (3) Merespon perkembangan dan tuntutan zaman karena doktrin fikih tradisional yang dianggap kurang mampu menjawab masalah yang berkembang di masyarakat (Nasution, 2010: 40). Kajian pembaruan Hukum Keluarga Islam ini didahului dengan uraian mengenai sejarah pembaruan Hukum Keluarga Islam, dimulai dari negara yang berperan besar dalam reformasi Hukum Keluarga Islam. Selanjutnya adalah bentuk dan tujuan pembaruan dan penerapannya di Indonesia. Selain itu adalah studi terkait perempuan dan batas usia minimal kawin dan pengaruh pembaruan Hukum Keluarga Islam yang terfokus pada kajian pengangkatan satus perempuan
(II).Rumusan Masalah
1.Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Beberapa Negara
2. Metode Reformasi Hukum Keluarga














BAB II
PEMBAHASAN
A.Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Beberapa Negara
1.Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Malaysia
Sebelum datangnya penjajah, hukum Islam yang berlaku di Malaysia adalah hukum Islam bercampur hukum adat. Antara tahun 1884 dan 1904, Raja Muda Sulaiman, penguasa Selangor, mengkodifikasikan hukum perkawinan dan perceraian, mengangkat sejumlah qadi, dan memberlakukan hukum Islam dalam perkara perdata dan pidana.Malaysia dengan Konstitusinya tahun (1957 dan telah diubah tahun 1964 ) dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah negara Federasi tersebut [pasal 3 ayat (1) Konstitusi Malaysia tanggal 23 Agustus 1957, diubah tanggal 1 Maret 1964 dan diubah lagi dalam tahun 1971.
A. Poligami
Berdasarkan UU perkawinan Malaysia tentang boleh atau tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami, ada tiga hal yang perlu dibicarakan, yakni: (i) syarat-syarat, (ii) alasan-alasan pertimbangan boleh tidaknya poligami, dan ( iii) prosedur. Dalam perundang-undangan Malaysia tidak ada penegasan tentang prinsip perkawinan.Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, pertama, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan tidak boleh didaftarkan; kedua, poligami tanpa izin lebih dahulu dari pengadilan boleh didaftarkan dengan syarat lebih dahulu membayar denda atau menjalani hukuman yang telah ditentukan.Alasan-alasan pertimbangan bagi pengadilan untuk memberi izin atau tidak ada tiga pihak (1) pihak isteri, (2) pihak suami, dan (3) pihak orang-orang yang terkait. Adapun yang bersumber dari pihak isteri adalah: karena kemandulan; keudzuran jasmani; karena kondisi fisik yang tidak layak atau tidak mungkin melakukan hubungan seksual; sengaja tidak mau memulihkan hak-hak persetubuhan, atau isteri gila.
Sedang pertimbangan dari pihak suami, yang sekaligus menjadi syarat boleh berpoligami, adalah:
1. suami mempunyai kemampuan untuk menanggung semua biaya isteri-isteri dan orang-orang yang akan menjadi tanaggungannya kelak dngan perkawinannya tersebut;
2. suami berusaha berbuat adil di antara para isterinya.
Sedang prosedur untuk berpoligami ada tiga langkah:
1.Suami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin dari hakim, bersama persetujuan atau izin dari pihak isteri/isteri-isterinya.
2.Pemanggilan pemohon dan isteri atau isteri-isteri, sekaligus pemeriksaan oleh pengadilan terhadap kebenaran pemohon.
3.Putusan pengadilan berupa penerimaan atau penolakkan terhadap permohonan pemohon.Suami yang melakukan poligami yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat dikenai hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal enam bulan atau keduanya.
B. Pencatatan perkawinan
Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah selesai aqad nikah bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan dengan hukuman denda maksimal seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya. Fungsi pencatatan hanya urusan atau syarat adminstrasi, tidak ada hubungannya dengan syarat sah atau tidaknya pernikahan (aqad nikah).
C. Wali dalam perkawinan
Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam perundang-undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab. Hanya saja dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di Malaysia disebut wali raja).
D. Perceraian
Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di negara-negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-undang perak dan pahang ada lima alasan, yaitu:
(a) suami impoten atau mati pucuk;
(b) suami gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut;
(c) izin atau persetujuan perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan syariat;
(d) pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin;
(e) atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh menurut syariah
2.Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia
Penduduk Indonesia mayoritas menganut mazhab syafi’i, Indonesia punya keanehan yaitu mencampur hukum Islam dan hukum adat dalam sistem hukumnya.Sebelum kedatangan islam pada abad kedua belas, tidak ada hukum keluarga yang umum diikuti di indonesia.
Organisasi keagamaan dan sarjana memulai sebuah pergerakan untuk pembebasan penuh hukum personal islam menjadi bagian terutama pada hukum adat, dimana lebih memberikan keadilan kepada perempuan. “KOWANI” Kongres Perempuan untuk Indonesia, juga memberikan dorongan untuk upaya ini. Sebuah RUU untuk pembaharuan hukum perkawinan telah dibahas tahun 1937 tetapi tidak bisa menjadi Undang-undang. Sebuah konstitusi nasional telah diumumkan di Indonesia pada tahun 1945. Dideklarasikan bahwa “ negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal itu memperlihatkan kesetiaan kepada dasar Islam percaya kepada satu Tuhan (wahdaniyah). Bagaimanapun itu, terjamin “kebebasan setiap penduduk untuk taat menghormati agamanya dan untuk melaksanakan kewajiban agamanya sesuai dengan kepercayaannya.
1. Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel.Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.


2. Masa Penjajahan di Indonesia
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada dimasyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim. Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.

3. Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa iddah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang disetujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

4.Undang-undang perkawinan tahun 1974
Pada tahun 1967-68 dua RUU perkawinan yang baru menjadi perbincangan di parlemen Indonesia. Pada Juli 1972 sebuah RUU yang baru diajukan ke DPR Indonesia. Setelah 18 bulan dari perdebatan, dibuatlah pada hari kedua bulan Januari tahun 1974 “ Undang-undang perkawinan”. Pada mukoddimah undang-undang baru ini berbunyi bahwa dibuatnya peraturan ini dengan filosofi pancasila dan cita-cita untuk memajukan sebuaah undang-undang nasional. Ringkasan pembaharuan di dalam bukun Family Law Reform in the World, Tahir Mahmood membaginya hanya kepada bidang perkawinan, yakni ;
a.Pendaftaran/Pencatatan Perkawinan
Undang-Undang tahun 1946 menetapkan untuk mendaftarkan semua perkawinan di seluruh daerah di tanah air. Menurut Undang-undang ini, kedua belah pihak wajib mendaftarkan perkawinannya kepada pegawai pencatat perkawinan.
b.Perkawinan Anak
Pokok Undang-undang tahun 1974 mengatur agar pegawai pencatat nikah tidak melakukan pelaksanaan perkawinan anak-anak. Menurut undang-undang ini, merupakan wewenang pegawai pencatat nikah untuk mencegah, sejauh mungkin, sebuah perkawinan anak dari tempat wilayah tugasnya dan wilayah pendaftar.
c.Perceraian oleh Suami/Cerai Talaq
Menurut Undang-undang tahun 1974, Seorang suami yang akan menceraikan istrinya harus melapor kepada pegawai pencatat nikah setempat dan selajutnya dilakukan upaya untuk mendamaikan diantara suami istri itu, jika perdamaian itu gagal dan tetap pada perceraian, pegawai tersebut melakukan upaya lain untuk mendamaikannya sebelum masa ‘iddah’ tiba dan berakhir.

d.Penarikan Kembali Perceraian/Rujuk
Satu dari dua perceraian dapat dicabut kembali, menurut hukum Islam, Selama dalam masa iddah. Undang-undang Indonesia tahun 1946 menetapkan kewajiban pencatatan setiap pencabutan perceraian/Rujuk. Menurut peraturan tahun 1955, ketika seorang suami ingin rujuk, daftarkan terlebih dahulu, dia mengajukan sebuah permohonan ke Pegawai pencatat Nikah setempat. Setelah permohonan tersebut diterima, Pegawai pencatat Nikah akan mengeluarkan akte rujuk.
e.Perceraian yang diwakilkan
Menurut hukum Islam, seorang suami dapat mewakilkankan haknya untuk mengucapkan talak kepada istrinya. Pada saat perkawinan, suami-istri bebas untuk menetapkan perjanjian dalam kontrak pernikahan, pelanggaran yang akan diberikan kepada istri sebuah hak untuk mengucapkan cerai diwakilkan (Talaq Tawfid).
Akan tetapi setelah UUP, upaya pembaharuan berikutnya terjadi pada Menteri Agama Munawir Syadzali, ditandai dengan lahirnya KHI (Kompilasi Hukum Islam) pada 10 Juni 1991 yang materinya mencakup aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Jadi, pembaharuan hukum keluarga Islam pada khususnya dan hukum Islam pada umumnya.
3.Pembaharuan Hukum Keluarga Muslim di Afganistan
Republik Afghanistan mengikuti mazhab Hanafi, Konstitusi Pertama Afghanistan berlaku pada tahun 1923 dan yang kedua pada tahun 1931, keduanya mengakui atas supremasi hukum Islam dalam pemerintahan Negara. Sebagian besar dari hukum ini diambil dari legislasi paralel yang disebarluaskan di Imperium Ottoman, Mesir, dan Sudan. Pada 1930-an sekelompok pakar hukum Afghan mempublikasikan sebuah hukum yang tidak resmi yang diberi judul Tamassuk al-Qada (Judicial Compendium) dan didasarkan prinsip-prinsip hukum Hanafi yang sudah diseleksi. Fatawa-i AlamgiriIndia yang dijadikan sandaran sebagai sebuah otoritas di Afghanistan, dan Hukum Sipil Turki 1876 (Majallab) digunakan di negara ini sebagai sumber material mereka.
Selanjutnya pada tahun 50-an pada abad ini beberapa pengundangan telah disetujui dan berlaku, termasuk Tijaratnamah 1954 (commersial code), Hukum Administrasi Keadilan 1956 dan Hukum Secara Sipil 1958.
A. Syari'ah di Bawah Konstitusi 1964
Konstitusi 1964 mendeklarasikan Islam sebagai "Agama suci negara Afghanistan" dan mazhab Hanafi sebagai mazhab dalam pelaksanaan ibadah. Hal ini menggambarkan bahwa raja (diharuskan memegang mazhab Hanafi) sebagai "pelindung dari prinsip-prinsip dasar agama suci Islam". Satu bagian dari Parlemen (syura) di didalam Konstitusinya menyatakan bahwa tidak akan memberlakukan hukum manapun "yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dari agama suci Islam dan bahwa Jurisprudensi Hanafi yang merupakan bagian dari Syari'at Islam" akan menjadi hukum dari segala hal yang ditentukan dalam Konstitusi atau pemberlakuan legislasi.
Pada tahun 1973 ketika negara menjadi Republik, Keputusan Republik pada tahun ini tidak mengubah status konstitusional Islam dan hukumnya.

B.Hukum Perkawinan 1971
Pada tahun 1350 H/1971 M sebuah Hukum Perkawinan Qanun-i Izdiwajdiberlakukan di Afghanisan. Pembentukan ini didasarkan pada Hukum Keluarga Mesir tahun 1929 dan memiliki ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan Hukum Petkawinan Muslim yang berlaku pada tahun 1939 di seluruh India, dan dengan pemberlakuun secara menyeluruh hukum Maliki mengenai hak wanita untuk mengajukan cerai di pengadilan. Ketentuan-ketentuan ringkas dari hukum inimengamandemen praktek-praktek yang berlaku secara lokal yang berkenaan dengan perkawinan dan perceraian.
Di antara keputusan-keputusan Legislasi awal yang disebarluaskan oleh Majelis Revolusi adalah sebagai berikut :
(a) Keputusan tentang Pelarangan Riba tertanggal 12 Juni 1978, dan
(b) Keputusan Hak-hak Wanita tertanggal 17 Oktober 1978.
Keputusan tentang Hak-hak Wanita tahun 1978 mengamandemen ketentuan-ketentuan tertentu dari Hukum Perkawinan tahun 1971 dm menjamin hak-hak hukum yang lebih baik bagi wanita Muslim. Ketentuan-ketentuan ini menrrut laporan diambil dari hukum-hukum yang diberlakukan di beberapa negara Arab dan Iran.
Reformasi Hukum Keluarga
1.Mahar
Dalam hukum Hanafi, jumlah mahar minimum.ditetapkan sekitar satu dinar (atau 10 dirham). Hukum Sipil 1977 di antaranya berisi tentang ketentuan-ketentuan rinci mengenai mahar. Ketentuan-ketentuan dalam hukum ini didasarkan pada hukum Hanafi, termasuk pembicaraan masalah mahar yang berlebihan dan mahar yang tidak diterima. Hukum ini menentukan bagi isteri untuk menerima mahar tertentu (mahr al-Musamma) dan jika tidak ada mahar yang ditentukan dalam kontrak perkawinan, atau hal ini secara khusus dihalangi, maka sang isteri berhak mendapatkan mahar mitsil Mahar adakalanya dibayar segera dan ada kalanya ditunda (Mu’ajjal), yang dibayar kemudian. Jika kontrak perkawinan bersifat diam-diam tentang jurnlah mahar atau metode pembayarannya, ditentukan sesuai dengan adat kebiasaan yang sudah populer.
2.Perkawinan Anak
Nizamnama 1927 dan Hukum Sipil 1977 menghapus perkawinan anak, hukum-hukum mengenai perkawinan tahun 1960 dan 1971 mengadopsi perundang-undangan untuk membatasi praktik perkawinan anak
Hukum Sipil 1977 menetapkan bahwa "kompetensi untuk menikah adalah ketika sudah mencapai urnur 18 untuk laki laki dan 17 untuk wanita".Wanita yang belum mencapai umur ini hanya dapat dinikahkan oleh ayahnya atau oleh qadi, perkawinan tidak diperkenankan bagi gadis di bawah umur 17 tahun bagaimanapun keadaannya. Wanita dewasa dan berkompeten dimungkinkan menikah tanpa ijin wali.
3.Poligami
Menurut UU Tahun 1971 dan Hukum Sipil 1977, poligami hanya dizinkan apabila bertujuan menghindari bahaya yang lebih besar (dharar). Pertimbangan kemampuan finansial suami dan karakter pribadinya menjadi sarat minimal bagi, ijin pengadilan. Di samping itu, ada alasan hukum untuk poligami.
4.Perceraian
Sampai awal berlakunya Hukum Sipil 1977, perceraian di Afghanistan dikendalikan oleh hukum Hanafi.
Reformasi hukum keluarga di negara Timur Tengah di samping menaikkan hak-hak wania untuk mendapatkan dispensasi dari pengadilan, juga memasukkan pengawasan dari pengadilan terhadap penggunaan yang tepat dari hak talak suami. Sayang, Hukum Sipil Afghan tidak mengambil langkah-langkah yang signifikan tersebut.
4.Pembaharuan Hukum Keluarga Islam di Bruei Darussalam
Kesultanan Brunai darussalam menganut sistem hukum Mazhab Syafi’i. Sejak tahun 1888 ia menjadi bagian proktektorat Inggris dan periode 1941-1945 sempat di duduki oleh Jepang dibeberapa daerah. Sistem hukum dan sistem peradilan dalam kesultanan brunai di pengaruhi oleh sebagian besar Comon Law (Hukum negara Inggris).
Hukum acara pidana ( di dasari pada undang-undang acara pidana Inggris 1898) diterapkan di Brunei Darussalam oleh pemerintah Inggris memuat pasal tentang Nafkah Istri, anak, dan Orang tua. Didalam pembahasan pasal menjelaskan tentang praktek hukum lokal terhadap orang-orang (penduduk) yang beragama Islam. Pada tahun 1912 diterapkan hukum muhammadan, kemudian ditahun berikutnya disempurnakan dengan penetapan perkawinan dan perceraian muhammadan.
Hal-hal yang di atur
a.Janji perkawinan (Pembatalan Pertunangan)
Di Brunei penetapan Undang-undang tahun 1955 menyatakan jika kesepakatan perkawinan menjadi batal jika seorang laki-laki memungkiri dalam pembayaran maskawin. Apa bila yang membatalkan perjanjian tersebut dari pihak perempuan, maka hadiah pertunangan harus dikembalikan bersama dengan uang yang diberikan dengan suka rela. Semua pembayaran balik yang digariskan tadi bisa didapatkan kembali melalui pengadilan.
b.Wali Nikah
Persetujuan kedua belah pihak dalam perkawinan sangat diperlukan. Disamping itu, wali pengantin perempuan pun harus memberikan persetujuan ataukadi yang mempunyai kewenangan bertindak sebagai wali raja yaitu apabila tidak terdapat wali nasab tidak menyetujui dengan alasan yang kurang tepat.
Aturan perwalian ini dikenal dalam mazhab Syafi’i dimana seorang perempuan yang menikah harus mendapatkan izin dari walinya dan seandainya tidak mempunyai wali maka Sultan (penguasa) yang menjadi wali orang yang tidak mempunyai wali.
c.Pendaftaran Nikah
Dalam undang-undang brunei, orang yang bisa menjadi pendaftar Nikah cerai selain kadi Besar dan kadi-kadi adalah imam-imam setiap masjid, di samping imam-imam itu merupakan juru nikah yang di beri kuasa (tauliah) oleh sultan atau yang diberi kuasa oleh hukum untuk orang Islam, tetapi dalam hal ini kehadiran dan kebenaran pendaftar juga diperlukan. Walaupun demikian, pernikahan yang tidak mengikuti aturan ini tetap dilangsungkan (sah), tetapi menurut aturan hukum muslim di anggap sah dan hendaknya didaftarkan. Sedangkan yang dinamakan perkawinan yang tidak sah adalah perkawinan yang tidak mengikuti hukum mazhab yang di anut oleh kedua belah pihak.
d.Poligami
Negara Brunei Darussalam tidak mengakomodir hal-hal terkait poligami. Dengan demikian dapat kita lihat meskipun mendapat pengaruh dari hukum Inggris, negara Brunei tetap memiliki prinsip dalam hal poligami yakni sesuai dengan mazhab syafi’i.
e.Perceraian yang dilakukan suami
Mengenai perceraian dalam undang-undang ini ada beberapa hal yang penting. Jika perempuan dicerai sebelum disetubuhi, maka ia tidak boleh dikawinkan dengan orang lain kecuali dengan suaminya yang terdahulu dalam masaiddah kecuali telah dibenarkan oleh kadi yang berkuasa di mana ia tinggal.
Peraturan perceraian Brunei yang lainnya adalah seorang suami bisa menceraikan istrinya dengan talak satu, dua atau tiga menurut hukum muslim. Seorang suami mesti memberitahukan tentang perceraiannya kepada pendaftar dalam tempo tujuh hari. Seorang perempuan yang sudah menikah bisa juga mengajukan permohonan cerai kepada Kadi dengan mengikuti hukum muslim. Apabila suaminya rela, hendaknya ia mengucapkan cerai kemudian didaftarkan, dan Kadi akan mengeluarkan akte perceraian kepada kedua belah pihak.
f.Perceraian dengan Talak Tebus.
Di Brunei diberlakukan juga aturan yang menyatakan bahwa jika pihak tidak menyetujui perceraian dengan penuh kerelaan, maka kedua belah pihak bisa menyetujui perceraian dengan tebusan atau cerai tebus talak. Kadi akan menilai jumlah yang perlu di bayar sesuai dengan taraf kemampuan kedua belah pihak tersebut serta mendaftarkan perceraian itu.
g.Talak Tafwid, Fasakh dan perceraian oleh pengadilan.
Dalam ketentuan di Negara Brunei, seorang perempuan yang telah menikah bisa juga memohon perceraian berdasarkan syarat dalam surat ta’lik yang dibuat pada masa pernikahan. Di Malaysia hal seperti ini dikenal dengan Surat Ta’likyang mengatur tentang kemungkinan seorang istri mengajukan perceraian sendiri. Sedangkan di Singapura diberlakukan talak tafwid yang di efektifkan oleh Kadi.
Perempuan di brunei bisa memohon kepada Mahkamah Kadi untuk mendapatkan perceraian lewat, Fasakh, yaitu suatu pernyataan pembubaran perkawinan menurut hukum Muslim. Pernyataan Fasakh ini tidak akan dikeluarkan, kecuali mengikuti hukum muslim dan pihak perempuan dapat memberikan keterangan dihadapan sekurang-kurangnya dua saksi dengan mengangkat sumpah atau membuat pengakuan. Bagi istri yang dicerai oleh suaminya bisa mengajukan pemberian penghibur atau Mut’ah kepada Kadi, dan setelah mendengarkan kedua belah pihak Kadi memerintahkan untuk membayarnya.
h.Hakam (Arbitrator)
Apabila selalu muncul masalah antara suami dan istri, maka Kadibisa mengangkat seorang, dua orang pendamai atau Hakam dari keluarga yang dekat dari masing-masing pihak yang mengetahui keadaannya.
Kadi memberikan petunjuk kepada hakam untuk melaksanakan arbitrasi dan harus melaksanakan sesuai dengan hukum muslim. Apabila Kadi tidak sanggup atau Kadi tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh hakam, Kadi akan mengganti atau mengangkat hakam yang lain. Demikian pula jika hakam berpendapat bahwa pihak-pihak ini layak bercerai tetapi dengan tanpa adanya alasan untuk menyatakan perceraian, maka Kadi akan mengangkat hakam yang lain dan akan memberikan otoritas untuk mempengaruh perceraian.
i.Ruju’
Dalam undang-undang ini disebutkan adanya ruju’ (rojok) setelah dijatuhkanya talak, yaitu apabila pun cerainya dengan talak satu atau dua. Tinggal bersama setelah bercerai mesti berlaku dengan keralaan kedua belah pihak dengan syarat tidak melanggar hukum muslim dan kadi harus mendaftarkan untuk “tinggal bersama” itu.
Apabila perceraian yang bisa dirujuk kembali pihak suami mengucapkanruju’dan pihak istri menerimanya, maka istri dapat diperintahkan oleh kadi untuk tinggal bersama, tetapi perintah tersebut tidak bisa dibuat sekiranya pihak istri tidak memberi kerelaan.
j.Surat kematian.
Apabila suami telah meninggal dunia atau diyakini ia telah meninggal atau tidak terdengar beritanya dalam waktu yang lama, untuk menikah kembali harus menganggap mati sesuai dengan hukum keluarga orang Islam. Seorang kadi dapat mengeluarkan surat pernyataan kematian supaya pihak istri bisa kawin lagi, tentunya setelah mengadakan penyelidikan yang tepat.
k.Nafkah dan Tanggungan Anak
para istri anak sah yang masih belum dewasa, orang yang tidak mampu membiayai (fiskal), orang yang berpenyakit dan anak luar nikah. Tiga syarat ini bisa dijadikan tuntutan berdasarkan hukum muslim yang dalam hal menentukan hak untuk nafkah. Dalam kasus anak diluar nikah, mahkamah kadi akan membuat ketentuan yang dianggap sesuai.
B. Metode Reformasi Hukum Keluarga
Reformasi hukum mencakup hukum prosedural/acara dan hukum material atau substansi hukum. Reformasi hukum formal berkaitan dengan pembaharuan terhadap prosedur hukum (hukum acara) dengan cara mengadopsi hukum acara Barat. Jenis reformasi ini melahirkan administrasi hukum Islam (Anderson, 1975: 13). Aturan syariah muncul dalam wajah undang-undang modern yang lebih sistematis. Selain itu, diberlakukan pula aturan administratif dalam hukum syariah seperti pencatatan pernikahan dalam hukum keluarga (Anderson, 1975: 13),dan klaim perceraian dengan pembuktian dokumen (Anderson, 1976:45). Reformasi prosedural ini dijustifikasi dengan konsep takhsis al-qada hak penguasa untuk mengatur dan menentukan jurisdiksi lembaga peradilan, yang memang dikenal dalam peradilan Islam(Anderson, 1976: 45).Reformasi substansi hukum dilakukan dengan cara
takhayyur (pemilihan pendapat hukum),talfiq (amalgamasi mazhab hukum)dan ijtihad
(inovasi/penemuan hukum) Takhayyur dilakukan dengan mengadopsi ketentuan dari pendapat hukum yang ada yang dinilai sesuai dengan masyarakat. Talfiq dilakukan dengan cara eklektik, dengan mengkombinasikan beberapa pendapat hukum yang ada sehingga didapatkan ketentuan hukum yang sesuai dengan masyarakat. Ijtihad dilakukan dengan cara melakukan interpretasi ulang terhadap teks-teks keagamaan. Ijtihad dilakukan jika tidak takhayyur dan talfiq tidak bisa dilakukan(Anderson, 1971: 7-12).Penerapan metode
Takhayyur dapat dilihat dalam reformasi hukum keluarga Islam awal yang berupa dua dekrit Sultan Turki tahun 1915 mengenai hak isteri. Dekrit sultan yang memilih pendapat dari mazhab non Hanafi daripada pendapat dominan dalam mazhab Hanafi telah menandai perubahan hukum dalam sistem hukum yang didominasi mazhab Hanafi. Selanjutnya, metode ini banyak digunakan dalam Hukum Keluarga Turki Usmani seperti akad nikah yang memilih Mazhab Syafi’i (pasal 36), larangan menikahkan anak bawah umur yang lebih dekat kepada pendapat Syi’ah (pasal 9) (Anderson, 1976: 48-49). Cara seperti ini juga ditemukan di Sudan dan Mesir. Reformasi hukum Sudan yang terdapat dalam edaran-edaran hukum mengenalkan mazhab Hanafi dalam masyarakat yang menganut mazhab Maliki.11Reformasi hukum keluarga di dunia Muslim (Ahmad Bunyan Wahib) Di negara-negara Muslim Sunni, metode
takhayyurini bisa dilakukan dengan beberapaalternatif. Pertama, meninggalkan aturan yang ada dan mencari pendapat alternatif yang ada dalam satu tradisi mazhab yang sama. Ini dilakukan dengan meninggalkan pendapat dominan dan beralih kepada pendapat yang tidak populer dalam satu mazhab. Kedua, Jika cara pertama tidak dapat dilakukan, takhayyur dilanjutkan dengan mencari pandangan yang berkembang dan populer dalam mazhab sunni (ortodoks). Ketiga, jika cara kedua tidak dapat dilakukan, maka dilanjutkan dengan mencari pendapat dari mazhab sunni yang tidak populer. Keempat, jika tidak menemukan pendapat seperti dalam cara ketiga, maka pencarian hukum dilanjutkan dengan melihat pendapat
fuqaha>’ khalaf. Kelima, jika semua cara tersebut tidak dapat dilakukan, maka pencarian hukum dilakukan dengan mengadopsi aturan hukum yang berkembang dalam tradisi Syi’ah (Anderson, 1976: 51).Metode talfiq dilakukan dengan menggabungkan beberapa pendapat dalam satu ketentuan. Ini dapat dilihat dalam Edaran hukum Sudan No. 49 Tahun 1939 mengenai bagian waris untuk saudara/saudari kandung atau seibu jika bersama dengan kakek dari garis ayah. Surat edaran ini lebih memilih untuk memberikan hak waris kepada saudara/
saudari tersebut bersama dengan kakek dengan mengadopsi pendapat Abu Yusuf, al-Syaibani
dan ulama Syafi’iyah dan malikiyah sesuai dengan prinsip Zaid bin Tsabit. Contoh talfiq
yang lain mengenai aturan waris Muslim dan non Muslim di Mesir. Muslim tidak mewarisi
dari non Muslim dan sebaliknya. Tetapi non Muslim boleh saling mewarisi. Sedangkan
perbedaan negara tidak menjadi penghalang untuk mewarisi, kecuali jika negara (asing)
tersebut membuat peraturan demikian. Aturan ini merupakan penggabungan beberapa
pendapat yang berkembang di kalangan sunni (Ibid., 1976: 48-49). Demikian juga aturan
mengenai radd untuk pasangan (suami/isteri) dalam aturan hukum Tunisia tahun 1956.
Selain takhayyur dan talfiq, cara terakhir adalah dengan menafsirkan kembali teks-teks
keagamaan (ijtihad). Penafsiran ulang ini telah banyak digunakan untuk memaknai kembali
doktrin-doktrin hukum (keluarga) Islam dalam semua aspeknya. Hukum perkawinan dan
perceraian telah menjadi lahan yang subur bagi terjadinya penafsiran kembali teks-teks
keagamaan ini. Dalam konteks ini, poligami menjadi salah satu isu penting dari permulaan
reformasi hukum keluarga. Isu ini dimulai pada tahun 1898 ketika Muhammad Abduh
menulis artikel dalam sebuah surat kabar yang menggugat pemahaman tradisional tentang
Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 14, No. 1, Juni 2014: 1-1912 syarat-syarat poligami. Isu ini kemudian digaungkan dengan publikasi sebuah buku Tahrir
al-Mar’ah (pembebasan perempuan) oleh Qasim Amin pada tahun 1900. Isu ini kemudian
mempengaruhi hukum keluarga Turki Usmani tahun 1917. Meskipun pada akhirnya gagaan
Abduh dan Qasim Amin tidak masuk dalam undang-undang keluarga tahun 1929 karena
adanya penolakan dari Raja Fu’ad, tetapi pemikiran Abduh dan Qasim Amin menjadi
perbincangan seirus di kalangan komite reformasi hukum di Mesir yang dibentuk tahun 1926.
Dalam konteks perkembangan reformasi hukum di dunia Islam, ide-ide progresif Abduh
dan Qasim Amin tentang poligami menjadi inspirasi bagi reformasi di negara-negara Muslim
lain seperti Syria, Irak, Tunisia, Maroko dan yang lain (Anderson, 1976: 61-64).
Selain dengan tiga metode tersebut di atas, terdapat pula reformasi hukum melalui
putusan/penetapan pengadilan. Reformasi dengan putusan/penetapan pengadilan ini terjadi
di negara-negara Muslim bekas kolonial Inggris dan terpengaruh oleh sistem hukum Inggris
seperti negara-negara di anak benua India seperti Pakistan, India dan Bangladesh. Di negara-
negara ini, pertemuan antara hukum Islam dengan sistem hukum Inggris telah menghasilkan
sistem hukum Anglo-Islam (Anglo-Muhammadan Law). Di bawah sistem hukum ini, hukum
Islam diterapkan oleh para hakim dan dengan hukum acara dalam sistem hukum Inggris.
Dalam negara dengan tradisi Anglo-Islam ini, proses pembaharuan hukum dilakukan dengan
melakukan revisi terhadap putusan pengadilan yang telah ada dengan putusan baru
(yurisprudensi hukum), sebuah sistem yang dijalankan dalam tradisi hukum Anglo Saxon
(Anderson, 1976: 77-81).Reformasi hukum di dunia Islam dengan berbagai metode seperti di atas pada intinya adalah melakukan revisi (meninjau) ulang terhadap ketentuan hukum agama (syariah) agar dapat menjawab kebutuhan hukum dalam masyarakat. Dalam beberapa hal, perubahan hukum Islam ini dapat dikatakan sebagai adaptasi syariah (
the adaptation of the shari’a) terhadap perubahan yang terjadi dalam masyarakat (Anderson, 1971: 5). Adaptasi syariah ini dilakukan dengan cara penyesuaian syariah terhadap perkembangan masyarakat sehingga hukum Islam kompatibel dengan masyarakat modern. Oleh karena itu, tidak jarang dalam membuat ketentuan hukum baru tersebut harus mengorbankan aturan hukum lama yang sudah dipraktekkan. Reformasi hukum dalam bentuk adaptasi syariah ini bisa berwujud modifikasi ketentuan lama atau mengganti ketentuan lama dengan ketentuan baru (Coulson, 1969: 145).13 Reformasi hukum keluarga di dunia Muslim (Ahmad Bunyan Wahib) Setidaknya terdapat tiga elemen yang berpengaruh terhadap reformasi hukum di dunia Islam, yaitu: sistem hukum Barat (modern), mazhab hukum Islam, dan tradisi lokal (Coulson,1969: 149-202). Ketiga unsur ini berpengaruh penting terhadap pembaruan hukum yang terjadi di dunia Islam dari segi hukum formil maupun materiil. Dari pertemuan ketiga unsur hukum tersebut, setidaknya sistem hukum di dunia Islam mewujud dalam tiga kelompok.Pertama negara yang tetap menjadikan syariah sebagai rujukan hukum; kedua, negara yang telah menggantikan syariah dengan hukum sekuler (Barat); ketiga, negara yang menggabungkan syariah dan hukum sekuler (Anderson, 1959: 83).Dari ketiga sistem hukum tersebut, mayoritas negara-negara Islam menerapkan jenis ketiga dengan mengkombinasikan syariah dan hukum sekuler dalam reformasi hukumnya.
Hanya sedikit yang mengambil langkah ekstrim dengan menitikberatkan pada salah satu
dari ketiga unsur tersebut. Arab Saudi menjadi negara yang dapat dikategorikan dalam
kelompok pertama. Negara ini menjadikan syariah sebagai rujukan dalam hukum (Ander-
son, 1959: 83-86) meskipun sebenarnya dalam bidang (kasus) tertentu, mu’amalah, negara
ini juga telah meninggalkan syariah. Dalam bidang pajak, Arab Saudi telah melakukan
amalgamasi hukum dengan membuat regulasi pajak penghasilan yang memadukan hukum
syariah dengan sistem pajak Amerika (Anderson, 1959: 85). Sedangkan Turki menjadi negara
yang mengambil langkah bertolak belakang dari Arab Saudi dengan sekularisasi hukum
yang ekstrem dengan meninggalkan syariah dan mengadopsi hukum Barat. Akan tetapi,
dalam praktiknya, masih banyak masyarakat yang masih menggunakan hukum keluarga
Islam (Anderson, 1959: 87-89).


BAB III
PENUTUP
Perkembangan hukum di dunia Islam telah menunjukkan fleksibilitas hukum keluarga Islamdengan adanya reformasi hukum keluarga di negara-negara Muslim. Dalam konteks ini,Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Volume 14, No. 1, Juni 2014: 11918 reformasi hukum keluarga merupakan hasil dari dinamika internal hukum Islam dan dialogantara hukum Islam dengan sistem hukum Barat dan adat. Hukum Islam dengan khazanah inelektual dan variasi mazhabnya telah menghasilkan produk hukum dengan cara takhayyur (pemilihan alternatif hukum),talfiq (amalgamasi hukum). Sedangkan dialog antara hukum Islam dengan dua sistem hukum yang lain, selain telah menghasilkan amalgamasi hukum,juga telah menghasilkan inovasi/penemuan hukum (ijtihad). Dari perspektif modrnisasi, reformasi hukum di dunia Islam merupakan salah satu bentuk reformasi dari atas. Inisiatif perubahan hukum di negara-negara Islam berasal dari pemerintah/negara. Berangkat dari keinginan negara untuk mengatur masyarakat Islam dengan tetap berasaskan hukum Islam, negara-negara Islam melakukan reformasi hukum dengan berbagai alasan seperti alasan ekonomi, politik, sosiologi, atau alasan hukum 
DAFTAR PUSTAKA
Akolawin, Natale Olwak, “Personal Law in the Sudan-Trends and Developments”, Journal of African Law, Vol. 17, No. 2 (Summer, 1973):149-195.
Anderson, J.N.D. Islamic Law in Africa.London: Frank Cass, 1978.
Anderson, Norman. Law Reform in the Muslim World. London: Universityof London/TheAthlone Press, 1976.
Anderson, J.N.D., “Modern Trends in Islam: Legal Reform and Modernization in the Middle East”, The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 20. No. 1 (Januari, 1971): 1-21.
Anderson, J.N.D., “Recent Reforms in Islamic Law of Inheritance”, The International and Comparative Law Quarterly,Vol. 14, No. 2 (April,1965):349-365.
Anderson, J.N.D., “Changes in the Islamic Law of Personal Status in Iraq”,The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 12, No. 3(Juli, 1963): 1026-1031.
Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. Ttp.: New York University Press, 1959.An-Na’im, Abdullahi Ahmed. Islamic Family Law in a Changing World: A Global Resource Book.2002.
Bill, James A., “Modernization and Reform from Above: the Case of Iran”, Journal ofPolitics, Vol. 32, No. 1 (Februari, 1970): 19-40.
loading...
Previous
Next Post »
0 Komentar

Yang sudah kunjung kemari, jangan lupa bagikan ke teman ya

https://go.oclasrv.com/afu.php?zoneid=1401929